UHT Kelas 7 Bahasa Inggris Semester 1
UHT Kelas 7 Bahasa Inggris Semester 1
Abstrak
Itsbat nikah merupakan penetapan ulang terhadap pernikahan
yang sudah dilakukan, karena adanya keraguan terhadap
keabsahan pernikahan tersebut, atau keberadaan pernikahan
itu tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik (akta nikah),
sehingga yang bersangkutan mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama agar pernikahannya dapat
dikukuhkan/disahkan, dan untuk selanjutnya dapat dibuatkan
akta nikah bersangkutan. Itsbat nikah atau pengesahan nikah
merupakan salah satu perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama .Dengan adanya lembaga itsbat nikah ini
merupakan sebagai pencegah agar tidak terjadi kekurangan
dan penyimpangan rukun dan syarat pernikahan baik menurut
syara’ maupun perundang-undangan, keduanya harus
diperhatikan, baik aspek hukum fiqh maupun aspek hukum
perdatanya.
A. Konsep Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Secara etimologi pengertian pernikahan sebagaimana tersebut dalam
“Al Misbahul Munir” yang dikutip oleh KH. Ibrahim Hosen, adalah berasal
dari bahasa Arab yakni “nikah” yang berarti “berkumpul atau menindas”.1
Sementara dalam kamus al Munawwir kata النكاحdan الزواجadalah sama
artinya, yaitu nikah atau kawin.2
Pengertian pernikahan secara terminologi, ada beberapa pendapat,
antara lain menurut :
Penulis adalah Dosen STAI Darussalam Martapura
1
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jilid I, (Jakarta; Balai Penerbit dan
Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumuddin Indonesia, 1971), h. 65.
2
A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab Indonesia, edisi ke-2, (Yogyakarta;
Pustaka Progessif, 1984), h. 1461.
109
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
110
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
6
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 354.
7
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama; Tinjauan dari UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, (Jakarta; Dian Rakyat, 1986), h. 19.
111
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
sangat kuat atau mitsaqan dhalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.8
Apabila kita cermati antara pengertian pernikahan yang dirumuskan
oleh UU No. 1/1974 dan Pasal 2 KHI tersebut di atas, substansinya tidak
jauh berbeda, karena pengertian perkawinan menurut KHI merupakan
penegasan dari apa yang telah dirumuskan oleh UU No.1/1974.
Dari beberapa pengertian pernikahan menurut pendapat para pakar
hukum, ahli ushul, ulama fiqh, UU No.1/1974 dan KHI di atas, apabila
dipahami secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
pengertian yang bersifat prinsipil mengenai pengertian pernikahan itu
sendiri, dan jika memang terdapat perbedaan, tetapi terdapat satu unsur
kesamaan dari seluruh pendapat, bahwa nikah merupakan suatu “perjanjian
perikatan” antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, perjanjian yang
dimaksud di sini tentunya bukanlah perjanjian seperti jual beli atau sewa
menyewa, tetapi perjanjian suci untuk membangun keluarga antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
suci di sini dimaksudkan sebagai penegas dari segi keagamaan suatu
pernikahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian pernikahan
adalah melakukan suatu perjanjian (aqad) untuk mengikatkan diri antara
seorang pria dan wanita untuk memperoleh legitimasi kehalalan hubungan
seksual kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu mahligai rumah tangga yang bahagia,
didasari rasa kasih saying dan ketentraman dengan cara-cara yang telah
digariskan oleh Syari’at Islam.
8
Ibrahim Hosen, Op. Cit., h. 65.
112
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
9
A. Zuhdi Mudlor, Memahami Hukum Perkawinan, Bandung; Al Bayan, 1994, h.
53.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh H.S.A. Al Hamdani, yang membagi
rukun nikah menjadi lima unsur pokok. Lihat Ustadz Said Thalib Al Hamdani, Risalatun
Nikah, cet. ke-3, (Terj.) Agus Salim dalam Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta; Pustaka Amani, 1989, h. 30.
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, cet. ke-25 Jakarta; Attahitiyah Jatinegara, 1992, h.
354.
11
KHI. h. 18.
113
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
12
A. Zuhdi Mudlor, Op. Cit., hal. 52. Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Asmin, Lihat Asmin, Op. Cit., h. 32. Sementara menurut Al Hamdani syarat-syaratnya
antara lain: Bukan mahram dari calon isteri, tidak terpaksa, orangnya jelas, dan tidak
sedang menjalankan ihram haji/umrah. Lihat Al Hamdani, Op. Cit., h. 30.
13
H.S.A. Al Hamdani, Ibid, h. 30.
Menurut Asmin : 1) Beragama Islam, 2) Terang perempuannya (bukan banci), 3)
Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya, 4) Tidak bersuami, dan tidak
dalam masa iddah, 5) Bukan mahram bakal suami, 6) Belum pernah dili’an (sumpah li’an)
oleh bakal suaminya, 7) Terang orangnya, 8) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
Lihat Asmin, Op. Cit., h. 33.
Menurut A. Zuhdi Mudlor : 1) Beragama Islam (dulu termasuk ahli Kitab), 2)
Perempuan (bukan banci), 3) Tertentu/jelas orangnya, 4) Dapat dimintai persetujuan, 5)
Tidak terkena halangan pernikahan, 6) Di luar iddah (bagi Janda), 7) Tidak sedang
mengerjakan haji atau umrah. Lihat A. Zuhdi Mudlor, Op. Cit., h. 52.
114
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
14
Asmin, Op. Cit., h. 32-33. Soemiyati, secara lengkap merinci dan menguraikan
larangan-larangan nikah berikut sebab-sebab wanita haram untuk dinikahi. Soemiyati, Op.
Cit., h. 31-38.
15
Moh.Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang; CV. Toha Putra, 1978, h.
457.
115
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
16
Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya
(ditinjau dari segi hukum Islam), Bandung; Alumni, 1981, h. 34.
17
Ibid, h. 36.
18
Soemiyati, Op, Cit., h. 43.
Menurut A. Zuhdi Mudlor, Syarat-syarat wali nikah, adalah: 1) Beragama Islam,
2) laki-laki, 3) adil (tidak fasiq), 4) Mempunyai hak atas perwaliannya, 5) Tidak terkena
halangan untuk menjadi wali, 6) Tidak sedang mengerjakan haji atau umrah. A.Zuhdi
Mudlor, Op.Cit. h. 52.
Menurut Sulaiman Rasyid, Syarat-syarat wali nikah ialah : 1) Islam, 2) baligh,
sudah berumur minimal 15 tahun, 3) berakal, 4) laki-laki, 5) Adil. Sulaiman Rasyid, Op.
Cit., h. 364.
116
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
dua orang saksi.19 Oleh karena itu, kehadiran saksi dalam aqad nikah
mutlak diperlukan, sebab bila suatu pernikahan tanpa dihadiri saksi,
pernikahannya dapat dibatalkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26
UU No. 1/1974 yang berbunyi :
"Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat
Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh pihak keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa dan suami isteri".20
19
KHI Pasal 24, h. 23.
20
Op. Cit., Aswadie Syukur, h. 47.
21
Op.Cit., KHI, h. 23.
22
Op. Cit., Soemiyati, , h. 53.
23
Op. Cit., Sayuti Thalib, h. 63.
117
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
Apabila salah satu pihak masih kecil atau ada yang gila
maka pernikahannya tidak sah.
2) Ijab Kabul dilaksanakan dalam satu majelis.
3) Artinya ketika mengucapkan ijab kabul tersebut tidak boleh
diselingi dengan kata-kata lain. Ulama fiqih sendiri berbeda
pendapat mengenai apakah ijab wajib harus dijawab
langsung dengan kabul.
4) Ucapan kabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab,
artinya maksud dan tujuannya adalah sama.
5) Pihak-pihak yang mengadakan aqad harus dapat
mendengarkan pernyataan masing-masing.
B. Sahnya Pernikahan
Sahnya pernikahan merupakan hal yang penting karena
berhubungan erat dengan akibat-akibat pernikahan, baik yang menyangkut
keturunan maupun harta. Bila pernikahan dinyatakan sah, harta yang
diperoleh selama dalam pernikahan maupun anak yang lahir dari
pernikahan tersebut, kedudukan hukumnya menjadi jelas dan tegas. Harta
yang diperoleh selama pernikahan, maupun anak yang lahir dari pernikahan
tersebut, dinyatakan mempunyai hubungan hukum dengan kedua belah
pihak yang telah melangsungkan pernikahan. Hukum Islam menentukan
sahnya akad nikah kepada tiga syarat, yaitu :
a. dipenuhinya semua rukun nikah
b. dipenuhinya syarat-syarat nikah
c. tidak melanggar larangan pernikahan sebagaimana yang ditentukan
oleh syari’at.24
24
Ibrahim, dkk., Pengantar Hukum Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta; Garda,
1965), h 333.
25
Op. Cit., Aswadie Syukur, h. 43.
118
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
26
Satria Effendi M. Zein, Analisis Yurisprudensi Tentang Itsbat Nikah (artikel,
dalam analisis fiqh) (Mimbar Hukum No. 50 tahun XII 2000 Januari-Februari), h. 117.
27
A.Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Pernikahan
(artikel), (Mimbar Hukum No. 26 tahun 1996 Mei-Juni), h. 48.
119
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
Dengan demikian, KHI telah menegaskan bahwa sahnya pernikahan
adalah bila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan bunyi pasal 2
ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan juga harus dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Pencatatan Nikah
Dalam syari’at Islam, masalah muamalah pada situasi tertentu
diperintahkan untuk dicatat, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al
Baqarah ayat 282 disebutkan :
֠ ִ
'() #$%
ִ!&
ִ!"
.... 9 (45678 ./012 *+ִ,-
Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah (seperti berjual beli, berhutang piutang atau sewa
menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu tertentu,
mendaklah kamu menulisnya…")
120
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
121
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
D. Itsbat Nikah
Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab dan terdiri dari dua kata
“itsbat” dan “nikah”. Itsbat artinya penetapan, pengukuhan dan
pengekalan.30 Sedangkan nikah berarti kawin.31
Jadi itsbat nikah berarti penetapan atau pengukuhan nikah, yakni
itsbat nikah merupakan penetapan ulang terhadap pernikahan yang sudah
dilakukan, karena adanya keraguan terhadap keabsahan pernikahan
tersebut, atau keberadaan pernikahan itu tidak dapat dibuktikan dengan akta
otentik (akta nikah), sehingga yang bersangkutan mengajukan permohonan
ke Pengadilan Agama agar pernikahannya dapat dikukuhkan/disahkan, dan
untuk selanjutnya dapat dibuatkan akta nikah bersangkutan. Menurut Pasal
7 KHI menyatakan :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat dijaukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengailan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
(b) Hilangnya Akta Nikah
28
Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Pedoman Dasar
Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 137.
29
Ibid, h. 150.
30
Op. Cit., AW. Munawir, h. 145.
31
Ibid, h. 1461.
122
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan.
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 dan,
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang Undang
No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.32
32
Op. Cit., Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata…, h.
376 - 377.
123
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
33
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. Pertama (Jakarta; PT.Raja
Grafindo Persada, 1995), h.111-117.
124
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
125
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
5. Penyelesaian
Setelah perkara permohonan itsbat nikah diputuskan dengan
penetapan, dalam tempo 14 hari tidak ada upaya hukum banding yang
diajukan oleh pemohon, maka penetapan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka penyelesaian terakhir dari perkara tersebut adalah
petugas meja III mengeluarkan salinan penetapan yang harus diterima oleh
pemohon.
F. Simpulan
Dari uraian di atas dapat di tarik simpulan antara lain:
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Rukun pernikahan itu ada lima unsur
pokok, yaitu :
a. Calon mempelai pria
b. Calon mempelai wanita
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Shighat (aqad) ijab dan kabu.
2. pencatatan pernikahan dari mereka yang melangsungkan pernikahan
menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat.
3. itsbat nikah berarti penetapan atau pengukuhan nikah, yakni itsbat
nikah merupakan penetapan ulang terhadap pernikahan yang sudah
dilakukan, karena adanya keraguan terhadap keabsahan pernikahan
tersebut, atau keberadaan pernikahan itu tidak dapat dibuktikan
dengan akta otentik (akta nikah).
4. Permohonan itsbat nikah diajukan oleh pemohon ke Pengadilan
Agama tempat tinggal pemohon
126
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Pernikahan
(artikel), (Mimbar Hukum No. 26 tahun 1996 Mei-Juni).
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, cet. Ke-4, Jakarta; CV.
Al Hidayah, 1968.
Moh.Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang; CV. Toha Putra, 1978.
127
Jurnal Darussalam, Volume 10, No.2, Juli – Desember 2010
Said Thalib Al Hamdani, Risalatun Nikah, cet. Ke-3, (Terj.) Agus Salim
dalam Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta; Pustaka
Amani, 1989.
128