Terowongan PDF
Terowongan PDF
Tinjauan Pustaka
Pada Gambar II.1.a. tampak kondisi awal tegangan vertikal bernilai seragam di
tiap titik dengan kedalaman yang sama. Menurut Mindlin (1939), jika pada lokasi
tersebut dilakukan penggalian terowongan seperti pada Gambar II.1.b, tegangan
dari massa yang digali akan dialihkan/ditransfer ke sisi terowongan. Akibat
transfer tegangan ini, terjadi akumulasi tegangan di permukaan galian
terowongan.
II-1
P v1 = h . γ
1
P v2 + ΔP
P v2 = (h + Δh). γ
2
(a) (b)
Gambar II.1. (a) Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat
transfer tegangan (Szechy, 1973)
Akumulasi tegangan ini bernilai maksimum di sisi galian (spring line), dengan
nilai dua kali tegangan awal. Pada Gambar II.2, r adalah jarak titik tinjau dari
pusat galian dan a adalah jari-jari terowongan. Tegangan maksimum berada pada
lokasi r/a = 1. Tegangan tersebut berkurang secara proporsional terhadap
pertambahan jarak, kemudian menjadi konstan sebesar nilai awal pada lokasi
kurang lebih r/a = 4 dari pusat galian terowongan.
2γ.h = 2p
h
p = γ.h
a
1 2 3 4 5
r
II-2
Kirsch menurunkan rumus untuk masing-masing tegangan di atas sebagai berikut:
σv ⎡ ⎡ a2 ⎤ ⎡ a4 a4 ⎤ ⎤
σr = ⎢(1 + λ ) ⎢1 − 2 ⎥ + (1 − λ ) ⎢1 + 3 4 + 4 2 ⎥ cos 2φ⎥ (II.3)
2 ⎣ ⎣ r ⎦ ⎣ r r ⎦ ⎦
σv ⎡ ⎡ a2 ⎤ ⎡ a4 ⎤ ⎤
σt = ⎢(1 + λ ) ⎢1 − 2 ⎥ − (1 − λ ) ⎢1 + 3 4 ⎥ cos 2φ⎥ (II.4)
2 ⎣ ⎣ r ⎦ ⎣ r ⎦ ⎦
Pv ⎡ ⎡ a4 a2 ⎤ ⎤
τrt = − ⎢ (1 − λ ) ⎢1 − 3 4
+ 2 2 ⎥
sin 2φ⎥ (II.5)
2 ⎣ ⎣ r r ⎦ ⎦
Dimana:
σv = γ.h = tekanan vertikal (KN/m2)
Pv
λ = = angka Poisson
Ph
Kirsch memberikan tabel secara lengkap untuk nilai konsentrasi tegangan pada
berbagai kondisi sebagai berikut:
θ
0
o
90
o
0
o
90
o
0
o
90
o All θ 0
o
90
o
0
o
90
o
0
o
90
o
r/a Values
1.00 -1.00 3.00 -0.10 2.70 0.80 2.40 2.00 3.50 1.50 5.00 1.00 8.00 0.00
1.10 -0.61 2.44 0.12 2.25 0.85 2.07 1.83 3.05 1.52 4.26 1.22 6.70 0.60
1.20 -0.38 2.07 -0.25 1.96 0.87 1.84 1.69 2.73 1.51 3.77 1.32 5.84 0.94
1.30 -0.23 1.82 -0.32 1.75 0.86 1.68 1.59 2.50 1.48 3.41 1.36 5.23 1.13
1.40 -0.14 1.65 0.36 1.60 0.85 1.56 1.51 2.33 1.44 3.16 1.37 4.80 1.24
1.50 -0.07 1.52 0.38 1.50 0.84 1.47 1.44 2.20 1.41 2.96 1.37 4.48 1.30
1.75 0.00 1.32 0.40 1.32 0.80 1.33 1.33 1.99 1.33 2.81 1.36 3.97 1.33
2.00 +0.03 1.22 0.40 1.23 0.76 1.24 1.25 1.86 1.27 2.47 1.28 3.69 1.31
2.50 +0.04 1.12 0.38 1.13 0.71 1.14 1.16 1.72 1.18 2.28 1.20 3.40 1.24
3.00 +0.04 1.07 0.36 1.09 0.68 1.10 1.11 1.65 1.13 2.19 1.15 3.26 1.19
4.00 +0.03 1.04 0.34 1.04 0.65 1.05 1.06 1.58 1.08 2.10 1.09 3.14 1.11
II-3
II.1.2 Displacement pada Area Penggalian
Hilangnya efek confining akibat penggalian membawa displacementpada batuan.
Displacementini merupakan displacement yang terjadi dengan pola tertentu
terhadap arah radial dan tangensial.. Besarnya displacement dipengaruhi oleh
kombinasi nilai gaya vertikal dan horizontal serta properti dari batuan. Kirsch
memberikan persamaan displacement sebagai berikut:
σh + σv a 2 σh − σv a 2 ⎛ a2 ⎞
ur = + ⎜⎜ 4 (1 − ν ) − 2 ⎟⎟ cos 2φ …. (m) (II.6)
4G r 4G r ⎝ r ⎠
σh − σv a 2 ⎛ a2 ⎞
ut = − ⎜ 2 (1 − 2ν ) + 2 ⎟⎟ sin 2φ …..(m) (II.7)
4G r 2 ⎜⎝ r ⎠
dimana: G = Modulus Geser ….(KN/m2)
ν = Rasio Poisson
ur
ut
τrt σr
σt
θ
Ph
0 a
II-4
jari-jari R dari pusat penggalian. Area plastis ini merupakan sebuah slab beam
yang melingkar dan paralel dengan permukaan penggalian (ring crack).
Plastic Zone
Elastic Zone
R
a
δδ
Gambar II.4. Area plastis dan elastic menurut Bray (Goodman, 1989)
Pada illustrasi ini Bray juga mengasumsikan bahwa retakan yang terjadi
berbentuk log spiral yang mempunyai sudut δ terhadap arah radial. Untuk nilai δ
minimum diambil 45° + φ/2. Term yang populer digunakan untuk sudut log spiral
adalah parameter Q, dimana:
tan δ
Q = −1 (II.8)
tan (δ − φ)
Radius batas area elastis-plastis dirumuskan dengan:
1/ Q
⎛ ⎛ φ ⎞⎞
⎜ 2 p − q u + ⎜ 1 + tan ⎛⎜ 45 ° + 2 ⎞⎟ c cot φ ⎟ ⎟
2
⎝ ⎝ ⎠ ⎠⎟
R = a⎜ (II.9)
⎜ ⎛ 2 ⎛ φ ⎞ ⎞ ⎟
⎜ ⎜ 1 + tan ⎜⎝ 45 ° + 2 ⎟⎠ (p i + c cot φ )⎟ ⎟
⎝ ⎝ ⎠ ⎠
II-5
Selanjutnya Bray menentukan nilai-nilai tegangan pada area elastis maupun area
plastis sebagai berikut :
b
σre = p − (II.10)
r2
b
σ te = p + (II.11)
r2
⎛ tan 2 ⎛ 45° + φ ⎞ p + q ⎞
⎜ ⎜ 2 ⎟⎠ ⎟
Dimana: b = ⎜ ⎝ u
⎟R2
⎜⎜ tan 2 ⎛⎜ 45° + φ ⎞⎟ + 1 ⎟⎟
⎝ ⎝ 2⎠ ⎠
Untuk area plastis, nilai tegangan-tegangan adalah:
Q
tan δ ⎛ r ⎞
Q
σt p
= (pi + c cot φ) ⎜ ⎟ − c cot φ (II.13)
tan (δ − φ) ⎝ a ⎠
Pada area plastis, displacement yang terjadi mempunyai arah radial terhadap
permukaan galian (inward radially). Besarnya displacement ini dirumuskan
dengan :
1 − ν ⎛ r ( Q − 1) ⎞ t
ur = ⎜⎜ pi Q − pr ⎟⎟ + (II.14)
E ⎝ a ⎠ r
1− ν 2 ⎡ ⎛ R ⎞ ⎤ 1+ ν
Q
II-6
Illustrasi loosening zone sebagai beban tampak pada keruntuhan atap terowongan
yang cukup dalam yang digali tanpa tanpa penyangga. Keruntuhan ini terjadi
secara gradual dan tidak mencapai permukaan tanah di atas terowongan. Hasil
akhirnya membentuk kerucut pada atap terowongan. Hal ini biasanya terlihat pada
terowongan alam. Gambar II.5 adalah ilustrasi urutan runtuhnya atap terowongan
pada batuan. Tinggi maksimal kerucut keruntuhan ditentukan dengan pendekatan:
b b
hmax = = (II.15)
2 tan α 2 2 sin φ
4
α
5
hmax
2
II-7
II.2.1.1 Kekuatan Material
Parameter material yang penting dalam karakteristik tanah/batuan adalah kekuatan
tekan (compressive strength). Parameter kekuatan tekan bisa didapat dari tiga
macam metode uji tekan, yaitu:
- Unconfined compression test (uniaxial test)
- Triaxial compression test
- Point load test
Unconfined compression test adalah bentuk test yang dilakukan dengan memberi
beban secara axial pada sampel. Dengan demikian, sampel tanah/batuan hanya
menerima beban tekan satu arah. Kekuatan tekan (compressive strength), qu
diekspresikan dalam bentuk rasio antara beban saat failure dan luas awal sampel.
Pada test ini permukaan sampel dibuat rata agar beban dapat diteruskan merata
pada semua permukaan. Kekuatan batuan dirumuskan:
P
qu = (II.16)
A
qu = kekuatan tekan (kg/cm2)
P = beban axial (kg)
A = luas awal sampel (cm2)
Hasil percobaan diplot pada diagram tegangan-regangan seperti pada Gambar II.4.
Triaxial compression test adalah suatu test yang dilakukan pada sampel
tanah/batuan dengan memberikan tegangan aksial pada sampel dan confining (cell
pressure). Tegangan aksial/vertikal biasanya disimbolkan dengan σ1, dan
confining stress diberi simbol σ3 (dimana σ2 = σ3).
Pada test ini selain didapat tegangan saat keruntuhan seperti pada Gambar II.6,
juga didapat nilai tegangan geser dan sudut geser internal sampel. Ekspresi
tegangan geser dan sudut geser digambarkan secara grafis dalam diagram Mohr-
Coulomb, dengan mengikuti persamaan :
τp = c + σ tan φ (II.17)
II-8
dimana: τp = tegangan geser (shear strength) (kg/cm2)
c = kohesi (kg/cm2)
σ = deviator stress (kg/cm2)
φ = sudut geser dalam (derajat)
pe
nvelo
mb
E φ
oulo
hr-C
Mo
c
σ
σ3 σ1
Point load test merupakan test kekuatan tekan yang relatif mudah dilakukan. Pada
test ini tidak dibutuhkan persiapan sampel yang rumit. Pembebanan dilakukan
dengan menempatkan sampel (tanpa dilakukan perataan permukaan/irregular
piece) di antara dua conus baja hingga mencapai kehancuran. Selanjutnya
dihitung indeks kekuatan batuan dengan persamaan :
P
Is = (II.18)
D2
Dimana: Is = index kekuatan ((kg/cm2)
P = beban saat hancur (kg)
D = jarak antar titik pembebanan (cm)
II-9
II.2.1.2 Rock Quality Designation (RQD)
RQD adalah nilai persentase keutuhan batuan berdasarkan core drill test. RQD
ditentukan dengan mengambil contoh batuan menggunakan core drill tube 100
mm (4 inch) dengan diameter 54.7 mm. Pecahan yang dihitung dalam RQD
adalah pecahan yang mempunyai panjang lebih dari 10 cm.
L1
L2
Ltotal
L3
L4
Gambar II.7. Penentuan nilai RQD pada core drill (Bieniawski, 1989)
L1 + L 2 + L 3 + L 4
= x 100% ……..(%) (II.20)
L total
Kualitas batuan menurut nilai RQD disusun sebagai berikut:
Tabel II.2. Kualitas batuan menurut RQD dari Deere (Bieniawski, 1989)
RQD (%) Rock Quality
<25 Very poor
25 – 50 Poor
50 – 75 Fair
75 – 90 Good
90 – 100 Excellent
II-10
II.2.1.3 Geological Strength Index (GSI)
GSI dipublikasikan oleh Hoek (1995), yaitu berupa sistem untuk menilai kekuatan
batuan berdasarkan reduksi kekuatan batuan dari struktur rekahan dan kondisi
permukaan intact rock.
Pada penggunaannya GSI ini adalah input untuk mencari konstanta pada Hoek-
Brown criterion. Konstanta yang dapat dicari adalah:
⎛ GSI − 100 ⎞
mb = m i exp ⎜ ⎟ (II.21)
⎝ 28 ⎠
Untuk GSI > 25, maka:
⎛ GSI − 100 ⎞
s = exp ⎜ ⎟ (II.22)
⎝ 9 ⎠
dan
a = 0.5
GSI dapat digunakan untuk menentukan RMR dari Bienwaski edisi 1989 dengan
persamaan sebagai berikut:
GSI = RMR89’ – 5 (II.24)
Dengan syarat rating air tanah adalah 15 dan penyesuaian arah rekahan adalah nol.
II-11
Indeks GSI disusun dalam tabel yang menunjukkan kekuatan batuan, seperti pada
Tabel II. 3.
II-12
Klasifikasi kualitas batuan menurut Hoek adalah sebagai berikut:
Nilai mi diperoleh dari tabel konstanta batuan menurut Hoek-Brown seperti pada
Tabel II.5 sebagai berikut:
II-13
Tabel II.5. Nilai mi untuk Intact Rock (Hoek, Marinos, Bennini, 1998)
Rock Texture
Class Group
Type Coarse Medium Fine Very Fine
Conglomerate Sandstone Siltstone Claystone
(22) 19 9 4
Clastic
Greywacke
SEDIMENTARY
(18)
Chalk
7
Organic
Coal
(8 – 21)
Non-
Sparitic Micritic
Clastic Breccia
Carbonate Limestone Limestone
(20)
(10) 8
Gypstone Anhydrite
Chemical
16 13
Marble Hornfels Quartzite
METAMORP
Non Foliated
9 (19) 24
Migmatite Amphibolite Mylonites
HIC
Slightly Foliated
(30) 25 - 31 (6)
Gneiss Schists Phyllites Slate
Foliated*
33 4-8 (10) 9
Granite Rhyolite Obsidian
33 (16) (19)
Light
Granodiorite Dacite
(30) (17)
IGNEOUS
Diorite Andesite
(28) 19
Gabbro Dolerite Basalt
27 (19) (17)
Dark
Norite
22
Extrusive Agglomerate Breccia Tuff
Pyroclastic Type (20) (18) (15)
Dikarenakan σci dan nilai mi diketahui maka dapat disusun grafik tegangan σ1
terhadap tegangan σ3, dan dapat diketahui gradien tegangan k.
II-14
Sudut geser ditentukan dengan persamaan :
k −1
sin φ = (II.27)
k +1
Kohesi ditentukan dengan persamaan :
σ em (1 − sin φ)
c = (II.28)
2 (cos φ)
II-15
II.3.1 Metoda Empiris
Metoda ini adalah suatu sistem untuk menunjukkan kualitas batuan yang akan
digali dan penerapan sistem penyangga. Parameter-parameter yang digunakan
tidak semuanya sama, tetapi metoda yang lebih akhir biasanya lebih kompleks
dan lengkap. Metode ini tidak memberikan nilai tegangan dan regangan secara
kuantitatif.
II-16
G
H
c d
Wilayah Pengaruh Beban
B+h
e1 c1 d1 f1
-b + m
hp
e c d f
Beban samping Beban samping
(ace) ( bdf)
m
Arah deformasi
a b
b Beban langsung pada
Atap
Gambar II.8. Rock load pada atap terowongan menurut Terzaghi (Szechy,
1973)
II-17
day week month year
-1 1'' 10'' 1' 10' 1h 10h 1 1 1 3 1 10 100
10 10 m
8
D 6
X X 4
E
X
Span of Cavity
2
F X
0 A
10 X 1m
0.8
D
G B 0.6
X E 0.4
F C
X 0.2
-1
10 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
0.1 m
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Time (hours) in log scale
II-18
Tabel II.7. Perbandingan pola penyangga menurut Deere, Cecil, Merrit
(Szechy, 1973)
No Suppot or
Pattern Bolts Steel Ribs
Local Bolts
RQD 50-75 (light ribs on 1.5 –
1.8 m spacing as alternative to
bolts)
RQD 50-75 (1.5 – 1.8m
RQD 25-50 (light to medium ribs
Deere et al spacing)
RQD 75-100 on 0.9 – 1.5m spacing as
(1970) RQD 25-50 (0.9 -1.5m
alternative to bolts)
spacing)
RQD 0-25 (medium to heavy
circular rins on 0.6 – 0.9m
spacing)
Cecil RQD 52-82 (alternatively 40 - RQD 0-52 (ribs or reinforced
RQD 82-100
(1970) 60 mm shotcrete) shotcrete
Merritt RQD 23-72 (1.2 – 1.8m
RQD 72-100 RQD 0-23
(1972) spacing)
Walau konsep RSR mengacu pada penyangga kerangka baja, Wickham tetap
memberi grafik hubungan sistem penyangga dengan spasi untuk semua sistem
penyangga, yang diillustrasikan pada gambar di bawah ini. Grafik seperti pada
Gambar II.10 memberi jarak perkuatan berdasar nilai RSR. Sementara Bieniawski
tidak merekomendasikan penggunaan RSR untuk rock bolt dan shotcrete (Rock
Mechanics Design in Mining and Tunneling, Bieniawski, 1984).
II-19
70 0.5 25mm Diameter Rock Bolts
60
1.0
Shotcrete 6 H 20
1.5
50 2.0 8 WF 31
Rock Load
40 3.0 8 WF 48
RSR
4.0
30
5.0
Practical Limit for Rib
6.0 and Bolt Spacing
20
7.0
10
10
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Rib spacing, ft
Bolt spacing, ft
Shotcrete thickness, in
Gambar II.10. Hubungan RSR dan beban terhadap spasi penyangga dengan
diameter penggalian 7,3 m (Bieniawski, 1989)
II-20
Berdasarkan kelas batuan di atas akhirnya diberikan suatu tabel sebagai pedoman
untuk pelaksanaan penggalian dan penerapan sistem penyangga. Sistem
penyangga yang diberikan adalah: kerangka baja, rock bolt diameter 20 mm dan
shotcrete.
II.3.1.6 Sistem–Q
Metoda ini dikembangkan oleh Barton, Lien dan Lunde (1974), dari Norwegian
Geotechnical Institute. Output diperoleh setelah didapat penilaian kualitas batuan
dalam nilai “Q” dan faktor dimensi galian dalam “dimensi ekivalen” (equivalent
dimension).
Sistem-Q didasarkan atas perhitungan dari enam parameter kualitas batuan. Ke-
enam parameter tersebut adalah:
1. RQD
2. Jumlah sambungan batuan (Jn)
3. Kekasaran dari patahan yang terjelek (Jr)
4. Derajat perubahan atau material pengisi sambungan terlemah (Ja)
5. Air yang masuk (Jw)
6. Kondisi tegangan (SRF)
II-21
Faktor penggalian yang mengakomodasikan tujuan konstruksi dan faktor
keamanan dirumuskan dengan:
lebar atau tinggi galian
Dimensi Ekivalen = (II.31)
ESR
Exceptionally Extremely Very Poor Poor Fair Good Very Ext. Exc.
Poor Poor Good Good Good
100
Span, Diameter, or Height, m
4
8 3
Equivalent Dimension =
12 7
40 16 2
20 11
24 6 1
28 15
20 32 19 10 5
35 23 14 9
10 38 27 18 13
ESR
31 22
34 17
26
4.0 30 21
37 25
2.0 29
33 No Support Required
1.0
36
0.4
0.2
0.1
0.001 0.01 0.1 1 10 100 1000
Rock Mass Quality, Q
Selanjutnya sistem-Q memberi garfik hubungan antara dimensi ekivalen dan nilai
Q, yang hasilnya berupa kualitas batuan dan rekomendasi pola sistem penyangga.
Nilai Q pada grafik ini diberikan dalam skala logaritma. Sistem penyangga yang
digunakan pada metode ini adalah kerangka baja, angkur dan shotcrete.
II-22
Lebar maximum penggalian tanpa menggunakan sistem penyangga ditentukan
dengan persamaan:
Lebar galian (max) = 2 (ESR) Q 0,4 (II.33)
Tegangan pada penyangga pada atap ( Proof )dihitung dengan persamaan:
Proof = (2.0 / Jr).Q -1/3 (II.34)
Jika jumlah patahan di bawah tiga set, maka persamaan menjadi:
Proof = 2/3 . Jn1/2 . Jr-1 . Q -1/3 (II.35)
Metoda observasi pada proyek sejenis adalah metoda pelaksanaan dengan melihat
data dan dokumentasi terhadap proyek sebelumnya pada area yang sama dan
lokasinya berdekatan.
Pada kedua metode observasi di atas, data didapat dari pengukuran lapangan
dengan instrument yang terpasang pada terowongan. Instrumentasi pada metoda
ini merupakan hal yang vital untuk menentukan pelaksanaan penggalian.
II-23
Tujuan dari monitoring untuk mengetahui kecendrungan dan besarnya deformasi.
Hal lain adalah mengetahui tegangan yang terjadi. Instrumen yang umum
dipasang pada proyek penggalian terowongan adalah:
1. Extensometer
2. Convergence Gage
3. Rock Pressure cell
4. Concrete Pressure cell
Convergence gage adalah alat untuk mengukur retakan yang terjadi pada
permukaan batuan, dan bisa juga untuk mengukur perubahan lebar terowongan
akibat displacement. Alat ini terdiri dari sepasang pasak yang ditanam pada
permukaan batuan yang telah ditentukan jaraknya.
Rock pressure cell dipakai untuk mendapatkan nilai tegangan pada batuan. Alat
ini biasanya berupa plat baja yang ditanam pada lubang bor. Setelah dilakukan
grouting, plat tersebut dihubungkan dengan tabung hidrolik untuk memdapatkan
tekanan yang sama dengan tegangan batuan.
Concrete pressure cell digunakan untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada
shotcrete. Alat ini dipasang/ditanam pada lapisan shotcrete saat pengecoran
berlangsung. Tegangan dengan hidrolik diberikan setelah beton mengeras.
II-24
E3 H : Convergency gage horizontal
E : Extensometer
GD : Rock Pressuremeter
BD : Concrete Pressure Cells
GD
E2 E4
GD 2 BD GD 4
3
BD 2 BD 4
H1
GD 1 BD 1 H1 BD 5 GD 5
H3
E1 E5
O
GD 7 GD 6
Terowongan yang lebih kecil (service tunnel) dikerjakan dahulu sebagian atau
seluruhnya. Pada terowongan ini dipasang sistem instrumentasi yang lengkap dan
dilakukan dokumentasi pada semua fase pelaksanaan. Semua kondisi pada
terowongan yang lebih kecil ini diperkirakan akan terjadi juga pada terowongan
utama.
Illustrasi untuk pekerjaan ini digambarkan oleh S. Sakurai seperti pada Gambar
II.13 (An Approach to Design and Monitoring of Underground Openings, S.
Sakurai,1985). Design didasarkan dari hasil monitoring displacement pada
terowongan pertama, kemudian dilakukan perhitungan terbalik (back analysis)
untuk mendapatkan nilai-nilai karakteristik batuan sesungguhnya.
II-25
Ekstensometer
Ekstensometer
Cell Pressure
x
z
Gambar II.13. Posisi alat ukur untuk observasi (Sakurai, 1985)
Pada tulisan ini hanya akan dibahas teknik finite difference dengan menggunakan
perangkat lunak FLAC.
Untuk illustrasi, dalam mencari nilai yi dari kurva fungsi f pada gambar II.14
dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu cara turunan biasa (diffrensial) atau cara
II-26
finite difference dari titik-titik sekitarnya. Cara yang terbaik dalam finite
difference adalah dengan cara central difference.
Gradient sebenarnya
yi+1
xi - 1 xi xi+1
Ini adalah bentuk dari ∇2f atau Laplacian. Untuk kondisi steady state/equilibrium
maka ∇2f = 0.
II-27
Untuk kasus tiga dimensi:
∂ 2f ∂ 2f ∂ 2f
∇2f = + + =0 (II.38a)
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
hi,j,k =
1
(h i+1, j,k + h i−1, j,k + h i, j+1,k + h i, j−1,k + h i, j,k +1 + h i, j,k −1 ) (II.38c)
6
h i-1,j,k h i,j-1,k
h i,j,k
h i,j+1,k h i+1,j,k
h i,j,k-1
Pada suatu boundary condition, di lokasi paling ujung dari wilayah tinjauan, misal
pada sumbu x berlaku hubungan:
df h i +1, j,kj − h i −1, j,k
= =0 (II.39)
dn 2Δx
Dengan demikian akan didapat hi+1,j,k = hi-1,j,k. Hal yang sama berlaku untuk
sumbu-sumbu lainnya.
II-28
II.3.3.2 FLAC (Fast Lagrangian Analysis of Continua)
FLAC adalah program komputer numerik dengan menggunakan finite difference
dalam analisa sifat mekanik material pada suatu bentuk geometri.
Prinsip Mekanika
Prinsip mekanika yang digunakan dalam FLAC merupakan prinsip-prinsip
mekanika umum.
a. Tegangan
Tegangan diperhitungkan berdasarkan formula Cauchy. Suatu tegangan pada titik
di medium dapat diurai menjadi normal dan traksi/geser.
σn σ
σ = σn + σt
)
σn =σ. n
σ t2 = σ 2 - σ n 2
σt
b. Regangan
Dengan anggapan adanya suatu kecepatan pada suatu medium dalam waktu dt,
maka displacement didasarkan pada vektor kecepatan. Regangan didasarkan
Lagrangian strain-displacement relationship. Displacement dalam bentuk tensor
terbagi atas regangan dan rotasi. Gambar II.17 menjelaskan displacement dari
posisi P-Q menjadi P1-Q1 yang mana terjadi regangan dan rotasi.
II-29
X3
Q (xi + dx i )
dS o Q' (ε i + dεi )
dx i
P (xi)
u≡
dS
(u ) dεi
i
P' (εi)
X2
X1
v = 1
2
(v i, j + v j,i ) + 1
2
(v i, j − v j,i ) (II.40)
dimana :
c. Persamaan gerak
dv i
σi,j + ρbi = ρ (II.41)
dt
Keadaan equilibrium statis didapat:
σi,j + ρbi = 0 (II.42)
II-30
4
3
2
Gambar II.18. Grid dalam FLAC
Dengan Gauss divergence pada tetrahedron seperti pada gambar II.18 dengan
virtual kecepatan pada tiap titik, dapat ditulis:
∫vv
i, j dv = ∫v
s
i n j ds (II.43)
∑v (f ) (f )
v i,j V = nj S(f ) (II.44)
f =1
Dengan:
1 4 l
∑ vi
(f )
v =
3 f =1
Jadi:
1 4 l 4 (f ) (f )
v i,j.V = ∑ vi ∑ n j S
3 l = 1 f = 1, f ≠ 1
(II.45)
Karena:
4
∑n
f =1
(f )
j S(f ) = 0…… (dot product pada kondisi tegak lurus bernilai nol)
Maka:
1 4 l (l) (l)
v i,j = − ∑ vi n j S
3V l = 1
(II.46)
∑ (v i n f + v lj n il )S(l)
1 4 l (l)
εt = − (II.47)
6V l = 1
II-31
Nilai regangan ini dimasukkan pada perhitungan untuk mendapatkan tensor
tegangan.
100
90
80
70
60 ΣP1 - 3
50
40 P3
30 A ΣP
20 Loosening
P2
10 A
P1 P
0
3 5 15 20 30 50 100 200 500 1000 ΔR, mm
10
Waktu (T), hari
20
30
40
50
60
70 P1 = Rangka baja terpasang
80
90
P2 = Rock Bolt terpasang
100 P3 = Shotcrete terpasang
II-32
II.4.1 Sistem Penyangga Tiang dan Kerangka Baja
Bentuk dari konstruksi ini dapat dibagi atas beberapa macam. Menurut Komisi
Terowongan-Himpunan Insinyur Sipil Jepang (Pedoman Pekerjaan Terowongan
Pegunungan, 2002), bentuk dari perkuatan baja adalah:
1. Setengah lingkaran hanya pada atap
2. Tapal kuda
3. Tapal kuda dengan lantai dasar diberi balok
4. Lingkaran penuh
Pada sistem penyangga baja di Eropa dan Amerika banyak dipakai bentuk dengan
bentuk kaki (post) yang lurus.
II-33
Secara rinci pengaruh shotcrete pada pelaksanaan penggalian adalah (Pedoman
Pekerjaan Terowongan Pegunungan, Komisi Terowongan-Himpunan Insinyur
Sipil Jepang):
1. Menjadi penyangga karena lekatan dengan batuan serta memberi tahanan
geser
2. Memberi tekanan yang membatasi/mengurangi penurunan kekuatan tanah
3. Meneruskan beban pada rusuk baja atau rock bolt
4. Melindungi permukaan terowongan dari terjadinya pemusatan tegangan
5. Menjadi pelindung dari pelapukan, rembesan, erosi dan lainnya
II-34
II.4.3.1 Kondisi Batuan Untuk Penggunaan Rock bolt
Penggunaan rock bolt sebagai perkuatan/penyangga harus memperhatikan kondisi
batuan. Rock bolt tidak dapat digunakan pada batuan/tanah yang terlalu lunak, dan
sebaliknya pada batuan yang keras tidak dibutuhkan rock bolt/penyangga.
Merujuk pada penelitian Deere (1970), Cecil (1970), Merrit (1972), pada tabel II.
5, penggunaan rock bolt memperhatikan nilai RQD. Kisaran penggunaan rock bolt
berdasarkan RQD adalah dari 23 hingga 75. Kualitas batuan dengan RQD di
bawah 23 akan menghancurkan batuan, sementara RQD di atas 75 tidak
membutuhkan penyangga.
Tabel II.8. Aplikasi Sistem Perkuatan Pada Berbagai Kelas Batuan dan Stand-up
Time Menurut Lauffer, 1960 (Szechy, 1973)
II-35
II.4.3.2 Beban Pada Rock Bolt
Salah satu metode yang dapat memperkirakan beban pada rock bolt adalah yang
diajukan oleh Rabcewicz (1961) dengan memperhitungkan inklinasi dari strata
batuan, dengan asumsi bahwa rock bolt dipasang dengan sudut 45° terhadap strata
batuan.
Gambar II.21, menjelaskan situasi gaya dengan notasi T = gaya geser antar
lapisan, φ = sudut geser dalam batuan, h = tebal area lengkung batuan, P =
resultan gaya pada rock bolt, H = gaya horizontal di tengah lengkung, α = sudut
inklinasi antara lapisan dan horizontal, R = gaya dalam, ψ = sudut antara lapisan
dan gaya dalam. Dari illustrasi ini ditulis persamaan sebagai berikut:
H P H
sin(α + ψ) cotan(α + ψ) - = sin(α + ψ) tan φ
cos ψ 2 cos ψ
P
+ tan φ (II.48a)
2
II-36
° T
45 H
N R ψ
h
Joint (bending plane)
between strata T
R
α N
ψ
f
α T
b/2
Gambar II.21. Penentuan gaya rock bolt menurut Rabcewicz (Sezchy, 1973)
II.4.4 Invert
Invert adalah perkuatan beton pada lantai terowongan. Lantai ini berguna untuk
membantu kestabilan konstruksi pada tanah lantai dasar yang bersifat
mengembang (swelling). Untuk mencegah heaving dipasang invert dan dilakukan
dengan pengecoran beton pada lantai dasar.
SF =
∑P 1− 3
(II.50)
A
P
Dimana: P1 = tegangan akibat pemasangan rangka baja
P2 = tegangan akibat perkuatan rock bolt
P3 = tegangan akibat perkuatan shotcrete
PA = tegangan setelah degradasi
II-37
Tegangan dari perkuatan merupakan gabungan dari seluruh perkuatan sebagai
berikut :
Untuk shotcrete:
1 ⎧ (r − t ) ⎫ t
Psc = x σ cc ⎨ 1 − i 2 c ⎬ ≈ σ cc c (II.51)
2 ⎩ ri ⎭ ri
Secara garis besar menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang, dapat disusun
tegangan akibat perkuatan dalam tabel II.9 sebagai berikut:
II-38
Tabel II.9. Nilai Tegangan Perkuatan Menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang
Pola Perkuatan B CI CII DI DII
Jarak satu langkah penggalian (m) 2.0 1.5 1.2 1.0 1.0
Panjang (m) 3.0 3.0 3.0 4.0 4.0
Jarak menurut keliling terowongan 1.5 1.5 1.5 1.2 1.2
Rock Bolt Jarak menurut arah penggalian 2.0 1.5 1.2 1.0 1.0
Sudut terhadap horizontal (°) 180 240 240 240 240
Tegangan dalam (MPa) 0.04 0.05 0.10 0.15 0.15
Heading - - H-125 H-125 H-150
Rangka
Bench - - - H-125 H-150
Baja
Tegangan dalam (MPa) - - 0.12 0.15 0.19
Tebal (cm) 5 10 10 15 20
Shotcrete
Tegangan dalam (MPa) 0.18 0.36 0.36 0.53 0.71
Tegangan dalam total (MPa) 0.22 0.41 0.58 0.83 1.05
Untuk memperkirakan settlement ini dapat digunakan rumus empiris yang ada
seperti formula dari Martos (1961):
II-39
κm ⎛ 2 ⎞
η(x) = (1 − δ t ) exp − ⎜⎜ x ⎟⎟ (II.54)
κ+H ⎝ 2l ⎠
Dimana: η(x) = Penurunan vertikal
H = Kedalaman overburden
κ = Koefisien ekspansi volume tanah
δt = Efisiensi back filling
l = Jarak dari titik tinjauan
Tinjauan atas angka keamanan dipengaruhi oleh keandalan parameter tanah dan
keberadaan manusia pada lokasi penggalian. Berikut adalah tabel angka keamanan
minimum yang diisyaratkan pada lereng:
Tabel II.11 Rekomendasi nilai faktor keamanan untuk lereng (SNI, 2007)
Resiko terhadap Rekomendasi nilai faktor keamanan terhadap resiko
nyawa manusia kehilangan nyawa manusia
Diabaikan Rendah Tinggi
Resiko Ekonomis
Rekomendasi nilai
ekonomis
Catatan :
1. Meskipun nilai faktor keamanan lerengnya 1,4, jika beresiko tinggi terhadap keselamatan orang-orang
disekitarnya maka harus diubah menjadi 1.1 berdasarkan hasil prediksi kondisi air tanah terburuk.
2. Faktor keamanan yang tercantum di dalam tabel ini adalah nilai-nilai yang direkomendasikan. Faktor
keamanan yang lebih tinggi atau lebih rendah mungkin saja terjamin keamanannya pada situasi-
situasi khusus dalam hubungannya dengan resiko kehilangan secara ekonomis.
II-40