Anda di halaman 1dari 9

CRITICAL REVIEW

“Strategi Pemberdayaan Sektor


Informal Perkotaan di Kota
Manado”
Mata Kuliah :
Ekonomi Kota

Dosen Pembimbing:
Ajeng Nugrahaning Dewanti, S. T., M. T., M. Sc.
Elindiyah Syafitri, S. T., M. Sc.

Disusun Oleh :
Naira Putri Maharani (08161051)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
2018
10/22/2018
PENDAHULUAN
Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang
(NSB) termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi
(unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar
(unregistered). Di negara sedang berkembang, sekitar 30-70 % populasi tenaga kerja di
perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah
unit usaha yang banyak dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi
yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah,
akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat
upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal (Wibowo, 2005).
Kemudian hal ini semakin rumit di negara - negara sedang berkembang termasuk
Indonesia karena pranata Informal tidak mendukung keberadaan sektor informal dalam arti
yang sebenarnya. Di tingkat Nasional eksistensi kaum miskin sangat dilindungi dalam bentuk
UUD 1945 dan GBHN serta perangkat hukum lainnya, tetapi di tingkat daerah dalam
operasional pelaksanaan sehari-hari keberadaan sektor infromal terdiskriminasi dan
tersisihkan ( Rachbini, 1994). Hingga saat ini, sektor informal sering dikaitkan dengan ciri-
ciri kegiatan usaha bermodal utama pada kemandirian rakyat, memanfaatkan teknologi
sederhana, pekerjanya terutama berasal dari tenaga kerja keluarga tanpa upah, bahan baku
usaha kebanyakan memanfaatkan sumber daya lokal, sebagian besar melayani kebutuhan
rakyat kelas menengah ke bawah, pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku tergolong
rendah. Mereka tidak pernah menuntut macam-macam dari pemerintah, kecuali untuk
masalah legalitas, jaminan keamanan, pengayoman, serta birokrasi yang sederhana dengan
biaya yang murah ( De Soto, 1991).
Dibalik kekurangan tersebut pada sektor informal memiliki keunggulan yang sangat
dapat menyelamatkan negara. Pada tahun 1997 dimana terjadi krisis moneter, sektor
informal dapat menampung limpahan jutaan buruh korban PHK di sektor formal. Sehingga
keberadaan sektor informal saat itu dapat membuat angka pengangguran dan kemiskinan
meningkat secara tajam akibat krisis moneter. Kemudian menurut data BPS bahwa sektor
informal menyerap 70% angkatan kerja yang ada sekarang dan pada sektor formal hanya
30%. Adapun sektor informal tersebut diwakili udaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
yang menyumbang 55,8% PDB tahun 2005.
Dari kondisi ini memperlihatkan bahwa sektor informal masih memegang peranan
penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan dan katup pengaman bagi pemerintah yang
masih belum bisa memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan. Terutama sektor informal ini
bagi angkatan kerja muda yang belum berpengalaman atau baru pertama kali masuk pasar

Page 2
kerja dan secara tidak langsung akan mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Maka dari
itu penulis tertarik untuk melakukan kajian ilmiah ini.
DATA JURNAL
1. Judul Jurnal : Strategi Pemberdayaan Sektor Informal Perkotaan di Kota
Manado
2. Penulis Jurnal : Patrick C. Wauran (Fakultas Ekonomi, Universitas Sam
Ratulangi, Manado)
3. Volume, Tahun Terbit : Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah (PEKD)
Vol. 7 No. 3 (Oktober, 2012)
4. Jumlah Halaman : 30 halaman

Page 3
RINGKASAN JURNAL
Penelitian ini tentang sektor informal perkotaan khususnya komunitas pedagang
keliling yang dikaitkkan dengan microbanking usaha lembaga keuangan formal. Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran umum PKL sebagai suatu usaha
komunitas yang berprospek secara lebih komprehensif, merumuskan jawaban terkait usaha
microbanking merupakan instrumen yang tepat untuk pemberdayaan PKL, dan memberikan
masukan kepada pemerintah dan lembaga perbankan untuk menghasilkan kebijakan yang
dapat memberdayakan PKL dan menguntungkan perbankan dari aspek bisnis.
Kemudian pada landasan teori, penulis menjelaskan mengenai instrumen kredit dan
pembangunan ekonomi, masyarakat strata bawah dan sektor informal, sektor informal
perkotaan, komunitas sebagai basis pemberdayaan, pemberdayaan komunitas dan usaha
lembaga keuangan mikro/ Microbanking. Menurut Conroy (2002), microbanking adalah
kegiatan atau bahkan sebuah produk/ jasa keuangan dengan target khusus untuk mereka
yang berpenghasilan rendah dan mereka para pengusaha mikro. Adapun peranan dan
relevasi microbanking dalam kebijakan pembagunan seperti mengurangi kemiskinandan
penyediaan jaring pengaman sosial, berkontribusi dalam pengembangan pengusaha kecil
dan sektor informal, berkontribusi dalam pembangunan pedesaan, mengutamakan bantuan
terdapat kaum perempuan dan pemberdayaan komunitas.
Pada metode penelitian, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
dengan tipe penelitian bersifat deskriptif analitis. Adapun studi yang diambil untuk penelitian
ini adalah Kota Manado, Sulawesi Utara. Jenis data yang digunakan bersifat skematik, narasi
dan uraian penjelasan data dari informan maupun dokumen tertulis. Kemudian teknik
mendapatkan informan berupa purpose sampling, snowball sampling dan triangulasi. Serta
teknik analisis data yang digunakan adalah analisis induktif yang digunakan untuk melihat
pola dan hubungan dari data yang dikumpulkan.
Setelah dilakukan wawancara kepada para PKL, didapatkan permasalahan umum
para PKL. Pertama adalah masalah pembiayaan PKL. Pembiayaan dalam konteks PKL ialah
keberadaan dan kesiapannya baik itu tingkat pendidikan, keterampilan, jaringan,
kepercayaan (trust), aset dan akses terhadap lembaga keuangan, semua masih kurang. Hal
tersebut dibenarkan oleh para pelaku PKL sendiri dimana sebagian besar pedagang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah, hanya tamat SD atau tidak tamat karena kondisi ekonomi.
Kemudian tidak adanya komunitas antar sesamanya sehingga apabila ingin dilakukan
pembinaan akan sulit. Jaringan pertemanan yang tidak solid karena pemahaman yang masih
kurang juga mempengaruhi usaha mereka. Serta sumber pembiayaan perdagangan, para
PKL cenderung lebih meminjam ke saudara atau mertua namun tidak sepenuhnya cukup

Page 4
untuk membiayain usaha mereka. Adapun alternatif lain untuk sumber pembiayaan mereka
adalah koperasi atau mereka menyebutnya bank keliling. Kebutuhan kredit para PKL ini
tidak hanya untuk memenuhi modal usaha, tetapi juga untuk menutup pengeluaran rumah
tangga yang tidak terduga seperti pendidikan dan kesehatan.
Permasalahan kedua adalah tempat usaha. Sebagian besar para PKL membutuhkan
tempat usaha yang layak dari segi keselamatan, keindahan dan kebersihan karena selama
ini tempat mereka berjualan bukan pada tempatnya menjadikan sangat rawan untuk
dilakukan penggusuran oleh Satpol PP. Tidak adanya peraturan yang jelas mengenai
larangan berjualan pada wilayah tertentu menjadikan para pedagang bingung karena
penertiban jarang dilakukan dan hanya hanya terjadi apabila untuk penjurian lomba
kebersihan adipura. Adapun di tempat sekarang mereka berdagang, mereka selalu
dimintakan pungutan baik resmi dari pemerintah kota serta tidak adanya premanisme,
sehingga para pedagang merasa nyaman dan aman dalam menjalankan usaha mereka.
Kemudian permasalahan ketiga adalah pecatatan keuangan. Sebagian besar para PKL tidak
mengerti tentang pencatatan keuangan. Menurut mereka pencatatan keuangan itu
membutuhkan keahlian khusus dan bukanlah keahlian mereka karena rendahnya
pendidikan. Tidak tersedianya laporan keuangan yang memadai menjadikan sulit bagi pihak
bank untuk memberikan pinjaman karena tidak adanya penilaian usaha para pedagang.
Permasalahan keempat adalah masalah agunan atau tempat pinjaman. Sebagian
besar para PKL tidak mempunyai jaminan pinjaman, adapun sebagian banyak agunan yang
dimiliki berupa tanah ataupun motor di desa. Bagi yang tidak memiliki akan menjadikan
kendala utama dalam berhubungan dengan pihak bank, karena dari pihak bank sendiri
membutuhkan poin khusus dalam memberikan kredit. Kemudian karena para PKL ini tempat
usahanya berpindah-pindah akan menyulitkan pihak bank untuk melakukan penagihan
karena tidak tetapnya tempat usaha.
Selanjutnya adalah profil kelayakan usaha PKL yang dimana untuk mengetahui
potensi dari para PKL khususnya dalam mendapatkan akses ke lembaga finansial (formal)
untuk memperoleh pinjaman kredit. Adapun analisisnya adalah modal awal usaha
didapatkan dengan pinjama kredit bank atas nama mertua karena mertua sudah biasa
berhubungan dengan pihak bank serta memiliki agunan yang dapat digunakan. Kemudian
pedagang yang telah duluan lebih lama berusaha menjadi PKL lebih berpengalaman dalam
melihat potensi tempat usaha, serta telah memiliki pelanggan tetap karena tempat usaha
yang dapat diketahui oleh para pelanggan. Dalam hal investasi, sebagian besar modal
terkuras untuk membeli gerobak, adapun alternatifnya adalah membeli gerobak bekas. Serta
untuk bahan baku jualan, para pedagang diberikan pinjaman oleh para pedagang di pasar

Page 5
menjadikan adanya hubungan sosial yang baik antara PKL dengan pedagang pasar. Omzet
dan keuntungan harian yang didapatkan setiap PKL berbeda tergantung dari apa yang
mereka jual serta lokasi tempat berjualan. Dari hasil omzet yang didapatkan, rata-rata para
PKL mengirimkan uang yang didapat untuk keluarga dikampung melalui fasilitas perbankan,
namun kebanyakan para PKL tidak mempunyai tabungan di bank karena pola pikir yang
menganggap bahwa menabung di bank hanya untuk orang kaya saja.
Secara kelayakan ekonomi keberadaan PKL dapat dikatakan bahwa perputaran uang
yang dilakukan oleh para PKL cukup tinggi sehingga terdapat potensi ekonomi yang sangat
bagus. Kemudian keberadaan bank disambut positif karena dapat memudahkan pengiriman
uang ke kampung halaman dengan cepat dan aman. Selanjutnya secara kelayakan sosial
dapat dikatakan hubungan sosial yang dilakukan oleh para PKL sangatlah banyak, dari
tetangga sekitar tempat tinggal, sesama PKL, para pdagang pasar, pihak perbankan, serta
pelanggan yang menjadikan adanya potensi sosial pada kegiatan yang dilakukan PKL.
Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa para PKL tidak memiliki komunitas yang berasal
dari lingkungan mereka. Maka dari itu diperlukannya komunitas PKL yang dimana tidak
hanya menambah hubungan antar sesama, namun juga dapat mengatasi permasalahan
yang menjadi beban oleh para PKL seperti mendapatkan falisitas pinjaman dari perbankan,
adanya pembinaan dll. Adapun pihak perbankan yang memfasilitasi para PKL adalah BRI
Unit, yang dimana telah melihat potensi ekonomi dari para pedagang sektor informal denga
mengeluarkan produk perbankan yang dinamakan Kredit Sektor Mikro. Dengan adanya
fasilitas tersebut dapat memudahkan bagi para PKL untuk dapat mengembangkan usaha
mereka sehingga dapat meningkatkan perekonomian para PKL.

Page 6
KAJIAN KRITIS
Jurnal yang dibahas oleh Patrick C. Wauran adalah mengenai sektor informal
perkotaan khususnya komunitas pedagang keliling yang dikaitkkan dengan microbanking
usaha lembaga keuangan formal. Pada jurnal ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun
kelebihan yang dimiliki oleh jurnal ini adalah membahas keberadaan PKL dari aspek sosial
ekonomi, dari permasalahan yang dimiliki oleh para PKL ataupun potensi yang dapat
dikembangkan sebagai peningkatan ekonomi pedagang PKL. kemudian dalam metodologi
penelitian, adanya keabsahan data juga penting karena dapat menjamin kepercayaan hasil
penelitian. Kemudian penjelasan mengenai deskripsi daerah penelitian telah dijelaskan
secara rinci dari administrasi hingga perekonomian Kota Manado. Kemudian dijabarkan
mengenai gambaran umum reponden yang dimana menunjukkan variasi responden yang
ditemukan.
Kemudian adanya penjelasan mengenai profil kelayakan usaha PKL juga menjadi
poin penting dimana pada pada bagian ini dijelaskan bagaimana perhitungan modal yang
harus dikeluarkan, omzet yang didapatkan, perputaran uang, dan biaya hidup yang
dikeluarkan. Adapun penjelasan terkait perbankan yang memfasilitasi kebutuhan pedagang
PKL juga menjadi poin penting dimana menjelaskan program kredit untuk para pedagang
PKL serta parameter yang digunakan untuk para nasabah yang dapat menerima kredit ini
karena sesuai jurnal nya yang memberdayakan sektor informal melalui microbanking usaha
keuangan formal.
Adapun kekurangan dalam jurnal ini terdapat pada bagian gambaran umum
responden dimana penjelasan dari jumlah reponden yang ada lebih baik dijelaskan dalam
bentuk grafik karena lebih informatif. Tidak hanya pada gambaran umum reponden, namun
juga pada gambaran umum ekonomi Kota Manado lebih baik digunakan grafik sehingga
memudahkan pembaca serta lebih menarik. Kemudian pada permasalahan tempat usaha
tidak dijelaskan mengenai lokasi yang jelas dimana mereka berjualan dan kondisi eksisting
mereka berjualan.
Pada jurnal dijelaskan bahwa pemerintah meminta retribusi kepada para PKL agar
terhindar dari premanisme serta aman dan nyaman dalam berdagang. Namun apabila
melihat Kota Solo, upaya pemerintah dalam memberdayakan PKL sangatlah banyak tidak
hanya dari retribusi yang diberikan. Adapun pada jurnal “Kebijakan Ramah PKL di Perkotaan
: Belajar Dari Kota Solo” yang ditulis oleh Hetifah Sj-Sumarto menjelaskan bahwa kebijakan
utama pengelolaan PKL di Kota Solo oleh Pemerintah Kota Solo meliputi pembinaan,
penataan dan penertiban. Pada tugas akhir “Kebijakan Pemkot Surakarta Dalam Menata PKL
di Laweyan” yang ditulis oleh Rahmatun Utami menjelaskan juga bahwa Pemerintah Kota

Page 7
Solo mengeluarkan SK Walikota Nomor 510 Tahun 2012 Tentang Penetapan Kawasan
Penataan PKL yang dimana dengan adanya kebijakan mengenai peruntukan lahan untuk
kawasan PKL akan lebih memudahkan dalam mencari tempat usaha yang legal. Kemudian
pada PKL pada Kota Manado memiliki masalah dalam modal gerobak yang begitu besar.
Apabila melihat dari Kota Solo, pemerintah memberikan gerobak dan payung dengan model
yang sama sehingga meningkatkan estetika kota. Apabila pemerintah Kota Manado
melakukan hal serupa, modal yang tadinya dikeluarkan untuk gerobak dapat dialihkan ke
bahan baku berjualan, sehingga akan memaksimalkan hasil berjualan mereka.
Seperti yang dijelaskan bahwa PKL pada Kota Manado masih belum terdapat
komunitas yang menaungi mereka. Perlunya peran pemerintah dalam ikut membangun
komunitas PKL di Kota Manado sehingga dengan adanya komunitas tersebut dapat pula
dilakukan pembinaan dan penyuluhan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Kota Solo.

Page 8
LESSON LEARNED
Adapun pembelajaran yang dapat kita ambil setelah melakukan critical review pada
jurnal “Strategi Pemberdayaan Sektor Informal Perkotaan di Kota Manado” ini ialah dalam
dalam melakukan pemberdayaan sektor informal seperti PKL, perlunya keterlibatan
pemerintah dalam menata para PKL ini. Tidak hanya menata namun juga memberikan
pembinaan dan penyuluhan berupa informasi untuk usaha mereka. Microbanking
merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan bagi pemberdayaan PKL, namun apabila
pemerintah dengan pihak perbankan dapat bekerja sama dalam memberikan pinjaman
modal ke para pedagang serta menata kawasan khusus untuk PKL, buka tidak mungkin
usaha sektor informal bisa meningkatkan perekonomian masyarakat dan secara tidak
langsung akan meningkatkan Pemasukan Asli Daerah (PAD) Kota Manado.

DAFTAR PUSTAKA
Hetifah, & Sumarto. 2009. “KEBIJAKAN RAMAH PKL DI PERKOTAAN: BELAJAR DARI KOTA
SOLO”. Jurnal Analisis Sosial Volume 04 No. 1 hal 54-64.
Utami, Rahmatun. 2013. “KEBIJAKAN PEMKOT SURAKARTA DALAM MENATA PKL DI
LAWEYAN”. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Wauran, Patrick C., 2012. “STRATEGI PEMBERDAYAAN SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN DI
KOTA MANADO”. Jurnal Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Daerah Volume 7 No. 3.
Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Page 9

Anda mungkin juga menyukai