Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi HIV

Perjalanan penykit HIV di dalam tubuh pejamu pada fase akut masih dikendalikan oleh sistem imun
tubuh pejamu, hingga menginjak pada fase kronik akan menimbulkan berbagai manifestasi infeksi
oportunistik sebagai tanda bahwa telah terjadi defisiensi imun masif di dalam tubuh pejamu. AIDS
berkembang selama bertahun-tahun sebagai infeksi HIV laten, kemudian menjadi teraktivasi dan
menghancurkan sel imun. Produksi virus mengakibatkan kematian sel-sel yang terinfeksi, maupun
kematian limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, serta berkembang menjadi AIDS secara klinis
(Abbas et al., 2016: 270).
HIV menginfeksi sel imun yang mengekspresikan CD4 pada membran selnya. Beberapa sel imun
yang menjadi target infeksi HIV diantaranya sel T CD4, sel dendritik, makrofag, sel-sel saraf (astrosit dan
oligodendritik). Sel yang paling banyak mengekspresikan CD4 adalah sel T CD4. Pada patogenesisnya,
HIV masuk kedalam sel CD4 melalui ikatan reseptor CD4 dan koreseptor CXCR4 atau CCR5. Ketika sel
T CD4 terinfeksi akan terjadi penurunan fungsi bahkan lisis dari sel CD4 tersebut yang mengakibatkan
penurunan jumlah sel T CD4 itu sendiri (Kumar et al., 2013: 141). Mekanisme penurunan sel T CD4
diperkirakan terjadi melalui beberapa galur, yaitu efek langsung virus dalam sitoplasma sel yang dapat
melisiskan sel, sel yang terinfeksi menjadi terinduksi untuk apoptosis, pelenyapan sel T CD4 oleh sel T
CD8, sel T CD4 yang terinfeksi HIV bergabung menjadi sel datia sehingga cenderung mengalami sitolisis
dalam jangka waktu yang pendek, dan terdapatnya gp120 bebas dalam darah akan menempel pada reseptor
sel T CD4 yang normal dan akan menjadi suatu opsonisasi bagi sel sitotoksik CD8 untuk melisiskan sel
tersebut karena terekspresinya molekul gp120 di membran selnya (Subowo, 2013: 194).
Selain sel T CD4, tidak menutup kemungkinan bahwa sel-sel yang mengekspresikan protein CD4
akan ikut terinfeksi, seperti sel makrofag. Berbeda dengan sel T CD4, sel makrofag lebih resisten terhadap
sitopatik dari virus, sehingga tidak dapat lisis ataupun apoptosis dengan cepat. Oleh karena itu, sel makrofag
ini dapat mengandung HIV dalam jangka waktu lama. Selain sel makrofag juga terdapat sel dendritik yang
dapat terinfeksi oleh HIV, baik fagosit secara langsung, maupun melalui reseptor Fc yang diperantarai oleh
kompleks imun antibodi-HIV (Kumar et al., 2013: 144).
Setelah mendapatkan infeksi HIV, pejamu akan mengalami gejala akut viremia yang memunculkan
manifestasi demam tinggi, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan pembengkakan limfonodi. Kejadian ini
berlangsung selama 2-8 minggu setalah terinfeksi HIV. Pada fase ini terjadi respon imun akut yang akan
menurunkan kadar viremia, baik oleh antibodi, monosit, maupun sel T CD8. Setelah fase akut ini, akan
berkembang ke fase laten. Transisi menuju fase laten, jumlah sel T CD4 mulai naik, namun tidak kembali
normal. Fase laten ini berkisar antara 2 hingga 15 tahun. Pada fase laten ini tidak terjadi manifestasi klinik
pada pejamu, sehingga fase ini juga disebut fase asimptomatik. Pada fase laten terjadi suatu perlambatan
proses replikasi dari HIV di dalam sel yang terinfeksi sehingga jumlah viremia menurun dan cenderung
stabil (Subowo, 2013: 193). Fase laten menunjukkan kurva kenaikan sedikit mengenai jumlah antibodi
spesifik HIV, namun terjadi penurunan pada sel T CD4 juga sel T CD8. Penurunan jumlah sel T CD4 ini
akan terus meningkat, hingga kadarnya mencapai kurang dari 200 sel/mm3 menjadi lebih rentan terhadap
infeksi oportunistik dan terdiagnosis AIDS (Abbas et al., 2016: 272). Setelah melalui fase laten atau
asimptomatik, maka HIV akan masuk ke dalam fase kritis. Pada fase kritis ini mulai terjadi beberapa infeksi
oportunistik seperti infeksi TBC, CMV, Candida sp., hingga HBV (Kumar et al., 2013: 146). Pada fase
kritis juga terjadi peningkatan replikasi HIV yang meningkat tajam dengan kecepatan penuh. Mekanisme
peningkatan ini belum dapat dipastikan (Abbas et al., 2016: 272). Beberapa penelitian sudah mulai
menunjukkan titik terang mekanisme ini. Pernah diamati bahwa limfosit dalam fase laten tersebut
dirangsang oleh mitogen atau antigen akan menghasilkan replikasi yang cepat. Tidak menutup
kemungkinan terjadi pula aktivasi replikasi dari HIV yang menginfeksi set T CD4 spesifik pada
mikroorganisme tertentu saat terjadi infeksi sekunder dari mikroorganisme tersebut. Hal ini tentunya tidak
lepas dari peran sitokin yang dilepaskan yaitu TNF-a, TNF-b, dan IL-6 yang dimungkinkan dapat
menginduksi replikasi HIV dalam sel yang terinfeksi (Subowo, 2013: 199).
Gambar: Penyebab Kerusakan Sel T CD4
Sumber: Imunologi Klinik Edisi 2 (2013)
Gambar: Perjalanan HIV dalam Tubuh Pejamu
Sumber: Imunologi Klinik Edisi 2 (2013)

Subowo. 2013. Imunologi Klinik. Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta.


Abbas, Abdul K., Andrew H. Litchman, dan Shiv Pillai. 2016. Basic Immunology: Function and Disorders
of the Immune System. 5th Ed. Elsevier Inc. Singapore. Terjemahan Handono Kalim. 2016. Imunologi
Dasar Abbas: Fungsi dan Kelainan Sistem Imun. Edisi 5. Elsevier Inc. Singapore.
Kumar, Vinay, Abdul K. Abbas, Jon C. Aster. 2013. Robbins Basic Pathology. 9th Ed. Elsevier Inc.
Singapore. Terjemahan Imade Nasar dan Santoso Cornain. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Elsevier Inc. Singapore.

Anda mungkin juga menyukai