PENDAHULUAN
Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang
mengenai selaput otak dan selaput medula spinalis yang juga disebut meningens.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada meningen dan parenkim otak,
dimana gejalanya menunjukan gabungan dari kombinasi meningitis dan
ensefalitis. Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme; bakteri,
jamur, virus, dan parasit1. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran
darah dari bagian lain dari tubuh atau secara langsung (perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak).2
Faktor resiko utama untuk terjadinya meningitis yaitu respon imun tubuh
terhadap patogen spesifik yang lemah, dan terkait dengan umur. Resiko terbesar
pada bayi (usia 1-12 bulan); 95% terjadi pada usia 1 bulan dan 5 tahun. Resiko
tambahan pada individu yang memiliki kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit yang invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan bayi yang tidak mendapatkan ASI pada
umur 2-5 bulan, serta post trauma.
1
BAB II
PENYAJIAN KASUS
Pasien bernama Ny. In, jenis kelamin perempuan, usia 16 tahun, agama
kristen, status sudah menikah, pekerjaan swasta, alamat di pemukiman Sendarong,
kelurahan sendarong. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 22 juni 2018 Pukul
00.15 WIB.
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
2
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien memiliki riwayat trauma (cidera kepala) 3 bulan yang lalu dan tidak terjadi
penurunan kesadaran, sembuh tanpa berobat di RS. Riwayat batuk berdahak disangkal,
batuk berdarah disangkal, riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat rutin dan obat paru disangkal.
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat batuk
berdahak atau batuk berdarah dalam keluarga dan tetangga disangkal. Hipertensi
dan Kencing manis disangkal.
Riwayat Psikososial:
Tanda-tanda vital
Status generalis
3
Kepala :simetris, normocephali, rambut hitam, tidak mudah tercabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), diameter pupil 3mm
(+/+), RCL (+/+), RTCL(+/+)
Mulut :sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1, faring tidak hiperemis.
Thorak
Paru
Palpasi : massa(-), nyeri tekan (-), vocal premitus : tidak dapat dinilai.
Jantung
Palpasi :Ictus Cordis teraba di SIC 5, kurang lebih 1 jari medial dari linea
midklavikula sinistra
4
Auskultasi : BJ I/II murni, galop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, simetris, tidak ada massa, tidak ada venektasi
Status Neurologis
Laseg : (+/+)
Kernig : (+/+)
Bruzinski 1 : (-)
Bruzinski 2 : (-)
5
N. V : Refleks kornea (+/+). Kesan tidak ada parase N V
N.IX-X : refleks muntah (+), refleks menelan (+). Kesan tidak ada parase
N. IX-X.
Pemeriksaan Motorik
Inspeksi :
Palpasi :
Power :
Refleks
Refleks Fisiologis :
Biseps : (2+/2+)
Triseps : (2+/2+)
Platela : (2+/2+)
Achilles: (2+/2+)
Refleks Patologis:
Babinski : (+/-), chadock (-/-), openhim (-/-), clonus (-/-), hoffman thromner: (-/-),
gordon: (-/-).
6
Pemeriksaan Koordinasi: tidak dapat dievaluasi
Atensi : menurun
7
Pemeriksaan laoratorium pada tanggal 12 Desember 2014
Nilai Normal Interpretasi
Cholesterol 124 mg/dl 160–200mg/dl Normal
Meningoencephali
tis membaik
dengan terapi
8
Foto thoraks AP
2.5 Kesimpulan
Pasien datang dibawa oleh keluarganya ke IGD RSUD Lawang dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Dua
minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri kepala, 4 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien demam, mual dan muntah namun makan,
minum, berbicara, masih baik. 13 jam sebeum masuk rumah sakit pasien sempat
kejang, dan sempat berbicara pelo dan mulut mencot, namun masih berespon jika
dipanggil atau diajak komunikasi, masih makan dan minum. Kejang 1 kali,< 1
menit, saat panas tinggi. 5 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami
penurunan kesadaran, gelisah, tidak bisa berbicara dan tidak merespon jika
dipanggil atau diajak berkomunikasi. Keluhan ini baru pertamakali dialami
pasien.
Pasien memiliki riwayat trauma (cidera kepala) 3 bulan yang lalu dan tidak
terjadi penurunan kesadaran. Riwayat batuk berdahak disangkal, batuk berdarah
disangkal, riwayat hipertensi dan kencing manis disangkal. Riwayat
mengkonsumsi obat rutin dan obat paru disangkal.
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama. Riwayat batuk
berdahak atau batuk berdarah dalam keluarga dan tetangga disangkal. Menurut
anak pasien, pasien memiliki kepribadian tertutup, sehingga tidak mengeluhkan
sakit apa-apa sebelumnya. Riwayat merokok disangkal. Dari hasil pemeriksaan
9
fisik didapatkan keadaan umum: tampak sakit berat, kesadaran: delirium, GCS:
E3M5Vx. TTV: tekanan darah sistol sedikit tinggi, denyut nadi cepat
(takikardi),lemah, napas 24x/ menit, suhu normal (36,7oC). Setatus generalis :
ditemukan suara napas tambahan rhonki pada kedua lapang paru. Status
neurologis : Pupil : bulat, ishokor (+/+), RCL (+/+), RTCL (+/+) ; TRM: kaku
kuduk (+), Laseg (+/+), Kernig (+/+), pemeriksaan saraf cranial: kesan tidak ada
parese N III,V,IX-X. Pemeriksaan motorik : inspeksi : atrofi pada ke dua tungkai;
palpasi: tonus baik pada ke empat ekstremitas; power: kesan hemiparesis dextra.
Refleks fisiologis dalam batas normal, Refleks patologis : Babinski: (+/-). Fungsi
luhur : bahasa: afasia.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : PLT 606 DE : tinggi; WBC
14.6 : tinggi ; dan SGOT : 52,3 u/L : tinggi. Urea: 44,5 mg/dl : tinggi ,
Natrium : 127, 12 mmol/L :rendah, Kalium : 2.25 mmol/L : rendah.
Pada pemeriksaan penunjang Brain Ct Scan + contras : didapatkan
gambaran meningoencephalitis. Pada pemeriksaan radiologi foto thorak AP
didapatkan gambaran infiltrat pada kedua lapang paru dan menunjukan gambaran
infeksi Tuberculosis.
2.6 Diagnosis
Diagnosa klinis : meningitis, kejang, hemiparesis ekstremitas dekstra
Diagnosa anatomi : meninges dan parenkim otak
Diagnosa etiologi : infeksi TB
Diagnosis kerja : Meningoensephalitis tuberkulosa
2.7 Tatalaksana
Nonmedikamentosa :
Pasang DC
10
Pasang NGT
Medikamentosa:
2.8 Prognosis
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang
mengenai selaput otak dan selaput medula spinalis yang juga disebut meningens1.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada meningen dan parenkim otak,
dimana gejalanya menunjukan gabungan dari kombinasi meningitis dan
ensefalitis.5,6.
Faktor resiko utama untuk terjadinya meningitis yaitu respon imun tubuh
terhadap patogen spesifik yang lemah, dan terkait dengan umur. Resiko terbesar
pada bayi (usia 1-12 bulan); 95% terjadi pada usia 1 bulan dan 5 tahun. Resiko
tambahan pada individu yang memiliki kontak erat dengan individu yang
menderita penyakit yang invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan bayi yang tidak mendapatkan ASI pada
umur 2-5 bulan, serta post trauma. Cara penyebarannya dapat melalui kontak
orang degan orang melalui sekret atau tetesan saluran pernapasan. 7
Pada pasien dalam kasus ini belum diketahui faktor resiko yang
meningkatkan resiko terjadinya meningitis, dari aloanamnesis dengan anak
pasien, pasien berumur 41 tahun, jenis kelamin perempuan, dan riwayat kontak
dengan individu yang beresiko tidak dapat dipastikan karena pasien dalam kondisi
penurunan kesadaran dan afasia, dari anamnesis pada anak pasien dalam keluarga
tidak ada yang memiliki riwayat batuk berdahak, batuk berdarah, namun pasien
memiliki riwayat post trauma. Pada pasien dilakukan test HIV, dan hasilnya tidak
reaktif, sehingga tidak ada penurunan sistem imun (imunokompromise).
12
3.3 Etiologi
13
Infeksi virus pada SSP sangat jarang terjadi, penyebab tersering adalah
virus Herpes Simpleks (HSV). 8
Pada pasien dalam kasus ini setelah dilakukan foto rontgen thorax ternyata
terdapat infiltrat pada ke dua lapang paru, yang menunjuan positif TB, menurut
hasil wawancara kepada keluarga pasien, selama ini pasien tidak ada
mengkonsumsi obat TB. Hal ini menunjukan pasien memiliki riwayat TB primer
yang tidak diobati. Oleh karena itu etiologi yang mungkin pada pasien ini adalah
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
3.4 Patofisiologi
14
dalam peredaran darah sistemik. Keadaan diman kuman sudah berada dialiran
darah sistemik disebut bakteriemia. Apabila kuman menetap dan berkembang biak
di aliran darah disebut septikemia. Pada tahap ini kuman disebar ke seluruh tubuh
berikut organ-organnya dan menimbulkan kerusakan pada organ yang
bersangkutan dan menimbulkan gejala lokalisatorik.8
Pada toksikemia dan septikemia “blood brain barier” sudah terusak sehingga
tidak berperan lagi sebagi sawar khusus.8
Agen penyebab
Kerusakan neurologis
15
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point
d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan
abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada
basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar 11.
Pada pasien terdapat keluhan nyeri kepala, demam, dan delirium yang
menunjukan bahwa terjadi toksikemia pada susunan saraf pusat. Pada pasien
ditemukan tanda rangsal meningeal positif kaku kuduk, laseg positif bilateral dan
kernig positif bilateral yang menunjukan adanya peradangan pada selaput otak.
Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila
hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan
punggung dalam sikap hiperekstensi.12
Meningitis bakteri
Tidak ada gambaran klinis yang khas pada meningitis bakteria. Tanda dan
manifestasi klinis bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit dirumah sebelum
diagnosis dan respon terhadap infeksi. Meningitis pada bayi baru lahir dan
prematur sangat sulit untuk didiagnosis, gambaran klinis sagat kabur dan tidak
khas. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah,
kesadaran menurun, ubun-bun besar, tegang dan menonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis.
16
Meningitis tuberkulosis
Tahap 1,
Tahap 2
Tahap 3
17
otak. Keadaan ini yang mendasari adanya gejala sisa yang berupa demensia dan
perubahan watak.8
Meningitis viral
Dari gejala yang dialami oleh pasien, terdapat trias meningitis: onset yang
jelas dari nyeri kepala, demam dan tanda rangsang meningeal (+). Pasien
mengeluhkan nyeri kepala sejak 2 minggu SMRS disertai mual dan muntah
(stadium prodormal), kemudian demam tinggi selama 4 hari SMRS, kemudian
kejang, terjadi defisit neurologi fokal: afasia, paresis pada tungkai kanan dan
terjadi penurunan kesadaran (stadium transisi). Perjalanan penyakit lebih dari 6
hari, dan perlahan serta progresif, sesuai dengan gejala pada meningoensephalitis
tuberkulosa dan masuk dalam tahap 2.
A. Pungsi Lumbal
Indikasi : kejang (twitching), paresis atau paralisis termasuk paresis N. VI, koma,
ubun-ubun besar menonjol, kaku kuduk dengan kesadaran menurun, TBC milier,
Leukemia, mastoiditis yang dicurigai meningitis, sepsis.
18
B. Pemeriksaan Radiologi
C. Pemeriksaan lain.
c. Uji tuberkulin
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, PLT : 606 DE : tinggi ,
WBC :14.6 : tinggi menunjukan adanya proses infeksi , dan dilakukan CT Scan
didapatkan gambaran meningoencephalitis, dan pada foto rontgen thorax
didapatkan gambaran infiltrat/ TB paru (+) sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami Meningoensephalitis Tuberkulosa.
3.7 Penatalaksanaan
19
antibiotik. Evaluasi klinis sebaiknya dilakukan selama 48 jam dan sebaiknya
dilakukan pungsi lumbal kedua, setelah pemberian antibiotik spektrum luas dalam
48 jam lakukaan evaluasi untuk kemungkinan diagnosis MT. Pasien kemungkinan
didiagnosis MT jika: riwayat nyeri >7 hari, neutrofil darah <80%, Neutrofil CSS
<80% dan peningkatan perbandingan glukosa di CSS/ darah >100%.9
20
Pada pasien ini pada hari pertama masuk rumah sakit diberikan terapi: Inj.
Ceftriaxone 2 x 1 vial (1gr) , Inj. Ranitidin 2 x 1 amp (25 mg/ml @ 2ml), dan Inj.
Dexametasone 3 x 1 amp (@0,5mg). Pemberian jenis obat sudah tepat,
Ceftriaxone digunakan sebagai antibiotik spektrum luas, karena pada hari pertama
pasien datang belum diketahui etiologi dari infeksinya maka diberikan antibiotik
spektrum luas terlebih dahulu, namun jika dari dosis yang diberikan menurut
referensi belum tepat , seharusnya diberikan dosis 2x 2 vial (2 gram). Ranitidin
diberikan sebagai antihistamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi lambung,
dexametasone diberikan untuk anti inflamasi untuk mengurangi gejala neurologis.
Hari kedua diberikan terapi yang sama dan dosis ceftriaxone dinaikkan
menjadi 2x 2 gram, Inj. Dexametason loading 10 mg iv lanjut 6 jam: 4x5 mg iv,
dan ranitidin 2x1 ampul.
Hari ke enam hingga hari ketujuh masih diberikan terapi yang sama dan
terapi OAT dari Sp.Pd, pada hari ke tujuh pasien demam tingggi hingga 450 C dan
kondisinya kembali memburuk.
Untuk terapi non medikamentosa diberikan terapi cairan ; Nacl 0,9% 20 tpm
untuk memelihara hidrasi cairan tubuh, karena kondisi pasien yang menurun
kesadarannya dan tidak memungkinkan untuk beraktifitas sendiri maka perlu
dilakukan pemasangan kateter urin , dan pemasangan NGT. Karena pasien akan
21
tirah baring dalam jangka waktu yang agak lama maka perlu dilakukan mobilisasi
dengan memiringkan pasien ke sisi kanan dan kiri secara bergantian untuk
menghindari terjadinya luka dekubitus.
22
BAB IV
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24