DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
JEEPRY (1703017)
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat
dan anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
akademik berupa makalah dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata ajar Ilmu Dasar
Keperawatan yang diampu oleh dosen ibu Diah Pujiastuti, S. Kep., Ns., M.Kep
dengan materi farmakoterapi pada semester 1 STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA .
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu sangat mengharapkan saran dan kritik sebagai perbaikan
yang akan datang. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Tim penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
I. BAB I Pendahuluan............................................................ 3
II. BAB II Pembahasan............................................................ 4
A. Soal.......................................................................... 4
B. Learning Objective.................................................. 6
C. Nursing Proses......................................................... 15
III. BAB III Penutup.................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 34
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. SOAL KASUS
Mrs. N, a 66-year-old woman, who is undergoing an intravenous
pyelogram, complaints severe, sub sternal chest pain that radiates to the neck
and arms, shortness of breath, and diaphoresis. An ECG shows ST segment
elevation more than 3 mm in leads V2 to V6, is consistent with an acute
anterior wall MI.
The patient has known history of coronary artery disease, hypertension,
type 2 diabetes mellitus, and hyperlipidemia (elevated LDL and borderline
low HDL cholesterol). His father died of MI before the age of 55.
Acute management is directed toward agents that reduce oxygen demand
(morphine, nitroglycerin, β-blocker, and ACE inhibitor) and those that
increase oxygen supply (thrombolytic, aspirin, and heparin). When
thrombolytic therapy is unsuccessful, the patient undergoes rescue PCTA with
placement of a coronary artery stent. The patient’s ultimately discharged on a
complex regimen of medication that necessitates extensive patient education
efforts.
4
Ny .N berusia 66 tahun, yang sedang mengalami pyelogram intravena
sangat parah pada bagian sternalis, nyeri dada menyebar pada leher dan
lengan, sesak nafas diaphoresis. EKG menunjukkan ST elevasi segmen lebih
dari 3 mm lead V2 dan lead V6, konsistensi pada dinding anterior AMI.
5
B. LEARNING OBJECTIVE
1. Problem identification
a. What findings in this patient’s case historssy are consistent with acute
myocardial infarction?
b. What risk factors for developments of CAD are present in the patient?
c. What are the goals of pharmacotherapy in this patient?
d. Based on the history and presentation what drugs therapy are indicated
in this patient?
e. How should the recommended therapy be monitored for efficacy and
adverse effects?
2. Nursing Process
a. What should be assessed before administering the drugs and give the
reason of each assessment?
b. Create some optimal interventions of treatment for this patient and
give the reason of each intervention.
c. Based on your intervention, what discharge medication information
would be most appropriate for this patient?
d. What risk factor modification counseling might be useful for this
patient?
e. The patient returns to the cardiology clinic in 6 weeks for a follow-up
visit. She report feeling fine. What do you recommended at this time?
C. LEARNING OBJECTIVE
1. Apakah yang ditemukan dalam riwayat kasus pasien ini dengan
AMI?
Terdapat keluhan nyeri dada menyebar sampai ke leher dan lengan, sesak
nafas, hasil EKG menunjukkan ST elevasi pada lead 2 dan lead 6,
mempunyai riwayat sakit arteri coroner, hipertensi, DM tipe 2,
hyperlipidemia dan terdapat riwayat penyakit di keluarga AMI
6
2. Faktor resiko apa yang mengembangkan CAD (Coroner Artery
disease) pada pasien?
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi : riwayat keluarga, umur, jenis
kelamin (wanita lebih tinggi dari pada laki-laki)
b. Faktor yang dapat dimodifikasi : riwayat sakit hipertensi, memiliki
riwayat hyperlipidemia, DM
3. Apa tujuan farmakoterapi/ pengobatan pada pasien ini?
a. Mengurangi kebutuhan O2
1) Morfin
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama
mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf
pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi,
euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin
juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait
dengan analgesia spinal dan miosis. Morfin bekerja langsung pada
sistem saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek samping
morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia (rasa inilah
yang sering dicari oleh penyalahguna morfin), rasa kantuk, lesu,
dan penglihatan kabur.
2) Nitrogliserin
Sebuah obat yang memiliki kapasitas luar biasa untuk melebarkan
pembuluh darah, khususnya pembuluh arteri koroner, dan
karenanya, meredakan nyeri dada karena penyakit arteri koroner.
Nitrogliserin dapat diberikan sublingual (di bawah lidah), oral
(dalam bentuk pil), atau intravena. Nitrogliserin sublingual
biasanya mengurangi serangan angina pektoris dalam beberapa
menit. Obat ini juga bisa meredakan nyeri esofagus segera, karena
kapasitas potensialnya untuk dilatasi umum.
3) Beta Bloker
7
Golongan obat ini menghambat adrenoseptor beta (beta bloker)
menghambat adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah
perifer, bronkus, pankreas, dan hati. Penggunaan beta bloker pada
anak masih terbatas. Aktivitas simpatomimetik intrinsik
menunjukkan kapasitas beta bloker untuk merangsang maupun
memblok reseptor adrenergik. Beta bloker memperlambat denyut
jantung dan dapat menyebabkan depresi miokard; beta bloker
dikontra indikasikan pada pasien termasuk anak-anak dengan blok
AV derajat dua atau tiga. Beta bloker harus juga dihindari pada
pasien gagal jantung tidak stabil yang memburuk. Diperlukan
kehati-hatian dalam memulai pemberian beta bloker pada pasien
gagal jantung stabil. Sotalol dapat memperpanjang interval QT,
dan kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang
mengancam jiwa (penting: perhatian khusus untuk menghindari
hipokalemia pada pasien yang menggunakan sotalol).
4) ACE Inhibitor
Berguna untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi,
meningkatkan kerja jantung & mengurangi beban kerja jantung
pada pasien gagal jantung. ACE inhbitor merupakan analog
nonpeptida dari AT I. ACE inhibitor terikat kuat pada sisi aktif
ACE, dimana terjadi kompleks dengan ion Zn dan berinteraksi
dengan gugus bermuatan positif dan kantong hidrofobik. Pada
pasien hipertensi ACE inhibitor menurunkan tekanan darah dengan
mekanisme :
a) Menurunkan resistensi vaskuler perifer.
b) Menurunkan aktivitas simpatetik.
c) Mengurangi retensi Na dan air.
ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga
merangsang sekresi aldosterone.
8
b. Meningkatkan suplai O2
1) Trombolitik
Trombolitik melarutkan trombus yang sudah terbentuk. Agar
efektif trombolitik harus diberikan sedini mungkin. Indikasi
golongan obat ini ialah untuk infark miokard akut, trombosis vena
dalam dan emboli paru. Contoh obat: streptokinase dan urokinase.
Streptokinase berasal dari Streptococcus C. Hemolyticus
dan berguna untuk pengobatan fase dini emboli paru akut dan
infark miokard akut. Streptokinase mengaktivasi plasminogen
dengan cara tidak langsung yaitu dengan bergabung terlebih dahulu
dengan plasminogen untuk membentuk kompleks aktivator.
Selanjutnya kompleks aktivator tersebut mengkatalisis perubahan
plasminogen bebas menjadi plasmin. Masa paruhnya bifasik, fase
cepat 11-13 menit dan fase lambat 23 menit.
Urokinase diisolasi dari urin manusia. Berbeda dengan
streptokinase, urokinase langsung mengaktifkan plasminogen.
Selain terhadap emboli paru, urokinase juga digunakan untuk
tromboemboli pada arteri dan vena. Seperti streptokinase obat ini
tidak bekerja secara spesifik terhadap fibrin sehingga menimbulkan
lisis sistemik (fibrigenolisis dan destruksi faktor pembekuan darah
lainnya). Penggunaan urokinase bersama heparin menyebabkan
insiden perdarahan yang lebih besar dibandingkan dengan heparin
saja. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita emboli paru yang
berumur lebih dari 50 tahun, penderita dengan riwayat penyakit
kardiopulmonal atau dengan gangguan hemostasis berat.
2) Aspirin
Obat aspirin atau asetosal merupakan obat golongan Antiiflamasi
non-steroid yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit (analgesik),
mengatasi demam (antipiretik) dan mengatasi peradangan
(antiinflamasi). Pada dosis rendah aspirin dapat digunakan untuk
9
mengatasi trombosis (antitrombotik) sehingga dapat juga
digunakan untuk mencegah serangan jantung.
Aspirin adalah obat antiinflamasi yang menghambat
pembentukan prostaglandin. Aspirin bekerja dengan cara
menghambat enzim COX (siklooksigenase). Sistem enzim COX
merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin, dengan kerja penghambatan ini maka Aspirin dapat
menghasilkan efek analgesik, antipiretik, antiinflamasi, dan
antitrombotik.
Fungsi aspirin adalah sebagai obat analgesik, antipiretik,
antiinflamasi, dan antitrombotik, oleh karena itu kegunaan aspirin
adalah untuk mengatasi rasa sakit, untuk mengatasi demam, untuk
mengatasi peradangan tulang dan sendi, untuk mengatasi serangan
jantung dan stroke.
3) Heparin
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan
secara parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperlukan efek
yang cepat misalnya untuk emboli paru-paru dan trombosis vena
dalam, oklusi arteri akut atau infark miokard akut. Obat ini juga
digunakan untuk pencegahan tromboemboli vena selama operasi
dan untuk mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal selama operasi
jantung terbuka. Heparin juga diindikasikan untuk wanita hamil
yang memerlukan antikoagulan. Pelepasan heparin ke dalam darah
yang tiba-tiba pada syok anafilaksis menunjukkan heparin
mungkin berperan dalam imunologik. Heparin dikontraindikasikan
pada pasien yang sedang atau cenderung mengalami perdarahan
misalnya: pasien hemofilia, permeabilitas kapiler yang meningkat,
aborsi, perdarahan intrakranial. Obat ini hanya digunakan untuk
wanita hamil bila benar-benar diperlukan. Hal ini disebabkan
insidens perdarahan maternal, lahir mati dan lahir prematur yang
10
dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin. Mekanisme kerja
heparin dengan mengikat antitrombin III membentuk kompleks
yang yang berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri,
terhadap beberapa faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin
dan faktor Xa. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktivasi
faktor pembekuan darah. Heparin diberikan secara IV atau SC.
Pemberian secara SC memberikan masa kerja yang lebih lama
tetapi efeknya tidak dapat diramalkan. Efek antikoagulan akan
segera timbul pada pemberian suntikan bolus IV dengan dosis
terapi, dan terjadi setelah 20-30 menit setelah suntikan SC. Heparin
cepat dimetabolisme di hati, masa paruh tergantung dari dosis yang
digunakan. Metabolit inaktif diekskresi melalui urin.
11
Indikasi : hiperlipidemia tipe IIa, IIb, III, IV dan V, serta pencegahan
penyakit jantung pada pria usia 40-55 tahun yang tidak merespon
dengan cukup terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai.
Dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes mellitus
(DM). Xanthoma yang berhubungan dengan dislipidemia.
b) Atorvastatin termasuk dalam golongan statin. Obat ini bekerja denan
cara menghambat secara kompetitif enzim HMG CoA reduktase, yakni
enzim pada sintesis kolesterol, terutama dalam hati. Obat golongan
statin ini lebih efektif dibanding resin penukar anion dalam
menurunkan kolesterol-LDL tetapi kurang efektif dibanding kelompok
fibrat dalam menurunkan kadar trigliserida dan meningkatkan
kolesterol-HDL.
Statin telah terbukti dapat mengurangi kejadian jantung
koroner, semua kejadian kardiovaskuler pada pasien dengan umur
sampai dengan 70 tahun dengan penyakit jantung koroner (riwayat
angina atau infark miokard akut) dan dengan kolesterol plasma 5,5
mmol/l atau lebih.
Indikasi : Terapi pada dislipidemia atau pencegahan primer
pada penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis), yaitu:
1) Pencegahan primer pada penyakit kardiovaskuler (high risk
CVD): untuk mengurangi resiko MI atau stroke pada pasien tanpa
penyakit hati yang mempunyai faktor resiko multipel atau
diabetes tipe 2.
2) Terapi pada dislipidemia: untuk mengurangi peningkatan
kolesterol total, kolesterol-LDL, apoliporotein B, trigliserida, dan
untuk meningkatkan kolesterol-HDL pada dislipidemia
Frederickson tipe IIa, IIb, III, dan IV, serta pada
hiperkolesterolemia turunan homozigot.
3) Terapi pada hiperkolesterolemia turunan heterozigot pada pasien
remaja (10-17 tahun) yang mempunyai kolesterol-LDL ≥ 190
12
mg/dl atau ≥ 160 mg/dl dengan riwayat keluarga positif beresiko
CVD.
c) Kaptopril yang merupakan golongan obat antihipertensi ACE
inhibitor.Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi
terbentuknya angiotensin II yang mempunyai peran penting dalam
pengaturan tekanan darah arteri. Enzim pengkonversi angiotensin
(ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dalam
beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak pada
sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak
di pembuluh darah bukan di ginjal. Obat-obat golongan ini
diindikasikan untuk hipertensi pada diabetes mellitus dan hipertensi
pada diabetes dengan nefropati. Pada beberapa pasien, obat golongan
ini menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat cepat.
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan
terapi tiazid) dan hipertensi berat yang resisten terhadap pengobatan
lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard;
nefropati diabetic (mikroalbuminuria lebih dari 30 mg/hari) pada
diabetes tergantung insulin.
d) ACE Inhibitor berguna untuk menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi, meningkatkan kerja jantung & mengurangi beban kerja
jantung pada pasien gagal jantung. ACE inhbitor merupakan analog
nonpeptida dari AT I. ACE inhibitor terikat kuat pada sisi aktif ACE,
dimana terjadi kompleks dengan ion Zn dan berinteraksi dengan gugus
bermuatan positif dan kantong hidrofobik
13
e) Contoh obat
Oral Injeksi IV line
Ascardia : 1 x 160 mg Lavenox : 2 x 0,4 mg Nacl ; 3000 cc loading
Omepazole : 2 x 1 tb Cefriaxon : 1 x 2 gr Dobutamin ; 250 mg (50 cc)
20 μg (12cc/jam)
ISDN : 3 x 10 mg Norfoz : 3 x 1 gr Dopamin ; 200mg (50 cc) 20
μg (3,7 cc/jam)
Sivastatin : 1 x 10 mg Pethidin : 25 mg (k/p) Oksigen ; 4 lt/mnt
Diazepan : 2 x 5 mg
Captopril : 2 x 6,25 mg
Laxadin : 3 x 1 Cth
Petidin : 25 mg (k/p)
Paracetamol : 1 x 500 mg
Impecsa : 4 x 1 cth
14
pada saraf pusat. Nyeri dapat dinilai dari skala 1-10, dapat dilihat
dari ekspresi wajah, biasanya AMI akan menimbulkan efeknyeri
pada daerah dada sebelah kiri sampai lengan,
c. Hasil laboratorium
1) Untuk melihat kefektifan obat dapat melihat CKMB. Merupakan
enzim yang spesifik untuk marker kerusakan otot jantung , enzim
ini meningkat 3 jam bila ada MI dan kembali normal dalam 48-72
jam, nilai normal < 24 U/L.
2) Troponin
Nilai normal <0,03, peningkatan ini menjadi pertanda positif
cedera sel miokardium.
3) Kreatinin kinase, meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normal dalam 3-4 hari. Nilai normal pria 0,6-1,3 mg/dl, wanita
0,5 -0,9 mg/ dl.
4) Lactic dehydrogenase (LDH), meningkat setelah 24-48 jam bila
ada infark miokard mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal
dalam 8-14 hari, nilai normal 240-480 U/L.
5) Leukosit meningkat dengan nilai normal dewasa :4000-
10000/mm3 dan LED dengan nilai normal pria dewasa: 0 -
15mm/jam wanita dewasa: 0 - 20mm/jam, tanda ini mulai
berlangsung 24 jam setelah infark dan menetap hingga 2 minggu.
15
D. NURSING PROSES
1. Apakah yang harus dikaji sebelum memberikan obat dan berikan
alasan?
Perosedur dan pengkajian khusus dalam keperawatan merupakan bagian
dari tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang di laksanakan
secara tim. Perawat melakukan fungsi kolaboratif dalam memberikan
tindakan pengobatan secara medis (terapi medis).
16
1) Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan
identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung
kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien
mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat
gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang
lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus
selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2) Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan
nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus
diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk
menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi
obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa
tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil
dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang
diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak
terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian
farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi.
Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan.
Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3) Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika
ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep
atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan
dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik
ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau
tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya 1 amp
ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial
17
dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati
dan teliti
4) Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor
yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan
umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan
fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan
peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
5) Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya
tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang
memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh
kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat
dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu
karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat
diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk
menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam
mefenamat.
6) Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute,
waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak
meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat
alasannya dan dilaporkan.
Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat – obatan yang
aman. Perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah
pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak
lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang
direkomendasikan . Secara hukum perawat bertanggung jawab jika
mereka memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar
atau obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan
klien . Sekali obat telah diberikan , perawat bertanggung jawab pada
18
efek obat yang diduga bakal terjadi. Buku-buku referensi obat seperti ,
Daftar Obat Indonesia ( DOI ) , Physicians‘ Desk Reference (PDR),
dan sumber daya manusia , seperti ahli farmasi , harus dimanfaatkan
perawat jika merasa tidak jelas mengenai reaksi terapeutik yang
diharapkan , kontraindikasi , dosis , efek samping yang mungkin
terjadi , atau reaksi yang merugikan dari pengobatan ( Kee and Hayes,
2006 ).
7) Benar dokumentasi
Benar dalam pencatatan dokumentasi tindakan apayang dilakukan
8) Benar Penolakan
Pasien berhak meolak atas tidakan farmakoterapi yang akan
dilaksanakan.
9) Benar riwayat pengobatan
Pastikan obat yang sering diminum atau konsumsi, pada saat
pengkajian
10) Interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan makanan, Alergi
obat
Setiap obat memiliki efek samping dan pengaruh masing-masing
terhadap reaksi tubuh
11) Benar Pendidikan Kesehatan
Pastikan pesanan khusus atau aturan yang harus ditepati atau
laksanakan pasien benar, agar obat dapat bekerja dengan efektif
12) Benar Evaluasi
Setelah pemberian obat, selalu dievaluasi agar tahu apabila ada alergi
atau obat muntah.
b. Standaran reaksi obat
Sebagai bahan atau benda asing yang masuk kedalam tubuh
obat akan bekerja sesuai proses kimiawi, melalui suatu reaksi obat.
Reaksi obat dapat dihitung dalam satuan waktu paruh yakni suatu
interval waktu yang diperlukan dalam tubuh untuk proses eliminasi
19
sehingga terjadi pengurangan konsentrasi setengah dari kadar puncak
obat dalam tubuh.
Ada 2 efek obat yakni efek teurapeutik dan efek samping. Efek
terapeutik adalah obat memiliki kesesuaian terhadap efek yang
diharapkan sesuai kandungan obatnya seperti paliatif ( berefek untuk
mengurangi gejala), kuratif ( memiliki efek pengobatan) dan lain-lain.
Sedangkan efek samping adalah dampak yang tidak diharapkan, tidak
bias diramal, dan bahkan kemungkinan dapat membahayakan seperti
adanya alergi, toksisitas ( keracunan), penyakit trogenic, kegagalan
dalam pengobatan, dan lain-lain.
1) Efek yang diinginkan (efek terapi)
Efek terapeutik obat memang dapat menyembuhkan, tetapi
tidak semua obat betul-betul menyembuhkan penyakit, banyak
diantaranya hanya meniadakan atau meringankan gejalanya.
Karena itu dapat dibedakan tiga jenis pengoatan, yaitu :
a) Terapi kausal: disini obat bekerja dengan cara meniadakan
penyebab penyakit, misalnya pemusnahan kuman, virus
atau parasit.
b) Terapi simptomatis: hanya gejala penyakit yang diobati dan
diringankan, penyebabnya yang lebih mendalam tidak
dipengaruhi, misalnya kerusakan pada suatu organ atau
saraf.
c) Terapi subsitusi: disini obat berfungsi menggantikan zat
yang lazimnya dibuat oleh organ yang sakit. Misalnya
insulin pada diabetes, karena produksinya oleh pankreas
kurang atau terhenti.
20
dosis yang dianjurkan, misalnya rasa mual pada
penggunaan digoksin, rasa kantuk pada penggunaan CTM.
b) Idiosinkrasi : peristiwa dimana suatu obat memberikan efek
yang secara kualitatif berlainan dari efek normalnya.
Umumnya hal ini disebabkan oleh kelainan genetis pada
pasien bersangkutan.
c) Alergi : reaksi antara obat dengan tubuh yang membentuk
antibodi sehingga seseorang menjadi hipersensitifitas
terhadap obattersebut.
d) Fotosensitasi : adalah kepekaan berlebihan terhadap cahaya
akibat penggunaan obat, terutama secara lokal.
3) Efek Toksis (racun)
Setiap obat dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan efek toksis.
Pada umumnya reaksi toksis berhubungan langsung dengan
tingginya dosis: bila dosis diturunkan, efek toksis dapat dikurangi.
21
Setelah melalui sirkulasi, obat akan mengalami proses
metabolisme. Obat akan ikut sirkulasi kedalam jaringan kemudian,
berinteraksi dengan sel dan melakukan sebuah perubahan zat kimia
hingga menjadi lebih aktif.
4) Ekskresi Sisa
Setelah obat mengalami metabolisme atau pemecahan akan
terdapat sisa zat yang tidak dapat dipakai. Sisa zat ini tidak
bereaksi kemudian keluar melalui ginjal dalam bentuk urine, dari
interstinal dalam bentuk feses dan dari paru-paru dalam bentuk
udara.
Reaksi obat di dalam tubuh tidak semuanya sama. Ada kalanya
obat memiliki reaksiyang cepat dan ada kalanya memiliki reaksi
yang lambat. Semuanya tergantung dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya, di antaranya usia dan berat badan, jenis
kelamin, faktorgenetis, faktor psikologis, kondisi patologis, waktu,
cara pemberian, dan lingkungan.
Obat memiliki dua efek yakni efek terapeutik dan efek
samping. Efek terapeutik obat memiliki kesesuaian terhadap efek
yang diharapkan sesuai kandungan obatnya seperti paliatif (berefek
untuk mengurangi gejala), kuratif (memiliki efek pengobatan),
suportif (berefek untuk menaikan fungsi respons tubuh), subtitutif
(berefek sebagai pengganti), efek kemoterapi (berefek untuk
mematikan atau menghambat), dan restoratif (berefek pada
memulihkan tubuh yang sehat). Efek samping merupakan dampak
yang tidak diharapkan, tidak bisa diramal, dan bahkan
kemungkinan dapat membahayakan seperti adnya alergi, toksisitas
(keracunan), penyakit iatrogenik, kegagalan dalam pengobatan,
dan lain-lain.
22
Jika pasien menolak pemberian obat, intervensi keperawatan
pertama yang dapat dilakukan adalah dengan menanyakan alasan
pasien melakukan hal tersebut. Kemudian, jelaskan kembali
kepada pasien alasan pemberian obat. Jika pasien terus menolah,
maka sebaiknya tunda pengobatan, laporkan ke dokter, dan catat
dalam laporan.
2) Integritas kulit terganggu
Untuk mengatasi masalah gangguan integritas kulit, lakukan
penundaan dalam pengobatan, kemudian laporkan ke dokter dan
catat kedalam laporan.
3) Disorientasi dan bingung
Masalah disorientasi dan bingung dapat diatasi oleh perawat
dengan cara melakukan penundaan pengobatan. Jika pasien ragu,
laporkan kedokter dan catat dalam laporan.
4) Menelan Obat
Sebagai perawat yang memiliki peran dependen, jika pasien
menelan obat, maka sebaiknya laporkan kejadian tersebut kepada
dokter, untuk selanjutnya dokter yang akan melakukan
intervensi.
5) Alergi Kulit
Apabila terjadi alergi kulit atas pemberian obat kepada pasien,
keluarkan sebanyak mungkin pengobatan yang telah diberikan,
beritahu dokter dan catat dalam pelaporan.
23
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior
b. Beta blocker
Diperlukan kehati-hatian dalam memulai pemberian beta bloker pada
pasien gagal jantung stabil. Sotalol dapat memperpanjang interval QT, dan
kadang-kadang menyebabkan aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.
Beta bloker dapat mencetuskan asma. Karena itu, harus dihindarkan
pemberiannya pada pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa beta bloker dapat
mengurangi laju kekambuhan infark miokard. Namun, adanya gagal
jantung, hipotensi, bradiaritmia, dan penyakit paru obstruktif membuat
obat golongan ini tidak dapat diberikan pada beberapa pasien yang telah
sembuh dari infark miokard.
c. Nitrogliserin
Nitrogliserin tablet sublingual dapat memberikan efek seperti: nyeri
kepala, pusing, kelemahan, takikardi, hipotensi. Jika efek samping yang
terjadi ringan, maka efek samping ini biasanya akan hilang dengan
sendirinya dalam beberapa hari atau minggu.
d. ACE inhibitor
Dapat menyebabkan hyperkalemia subklinis dan angioedema, namun
relative jarang ditemukan. Angioedema yang mengancam nyawa ini
biasanya ditemukan pada ras Afrikan dan dimulai dengan pembekakan
mulut/bibir/lidah.
e. Trombolitik
Trombolitik dapat menyebabkan mual, muntah, dan perdarahan. Bila
trombolitik digunakan pada infark miokard, dapat terjadi aritmia reperfusi
dan hipotensi. Perdarahan biasanya terbatas pada tempat injeksi, tetapi
dapat juga terjadi perdarahan intraserebral atau perdarahan dari tempat-
tempat lain, jika terjadi perdarahan yang serius, trombolitik harus
dihentikan.
f. Aspirin
24
Sifatnya yang mengencerkan darah dapat menyebabkan perdarahan di
berbagai tempat dalam tubuh bila dikonsumsi dalam jumlah tak terbatas
dan melebihi dosis. Tempat yang paling sering mengalami perdarahan
adalah laambung. Gejala yang timbul akibat perdarahan akibat aspirin
antara lain nyeri perut hebat, feses yang menghitam, dan urin yang
kemerahan.
g. Heparin
Heparin bekerja mengencerkan darah, akibatnya tubuh akan lebih rentan
untuk mengalami perdarahan. Apabila terjadi terus menerus, dosis heparin
harus segera dihentikan dan diberikan obat penawarnya yaitu protamin
sulfat. Dapat memicu reaksi alergi dan syok anafilaktik, Osteoporosis:
terjadi pada 30% pasien yang didosiskan heparin jangka panjang. Heparin
dapat mempercepat proses pengeroposan tulang. Meningkatkan enzim
transaminase hati dan terjadi trombositopenia
a. Morfin
Dalam bukunya Key dan evelyn 2012 menyebutkan mahwa morfin
termasuk pada analgesik narkotik yang bekerja terutama pada sisitem saraf
pusat. Narkotik ini tidak hanya menekan rangsang nyeri tetapi juga
menekan pernapasan dan batuk pada medula di batang otak. Morfin
merupakan analgesik kuat yang dapat cepat menekan pernapasan, obat ini
digunakan untuk mengatasi nyeri sedang sampai kuat.
Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
b. Nitrogliserin 0,15-1,2 mg
Bagi pasien nyeri dada yang masih berlangsung saat saat tiba di ruang
gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian,
25
dapat diulang maksimal sampai 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan
pada pasien yang tidakresponsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
Dalam keadaan tidak tersedia NTG maka isosorbid (ISDN) 2,5-5mg dapat
dipakai sebagai pengganti.
c. βblocker
βblocker direkomendasikan bagi pasien NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan atau takikardi. Penyekat beta oral hendaknya diberikan 24
jam pertama, dan diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada kontra indikasi. Pemberian obat ini pada
pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang
dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi kilip≥ III.
d. ACE inhibitor
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark –
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, denganatau tanpa
gagl jantung klinis
1) Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri≤40 % dan pasien dengan diametes melitus, hipertensi tau penyakit
ginjal kronik.
26
2) Inhibotor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita
selain seperti diatas. Pilih jenis dan obat inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
3) Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
miokard yang intoleran terhadan inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40 % dengan atau tanpa gejala klinis gagal
jantung.
Inhibitor ACE dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5 – 10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5 – 20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
27
4. Faktor resiko yang berguna pada pasien ini ( penyakit penkes)
Secara garis besar terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk
terkena infark miokard akut, yaitu faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan
faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi :
28
Hipertensi sistemik menyebabkan meningkatnya afterload yang secara
tidak langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi
seperti ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi
dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung.
5) Obesitas
Terdapat hubungan yang erat antara berat badan, peningkatan tekanan
darah, peningkatan kolesterol darah, DM tidak tergantung insulin, dan
tingkat aktivitas yang rendah.
6) Kurang olahraga
Akivitas aerobik yang teratur akan menurunkan resiko terkena
penyakit jantung koroner, yaitu sebesar 20-40%
7) Penyakit Diabetes
Risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada pasien dengan DM
sebesar 2-4 lebih tinggi dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan
dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi
sistemik, peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi
platelet)
b. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Merupakan faktor risiko yang tidak dapat dirubah atau dikendalikan, yaitu
diantaranya :
1) Usia
Resiko meningkat pada pria diatas 45 tahun dan wanita diatas 55
tahun (umumnya setelah menopause).
2) Jenis kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua
kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan
dengan estrogen yang bersifat kardioprotektif pada perempuan. hal ini
terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
dengan laki-laki pada wanita setelah menopause.
29
3) Riwayat keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK sebelum usia
70 tahun merupakan faktor resiko independent untuk terjadinya PJK.
Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetic pada
keadaan ini. Terdapat bukti bahwa riwayat positif pada keluarga
mempengaruhi onset penderita PJK pada keluarga dekat.
4) RAS
Insidensi kematian akibat PJK pada orang asia yang tinggal di Ingris
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk local, sedangkan angka
yang rendah terdapat pada RAS apro-karibia.
5) Geografi
Tingkat kematian akibat PJK lebih tinggi di Irlandia Utara,
Skotlandia, dan bagian Inggris Utara dan dapat merefleksikan
perbedaan diet, kemurnian air, merokok, struktur sosio-ekonomi, dan
kehidupan urban.
6) Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian A yang memiliki sifat agresif, kompetitif, kasar,
sinis, gila hormat, ambisius, dan gampang marah sangat rentan untuk
terkena PJK. Terdapat hubungan antara stress dengan abnormalitas
metabolisme lipid.
30
4) Anjurkan kepada pasien diet rendah kalori untuk mencegah
terjadinya asterosklerosis yang dapat memicu timbulnya IMA
b. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan yang diberikan adalah mengajak pasien dan
keluarga untuk mengubah gaya hidup yang sehat agar tidak terjadi
infark berulang.
1) Gaya hidup
Pasien yang pernah mengalami IM secara khusus diberikan
pemahaman untuk memperbaiki kualitas hidupnya dan untuk
mencegah terjadinya IM berulang dengan berhenti merokok,
memilih makanan sehat, melakukan aktifitas fisik sesuai
kemampuan. Menurunkan atau menghindari obesitas penting
untuk pencegahan primer. Dengan perubahan gaya hidup
seperti ini keperluan untuk penggunaan terapi seumur hidup
dapat dihindari.
2) Berhenti merokok
Merokok dapat merusak transportasi oksigen sedangkan pada
pasien paska IM perlu sediaan oksigen yang baik. Dengan
berhenti merokok dan menghindakan didi sebagai perokok
pasif diharapkan dapat memelihara dan mmemenuhi kebutuhan
oksigen dengan baik
3) Melakukan pemilihan makanan sehat
Peran keluarga penting dalam tanggung jawab untuk membeli
dan menyiapkan makanan. Anjuran diet yan diperlukan pasien
adalah mengurangi konsusmsi lemak jenuh atau konsumsi
kolesterol kurang dari 300 mg/hari, meningkatkan konsumsi
sayur , gandum atau buah segar ± 800 gr/hari, mengurangi
asupan kalori bila perlu menurunkan berat badan, mengurangi
konsumsi garam dan alcohol bila ada tekanan darah tinggi.
31
4) Meningkatkan aktifitas pasien dengan memulai rehabilitasi
dini paska IM
Memberikan pemahan pada pasien dan keluarga pentingnya
aktifitas fisik secara bertahap. Aktifitas yang dilakukan dapat
memperlancar aliran darah sehingga tmencegah terjadinya
aliran gangguan kolateral. Selain itu dengan aktifitas fisik
energi terbakar sehingga membantu menurunkan berat badan
dengan aktifitas pula dapat mempengaruhi tonus otot abdomen
sehingga dapat merangsang peristaltik dan konstipasi dapat
dihindari.
5) Menurunkan berat badan
Obesitas dapat meningkatkan tahanan perifer dan beban
jantung serta meningkatkan kerentaran faktor – faktor lain
seperti infeksi. Untuk itu penting bagi pasien paska IM
menurunkan berat badan dengan melakukan aktifitas fisik
sehingga lemak yang ada dalam tubuh dapat berkurang
sehingga menurunkan resiko terjadinya plague arteri.
6) Mengontrol Tekanan Darah
Hipertensi menyebabkan peningkatan tahanan perifer yang
merusak intima arteri dan menyebabkan arterosklerosis.
Dengan mengontrol tekanan darah diharapkan dapat
menurunkan resiko terjadi infark ulang.
7) Mengontrol gula darah
Mengotrol gula darah memiliki efek positif pada penyakit
mikrovaskuler diabetes dan komplikasi lainnya. Dalam hal ini
derajat hiperglikemia berkaitan dengan peningkatan resiko
aterosklerosis. Penderita diabetes mempunyai resiko lebih
tinggi infark ulang dibanding yang nondiabetes.
8) Terapi farmakologi
Pasien dan keluarga perlu diberikan pemahaman tentang
pentingnya disiplin dalam pengobatan untuk menurunkan
32
angka kesakitan dan kematian. Adapun obat – obat yang perlu
dikonsumsi adalah :
i. Aspirin (75 - 300 mg/ hari), atau ticlopidin bila tidak dapat
mentolerir aspirin
ii. Penyekat Beta yang dapat menurunkan resiko terjadi
infark berulang
iii. ACE pada penderita dengan gejala gagal jantung pada saat
terjadi infark akut atau disfungsi sistolik ventrikel kiri
yang persisten (fraksi ejeksi < 40%)
iv. Antikoagulan paska Infark Miokard untuk pasien – pasien
dengan resiko tromboemboli, termasuk mereka yang
mengalami infark miokard luas, anurisma atau thrombus
ventrikel kiri, takiaritmia paroksismal, gagal jantung
kronis dan yang memiliki riwayat tromboemboli.
v. Penurun Lipid. Pada pasien dengan kadar kolesterol tinggi
sebaiknya diberikan golongan statin sedang pada kadar
LDL normal dan LDL rendah diberikan golongan fibrat.
33
BAB III
PENUTUP
Sebagai perawat kita harus tahu fungsi, dosis serta efek samping dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan terapi yang diberikan dokter untuk pasien. Oleh
karena itu marilah kita meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan
dalam pemberian obat.
34
DAFTAR PUSTAKA
Price SA, Wilson LM. 2005. Brown CT Penyakit Aterosklerosis Koroner. Dalam :
Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
35