Anda di halaman 1dari 13

Analisis Supply Chain pada

highrise building commersial

Disusun Oleh :

MUHAMMAD DARMANSYAH 41115010083

MOHAMAD RIZKIE APRIANTO 41116010073

AMBAR PUSPITA SARI 41116010109

SYAHRIZAL HARUN 41116010157

Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sistem Manajemen Mutu Konstruksi

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS MERCUBUANA JAKARTA


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................................................


Daftar Isi ....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
1.1. Latar Belakang .............................................................................................
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan .........................................................................................
1.4. Metodologi Penulisan ..................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................................
2.1 Pengertian highrise building .........................................................................
2.2 Supply Chain .................................................................................................
BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................
3.1 Jurnal 1..........................................................................................................
3.2 Jurnal 2..........................................................................................................
BAB IV KESIMPULAN ...........................................................................................
4.1 Jurnal 1 ...........................................................................................................
4.2 Jurnal 2 ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Tingginya tingkat spesialisasi dalam industri konstruksi mengakibatkan industri


ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan industri lainnya. Khususnya
pada proyek konstruksi bangunan gedung yang memiliki item pekerjaan yang banyak
disertai dengan kompleksitas pekerjaan yang tinggi dan membutuhkan keahlian-keahlian
yang spesifik dalam proses produksinya. Hal ini menyebabkan terpecah-pecahnya
pekerjaan menjadi paket pekerjaan yang lebih kecil di mana masing-masing paket
pekerjaan akan melibatkan pihak tertentu.
Keterlibatan banyak pihak baik organisasi maupun individu dalam proses
produksi di industri konstruksi secara tidak langsung akan membentuk supply chain yang
kompleks. Hubungan antar pihak tersebut akan membentuk suatu pola hubungan yang
menempatkan satu pihak tertentu sebagai salah satu mata rantai dalam suatu rangkaian
rantai proses produksi yang menghasilkan produk konstruksi yang disebut dengan supply
chain konstruksi (Capo et al., 2004). Bergerak dari kondisi ini, maka industri konstruksi
telah menuntut pengembangan suatu konsep manajemen yang dapat mengelola hubungan
antar mata rantai yang menghasilkan output produk konstruksi.
Pengelolaan supply chain di industri konstruksi dipercaya sebagai salah satu
usaha yang strategis untuk meningkatkan daya saing suatu perusahaan konstruksi di
tengah semakin ketatnya persaingan lokal, regional maupun global, sebagaimana
layaknya industri lainnya. Salah satu unsur penting dari pengelolaan supply chain ini
adalah struktur dari jaringan yang efektif, karena sebuah supply chain yang efisien
dianggap dapat memberikan daya saing yang tinggi kepada perusahaan yang menjadi
bagiannya. Berdasarkan hasil suatu studi diperoleh kesimpulan bahwa desain supply
chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan biaya proyek hingga 10%
(Bertelsen, 1993).
Hal ini menunjukkkan bahwa supply chain konstruksi akan memberikan
konstribusi terhadap efisiensi suatu pelaksanaan proyek, sehingga suatu supply chain
konstruksi memiliki potensi untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk
dilakukannya peningkatan dalam industri konstruksi. Sehingga dalam konteks konstruksi
dimana fragmentasi sudah menjadi bagian dari karakteristik industri ini, maka
peningkatan yang dapat dilakukan adalah melalui manajemen hubungan terhadap
organisasi yang terlibat dalam suatu susunan supply chain yang menghasilkan produk
konstruksi tertentu.
London dan Kenley (2002) menyatakan bahwa diperlukan suatu pengembangan
model yang dapat menggambarkan organisasi di industri konstruksi guna memahami
struktur dan perilaku supply chain dalam industri konstruksi. Lebih lanjut dikatakan
bahwa sangat penting untuk memahami berbagai supply chain yang berbeda, yang akan
memberikan kontribusi terhadap pemahaman industri ini melalui pemahaman terhadap
produk atau jasa apa yang diberikan, tipe perusahaan seperti apa yang memberikan
produk atau jasa tersebut, kepada siapa produk atau jasa tersebut diberikan, dan dalam
konteks seperti apa pola supply chain tersebut digunakan. Namun sebelum dapat
dilakukan efisiensi supply chain konstruksi seperti yang diinginkan, terlebih dahulu
diperlukan suatu pemetaan pola supply chain konstruksi yang terdapat dalam praktek
konstruksi, khususnya dalam proyek konstruksi bangunan gedung di Indonesia.
1.2 Rumusan masalah

Persaingan ketat antara perusahaan konstruksi secara tidak langsung menuntut


agar perusahaan meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses kerjanya. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah menerapkan konsep supply chain management
secara optimal sebagaimana yang telah dilakukan oleh kalangan industri konstruksi di
luar negeri. Terlebih lagi dengan karakteristik industri konstruksi sebagai suatu
industri yang unik dengan keterlibatan banyak pihak dalam proses produksinya yang
secara tidak langsung akan melibatkan banyak pihak pula supply chain -nya dan
kesemuanya itu memerlukan suatu pengelolaan yang baik sehingga akan dapat
menghasilkan kinerja yang baik pula.
Beranjak dari hal tersebut di atas maka perlu dilakukan suatu pencarian
gambaran kinerja dari supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung yang
dilakukan melalui suatu tahapan pengukuran dengan menggunakan indikatorindikator
pengukuran yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Hasil dari kajian ini diharapkan
akan dapat dipergunakan sebagai acuan bagi perusahaan dalam membentuk dan
mengelola supply chain-nya terutama yang terkait dengan hubungan antar pihak-pihak
yang terlibat pada proses produksinya dalam rangka implementasi konsep Konstruksi
Ramping (Lean Construction).

1.3 Tujuan penulisan

Untuk mengetahui penerapan konsep supply chain dalam konstruksi highrise building
commersial

1.4 Metodologi penulisan

Metode penulisan makalah ini disusun melalui tahapan-tahapan sebagaimana dipaparkan


dalam rincian berikut :
 Mengumpulkan data-data jurnal atau artikel.
 Melakukan analisis komparasi hasil pengumpulan data
 Menyusun kesimpulan perbandingan dari kedua jurnal atau artikel
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian highrise building

High rise building atau bangunan tinggi merupakan istilah yang sering
digunakan merujuk kepada bangunan yang memiliki struktur menjulang tinggi atau
bangunan dengan jumlah tingkat yang banyak.
Sejatinya penambahan ketinggian sebuah bangunan dilakukan untuk
memperluas ruang fungsi dari bangunan tersebut. Beberapa tipologi bangunan tinggi
diantaranya adalah bangunan apartemen dan perkantoran. Hal ini karena dengan
penambahan jumlah lantai maka akan mengurangi luas bijak bangunan tersebut
sehingga lebih sedikit memakan lahan.
Bangunan tinggi akan ideal ditinggali jika ada lift atau elevator dan tentunya
didukung oleh struktur bangunan yang kuat dan tahan lama.Tanpa adanya live
otomatis ini maka akan sangat melelahkan bagi penghuni untuk naik ke lantai yang
paling tinggi.
Sebuah bangunan dapat disebut bangunan tinggi atau high rise building jika
bangunan tersebut memiliki ketinggian 23 meter hingga 150 meter di atas tanah. Jika
lebih dari 150 meter maka dapat disebut gedung pencakar langit atau yang dikenal
dengan istilah Skyscraper. Jika tinggi rata-rata sebuah tingkat lantai adalah 4 meter
maka bangunan tinggi setidaknya memiliki 6 tingkat lantai.

2.2 Supply chain management

Supply adalah sejumlah material yang disimpan dan dirawat menurut aturan
tertentu dalam tempat persediaan (inventory) agar selalu dalam keadaan siap pakai
dan ditatausahakan dalam buku perusahaan. Dalam supply sangat dibutuhkan
keterikatan pemasok dan konsumen atau biasa disebut dengan supply chain.
Pengertian supply chain menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003) adalah
suatu tempat sistem organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para
pelanggannya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang
saling berhubungan dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin
menyelenggarakan pengadaan atau penyalur barang tersebut. Oleh karena itu dalam
supplay chain sangat dibutuhkan sebuah strategi maupun metodologi yang dapat
mengatur, mengarahkan dan menggerakkan orang lain dalam rangka mencapai
tujuannya, dan umum disebut dengan supply chain management.
Arti supply chain management yang dikemukakan oleh Schroeder (2007)
adalah perancangan, desain, dan kontrol arus material dan informasi sepanjang rantai
pasokan dengan tujuan kepuasan konsumen sekarang dan di masa depan.
Pengertian supply chain management berdasarkan Simchi-Levi et al (2002)
adalah suatu pendekatan dalam mengintegrasikan berbagai organisasi yang
menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang, yaitu supplier, manufacturer,
warehouse dan stores sehingga barang-barang tersebut dapat diproduksi dan
didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, waktu yang tepat dan
biaya yang seminimal mungkin.
Supply Chain Management menurut Mentzer et. al (2001) merupakan
koordinasi sistem strategis fungsi bisnis tradisional dan taktik seluruh fungsi-fungsi
bisnis dalam suatu perusahaan tertentu dan di seluruh perusahaan dalam rantai
pasokan, untuk tujuan meningkatkan kinerja jangka panjang perusahaan individu dan
pasokan rantai secara keseluruhan.
Definisi dari supply chain management yang dikemukakan oleh para ahli
dapat disimpulkan bahwa SCM merupakan sebuah rangkaian atau jaringan
perusahaan ataupun organisasi yang bekerja sama untuk membuat serta menyalurkan
produk maupun jasa kepada konsumen akhir atau pelanggan. Dan rangkaian atau
jaringan ini terbentang dari penambang bahan mentah sampai retailer.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 JURNAL 1

Pola supply chain konstruksi proyek X1

Proyek X1 adalah proyek konstruksi bangunan gedung yang berfungsi sebagai


bangunan perkantoran di Jakarta. Proyek ini terdiri dari satu unit bangunan dengan
ketinggian 9 lantai. Metoda kontrak konstruksi yang dipakai dalam proyek ini adalah
metoda kontrak umum (general contracting method), sehingga kontraktor X adalah
satu-satunya pihak yang memiliki hubungan kontrak langsung dengan pihak pemilik.
Owner tidak melakukan pemecahan kontrak, sehingga seluruh jaringan supply chain
yang terjadi merupakan anggota supply chain dari kontraktor X. Dari proses
penyusunan terhadap pihak-pihak yang terlibat, diperoleh pemetaan hubungan yang
terjadi seperti pada Gambar 4. Pola hubungan supply chain yang teridentifikasi adalah
: Pola 1 Terjadi pada pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor Pola 2
Terjadi pada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor kepada subkontraktor,
berupa pengadaan material, pekerja dan alat yang diadakan sendiri oleh subkontraktor
tersebut.
Pola 2’ Terjadi pada pekerjaan yang disubkontrakkan kepada subkontraktor, dengan
alat, pekerja dan material instalasi diadakan oleh subkontraktor tersebut, namun
terdapat peralatan khusus yang diadakan oleh kontraktor utama.
Pola 3 Terjadi pada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor kepada
spesialis, dengan material, pekerja dan alat yang diadakan sendiri oleh spesialis
tersebut.
Dalam Proyek X1 yang menerapkan metoda kontrak umum, Organisasi Proyek X1
sebagai kontraktor utama, disamping masih mengerjakan sendiri bagian tertentu dari
proyek tersebut juga melibatkan pihakpihak lainnya. Bagian pekerjaan yang masih
dikerjakan sendiri oleh Kontraktor X adalah pekerjaan struktur dan beberapa
pekerjaan arsitektur (pekerjaan lantai, dinding, dan daerah basah). Sedangkan
keterlibatan pihak lain terjadi baik pada jenis pekerjaan yang memerlukan spesialisasi
maupun pada jenis pekerjaan dasar (tidak memerlukan keahlian khusus), dengan
melibatkan kontraktor spesialis dan subkontraktor.
Pola supply chain konstruksi pada proyek Y1

Proyek Y1 adalah proyek konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai apartemen,


yang berlokasi di Jakarta. Proyek ini terdiri dari dua tower dengan masingmasing
ketinggian 30 lantai. Pemilik proyek Y1 adalah lembaga swasta yang bergerak dalam
bisnis properti, sehingga proyek Y1 adalah salah satu proyek yang sedang dikelola
oleh pemilik. Metoda kontrak yang dipakai adalah metoda kontrak terpisah, yang
memungkinkan pemilik untuk melakukan pemecahan kontrak dalam melakukan
pengadaan pihak-pihak yang melakukan pelaksanaan. Dari proses penyusunan
terhadap pihak-pihak yang terlibat, diperoleh pemetaan hubungan yang terjadi seperti
pada Gambar 5. Terdapat lima pola hubungan supply chain yang teridentifikasi yaitu :
Pola 1’ Pada pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor, dan terdapat material
utama yang diadakan oleh owner (pengadaan material saniter).
Pola 2” Pada pekerjaan yang disubkontrakkan pada subkontraktor, dengan material,
pekerja dan alat diadakan oleh subkontraktor tersebut, dan terdapat bagian dari
komponen material yang cukup besar pada pekerjaan tersebut yang diadakan oleh
owner (hardware pintu).
Pola 3 Pada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor kepada spesialis,
dengan material, pekerja, alat dan instalasi diadakan sendiri oleh spesialis tersebut.
Pola 4 Pada pekerjaan subkontraktor tertentu yang diadakan langsung oleh owner,
dengan alat, material dan pekerja yang diadakan sendiri oleh subkontraktor tersebut.
Pola 5 Pada pekerjaan spesialis yang diadakan oleh owner, dengan alat, pekerja dan
alat dan material instalasi diadakan oleh spesialis tersebut.
Dalam proyek yang menggunakan metoda kontrak terpisah ini terdapat pengadaan
yang dilakukan langsung oleh pemilik, yaitu pengadaan beberapa material utama pada
pekerjaan arsitektur, sehingga terdapat hubungan kontrak langsung antara pemilik
dengan beberapa supplier material yang memiliki volume besar. Pada proyek yang
berfungsi sebagai apartemen dengan ketinggian 30 lantai (2 tower) ini, maka
komponen volume hardware, saniter, dan unit AC yang dibutuhkan sangat banyak.
Pemilik melihat adanya celah untuk mengurangi biaya dengan melakukan pengadaan
material secara langsung pada beberapa material utama, namun pekerjaan
pemasangannya dilakukan oleh kontraktor atau subkontraktor.
3.2 JURNAL 2

Studi Kasus Kontraktor X, Y Dan Z

Kajian kebijakan pengadaan yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana merupakan


kajian yang mengawali pemahaman terhadap terbentuknya polapola supply chain
konstruksi dalam penyelenggaraan proyek konstruksi bangunan gedung di Indonesia
(Susilawati, 2005). Seperti terlihat pada Gambar 4, sebagai bagian dari kajian
menyeluruh mengenai pembentukan pola-pola supply chain konstruksi, makalah ini
memilih fokus pada lingkup kajian yang dibatasi pada dua tingkatan manajemen
kontraktor (bagian yang ditunjukkan dengan kotak-kotak yang diraster). Adapun
bahasan mengenai pola-pola supply chain konstruksi disajikan dalam
Wirahadikusumah dan Susilawati (2006).
Kajian ini dilakukan dengan pendekatan beberapa studi kasus (multiple case study).
Yin (1989) berpendapat bahwa penelitian dengan pendekatan beberapa studi kasus
cocok untuk kondisi dimana kasus yang ada bersifat tidak unik. Tan (1995) juga
menyatakan bahwa dengan menggunakan beberapa kasus diharapkan dapat dicapai
suatu replika dari obyek penelitian yang sama namun dalam konteks yang berbeda,
sehingga bisa dilakukan perbandingan.
Studi kasus dilakukan terhadap tiga kontraktor besar X, Y, dan Z, yang telah telah
memiliki pengalaman sekitar 40 hingga 50 tahun, sehingga dianggap telah mengalami
proses pembelajaran yang matang dalam pembentukan kebijakan-kebijakan yang
berkenaan dengan pengadaan. Kesetaraan ketiga kontraktor yang memilik kualifikasi
sebagai kontraktor besar serta memiliki lingkup pelayanan yang meliputi seluruh
wilayah Indonesia, diharapkan dapat memberikan representasi mengenai bagaimana
bentuk kebijakan sesuai dengan karakteristik produk konstruksi yang tersebar secara
geografis.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pengamatan dokumen
yang dilakukan pada dua tingkat menajemen kontraktor (tingkat perusahaan dan
tingkat proyek). Pengumpulan data pada tingkat perusahaan berupa dokumen-
dokumen kebijakan perusahaan dan pengamatan dokumen kontraktor yang berkenaan
dengan pengadaan. Sedangkan wawancara terhadap pihak-pihak yang berkompeten
dalam pengadaan baik pada tingkat proyek maupun tingkat perusahaan dilakukan
guna mendapatkan pemahaman sehubungan dengan kebijakan pengadaan yang
dikeluarkan. Pihak yang diwawancara meliputi site manager, project manager, dan
kepala divisi logistik.

Deskripsi kontraktor X

Dalam menjalankan bisnis konstruksinya, Kontraktor X membagi Indonesia dalam


tiga wilayah operasi yaitu Wilayah Operasi I yang meliputi Pulau Sumatera, Wilayah
II meliputi DKI Jakarta dan Jawa Barat, dan Wilayah III meliputi Jawa Tengah, Jawa
Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dalam pengelolaan proyek, pada tiap
wilayah operasi dibagi menjadi dua yaitu proyek gedung dan proyek sipil. Jadi
manajemen yang dilakukan oleh Kontraktor X dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu
kantor pusat yang berkedudukan di Jakarta, tiga kantor wilayah operasi yang
membagi wilayah Indonesia menjadi tiga, dan organisasi proyek.
Beberapa kebijakan pengadaan yang dilakukan oleh Kontraktor X adalah adanya
perbedaan batasan kewenangan pengadaan yang sangat besar antara kantor pusat dan
organisasi proyek. Pengadaan barang/ jasa yang dilakukan oleh tingkat divisi (kantor
pusat wilayah operasi) sebesar 95% dari rencana anggaran pembelian proyek.
Sedangkan pengadaan pada tingkat proyek hanya menyangkut pengadaan barang/jasa
yang tidak pokok, yang dibatasi maksimum 5% dari rencana anggaran pembelian.
Khusus untuk pengadaan material atau jasa strategis, Kontraktor X melakukan strategi
pengadaan secara terpadu yang melibatkan beberapa proyek. Hal ini sangat mungkin
dilakukan oleh tingkatan manajemen kontraktor wilayah operasi atau pusat karena
mengelola proyek-proyeknya secara terpadu.

Deskripsi kontraktor Y

Dalam mengelola proyek-proyek konstruksi, Kontraktor Y membagi proyek


konstruksi menjadi dua kategori, yaitu proyek konstruksi yang sifatnya umum dan
relatif tersebar merata diseluruh Indonesia; dan proyek konstruksi yang memerlukan
keahlian khusus. Divisi Sipil Umum (DSU) merupakan divisi yang membawahi
proyek-proyek konstruksi sipil yang tersebar di seluruh Indonesia yang dibagi dalam
tiga wilayah operasi – DSU I membawahi proyek sipil umum yang terdapat di
Indonesia Bagian Barat, DSU II membawahi proyek sipil umum yang terdapat di
Indonesia Bagian Tengah, dan DSU III membawahi proyek sipil umum yang terdapat
di Indonesia Bagian Timur. Adapun divisi yang membawahi proyekproyek yang
memerlukan keahlian khusus adalah DBG (Divisi Konstruksi Bangunan), DME
(Divisi Mekanikal Elektrikal), DPK (Divisi Peralatan Konstruksi), dan EPC
(Engineering Procurement & Construction).
Kontraktor Y merupakan perusahaan yang memiliki diversifikasi usaha yang lebih
luas dibanding dua kontraktor lainnya. Hal itu membuat perusahaan ini memiliki biro
pengadaan yang juga mendukung divisidivisi lainnya, dengan posisi yang sejajar
dengan direktur operasi. Di samping itu, Kontraktor Y melakukan pembagian
wewenang pengadaan berdasarkan nilai kontrak. Pengadaan pada proyek dengan nilai
kontrak diatas Rp. 7,5 milyar merupakan wewenang direksi, pengadaan pada proyek
dengan nilai kontrak antara Rp. 750 juta dan Rp. 7,5 milyar merupakan wewenang
general manager operasi, sedangkan manajer proyek berwenang hanya pada proyek-
proyek dengan nilai kontrak yang lebih kecil.
Kontraktor Y juga melakukan pembelian terpadu untuk material dan atau jasa
strategis, yaitu materialmaterial dengan volume kebutuhan yang besar dalam suatu
kontrak pengadaan terpadu. Adapun pembelian yang sudah dilakukan dengan kontrak
tersebut adalah besi beton, ready-mixed concrete, dan saniter.
Deskripsi kontraktor Z

Kontraktor Z juga melakukan pembagian wilayah, namun pembagian wilayah ini


lebih ditujukan bagi fungsi pemasaran menjadi tiga wilayah pemasaran. Setelah
tahapan perolehan kontrak yang dilakukan oleh pihak pemasaran dari ketiga wilayah
tersebut
berhasil didapatkan, selanjutnya pengelolaan proyek tetap dilakukan secara terpusat.
Hal ini dilakukan pada seluruh jenis proyek konstruksi yang dibedakan menjadi
proyek sipil basah, bangunan gedung, dan transportasi.
Sesuai dengan kebijakan umumnya, Perusahaan Z melakukan pelimpahan wewenang
yang lebih besar kepada organisasi proyek dalam melakukan pengadaan. Hal ini
terlihat dalam batasan kewenangan pengadaan, yaitu organisasi proyek memiliki
kewenangan pengadaan dengan besaran tertentu sesuai dengan kualifikasi proyek.
Namun demikian, sama halnya dengan dua perusahaan lainnya, perusahaan ini pun
sudah melakukan pembelian material yang tidak hanya mengacu pada kontrak
pengadaan material tertentu untuk satu proyek saja, namun berdasarkan pembelian
secara multiple project dalam bentuk kontrak payung seperti pada pembelian material
besi beton dan material dinding pengisi.

Analisis Pengadaan pada Kontraktor X, Y Dan Z Kajian mengenai pengadaan oleh


kontraktor pelaksana dilakukan pada tiga aspek yang dapat mempengaruhi
pembentukan jaringan supply chain konstruksi. Ketiga aspek yang ditinjau adalah: i)
peta bisnis kontraktor dalam mengelola proyek-proyek konstruksi; ii) kebijakan-
kebijakan kontraktor yang berkenaan dengan pengadaan barang/jasa yang diperlukan
dalam pelaksanaan proyek-proyek; iii) proses pengadaan sebagai mekanisme baku
yang dilakukan oleh masing-masing kontraktor. Ketiga aspek ini ditinjau dalam dua
tingkatan manajemen kontraktor, yaitu pada tingkat perusahaan/pusat dan pada
tingkat proyek (Gambar 5).
BAB IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN JURNAL 1
Pada tingkat proyek diperoleh gambaran bahwa pada konstruksi bangunan gedung
sebagai custom made product – inisiatif terjadinya proses produksi konstruksi yang
dimulai dari pemilik proyek dan berakhir pada pemilik proyek sebagai end user,
menunjukkan adanya peran pemilik proyek yang besar dalam penyusunan jaringan
supply chain konstruksi. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pemilik melakukan
berbagai strategi pengadaan guna menekan biaya proyek. Praktek-praktek
pengadaan material maupun jasa potensial secara langsung oleh pemilik proyek,
yang ditunjukkan dalam pola khusus jaringan supply chain konstruksi merupakan
salah satu contoh tindakan efisiensi pembiayaan konstruksi.

Metoda kontrak terpisah sebagai salah satu bentuk kontrak yang memungkinkan
pemilik proyek untuk melakukan pengadaan langsung sering digunakan sesuai dengan
kebutuhan pemilik. Tingkat pemisahan kontrak tergantung pada kemampuan pemilik
dalam pengelolaan, yang pada intensitas tinggi memerlukan konsultan MK.
Pemecahan kontrak terutama terjadi pada proyek-proyek dengan karakteristik
memiliki nilai proyek yang besar, dan pemilik adalah lembaga swasta yang memiliki
lingkup bisnis properti. Namun pada satu kasus, pemilik dengan karakteristik
demikian tidak melakukan pemecahan kontrak karena pertimbangan risiko
pengelolaan proyek, baik secara administratif maupun operasional di lapangan.

KESIMPULAN JURNAL 2

Tiga jenis pola pengadaan sebagai strategi yang dilakukan oleh ketiga kontraktor ini,
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Pengadaan yang tersentral,
selain menuntut kesiapan fungsi pengadaan di tingkat pusat yang mampu melakukan
pengadaan bagi berbagai jenis proyek, sekaligus memberikan peluang dilakukannya
inovasi pengadaan yang hanya dapat dilakukan oleh kantor pusat. Adapun kekurangan
yang mungkin terjadi adalah adanya jarak yang berarti sebagai akibat dari penerapan
kebijakan pengadaan terpusat yang terjadi pada proyek yang berlokasi jauh dari lokasi
kantor pusat, diperkirakan kurang mendukung kelancaran operasionalnya. Dalam
pengadaan secara terdesentral, dengan kewenangan tingkat organisasi proyek yang
lebih besar akan memberikan peluang yang lebih besar pada pihak-pihak lokal untuk
memberikan kontribusinya, juga memberikan keleluasaan bagi organisasi proyeknya
untuk menentukan pihak-pihak yang sebaiknya terlibat guna mendapatkan efisiensi
dalam pengadaan serta kelancaran operasional proyek. Sedangkan pola pengadaan
yang berimbang, memberikan fleksibilitas bagi kedua tingkatan manajemen pada
kontraktor tersebut dalam melakukan pengadaan yang disesuaikan dengan kondisi
proyeknya – lokasi proyek, nilai kestrategisan proyek, dll
DAFTAR PUSTAKA

http://journals.itb.ac.id/index.php/jts/article/view/2693

http://journals.itb.ac.id/index.php/jts/article/view/2695

Anda mungkin juga menyukai