Kunci Surga
Kunci Surga
Kata Imam Ali bin Abi Thalib "Ada enam perkara yang menjadikan seseorang tidak
akan pernah lelah mengejar surga dan lari agar terhindar dari azab neraka. Pertama:
mengenal Allah SWT. Kedua: Mengenal setan. Ketiga: mengenal akhirat. Keempat:
Mengenal dunia. Kelima: Mengenal kebenaran. Keenam: Mengenal kebatilan."
(An¬Nawawi al-jawi, Nusha'ih al-lbad, 44-45).
Mengenal dunia maknanya adalah seseorang memahami bahwa dunia adalah negeri
yang fana (sementara). Karena itu, dia pun akan "menolak" dunia, tidak mengambil
dunia (harta), kecuali sekadar untuk bekal di kehidupan akhirat.
Mengenal kebenaran maknanya adalah seseorang memahami hal-hal yang benar yang
ditunjukkan oleh syariah Islam, kemudian ia mengamalkannya.
Mengenal kebatilan maknanya adalah seseorang memahami hal-hal yang salah yang
ditunjukkan oleh syariah Islam, kemudian dia menjauhinya.
Menurut Imam an-Nawawi, keenam perkara ini merupakan kunci pembuka pintu-
pintu surga dan penutup pintu-pintu neraka. Pertanyaannya: Sudahkah keenam
perkara itu benar-benar kita kenali atau kita pahami, khususnya dalam posisi kita
sebagai pengemban dakwah? jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak cukup hanya
klaim di lisan. Kita harus bisa menghadirkan bukti atas klaim itu dalam amal
perbuatan. Lalu apa buktinya? Sebagaimana terpapar di atas, bukti bahwa kita sudah
mengenal dan memahami keenam perkara di atas juga ada enam:
Pertama: Kita selalu menaati Allah SWT. Saat Allah mewajibkan kita berdakwah,
misalnya, kita pun, giat berdakwah, tanpa pernah mengenal rasa lelah. jika kita baru
berdakwah kalau ada taklif dakwah, dan kalau tidak ada taklif dakwah kita pun
berpangku tangan, pada dasarnya kita belum sepenuhnya menaati Allah SWT.
Kedua: Kita selalu berusaha untuk menentang setan, tidak menuruti perintahnya. jika
kita bermalas-malasan dan ogah-ogahan dalam menuntut ilmu atau berdakwah,
misalnya, pada hakikatnya kita sedang memperturutkan perintah setan. Sebab, hanya
setan yang mengajak kita, untuk tidak menuntut ilmu dan mengabaikan atau
meninggalkan dakwah.
Keempat: Kita tidak dilalaikan oleh kesibukkan mengejar dunia (harta), kecuali
sekadar untuk bekal bagi kehidupan akhirat. Hal ini sesungguhnya tidak berkaitan
dengan kaya atau miskinnya seseorang. Sebab, bukan hanya kekayaan, kemiskinan
pun bisa menjadikan seseorang terlalaikan dari mempersiapkan bekal untuk akhirat.
Banyak orang yang diperbudak oleh kekayaannya. Namun, tak sedikit pula yang
diperbudak oleh kemiskinannya. Tidak jarang, baik yang kaya ataupun yang miskin,
yang tersibukkan oleh kekayaan atau kemiskinannya sehingga melupakan ibadahnya
kepada Allah SWT. Bagi seorang pengemban dakwah, salah satu bukti bahwa dia
tidak tersibukkan oleh dunia, pembicaraan utamanya bukanlah urusan harta.
Pembicaraan utamanya tetaplah dakwah. Bagi dia, pembicaraan tentang bagaimana
menyebarkan opini Islam, melakukan kontak-kontak dakwah, atau memperbanyak
kader-kader dakwah adalah lebih menarik daripada membicarakan bagaimana
mencari tambahan. penghasilan pribadi atau meningkatkan kekayaan perusahaan.
Pembicaraan utamanya tentang harta hanyalah dari sisi seberapa besar harta yang dia
miliki itu — baik dia kaya ataupun tidak — yang diinfakkan untuk kepentingan
dakwah.
Kelima: Kita selalu berusaha untuk mengamalkan kebenaran yang sudah kita pahami.
jlka kita sudah paham bahwa menegakkan syariah dan Khilafah adalah kewajiban
yang harus diperjuangkan, maka tak ada alasan bagi kita untuk berleha-leha dalam
mengamalkan kewajiban ini. Artinya, perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah
akan tetap kita lakukan secara istiqamah hingga akhir hayat, selama syariah dan
Khilafah itu belum tegak