Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang
mengenai selaput otak dan selaput medula spinalis yang juga disebut meningens.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada meningen dan parenkim otak,
dimana gejalanya menunjukan gabungan dari kombinasi meningitis dan
ensefalitis. Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme; bakteri,
jamur, virus, dan parasit1. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran
darah dari bagian lain dari tubuh atau secara langsung (perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak).2

Faktor resiko utama untuk terjadinya meningitis yaitu respon imun tubuh
terhadap patogen spesifik yang lemah, dan terkait dengan umur. Resiko terbesar
pada bayi (usia 1-12 bulan); 95% terjadi pada usia 1 bulan dan 5 tahun. Resiko
tambahan pada individu yang memiliki kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit yang invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan bayi yang tidak mendapatkan ASI pada
umur 2-5 bulan, serta post trauma.

Berdasarkan penelitian epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di


Asia, pada daerah Asia Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah
meningitis tuberkulosis3. Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak
atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan
limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru 4.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis
tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83%
disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru 5. Meningitis TB seringnya
tidak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak
sehingga sering terjadi meningoencephalitis tuberculosa. 10

1
BAB II

PENYAJIAN KASUS

2.I Identitas Pasien

Pasien bernama Ny. In, jenis kelamin perempuan, usia 16 tahun, agama
kristen, status sudah menikah, pekerjaan swasta, alamat di pemukiman Sendarong,
kelurahan sendarong. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 22 juni 2018 Pukul
00.15 WIB.

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama:

Penurunan kesadaran sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit sekarang:

Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Lawang dengan


keluhan penurunan kesadaran sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit. Dua
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri kepala, 4 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien demam, mual dan muntah namun makan,
minum, berbicara, masih baik. 13 jam sebeum masuk rumah sakit pasien sempat
kejang, dan sempat berbicara pelo dan mulut mencot, namun masih berespon jika
dipanggil atau diajak komunikasi, masih makan dan minum. Saat 8 jam SMRS
pasien kejang 1 kali, kurang dari 1 menit saat pasien sedang demam tinggi. Saat
kejang badan pasien kaku namun tidak kelojotan, matanya menghadap keatas,
tidak ada busa dan pasien tidak sadar saat kejang, namun beberapa menit setelah
kejang pasien sadar kembali. 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
penurunan kesadaran, gelisah, tidak bisa berbicara dan tidak merespon jika
dipanggil atau diajak berkomunikasi. Mulut mencot (-) . Keluhan ini baru
pertamakali dialami pasien.

2
Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien memiliki riwayat trauma (cidera kepala) 3 bulan yang lalu dan tidak terjadi
penurunan kesadaran, sembuh tanpa berobat di RS. Riwayat batuk berdahak disangkal,
batuk berdarah disangkal, riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat rutin dan obat paru disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat batuk
berdahak atau batuk berdarah dalam keluarga dan tetangga disangkal. Hipertensi
dan Kencing manis disangkal.

Riwayat Psikososial:

Menurut anak pasien, pasien memiliki kepribadian tertutup, sehingga tidak


mengeluhkan sakit apa-apa sebelumnya. Riwayat merokok disangkal. Pasien
berobat dengan menggunakan asuransi kesehatan BPJS.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum:tampak sakit berat

Kesadaran : delirium GCS: E3M5Vx

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 103x/ menit , regular, lemah

Nafas :24x/menit, teratur, kedalaman cukup, sifat pernapasan thorako


abdominal.

Suhu : 36,7⁰C (Afebris)

Status generalis

3
Kepala :simetris, normocephali, rambut hitam, tidak mudah tercabut

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), diameter pupil 3mm
(+/+), RCL (+/+), RTCL(+/+)

Telinga :dalam batas normal, tidak ada sekret.

Hidung : sekret (-), deviasi septum (-)

Mulut :sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1, faring tidak hiperemis.

Leher : tidak ada fraktur servikal, pembesaran KGB (-)

Thorak

Paru

Inspeksi : statis : bentuk dada normochest,

Dinamis: gerakan dinding dada simetris, jenis pernapasan


thorakoabdominal.

Palpasi : massa(-), nyeri tekan (-), vocal premitus : tidak dapat dinilai.

Perkusi : sonor dikedua lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), wheazing (-/-).

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi :Ictus Cordis teraba di SIC 5, kurang lebih 1 jari medial dari linea
midklavikula sinistra

Perkusi : batas jantung kanan pada ICS 4 linea parasternalis dextra

Batas jantung kiri atas: pada ICS 4 line parasternalis sinistra.

Batas jantung kiri bawah: ICS VI linea axila anterior

4
Auskultasi : BJ I/II murni, galop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : bentuk datar, simetris, tidak ada massa, tidak ada venektasi

Auskultasi : bising usus normal di seluruh kuadran

Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdominal

Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-)

Ekstremitas : atas: akral hangat, capillary refill kurang dari 2 detik.

bawah: akral hangat, capillary refill kurang dari 2 detik,

Kulit : warna kecoklatan, turgor kulit baik

Status Neurologis

Keadaan Umum: TSB

Kesadaran : Delirium GCS: E3M5V2

Pupil : bulat, isokor (+/+), RCL (+/+), RTCL (+/+)

Tanda Rangsang meningeal

Kaku kuduk : (+)

Laseg : (+/+)

Kernig : (+/+)

Bruzinski 1 : (-)

Bruzinski 2 : (-)

Pemeriksaan Nervus Cranialis

N.III : Ptosis (-), pupil: RCL (+/+), RTCL (+/+).

5
N. V : Refleks kornea (+/+). Kesan tidak ada parase N V

N.VII : Kedipan Mata (+/+), mulut mencot (-/-), refleks zygomatikum:


tidak dilakukan. Kesan tidak ada parase NVII

N.IX-X : refleks muntah (+), refleks menelan (+). Kesan tidak ada parase
N. IX-X.

Pemeriksaan Motorik

Inspeksi :

Ekstremitas atas : Atrofi (-/-)

Ekstremitas bawah: atrofi (+/+)

Palpasi :

Tonus normal pada ke empat ekstremitas.

Power :

kesan hemiparesis pada ekstremitas dekstra.

Refleks

Refleks Fisiologis :

Biseps : (2+/2+)

Triseps : (2+/2+)

Platela : (2+/2+)

Achilles: (2+/2+)

Refleks Patologis:

Babinski : (+/-), chadock (-/-), openhim (-/-), clonus (-/-), hoffman thromner: (-/-),
gordon: (-/-).

6
Pemeriksaan Koordinasi: tidak dapat dievaluasi

Pemeriksaan SSO: tidak dapat dievaluasi

Pemeriksaan fungsi luhur:

Orientasi : tidak dapat dinilai

Memori : tidak dapat dinilai

Bahasa : tidak dapat dinilai

Atensi : menurun

Aktifitas sehari-hari : terganggu

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada tanggal 10 Desember 2014
Pemeriksaan darah lengkap:
Nilai Normal Interpretasi
HCT 32,9 x 106/ul 3,5-5,50x 106/ul Normal
PLT 606 DE Tinggi
WBC 14.6x 103/ul 3,5-10,0 x 103/ul Tinggi
HGB 12,8 gr/dl 11,5-16,5 gr/dl Normal
Natrium 127,12 135-145 mmol/L Rendah
mmol/L
Kalium 2.25 mmol/L 3,5 - 5,1 mmol/L rendah

HIV: Non reaktif

7
Pemeriksaan laoratorium pada tanggal 12 Desember 2014
Nilai Normal Interpretasi
Cholesterol 124 mg/dl 160–200mg/dl Normal

SGOT 52,3 u/L 3-45 u/L Tinggi


SGPT 24,4 u/L 0-35 u/L Normal

Urea 44,5 mg/dl 15 – 40 mg/dl Tinggi

Creatinin 0,6 mg/ dl 0.5 – 1.5 mg/dl Normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Brain CT Scan + Contras

Meningoencephali
tis membaik
dengan terapi

8
Foto thoraks AP

Infiltrat pada kedua


lapang paru (TB paru
(+) )

2.5 Kesimpulan
Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Lawang dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Dua
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri kepala, 4 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien demam, mual dan muntah namun makan,
minum, berbicara, masih baik. 13 jam sebeum masuk rumah sakit pasien sempat
kejang, dan sempat berbicara pelo dan mulut mencot, namun masih berespon jika
dipanggil atau diajak komunikasi, masih makan dan minum. Kejang 1 kali,< 1
menit, saat panas tinggi. 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
penurunan kesadaran, gelisah, tidak bisa berbicara dan tidak merespon jika
dipanggil atau diajak berkomunikasi. Keluhan ini baru pertamakali dialami
pasien.
Pasien memiliki riwayat trauma (cidera kepala) 3 bulan yang lalu dan tidak
terjadi penurunan kesadaran. Riwayat batuk berdahak disangkal, batuk berdarah
disangkal, riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat rutin dan obat paru disangkal.
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat batuk
berdahak atau batuk berdarah dalam keluarga dan tetangga disangkal. Menurut
anak pasien, pasien memiliki kepribadian tertutup, sehingga tidak mengeluhkan
sakit apa-apa sebelumnya. Riwayat merokok disangkal. Dari hasil pemeriksaan

9
fisik didapatkan keadaan umum: tampak sakit berat, kesadaran: delirium, GCS:
E3M5Vx. TTV: tekanan darah sistol sedikit tinggi, denyut nadi cepat
(takikardi),lemah, napas 24x/ menit, suhu normal (36,7oC). Setatus generalis :
ditemukan suara napas tambahan rhonki pada kedua lapang paru. Status
neurologis : Pupil : bulat, ishokor (+/+), RCL (+/+), RTCL (+/+) ; TRM: kaku
kuduk (+), Laseg (+/+), Kernig (+/+), pemeriksaan saraf cranial: kesan tidak ada
parese N III,V,IX-X. Pemeriksaan motorik : inspeksi : atrofi pada ke dua tungkai;
palpasi: tonus baik pada ke empat ekstremitas; power: kesan hemiparesis dextra.
Refleks fisiologis dalam batas normal, Refleks patologis : Babinski: (+/-). Fungsi
luhur : bahasa: afasia.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : PLT 606 DE : tinggi; WBC
14.6 : tinggi ; dan SGOT : 52,3 u/L : tinggi. Urea: 44,5 mg/dl : tinggi ,
Natrium : 127, 12 mmol/L :rendah, Kalium : 2.25 mmol/L : rendah.
Pada pemeriksaan penunjang Brain Ct Scan + contras : didapatkan
gambaran meningoencephalitis. Pada pemeriksaan radiologi foto thorak AP
didapatkan gambaran infiltrat pada kedua lapang paru dan menunjukan gambaran
infeksi Tuberculosis.

2.6 Diagnosis
Diagnosa klinis : meningitis, kejang, hemiparesis ekstremitas dekstra
Diagnosa anatomi : meninges dan parenkim otak
Diagnosa etiologi : infeksi TB
Diagnosis kerja : Meningoensephalitis tuberkulosa

2.7 Tatalaksana

Nonmedikamentosa :

Elevasi kepala 300

Ifvd NaCl 0,9% 20 tpm

Pasang DC

10
Pasang NGT

Medikamentosa:

Inj. Ceftriaxone 2 x 1 amp (@ 1 gram)

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (@ 50 mg)

Inj. Dexametasone 3 x 1 amp (@5mg)

2.8 Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam.

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang
mengenai selaput otak dan selaput medula spinalis yang juga disebut meningens1.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada meningen dan parenkim otak,
dimana gejalanya menunjukan gabungan dari kombinasi meningitis dan
ensefalitis.5,6.

3.2 Faktor Resiko

Faktor resiko utama untuk terjadinya meningitis yaitu respon imun tubuh
terhadap patogen spesifik yang lemah, dan terkait dengan umur. Resiko terbesar
pada bayi (usia 1-12 bulan); 95% terjadi pada usia 1 bulan dan 5 tahun. Resiko
tambahan pada individu yang memiliki kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit yang invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan bayi yang tidak mendapatkan ASI pada
umur 2-5 bulan, serta post trauma. Cara penyebarannya dapat melalui kontak
orang degan orang melalui sekret atau tetesan saluran pernapasan. 7

Pada pasien dalam kasus ini belum diketahui faktor resiko yang
meningkatkan resiko terjadinya meningitis, dari aloanamnesis dengan anak
pasien, pasien berumur 41 tahun, jenis kelamin perempuan, dan riwayat kontak
dengan individu yang beresiko tidak dapat dipastikan karena pasien dalam kondisi
penurunan kesadaran dan afasia, dari anamnesis pada anak pasien dalam keluarga
tidak ada yang memiliki riwayat batuk berdahak, batuk berdarah, namun pasien
memiliki riwayat post trauma. Pada pasien dilakukan test HIV, dan hasilnya tidak
reaktif, sehingga tidak ada penurunan sistem imun (imunokompromise).

12
3.3 Etiologi

Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti; bakteri,


jamur, virus, dan parasit.

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri atau meningitis bakterialis


merupakan infeksi purulen akut di dalam ruang subarachnoid yang sering disertai
dengan peradangan pada parenkim otak (meningoensefalitis). Prevalensinya
sebesar > 2,5 kasus per 100.000 populasi di Amerika Serikat.

Tabel 3.1 Bakteri penyebab meningitis bakterial tersering menurut usia 9

Di negara yang sedang berkembang, salah satunya Indonesia, dimana


insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) maka Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling
sering ditemukan. Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer
yang memiliki morbiditas dan mortalitas penyakit yang tinggi dan prognosisnya
buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak
diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990
morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden
meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status
sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang
menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi
TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala,
infeksi HIV dan diabetes melitus.7

13
Infeksi virus pada SSP sangat jarang terjadi, penyebab tersering adalah
virus Herpes Simpleks (HSV). 8

Jenis jamur yang menjadi penyebab infeksi sistemik yang berkomplikasi


neurologik adalah: kriptokokus, nokardia, mukomikosis, koksidiomikosis,
aktinomikosis dan aspergilus.8 Kriptokokus ini paling sering terjadi pada orang
dengan CD4 di bawah 100.

Infeksi protozoal yang dapat melibatkan susunan saraf ialah


tripanosomiasis, malaria, toksoplasmosis, malaria, toksoplasmosis dan amebiasis.8

Untuk menentukan etiologi pada penderita meningitis diperlukan anamnesis


dan pemeriksaan penunjang, misalnya lumbal pungsi, kultur darah, radiologi, dan
Ct sacan.

Pada pasien dalam kasus ini setelah dilakukan foto rontgen thorax ternyata
terdapat infiltrat pada ke dua lapang paru, yang menunjuan positif TB, menurut
hasil wawancara kepada keluarga pasien, selama ini pasien tidak ada
mengkonsumsi obat TB. Hal ini menunjukan pasien memiliki riwayat TB primer
yang tidak diobati. Oleh karena itu etiologi yang mungkin pada pasien ini adalah
bakteri Mycobacterium tuberculosis.

3.4 Patofisiologi

Meningoensephalitis etiologi utamanya adalah infeksi. Infeksi ialah invasi


dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) di dalam jaringan tubuh. Langkah
pertama infeksi yaitu invasi atau penetrasi yang berarti penembusan, pada proses
invasi berbeda-beda cara invasinya tergantung jenis kumannya. Setelah berhasil
melakukan penetrasi maka kuman akan tumbuh dan berbiak (multiplikasi)
tergantung kondisi ruang lingkupnya. Proses ini akan menimbulkan reaksi imun
tubuh dan akan menimbulkan keadaan toksemia, gejalanya : demam, gak enak
badan, anoreksia dan sebagainya (gejala prodorm). Masa penetrasi hingga
munculnya gejala prodorm disebut masa inkubasi. Jika peperangan dimenangkan
oleh kuman maka kuman akan berkembang biak lebih pesat dan berusah masuk ke

14
dalam peredaran darah sistemik. Keadaan diman kuman sudah berada dialiran
darah sistemik disebut bakteriemia. Apabila kuman menetap dan berkembang biak
di aliran darah disebut septikemia. Pada tahap ini kuman disebar ke seluruh tubuh
berikut organ-organnya dan menimbulkan kerusakan pada organ yang
bersangkutan dan menimbulkan gejala lokalisatorik.8

Toksikemia terhadap susunan saraf pusat menimbulkan gejala ; nyeri


kepala, insomnia, iritasi mental, delirium sampai koma.8

Invasi kuman ke sistem saraf pusat dapat melalui beberapa mekanisme:


perkontinuitatum (kuman yang bersarang pada mastoid melakukan invasi melalui
sutura), hematogenik ( melalui arteri intraserebral: merupkan penyabaran keotak
secara langsung), penyebaran hematogen tak langsung (arteri meningeal yang
terkena radang dulu kemudian tiba di liquor dan invasi ke dalam otak dengan
menerobos pia meter).8

Pada toksikemia dan septikemia “blood brain barier” sudah terusak sehingga
tidak berperan lagi sebagi sawar khusus.8

Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut:

Agen penyebab

Invasi ke SSP melalui darah

Bermigrasi kelapisan subarakhnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, CSS dan ventriluler

Eksudat menyebar diseluruh saraf cranial dan spinal

Kerusakan neurologis

15
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point
d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan
abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada
basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar 11.
Pada pasien terdapat keluhan nyeri kepala, demam, dan delirium yang
menunjukan bahwa terjadi toksikemia pada susunan saraf pusat. Pada pasien
ditemukan tanda rangsal meningeal positif kaku kuduk, laseg positif bilateral dan
kernig positif bilateral yang menunjukan adanya peradangan pada selaput otak.
Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila
hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan
punggung dalam sikap hiperekstensi.12

3.5 Gejala Klinik

Meingitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam,


sakit kepala dan kaku kuduk. Biasanya juga disertai dengan beberapa gejala lain
seperti; mual, muntah, fotofobia, perubahan atau penurunan kesadaran.

Meningitis bakteri

Tidak ada gambaran klinis yang khas pada meningitis bakteria. Tanda dan
manifestasi klinis bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit dirumah sebelum
diagnosis dan respon terhadap infeksi. Meningitis pada bayi baru lahir dan
prematur sangat sulit untuk didiagnosis, gambaran klinis sagat kabur dan tidak
khas. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah,
kesadaran menurun, ubun-bun besar, tegang dan menonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis.

Pada dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik.


Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil dan nyeri kepala. Kadang
gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku, penurunan
kesadaran seperti delirium, stupor, koma. Tanda klinis yang dapat dijumpai tanda
rangsang meningeal positif ; kaku kuduk, laseg, kernig, tanda brudzinski.7

16
Meningitis tuberkulosis

Gejala timbulnnya perlahan, meskipun selaput otak sudah terinfeksi. Dibagi


menjadi stadium prodormal : stadium iritasi selaput otak, perlahan, tanpa panas,
atau hanya kenaikan suhu ringan, jarang terjadi akut dan panas tinggi. Pada anak
anak menjadi apatis, dan tidurnya sering terganggu. Pada dewasa, nyeri kepala,
malaise, anoreksia, mual, muntah. Belum tampak manifestasi neurologis. Stadium
transisi: prodormal disusul dengan transisi biasanya kejang, gejala menjadi lebih
berat dan muncul tanda rangsang meninngeal, suhu tubuh menjadi lebih tinggi,
defisit neurologis fokal, paresis nervus cranial, kesadaran lebih menurun, gerakan
involunter. Stadium terminal, berupa kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam,
pupil melebar dan tidak bereaksi. Nadi dan nafas cepat, dan tidak teratur.7

Meningitis TBC ada tiga tahapan penyakit11:

Tahap 1,

status mental atau iritabilitas masih normal.

Tahap 2

Pasien letargi atau ada perubahan perilaku

Meningeal Sign positif dan mungkin sudah

ada paresis saraf kranial.

Tahap 3

Pasien stupor atau koma

Pada kebanyakan kasus pada meningitis tuberkulosa juga melibatkan


korteks serebri dan batang otak. Hemiplagia, afasia dan lain-lain manifestasi
ensefalomalasia regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis
pembuluh darah. Jika pleksus koroideus terkena, maka produksi liquor sangat
besar dan hidreosefalus komunikans akan berkembang, terjadi atrofi jaringan

17
otak. Keadaan ini yang mendasari adanya gejala sisa yang berupa demensia dan
perubahan watak.8

Meningitis viral

Gejala biasanya tidak seberat meningitis bakteri, gejalanya mirip dengan


sakit flu biasa dan dapat sembuh tanpa pengobatan yang spesifik.7

Dari gejala yang dialami oleh pasien, terdapat trias meningitis: onset yang
jelas dari nyeri kepala, demam dan tanda rangsang meningeal (+). Pasien
mengeluhkan nyeri kepala sejak 2 minggu SMRS disertai mual dan muntah
(stadium prodormal), kemudian demam tinggi selama 4 hari SMRS, kemudian
kejang, terjadi defisit neurologi fokal: afasia, paresis pada tungkai kanan dan
terjadi penurunan kesadaran (stadium transisi). Perjalanan penyakit lebih dari 6
hari, dan perlahan serta progresif, sesuai dengan gejala pada meningoensephalitis
tuberkulosa dan masuk dalam tahap 2.

3.6 Pemeriksaan Penunjang

A. Pungsi Lumbal

Indikasi : kejang (twitching), paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma,
ubun-ubun besar menonjol, kaku kuduk dengan kesadaran menurun, TBC milier,
Leukemia, mastoiditis yang dicurigai meningitis, sepsis.

Tabel 3.1 Analisis CSS

18
B. Pemeriksaan Radiologi

X-Foto dada: untuk mencari kausa meningitis.

CT Scan kepala : dilakukan bila terdapat tanda-tanda kenaikan tekanan


intrakranial dan lateralisasi.

C. Pemeriksaan lain.

a. Darah: LED, leukosit, hitung jenis, biakan

b. Air seni : biakan

c. Uji tuberkulin

d. Biakan cairan lambung

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, PLT : 606 DE : tinggi ,
WBC :14.6 : tinggi menunjukan adanya proses infeksi , dan dilakukan CT Scan
didapatkan gambaran meningoencephalitis, dan pada foto rontgen thorax
didapatkan gambaran infiltrat/ TB paru (+) sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami Meningoensephalitis Tuberkulosa.

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada meningitis disesuaikan dengan etiologi.

Pada kasus ini pasien didiagnosis meningoensephalitis tuberkulosa. The


British Thoraric Society (BTS) merekomendasikan pengobatan pada MT
(meningitis tuberculosa) mengikuti model TB paru fase intensif dengan
pemberian 4 obat diikuti dengan 2 obat fase lanjutan. Jika diagnosis dini MT
meragukan dapat diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya seftriaxone 2 x 2
gram).9

Bila pungsi lumbal tidak dapat segera dilakukan,dapat dilakukan


pengambilan darah untuk kultur sebelum penggunaan antibiotik. Pungsi umbal
sebaiknya dilakukan sebelum atau dalam waktu 2 jam setelah pemberian

19
antibiotik. Evaluasi klinis sebaiknya dilakukan selama 48 jam dan sebaiknya
dilakukan pungsi lumbal kedua, setelah pemberian antibiotik spektrum luas dalam
48 jam lakukaan evaluasi untuk kemungkinan diagnosis MT. Pasien kemungkinan
didiagnosis MT jika: riwayat nyeri >7 hari, neutrofil darah <80%, Neutrofil CSS
<80% dan peningkatan perbandingan glukosa di CSS/ darah >100%.9

Obat Dosis Harian Lama pemberian


Anak Dewasa
Isoniazid 5 mg/kg 300 mg 9-12 bulan
Rifampisin 20 mg/kg 450 mg (<50kg) 9-12 bulan
600 mg (>50kg)
Pirazinamid 35 mg/kg 1500 mg (<50 kg) 2 bulan
2000 mg(>50 kg)
Etambutol 15 mg/kg 15 mg/kg 2 bulan
Streptomisin 15 mg/kg 15 mg/kg 2 bulan

Penggunaan steroid masih kotroversial, namun beberapa penelitian terakhir


menunjukan peranan yang positif. Pemberian deksametasone pada MT derajat 2
dan 3 tanpa infeksi HIV mengurangi risiko kematian namun tidak mengurangi
disabilitas berat pada pasien yang masih bertahan hidup. Cara pemberian
deksametasone: minggu I: 0,4 mg/kg /hari, minggu ke II: 0,3 mg/kg/hari, minggu
ke III: 0,2 mg/kg/hari, minggu IV: 0,1 mg/kg/hari, dilanjutkan dengan terapi
deksametasone oral selama 4 minggu , dimulai dengan dosis 4 mg/kg/hari dan
kemudian diturunkan 1 mg/minggu.9

British medical Research membagi derajat keparahan Meningoensephalitis


TB menjadi tiga kelompok, yaitu derajat 1: pasien sadar dan orientasinya baik
tanpa adanya defisit neurologis fokal, 2. Derajat II; pasien dengan GCS 10-14,
dengan atau tanpa defisit neurologis fokal atau GCS 15 dengan defisit neurologis
fokal. Derajat 3; GCS kurang dari 10 dengan atau tanpa defisit neurologis fokal.9

20
Pada pasien ini pada hari pertama masuk rumah sakit diberikan terapi: Inj.
Ceftriaxone 2 x 1 vial (1gr) , Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (25 mg/ml @ 2ml), dan Inj.
Dexametasone 3 x 1 amp (@0,5mg). Pemberian jenis obat sudah tepat,
Ceftriaxone digunakan sebagai antibiotik spektrum luas, karena pada hari pertama
pasien datang belum diketahui etiologi dari infeksinya maka diberikan antibiotik
spektrum luas terlebih dahulu, namun jika dari dosis yang diberikan menurut
referensi belum tepat , seharusnya diberikan dosis 2x 2 vial (2 gram). Ranitidin
diberikan sebagai antihistamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi lambung,
dexametasone diberikan untuk anti inflamasi untuk mengurangi gejala neurologis.

Hari kedua diberikan terapi yang sama dan dosis ceftriaxone dinaikkan
menjadi 2x 2 gram, Inj. Dexametason loading 10 mg iv lanjut 6 jam: 4x5 mg iv,
dan ranitidin 2x1 ampul.

Hari ketiga dan keempat mendapat pengobatan yang sama, namun


ditambahkan paracetamol 3x1 tab dan alprazolam 1x0,25 mg (0-0-1), karena
pasien mengeluhkan susah tidur.

Hari ke lima pasien mengeluhkan masih susah tidur, alprazolam dinaikkan


dosisnya menjadi 1x 0,5 mg (0-0-1) dan mendapat terapi tambahan KSR 3x 1 tab
(@ tablet 600 mg) karena pada pemeriksaan laboratorium nilai natrium dan
kaliumnya rendah dan untuk mencegah hipokalemia, dan dikonsulkan ke penyakit
dalam untuk terapi TB, karena hasil foto rontgen thorax menunjukan positif TB
paru.

Hari ke enam hingga hari ketujuh masih diberikan terapi yang sama dan
terapi OAT dari Sp.Pd, pada hari ke tujuh pasien demam tingggi hingga 450 C dan
kondisinya kembali memburuk.

Untuk terapi non medikamentosa diberikan terapi cairan ; Nacl 0,9% 20 tpm
untuk memelihara hidrasi cairan tubuh, karena kondisi pasien yang menurun
kesadarannya dan tidak memungkinkan untuk beraktifitas sendiri maka perlu
dilakukan pemasangan kateter urin , dan pemasangan NGT. Karena pasien akan

21
tirah baring dalam jangka waktu yang agak lama maka perlu dilakukan mobilisasi
dengan memiringkan pasien ke sisi kanan dan kiri secara bergantian untuk
menghindari terjadinya luka dekubitus.

22
BAB IV
KESIMPULAN

Ny. In, 41 tahun mengalami meningoencephalitis tuberkulosa, akibat


komplikasi dari penyebaran TB paru primer yang belum mendapat terapi.
Tatalaksana pada pasien ini mengikuti pengobatan TB paru fase intensif dengan
pemberian 4 obat diikuti dengan 2 obat fase lanjutan dan perlu dikonsulkan ke
Spesialis penyakit dalam, dan untuk terapi awal dapat deberikan ceftriaxone 2 x 2
gram, dan diberikan steroid : deksametasone: minggu I: 0,4 mg/kg /hari, minggu
ke II: 0,3 mg/kg/hari, minggu ke III: 0,2 mg/kg/hari, minggu IV: 0,1 mg/kg/hari,
dilanjutkan dengan terapi deksametasone oral selama 4 minggu , dimulai dengan
dosis 4 mg/kg/hari dan kemudian diturunkan 1 mg/minggu. Untuk terapi non
medikamentosa diberikan terapi cairan Nacl 0,9% 20 tpm, pemasangan kateter
urin , pemasangan NGT, dan mobilisasi dengan memiringkan pasien ke sisi kanan
dan kiri secara bergantian untuk menghindari terjadinya luka dekubitus.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman, Nelson Textbook of Pediatrics, Chapter 602 Central Nervous


System Infectio, 18th ed.
2. Bell WE,Mc.Cormic WF. Neurologic Infections in Childrens, Ed 3.
Philadelphia: WB Saunders Co, 1984: 20.
3. .T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L
Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an
investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro
Surveill. 2013; 18(12) 20436.
4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosa. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3.
Media Aesculapus FKUI. Jakarta: 200. H.11
5. Balentine,J.2010. Encephalitis and meningitis: http://www.medicine.com.
6. Prober CG. 2004. Central Nervous System Infection. Dalam:
Behrman,dkk., Nelson Textbook of Pediatric.Ed-17. Philadelphia: Elveisier
Vounder.
7. Fenichel GM., 2005. Clinical Pedietric Neurology.5th ed, Philadelphia:
Elveisier Vounder. H.106-13.
8. Mardjono,M., dan Priguna,S.,2003. Neurologi Klinik Dasar, Jakarta: Dian
Rakyat.
9. Dewanto,G.,dkk.2009. Diagnosis dan tatalaksana Penyakit Syaraf. Jakarta :
EGC
10. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine.
2009. available in : http://www.medscapeemedicine.com/meningitis.
11. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot
William and Wilkins. 2004.h.443.
12. Lumbantobing. 2005. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : FKUI.

24

Anda mungkin juga menyukai