Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1948 seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan


martabat, nilai, dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang
sama, dimana umat manusia untuk pertama kali memproklamasikan penghormatan tentang
Hak Asasi Manusia. Tidak peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan
warna kulitnya, merah, coklat, putih atau hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua, apakah
bangsa besar, kaya dan maju, atau dari bangsa kecil, terbelakang, miskin dan primitif. Saat
itulah mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis, dan
egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar. Adagium
bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan entitas yang universal mendapat perlawanan
oleh sebagian kalangan yang mengemukakan bahwa HAM merupakan entitas yang
partikular. Inilah agaknya yang menjadi preferensi utama dalam diskursus mengenai HAM,
baik dalam kalangan akademisi maupun oleh kalangan awam.
Kritisisme HAM dalam wacana keilmuan menjadi suatu fenomena yang cukup unik.
Pasalnya, sementara berbagai pihak memperjuangkan penegakan HAM, sebagaian lainnya
larut dalam perdebatan mengenai universalitas dan partikularitas nilai-nilai HAM. Namun
inilah sesungguhnya yang menjadi polemik utama dalam pewacanaan HAM, terutama ketika
menyentuh konteks sosiologis dan antropologis masyarakat. HAM dengan nilai-nilainya
dipersepsikan dalam konteks lokal dan global. Implikasinya, dikotomi antara universalitas
dan partikularitas nilai-nilai menjadi aksentuasi yang tidak terelakkan. Berdasar keadaan ini,
wacana tentang HAM di satu sisi menjadi satu produk paradigma holistik yang melihat HAM
sebagai entitas dengan nilai-nilai universal, pada konteks tertentu nilai-nilai HAM harus
disesuaikan dengan konteks lokal tertentu dan tidak berlaku pada konteks lokal lainnya.

1
Dalam konteks lain, diskursus mengenai berkutat pada wilayah pelanggaran dan
pengadilan HAM. Pewacanaan HAM pada konteks ini lebih dilatarbelakangi pada asumsi
bahwa selama ini, persoalan pelanggaran dan pengadilan HAM masih menjadi salah satu
problem besar dalam upaya penegakan dan supremasi HAM. Perbedaan perspektif mengenai
nilai-nilai HAM menyebabkan kegamangan dalam memahami nilai-nilai HAM, tidak
terkecuali kalangan akademisi. Selain itu, polemik dalam pelanggaran dan pengadilan HAM
semakin mempertegas bahwa HAM masih menjadi satu problematika besar bagi seluruh
bangsa di dunia, khususnya di Indonesia. Dalam konteks inilah, penulis coba mengangkat
tema ini dalam pembahasan makalah. Diharapkan nantinya, akan diperoleh deskripsi yang
lebih transparan dan signifikan, sehingga dapat mencerahkan wawasan dan pemahaman
penulis maupun pembaca.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Eksistensi Hak Asasi Manusia ( HAM ) Secara Universalitas Dalam


Kelangsungan Hidup Manusia ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Universalitas Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan entitas yang terintegrasi dalam eksistensi
manusia dan secara kodrati merupakan karunia dari Allah SWT. Dalam konteks ini, HAM
dianggap sebagai fundamentasi dasar kemanusiaan, karena dengannya, manusia dapat
dengan leluasa melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya dan mendapatkan jaminan
(guarantee) bahwa dirinya terproteksi dari ancaman eksternal yang dapat membahayakan
dirinya. Pemahaman yang komprehensif mengenai konsep dasar dan nilai-nilai HAM
menjadi penunjang bagi kesuksesan sosialisasi dan implementasi HAM dalam konstruk
dinamika kemasyarakatan.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai HAM, perlu dipahami terlebih dahulu
mengenai definisi HAM. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Nickel mengemukakan bahwa pada dasarnya, hak
memiliki tiga unsur, yaitu pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan pihak yang
bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak.
Dengan demikian, maka dapat dikemukakan bahwa hak merupakan unsur normatif yang
melekat pada diri manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup persamaan
dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksi dalam konteks individu dengan individu lain
dan/atau dengan institusi sosial maupun pemerintahan.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara
kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan atau
kebebasan dan hak memiliki sesuatu. HAM adalah klaim yang dapat dipaksakan sebagai

3
konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrat. Dalam definisinya yang kodrat,
HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia dapat
dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan. Hak tersebut juga tidak dapat dicabut,
dialihkan, dan dibagi-bagi. Jan Materson sebagai dikutip Baharuddin Lopa, mengemukakan
bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpa hak
tersebut, manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke mengemukakan bahwa
hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang
kodrati. Sementara itu, pengertian lebih lengkap terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No.39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perindungan harkat dan martabat manusia”.

2.2 Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia (HAM)

Hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub
dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi
siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di
mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya
berlaku untuk semua. Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM
di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat
(Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa
apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila
para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas
HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun
hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka
mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah

4
lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang
dipublikasikan.
Diskursus nilai-nilai HAM pada dasarnya merupakan dinamika yang lahir dari
perbedaan perspektif mengenai HAM itu sendiri. Sebagai diketahui, secara faktual, entitas
HAM tidak terlepas dari nilai-nilai kultural, sosiologis, konstruk politik, dan nilai-nilai etik
lainnya. Bukan menjustifikasi bahwa nilai-nilai HAM bersifat partikular, akan tetapi
menegaskan bahwa pembicaraan mengenai nilai-nilai HAM harus dikontekstualkan dengan
tidak memberangus data-data historis. Diakui atau tidak, nilai-nilai HAM secara substantif
melingkupi wilayah universal dan partikular. Karena itu, adalah wajar bila diskursus pada
wilayah nilai HAM terjadi secara sektoral mencakup wacana universalitas dan partikularitas
nilai-nilai HAM.

5
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Universalitas nilai HAM berangkat dari teori radikal universalitas. Teori radikal
universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa hanya ada satu paket pemahaman
mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama (tidak terikat pada paradigma spasial
dan temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang budaya
dan historisitas yang berbeda. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa bagaimanapun
implementasi HAM tidak dapat dilepaskan sama sekali dari konteks budaya dan nilai-nilai
lokal. Sementara itu, pendapat bahwa nilai HAM bersifat partikular didasarkan pada
kenyataan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (Khusus). Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu
negara.

3.2 Saran

Dengan adanya nilai universalitas yang melahirkan pemahaman dan seruan bahwa
seluruh makhluk dimuka bumi ini diharapkan dengan pemahaman secalarah keseluruhan
dapat mengimplementasikan nilai dan cita-cita HAM meskipun dilatar belakangi oleh aspek
Golongan, Suku, Ras, dan Budaya. Karena Sebagai makhluk sosial kita harus mampu
mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri dan kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran
HAM, Jadi, dalam menjaga HAM kita harus mampu menyesuaikan dan mengimbangi antara
HAM kita dengan orang lain, serta kita juga harus membantu negara dalam mencari upaya
untuk mengatasi atau menanggulangi adanya pelanggaran-pelanggaran HAM yang ada di
Indonesia.

6
DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2002. Kasus-kasus Pelanggaran Berat HAM (Online). (http://www.elsam.or.


id/kkr/Trisakti.html, diakses 8 Desember 2008).

Arizona, Y. 2008. Positivisasi Hak Asasi Manusia (Online). (http://yancearizona.


wordpress.com/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/, diakses 8 Desember
2008).

Bakir, H. 2007. Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan. Bandung: Refika
Aditama.

Damanik, M. R. A. & Feryandi, F. H. 2004. Mengkaji Ulang Universalitas HAM (Online).


(http://nusantarakusatu.wordpress.com/2004/02/04/mengkaji-ulang-universalitas-
ham/, diakses 8 Desember 2008).

Damanik, M. R. 2008. Menakar Ulang Universalitas HAM (Online). (http://www.


berpolitik.com/static/myposting/2008/01/myposting_9677.html, diakses 8 Desember
2008).

Metia, I. 2007. Pengertian dan Macam-macam HAM (Online). (http://


kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/28/pengertian-dan-macam-%E2%80%93-
macam-ham/, diakses 10 Desember 2008).

Sastra, S. M. 2008. Penegakkan HAM, Antara Universalisme dan Relativisme Budaya


(Online). (http://fpks-dpr.or.id/main.php?op=isi&id=3295, diakses 8 Desember 2008).

Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani.
Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai