Anda di halaman 1dari 396

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/318711339

ADAT PERKAWINAN MELAYU: GAGASAN, TERAPAN, FUNGSI, DAN


KEARIFANNYA

Book · August 2014

CITATIONS READS

0 10,994

3 authors, including:

Muhammad Takari
University of Sumatera Utara
61 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

My current project is research about senam Melayu in Serdang culture area. View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Takari on 27 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
ADAT PERKAWINAN MELAYU :

GAGASAN, TERAPAN, FUNGSI,


DAN KEARIFANNYA

Muhammad Takari
A. Zaidan B.S.
Fadlin Muhammad Dja’far

Penerbit:
USUPress

2014

ii
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F
Jl. Universitas No. 9, Kampus USU
Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:


http://usupress.usu.ac.id

Terbitan Pertama 2014

© USU Press 2014

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak,


menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa
atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN: 979 458 678 1

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya/


Muhammad Takari [et al.] --Medan: USU Press, 2014.

xv, 379 p.; ilus.; 24 cm


Bibliografi
ISBN: 979-458-678-1
Dicetak di Medan, Indonesia

iii
Ulasan Walikota Medan
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Buku yang bertajuk Adat Perkawinan Melayu: Gagasan,
Terapan, Fungsi, dan Kearifannya ditulis oleh tiga penulis budaya
Melayu Sumatera Utara, dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Dengan
terbitnya buku ini, semua warga Kota Medan menyambut dengan senang
hati, dalam konteks menambah ilmu, wawasan, pemahaman, dan
penghayatan terhadap keberadaan adat perkawinan dalam peradaban
Melayu.
Buku-buku bertemakan budaya dan adat, memang sangat
diperlukan dalam membina dan membentuk karakter setiap warga di
Indonesia. Buku-buku semacam ini dapat menjadi pencerah terhadap
identitas yang mengacu kepada kebudayaan bangsa sendiri di tengah-
tengah proses globalisasi yang kian hari kian padat densitasnya.
Globalisasi apabila tidak dihadapi dengan bijaksana dan penuh kearifan,
akan berdampak buruk bagi perkembangan peradaban kita. Oleh karena
itu, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mengkaji, meneliti, dan
mempublikasikan karya-karya di bidang ilmu budaya. Karya-karya
seperti ini akan dapat memperkuat ketahanan kebudayaan bagi kita
semua. Selain itu, akan mempolarisasikan ke arah yang benar karakter
kita masing-masing dalam mengisi peradaban.
Buku yang bertema adat perkawinan Melayu ini, diharapkan akan
menjadi salah satu sumber bagaimana ide mengenai perkawinan,
penerapannya dalam upacara, serta fungsi dan kearifannya pada
kebudayaan Melayu. Buku ini juga menjelaskan bagaimana beragamnya
kekayaan adat istiadat perkawinan Melayu itu yang ditransmisikan
melalui tradisi lisan. Kekayaan variatif adat perkawinan Melayu ini perlu
terus diteliti dan digali, sambil kita mencari norma-norma umum yang
melandasi apa yang diarahkan oleh adat Melayu.

iv
Di dalam buku ini juga dijelaskan secara rinci urutan-urutan
pelaksanaan istiadat perkawinan Melayu, dengan contoh khusus budaya
Melayu Sumatera Utara. Namun ketiga penulis buku ini juga
menyediakan ruangnya untuk mendeskripsikan beberapa upacara
perkawinan Melayu, di kawasan dunia Melayu seperti: Riau, Sumatera
Selatan, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia. Tujuan penulis buku
ini adalah untuk mencari kesamaan-kesamaan dan kekayaan variasi
budaya adat perkawinan Melayu, yang menjadi karakteristik umum
budaya Dunia Melayu. Tepatnya adalah kekayaan variatif dalam satu
kesatuan budaya Melayu. Nilai-nilai kebersamaan dalam variasi ini
menjadi denyut utama dalam mempraktikkan kebudayaan Melayu secara
umum.
Semoga saja buku-buku tentang budaya Melayu dan juga
budaya-budaya etnik lain terus terbit di Kota Medan ini. Terbitnya buku-
buku seperti ini adalah tanggung jawab dari semua pihak yang
berkompeten, seperti para ilmuwan, budayawan, ahli-ahli adat, pengamat
kebudayaan, lembaga-lembaga adat, pemerintah, dan masyarakat
pendukung. Akhirnya kita berharap agar setiap kita akan menjadi warga
yang berkarakter dan mencintai budaya.

Medan, Oktober 2014


wasalam,

Drs. T. Dzulmi Eldin S., M.Si.

v
Dari Penulis
Kami para penulis mengucapkan syukur alhamdulillah, atas
karunia Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan taufik dan
hidayah-Nya, terutama dalam konteks menulis buku ini. Dalam waktu
yang begitu singkat dan kesibukan sosial yang padat, kami diberi Allah
kekuatan, kesehatan, dan ilmu untuk dapat menyelesaikan penulisan buku
ini. Demikian pula selawat dan salam kami tujukan kepada Nabi
Muhammad yang diharapkan kelak syafaatnya di yaumil akhir. Berkat
ajaran-ajaran Nabi Muhammad, maka dunia ini penuh dengan ilmu
pengetahuan, kebijaksanaan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, dan
menuju ridha Ilahi.
Dalam rangka penulisan buku ini kami mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh masyarakat Melayu dan
pendukung budaya Melayu atas semua data-data empiris budaya yang
hidup dan berkembang, sehingga sangat memudahkan kami dalam
meneliti, mengkaji, dan menuliskannya dalam bentuk buku.
Terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada Bapak
Walikota Medan, Drs. T. Dzulmi Eldin S., M.Si.; dan segenap jajarannya,
yang telah sudi memberikan dukungan moral dan material dalam konteks
penelitian dan penulisan buku ini. Bapak Walikota sangat antusias dan
apresiatif dalam rangka membangun peradaban Melayu sebagai simbol,
ikon, dan indeks Kota Medan, dan juga peradaban-peradaban etnik
lainnya.
Terima kasih diucapkan kepada segenap Pengurus Besar Majelis
Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI), yang dinakhodai oleh
Dato’ Sri Syamsul Arifin, S.E. Gelar Datuk Lelawangsa Sri Hidayatullah
(Suku Melayu Sahabat Semua Suku). Demikian pula Tengku Yos Rizal,
selaku Pengurus Harian, Syahril Tambusai, selaku sekretaris, dan yang
lainnya. Majelis ini sangat mendukung dilakukannya penelitian dan

vi
penulisan buku dengan tema-tema budaya Melayu, dan itu ditugaskan
kepada kami. Ucapan terima kasih juga ditujukan khusus kepada divisi
adat dalam PB MABMI, yaitu Bapak Yuscan, Muhammad Yamin, dan
lainnya.
Kepada pihak penerbit, yaitu Universitas Sumatera Utara Press,
di Kampus USU Padangbulan, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya
yang telah membantu proses penyuntingan dan penerbitan buku ini.
Terutama kepada pimpinan USU Press, Bapak Drs. Sis Mujito, M.Si.,
dan khususnya kepada Saudara Mukhsin dan Ichsan, yang telah
meluangkan waktunya dalam pengerjaan buku ini. Semoga Allah
Subhana Wata’ala mencucuri limpahan karunia-Nya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada dua
telangkai Melayu Sumatera Utara, yaitu Tengku Syahdan Saputra dan
Tengku Ismail, sebagai informan kunci dalam rangka penelitian adat
perkawinan Melayu ini. Semoga Allah mencucuri rahmat kepada
keduanya dan segenap keluarganya selalu.
Akhir kata kami para penulis merasa bahwa buku ini belumlah
sempurna dalam ukuran saintifik ilmu-ilmu budaya. Oleh karena itu,
kami memohon masukan dan saran-saran dari para pembaca untuk
memperbaiki buku ini dalam edisi terbitan yang berikutnya.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk menambah dokumentasi
budaya mengenai institusi adat perkawinan Melayu. Buku ini diharapkan
akan dapat memperkaya wawasan keilmuan kita semua, terutama para
generasi muda. Kita berharap para tunas bangsa ini sadar akan sejarah
budaya, dan dengan langkah pasti mengamalkan dan mempraktikkan
kebudayaannya dalam rangka menghadapi dan menyongsong globalisasi.

Medan, Oktober 2014


wasalam kami penulis,

Takari, Zaidan, dan Fadlin

vii
Daftar Isi
Kata Pengantar Dari Walikota Medan ................................................... iv
Dari Penulis ......................................................................................... vi
Daftar Isi ........................................................................................... viii
Daftar Bagan, Peta, Tabel, Gambar, dan Notasi ................................... xii

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................... 1


1.1 Pengantar ...................................................................................... 1
1.2 Fenomena Menarik pada Institusi Perkawinan Adat Melayu .......... 8
1.3 Pendekatan Multidisiplin .............................................................12
1.4 Pentingnya Kajian terhadap Adat Perkawinan Melayu .................. 22

BAB II: ADAT DALAM PERADABAN MELAYU ........................25


2.1 Pengenalan ...................................................................................25
2.2 Arti Adat ......................................................................................27
2.3 Empat Kategori Adat Melayu ........................................................30
2.3.1 Adat yang Sebenar Adat .....................................................31
2.3.2 Adat yang Diadatkan.............................................................39
2.3.2.1 Sidik .............................................................................44
2.3.2.2 Amanah ........................................................................45
2.3.2.3 Tabligh .........................................................................46
2.3.2.4 Fathonah ......................................................................48
2.3.2.5 Sifat-sifat Umum Pemimpin dalam Perspektif Budaya
Melayu .........................................................................49
2.3.3 Adat yang Teradat.................................................................50
2.3.3 Adat-istiadat .........................................................................53
2.4 Fungsi Adat ...................................................................................56
2.5 Nilai-nilai Adat .............................................................................57

viii
BAB III. GAGASAN PERKAWINAN DALAM
BUDAYA MELAYU ..........................................................66
3.1 Pengenalan ...................................................................................66
3.2 Ajaran Islam mengenai Perkawinan ..............................................67
3.3 Perkawinan dalam Perpektif Budaya Melayu ................................ 73
3.4 Tentang Pemilihan Jodoh ..............................................................77
3.5 Beberapa Kegiatan Sosial sebagai Sarana Pemilihan Jodoh ...........78
3.6 Perubahan-perubahan yang Terjadi ................................................81

BAB IV. IDENTITAS DAN STRUKTUR KEKERABATAN


MASYARAKAT MELAYU ................................................ 85
4.1 Pengenalan ....................................................................................85
4.2 Dunia Melayu atau Alam Melayu ..................................................86
4.3 Konsep tentang Melayu ................................................................89
4.3.1 Melayu Terbentuk dari Proses Campuran dalam
Satu Integrasi Kultural ......................................................94
4.3.2 Sifat-sifat .........................................................................95
4.4 Tingkatan Kebangsawanan Melayu ...............................................97
4.5 Sistem Kekerabatan .................................................................... 100

BAB V. UPACARA ADAT PERKAWINAN MELAYU


SEBAGAI TERAPAN GAGASAN BUDAYA ................... 107
5.1 Pengenalan ................................................................................. 107
5.2 Variasi Upacara Adat Perkawinan Melayu ................................... 109
5.3 Contoh Deskripsi Upacara Adat Perkawinan Melayu ................... 116
5.3.1 Merisik Kecil Melalui Seorang Telangkai ........................ 119
5.3.2 Merisik Resmi dan Meminang ......................................... 125
5.3.3 Menyorong Tanda (Bertunangan) ................................... 145
5.3.4 Jamu Sukut...................................................................... 147
5.3.5 Berinai ............................................................................ 150
5.3.6 Akad Nikah ..................................................................... 158
5.3.7 Menghantar Pengantin..................................................... 173
5.3.8 Meminjam Pengantin, Memulangkan Pengantin, dan
Membawa Pindah Pengantin Perempuan ......................... 200
ix
5.3.9 Malam Pengantin, Kunjungan, dan hari Megang.............. 203
5.3.10 Resepsi Perkawinan ........................................................ 205

BAB VI. FUNGSI PERKAWINAN ................................................. 212


6.1 Pengenalan ................................................................................ 212
6.2 Fungsi untuk Keberlanjutan Generasi Manusia Melayu ................ 213
6.3 Fungsi sebagai Kontinuitas dan Perubahan Budaya ...................... 215
6.4 Fungsi untuk Menjaga Struktur Kekerabatan .............................. 215
6.5 Fungsi untuk Pemenuhan Kebutuhan Biologis ............................ 216
6.6 Fungsi sebagai Kesempurnaan sebagai Makhluk Manusia ........... 217
6.7 Fungsi untuk Menghindari Perbuatan Dosa ................................. 218
6.8 Fungsi Etika dan Norma-norma Sosial ........................................ 219
6.9 Fungsi Ekspresi Hubungan kepada Allah dan Makhluk ............... 220

BAB VII. SENI PERTUNJUKAN DALAM


RANGKAIAN UPACARA PERKAWINAN .......................... 222
7.1 Pengenalan ................................................................................ 222
7.2 Penggunaan Seni Pertunjukan .................................... 223
7.3 Seni Tari dan Musik Inai ............................................................. 225
7.3.1 Struktur Tari Inai ............................................................... 228
7.3.2 Penari Inai ......................................................................... 238
7.3.3 Busana dan Properti Tari Inai ............................................ 239
7.3.4 Inai..................................................................................... 240
7.3.5 Alat-alat Musik................................................................... 242
7.3.6 Struktur Musik ................................................................... 245
7.3.6.1 Rentak Patam-patam .............................................. 250
7.3.6.2 Melodi Patam-patam .............................................. 255
7.4 Zapin atau Gambus ..................................................................... 257
7.5 Seni Hadrah ................................................................................ 275
7.6 Seni Barzanji dan Marhaban ....................................................... 278
7.7 Tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih .................................... 280
7.8 Rinjis-rinjis dan Anak Ikan .......................................................... 281
7.9 Ronggeng .................................................................................... 282
7.10 Keyboard ................................................................................... 296
x
BAB VIII. KEARIFAN DALAM ADAT PERKAWINAN
MELAYU............................................................................... 298
8.1 Pengenalan ................................................................................ 298
8.2 Pengertian Kearifan Lokal ........................................................... 299
8.3 Kearifan Menjadikan Diri sebagai Manusia yang
Sempurna (Insan Al-Kamil) ......................................................... 304
8.4 Kearifan Membina Hubungan dengan Tuhan, Sesama
Manusia, dan Makhluk ................................................................ 305
8.5 Kearifan Menjaga Struktur Kekerabatan ...................................... 306
8.6 Kearifan Menjadikan Seseorang Masuk Melayu .......................... 307
8.7 Kearifan Melahirkan Generasi Muda yang Berkualitas................. 309
8.8 Kearifan Membentuk dan Menjaga Adat...................................... 310
8.9 Kearifan Mengelola Peradaban Dunia dalam Budaya Melayu ...... 311
8.10 Kearifan Memutus Perkara dalam Konteks Hukum Adat ............. 312
8.11 Kearifan Mengarahkan Kontinuitaas dan Perubahan
Kebudayaan ................................................................................ 313

BAB IX. KESIMPULAN, SARAN, DAN EPILOG ......................... 315


9.1 Kesimpulan ................................................................................. 315
9.2 Saran ........................................................................................... 319
9.3 Epilog ......................................................................................... 321

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 323


LAMPIRAN ...................................................................................... 329

xi
Daftar Bagan, Peta, Tabel,
Gambar, dan Notasi
Bagan 2.1 Hubungan Budaya, Adat, dan Ragam Adat dalam
Kebudayaan Melayu ......................................................65
Peta 4.1 Wilayah Budaya Dunia Melayu .....................................88
Bagan 4.1 Tingkat Kebangsawanan Melayu di Sumatera Utara
dan Hubungannya dengan Masyarakat .......................... 100
Bagan 4.2 Kekekrabatan Melayu Secara Vertikal ......................... 102
Bagan 4.3 Struktur dan Sebutan Anak pada Keluarga Inti
Melayu Sumatera Timur ............................................... 103
Tabel 5.1 Perbandingan Proses Perkawinan Adat Melayu oleh
Beberapa Penulis ......................................................... 112
Gambar 5.1 Beberapa Perlengkapan untuk Acara Merisik dan
Meminang .................................................................. 126
Gambar 5.2 Salah Satu Suasana Merisik dan Meminang ................. 127
Gambar 5.3 Calon Pengantin Perempuan pada Upacara Malam
Berinai ........................................................................ 153
Gambar 5.4 Tari Persembahan Dipersembahkan di Depan Calon
Pengantin Perempuan pada Upacara Malam
Berinai ........................................................................ 154
Gambar 5.5 Inai yang Siap Digunakan ............................................ 155
Gambar 5.6 Gerak Sembah Awal Tari Inai pada Upacara Malam
Berinai ....................................................................... 155
Gambar 5.7 Dua Penari Inai Menampilkan Keahlian Menggerak-
kan Pring pada Upacara Malam Berinai ....................... 156
Gambar 5.8 Penari Inai Sedang Melakukan Atraksi Gerak di
Atas Pahar ................................................................... 156
Gambar 5.9 Acara Hibura Meronggeng Selepas Pertunjukan Tari
Inai pada Upacara Malam Berinai................................. 157
Gambar 5.10 Akad Nikah .................................................................. 164
Gambar 5.11 Doa Selesai Akad Nikah Dipimpin Tuan Kadi .............. 168
xii
Gambar 5.12 Pengantin Lelaki Dijulang dalam Ritual Prosesi
Menghantar Pengantin Lelaki Bersanding ..................... 176
Gambar 5.13 Rombongan Pengantin Lelaki Berhenti di Halamn
Rumah Pengantin Perempuan ...................................... 177
Gambar 5.14 Pertunjukan Silat Menyambut Kedatangan
Rombongan Mempelai Lelaki ..................................... 178
Gambar 5.15 Suasana Hempang Batang ............................................ 178
Gambar 5.16 Tukar Tepak di Tengah Halaman ................................. 179
Gambar 5.17 Pertunjukan Tari Persembahan di Tengah Halaman ..... 179
Gambar 5.18 Suasana Hempang Pintu ............................................. 182
Gambar 5.19 Pijak Batu Lagan ......................................................... 184
Gambar 5.20 Suasana Hempang Kipas .............................................. 186
Gambar 5.21 Kedua Mempelai Duduk Bersanding di Pelaminan ....... 187
Gambar 5.22 Sembah Istri kepada Suami ........................................... 188
Gambar 5.23 Sembah kepada Orang Tua............................................ 188
Gambar 5.24 Tepung Tawar dan Doa dari Ayahanda .......................... 189
Gambar 5.25 Tepung Tawar dan Doa dari Ibunda .............................. 189
Gambar 5.26 Tepung Tawar dari Kerabat .......................................... 192
Gambar 5.27 Persembahan Barzanji dan Marhaban Mengiringi
Acara Tepung Tawar .................................................... 193
Gambar 5.28 Berbagai Jenis Makanan yang Disediakan pada
Acara Makan Nasi Hadap-hadapan ............................. 194
Gambar 5.29 Salah Satu Suasana Acara Makan Nasi Hadap-
hadapan ...................................................................... 195
Gambar 5.30 Suasana Mandi Bedimbar ........................................... 199
Gambar 5.31 Tengku Syahdan, Salah Seorang Telangkai Senior
Sumatera Utara ........................................................... 202
Gambar 5.32 Tengku Ismail, Salah Seorang Telangkai Senior
Sumatera Utara ............................................................ 203
Gambar 5.33 Contoh Foto Suntingan Upacara Resepsi Pernikahan
di Medan yang Dijadikan Bahan Promosi bagi
Fotografer dan Ahli Shooting Video ............................. 209
Gambar 5.34 Salah Satu Suasana Resepsi Adat Perkawinan
Melayu yang Diselenggarakan di Gedung ................... 210
Gambar 5.35 Busana Pengantin Melayu dalam gaya Selayar Eropa .... 210
xiii
Gambar 5.36 Papan Bunga pada Resepsi Adat Perkawinan Melayu
sebagai Kecenderungan Budaya Masa Kini ................... 211
Tabel 7.1 Kegiatan Upacara dan Seni yang Digunakan ................ 222
Tabel 7.2 Deskripsi Gerak Tari Inai (Dengan Teknik
Kinisiologi) dan Pesan Komunikasi yang
Disampaikan................................................................. 231
Gambar 7.1 Penari Inai dan Busananya ........................................... 237
Gambar 7.2 Lilin dan Inai sebagai Properti Tari ............................. 239
Gambar 7.3 Para Pemusik Iringan Tari Inai (Pemain Gendang
Ronggeng dan Biola) .................................................. 240
Gambar 7.4 Serunai ........................................................................ 241
Gambar 7.5 Taksonomi Gendang Ronggeng yang Biasa Dipakai
Mengiringi Tari Ronggeng dan Inai ............................. 243
Gambar 7.6 Motif Tumbuhan pada Baluh Luar Gendang Khas
Buatan Yusuf Wibisono di Medan .............................. 244
Gambar 7.7 Struktur Gendang Ronggeng ....................................... 245
Gambar 7.8 Biola ........................................................................... 246
Gambar 7.9 Tawak-tawak atau Gong untuk mengiringi Tari Inai .... 247
Gambar 7.10 Struktur Tawak-tawak atau Gong ................................. 248
Notasi 7.1 Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang ........................... 250
Notasi 7.2 Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan pada
Pola Rentak Mak Inang ................................................ 251
Bagan 7.1 Struktur Rentak Mak Inang ......................................... 252
Notasi 7.3 Variasi Rentak Mak Inang .......................................... 253
Notasi 7.4 Pola Dasar Ritme Rentak Patam-patam ...................... 253
Notasi 7.5 Patam-patam .............................................................. 255
Notasi 7.6 Tangga Nada Lagu Patam-patam ................................ 256
Notasi 7.7 Rentak Dasar Zapin .................................................... 264
Notasi 7.8 Teknik Interloking dalam Permainan Rentak Zapin .... 265
Tabel 7.3 Beberapa Lagu Zapin yang Lazim Dipersembahkan
di Dunia Melayu ......................................................... 266
Notasi 7.9 Melodi Zapin Bulan Mengambang .............................. 267
Notasi 7.10 Lagu Zapin Lancang Kuning ....................................... 270
Notasi 7.11 Gerak Dasar Tari Zapin ............................................... 273
xiv
Gambar 7.11 Suasana Pertunjukan Tari Zapin Bulan
Mengambang di Salah Satu Pesta Resepsi
Perkawinan di Medan .................................................. 274
Notasi 7.12 Contoh Hadrah, Lagu Bismillah Mula-mula ................ 275
Notasi 7.13 Cuplikan Melodi Marhaban ........................................ 278
Gambar 7.12 Beberapa Ronggeng, Pemusik, dan Penyanyi
Persembahan Ronggeng di Sumatera Utara ................. 284
Notasi 7.14 Tanjung Katung .......................................................... 287
Notasi 7.15 Laksmana ................................................................... 291
Gambar 7.13 Tiga Penyanyi Diiringi Ensambel Keyboard ................ 296

xv
Bab I: Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengenalan

Manusia adalah makhluk Tuhan, yang tumbuh dan berkembang,


dalam dimensi ruang dan waktu yang dilaluinya. Dalam kerangka
demikian ini, manusia baik secara pribadi atau kelompok, selalu
mengadakan upacara-upacara. Selagi masih dalam kandungan diadakan
upacara penyambutan datangnya sang janin. Kemudian pada saat
kelahiran diadakan upacara kelahiran, yang terdiri dari berbagai ritus
pula seperti mencukur rambut bayi, memberi nama, orang tuanya
memberikan sedekah berupa makanan kepada masyarakat luas,
mengayunkannya, mendendangkan lagu-lagu khusus, turun tanah, dan
lainnya. Begitu juga ketika manusia ini berusia remaja, mencapai usia
pubertas (akil baligh), tidak jarang pula dilakukan upacara inisiasi
pubertas. Begitu pula ketika dua insan akan membina rumah tangga,
selalu dilakukan upacara perkawinan. Bentuk-bentuk upacara
perkawinan ini, ada yang relatif sederhana, ringkas, dan cepat—namun
di kalangan kelompok adat manusia yang lainnya, ada yang relatif
kompleks, memakan waktu yang panjang, biaya yang relatif besar,
penuh dengan simbol-simbol, dan seterusnya. Namun pada umumnya
semua kelompok manusia di dunia ini dapat dipastikan selalu
mengadakan upacara-upacara yang berkaitan dengan perkawinan ini.
Seterusnya, ketika manusia tersebut berumah tangga dan menjadi
anggota masyarakat luas, tidak jarang pula mereka melakukan upacara
memasuki persekutuan kelompoknya. Kadangkala sebagai sepasang
suami istri mereka mengadakan kenduri untuk menjamu orang satu desa
atau beberapa desa. Kegiatan ini sekaligus sebagai pertanda ia telah
1
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

mampu secara ekonomis, dan sekaligus menyatakan diri sebagai


anggota masyarakat tersebut yang penuh dengan aturan-aturan dan
sistem kebudayaannya. Dalam konteks ini, ketika keduanya memiliki
keturunan, maka upacara yang biasa dilakukan terhadap mereka ketika
janin, balita, dan dewasa juga akan diterapkan kepada anak-anaknya.
Sehingga terjadilah siklus upacara, yang dilakukan secara turun-
temurun.
Tidak cukup sampai di situ saja, ketika ia mengalami sakit, baik itu
secara fisik atau psikis, maka selain melalui pengobatan (apakah secara
kedokteran atau supernatural), selalu pula dilakukan upacara adat.
Begitu pula ketika ia sembuh dari suatu penyakit. Seterusnya ketika ia
meninggal pun, maka keluarga yang ditinggalkannya selalu pula
melakukan upacara, baik itu pembacaan doa dan sejenisnya,
sembahyang jenazah, penguburan (ada pula yang mengkremasinya,
melakukan upacara pembakaran mayat),1 pascapenguburan,
1
Dalam kebudayaan masyarakat Hindu Bali, upacara yang demikian ini disebut
dengan ngaben. Upacara ngaben merupakan salah satu upacara yang tergolong kepada
upacara pitra yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada leluhur). Ngaben secara
etimologis berasal dari kata api (dalam bahasa Sanskerta agni) yang mendapat awalan
nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen,yang
lama-kelamaan terjadi pergeseran bunyi menjadi ngaben. Upacara ngaben selalu
melibatkan api, api yang digunakan ada dua, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya)
dan api abstrak (api yang berasal dari puja mantra pendeta yang memimpin upacara).
Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal,
sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada leluhur yang telah
meninggalkan dunia, untuk perjalannya ke Sunia Loka. Upacara ngaben secara
konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut: (1) Dengan membakar
jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memiliki makna untuk melepaskan sang atma (roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam); (2)
Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan
segala unsur panca maha bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada
asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan atma ke Sunia Loka Bagian
Panca Maha Bhuta yaitu: a. pertiwi, unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku,
dan lain-lain, b. apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dan lain-lain,
c. bayu: unsur udara yang membentuk nafas; d. teja: unsur panas yang membentuk suhu
tubuh; e. akasa: unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh. (3) Bagi pihak
2
Bab I: Pendahuluan

memindahkan tulang-belulang ke kuburan baru,2 peringatan hari wafat,


dan hal-hal sejenis.
Selain itu, manusia senantiasa mengisi kehidupannya berdasarkan
respons dan adaptasi dengan alam di sekitar ia hidup. Dalam hal ini,
manusia memerlukan berbagai kebutuhan hidup, baik yang bersifat
material maupun spiritual. Kebutuhan akan material ini diperoleh
melalui kemampuannya mengelola alam sekitar melalui daya intelektual
dan keterampilannya. Sehingga dalam kebudayaan manusia, muncul
berbagai bidang pekerjaan yang dapat memenuhi keperluan-keperluan
hidup, misalnya ia bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang
(saudagar), penambang emas, penambang batubara, tentara, ahli
disainer busana, ahli tata ruang, ahli disain interior dan eksterior, ahli
komputer (programming, ahli perangkat lunak, ahli perangkat keras),
dokter, perawat, hakim, pengacara, jaksa, polisi, tentara, seniman,
ulama, ilmuwan, dan lain-lainnya. Berdasarkan kebutuhan akan materi
ini, biasanya manusia baik dalam kelompok kecil maupun besar
membentuk perkumpulan yang memiliki cita-cita yang sama.
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan
sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu, memiliki berbagai
kelebihan alamiah yang dianugerahi oleh Allah. Selain itu, manusia

keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan
merelakan kepergian yang bersangkutan. (id.wikipedia.org).
2
Di kawasan Sumatera Utara, dalam kebudayaan Karo, baik itu masyarakat Karo
Gugung (Pegunungan) maupun Karo Jahe (Karo Pesisir), dijumpai adat istiadat yang
disebut ngampaken tulan-tulan, yaitu kegiatan upacara memindahkan tulang-tulang
kerabat yang telah meninggal dan menempatkannya ke kuburan yang baru. Demikian
pula dalam kebudayaan Batak Toba dijumpai ritual seperti itu yang disebut dengan
mangongkal [dibaca mangokkal] holi. Tradisi mangongkal holi yaitu menggali dan
memindahkan tulang belulang leluhur, dalam konsep masyarakat Batak Toba di
Sumatra Utara, merupakan salah satu upaya menghormati para leluhurnya. Melalui
aktivitas ini orang Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, yaitu banyak
keturunan, panjang umur, dan kekayaan. Melalui upacara ini juga akan mengangkat
martabat sebuah marga (klen). Biasanya upacara ini disertai dengan pembangunan
kuburan dan tugu baru bagi leluhur yang megah dan indah. Semakin indah dan mahal
sebuah makam atau tugu, menjadi semakin jelas status sosioekonomis dan martabat
marga pemilik tugu tersebut.
3
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan


dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti,
keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya.
Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan
generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting, agar
manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh sebab itu, manusia
dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini, melalui hubungan
perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat sekaligus.
Dalam sebahagian besar masyarakat dunia, perkawinan tidak
diperkenankan bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma
adat, bahkan perkawinan harus mengacu kepada ajaran agama dan
adatnya.
Dalam mengisi siklus hidup, kegiatan yang berkait dengan mata
pencaharian, serta kepentingan individu dan kelompok dalam dimensi
sosial, manusia harus menempatkan dirinya dalam institusi budaya atau
adat. Institusi inilah yang mengatur konsistensi internal kebudayaan
masyarakat tersebut dalam konteks integrasi dan polarisasi sosial.
Demikian pula dalam konteks perkawinan.
Di dalam kebudayaan manusia di seluruh dunia ini, terdapat
institusi yang sama tuanya dengan usia manusia sebagai keturunan
Adam dan Hawa, yaitu perkawinan. Di Indonesia sebagai contoh,
perkawinan terdapat pada semua etnik, dan umumnya diatur oleh adat
(serta agama yang dianutnya). Adat perkawinan ini konsep dan
terapannya dalam kebudayaan berbeda-beda. Namun demikian, tujuan
dasar perkawinan ini adalah sama, sebagai fenomena universal makhluk
manusia untuk melanjutkan keturunannya, dan berbagai fungsi
sosiobudaya lain. Perkawinan dalam peradaban umat manusia adalah
untuk memenuhi eksistensinya sebagai makhluk, yang terus menjaga
kesinambungan keturunannya. Selain itu, manusia dianugerahi Tuhan
keinginan atau hasrat seksual. Namun kebutuhan ini, mestilah
diabsahkan oleh institusi budaya yang selalu disebut dengan adat.
Tujuan perkawinan lainnya adalah untuk mengeratkan dan menjaga
sistem kekerabatan, yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya
manusia. Selain itu, tujuan perkawinan juga adalah untuk
4
Bab I: Pendahuluan

menyelaraskan kepentingan bersama, baik itu berupa politik, kekuasaan,


perdamaian, keadilan sosial, keberlanjutan budaya, dan motif-motif
sosial lainnya.
Dalam ajaran agama Islam, melalui Al-Qur’an, dalam konteks
perkawinan ini, dijelaskan bahwa di antara kelompok manusia di dunia
ini pernah ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Allah, karena berbagai
sebab terutama moralitas. Di antara puak manusia yang pernah ada dan
kemudiannya dimusnahkan Allah adalah: suku Ad, Tsamud, Madyan,
kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth
misalnya, dimusnahkan Allah karena para kaum lelakinya menyukai
sesama lelaki. Jikalau praktik menyimpang begini dibiarkan, tentu saja
generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual antara lelaki
dengan lelaki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa
dipastikan tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang
benar adalah hubungan antara lelaki dan perempuan yang sehat ruh dan
fisiknya, disahkan agama, berhubungan suami-istri, insya Allah akan
menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi
pintar, sehat, saleh dan menjadi rahmat kepada orang lain dan
lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan
agama atau ilmu-ilmu lainnya.
Dalam konteks ilmu antropologi, seorang pakar antropologi Eropa,
Gough (1959) melihat perkawinan, dalam sepanjang masa dan semua
tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang
bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha
menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan
pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh
berdasarkan kontrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak,


yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual,
secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus
untuk menggauli seorang perempuan secara seksual–hak ini memiliki
keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau
kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut,
5
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan


dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough,
1970:12-13).

Dalam pelbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa


orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan pada
perkawinan monogami (satu laki-laki bisa kawin dengan satu wanita
saja dan sebaliknya), adapula yang memperbolehkan poligami (satu
lelaki bisa kawin dengan beberapa wanita), namun ada pula yang
memperbolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum
dan moralitas, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin
dengan lebih dari satu suami, atau bersuami banyak.
Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang lelaki atau lebih
bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya
melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal).
Poliandri sering dikait-kaitkan dengan ketidakseimbangan penduduk,
yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Di
Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan karena tujuannya
mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan
pertanian terbatas luasnya. Dalam Islam praktik demikian sangatlah
dilarang. Begitu juga hubungan sedarah (incest). Semua ini adalah
aturan Allah bagi makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi
rahmat kepada alam, bukan merusak alam atau generasi keturunannya.
Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang
perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katolik) pada umumnya
hanya membenarkan satu lelaki kawin dengan satu perempuan. Namun
demikian, beberapa sekte agama ini (misalnya Mormon di Amerika
Serikat) membenarkan perkawinan poligami.
Dalam ajaran agama Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an, satu
lelaki Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan,
tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang
lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya, maka
kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini
adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibanding-

6
Bab I: Pendahuluan

kan lelaki. Agar perempuan-perempuan dapat suami, maka tentu saja


secara umum harus ada lelaki yang beristri lebih dari satu untuk
melakukan respons terhadap kenyataan eksistensi jenis kelamin
manusia yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negara-
negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.
Selengkapnya tentang aturan poligami dalam Islam lihat Al-Qur’an
surat Annisa ayat 3 berikut ini.

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,3
maka (kawinilah) seorang saja,4 atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

3
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi keperluan istri seperti
pakaian, makanan, perhiasan, kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan,
rasa aman, dan lain-lain yang bersifat lahiriah dan juga batiniah. Dalam konteks yang
demikian, tentu saja kebijakan dari seorang suami terhadap istri-istrinya sangat
diutamakan. Suami harus secara rinci memahami keperluan dan polarisasi biduk rumah
tangganya yang lebih besar, dibanding dengan biduk rumah tangga yang monogami.
4
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun
ayat ini, poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Bagi Allah
sebagai pencipta manusia, pastilah tahu dan paham betul, bahwa kemampuan
maksimum manusia untuk kawin adalah satu lelaki dengan empat wanita, kalau lebih
pasti tidak mampu, terutama untuk berlaku adil terhadap para istrinya. Selain itu pasti
ada tunjuk ajar lain dari Allah atas turunnya ayat ini.
7
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Secara sosiologis dan religi, fungsi utama perkawinan adalah untuk


melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan
menjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya
adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi
kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan
dua keluarga besar, menjaga struktur sosial dan kekerabatan, dan
sebagainya. Dalam hal ini agama memegang peran utama dalam
upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para
pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan
melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang terjadi
pada masyarakat Melayu.

1.2 Fenomena Menarik pada Institusi Perkawinan Adat Melayu

Dengan melihat latar belakang institusi perkawinan dalam


kebudayaan manusia, seperti terurai di atas, maka dalam kebudayaan
Melayu pun institusi perkawinan ini memiliki beberapa fenomena yang
menarik. Di antaranya adalah sebagai berikut.
(a) Institusi perkawinan dalam adat Melayu, telah ada sebelum
masuknya agama Islam. 5 Oleh karena itu, di dalam institusi perkawinan
adat Melayu ini, tergambarkan gagasan-gagasan dan kegiatan yang
berasal dari era pra-Islam. Namun demikian, sesuai dengan
perkembangan zaman, ketika Islam masuk ke dalam kebudayaan
Melayu, berbagai gagasan dan kegiatan tersebut “diislamisasi.”
Misalnya adat tepung tawar yang tadinya adalah sarana agar mendapat
berkah dari Dewa dan Dewi, maka setelah Islam masuk, diubah gagasan
dan doanya agar mendapat berkah dari Allah Yang Ahad. Ini tercermin

5
Maksudnya adalah agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. yang
tumbuh dan berkembang seputar abad ketujuh Masehi, di Tanah Arab, dengan pusat
persebarannya di Medinah dan Mekah. Namun dalam konteks ruang dan waktu yang
lebih luas, dalam persepsi masyarakat Islam pada umumnya, agama ini telah lahir sejak
Nabi Adam Alaihissalam diciptakan Allah, yang kemudian berkembang sesuai dengan
perkembangan umat manusia.
8
Bab I: Pendahuluan

dari konsep budaya Melayu melalui sebait pantun berikut ini yang amat
populer.

Hati-hati memetik mawar,


Salah petik kena durinya,
Hati-hati bertepung tawar,
Salah niat syirik jadinya.

(b) Institusi perkawinan dalam peradaban Melayu adalah cerminan


dari konsep adat Melayu yang berdasar kepada ajaran-ajaran agama
Islam, yang dikenal dengan konsep: adat bersendikan syarak dan
syarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa budaya (adat) Melayu
adalah berdasar kepada ajaran-ajaran agama Islam, melalui syarak
(hukum Islam). Seterusnya menuju dasar yang lebih rinci lagi adalah
bahwa hukum Islam itu berakar dari kitab suci yang diturunkan Allah,
yaitu Al-Qur’an. Bagaimana pun Al-Qur’an ini adalah firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril,
untuk kemaslahatan manusia dan semua makhluk di dunia ini. Al-
Qur’an juga merupakan kitab terakhir dari semua agama samawi, yang
juga adalah sebagai kontinuitas dari kitab suci yang pernah Allah
turunkan kepada umat-umat terdahulu, yaitu Kitab Zabur kepada Nabi
Daud dan umatnya, Kitab Taurat untuk Nabi Musa dan umatnya, dan
Kitab Injil untuk Nabi Isa dan umatnya.
(c) Institusi upacara adat perkawinan Melayu merupakan ekspresi
dari adat Melayu, yang terdiri dari empat ragam yang saling berkaitan.
Keempatnya adalah: (i) adat yang sebenar adat, yaitu hukum Allah
terhadap alam semesta, (ii) adat yang diadatkan, yang dimaknakan
sebagai sistem sosial terutama kepemimpinan, (iii) adat yang teradat,
yaitu kebiasaan-kebiasaan dalam budaya yang lama-lama masuk ke
dalam adat, ini juga mengandung makna kesinambungan dan
perubahan, dan (iv) adat-istiadat, yang biasanya dimaknakan sebagai
upacara. Keempat ragam adat dalam kebudayaan Melayu ini,
sebenarnya juga didapati dan diekspresikan dalam adat perkawinannya.

9
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(d) Dalam kebudayaan Melayu, upacara adat perkawinan ini, sejak


awal dilakukan dalam suasana tradisi lisan. 6 Artinya adalah institusi
perkawinan ini berlangsung melalui kelisanan, atau bentuk-bentuk
verbal. Dalam tradisi lisan ini, enkulturasi budaya ditumpukan pada
kemampuan menyerap, mengingat, menerapkan, dan mengembangkan-
nya. Dalam kenyataan di lapangan, enkulturasi budaya secara lisan ini,
menyebabkan sangat beragamnya adat perkawinan Melayu, baik
ditinjau dari sisi wilayah budaya, kemampuan tokoh-tokoh adat dalam
menerjemahkan konsep budaya, kedalaman wawasan dan keilmuan,
serta aspek-aspek lainnya. Demikian pula terhadap keberadaan juru
telangkai (dari pihak keluarga lelaki maupun perempuan calon
mempelai), memiliki variasi kata-kata, kalimat, pantun, pepatah,
umpama, yang sangat variatif. Bagi kami para penulis, variasi-variasi
dalam institusi perkawinan Melayu ini adalah sebagai sebuah kekayaan
budaya. Bagi kami, upaya “menyeragamkannya” adalah sebagai
menyalahi adat, dan “memiskinkannya.” Namun demikian sebenarnya
ada pola-pola upacara, yang dilandasi oleh gagasan budaya yang sama
antara masyarakat Melayu di mana pun di dunia ini. Namun untuk dapat
mengetahuinya, mestilah dilakukan pengkajian yang mendalam dan
holistik. Untuk itulah dilakukan penelitian ini.

6
Jan Vansina, dalam tulisannya yang bertajuk Oral Tradition as History
(1985:27-28), yang diterbitkan oleh James Currey Publishers, New York,
Amerika Serikat, mendefinisikan tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa
pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini, dan
pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau
diiringi alat musik. Lebih jauh menurutnya haruslah ada penyampaian melalui
tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi.” Lebih jauh
Vansina menyatakan bahwa definisi yang diajukannya adalah yang berfungsi
untuk kalangan sejarawan. Para sosiolog, pakar bahasa, atau sarjana seni verbal
mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus
(sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu
membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah
bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)."
10
Bab I: Pendahuluan

(e) Dalam budaya masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera


Utara, khusus pada upacara perkawinan, bahagian-bahagian upacara
dan waktu tertentu, dimeriahkan dengan berbagai jenis seni, seperti
silat, inai, ronggeng, marhaban, barzanji, hadrah, inai, dan lain-lain. Ini
memperlihatkan dengan jelas bahwa berbagai unsur kebudayaan
difungsikan dalam upacara adat perkawinan Melayu.
(f) Adat perkawinan Melayu memiliki berbagai fungsi
sosiobudaya. Fungsi ini pada hakekatnya adalah menuju kepada
pencapaian konsistensi internal budaya Melayu. Adat perkawinan itu
sendiri memiliki berbagai tahapan dan aktivitas-aktivitas yang lebih
kecil lagi, yang kemudian menyumbang kepada keseluruhan kegiatan
upacara adat perkawinan yang lebih besar. Kemudian upacara adat yang
besar ini juga menyumbang berbagai fungsi kepada peradaban Melayu
secara umum. Di antara fungsi adat perkawinan Melayu ini adalah
melegalisasi secara religi dan sosiobudaya hubungan antara pria dan
wanita dalam membentuk rumah tangga, untuk integrasi sosial, sebagai
ekpresi kebudayaan Melayu, sebagai sarana komunikasi verbal dan
nonverbal yang penuh dengan nilai etika dan estetika, dan lain-lainnya.
(g) Dalam kajian lebih jauh dan mendalam, sebenarnya adat
perkawinan Melayu ini memiliki berbagai kearifan (wisdom) yang
hidup, tumbuh, dan berkembang dalam kebudayaan Melayu secara luas.
Di antara kearifan yang terdapat di dalamnya adalah: menjaga
kesinambungan generasi Melayu, menjaga dan mengembangkan
peradaban Melayu, kebijaksanaan dalam menentukan pasangan hidup,
nilai kebersamaan antara dua pihak kerabat besar, menimbang dan
memutuskan dengan tepat berdasarkan musyawarah untuk mencapai
mufakat, menjaga turai (susunan) sosial, dan lain-lainnya,
Seterusnya untuk mengetahui kedalaman makna di balik upacara
adat perkawinan Melayu ini, maka fokus kajian yang kami lakukan
mencakup empat pokok masalah, yaitu:
(1) Bagimana gagasan atau ide yang terkandung dalam adat
perkawinan Melayu?

11
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(2) Bagaimana masyarakat Melayu menerapkan gagasan-gagasan


perkawinan tadi dalam aktivitas sosial, budaya, atau lebih menjurus
dalam kajian ini adalah dalam upacara adat perkawinan?
(3) Fungsi-fungsi apa saja yang dikontribusikan oleh adat perkawinan
dalam kebudayaan Melayu?
(4) Kearifan-kearifan apakah yang terkandung di dalam adat
perkawinan Melayu?
Melalui buku ini, kami para penulis mendeskripsikan dan
menganalisis dengan pendekatan kualitatif, terhadap upacara adat
perkawinan Melayu dari tahapan persiapan, saat pelaksanaan, sampai
selepas pelaksanaan. Kemudian mengkaji seni pertunjukan yang
dilakukan dalam upacara perkawinan.

1.3 Pendekatan Multidisiplin

Secara keilmuan pendekatan yang digunakan adalah multidisiplin,


yaitu menggunakan ilmu-ilmu: antropologi, sosiologi, etnomusikologi,
dan antropologi tari. Secara pengelompokan bidang ilmu, antropologi
masuk ke dalam disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial sekaligus.
Sementara sosiologi cenderung masuk ke dalam disiplin ilmu sosial. Di
sisi lain etnomusikologi dan etnokoreologi juga masuk ke dalam
disiplin ilmu humaniora dan sosial. Walau demikian, ada perbedaan-
perbedaan ruang lingkup dan fokus kajian disiplin-disiplin ini. Namun
yang tidak dapat dipungkiri adalah keempat bidang ilmu tersebut selalu
terkait dalam memecahkan pokok masalah penelitian. Apalagi dikaitkan
dengan konteks interdisiplin, multidisiplin, dan konterdisiplin ilmu.
Antropologi merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang
mengkaji manusia dan kebudayaannya. Ilmu ini berasal dari dua kata
yaitu anthropos dan logos. Dalam bahasa Yunani, anthropos berarti
manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Dengan demikian, secara
sederhana pengertian antropologi adalah ilmu yang mempelajari
manusia. Menurut Haviland (1999), ahli antropologi yang berasal dari
Amerika Serikat, antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Melalui
12
Bab I: Pendahuluan

kajian keilmuan terhadap keanekaragaman dan budaya manusia, maka


disiplin antropologi fokus melakukan studi yang berusaha menjelaskan
tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka
ragam kebudayaan manusia. Pakar lainnya, yaitu Koentjaraningrat,
pakar antropologi Indonesia, mengemukakan bahwa pengertian
antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya, dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia,
antropologi merupakan cabang ilmu, yang usia perkembangannya relatif
lebih muda, dibandingkan dengan cabang ilmu lainnya. Antropologi
sebenarnya mulai berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia.
Sebagai sebuah ilmu, antropologi banyak bersinggungan dengan ilmu-
ilmu sosial lainnya, bahkan ilmu alam (eksakta), seperti biologi dan
kedokteran. Antropologi acapkali memperoleh pengaruh dari berbagai
ilmu tersebut, baik dalam bentuk teori, metode, bahkan hasil
penelitiannya. Secara sistematis keilmuan, para ahli antropologi terus-
menerus mengembangkan teori, metode, dan hasil penelitiannya yang
sangat khas. Pengaruh dari berbagai ragam ilmu tersebut membuat cara
pemahaman seorang antropolog terhadap sebuah kebudayaan dan
masyarakat yang ada di dalamnya, menjadi jauh lebih kaya, luas, dan
mendalam.
Dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa cabang, seperti
uraian berikut ini. (a) Antropologi fisik, yaitu cabang antropologi yang
mengkaji hubungan antara kebudayaan dan manusia dengan pendekatan
biologis (fisik). Kadangkala disebut juga dengan antropologi ragawi.
Pada awal-awal perkembangan antropologoi, kajian antropologi fisik
lebih ditekankan pada usaha untuk membandingkan manusia dengan
primata lain, seperti simpanse, gorila, dan orang utan. Antropologi fisik
juga mencari hubungan antara manusia modern (homo sapiens) dengan
nenek moyang manusia seperti homo erectus, homo pekinensis, homo
wajakensis, homo neandertal, dan lainnya.
(b) Antropologi budaya, yaitu cabang yang terbesar dalam ilmu
antropologi. Cabang ilmu ini memfokuskan kajiannya yang meliputi
13
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

anekaragam kebudayaan, usaha mencari unsur-unsur kebudayaan


universal, mengungkapkan hubungan antara struktur sosial masyarakat
dengan kebudayaannya, juga membahas mengenai interpretasi simbolik.
Dalam kaitannya dengan penulisan buku ini, dengan tema utama
adat perkawinan Melayu, yang memfokuskan kajian pada gagasan,
terapan (dalam upacara), fungsi, dan kearifannya, maka pendekan
antropologi budaya inilah, yang banyak kami gunakan.
Cabang antropologi selanjutnya adalah (c) antropologi linguistik
(kadang disebut antropolinguistik) adalah cabang disiplin antropologi
yang mengkaji tentang keanekaragaman bahasa. Namun, ruang
lingkupnya jauh lebih kecil dari ilmu linguistik. Antropologi linguistik
melihat bahasa dalam konteks latar belakang kebudayaan masyarakat
penuturnya. (d) Arkeologi, cabang ini seringkali dianggap sebagai ilmu
tersendiri yang terpisah dari antropologi. Namun, menurut sebagian
besar antropolog, arkeologi sebenarnya adalah sebuah cabang ilmu dari
antropologi. Kajian pada arkeologi adalah menunjukkan hubungan
antara manusia masa lampau dengan habitat hidupnya, serta struktur
sosial dan budaya masyarakatnya. (d) Etnologi, adalah cabang
antropologi yang secara khusus mempelajari sejarah perkembangan
kebudayaan manusia.
Dari persprektif disiplin antropologi, maka dalam penelitian ini,
digunakan teori etnosains, yaitu teori yang berdasar kepada konsep-
konsep yang digunakan oleh masyarakat pendukung budaya. Dalam hal
ini adalah masyarakat Melayu yang mendukung kebudayaan Melayu,
khususnya pada adat perkawinan. Teori etnosains yang seperti ini
mencakup konsep adat, perkawinan, makna-makna kegiatan dan benda-
benda upacara, sistem kosmologi Melayu, dan hal-hal sejenis. Begitu
juga konsep tentang kekerabatan Melayu adalah sebagai ekspresi dari
etnosains ini. Bahwa sebagai sebuah masyarakat (etnik), orang-orang
Melayu memiliki kekerabatan yang khas seperti galur keturunan seperti
ayah, atok, oyang, nini, dalam hubungan vertikal ke atas, atau anak,
cucu, cicit, dan seterusnya secara vertikal ke bawah. Demikian pula
kerabat-kerabat seperti pak cik, mak cik, bisan, biras, impal (larangan,
langgisan, biasa), dan lain-lainnya.
14
Bab I: Pendahuluan

Ilmu lainnya yang kami gunakan adalah sosiologi. Dalam sejarah


ilmu pengetahuan, sosiologi berasal dari dua kata dalam bahasa Latin
yaitu socius yang artinya teman atau kawan, dan logos artinya ilmu.
Dalam sejarah perkembangan ilmu ini, awal kali definisi sosiologi ini
dipublikasikan dalam buku Cours De Philosophie Positive" karya
Auguste Comte (hidup 1798-1857). Pada umumnya sosiologi
dimaknakan sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Apa yang
dimaksud masyarakat dalam perspektif disiplin sosilogi adalah
kumpulan individu yang memiliki hubungan, kepentingan bersama, dan
budaya. Sosiologi bertujuan mempelajari prilaku sosial masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat yang tumbuh dari hasil
pemikiran ilmiah (saintifik) yang bisa dikontrol secara kritis oleh orang
lain. Kelompok atau masyarakat tersebut bisa saja terdiri atas keluarga,
negara, suku bangsa (etnik), berbagai organisasi sosial, politik,
ekonomi, religi, dan lain-lainnya.
Lebih jauh lagi, sosiologi dapat dipamahi sebagai studi ilmiah
tentang prilaku sosial manusia, organisasi, asal-usul, lembaga, dan
pembinaannya. Sosiologi merupakan ilmu sosial, yang selalu
menggunakan berbagai macam metode penelitian empiris dan analisis
kritis untuk menambah ilmu tentang kegiatan sosial manusia. Sebagian
para sosiolog menyatakan bahwa tujuan sosiologi adalah untuk
mengadakan penelitian ilmiah, yang bisa diterapkan secara langsung
pada kebijakan sosial dan kesejahteraan. Sebagian sosiolog lainnya
memfokuskan kajian terutama untuk memperbaiki pemahaman teoretis
mengenai proses sosial. Subjek kajian berkisar pada level mikro dari
setiap instansi dan interaksi ke tingkat makro dari sistem dan struktur
sosial.
Selanjutnyam sosiologi tradisional memfokuskan perhatian kepada
stratifikasi, mobilitas, kelas sosial, agama, budaya, hukum, sekulerisasi,
dan penyimpangan. Landasan berpikirnya adalah bahwa segala aspek
kegiatan manusia dipengaruhi oleh interaksi antara lembaga individual
dan struktur sosial. Sosiologi sedikit demi sedikit memperlebar fokus ke
kajian berikutnya, seperti lembaga medis, kesehatan, pidana, militer,

15
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

internet, dan peran aktivitas sosial pada pengembangan ilmu


pengetahuan secara ilmiah.
Para peneliti dalam disiplin sosiologi biasanya menggunakan
metode kualitatif dan kuantitatif. Selain itu, sejak pertengahan abad
kedua puluh pengaruh dari ilmu budaya dan linguistik menyebabkan
pendekatan sosiologi semakin hermeneutik, interpretatif, dan filosofis,
dengan fokus analisis masyarakat. Selanjutnya pada beberapa dasawarsa
terakhir muncul pula pemutakhiran matematis, analitis, dan teknik ketat
komputasi (seperti analisis jaringan sosial dan agen berbasis
pemodelan).
Dalam konteks penelitian ini, dari perspektif sosiologis, kami
gunakan teori organis. Dalam sosiologi, teori ini dikenalkan awalnya
oleh seorang filosof Romawi, Plato, yang bermaksud merumuskan
suatu teori tentang bentuk negara yang dicita-citakan, yang
organisasinya didasarkan pada pengamatan kritis terhadap sistem-sistem
sosial yang ada pada zamannya. Dengan jalan menganalisis berbagai
institusi di dalam masyarakat, maka Plato berhasil menunjukkan
hubungan fungsional antara lembaga-lembaga tersebut yang pada
hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. Dengan
demikian, maka Plato berhasil merumuskan suatu teori organis tentang
masyarakat, yang mencakup bidang-bidang kehidupan ekonomis dan
sosial. Suatu unsur yang menyebabkan masyarakat berdinamika adalah
adanya sistem hukum yang identik dengan moral, oleh karena
didasarkan pada keadilan. Dalam konteks adat perkawinan Melayu,
maka dapat dipandang bahwa institusi ini merupakan bahagian dari
sistem sosial masyarakat Melayu, yang memiliki fungsi.
Untuk mengkaji fenomena komunikasi antara telangkai yang
mewakili pihak lelaki dan pihak perempuan, digunakan disiplin ilmu
komunikasi. Menurut Melvin L. De Fleur (1988:157) komunikasi
manusia dan kesan tingkah lakunya telah dikaji dalam berbagai bidang.
Hasil penelitian disiplin ini telah membantu kita menyimpulkan bahwa
komunikasi manusia harus ditinjau berdasarkan lima perspektif: (1)
komunikasi adalah proses semantik, yang bergantung kepada simbol
dan peraturan yang digunakan untuk dipilih oleh komunitas bahasa
16
Bab I: Pendahuluan

berkenaan; (2) komunikasi adalah proses neurobiologi melalui makna-


makna untuk sesuatu simbol tertentu direkam dalam fungsi ingatan
individu, oleh karena itu sistem syaraf memainkan peranan penting
menyimpan dan memulihkan pengalaman makna di dalam diri; (3)
komunikasi adalah proses psikologi, makna perkataan dan simbol
kepada seseorang individu diperoleh melalui pembelajaran. Makna
sedemikian memainkan peranan penting untuk menganggap dunia dan
memberi balasan; (4) komunikasi manusia adalah proses budaya,
bahasa merupakan satu set konvensi budaya, bahasa dalam masyarakat
di dunia ini adalah suatu kumpulan sikap, tingkah laku, simbol, dan
persiapan yang dimiliki bersama atau penafsiran yang disetujui
bersama; (5) komunikasi adalah proses sosial, ia adalah cara utama
manusia berinteraksi dengan lebih bermakna. Terdapat tiga unsur
penting dalam perlakuan komunikasi. Tiga unsur itu adalah
komunikator (penutur), pesan (message), serta penerima, dan tujuan
komunikasi. Tujuan ini lebih bersifat untuk mempengaruhi atau
membujuk khalayak dengan cara yang dianggap sesuai oleh
komunikator.
Selain itu, dalam mengkaji adat perkawinan Melayu dari sudut
estetika, digunakan dua ilmu utama. Yang pertama adalah
etnomusikologi sebagai ilmu yang mempelajari musik dalam konteks
kebudayaan manusia. Yang kedua adalah etnokoreologi yaitu ilmu yang
mempelajari tari dalam kebudayaan manusia.
Untuk mengkaji struktur dan nilai esetika seni musik (inai, Makan
Sirih, zapin, hadrah, dan lainnya) pada upacara perkawinan Melayu,
penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis
ketahui dari salah seorang pakar etnomusikologi yaitu Merriam, yang
dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own


division, for it has always been compounded of two distinct parts, the
musicological and the ethnological, and perhaps its major problem
is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes
neither but takes into account both. This dual nature of the field is
marked by its literature, for where one scholar writes technically upon
17
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

the structure of music sound as a system in itself, another chooses to


treat music as a functioning part of human culture and as an integral
part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars,
influenced in considerable part by American anthropology, which
tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary
and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context.
Here the emphasis was placed not so much upon the structural
components of music sound as upon the part music plays in culture and
its functions in the wider social and cultural organization of man. It has
been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to
characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but
the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is
not so much one of geography as it is one of theory, method, approach,
and emphasis, for many provocative studies were made by early
German scholars in problems not at all concerned with music
structure, while many American studies heve been devoted to
7
technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli


etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih
pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian
keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi].
Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemung-kinan masalah besar
dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik,
dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung
kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai
dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang
sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara
musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain

7
Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai
sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan
mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan,
fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan
tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi
semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis di seluruh
dunia.
18
Bab I: Pendahuluan

memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari


fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari
keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa
sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika,
cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap
aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di
dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para
sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara
musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan.
Begitu juga dengan kajian terhadap fungsi-fungsinya dalam organisasi
sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl
yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikolo-
gi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama.
Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda,
baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya.
Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana
Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya
pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa
etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi
dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang
berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan
bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks
kebudayaan.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada
tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas
Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi
etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk
Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah,
19
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat


di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42
definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah
dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.8
Untuk mengkaji tari-tarian yang digunakan pada upacara
perkawinan Melayu ini, penulis menggunakan disiplin etnokoreo-logi.
Dalam konteks disiplin ilmu-ilmu pengetahuan seni, yang dimaksud
antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi (dalam
wikipedia), adalah sebagai berikut.

Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the


study of dance through the application of a number of disciplines such as
anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The
word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of ethnic
dance”, though this is not exclusive of research on more formalized dance
forms, such as classical ballet, for example. Thus, ethnochoreology
reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why
people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of

8
Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk
Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan Bentang Budaya, Masyarakat
Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat
pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam,
dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku
ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang
‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,”
(b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian
dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk
“Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi
dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul
“Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah
sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam
konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama
yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu
antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang
ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh
para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi
Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

20
Bab I: Pendahuluan

the thousands of external forms of dances—the dance moves, music,


costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to
grips with dance as existing within the social events of a given community
as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a
static representation of history, not just a repository of meaning, but a
producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of
a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture: “The
power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators
alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance
experience to other sets of ideas and social experiences.” (Blacking, 1964)
Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are
performed by dancers associated with national and cultural groups.
Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god,
or to bring in good fortune in peace or war.

Dari kutipan tersebut digambarkan dengan jelas bahwa


etnokoreologi atau yang sering juga disebut etnologi tari dan
antropologi tari, adalah kajian tentang tari melalui aplikasi sejumlah
disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi),
etnografi, dan lain-lainya. Dari asal-usul katanya sendiri, disiplin ilmu
ini dapat dimaknakan sebagai studi tentang tarian etnik, yang
merupakan penelitian yang tidak eksklusif terhadap bentuk-bentuk
tarian formal, seperti balet klasik. Etnokoreologi merefleksikan usaha
akademis melalui pertanyaan mengapa orang menari dan apa arti tarian
tersebut. Kajian dalam disiplin ini bukan hanya mengkatalogkan ribuan
bentuk-bentuk tari—seperti gerak musik tari, busana, dan lainnya—di
berbagai tempat di belahan bumi ini, namun lebih jauh menjangkau
tarian tersebut sebagai peristiwa sosial dalam masyarakatnya, termasuk
pula sejarah budaya masyarakat pendukung tarian tersebut. Tari tidak
hanya dipandang sebagai representasi statis dari sejarah, dan juga bukan
repositori makna-makna dalam dimensi waktunya—juga bukan hanya
sekedar cermin dari kehidupan, tetapi tari juga adalah bagian
pembentuk kebudayaan, sebuah kekuatan budaya. Kekuatan tari
terdapat dalam pertunjukannya, dalam proses membuat perasaan tari,
dan dalam hubungan pengalaman tari kepada berbagai bentuk gagasan
dan pengalaman sosial. Etnologi tari mengkaji tari dalam konteks natif

21
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dan kelompok etniknya. Tarian ini dipertunjukkan oleh para penari yang
dihubungkan dengan kelompok-kelompok kebangsaan dan kebudayaan.
Upacara religi dalam tarian etnik, didisain dalam bentuk seperti himne,
pujian kepada Yang Maha Kuasa, untuk memberikan keberuntungan
dalam perdamaian atau peperangan.

1.4 Pentingnya Kajian terhadap Adat Perkawinan Melayu

Adat perkawinan Melayu adalah sebuah institusi tradisi yang tidak


lapuk di hujan dan lekang di panas. Adat ini mengandung berbagai
sistem nilai yang diwariskan dari zaman ke zaman dan dari generasi ke
generasi. Adat ini kontinu dalam budaya Melayu karena ia fungsional.
Artinya selagi masih dijumpai institusi perkawinan dalam konteks
budaya Melayu, pastilah adat Melayu ini yang digunakan oleh orang-
orang Melayu. Adat ini juga pasti mengalami perubahan di sana-sini.
Oleh karenanya dalam rangka melestarikan keberadaanya disadari
perlunya dokumentasi baik visual, auditif, dan juga adalah dokumen
tertulis, terutama dalam bentuk buku ini.
Adat perkawinan Melayu mengandung proses kreatif, baik yang
datangnya dari dalam kebudayaan Melayu sendiri, yakni proses inovasi,
maupun pengelolaan peradaban dari luar kebudayaan Melayu yang kita
sebut dengan akulturasi. Proses kreativitas ini menjadi sebuah identitas
tersendiri dalam kebudayaan Melayu. Kreativitas budaya dalam adat
perkawinan Melayu ini menjadi suatu bidang telaah yang menarik
dalam konteks budaya Melayu sebagai salah satu kebudayaan dunia,
yang mengandung unsur peradaban dunia, tidak tersekat secara sempit
dan lokal saja, tetapi telah memperhitungkan keberadaan budaya global.
Karena adat perkawinan Melayu ini sangat luas cakupannya, yaitu
terdapat dalam semua kebudayaan Melayu, baik di Asia Tenggara
sebagai pusat peradabannya, maupun juga diaspora Melayu, atau
keserumpunan Melayu-Austronesia (Melayu-Polinesia), maka perlu
dilakukan kajian mengenai apa-apa saja persamaan konseptual,
aktivitas, dan artefak dalam upacara ini di seluruh kawasan budaya

22
Bab I: Pendahuluan

Melayu. Ini penting untuk mendapatkan norma-norma adat yang


menjadi landasan dari upacara perkawinan Melayu tersebut.
Kemudian pentingnya kajian ini adalah untuk melengkapi tulisan-
tulisan terdahulu yang umumnya baru mendeskripsikan upacara adat
perkawinan Melayu di berbagai kawasan Melayu. Tulisan ini mencoba
menggali hal-hal yang lebih mendalam dan abstrak, baik itu dalam
lingkup filsafat, ide, fungsi, maupun kearifan-kearifan yang terkandung
di dalamnya. Pentingnya kajian ini adalah untuk melihat dengan pasti
hal-hal yang abstrak tetapi amat penting bagi mewujudkan
kesinambungan kebudayaan terutama adat perkawinan Melayu, bukan
hanya setakat melihat apa saja yang tampak secara kasat mata, tetapi
juga apa yang dapat dirasakan, dihayati, dan diteroka makna-makna
sosiokultural dan religi yang terkandung di dalamnya.
Hal-hal konseptual yang abstrak ini, jika dituliskan dan
dipublikasikan, tentu saja akan menambah wawasan kepada semua
orang yang membacanya, terutama pelaku dan pendukung budaya
Melayu. Khususnya bagi pribadi-pribadi yang selalu bertungkus-lumus
dalam adat Melayu dan adat perkawinan Melayu, seperti telangkai, mak
andam, peniaga catering, ahli shooting video, ahli pembuat pelaminan,
percetakan undangan perkawinan, tokoh-tokoh adat, keluarga-keluarga
yang berkait dengan upacara adat perkawinan, ilmuwan, peneliti,
seniman musik, seniman tari, penulis budaya, ahli-ahli kuliner, para
pemantun, ahli sastra, tokoh-tokoh agama (tuan kadi, petugas P3NTR,
ulama), dan lainnya.
Selain itu, kajian ini dilakukan dalam rangka menggalakkan setiap
orang Melayu atau mereka yang perduli kepada budaya Melayu, untuk
dapat mendalami tentang adat perkawinan Melayu, yang menjadi
jatidirinya dan sekaligus menyumbang kepada kebudayaan rumpun
Melayu yang lebih luas. Di dalamnya terkandung nilai-nilai integrasi
budaya, yang memang amat diperlukan bukan saja masa kini tetapi ke
masa depan, dan diwarisakan kepada segenap umat Melayu.
Selanjutnya, kajian ini dilakukan dalam rangka menggali nilai-nilai
yang terkandung di dalam adat perkawinan Melayu. Demikian pula
lebih jauh perlu ditelisik mengenai kearifan-kearifan yang terkandung
23
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dalam adat perkawinan Melayu tersebut. Nilai-nilai dan kearifan ini


bersifat abstrak sosial, yang hanya dapat dilihat melalui kajian,
penghayatan, dan peresapannya pada setiap umat Melayu. Dengan
demikian kajian ini akan memperlihatkan polarisasi istiadat perkawinan
Melayu dari masa ke masa dan ruang yang dilaluinya.

24
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

BAB II

ADAT DALAM
PERADABAN MELAYU

2.1 Pengenalan

Adat merupakan inti atau nukleus dari peradaban atau sivilisasi


Melayu. Dapat ditafsirkan bahwa adat dalam kebudayaan Melayu ini,
telah ada sejak manusia Melayu ada. Adat selalu dikaitkan dengan
bagaimana manusia mengelola dirinya, kelompok, serta hubungan
manusia dengan alam (baik alam nyata maupun gaib atau supernatural),
dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan demikian adat
memiliki makna yang “sinonim” dengan kebudayaan.
Menurut Husin Embi et al. (2004:85) adat merupakan peraturan
yang dilaksanakan (diamalkan) secara tutun-temurun dalam sebuah
masyarakat, hingga menjadi hukum dan peraturan yang harus dipatuhi.
Sementara istiadat adalah peraturan atau cara melakukan sesuatu yang
diterima sebagai adat. Adat dan istiadat memiliki hubungan yang rapat,
dan dipandang sebagai alat yang berupaya mengatur kehidupan
masyarakat, yang tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan
kerukunan hidup. Adat-istiadat membentuk budaya, yang kemudian
mengangkat martabat masyarakat yang mengamalkannya.
Menurut Zainal Kling (2004:41) kebiasaan dan ketetapan corak
kehidupan kelompok manusia tidak hanya ditentukan oleh sifat saling
respons sesama mereka saja, tetapi juga ditentukan oleh kesatuan dengan
alam—atau kebiasaan sikap terhadap alam di tempat manusia itu tinggal
dan berusaha mencari kehidupan. Setiap hari, secara tetap manusia
mencari rezeki dari sumber-sumber alam (dan juga jasa), baik siang
maupun malam, juga menurut perjalanan matahari dan bulan, turun naik
dan pasang surut air laut, dan juga ketetapan perubahan musim hujan,

25
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

panas, dan angin. Di daerah-daerah di luar khatulistiwa, bahkan dikenal


empat musim, yaitu: panas, daun gugur, dingin, dan semi. Sifat alam
yang sangat tetap ini menetapkan pula prilaku manusia, yang berhubung
dengan keadaan alamnya untuk dapat menetukan jadwal kerja dan
mencari sumber kehidupan mereka.
Menurut penulis, keadaan alam lingkungan manusia inilah yang
kemudian melahirkan peradaban-peradaban mereka sendiri, yang berbeda
dari satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Dalam
masyarakat yang tinggal di kawasan laut, pastilah mereka menumpukan
kehidupannya pada ekosistem laut. Mereka akan mencari ikan dengan
berbagai spesiesnya, menanam rumput laut, membangun kerambah untuk
budidaya ikan, mengolah hutan bakau dengan segala kekayaan alamnya,
menanam kelapa dan tumbuhan khas pesisir pantai, sampai juga
mengadakan sarana wisata maritim, membuat perahu dengan
teknologinya, sampan, jermal, dan sejenisnya. Sehingga kebudayaan yang
dihasilkan mereka adalah kebudayaan maritim.
Demikian pula bagi mereka yang tinggal di wilayah daratan, maka
kegiatan-kegiatan dalam rangka kehidupannya selalu berkait erat dengan
wilayah darat, seperti bercocok tanam padi, jagung, sagu, ubi kayu, ubi
jalar, kelapa, juga sayur-mayur seperti: kol, wortel, sawi, kangkung, dan
lainnya. Ada pula yang bercocok tanam di persawahan. Dalam
perkembangan zaman, ada pula yang menanam tanam-tanaman keras
seperti kelapa sawit, karet, coklat, kayu manis, dan lain-lain. Mereka ini
pun membentuk kebudayaan darat atau kalau berada di pegunungan
disebut juga highland cultures. Begitu pula untuk masyarakat manusia
yang hidup di daerah kutub (utara atau selatan) mereka memiliki identitas
budaya seperti pakaian yang relatif tebal untuk menjaga temperatur
tubuh. Mereka juga makan makanan yang banyak mengandung protein
dan lemak seperti daging, juga minum minuman yang dapat memanaskan
tubuh selalu seperti sake, bir, anggur, vodka, dan lain-lainnya.
Dalam konteks itu, kelompok manusia terpaksa pula harus
menyusun sistem sosial dan budaya yang mengatur hubungan mereka ini
dalam konteks merespons alam sebagai sumber mencari nafkahnya.
Tanpa upaya bertindak bersama dan secara tersusun secara sistemik ini,
maka manusia akan menghadapi masalah kehidupan. Oleh karena itu,
26
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

muncullah kelakuan yang menjadi kebiasaan, dan hubungan sosiologis


berupa pengelompokkan. Semua ini melahirkan norma, adat, dan undang-
undang untuk mengawal, mengatur, serta menyelaraskan kekuasaan
semua individu yang terlibat dalam kegiatan kelompok masyarakat
manusia tersebut.
Respons manusia baik secara individu dan kemudian berkembang
menjadi kelompok, terhadap semua hukum alam ini, membuat manusia
menjalin organisasi. Kelompok organisasi-organisasi sosial dan budaya
manusia ini adalah ekspresi segala respons manusia terhadap alam atau
ekologinya. Norma-norma atau hukum yang diberlakukan secara bersama
inilah yang di dalam kebudayaan masyarakat Nusantara disebut dengan
adat. Dengan demikian adat sebenarnya manifestasi kebudayaan manusia
pada umumnya. Termasuk juga dalam kebudayaan Melayu.

2.2 Konsep tentang Adat Melayu

Menurut Zainal Kling (2004), dari segi etimologis, adat berasal dari
bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Masyarakat Alam Melayu yang
telah menerima pengaruh Islam dan peradaban Arab, mengetahui arti dan
konsep adat. Walau demikian halnya, ternyata bahwa hampir semua
masyarakat Alam Melayu atau Nusantara, baik masyarakat itu telah
menerima pengaruh peradaban Islam atau tidak, telah memadukan konsep
itu dengan arti yang hampir sama dalam kebudayaan mereka. Mereka ini
termasuk masyarakat tradisional yang masih mengamalkan kepercayaan
tradisi (animisme dan dinamisme), atau telah menganut agama Kristen—
seperti masyarakat Iban, Bidayuh, Kenyah, Kayan, dan Kalabit di
Sarawak; Murut, Kadazan (Dusun) di Sabah; Dayak Kalimantan; Batak
Toba, Karo, di Sumatera Utara; dan Toraja di Sulawesi, dan juga suku
bangsa Filipina, hingga melahirkan sebuah kesatuan dasar budaya
serantau yang sangat menarik.
Dalam masyarakat tradisi Alam Melayu, konsep adat memancarkan
hubungan mendalam dan bermakna di antara manusia dengan manusia
juga manusia dengan alam sekitarnya, termasuk bumi dan segala isinya,
alam sosiobudaya, dan alam gaib. Setiap hubungan itu disebut dengan
adat, diberi bentuk tegas dan khas, yang diekspresikan melalui sikap,
27
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

aktivitas, dan upacara-upacara. Adat ditujukan maknanya kepada seluruh


kompleks hubungan itu, baik dalam arti intisari eksistensi sesuatu, dasar
ukuran buruk dan baik, peraturan hidup seluruh masyarakat, maupun tata
cara perbuatan serta perjalanan setiap kelompok institusi.
Adat muncul sebagai struktur dasar dari seluruh kehidupan dan
menegaskan ciri kepribadian suatu masyarakat. Oleh karena itu, adat
biasanya memiliki cerita atau mitos suci, watak-watak asal-usul yang
gagah dan unggul, serta memberikan dasar makna terhadap setiap
peristiwa dalam siklus hidup manusia, serta eksistensi institusi dalam
masyarakatnya. Dengan demikian, dalam masyarakat tradisi, adat
memiliki kedudukan suci hingga mencapai martabatnya; dipancarkan
oleh kelakuan yang benar serta halus; sebuah ciri kehidupan yang
menyerap sistem kepercayaan, hukuman, dan denda. Setiap individu yang
melanggar, menyelewengkan, melebihi, mengurangi, atau menafikannya,
akan menerima balasan dan hukuman, baik melalui pemegang kekuasaan
adat itu sendiri maupun Tuhan dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya,
setiap yang berhasil melaksanakan adat, akan berkuasa, berwibawa, juga
memegang, menjalankan, dan patuh kepada adat.
Dengan demikian, adat memberi makna konfigurasi yang mendalam,
serta makna kestrukturan dalam sebuah masyarakat dan kebudayaannya.
Adat merupakan identitas yang berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh
masyarakat dan kelompok kecil masyarakat tersebut. Setiap kelompok
akan dikenali oleh kelompok lain dengan perbedaan adatnya. Dalam
rangka ini, adat juga menjadi identitas subkultur tertentu, seperti
masyarakat Melayu membedakan adat orang Kelantan, Melaka, Perak,
Johor, Deli, Riau, Bengkulu, Bangka-Belitung, Palembang, Kutai,
Pontianak, dan lainnya. Demikian pula konsep yang sama dipergunakan
untuk membedakan atau mengenali orang asing di luar konteks
masyarakat Melayu.
Kegagalan kultural orang bukan Melayu, dalam rangka mengikuti
cara orang Melayu duduk, makan, atau bersalaman pada upacara
perkawinan misalnya, adalah karena adat yang mereka gunakan berbeda
dengan adat Melayu. Jika kesalahan adat ini berlaku sesama masyarakat
Melayu, maka dengan sendirinya ia akan mendatangkan hukuman atau
sanksi. Paling tidak seseorang itu dilarang berbuat atau menyebut sesuatu,
28
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

kalau pun tidak dimarahi dengan hukuman tidak tahu adat atau tidak
beradat. Dengan demikian adat memiliki fungsi (pengenalan) dan juga
normatif (hukuman). Kedua fungsi ini berlaku dalam rangka hubungan
manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam (baik alam
kasat mata maupun alam gaib).
Menurut Tenas Effendy salah satu yang dihindari oleh orang Melayu
adalah ia tidak tahu adat atau tidak beradat. Pernyataan ini bukan hanya
sekedar hinaan, yang dimaknai secara budaya adalah kasar, liar, tidak
bersopan santun, tidak berbudi—tetapi juga ia tidak beragama, karena
adat Melayu adalah berdasar pada agama. Jadi tidak beradat sinonim
maknanya dengan tidak beragama (2004:57).
Ungkapan adat Melayu menjelaskan, biar mati anak, jangan mati
adat mencerminkan betapa pentingnya eksistensi adat dalam kehidupan
masyarakat Melayu. Dalam konsep etnosains Melayu, dikatakan bahwa
mati anak duka sekampung, mati adat duka senegeri, yang menegaskan
keutamaan adat yang menjadi anutan seluruh lapisan masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi lain,
makna ungkapan adat biar mati anak jangan mati adat mengandung
makna bahwa adat (hukum adat) wajib ditegakkan, walaupun harus
mengorbankan keluarga sendiri. Maknanya adalah adat adalah aspek
mendasar dalam menjaga harmoni dan konsistensi internal budaya, yang
menjaga keberlangsungan struktur sosial dan kesinambungan kebudayaan
secara umum. Jika adat mati maka mati pula peradaban masyarakat
pendukung adat tersebut.
Menurut Husin Embi et al. (2004:85) masyarakat Melayu kaya
dengan adat-istiadat, yang diwarisi secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Komitmen yang ditunjukkan oleh
masyarakat Melayu terhadap adat ini, jelas tergambar dalam ungkapan
berikut ini.

Kecil dikandung ibu,


Besar dikandung adat,
Mati dikandung tanah.

29
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Biar mati anak,


Jangan mati adat.

Laksmana berbaju besi,


Masuk ke hutan melanda-landa,
Hidup berdiri dengan saksi,
Adat berdiri dengan tanda.

Lebih jauh menurut Tenas Effendi (2004:58) masyarakat Melayu


menyatakan bahwa, Apa tanda Melayu sejati? Adat resamnya pakaian
diri. Apa tanda Melayu terbilang? Adat dipakai pusaka disandang. Apa
tanda Melayu bertuah? Memegang amanat ia amanah. Jadi tipe ideal
seorang Melayu adalah ia memahami, menjalankan, dan menghayati adat.
Sehingga ia akan selalu menggunakan adat dan pusaka budaya dalam
kehidupannya, dan ia menjadi orang yang amanah (salah satu tipe ideal
kepemimpinan dalam Islam).
Pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Melayu adalah
berfungsi untuk mengatur hampir semua sisi kehidupan, memberikan
arahan dan landasan dalam semua kegiatan, mulai dari hal yang besar
sampai kepada hal yang paling kecil. Adat mengajar orang untuk menjadi
manusia beradab, bersopan-santun, toleran, saling menghormati, tahu
diri, tolong-menolong—agar dapat menciptakan suasana kerukunan dan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, adat Melayu bersumber dan mengacu kepada ajaran Islam.
Oleh karena itu adat dijadikan identitas setiap pribadi orang Melayu.
Sesuai dengan ajaran adat Melayu, kalau hendak tahu kemuliaan umat,
tengok kepada adat-istiadatnya, bahasa menunjukkan bangsa, adat
menunjukkan umat.

2.3 Empat Kategori Adat Melayu

Dalam rangka menentukan kebijakan dan arah peradaban Melayu,


maka masyarakat Melayu mendasarkannya kepada institusi generik yang
disebut adat. Dalam rangka menghadapi dan mengisi globalisasi,
masyarakat Melayu telah membuat strategi budayanya. Strategi ini
30
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

diarahkan dalam adat Melayu. Adat Melayu berasas kepada ajaran-ajaran


agama Islam, yang dikonsepkan sebagai adat bersendikan syarak—dan
sayarak bersendikan kitabullah.
Yang dimaksud syarak adalah hukum Islam atau tamadun Islam. Di
sisi lain kitabullah artinya adalah Kitab Suci Allah (Al-Qur’an), atau
merujuk lebih jauh dan dalam adalah wahyu Allah sebagai panduan
manusia dalam mengisi kebudayaannya.
Dalam melakukan arah budayanya orang Melayu memutuskan untuk
menerapkan empat bidang (ragam) adat. Menurut Lah Husni (1986) adat
pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, yaitu: (1) adat yang
sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat-
istiadat. Keempat bidang adat ini saling bersinerji dan berjalin seiring
dalam mengawal polarisasi kebudayaan Melayu secara umum. Apapun
yang diperbuat orang Melayu seharusnya berdasar kepada ajaran-ajaran
adat ini.
Namun perlu diketahui bahwa beberapa pakar dan pelaku budaya
Melayu, menyebutkan hanya tiga kategori adat saja, tidak sampai empat
yaitu adat-istiadat. Namun ada pula yang menyebutkannya dalam empat
kategori. Yang jelas keempat-empatnya memiliki hubungan yang sinerji
dan saling menguatkan. Namun jika ditilik dari sudut pandang, maka
kategori pertama adalah yang paling dasar, holistik, menyeluruh,
Sedangkan kategori kedua, ketiga, dan keempat adalah turunan dari yang
pertama. Begitu juga ketiga adalah turunan dari pertama dan kedua. Juga
keempat adalah turunan dari pertama, kedua, dan ketiga. Kategori yang
pertama adalah mutlak dan absolut menurut hukum yang diciptakan
Allah. Kategori kedua, ketiga, dan keempat, adalah bersifat
perkembangan ruang dan waktu di dalam kebudayaan, baik itu berupa
aktivitas sosial, maupun juga benda-benda atau artefak kebudayaan.
Berikut ini diuraikan tentang empat kategori adat Melayu.

2.3.1 Adat yang Sebenar Adat

Menurut Tenas Effendi (2004:61) adat yang sebenar adat adalah inti
adat yang berdasar kepada ajaran agama Islam. Adat inilah yang tidak
boleh dianjak-alih, diubah, dan ditukar. Dalam ungkapan adat dikatakan,
31
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dianjak layu, diumbat mati; bila diunjuk ia membunuh, bila dialih ia


membinasakan.
Adat berdasar kepada pengertian manusia terhadap eksistensi dan
sifat alam yang kasat mata ini. Berdasarkan pengertian ini, maka
muncullah ungkapan-ungkapan seperti adat api membakar, adat air
membasahi, adat lembu melenguh, adat kambing mengembik, dan lain-
lain. Sifat adalah sesuatu yang melekat dan menjadi penciri khas benda
atau keadaan, yang membedakannya dengan benda atau keadaan lain.
Itulah sebenarnya adat, sesuatu yang tidak dapat disangkal sebagai sifat
keberadaannya. Tanpa sifat itu benda atau keadaan tadi, tidak wujud
seperti keadaannya yang alami.
Manusia Melayu membuat penyesuaian dalam masa yang lama
berdasarkan pengetahuan terhadap semesta alam, atau adat yang sebenar
adat yakni hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dari adaptasi
ini muncul sistem kepercayaan yang tegas dan formal terhadap alam,
kekuatan alam, dan fungsi alam. Menurut tanggapan mereka seluruh alam
ini menjadi hidup dan nyata, terdiri dari makhluk dan kekuatan yang
mempunyai hubungan dengan manusia dalam susunan kosmologi yang
telah diatur oleh Allah.
Melalui respons terhadap alam ini, maka cara hubungan yang teratur
diadakan berdasarkan sikap hormat dan saling bergantung antara manusia
dengan alam. Satu rangka sikap yang terpancar dalam sistem tabu
(pantangan) diwujudkan untuk mengatur hubungan harmoni tersebut.
Menurut Zainal Kling (2004:42) satu himpunan ilmu kepawangan,
kebomohan, dan kedukunan diwujudkan untuk memastikan hubungan
tersebut selalu seimbang dan tenteram. Di sinilah fungsi watak-watak
dalam masyarakat diperankan oleh pawang, dukun, bomoh, belian,
manang, dan sejenisnya. Mereka ini berfungsi penuh menghubungkan
alam manusia (alam sosial) dan pengalaman pancaindra dengan alam gaib
melalui kegiatan jampi, mantera, serapah, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, bukan saja golongan perantara alam gaib itu
mengetahui tentang benda dan sumber alam seperti tumbuhan, hewan,
dan ciri-ciri alam nyata seperti air, api, udara, dan lainnya, namun mereka
juga mempunyai pengetahuan dan kekuatan untuk berhubungan dengan
makhluk gaib yang terdapat dalam sistem kosmologinya. Mereka adalah
32
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

kelompok perantara dan titik pangkal antara dua alam: alam sosial dan
alam supernatural. Mereka inilah yang selanjutnya juga menjadi ahli teori
dan ideolog sistem adat masyarakatnya.
Dalam gagasan masyarakat Alam Melayu hubungan manusia dengan
alam senantiasa dijaga agar terbentuk keseimbangan dan ketenteraman.
Mereka menjaga segenap kelakuan manusia yang bisa mencemari,
merusak, atau merubah keseimbangan dan ketenteraman hubungan
dengan alam gaib yang menjadi pernyataan dan manifestasi kepada
hidupnya alam. Sistem pantang dan larang memastikan supaya kelakuan
atau tabiat manusia senantiasa hormat terhadap perwujudan alam. Jika
berlaku pelanggaran terhadap adat yang mengatur hubungan manusia
dengan alam, yang dampaknya adalah mengacau hubungan, seperti
berlakunya pelanggaran pantang larang, perlakuan kelintasan atau
sebagainya, maka perlu diadakan sebuah upacara yang dilakukan oleh
pawang, bomoh, atau manang untuk memujuk makhluk gaib dan
mengembalikan keadaan hubungan yang baik kembali antara kedua alam.
Dengan demikian, maka timbul pula adat-istiadat atau upacara
perobatan untuk mengobati sakit yang telah dikenakan terhadap seorang
manusia yang melanggar hubungan baik itu. Dalam bentuk yang sangat
berkepanjangan, seorang pawang akan mengadakan seperti main puteri di
Kelantan, berkebas di Melaka, berayun atau bebelian di Sarawak,
bobohizan di Sabah, ulit mayang di Terengganu, gebuk di Serdang
Sumatera Utara, gubang di Asahan Sumatera Utara, belian di Riau,
untuk menghubungi alam gaib, memujuk, memuji, dan meminta dengan
jaminan baru bahwa kesilapan tidak dilakukan lagi, memohon maaf, dan
membantu si sakit agar sembuh. Seorang pawang Melayu akan selalu
membawa jampi atau mantra dengan kalimat seperti: “Aku tahu asalmu,”
apabila meminta atau menghalau anasir sakit yang dibuat oleh makhluk
gaib.
Demikianlah pengetahuan manusia Melayu terhadap alam kasat
mata dan supernatural dengan segala makhluknya, menentukan hubungan
manusia dengan alam dalam keadaan harmoni. Pengetahuan ini
memastikan sistem ekologi dan alam alam sekitar yang tidak dirusak dan
tidak dihormati. Pengetahuan ini juga memastikan ekosistem yang
bersimbiosis antara manusia dan alam (nyata dan supernatural). Tidak
33
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ada eksploitasi yang berlebihan, sehingga terjadi pelanggaran terhadap


eksistensi semua makhluk, termasuk datangnya bencana alam seperti
banjir, tsunami, gunung meletus, dan lain-lainnya. Ini semua adalah
realitas kultural adat yang sebenar adat, yang tidak lapuk di hujan, dan
tak lekang di panas, hukum alam yang tidak berubah dalam dimensi
ruang dan waktu.
Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan,
jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses
ini berdasar kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin
dalam ajaran adat:

Pisang emas bawa belayar,


Masak sebiji di dalam peti,
Hutang emas dapat dibayar,
Hutang budi dibawa mati.

Askar berperang gagah berani,


Melawan Feringgi dengan bismillah,
Apa yang terjadi di dunia ini,
Sudah menjadi hukumnya Allah.

(b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan berdasar kepada berbuat


karena Allah bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan
berdasar kepada hidup sandar-menyandar, pisang seikat digulai
sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu harus dibenarkan, yang
salah disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin menguak. Adat
lembu menguak, tak mungkin berkicau. Adat sebenar adat ini menurut
konsep etnosains Melayu adalah sebagai berikut: penuh tidak melimpah,
berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang
kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi
hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar
tidak menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya,
hidup itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh
negara, dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsi-nafsi.
Inilah adat yang tak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).
34
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Dalam konteks globalisasi budaya, ragam adat ini diterapkan kepada


realitas bahwa Allah menetapkan hukumnya kepada alam. Oleh karena
itu, ketetapan Allah ini harus dibaca sebagai kenyataan bahwa Allah itu
Maha Kuasa. Realitas alam yang pasti dan eksak tersebut haruslah
dijadikan sandaran dalam mengisi kebudayaan. Adat air laut asin
misalnya adalah ketentuan Allah. Kemudian manusia bisa mengelolanya
menjadi garam. Demikian juga lautan tersebut adalah sebuah habitat alam
yang menyediakan berbagai sumber alam seperti ikan dengan berbagai
spesiesnya, tumbuhan laut, dan lainnya yang dapat difungsikan untuk
kehidupan manusia, bahkan bernilai ekonomis.
Dalam kebudayaan misalnya, orang di Dunia Timur selalu
cenderung bergotong-royong dan mengisi spiritualnya, orang di Dunia
Barat (Oksidental) cenderung berpikir rasional, tepat waktu, dan tanpa
basa-basi. Ini juga hukum alam yang diberikan Tuhan. Oleh karena itu,
orang Melayu harus bijaksana mengambil nilai-nilai yang benar untuk
peradabannya yang diambil dari Dunia Timur maupun Barat. Dengan
demikian proses mengadun budaya secara bijaksana sangatlah penting.
Ini dibuktikan melalui sumbangan bahasa Melayu sebagai lingua franca
di Nusantara. Ke depan sangatlah mungkin kebudayaan Melayu menjadi
cultura franca di Nusantara ini. Hukum alam yang bersumber dari
ketetapan Allah ini, ada yang telah diungkap oleh manusia dengan ilmu
pengetahuan yang serba terbatas dibanding ilmu pengetahuan Allah.
Berbagai rahasia Ilahi terhadap alam yang diciptakannya yang telah
diungkap manusia adalah hukum Archimedes, hukum gravitasi bumi oleh
Newton, hukum kekekalan energi dan hukum relativitas oleh Einstein,
hukum aerodinamika oleh B.J. Habibie, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Tetapi masih lebih banyak lagi rahasia Allah yang belum dapat
diungkapkan oleh manusia dan ilmu pengetahuannya sampai saat ini.
Dalam ajaran agama Islam, alam dan hukum yang dibuat oleh Allah
untuknya terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalamnya terdapat
penjelasan mengenai penciptaan, seperti penciptaan Arsy, kursi Allah
(kekuasaan dan ilmu-Nya); penciptaan lawhul mahfuz, penciptaan langit
dan bumi, gunung, laut, sungai, hewan, serangga, makhluk hidup di air,
bintang, udara, bulan, matahari, malam, siang, hujan, penciptaan jin,
pengusiran iblis dari rahmat Allah, dan lain-lainnya. Dengan demikian
35
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

masalah alam dan hukumnya yang telah ditentukan Tuhan meliputi alam
makrokosmos dan mikrokosmos. Selain alam yang kasat mata, ada pula
alam supernatural sesuai dengan iman dalam Islam. Namun inti ajaran
Allah mengenai alam dan hukumnya ini adalah Allah berkuasa atas
semua ciptaan-Nya. Allah yang mengatur apa yang diciptakannya itu.
Dengan demikian adat yang sebenar adat ini dalam kebudayaan Melayu,
mengacu kepada konsep Allah adalah Khalik, sementara manusia dan
alam semesta (termasuk jin dan iblis) adalah makhluk Allah. Keadaan
yang seperti ini dijelaskan melalui firman Allah pada Al-Qur’an sebagai
berikut.

(1) Surah Al-Baqarah ayat 22

Artinya: 22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu


dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.

36
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

(2) Surah Al-Baqarah ayat 164

Artinya: 164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih


bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.

(3) Surah Al-Kahfi ayat 51

Artinya: 51. Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya)
untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan
diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang
menyesatkan itu sebagai penolong.
37
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Surah Al-Baqarah ayat 22 di atas memberikan dimensi pembelajaran


bagi umat Islam, yaitu Allah yang menjadikan bumi dan segala isinya
sebagai hamparan bagi segenap manusia. Di sisi lain, di bahagian atasnya
ada langit sebagai atap. Seterusnya Allah menurunkan air (hujan) dari
langit. Berkat air hujan ini, di bumi tumbuhlah berbagai tumbuhan, dan
menghasilkan buah-buahan yang juga sebagai rezeki kepada semua
manusia. Hanya satu permintaan Allah akan kasih dan sayangnya yang
tidak terhingga ini, yakni kita sebagai manusia jangan membuat sekutu-
sekutu bagi Allah.
Selanjutnya pada surah Al-Baqarah ayat 164, Allah berfirman bahwa
dalam menciptakan langit dan bumi Allah juga mengatur terjadinya siang
dan malam. Begitu juga apa-apa yang ada di laut adalah untuk digunakan
oleh segenap manusia. Selain itu, Allah menurunkan air dari langit, dan
air ini mengaliri bumi kembali setelah kemarau. Allah juga menciptakan
berbagai jenis hewan di bumi. Demikian pula udara (angin) dan awan
yang berada antara langit dan bumi. Semua ini adalah tanda-tanda
keesaan dan kebesaran Allah, bagi kaum yang memikirkan. Dalam
kenyataannya ada pula kaum yang tidak memikirkannya dan tidak
mengakui keesaan dan kebesaran Allah, bahkan ada yang tidak percaya
akan adanya Allah.
Kedua firman Allah dalam Al-Qur’an tersebut menyebutkan tentang
alam nyata atau alam kasat mata. Walaupun sebenarnya keseluruhan alam
ciptaan Tuhan ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
manusia yang juga diberikan Tuhan kepadanya, belum mampu
mengetahui secara sempurna mengenai alam dan makhluk kasat mata
ciptaan Tuhan ini, seperti jasad renik, amuba, protozoa, hewan-hewan,
tumbuhan, bumi, bulan, bintang, planet, satelit, galaksi, tata surya, dan
seterusnya.
Selain ciptaan Allah yang kasat mata, terdapat juga makhluk-
makhluk ciptaan Allah yang bersifat gaib, yang berada dalam alam
supernatural. Ini juga difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an, salah
satunya pada surah Al-Kahfi ayat 51 seperti terurai di atas. Melalui
firman-Nya ini, Allah menerangkan bahwa ketika Allah menciptakan
langit dan bumi, Allah tidak menghadirkan iblis dan segenap
38
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

keturunannya untuk menyaksikan penciptaan alam. Allah tidak pula


mengambil orang-orang yang menyesatkan manusia itu sebagai
penolong.
Dari tiga ayat Al-Qur’an tersebut terbersit dengan jelas kepada kita
yang mau berpikir dan mengimani Allah. Pertama adalah Allah Maha
Kuasa, dan dengan kekuasan-Nya Allah menciptakan langit, bumi, dan
segala isinya. Kedua, Allah juga yang mengatur segala ciptaan-Nya
tersebut. Tujuannya adalah untuk kepentingan manusia. Ketiga Allah
juga menciptakan makhluk-makhluk dalam dua bentuk, yaitu yang kasat
mata dan yang gaib. Ini juga tanda-tanda Allah itu Maha Kuasa.
Keempat, hanya satu permintaan Allah kepada manusia, yaitu jangan
menyekutukan Allah, mengakui adanya Ilah (Tuhan) lain selain Allah
Subhana Wata’ala.

2.3.2 Adat yang Diadatkan

Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan
tertentu, menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut. Kemudian
pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka.
Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau penghulu. Pelaksanaan
adat ini wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir
ataupun batin, dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang.
Adat yang diadatkan ini maknanya mengarah kepada sistem-sistem
sosial yang dibentuk secara bersama, dalam asas musyawarah untuk
mencapai kesepakatan. Adat yang diadatkan juga berkait erat dengan
sistem politik dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan nilai-
nilai keagamaan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan polarisasi yang
tepat sesuai dengan perkembangan dimensi ruang dan waktu yang dilalui
masyarakat Melayu.
Lebih jauh Tenas Effendy (2004:61) menjelaskan bahwa adat yang
diadatkan adalah semua ketentuan adat-istiadat yang dilakukan atas dasar
musyawarah dan mufakat serta tidak menyimpang dari adat sebenar adat.
Adat ini dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman dan
perkembangan masyarakat pendukungnya. Adat yang diadatkan ini
dahulu dibentuk melalui undang-undang kerapatan adat, terutama di
39
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

pusat-pusat kerajaan, sehingga terbentuklah ketentuan adat yang


diberlakukan bagi semua kelompok masyarakatnya.
Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeda dengan negeri-
negeri lainnya, lain lubuk lain ikannya lain padang lain belalangnya.
Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa
resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang
diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja,
tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah
diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama
atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat
dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang
diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang,
terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
Arah adat yang diadatkan ini adalah berasas kepada sistem
pemerintahan atau pengelolaan masyarakat. Dalam konteks kekinian,
strategi adat yang diadatkan ini diterapkan oleh negara-negara rumpun
Melayu. Indonesia menerapkan sistem demokrasi, yaitu kekuasaan ada di
tangan rakyat. Bentuk pemerintahan presidensial. Pemilihan umum
dilakukan lima tahun sekali. Kemudian disertai dengan otonomi daerah.
Gejolak sosial pun terjadi seeiring dengan pemilihan kepala-kepala
daerah (pilkada). Malaysia sebagai negeri rumpun Melayu lainnya
menerapkan sistem kesultanan, yang dipimpin secara bergilir oleh Yang
Dipertuan Agong secara musyawarah di antara sultan-sultan (dan Tuan
Yang Terutama) seluruh Malaysia. Sistem pemerintahannya juga
menerapkan demokrasi parlementer, dan kebijakan multipartai, yang
berbasis nasional dan agama. Dalam kebudayaan Melayu, raja (ada juga
yang menyebut sultan) adalah pemimpin tertinggi. Sultan adalah wakil
Allah di muka bumi, yang harus ditaati dan dihormati segala keputusan
dan kebijakannya. Raja juga sebagai seorang pemimpin tertinggi dalam
pemerintahan dan kenegaraan, ia juga adalah pempimpin agama, yaitu
imam bagi seluruh umat yang dipimpinnya. Bagaimanapun seorang
sultan juga memikul tanggung jawab untuk rakyat yang dipimpinnya,
yang dipandu oleh ajaran-ajaran agama Islam. Raja di dalam peradaban
Melayu adalah raja yang bijaksana, rendah hati, mengutamakan

40
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

kepentingan umat yang dipimpinnya, dan bertanggung jawab langsung


kepada Allah SWT.
Dalam konteks Malaysia kini, gejolak politik pun muncul karena
gesekan antara kepentingan Barisan Nasional dan Barisan Alternatif.
Yang jelas apa pun bentuk pemerintahan di negeri-negeri rumpun Melayu
tujuan utamanya adalah untuk menuju masyarakat yang madani, adil, dan
makmur (baldatun thoyibatun warabbun ghofur).
Dalam konteks ajaran Islam pun, sistem kepemimpinan ini juga telah
diarahkan oleh Allah melalui Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat yang
memuat tema tentang kepemimpinan dalam perspektif Islam adalah
sebagai berikut.

(a) Surah As-Sajdah ayat 24

Artinya: 24. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin


yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.

(b) Al-Anbiyaa’ ayat 73

Artinya: 73. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-


pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan

41
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka


selalu menyembah.

(c) Surah An-Nisaa’ ayat 34

Artinya: 34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Sesuai dengan firman Allah tersebut, maka pemimpin dalam budaya


masyarakat Melayu adalah diturunkan Allah kepada umat (termasuk
masyarakat Melayu). Pemimpin ini memberikan petunjuk berdasarkan
arahan dari Allah, dan pemimpin itu adalah orang yang sabar
(menghadapi semua tantangan) dalam membawa kesejahteraan umat
yang dipimpinnya.
Seterusnya, pemimpin umat itu selalu mengerjakan kebajikan,
mendirikan sembahyang (shalat), menunaikan zakat, dan yang terpenting
42
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

adalah hanya menyembah kepada Allah saja (tidak menyekutukan Allah).


Dengan demikian pemimpin (sebenar, bukan pemimpin untuk cobaan)
yang diturunkan Allah itu adalah orang yang saleh dan patuh kepada
perintah Allah, menjauhi segala larangan Allah, dan mengerjakan semua
perintah Allah.
Selanjutnya dalam konteks kajian gender (terutama dalam konteks
rumah tangga Islam atau yang lebih luas negeri Islam), maka di dalam
ajaran agama Islam, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Ini
merupakan petunjuk Allah, bahwa laki-laki memang diciptakan Allah
untuk memimpin wanita, bukan sebaliknya. Antara laki-laki dan wanita
adalah saling melengkapi atau komplementer. Sementara wanita yang
saleh dan taat kepada Allah, memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
maka Allah memelihara mereka, dan akan menjadi penghuni surga.
Dimensi pembelajaran kepemimpinan dari firman Allah ini adalah
laki-laki memang diciptakan untuk memimpin wanita dengan
karakteristik yang diberikan Allah kepadanya. Namun demikian, laki-laki
juga tidak boleh semena-mena terhadap wanita yang dipimpinnya. Atau
juga setiap wanita yang beriman kepada Allah tidak akan pernah
melakukan kesetaraan gender, karena memang tidak diciptakan untuk
setara dalam segala-galanya, tetapi saling melengkapi. Jadi yang benar
adalah kemitraan gender. Ada hal-hal yang tidak terdapat dalam diri laki-
laki dan juga sebaliknya.
Nabi Muhammad SAW merupakan seorang yang sangat sopan
dalam bertutur kata, jujur, tidak pernah berdusta, dan luhur budi
pekertinya. Hal inilah yang membuat setiap muslim dan umat manusia
mengagumi Nabi Muhammad. Sampai saat ini, Rasulullah Muhammad
dikagumi ramai orang di seluruh pelosok dunia karena kepribadiannya
yang amat luar biasa. Michael H. Hart di dalam bukunya yang bertajuk
The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History
menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh di
dunia ini, di dalam sejarah dunia.
Dalam hal ini Nabi Muhammad memiliki prilaku dan akhlak yang
mulia terhadap sesama manusia, khususnya terhadap umat beliau. Nabi
Muhammad tidak memandang seseorang dari status sosial, ras, warna
kulit, suku bangsa, atau golongan. Ia selalu berbuat baik kepada siapa
43
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

saja—bahkan kepada orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya.
Di dalam Al-Quran pula, beliau disebut sebagai manusia yang memiliki
akhlak yang paling agung.

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. Al-Ahzab: 21).

Rasulullah Muhammad SAW. memiliki akhlak dan sifat-sifat yang


sangat mulia. Oleh karena itu hendaklah kita berpedoman dan
menghayati sifat-sifat Nabi ini dalam kehidupan yang kita jalani. Adapun
secara garis besar, ada empat sifat Nabi Muhammad dalam konteks
kepemimpinannya, yaitu sidik, amanah, tabligh, dan fathonah.

2.3.2.1 Sidik

Siddiq yang berasal dari kata bahasa Arab arti harfiahnya adalah
benar. Benar adalah suatu sifat yang mulia yang menghiasi akhlak
seseorang yang beriman kepada Allah dan kepada hal-hal yang gaib. Ia
merupakan sifat pertama yang wajib dimiliki para Nabi dan Rasul yang
dikirim Tuhan ke alam dunia ini untuk membawa wahyu dan agamanya.
Pada diri Rasulullah SAW. bukan hanya perkataannya yang benar,
tetapi perbuatannya juga benar, yakni sejalan dengan ucapannya. Jadi
mustahil bagi Rasulullah SAW itu bersifat pembohong, penipu, pendusta,
dan sebagainya.

44
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan


hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya (Q.S. An-Najm, 4-5).

Dalam konteks ini, sebagai pemimpin Melayu, termasuk pemimpin


adat, sudah semestinya dan wajib berkata benar. Dasar dari kebenaran itu
adalah wahyu-wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an. Apa tanda pemimpin sejati,
dengan Al-Qur’an ia bersebati; apa tanda pemimpin Melayu, bersifat
sidik setiap waktu; apa tanda seorang pemimpin, di jalan Allah ia
berjalin.

2.3.2.2 Amanah

Sifat Rasulullah berikutnya adalah amanah, yang artinya benar-benar


dipercaya. Ia sangat menjaga sesuatu yang dibebankan dan diberikan
wewenang kepadanya. Jikalau sebuah urusan diserahkan kepada
Rasulullah, maka orang yang menyerahkan urusan tersebut percaya
bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebab itulah
penduduk Kota Mekah memberi gelar kepada Nabi Muhammad SAW
dengan Al-Amin yang artinya terpercaya, jauh sebelum beliau diangkat
jadi seorang Rasul. Apa saja yang beliau ucapkan, dipercayai dan
diyakini penduduk Mekah, karena beliau terkenal sebagai seorang yang
tidak pernah berdusta. Sifat amanah Rasulullah ini tercermin dalam ayat
Al-Qur’an berikut ini.

Artinya: Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku


hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu (Q.S. Al-A'raaf: 68).

45
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Dengan demikian, maka mustahillah Nabi Muhammad SAW. itu


berlaku khianat terhadap orang-orang yang memberinya amanah
(kepercayaan penuh). Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan
kedudukannya sebagai Rasul atau sebagai pemimpin bangsa Arab untuk
kepentingan pribadinya, atau kepentingan keluarganya, namun yang
dilakukan Rasulullah adalah semata-mata untuk kepentingan Islam
melalui ajaran Allah SWT.
Pada saat Rasulullah Muhammad SAW ditawarkan pemerintahan,
harta, dan wanita oleh kaum Quraisy, agar Nabi meninggalkan tugas
yang diembankan Allah kepadanya yaitu menyiarkan agama Islam, Nabi
Muhammad menjawab dengan tegas: ”Demi Allah… wahai paman,
seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas suci ini, maka aku
tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan Islam atau aku
hancur karenanya.”
Walaupun kaum kafir Quraisy kemudian mengancam akan
membunuh Nabi Muhammad, namun Rasulullah tidak gentar dan tetap
menjalankan amanah Allah yang diterimanya. Setiap orang muslim
seharusnya memiliki sifat amanah seperti Rasulullah SAW.
Amanah dalam konteks kepemimpinan Melayu adalah tercermin
dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan amanah ia
berdiri; apa tanda Melayu jati, dipercaya orang di seluruh negeri, apa
tanda Melayu jati, membela yang benar tegas dan berani.

2.3.2.3 Tabligh

Tabligh artinya menyampaikan. Dalam hal ini, segala firman Allah


SWT. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril,
disampaikan oleh Rasulullah. Tidak ada yang disembunyikan walaupun
firman Allah tersebut menyinggung Nabi Muhammad sendiri, seperti
pada ayat Al-Qur’an berikut ini.

46
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Artinya: Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah


menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi apa yang
ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu (Q.S. Al-
Jin: 28).

Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah


datang seorang buta kepadanya” (Q.S. 'Abasa: 1-2).

Dalam suatu riwayat hadits, dikemukakan bahwa firman Allah (Q.S.


'Abasa: 1) turun berkaitan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang
datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: “Berilah petunjuk
kepadaku, ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah SAW sedang
menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, oleh karena itu
Rasulullah berpaling darinya dan tetap melayani pembesar-pembesar
Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini
mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Maka ayat ini turun
sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah SAW (Diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi dan Al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.)
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
tersebut menurut norma acuan etika yang umum adalah hal yang wajar.
Pada saat sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu
kita tidak suka diganggu oleh orang lain. Namun untuk standar seorang
Nabi, itu tidak cukup bagi Allah. Oleh karena itulah Allah SWT telah
menegur Nabi Muhammad SAW, melalui firman-Nya seperti terurai di
atas.
Sebagai seorang yang bersifat tabligh, meskipun ayat tersebut
menyindirnya, Nabi Muhammad SAW tetap menyampaikannya kepada
47
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

seluruh umatnya, bahkan seluruh manusia dan jin. Itulah sifat seorang
Nabi. Jadi, mustahil Nabi itu kitman atau menyembunyikan wahyu Allah.
Sifat tabligh atau menyampaikan ini, dalam konteks budaya Melayu,
dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan adat berikut ini. Apa tanda Melayu
jati, bersifat tabligh di dalam diri; apa tanda Melayu jati, menyampaikan
yang benar tiada menafi; apa tanda Melayu jati, ajaran Allah
disampainya pasti.

2.3.2.4 Fathonah

Secara etimologis, kata fathonah di dalam bahasa Arab artinya


dalam bahasa Melayu adalah bijaksana. Dalam koteks kenabian,
mustahillah seorang Rasul Allah itu bersifat bodoh atau jahlun. Dalam
menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an dan kemudian menjelaskannya
dalam puluhan ribu hadits, maka Rasulullah Muhamamd SAW
memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa.
Nabi Muhammad harus mampu menjelaskan firman-firman Allah
SWT kepada kaumnya sehingga mereka mau memeluk Islam. Nabi
Muhammad juga harus pandai berdebat (berhujah) dengan orang-orang
kafir dengan cara yang sebaik-baiknya: santun, beretika, berwibawa, dan
tegas.
Dalam sejarah peradaban dunia, tercacat bahwa Rasulullah SAW,
mampu mengatur dan mengelola umatnya sehingga berhasil
mentransformasikan bangsa Arab jahiliah yang pada awalnya bodoh,
kasar, bengis, berpecah-belah, dan serta selalu berperang antarsuku—
kemudian menjadi bangsa yang berperadaban dan berpengetahuan.
Semuanya itu memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa, yang terdapat
dalam diri Rasulullah SAW.
Dalam konteks kepemimpinan Melayu sifat fathonah atau bijaksana
ini tercermin dalam ungkapan berikut. Apa tanda Melayu jati, dengan
bijaksana ia menyeri; apa tanda pemimpin bijaksana, berpadu benar
kata dan amalnya; apa tanda pemimpin Melayu, arif dan bijak tiada
ragu.

48
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

2.3.2.5 Sifat-sifat Utama Pemimpin dalam Perspektif Budaya


Melayu

Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin itu memiliki sifat-sifat utama.


Menurut Tenas Effendi (2013), adat Melayu sangat mengutamakan
pemimpinnya, yang disanjung dengan bermacam sebutan, dan dijadikan
lambang budaya yang sarat nilai-nilai dasar identitas Melayu yang Islami.
Melalui ungkapan adat dinyatakan bahwa pemimpin adalah: orang yang
dituakan oleh kaumnya, yang dikemukakan oleh bangsanya, yang
ditinggikan seranting, yang didahulukan selangkah, yang disanjung
dijunjung tinggi, yang disayang serta dihormati. Selain itu, pemimpin
dalam adat Melayu adalah bagaikan kayu besar di tengah padang, yang
dari jauh mula nampak, yang dari dekat mula bersua, yang ke atas ia
berpucuk, yang di tengah ia berbatang, dan yang di bawah berurat
tunggang, rimbun daunnya tempat berteduh, kuat dahannya tempat
bergantung, besar batangnya tempat bersandar, dan kukuh akarnya
tempat bersila. Seterusnya pemimpin dalam konteks adat Melayu adalah
bagaikan tanjung pumpunan angin, bagaikan teluk timbunan kapar,
bagai pucuk jala pumpunan ikan, bagaikan kemuncak payung panji.
Yang disebut dengan pemimpin umat adalah yang menjunjung amanah
laut dan darat, sumpah dipegang, janji diingat, mengabdi untuk
kepentingan umat, kepentingan sendiri tiadalah ingat.
Kewajiban pemimpin menurut adat Melayu adalah membawa
kesejahteraan umat, mana yang kusut wajib diselesaikan, mana yang
keruh wajib dijernihkan, mana yang melintang wajib diluruskan, mana
yang berbonggol wajib ditarahkan, mana yang kesat wajib
diampelaskan, mana yang menyalah wajib dibetulkan. Pemimpin
berkewajiban memberikan contoh teladan, menyampaikan tunjuk ajaran,
memelihara kampung halaman, menjaga alam lingkungan berpijak pada
keadilan, berdiri di atas kebenaran, menjaga marwah diri, umat,
kampung, bangsa, adat dan lembaga, serta hukum dan undangnya.
Begitu beratnya tugas dan kewajiban pemimpin, maka seorang
pemimpin dalam adat Melayu wajib mendasarkan semua keputusan dan
kegiatannya pada nilai-nilai agama Islam. Pemimpin yang mendasarkan
diri pada agama akan menjadi seorang yang berkepribadian terpuji,
49
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

handal, piawi, arif, bijaksana, adil, jujur, amanah, cerdas, berani, tabah,
dan berbagai akhlak terpuji lainnya (Tenas Effendi, 2013:4).
Sifat-sifat utama pemimpin dalam budaya Melayu adalah sebagai
berikut. 1 Berpegang teguh kepada agama Allah, 2. amanah, menunaikan
sumpah, mengabdi, dan membela umat, 3. jujur dan sangat anti kepada
khianat, 4. berakhlak mulia dalam pergaulan sosialnya, 5. memahami diri
dan sistem sosial yang dibangun bersama, 6. arif, 7. bijaksana, 8. berilmu
dan memahami pranata sosial, 9. berani, 10. berhati tabah, 11. berlapang
dada, 12. tulus dan ikhlas, 13. bertimbang rasa, 14. rendah hati, 15.
pemurah hati, 16. hemat dan cermat, 17. tunak dan rajin, dan 18. tangkas
dan tegas (Tenas Effendi, 2013:5-13). Demikian kira-kira pemahaman
mengenai adat yang diadatkan di dalam peradaban Melayu pada
umumnya.

2.3.3 Adat yang Teradat

Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara


berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali
air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat
berkisar. Walaupun terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan
lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak
berseimbangan, antara akhlak dan pengetahuan.
Adat yang teradat ini merupakan konsep masyarakat Melayu
terhadap kesinambungan dan perubahan, yang merupakan respons
terhadap dimensi ruang dan waktu yang dijalani manusia di dunia ini.
Manusia, alam, dan seisinya, pastilah berubah menurut waktu dan
zamannya. Namun demikian, perubahan pastilah tetap disertai dengan
kesinambungan. Artinya hal-hal yang berubah sedrastis apapun pastilah
tetap disertai dengan kesinambungan yang berasal dari era-era dan
keadaan sebelumnya. Memang perubahan tersebut ada yang perlahan dan
pasti, namun tidak jarang pula perubahan itu bersifat cepat, drastis, dan
spontan. Dalam kajian sejarah perubahan ini ada yang sifatnya evolutif
dan ada pula yang revolutif. Itulah inti konseptual dari adat yang teradat
menurut orang-orang Melayu.

50
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Menurut Lah Husni, perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk


ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu
orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu perhelatan adat,
kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi pakaian yang teradat.
Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak lagi.
Jika dulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang
siapa pun boleh memakainya (Lah Husni, 1986:62).
Demikian pula, kalau dahulu kala dalam adat perkawinan Melayu
digunakan serunai untuk mengiringi persembahan tari inai, maka
sekarang alat musik ini digantikan oleh akordion. Kalau dahulu orang
Melayu selalu menggunakan teater makyong, kini lebih sering menonton
drama serial di televisi-televisi. Jikalau dahulu kala orang Melayu
bertanam padi di sawah dan memanennya dengan disertai acara mengirik
padi kemudian dijemur dan ditumbuk, kini pada masa panen padi tersebut
tidak lagi diirik, langsung diolah dengan mesin pengirik, dan kemudian
digiling. Kalau dahulu anak-anak muda Melayu bercinta malu-malu, kini
sudah berubah yakni terang-terangan bergandeng tangan, seperti yang
digambarkan melalui lantunan lagu oleh Tan Sri S.M. Salim.

Cinta dulu-dulu,
Cinta malu-malu,
Cinta zaman sekarang,
Di depan orang,
Ia pegang-pegang tangan.

Dengan demikian, dalam konteks zaman, adat yang teradat inilah


yang memberikan ruang bagi umat Melayu untuk mengikuti
perkembangan zaman. Kata kunci perubahan adalah merujuk kepada
strategi adat yang teradat ini.
Menurut ajaran Islam perubahan dan kontinuitas alam (termasuk
kebudayaan) pastilah terjadi, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an.

51
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(a) Surah Al-An’aam ayat 73.

Artinya: 73. Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.
Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu
terjadilah," dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala
ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

(b) As Sajdah ayat 4

Artinya: 4. Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy.
Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak
(pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Dalam melihat ruang dan waktu, termasuk perubahan dan


kontinuitasnya, maka setiap muslim menyandarkannya kepada Allah,
bahwa waktu dan ruang itu Allah yang menciptakan dan mengaturnya.

52
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Termasuk pula penciptaan alam semesta beserta isinya dan juga proses
alam serta datangnya hari kiamat ketika ditiup sangkakala.
Selanjutnya, dalam menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di
antaranya (seperti angin, awan, dan lainnya), Allah melakukan proses
selama enam masa. Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Dengan demikian
dalam proses penciptaan ini terjadi perubahan dan kontinuitas, baik dari
sisi ruang maupun waktu. Ini pun terus terjadi dari zaman ke zaman. Ini
pula yang menjadi dasar dari konsep adat yang teradat.
Dalam hal kesenian, perubahan-perubahan juga terjadi di sepanjang
masa hidup dan berkembangnya kesenian tersebut. Misanya dalam seni
zapin, awalnya adalah difungsikan dalam upacara perkawinan dan hanya
ditarikan oleh penari laki-laki. Kini telah difungsikan dalam berbagai
konteks sosial lain seperti menyambut tetamu, festival, eksplorasi gerak
dan musik yang baru, dan juga ditarikan oleh kaum wanita. Demikian
juga selain dari seni pertunjukan tradisional, para seniman Melayu juga
sangat kreatif membuat tari-tari dan musik garapan baru yang berakar
dari kesenian tradisi. Dari Malaysia kita dapat sumbangan kesenian
seperti lagu Cindai karya cipta Pak Ngah Suhaimi yang dipopulerkan
oleh Datuk Siti Nurhalijah. Begitu juga dari Indonesia kita kenal lagu
Laksmana Raja Di Laut yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami. Dari
Medan lagu Makan Sireh untuk iringan tari Persembahan, diberi
sentuhan budaya kekinian oleh Cek Dahlia Abu Kasim Sinar dengan
vokalnya oleh Darmansyah.

2.3.4 Adat-istiadat

Adat-istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih


banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan,
penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja maka
kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum,
misalnya: hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya. Adat-istiadat ini adalah
ekspresi dari kebudayaan Melayu. Upacara di dalam kebudayaan Melayu
juga mencerminkan pola pikir atau gagasan masyarakat Melayu. Upacara
jamu laut misalnya adalah sebagai kepercayaan akan Tuhan Yang Maha
Kuasa akan memberikan rezeki melalui laut. Oleh karenanya kita
53
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

mestilah bersyukur dengan cara menjamu laut. Begitu juga upacara


seperti gebuk di Serdang yang mengekspresikan kepada kepercayaan
akan pengobatan melalui dunia supernatural. Demikian pula upacara
mandi berminyak, merupakan luahan dari sistem kosmologi Melayu yang
mempercayai bahwa dengan hidayah Allah seseorang itu bisa kebal
terhadap panasnya minyak makan yang dipanaskan di atas belanga.
Demikian pula upacara mandi bedimbar dalam kebudayaan Melayu
adalah sebagai aplikasi dari ajaran Islam, bahwa selepas hubungan suami
dan istri keduanya haruslah melakukan mandi wajib (junub). Seterusnya
upacara raja mangkat raja menanam di Kesultanan-kesultanan Melayu
Sumatera Timur adalah ekspresi dari kontinuitas kepemimpinan, yaitu
dengan wafatnya sultan maka ia digantikan oleh sultan yang baru yang
menanamkan (menguburkannya). Demikian juga untuk upacara-upacara
yang lainnya dalam kebudayaan Melayu sebenarnya adalah aktivitas
dalam rangka menjalankan strategi kebudayaan Melayu, agar berkekalan
dan tidak pupus ditelan oleh ruang dan waktu.
Dalam realitasnya, sejauh penelitian yang kami lakukan, adat-
istiadat (upacara) Melayu itu dapat dikategorikan sebagai berikut.
I. Adat-istiadat yang berkaitan dengan siklus hidup:
1. Adat-istiadat bersalin.
a. Adat-istiadat melenggang perut,
b. Adat-istiadat menempah mak bidan,
c. Adat-istiadat mandi sampat,
d. Adat-istiadat potong tali pusat,
e. Adat-istiadat naik buaian (mengayun anak),
f. Adat-istiadat mencecah tanah (turun tanah),
g. Adat-istiadat bercukur.
2. Adat semasa anak-anak.
a. Adat-istiadat bercukur,
b. Adat-istiadat berkhitan (berkhatan atau sunnat),
c. Adat-istiadat belajar dan mengaji,
d. Adat-istiadat berkhatam Al-Qur’an,
e. Adat-istiadat bertindik.
3. Adat-istiadat perkawinan.
a. Adat-istiadat merisik,
54
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

b. Adat-istiadat meminang,
c. Adat-istiadat berinai,
d. Adat-istiadat berandam dan menempah mak andam,
e. Adat-istiadat berbesan,
f. Adat-istiadat mandi bedimbar (berhias),
g. Adat-istiadat bertandang,
h. Adat-istiadat menyalang,
i. Adat-istiadat menjemput atau berkampung.
4. Adat kematian.
II. Adat yang berkait dengan kegiatan pertanian dan maritim.
a. Adat-istiadat membuka tanah (mulaka ngerbah),
b. Adat-istiadat bercocok tanam (tabur benih, mulaka nukal),
c. Adat-istiadat berahoi (mengirik padi),
d. Adat-istiadat turun perahu,
e. Adat-istiadat bersimah berpuar, puja kampung, bersih kampung,
atau berobat kampung,
f. Adat-istiadat menjamu laut.
III. Adat pengobatan melalui bomoh (dukun, pawang).
a. Adat-istiadat berobat,
b. Adat-istiadat berkebas,
c. Adat-istiadat memutus obat,
d. Adat-istiadat menilik bomoh,
e. Adat-istiadat gebuk.
IV. Adat olahraga tradisi dan seni pertunjukan.
1. Bersilat atau lintau.
a. Adat-istiadat membuka gelanggang,
b. Adat-istiadat menghadap guru atau sembah guru,
c. Adat-istiadat tamat silat.
2. Pertujukan, musik, tari, dan teater,
a. Adat-istiadat buka panggung,
b. Adat-istiadat pertunjukan,
c. Adat-istiadat tamat panggung.
V. Adat makan atau jamuan.
a. Adat-istiadat makan dan minum,
b. Adat-istiadat berhidang: seperah, dulang, kepala lauk
55
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(menghidang),
c. Adat-istiadat menjamu ketua atau pengurus adat,
d. Adat-istiadat bersirih puan (sebelum makan),
e. Adat-istiadat kenduri (jamu sukut).
VI. Adat-istiadat pelantikan pengurus adat.
VII. Adat-istiadat komunikasi budi bahasa.
a. Adat-istiadat berbahasa,
b. Adat-istiadat bertegur sapa.
VIII. Adat-istiadat takwim Islam.
a. Menyambut awal Muharram,
b. Hari Asyura 10 Muharram,
c. Safar,
d. Maulid Nabi (Maulidur Rasul),
e. Kenduri arwah (bulan Sya’ban),
f. Puasa (Ramadhan),
g. Hari Raya Idul Fitri,
h. Hari Raya Kurban (Idul Adha), dan lain-lain.
Dalam konteks perkembangan zaman, adat-istiadat yang bermakna
kepada upacara atau ritual ini juga mengalami perkembangan-
perkembangan. Upacara ini ada yang berkaitan dengan kegiatan budaya
seperti politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, agama, ekonomi, dan
lain-lainnya.
Pada masa kini, dalam konteks Indonesia, upacara atau adat-istiadat
ini dapat juga ditemui seperi upacara pembukaan pekan olahraga,
pembukaan gedung baru, upacara melepas jamaah haji, upacara
menyambut kepulangan haji, upacara pembukaan kampanye partai
politik, upacara bendera, upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia,
upacara pembukaan dan penutupan pekan budaya, dan lain-lain. Dengan
demikian adat-istiadat ini juga mengalami perkembangan-perkembangan
selaras dengan perkembangan zaman.

2.4 Fungsi Adat

Menurut Tenas Effendy (2004:66-67) fungsi adat dalam kebudayaan


Melayu adalah sebagai berikut.
56
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

1. Menjabarkan nilai-nilai dasar Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa


adat Melayu pada hakekatnya adalah penjabaaran nilai-nilai agama
Islam, yang dianut masyarakatnya. Melalui adat dan kelembagaan adat
inilah beragam nilai yang Islami dikembangkan, kemudian disebarkan
ke tengah masyarakat. Nilai ini kemudian dijadikan identitas
kemelayuan yang bersebati dengan Islam. Dari sini muncul pendapat
yang menyatakan bahwa kemelayuan seseorang tidak hanya
ditentukan oleh etnisitas saja tetapi juga melalui agama yang dianut
yaitu Islam, beradat Melayu, dan berbahasa Melayu. Dengan demikian
kemelayuan seseorang menjadi luas, yang terwujud dari berbagai latar
belakang suku dan puak.
2. Menjadi identitas yang Islami. Adat Melayu yang berakar dari agama
Islam ini kemudian menjadi identitas kemelayuan, sehingga tidak
dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu
seorang yang bukan beragama Islam kemudian menganut agama
Islam, sejak dahulu disebut sebagai masuk Melayu. Sebaliknya jika
seorang Melayu keluar dari agama Islam ia disebut dengan keluar dari
Melayu, dan gugurlah hak-haknya sebagai orang Melayu, dan adat
kemelayuannya.
3. Menjadi perekat persebatian dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Fungsi utama institusi
adat adalah sebagai perekat persebatian (integrasi) masyarakaat dalam
kehidupan sosialnya. Fungsi ini amat penting karena masyarakat
Melayu di Nusanatara ini hidup dalam komunitas yang heterogen.
Kemajemukan ini memerlukan simpai dan perekat yang dapat
menyatukan masyarakat yang beragam itu daalam tatanan kehidupan
yang aman dan damai, saling hormat-menghormati, saling bantu-
membantu, dan lainnya. Hal ini diungkapkan dalam adat senasib
sepenanggungan, seaib, dan semalu.

2.5 Nilai-nilai Adat

Dalam konteks mewujudkan fungsi institusi adat, tentulah harus


mengacu kepada nilai dasar adat dan budaya Melayu yang telah teruji
ketangguhan dan keluhurannya. Adat ini diterapkan sejak berabad-abad
57
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

yang lampau, seiring dengan adanya orang Melayu di dunia ini. Nilai-
nilai dasar inilah yang selama berabad-abad silam mampu menciptakan
kehidupan yang sejahtera lahir dan batin dengan keberagaman suku dan
puak, kaum, dan bangsa di bumi Melayu.
Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam adat inilah yang perlu
dikembangkan dan disebarluaskan dalam kehidupan berumah tangga,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam adat Melayu menurut Tenas Effendy (204:69-78)
adalah sebagai berikut.
1. Nilai keterbukaan
Budaya Melayu yang selalu disebut sebagai budaya bahari1
adalah kebudayaan yang sifatnya terbuka. Melalui keterbukaan inilah
masyarakatnya menjadi mejemuk demikian pula budayanya menjadi
ikut heterogen juga. Pembauran lintas suku, umat, dan lintas negara,
selama ratusan tahun telah melahirkan masyarakat Melayu yang
heterogen. Kemelayuam tidak lagi semata-mata mengacu kepada
etnik, yang mendasarkan pada genealogis atau hubungan darah,
melainkan terbentuk dari keberagaman keturunan yang disimpai oleh
kesamaan nilai Islam, budaya, dan bahasa.
Islam pun mengajarkan kepada segenap umatnya untuk terbuka.
Islam tidak memandang kasta dan derajat manusia. Islam menerima
siapa pun tanpa syarat untuk menjadi muslim. Islam sangat
menghargai perbedaan-perbedaan di antara manusia, yang memang
diciptakan oleh Allah sedemikian rupa. Islam tidak membedakan

1
Kata bahari berasal dari bahasa yaitu bahar yang artinya laut. Budaya bahari ini,
sifat utamanya adalah terbuka terhadap semua budaya dunia. Orang-orang di dunia yang
berada dalam kebudayaan maritim umumnya adalah orang yang terbuka, dan selalu
mengelola berbagai kebudayaan dunia. Kota-kota atau bandar-bandar besar juga dalam
sejarah peradaban dunia selalu tumbuh di kawasan pesisir atau sungai-sungai. Budaya
bahari atau maritim ini, biasanya bertumpu pada kegiatan perdagangan, mengelola hasil-
hasil laut, saling meminjam dan mengelola budaya dalam lingkup global, dan sejenisnya.
Berbagai bandar di Alam Melayu mengekspresikan budaya bahari ini, seperti Melaka
yang menjadi pelabuhan perdagangan terkenal di abad-abad pertengahan, Siak Sri
Indrapura sebagai kawasan maritim di Riau, Kerajaan Haru di Sumatera Utara, dan lain-
lainnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bahwa budaya bahari ini menjadi tulang
punggung dalam perkembangan peradaban masyarakat Melayu.
58
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

antara kaum Quraisy dengan Habsyi, Melayu, Pashtun, Kurdi, Tamil,


Benggali, Hokkian, Kwong Fu, Korea, India, Anglo Sakson, Latin,
dan seterusnya. Islam mendudukkan posisi manusia berdasarkan nilai-
nilai universal kemanusiaan, melalui panduan ajaran-ajaran Allah.
2. Nilai keislaman
Budaya Melayu adalah budaya yang menyatu dengan ajaran
agama Islam. Nilai keislaman sangatlah dominan dan menjadi acuan
dasar budaya Melayu. Budaya Melayu menyatu dengan Islam ini
tercermin dalam ungkapan adat, adat bersendikan syarak, syarak
bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai; sah kata
syarak, benar kata adat, bila bertelikai adat dengan syarak, tegaklah
syarak, dan sebagainya.
Namun demikian, tidaklah bermakna bahwa budaya orang
Melayu menolak masyarakat yang tidak ada akidah, bahkan
sebaliknya menganjurkan untuk hidup saling hormat-menghormati,
saling menghargai, saling bertenggang rasa, tolong-menolong, dan
seterusnya. Nilai inilah yang sejak dahulu mampu mewujudkan
kerukunan hidup antara umat beragama di bumi Melayu.
3. Nilai keturunan bersama
Nilai ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan
seketurunan, yaitu sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Dalam
ruang lingkup yang lebih kecil, menyadarkan seseorang akan nenek
moyangnya yang sama, yakni berasal dari rumpun Melayu yang satu.
Nilai ini mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti yang
seluas-luasnya. Nilai ini menyebabkan setiap individu dan kelompok
maupun puak untuk berpikir jernih menjaga tali keturunan yang seasal
tersebut, sehingga mereka terhindar dari perpecahan dan disintegrasi
sosial. Hal ini terungkap dalam pantun Melayu.

Ketuku batang ketakal,


Kedua batang keladi mayang,
Sesuku kita seasal,
Senenek kita semoyang.

59
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Melalui nilai keturunan bersama inilah masyarakat Melayu dapat


menyatu dalam sebuah kebudayaan. Yang menyatukan orang-orang
Melayu itu di mana pun adalah nilai ini. Mereka itu bisa saja berasal
dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan menjadi dirinya
sebagai warga masyarakat Melayu. Bahkan orang-orang India, China,
Arab, atau yang lainnya dapat menjadi Melayu, dengan cara masuk ke
dalam kultur dan agama orang Melayu yang berpaksikan kepada
agama Islam.
Di Sumatera Timur sebagai contoh, etnik mana pun dapat
menjadi Melayu, selaras dengan kearifan lokalnya. Melayu di
kawasan Langkat, Deli, Serdang, sampai Batubara menyatukan
Melayu, dan memasukkan siapapun menjadi pada tiga kategorial
yaitu: Melayu asli, Melayu semenda, dan Melayu seresam. Melayu
asli maksudnya keturunan dan nenek moyangnya memang orang
Melayu, apakah itu dari Sumatera sendiri, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, dan lainnya. Kategori kedua adalah Melayu semenda, 2
yakni orang yang awalnya merupakan etnik bukan Melayu, kemudian
kawin dengan orang Melayu, mengamalkan kebudayaan Melayu dan
menjadi Melayu. Kategori yang ketiga adalah Melayu seresam, artinya
orang yang awalnya adalah etnik-etnik di Nusantara, karena
kesadarannya akan budaya Melayu, kemudian mengamalkannya, dan
menganggap dirinya sebagai orang Melayu. Kesemua kategori ini
didasari oleh nilai-nilai budaya dan agama bahwa kita adalah satu
keturunan bersama. Dahulunya adalah satu keluarga yakni keturunan
Adam dan Hawa. Kemudian berkembang dan terdiri dari berbagai
macam suku dan bangsa, agar saling mengenal dan mengasihi
sesamanya. Yang mulai di depan Allah adalah mereka yang bertakwa.

2
Pada kebudayaan masyarakat Pesisir (yang juga sebagai bagian dari masyarakat
Melayu) di pantai barat Sumatera Utara sampai ke Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh
Darussalam, kebudayaan mereka secara umum disebut dengan adat sumando, yang
menempatkan hubungan perkawinan ini menjadi kunci utama dalam integrasi sosialnya.
Adat sumando juga mengacu kepada konsep adat bersendikan syarak dan syarak
bersendikan kitabullah.
60
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

4. Nilai etika dan moral


Nilai adat lainnya adalah etika dan moral. Di dalam adat ini
terkandung nilai saling memelihara hubungan antar individu maupun
kelompok. Nilai ini mengajarkan dan menyadarkan agar hidup saling
menjaga sopan dan santun baik pribadi maupun sosial. Kita harus
menjaga hubungan baik, menjaga marwah, menghindari prilaku hujat-
menghujat, maki-memaki, caci-mencaci, fitnah-memfitnah, dan
seterusnya yang dapat menimbulkan aib dan malu bagi orang maupun
dirinya sendiri.
Ungkapan adat Melayu mengatakan bahwa tanda hidup seaib
semalu, yang buruk sama dibuang, yang keruh sama dijernihkan, yang
kusut sama diselesaikan; salah besar diperkecil, salah kecil dihabisi.
Selanjutnya dikatakan pula aib jangan didedahkan, malu jangan
disingkapkan, juga aib orang jangan dibilang, aib diri yang kita kaji.
5. Nilai kebersamaan
Nilai kebersamaan ini mencakup hal-hal yang berkait dengan
nilai senasib dan sepenanggungan, nalai seanak dan sekemanakan,
seinduk sebahasa, senenek dan semamak, seadat sepusaka, sepucuk
setali darah, sesampan dan sehaluan, dan seterusnya.
Nilai kebersamaan yang terkandung dalam adat Melayu,
merupakan pemahaman dan penghayatan terhadap sistem sosial, yang
memang perlu ada di dalam sebuah masyarakat. Sistem sosial inilah
yang diatur oleh adat. Sistem sosial akan memandu kepada polarisasi
yang benar dan terarah. Demikian juga apabila terjadi penyimpangan-
penyimpangan sosial, maka adat memberikan sanksi-sanksi berupa
sanksi sosial dan budaya, sampai terusirnya seseorang dalam
masyarakat adat. Jadi nilai-nilai kebersamaan ini dikandung dalam
adat Melayu, untuk menjaga konsistensi internal kebudayaan. Nilai
kebersamaan ini dalam konteks sosial diterapkan dalam musyawarah,
komunikasi secara kultural, dan seterusnya.
6. Nilai cita-cita bersama
Adat Melayu juga mengandung niali-nilai untuk mencapai cita-
cita bersama. Di dalam ajaran aadat ini setiap individu pastilah
mempunyai cvita-cita, baik cita-cita di dunia dan terlebih lagi untuk
menuju akhirat. Cita-cita setiap individu ini bisa saja berbeda sesuai
61
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dengan amanah yang diberikan Allah kepada dirinya. Ada pula cita-
cita tersebut yang sama atau hampir sama dengan orang lain. Namun
demikin, adat Melayu mengatur arah yang benar tentang cita-cita
bersama ini, yang tumbuh dari cita-cita individu, kelompok kecil,
sampai kumpulan besar, yaitu Melayu secara umum.
Cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah menegakkan ajaran
Allah di muka bumi ini sebagai rahmat kepada seluruh alam. Selain
itu cita-cita bersama masyarakat Melayu adalah melakukan
kontinuitas dan perubahan kebudayaan sesuai dengan perkembangan
zaman. Cita-cita bersama lainnya adalah menegakkan sistem sosial
dunia, yang heterogen, berkeadilan, dan tidak ada penistaan terhadap
satu kelompok manusia pun di dunia ini. Cita-cita seterusnya orang
Melayu di dunia ini adalah membentuk persatuan dan kesatuan
geobudaya, yaitu sama-sama dalam kebudayaan Melayu yang sama,
yang terdiri dari beberapa negara bangsa. Namun intinya kebersamaan
juga dapat dijalin dengan bangsa serumpun Melayu di mana pun di
dunia ini. Kebersamaan ini bagi orang Melayu adalah hakikat dari
kekuatan politik, budaya, dan sosial. Semakin menjadi kecil dan
berkabilah-kabilah (berkelompok kecil), maka semakin tidak kuatlah
posisi politiknya. Sebaliknya apabila bersatu, maka kita akan menjadi
kuat.
7. Nilai kekuasaan dan martabat
Nilai lainnya yang terdapat dalam adat Melayu adalah nilai
kekuasaan dan martabat. Di dalam kebudayaan Melayu, pada
hakekatnya setiap orang diberikan Allah kekuasaannya masing-
masing. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Dialah yang
memimpin alam ini. Selain itu setiap individu diberikan berbagai
kelebihan dan perannya masing-masing. Ia akan menjadi kuat dan
terpolarisasi dengan baik dan benar ketika ia mampu mensinerjikan
kemampuannya ini dengan orang lain atau kelompok lain. Ia akan
menjadi terhormat dan bermartabat ketika ia mampu menjadi sumber
inspirasi atau sumber keadilan dan kebersamaan sosial terhadap
sesamanya.
Kekuasaan dan martabat seorang Melayu sebenarnya tidak
ditentukan oleh kedudukan sosial yang diperolehnya atau materi yang
62
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

dikumpulkannya. Kekuasaan dan martabat orang Melayu mencakup


aspek yang multidimensional. Artinya kekuasaan dan martabat tetap
mengacu kepada perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah,
panduannya adalah ajaran Islam. Seorang yang dikatakan berkuasa
dan bermartabat jika ia dapat menjadi rahmat kepada seluruh alam
(rahmatan lil’alamin). Dengan demikian berbagai sifat-sifat agung
akan muncul dari dalam dirinya, seperti: rendah hati, tidak sombong,
suka menolong sesama, bertakwa, tujuan hidupnya dunia dan akhirat
sekaligus, dan hal-hal sejenisnya.
Kekuasaan dan martabat seorang Melayu, mencakup kecerdasan
sosialnya. Artinya kekuasaan dan martabat ini ditentukan juga oleh
interaksi seorang melayu dengan masyarakat sekitar, dan juga
masyarakat secara luas. Kecerdasan sosial ini, didukung oleh faktor-
faktor: intelegensia, emosional, dan juga spiritual. Pada hakekatnya,
setiap orang di dunia ini dianugerahi oleh Allah kemampuan
intelektual, yaitu berpikir secara logis, dalam konteks menggunakan
pikirannya. Namun selain itu di dalam diri manusia juga harus diasah
kemampuan mencerdaskan emosionalnya. Artinya ia harus mampu
memanajemeni dirinya terhadap perasaan yang muncul. Kalau sedih
tidak terlalu dalam, kalau marah tidak terlalu meledak-ledak, kalau
gembira tidak terlalu tertawa terbahak-bahak, dan seterusnya. Jadi
emosi adalah bahagian dari pengendalian diri. Ini dapat diperoleh
melalui latihan-latihan berpuasa, yang gunanya adalah mengendalikan
diri dari hawa nafsu. Namun hawa nafsu juga tidak dimatikan, hanya
diarahkan ke arah yang benar. Selain itu, terdapat juga kecerdasan
spiritual. Ini penting dilakukan sebagai bahagian mengarahkan diri
seseorang ke jalan yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kecerdasan spiritual adalah salah satu bahagian dari cara kontemplasi
diri akan hakekat hidup, juga mengarahkan seseorang dalam
hubungannya dengan Tuhan dan segala makhluk serta alam
lingkungan yang diciptakan oleh Tuhan. Jadi dengan selalu mengasah
kecerdasan spiritual ini, seseorang akan mendapatkan berkah di dalam
hidup, baik itu berupa material, dan terutama spiritualnya akan
menjadi lebih kaya. Dampaknya ia akan selalu beribadah dan ingat
kepada Tuhan, ia akan menjadi manusia yang menyayangi sesamanya,
63
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

tanpa membeda-bedakan segala perbedaan, karena pada dasarnya


setiap manusia adalah awalnya satu.
8. Nilai musyawarah
Nilai lainnya dari adat Melayu adalah nilai musyawarah. Nilai
musyawarah ini adalah substansi dari kebersamaan sosial dan
religiusitas dalam rangka merembukkan kepentingan secara bersama.
Setiap permasalahan sosial dan budaya dapat dipecahkan dan
diselesaikan dengan cara bermusyawarah. Institusi musyawarah ini
juga sebagai salah satu pengendalian dan pengawasan sosial, yang
tujuannya adalah untuk kepentingan bersama.
Dalam musyawarah ini juga terkandung nilai-nilai mufakat, yang
artinya walaupun keputusan bersama itu berbeda dengan apa yang kita
pikirkan dan konsepkan, namun karena telah menjadi keputusan
bersama, maka dengan ikhkas kita menerimanya dan bahkan
mempertahankan keputusan itu dengan sekuat tenaga dan upaya. Nilai
musyawarah untuk mencapai mufakat ini adalah ekspresi dari nilai-
nilai demokrasi dalam adat Melayu dan Dunia Islam.
Dalam menjalankan musyawarah untuk mencapai mufakat ini,
yang diutamakan adalah ketulusan untuk menyelesaikan secara
bersama-sama. Dalam musyawarah mufakat sebenarnya sangat
dihindari voting atau keputusan yang sifatnya mempertentangkan dua
atau beberapa pilihan yang berbeda, dan cenderung melihatnya secara
praktis yaitu suara yang terbanyak ialah yang menang.
Dalam musyawarah mufakat sebenarnya intinya bukan demikian,
tetapi adalah kebulatan sikap, dan pembelajaran dengan wawasan
kultural yang holistik, serta menimba ilmu pengetahuan dari semua
orang, dan hal-hal sejenis. Demikianlah kira-kira nilai-nilai yang
terkandung di dalam adat Melayu.

64
Bab II: Adat dalam Peradaban Melayu

Bagan 2.1:
Hubungan Budaya, Adat, dan Ragam Adat
dalam Kebudayaan Melayu

65
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

BAB III

GAGASAN PERKAWINAN
DALAM BUDAYA MELAYU

3.1 Pengenalan

Institusi atau lembaga perkawinan terdapat dalam semua


kebudayaan manusia di seluruh dunia ini. Perkawinan adalah fitrah dasar
manusia, termasuk juga hewan. Perkawinan ini adalah kehendak Allah,
yang gunanya adalah untuk meneruskan keturunan manusia. Tentu saja
perkawinan dilakukan menurut hukum alam yang telah digariskan oleh
Tuhan. Dalam konteks ini, perkawinan yang benar adalah yang berdasar
pada perkawinan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual), bukan
sejenis. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, tidak diperbolehkan
perkawinan antara sesama jenis. Ini merupakan penyimpangan dalam
konteks ajaran Ilahi.
Perkawinan memiliki bebagai tujuan dan fungsi, baik dilihat secara
sosial, budaya, maupun agama. Tujan perkawinan adalah menjaga
struktur sosial, terutama kekerabatan dalam kelompok etnik atau yang
lebih besar adalah seluruh kelompok manusia di dunia. Dengan
diadakannya perkawinan, maka akan terjaga hubungan kekerabatan yang
berakar dari hubungan darah (melalui perkawinan) ini. Institusi
perkawinan ini akan menjaga eksistensi dan istilah kekerabatan seperti:
ayah, ibu, nini, moyang, anak, cucu, cicit, piut, dan seterusnya. Juga
hubungan kekerabatan seperti: mak cik, pak cik, uak, biras, bisan, dan
seterusnya.
Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Timur, sebagai contoh
hubungan kekerabatan karena faktor perkawinan ini menjadi dirinya
menjadi Melayu. Contohnya ia seorang laki-laki dari etnik Karo, karena
ia kawin dengan seorang perempuan Melayu, maka ia dapat dikatakan
masuk menjadi Melayu semenda, yaitu masuk menjadi orang Melayu
66
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

karena faktor perkawinan. Demikian pentingnya institusi perkawinan ini


dalam kebudayaan Melayu, sehingga ia diatur oleh adat Melayu, secara
rinci, berlapis-lapis, namun menjadi identitas yang khas.
Namun demikian, selaras dengan konsep adat yang dipakai dalam
kebudayaan Melayu yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan
kitabullah, maka adat perkawinan Melayu juga mengacu kepada ajaran
Islam mengenai perkawinan. Terapannya dalam kebudayaan Melayu,
selain menggunakan konsep perkawinan dalam Islam, juga diselaraskan
dengan budaya Melayu, yang membedakan upacara perkawinan ini
dengan negeri-negeri Islam di seluruh dunia. Upacara perkawinan adat
Melayu tentu saja berbeda dengan upacara perkawinan masyarakat Islam
di Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika, Australia, dan
lain-lainnya. Inilah yang menjadi keeksotisan tersendiri perkawinan
dalam Dunia Islam. Untuk itu, mari kita pahami terlebih dahulu ajaran
Islam mengenai perkawinan ini.

3.2 Ajaran Islam Mengenai Perkawinan

Islam bagi pengikutnya dipandang agama yang sempurna dan


paripurna. Islam mengajarkan semua hal, termasuk perkawinan. Dalam
Al-Qur’an, salah satu surat yang banyak mendedahkan tentang
perkawinan adalah surat An-Nisaa’, yang terdiri dari 176 ayat, adalah
surat Madaniyyah yang terpanjang selepas surat Al-Baqarah. Dinamakan
An Nisaa' karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling luas
membicarakan perempuan, dibanding dengan surat-surat yang lain. Surat
yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surat
Ath-Thalaq. Dalam hubungan ini biasa disebut surat An-Nisaa' dengan
sebutan Surat An-Nisaa' Al Kubraa (surat An-Nisaa' yang besar), sedang
surat Ath-Thalaq disebut dengan sebutan Surat An-Nisaa' Ash-Shughraa
(surat An-Nisaa' yang kecil).
Pokok-pokok kandungan Surat An-Nisaa’ ialah: (1) Keimanan: syirik
(dosa yang paling besar) dan akibat kekafiran di hari kemudian. (2)
Hukum-hukum, kewajiban para washi dan para wali; hukum poligami;
mas kawin; memakan harta anak yatim dan orang-orang yang tak dapat
67
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

mengurus hartanya; pokok-pokok hukum warisan; perbuatan-perbuatan


keji dan hukumannya, wanita-wanita yang haram dikawini; hukum-
hukum mengawini budak wanita; larangan memakan harta secara bathil;
hukum syiqaq dan nusyuq; kesucian lahir dan batin dalam shalat; hukum
suaka; hukum membunuh seorang Islam; shalat khauf; larangan
melontarkan ucapan-ucapan buruk; dan masalah pusaka kalalah. (3)
Kisah-kisah tentang Nabi Musa a.s. dan pengikut-pengikutnya. (4) Hal
ihwal lain: asal muasal manusia adalah satu; keharusan menjauhi adat-
adat zaman jahiliyah dalam perlakuan terhadap perempuan; norma-norma
bergaul dengan istri; hak seseorang sesuai dengan kewajibannya;
perlakuan ahli kitab terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepadanya;
dasar-dasar pemerintahan; cara mengadili perkara; keharusan siap siaga
terhadap musuh; sikap-sikap orang munafik dalam menghadapi
peperangan; berperang di jalan Allah adalah kewajiban tiap-tiap
mukallaf; norma dan adab dalam peperangan; cara menghadapi orang-
orang munafik; dan derajat orang-orang yang berjihad.
Di antara ajaran-ajaran perkawinan menurut Islam adalah tercermin
dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini.

(a) Ar-Ruum 21

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.

68
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

(b) Annisa 4

Artinya: Berikanlah emas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.1 Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian dari emas kawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

(c) Annur 32

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu,


dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

1
Pemberian itu ialah emas kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan
kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Dalam konteks social
dan budaya, pemberian emas kawin ini adalah sebagai symbol awal tanggung jawab
seorang calon suami nantinya, akan memberikan apapun untuk sang istri tercinta dan
anak-anak keturunan mereka. Bagaimanapun seorang istri adalh imam, yaitu pemimpin di
dalam keluarga.
69
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(d) Al-Baqarah 221

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

70
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

(e) Annisa’ 23

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu


yang perempuan;2 saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu
(mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

2
Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Seterusnya yang
dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya
ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang
tidak dalam pemeliharaannya.

71
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(f) Annisa 24

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dari firman-firman Allah seperti yang dikutip di atas, maka dapat


kita ambil beberapa pembelajaran dalam hal perkawinan menurut
perspektif agama Islam. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bahwa Allah menciptakan setiap manusia berpasang-pasangan yaitu
suami dan istri, yang berasal jenisnya sendiri, agar tenteram, dan itu
adalah salah satu tanda kebesaran Allah sebagai Sang Khalik.
2. Berilah emas kawin (mahar) kepada wanita yang dinikahi.
3. Di depan Allah, secara hakiki bagi setiap manusia dianjurkan untuk
kawin, dan rezeki dalam rumah tangga itu Allah yang mengaturnya.
72
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

4. Jangan menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman, dan


jangan menikahkan lelaki musyrik kepada wanita muslim sebelum
mereka beriman, sebab kaum musyrik ini akan mengajak umat Islam
ke neraka.
5. Adanya larangan Allah untuk mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-
istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau, mengawini wanita yang sudah bersuami.
Allah memiliki tujuan atas pelarangan ini, baik dari sudut keturunan,
moralitas, menjaga struktur sosial manusia, dan hal-hal lainnya.
Kesemua firman Alllah tersebut mengarahkan bagaimana
seharusnya setiap individu Islam (termasuk orang Melayu), melakukan
institusi yang disebut perkawinan ini. Dalam ajaran agama Islam ini,
perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dalam konteks kontinuitas
generasi manusia dan sekaligus juga menjaga struktur sosial yang telah
wujud sejak adanya manusia.

3.3 Perkawinan dalam Perspektif Adat Melayu

Dikaji dari aspek bahasa, kawin (nikah) artinya adalah berkumpul


atau berhimpun. Selanjutnya lebih mendalam lagi jika dimaknai dari
sudut istilahnya, maka kawin adalah bermaksud menemukan dan
menyatukan pasangan suami dan istri berdasarkan peraturan yang
ditetapkan oleh Allah SWT. Melalui upacara perkawinan atau nikah
kawin, maka sahihlah persatuan hidup antara sepasang suami dan istri ini,

73
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dalam naungan akidah, syariah, dan akhlak seperti yang terkandung di


dalam Al-Qur’an dan hadits (Husin Embi et al., 2004:86).
Pengertian kawin dalam konteks budaya Melayu juga memenuhi
maksud ungkapan nikah gantung yang digunakan oleh masyarakat
Melayu. Ungkapan ini memiliki makna bahwa terjadi perkawinan yang
sah, tetapi belum diresmikan dengan perayaan atau pesta adatnya, suami
dan istrinya belum tinggal satu rumah. Nikah gantung diterima sebagai
adat dengan tujuan untuk memenuhi kehendak masyarakat. Misalnya
adalah pihak lelaki atau perempuan masih belum cukup dana untuk
menyelenggarakan upacara perkawinan (walimatul ursy dan lainnya).
Boleh juga dengan alasan karena suaminya masih bertugas di tempat
yang jauh, dan belum dapat meninggalkannya untuk cuti.
Selain konsep yang seperti itu, perkawinan dalam kebudayaan
Melayu juga biasanya dipandang memiliki berbagai hikmah tersendiri.
Perkawinan merupakan sebuah ibadah yang diridhai oleh Allah, yaitu
menghalalkan hubungan dalam konteks berumah tangga antara lelaki dan
perempuan. Hasil dari hubungan manusiawi ini akan melahirkan generasi
keturunan (zuriat). Anak-anak yang mereka lahirkan akan mewarisi tugas
untuk membangun dan memajukan kehidupan manusia baik di dunia dan
juga akhirat. Melalui perkawinan maka akan terpelihara turai atau sistem
kekerabatan. Jika tidak maka akan kacaulah struktur kekerabatan dan
hubungan darah yang dibangun oleh nenek moyang manusia ini.
Institusi perkawinan ini dapat membentuk sifat kasih, sayang, dan
tanggung jawab. Selain untuk memenuhi libido seksualnya yang
diabsahkan secara religi dan budaya, maka melalui perkawinan ini juga
terjalin kasih sayang yang sifatnya universal, mendalam, dan memang
memenuhi sunatullah. Selanjutnya pasangan suami dan istri tersebut akan
bertanggung jawab dan berjuang untuk kepentingan keluarga inti dan
lebih jauh lagi keluarga batihnya. Sifat-sifat ini kemudian akan diteruskan
dan dipupuk kepada anak-anak mereka. Dengan demikian, maka akan
tumbuh dan berkembanglah masyarakat yang maju, harmonis, dan
beretika (Husin Embi et al., 2004:87).
Dalam perspektif adat Melayu, perkawinan merupakan salah satu
masa dalam siklus kehidupan setiap manusia yang bernilai religius dan
budaya. Apabila dibandingkan dengan fase kehidupan yang lainnya,
74
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

maka perkawinan dapat dikatakan sangat khas dan dipandang sebagai


peristiwa yang sangat khusus. Perhatian kultural berbagai pihak yang
berkepentingan dengan acara (istiadat) perkawinan ini, akan banyak
tertumpu kepadanya. Di antaranya adalah mulai dari memikirkan proses
akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga
setelah upacara usai dilaksanakan.
Dalam konteks kekerabatan dan kepanitiaan, secara sosial, yang ikut
memikirkan dan mengerjakan, bukan saja kedua calon pengantin, baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi juga melibatkan skala kuantitatif
pelaku yang relatif masif, termasuk orang tua (mempelai lelaki dan
perempuan), keluarganya, juga para panitia dan pelaku-pelaku sosial
yang lazim berurusan dengan perkawinan seperti mak andam, telangkai,
tuan kadi, penghulu, penyedia jasa catering (makanan), penyewa
pelaminan, pencetak kartu undangan, ahli shooting video perkawinan,
penyedia gedung untuk upacara perkawinan, dan seterusnya. Semua ini
dilakukan dan diselengarakan agar upacara perkawinan memberikan
kesan dan dampak religius, kultural, dan sosial, baik kepada kedua
pengantin, kedua kerabat yang telah menjadi keluarga besar yang baru,
serta kenangan sepanjang hidup mereka yang terlibat di dalamnya.
Dengan demikian perkawinan adalah sebuah institusi yang sangat
diagungkan di dalam kebudayaan masyarakat Melayu di mana pun
mereka berada.
Bagi orang awam, adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan
rumit, bertele-tele, memakan waktu yang panjang, membutuhkan dana
yang tidak sedikit, serta banyak tahapan yang harus dilalui. Semua ini
muncul karena perkawinan dalam pandangan orang Melayu harus
mendapat restu dari kedua orang tua, dan keluarga besarnya, serta harus
mendapat pengabsahan yang resmi dari tetangga dan masyarakat secara
umum.
Secara mendasar, agama Islam juga mempolarisasikan hal yang
sama. Walaupun tidak masuk dalam rukun perkawinan Islam, upacara-
upacara (istiadat) yang berkaitan dengan aspek sosial menjadi penting
karena di dalamnya juga terkandung makna-makna bagaimana
mengkomunikasikan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat
secara umum, serta berbagai fungsi sosial dan religius, serta kandungan
75
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

nilai-nilai dan kearifan lokalnya yang begitu dalam bagi masyarakat


Melayu. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan,
umumnya dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya
wajib dilaksanakan oleh pasangan calon mempelai beserta keluarganya.
Secara umum, adat-istiadat perkawinan Melayu di manapun adalah sama,
namun, memang ada sejumlah tradisi atau upacara yang dipraktikkan
secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam wilayah geobudaya
Melayu. Inilah yang berupa varian dalam upacara, dan sekaligus
memperkaya budaya Melayu pada umumnya.
Jika merujuk kepada ajaran Islam yang syumul (universal), tahapan
upacara perkawinan cukup dilakukan secara sederhana, ringkas, dan
mudah. Dalam ajaran agama Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan
sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Namun
demikian, agama Islam juga sangat adaptif, artinya selalu melibatkan
identitas kebudayaan setempat di mana Islam itu hidup dan berkembang.
Selain syarat dan rukun nikah dipenuhi, maka upacara-upacara adat
setempat yang telah diwarisi dari masa sebelum datangnya Islam, tetap
diperkenankan dan dipolarisasikan menurut ajaran Islam. Misalnya dalam
kebudayaan Melayu bisa saja menggunakan istiadat tepung tawar, nasi
balai, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, dan seterusnya.
Dalam adat Jawa, disertai dengan midodareni, panggih pengantin,
paesan, dan lain-lainnya. Dalam kebudayaan Mandailing menyertakan
gondang, tortor nauli bulung, dan hal-hal sejenis.
Dalam perspektif adat Melayu secara umum, syariat Islam ini perlu
“dibumikan” dengan adat budaya masyarakat setempat. Integrasi seperti
ini kemudian dikonsepkan dengan adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah, syarak mengata, adat memakai. Artinya apa yang ditetapkan
oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat.
Dalam perspektif peradaban Melayu, kehadiran keluarga, saudara-
mara, tetangga, dan masyarakat yang diundang pada majelis (pesta)
perkawinan tujuannya adalah untuk mempererat hubungan sosial, serta
memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang
dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat
Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak merestuinya.
Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan menimbulkan
76
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

desas-desus tidak sedap di masyarakat, berupa dugaan-dugaan sosial yang


negatif.
Institusi perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan
sejarah dalam kehidupan seseorang. Nilai-nilai, kearifan, dan norma-
norma dari kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami dan
istri, merupakan nilai yang teramat penting, yang terkandung dalam
istiadat perkawinan Melayu. Oleh karena itu, perkawinan perlu dilakukan
menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, agar perkawinan tersebut
mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat. Jadi
dalam perkawinan ini terlibatlah dua individu yang membentuk rumah
tangga, kemudian meluas lagi keterlibatan keluarga besar dari kedua
mempelai, dan lebih umum lagi adalah diketahuinya telah terjadi
perkawinan tersebut, secara sosial dan budaya oleh masyarakat luas,
dalam konteks tamadun Melayu.

3.4 Tentang Pemilihan Jodoh

Bagi orang Melayu, jodoh, rezeki (ekonomi), dan kematian


sepenuhnya adalah rahasia Ilahi. Ini adalah bahagian dari rukun iman
seorang muslim. Namun demikian, sesuai dengan konsep dalam Islam,
jodoh mestilah dicari, tidak ditunggu, terutama yang aktif adalah laki-
laki. Pencarian jodoh ini adalah bahagian dari perintah Allah. Karena
jodoh merupakan qadha dan qadhar setiap insan di dunia, dan itu rahasia
Allah, maka manusia wajib berikhtiar, tidak pasrah begitu saja.
Menurut Yuscan (2007:18) dalam budaya Melayu zaman dahulu,
anak dara tidak dipekenankan keluar rumah, kecuali untuk beberapa hal,
seperti pergi mandi dan mencuci pakaian, menghadiri undangan, mengaji
di mushala, ke sawah bekerja menanam, menuai, dan mengemping.
Walaupun begitu anak dara ini biasanya didampingi oleh orang tua atau
saudara-maranya. Selanjutnya bagaimana anak dara ini mencari
jodohnya?
Pada masa lampau kegiatan sosial dan budaya tentang perjodohan ini
sebahagian besar ditentukan oleh kedua orang tuanya, seperti yang
terkandung dalam ungkapan Melayu berikut ini (Yuscan, 2007).

77
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Bukan kawin untuk mata,


Tetapi kawin untuk hati,
Walaupun rupa bulan purnama,
Menabur cinta ke mana-mana.

Diletakkan bulan di tempat rendah,


Diperjualkan dengan harga yang murah,
Sukarlah orang dapat merasa,
Apakah bulan tergolong berbangsa.

Bagi para orang tua Melayu zaman dahulu ada beberapa kriteria
dalam menentukan jodoh bagi anak-anaknya. Di antara kriteria itu
adalah: agama, keturunan, harta, dan rupa. Namun selaras dengan ajaran
Islam, maka kriteria yang pertamalah yang diutamakan dalam konteks
pemilihan jodoh ini, bukan kriteria-kriteria berikutnya.
Pada dasarnya adat dan budaya Melayu telah mengajarkan kepada
kita mengenai pembentukan generasi yang unggul. Ungkapan Melayu
mengatakan bahwa bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik.
Adat dan budaya Melayu telah memberikan tunjuk ajar yang berarti bagi
kita tentang bagaiman merencanakan dan membentuk generasi Melayu ke
depan.

3.5 Beberapa Kegiatan Sosial sebagai Sarana Pemilihan Jodoh

Lebih jauh lagi menurut Yuscan (2007:19) meskipun jodoh


ditentukan kedua orang tua, tidaklah berarti menghilangkan sepenuhnya
hak anak dara dan jejaka Melayu dalam mencari jodohnya masing-
masing. Berbagai aktivitas sosial seperti ketika keluar rumah mengaji,
mananam, mengetam, dan mengemping padi, anak bujang dan dara
Melayu mengambil kesempatan untuk saling berkenalan. Cara
perkenalannya adalah tidak sama dengan masa sekarang ini. Umumnya
komunikasi dilakukan dengan menggunakan pantun-pantun dan
sinandung yang berisi kata sindiran dan pujian untuk menyatakan niat di
hatinya.

78
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

Berikut ini diuraikan tentang berbagai aktivitas sosial sebagai sarana


pemilihan jodoh para bujang dan dara Melayu, terutama dalam kultur
pertanian Melayu. Aktivitas itu adalah: (a) acara turun ke sawah, (b)
acara mengetam padi, (c) malam mengemping, dan (d) menculuk.
Adat-istiadat turun ke sawah selalunya dilakukan oleh orang Melayu
yang sumber utamanya adalah bercocok tanam padi. Dalam istiadat ini
pemilik tanah akan memanggil seorang pawang untuk menentukan hari
yang baik untuk memulakan menanam padi di lahan tanah atau sawahnya
tersebut. Kemudian dilakukan upacara kenduri, dengan cara mengundang
dan memberikan makanan kepada segenap masyarakat lingkungan di
sekitarnya. Seorang alim-ulama biasanya memimpin upacara memulakan
tanam padi ini, memohon kepada Allah agar nantinya padi yang ditanam
akan tumbuh subur dan menghasilkan padi-padi yang baik, dan panen
melimpah.
Selepas acara kenduri ini, maka acara selanjutnya adalah penanaman
benih padi . Sambil menunggu benih padi siap untuk ditanam, maka para
petani Melayu menggarap lahan sawah atau tanah daratan, dengan cara
mencangkulnya.
Acara menanam padi baik di sawah atau di lahan darat sangatlah
ditunggu oleh para bujang dan dara Melayu. Karena pada saat inilah
mereka dapat saling berkenalan dan sekaligus secara diam-diam memilih
pujaan dan tambatan hatinya.
Dalam siklus bertani padi tersebut, saat yang dinanti berikutnya oleh
para bujang dan dara Melayu adalah upacara mengetam dan mengirik
padi. Acara mengetam padi adalah memotong tangkai-tangkai padi yang
berisi bulir-bulirnya dari pohon padi. Dahulu ketika padi masih berusia
enam bulan satu siklus panen, maka digunakan pemotong ani-ani. Kini
seiring dengan perkembangan zaman, padi langsung dipotong dengan
batangnya, karena bentuk padi yang pendek dan tidak mungkin diketam
seperti halnya padi zaman dahulu.
Pada saat mengetam padi ini pulalah dimeriahkan dengan senda
gurau dan canda tawa, serta saling menyindir antara bujang dan dara
Melayu. Aktivitas sosial ini juga yang menjadi sarana pencarian jodoh
dalam kebudayaan Melayu yang agraris.

79
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Setelah acara mengetam padi, maka acara berikutnya dalam siklus


menabur, menanam, memanen, dan mengolah hasil panen padi, maka
acara berikutnya adalah malam mengemping atau berahoi. Malam
mengemping ini adalah acara mengirik padi, yaitu aktivitas melepaskan
bulir padi dari tangkainya dengan cara dipijak-pijak. Biasanya acara ini
disertai dengan dendangan lagu Ahoi, yang berupa pantun-pantun yang
dinyanyikan secara responsorial, dan kontekstual sifatnya.
Selain komunikasi verbal melalui pantun, dalam konteks pemilihan
jodoh ini sang teruna dan dara biasanya juga menggunakan komunikasi
nonverbal, seperti tatapan mata, gerak tubuh, mimik muka, dan termasuk
juga menggunakan benda simbolis budaya yaitu sirih, yang memiliki
makna-makna semiosis yang begitu dalam pada kebudayaan Melayu.
Yang mengirim sirih awal adalah sang jejaka kemudian diterima sang
dara. Jika sirih tersebut dibalas pula oleh kiriman sirih oleh sang dara,
maka secara simbolis cinta sang pemuda telah diterima gadis suntingan
hatinya. Artinya cinta telah terbalas dan cinta tidak bertepuk sebelah
tangan.
Selepas itu, maka acara informal berikutnya dalam rangka pemilihan
jodoh, untuk tujuan luhur membina rumah tangga yang sakinah,
mawardah, dan warohmah, diadakanlah acara menculuk.3 Acara
menculuk atau menyucuk adalah kebiasaan kaum muda Melayu pada
zaman dahulu, untuk menemui tambatan hatinya dan berkomunikasi
mesra. Dalam acara ini pemuda dan pemudi yang lagi kasmaran tersebut
berbicara dengan cara berbisik, yang dibatasi oleh lantai rumah (biasanya
panggung), dengan posisi si pemuda berada di luar rumah. Zaman dahulu,
“pacaran” langsung bertandang ke rumah sang gadis dan bercengkerama
langsung dengan si gadis tidak diperkenankan. Namun demikian, jika

3
Di dalam kebudayaan etnik-etnik di Sumatera Timur atau Sumatera Utara sekarang
ini, tradisi komunikasi verbal secara senyap-senyap seperti ini terdapat di dalam beberapa
kebudayaan etniknya. Di antaranya adalah pada etnik Mandailing, yang disebut tradisi
markusip. Dalam hal ini pemuda mendatangi gadis pujaannya, biasanya memainkan alat
musik tiup yang disebut tulila terbuat dari bambu. Kemudian mereka berkomunikasi
mesra dalam konteks “pacaran” secara berbisik-bisik dengan dibatasi dinding rumah. Ini
adalah salah satu bentuk kearifan lokal berupa etika dalam pemilihan jodoh, yang akan
mendampingi dirinya seumur hidup.
80
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

pemuda tersebut datang ke rumah sang pujaan hatinya, biasanya ia akan


diterima oleh kerabat si gadis. Demikian garisan adat Melayu untuk masa
itu.
Namun demikian, sesuai dengan lingkungan masyarakat Melayu,
ada pula mereka yang bermukim dalam lingkungan pesisir pantai, yang
biasanya bermatapencaharian sebagai nelayan, atau lebih luas lagi mereka
ini berada dalam kebudayaan bahari (maritim), maka mereka ini dalam
konteks memilih jodohnya selalu dilakukan pada berbagai aktivitas
nelayan. Misalnya adalah upacara jamu laut, panen hasil ikan dari laut
yang dilakukan di tangkahan, upacara-upacara siar mambang, gubang,
pertunjukan budaya sinandong, dan lain-lainnya.
Demikian pula dalam konteks masyarakat Melayu yang berada di
perkotaan, maka sarana dalam konteks pemilihan jodoh ini, bisa saja di
kampus, kantor, mall, plaza, tempat-tempat hiburan, dan sejenisnya. Ini
merupakan konsekuensi dari perkembangan zaman.

3.6 Perubahan-perubahan yang Terjadi

Apa yang dideskripsikan di atas adalah fenomena adat perkenalan


dalam konteks memilih jodoh di masa lampau. Artinya itu terjadi di
masa-masa awal umat Melayu sampai datangnya modernisasi di abad
kedua puluh. Kemudian terjadi modernisasi di sana sini di seluruh dunia.
Kemudian selepas itu muncul pula fenomena sosial dan budaya yang
disebut dengan globalisasi. Istilah globalisasi adalah merepresentasikan
proses penyatuan sosiobudaya di seluruh dunia, karena faktor teknologi
dan informasi. Artinya dunia ini dipandang sebagai satu kampung besar,
dan sangat cairlah batas-batas kebudayaan, nasionalisme, ekonomi,
teknologi, dan lainnya. Setiap orang menjadi warga di kampung global
ini yang mendunia sifat dan jangkauannya.
Globalisasi yang terjadi secara alamiah, masif, dan sistemik tersebut
memiliki berbagai dampak, baik yang positif maupun negatif kepada
setiap kebudayaan yang ada di dunia ini. Misalnya, jika ada suatu bangsa
yang mengalami krisis ekonomi, maka dampaknya bangsa-bangsa lain di
seluruh dunia atau di beberapa negara terkait dengannya akan mengalami

81
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

krisis yang sama dan selaras pula. Contohnya adalah krisis moneter tahun
1998 dan seterusnya.
Demikian pula berbagai nilai budaya yang tidak sesuai dengan
kebudayaan etnik atau bangsa tertentu akan membentur nilai-nilai
budayanya. Misalnya ada sebuah bangsa yang menyanjung tinggi nilai-
nilai kegotong-royongan dan kebersamaan. Nilai ini akan berhadapan
dengan nilai budaya yang sangat mendukung hak-hak individual dan
kurang menempatkan hak-hak komunnal. Masih banyak fenomena
sosiobudaya lain yang terjadi dengan masif di seluruh dunia ini, tidak
terkecuali bagi masyarakat Melayu.
Selaras dengan perubahan zaman, maka nilai-nilai perkawinan dan
kebudayaan Melayu, dalam konteks adat yang sebenar adat (hukum alam
yang telah ditetapkan Allah) tidaklah berubah. Misalnya tujuan
perkawinan untuk meneruskan generasi manusia, untuk menjalani hidup
sebagai manusia yang berpasang-pasangan, untuk ketenteraman hati, dan
seterusnya.
Namun demikian dalam konteks pemilihan jodoh, upacara adatnya,
konteks sosial dan budaya dalam pemilihan jodoh, dan hal-hal sejenis
adalah mengalami perubahan. Di antara perubahan-perubahan tersebut
adalah seperti diuraikan berikut ini.
Kalau zaman dahulu orang tua sangat dominan menentukan jodoh
anaknya, maka kini jodoh lebih “dominan” ditentukan oleh anak itu
sendiri, karena perubahan pola-pola sosialisasi manusia, seperti pada
lingkup pendidikan formal dan nonformal, lingkungan sosial, gaya hidup,
dan juga perkembangan teknologi dan media, dan faktor-faktor sejenis.
Kalau zaman dahulu para bujang dan dara Melayu berkenalan dalam
berbagai aktivitas sosial yang berkaitan dengan siklus bercocok tanam
padi, atau ke laut dan panen hasil laut, maka kini mereka berkenalan di
berbagai tempat yang juga telah berkembang, seperti di mal-mal,
supermarket, tempat-tempat rekreasi, pusat kebudayaan, menonton film,
plaza-plaza, dan seterusnya sebagai simbol artefak dan gaya hidup di
masa kini. Jadi perkenalan tersebut tidak begitu terawasi oleh kedua
orang tuanya. Dalam perkembangan yang seperti ini, para bujang dan
dara ini dapat saja melakukan penyimpangan sosial yang tidak terlalu
ketat pengawasannya dan sanksinya secara sosial dan budaya. Misalnya
82
Bab III: Gagasan Perkawinan dalam Budaya Melayu

ia pagi hari permisi pergi ke sekolah, namun karena lebih mementingkan


“pacaran,” kedua insan yang masih sekolah ini “cabut” dari sekolah dan
berpacaran di suatu tempat. Kepada bapak dan ibu guru, keduanya
permisi tidak masuk sekolah karena sakit, dan dapat dibuktikannya
dengan surat sakit dari dokter. Dengan demikian yang sangat mengetahui
dirinya adalah kedua insan ini dan Tuhan saja.
Perubahan lain yang terjadi adalah di kalangan generasi muda
Melayu ini terjadi polarisasi budaya, menuju kepada budaya global. Bagi
kalangan muda Melayu simbol-simbol kemodernan adalah apabila ia
menggunakan dan menerapkan kebudayaan global, terutama budaya
Eropa. Ia akan lebih bangga kepada gaya hidup Eropa, seperti yang
dilihatnya melalui media-media. Akibatnya ia dapat tercerabut dari akar
budayanya.
Dengan tercerabutnya akar budaya di kalangan anak-anak muda
Melayu, maka tentu saja adat resam Melayu akan berangsur-angsur pupus
ditelan zaman ini. Keadaan ini akan berdampak terhadap ketahanan
budaya Melayu, dalam ungkapannya biar mati anak asal jangan mati
adat. Kini keadaannya telah mengalami perubahan.
Kelompok orang-orang tua pula harus kreatif mempertahankan
kebudayaan Melayu ini di tengah-tengah globalisasi. Misalnya
menyadarkan kepada kita semua termasuk generasi muda, bahwa sejak
awal umat Melayu adalah umat yang terbuka terhadap perubahan dan
globalisasi. Semua budaya dunia diadun di dalam budaya Melayu, yang
semakin memperkuat identitas kemelayuan, bukan sebaliknya. Di dalam
kebudayaan Melayu terkandung nilai-nilai dari Timur Tengah, India,
Eropa, dan semuanya, namun tetap menjadi Melayu.
Selain aspek perubahan negatif, tentu saja globalisasi mengandung
dan membuat perubahan positif. Di antaranya adalah dalam era global,
semua manusia dipaksa untuk mengetahui semua kebudayaan dengan
berbagai varian dan persamaan. Hal ini sesuai dengan tunjuk ajar Melayu
bahwa kita semua manusia adalah seasal, dan perbedaan adalah menjadi
hukum Tuhan, dan kita harus saling kenal-mengenal, menghormati, dan
akhirnya toleransi terhadap semua perbedaan, dan jangan memaksakan
kehendak.

83
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Demikian pula kalau di masa tradisi, orang-orang Melayu itu selalu


menekankan kepada budaya kebersamaan dan gotong-royong, maka di
era glibalisasi ini individu mendapatkan perhatian utama. Maka sudah
sepatutnya orang-orang Melayu mensintesiskan kedua fokus kepentingan
ini secara bersama-sama, yaitu kepentingan bersama dan individu harus
ada, dan digunakan pada saat apa, dengan landasan kebijakan adat
bersendikan syarak dan syarak bersendikan kutabullah.
Dalam adat Melayu pun perubahan juga dibenarkan, bahkan menjadi
salah satu ragam adat, yaitu pada adat yang teradat. Dalam dimensi ini
terdapat makna bahwa adat itu mengalami perubahan, namun di samping
perubahan tentu saja harus ada unsur-unsur yang lestari atau sinambung,
agar kebudayaan Melayu melintasi zaman secara alamiah, wajar, dan
mengikut kepada hukum-hukum Allah. Demikian pula dalam konsep,
terapan, dan fungsi institusi yang disebut perkawinan dalam adat Melayu.

84
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

BAB IV

IDENTITAS DAN STUKTUR


KEKERABATAN MASYARAKAT MELAYU

4.1 Pengenalan

Tujuan umum perkawinan dalam kebudayaan Melayu adalah


menjalankan perintah agama yaitu dalam konteks meneruskan generasi
keturunan manusia. Selain itu, perkawinan juga dilakukan untuk menjaga
turai atau struktur sosial, yang mencakup struktur kekerabatan dan
struktur masyarakat secara luas. Perkawinan diatur dan ditentukan oleh
adat Melayu. Oleh karena itu, sebelum menguraikan bagaimana proses
upacara perkawinan dan penggunaan seni pertunjukan, perlu diperikan
struktur kekerabatan dan derajat sosial dan keturunan dalam kebudayaan
Melayu. Ini sangat penting untuk melihat hubungan institusi perkawinan
dengan struktur masyarakat.
Pada masa sekarang ini, masyarakat Melayu mendiami kawasan
Asia Tenggara yang terdiri dari beberapa negara seperti: Thailand
(terutama di bahagian Selatan), Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura,
Filipina (bahagian Selatan), Indonesia, dan di beberapa negeri lain.
Secara geobudaya mereka disebut dengan Melayu Polinesia atau Melayu
Austronesia. Pengertian Melayu Polinesia pula mencakup ras Melayu
yang terdapat di kawasan Oseania yaitu terdiri dari gugusan kepulauan
Mikronesia, Polinesia, dan Melanesia. Kadang termasuk pula orang-
orang ras Melayu di Madagaskar. Sementara itu, diaspora Melayu juga
merentasi berbagai kawasan, seperti Afrika Selatan, Suriname, Sri
Langka, Indochina, dan lain-lain. Aspek kemelayuan yang universal,
termasuk ras dan alur bahasa yang sama—serta identitas lokal, menjadi
bahagian identitas kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat Dunia
Melayu ini.
85
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang mayoritas


penduduknya terdiri dari ras Melayu, baik Melayu Tua (Proto Melayu)
maupun Melayu Muda (Deutro Melayu). Namun biasanya rasa
kemelayuan sebagai ras mereka, tidaklah begitu kuat, dibandingkan
kesukuan kecil (etnik)nya. Namun dalam konteks integrasi budaya,
biasanya mereka sama-sama sadar sebagai rumpun Melayu, yang terdiri
dari berbagai suku atau etnik seperti: Gayo, Alas, Aceh Rayeuk,
Simeuleu, Karo, Dairi, Simalungun, Toba, Minangkabau, Banjar, Jawa,
Sunda, Bugis, Makasar, Sasak, Ambon, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Namun ada juga yang langsung menyebut kelompoknya dan
diakui oleh kelompok lain sebagai Melayu, seperti yang ada di Sumatera
Utara, Tamiang Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Kalimantan, dan di berbagai tempat lainnya.

4.2 Dunia Melayu atau Alam Melayu

Selama ini, pegertian dan pemahaman mengenai Melayu itu


berbeda-beda, baik yang dikemukakan oleh para ilmuwan ataupun
masyarakat awam sendiri. Perbedaan itu menyebabkan makna Melayu
bisa meluas atau menyempit menurut definisi dan konsep yang
dipergunakan. Namun demikian, istilah Melayu memang telah terwujud
dan dipergunakan baik oleh masyarakat atau etnik yang disebut Melayu
atau oleh para ilmuwan pengkaji kebudayaan Melayu. Dalam
perkembangan terkahir, muncul pula istilah Dunia Melayu atau Alam
Melayu serta Dunia Melayu Dunia Islam, terutama yang digagas para
pakar kebudayaan dan politikus dari Negeri Melaka, Malaysia.
Menurut Ismail Hussein (1994) kata Melayu merupakan istilah yang
meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya mencakup suku bangsa
serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenal oleh orang-
orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan
perniagaan. Masyarakat Melayu adalah orang-orang yang terkenal dan
mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas
perdagangan dan pertukaran barang perdagangan dan kesenian dari
berbagai wilayah dunia.

86
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

Istilah Melayu, maknanya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu


yang merangkumi kepulauan di Asia Tenggara. Perkataan ini juga
bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung
Tanah Melayu dan tempat-tempat lain yang menggunakan bahasa
Melayu. Melayu juga selalu dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang
mencakup kepulauan Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan
kawasan yang berbeda. Seperti di Sumatera, istilah Melayu dikaitkan
dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Palembang; dan di
Borneo (Kalimantan) pula perkataan Melayu dikaitkan dengan
masyarakat yang beragama Islam—sementara di Semenanjung Malaysia
arti Melayu dikaitkan dengan orang yang berkulit coklat atau sawo
matang (ciku masak). Istilah Melayu berasal dari bahasa Sanskerta yang
dikenal sebagai Malaya, yaitu sebah kawasan yang dikenali sebagai
daratan yang dikelilingi lautan (Hall, 1994).
Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu
Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan
Melayu, Polinesia dan Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar
antropologi Inggris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan
etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah
golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan Samudera Pasifik dan
Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai
kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu, yang meliputi
kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah
timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan
di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.
Sementara itu Wan Hasim (1991) mengemukakan bahwa Melayu
dikaitkan dengan beberapa perkara seperti sistem ekonomi, politik, dan
juga budaya. Dari sudut ekonomi, Melayu-Polinesia adalah masyarakat
yang mengamalkan tradisi pertanian dan perikanan yang masih kekal
hingga ke masa sekarang ini. Dari sudut ekonomi, orang Melayu adalah
golongan pelaut dan pedagang yang pernah menjadi penguasa dominan di
Lautan Hindia dan Pasifik sebelum kedatangan penguasa Eropa. Dari segi
politik pula, sistem kerajaan Melayu berdasarkan pemerintahan beraja
yang dimulai di Campa dan Funan, yaitu di Kamboja dan Vietnam
Selatan pada awal abad Masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini telah
87
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang


pantai timur Tanah Melayu, termasuk Kelantan dan Terengganu.
Kerajaan Melayu Segenting Kra ini dikenal dengan nama Kerajaan
Langkasuka kemudian menjadi Pattani (Wan Hashim, 1991).

Peta 4.1
Wilayah Dunia Melayu

Sumber: The Encyclopedia of Malaysia (jilid 4, h. 76)

Untuk menentukan kawasan kebudayaan Melayu, ada dua perkara


menjadi kriterianya, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia
Melayu tidak terbatas kepada Asia Tenggara saja, namun meliputi
kawasan di sebelah barat mencakup Lautan Hindia ke Malagasi dan
pantai timur benua Afrika; di sebelah timur merangkumi Gugusan
Kepulauan Melayu-Mikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira
103,6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi
Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan
Hokkaido, Jepang (Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu,
1994). Dari sudut bahasa pula, Melayu memiliki ciri-ciri persamaan
dengan rumpun keluarga bahasa Melayu-Austronesia, menurut istilah

88
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

arkeologi--atau keluarga Melayu-Polinesia, menurut istilah linguistik


(Haziyah Husein, 2006:6).
Demikian pula keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara,
mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia,
menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa saling memiliki
kebudayaan Melayu. Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan
masyarakat Melayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan tadi.
Secara budaya, baik bahasa atau kawasan, memiliki alur budaya yang
sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau
identitas setiap kawasan budaya Melayu.
Secara geopolitik, Dunia Melayu umumnya dihubungkan dengan
negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur
utama budaya Melayu. Di antaranya adalah: Malaysia, Singapura, Brunai
Darussalam, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebahagian etnik Melayu
di Kamboja, Vietnam, dan lain-lain tempat.

4.3 Konsep tentang Melayu

Peradaban Melayu adalah cerminan dari identitas etnik (wangsa


dan ras) Melayu. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, di dalam
budaya Melayu terdapat unsur heterogenitas budaya, akulturasi,
pemungsiannya pada segenap strata sosial (awam dan bangsawan), dan
lain-lain. Keberadaan budaya Melayu ini didasari oleh identitas etnik
Melayu. Untuk dapat memahami siapakah orang Melayu, yang menjadi
pendukung budaya Melayu, maka sebelumnya dijelaskan pengertian
kelompok etnik (ethnic group). Naroll memberikan pengertian kelompok
etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang
sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya;
(3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4)
menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok
lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll, 1965:32).
Selain dari itu, pendekatan untuk menentukan sebuah kelompok
etnik harus melibatkan beberapa faktor: etnosains, yaitu pendapat yang
berasal dari masyarakatnya; bantuan ilmu-ilmu pengetahuan dan
89
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ilmuwan dari beberapa disiplin; wilayah budaya; masalah-masalah


pembauran (integrasi), disintegrasi, kepribadian, perkawinan, kekerabat-
an, sistem galur keturunan, religi, dan sejumlah faktor sosial lainnya.
Kelompok etnik (suku bangsa) merupakan golongan sosial yang
dibedakan dari golongan-golongan sosial lainnya, karena mempunyai
ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal-usul,
tempat, serta budayanya. Kelompok etnik adalah segolongan manusia
yang terikat oleh kesadaran dan identitasnya yang diperkuat oleh
kesamaan bahasa. Kesamaan dalam kesenian, adat-istiadat, dan nenek
moyang merupakan ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih
dilihat dari perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari perbedaan
kebudayaan dalam arti yang luas. Satu ras bisa saja terdiri dari berbagai
macam kelompok etnik yang berbeda.
Di dalam sebuah kelompok etnik bisa saja terjadi diferensiasi
sosial. Sebuah kelompok etnik terbentuk dari sejumlah orang yang
menghendaki hidup bersama, dalam waktu yang lama, dan di suatu
tempat yang sama. Mereka ini mengadakan interaksi yang tetap, memiliki
sistem nilai, norma, dan kebudayaan yang mengikat mereka menjadi
satu kesatuan. Dengan adanya berbagai kesamaan yang mereka miliki,
maka mereka menjadi satu kesatuan dalam masyarakat. Namun, di
dalam suatu masyarakat ada pemisahan dan pembagian karena adanya
perbedaan tertentu, seperti: jenis kelamin, klen, pekerjaan, politik, dan
lainnya. Perbedaan-perbedaan sosial ini menyebabkan masyarakat
terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu, namun tidak berarti terpisah
dari masyarakatnya. Keadaan ini disebut diferensiasi sosial, yang
dapat diartikan sebagai suatu proses setiap individu di dalam masyarakat
memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain di
dalam masyarakat, atas dasar perbedaan-perbedaan sosial. Demikian
pula yang terjadi dalam kebudayaan Melayu.
Melayu adalah sebuah bangsa (wangsa) yang agung dan besar. Ia
menyumbang peradaban kepada dunia ini, baik secara gagasan atau
artefak, yang dapat dibuktikan dengan berbagai peninggalannya di masa
kini. Istilah Melayu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi
semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi wilayah
Semenanjung Malaya, kepulauan Nusantara, kepulauan Filipina, dan
90
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang


Melayu adalah mereka yang dapat dikelompokkan pada ras Melayu.
Dengan demikian, istilah Melayu sebagai ras ini mencakup orang-
orang yang merupakan campuran dari berbagai suku di kawasan
Nusantara.
Ras Melayu yang sudah memeluk agama Islam pada abad ke-13,
identitas budanyanya selalu dipandang berbeda dengan masyarakat ras
Proto-Melayu pedalaman, yang masih menganut kepercayaan mereka
sendiri; baik oleh mereka sendiri maupun orang luar. Namun demikian,
di sisi lain terjadi adaptasi dan asimilasi ras Melayu pedalaman dengan
orang Melayu jika masuk agama Islam.
Ada perbedaan mengenai pengertian Melayu ini di Indonesia,
Malaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan oleh Vivienne Wee.

As we shall see further below, it is clear that 'Malayness' in Indonesia is


indeed different from 'Malayness' in Singapore and Malaysia. This difference
is directly related to the perception of the respective governments. The
Singapore government regards 'Malay' as a 'race', a genetically engendered
category in the state-imposed system of ethnicity. ... In Singapore, a Christian
English speaking 'Malay' is still legally considered 'Malays'. Indeed there is
apparently a sufficient number of Christian 'Malays', that they are considering
setting up a Malay Christian Association. ...
In Malaysia, however, 'Malayness' is constitutionally tied to Islam, such
that a 'Malay' convert to Christianity would no longer the legally considered
'Malay'. This was stated to me categorically by Anwar Ibrahim, a Minister
in the Malaysian Cabinet. But not all Malaysian Muslims qualify as 'Malays':
the constitutional category 'Malay' includes only Muslims who speak Malay,
conform to Malay custom, and who were born in Malaysia or born of
Malaysia parents.
In contrast to the governments of Singapore and Malaysia, the Indonesian
government evidently has no interest in giving a legal definition of
'Malayness'. In Indonesia, 'Malay' or Melayu is just one label in the loose
array of regional identities that people may profess. In other words, from the
Indonesian governement's point of view, anyone who wants to identify
herself/himself as Melayu may do so; conversely, if she/he does not want to
do so, then she/he may choose practically any other regional identity. The
Indonesian government's laissez-faire attitude towards the ethnic labelling of
the population is evident in the identity cards issued to all citizens.Whereas
the identity cards issued by the Singapore and Malaysia governments

91
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

stipulate the respective ethnic labels of their citizens, the Indonesian identity
card does not include any ethnic labelling. So in Indonesia, 'Malayness' is a
matter of subjective-identification, rather than objective category belonging to
legally imposed set (Vivienne Wee, 1985:7-8).

Untuk menjangkau pengertian Melayu dalam wawasan yang lebih


luas, perlu juga diperhatikan pendapat dari orang-orang dari luar Melayu.
Dalam pandangan orang-orang Eropa pada umumnya, yang dimaksud
Melayu itu selalu dikaitkan dengan istilah yang dipakai oleh I-Tsing.

Malayan; Malay; (occasionally) Moslem, e.g. masok Melayu (to turn


Mohammedan). In early times the word did not cover the whole Malay word;
and even Abdullah draws a distinction between anak Melaka [Melaka native]
and Orang Melayu (Hikayat Abdullah 183). It would seem from one passage
(Hang Tuah 200) that the word limited geographically to one area, became
associated with a standard of language and was extended to all who spoke
'Malay'. The Malay Annals speak as a sungai Melayu [Melayu River]; I-tsing
speaks of Sri Vijaya conquering the 'Moloyu' country; Minangkabau has a
'Malayu' clan (suku); Rajendracola's conquests (A.D. 1012 to 1042) covered
Melayu and Sri Vijaya as a separate countries; the Siamese records claim
Malacca and Melayu as a separate entities. Rouffaer identifies Melayu with
Jambi (Wilkinson, 1959:755).

Dalam kebudayaan Melayu, garis keturunan ditentukan berdasarkan


pada garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah
ataupun ibu—namun dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan
etnik Melayu yang dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan
cenderung ke arah garis keturunan patriachart, yaitu berdasar kepada
pihak ayah.
Menurut Zein, yang dimaksud dengan Melayu adalah bangsa yang
menduduki sebagian besar pulau Sumatera serta pulau-pulau Riau-
Lingga, Bangka, Belitung, Semenanjung Melaka, dan Pantai Laut
Kalimantan. Banyak orang menyangka bahwa nama Melayu itu artinya
lari, yang berasal dari bahasa Jawa--yaitu lari dari bangsa sendiri dan
menganut agama Islam. Namun nyatanya nama Melayu sudah lama
terpakai sebelum agama Islam datang ke Nusantara ini. Jadi menurut
Zein pernyataan di atas adalah salah. Menurutnya, istilah Melayu itu
adalah kependekan dari Malayapura, yang artinya adalah kota di atas
92
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

bukit Melayu, kemudian dipendekkan menjadi Malaipur, kemudian


menjadi Malaiur, dan akhirnya menjadi Melayu (Zein, 1957:89).
Dalam konteks Sumatera Timur, menurut Tengku Lah Husni, orang
Melayu adalah kelompok yang menyatukan diri dalam ikatan perkawinan
antar suku, dan selanjutnya memakai adat resam serta bahasa Melayu
dalam kehidupan sehari-hari (Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya Husny
menyebutkan lagi, bahwa orang Melayu Pesisir Sumatera Timur
merupakan turunan campuran antara orang Melayu yang memang
sudah menetap di Pesisir Sumatera Timur dan suku-suku Melayu
pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau, Aceh, Mandailing, Jawa,
Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang selanjutnya memakai
adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam
pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari daerah lain, serta
yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu itu berdasarkan
filsafat hidupnya, terdiri dari lima dasar: Islam, beradat, berbudaya,
berturai, dan berilmu (Lah Husni, 1975:100). Berturai maksudnya adalah
mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha menjaga integrasi
dalam perbedaan-perbedaan di antara individu. Demikian pengertian
siapa orang Melayu itu.
Contoh lain adalah tentang identitas Melayu di Kalimantan,
khususnya masyarakat Melayu Ketapang. Orang Melayu Ketapang
adalah puak Melayu yang mendiami wilayah pesisir pantai, pulau-pulau
besar maupun kecil, dan daerah pedalaman Kabupaten Ketapang, serta
beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat-istiadat Melayu. Jika
dilihat dari aspek genealogis, maka Melayu Ketapang itu terdiri dari
beberapa keturunan, yaitu:
(a) Penduduk asli yang beragama Islam,
(b) Pendatang dari Jawa yang disebut Prabu Jaya,
(c) Pendatang dari Palembang yang disebut Sang Maniaka,
(d) Pendatang dari Bugis yang disebut Daeng Manambon,
(e) Pendatang dari Brunai Darussalam yang disebut Raja Tengah,
(f) Pendatang dari Arab, dan
(g) Pendatang dari Siak yang disebut Tengku Akil.
Meskipun Melayu Ketapang berasal keturunan yang berbeda-beda,
itu tidak menyebabkan terpecah-pecahnya Melayu Ketapang, melainkan
93
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ikut memperkaya Khasanah budaya Tanah Kayung (Ketapang). Raja


Kerajaan Tanjungpura sebagai pemegang adat tertinggi memang adil.
Raja telah memperhitungkan dengan masak-masak, bahwa raja, kaum
bangsawan dan rakyat jelata memiliki kemampuan yang berbeda. Karena
itu, maka dengan mengadopsi syariat Islam, raja membagi adat menjadi
tiga, yaitu:
(a) Wajib, melaksanakan adat secara penuh merupakan kewajiban bagi
raja yang maksudnya adalah untuk diketahui seluruh rakyat negeri,
serta memberi contoh teladan pelaksanaan adat-istiadat.
(b) Sunnat, bagi kerabat raja dan kaum bangsawan pelaksanaan adat
menjadi sunnat, artinya tidak perlu sama dengan raja. Pelaksanaan-
nya menurut kemampuan kerabat tersebut. Berhubungan kaum
bangsawan juga merupakan panutan bagi rakyat jelata, maka kaum
bangsawan hendaknya berusaha melaksanakan adat-istiadat secara
penuh kalau memang sanggup.
(c) Jaiz, bagi rakyat jelata pelaksanaan adat-istiadat menjadi jaiz,
artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan sebagian atau
seluruhnya berdasarkan kemampuannya.
Secara keseluruhan adat-istiadat Melayu Kayung itu mengacu kepada
syariat Islam, karena adat bersendi syarak, syarak bersendikan
kitabullah.
Kalau kita bekunjung ke seluruh kecamatan di Kabupaten Ketapang
dan berbicara dengan orang Melayu, maka bahasa Melayu yang
digunakan sehari-hari di kota Ketapang dapat dimengerti oleh mereka
dari tempat terpencil seperti di Cali, di hulu sungai Law, dan lain-lain.
Yang berbeda hanyalah dialeknya. Kalau di Ketapang menyebut kamu
atau anda adalah kau, maka di pedalaman menyebut mpuk, sementara
masyarakat di Kendawangan menyebutnya mika’, Melano Telok Batang
dan PMK menyebutnya ika’.

4.3.1 Melayu Terbentuk dari Proses Campuran dalam Satu Integrasi


Kultural

Menurut Tengku Lah Husni, orang Melayu adalah kelompok yang


menyatukan diri dalam ikatan perkawinan antar suku, dan selanjutnya
94
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

memakai adat resam serta bahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari


(Lah Husni, 1975:7). Selanjutnya Husni menyebutkan lagi, bahwa orang
Melayu Pesisir Sumatera Timur merupakan turunan campuran antara
orang Melayu yang memang sudah menetap di Pesisir Sumatera Timur
dan suku-suku Melayu pendatang, seperti Johor, Melaka, Riau, Aceh,
Mandailing, Jawa, Minangkabau, Karo, India, Bugis, dan Arab, yang
selanjutnya memakai adat resam dan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar dalam pergaulan antara sesamanya atau dengan orang dari
daerah lain, serta yang terpenting adalah beragama Islam. Suku Melayu
itu berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar: Islam, beradat,
berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni,1975:100). Berturai
maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha
menjaga integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu.
Ketika seorang pejabat pemerintah Inggris, yang bernama John
Anderson berkunjung ke Sumatera Timur pada tahun 1823, dia
menjelaskan bahwa pemukiman orang Melayu merupakan jalur yang
sempit terbentang di sepanjang pantai. Penghuni-penghuni di Sumatera
Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran dari berbagai
daerah kebudayaan, seperti: Semenanjung Malaya, Jambi, Palembang,
Jawa, Minangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur
baur di daerah setempat (Pelzer, 1985:18-19). Percampuran dan adaptasi
Melayu dalam pengertian sebagai kelompok etnik dengan kelompok etnik
lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia,
dan pesisir Kalimantan.

4.3.2 Sifat-sifat

Sifat-sifat orang yang dikategorikan dalam Melayu sering


dibicarakan dalam berbagai kesempatan, yaitu mereka yang tingkah dan
lakunya lemah lembut, ramah-tamah, mengutamakan sopan-santun,
menghormati tamu-tamu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
dikaitkan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar dan sejumlah
pendatang yang mengunjungi daerah pesisir yang dihuni mereka.
Kepentingan dagang menghendaki orang Melayu menciptakan suasana
penegakan orde dan hukum. Mereka pemberani, perajin, dan
95
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

mementingkan keharmonisan dalam melaksanakan mata pencaharian


mereka. Kesemuanya tidak bertentangan malah diajurkan oleh agama
Islam yang mereka anut (Luckman Sinar, 1985:3).
Metzger yang mengkaji kekuatan dan kelemahan orang Melayu
berdasar sifat-sifat dan tingkah lakunya, secara tegas menyatakan bahwa
orang Melayu itu "unggul" dalam bahasa, adat-istiadat, dan sistem
pemerintahan. Kelemahan orang Melayu [tertama di Malaysia] adalah
suka mencampurbaurkan bahasa, misalnya: "I telefon you nanti." Selain
itu, kelemahan orang Melayu adalah kurang menghargai budaya lama,
"pemalas," dan kurangnya sifat ingin tahu (Metzger, 1994:158-175). Apa
yang dikemukakan Metzger ini mungkin ada benarnya, namun kalau
melihat asas kebudayaan Melayu itu Islam, tentu sifat tersebut hanyalah
distorsi dari nilai-nilai positif Islam, dan sifatnya tidaklah umum.
Lebih lanjut, menurut Zainal Arifin AKA (2002:17-21) terdapat lima
sifat dan ciri-ciri orang Melayu [yang kuat memegang teguh ajaran
Islam], yaitu: (1) Orang Melayu mengutamakan ilmu dan pendidikan.
Artinya adalah orang Melayu gemar belajar untuk menambah ilmu
pengetahuan terutama ilmu agama Islam, karena sebagai seorang muslim
orang Melayu wajib menuntut ilmu untuk mendalami ajaran agamanya.
(2) Orang Melayu mementingkan budaya dan adat. Maknanya adalah
bahwa orang Melayu sangat patuh pada adat, senang berkesenian,
bersyair, bergurindam, berpantun, menghormati orang lain, berbudi
pekerti, sopan, dan santun dalam berbahasa. (3) Orang Melayu ramah dan
terbuka kepada tetamu. Artinya tidak menyombongkan diri sopan
bertutur, santun bersapa, suka bergaul (bermasyarakat), dalam
berkomunikasi tidak egois, suka menolong sesama, senang bertutur sapa,
bersenda gurau, bergaul kepada siapapun baik internal etnik atau di luar
etniknya, orang Melayu sahabat semua suku. 1 (4) Orang Melayu

1
Dalam kehidupan sosiopolitis di Sumatera Utara, istilah Melayu sahabat semua
suku ini, dipopulerkan oleh Dato’ Seri Syamsul Arifin. Di dalam kalimat ini terkandung
nilai-nilai multikulturalisme, yang sinerji dengan konsep kebangsaan Indonesia yaitu
bhinneka tunggal ika, biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Selain itu, istilah ini juga
mengekspresikan bahwa orang Melayu itu dalam memandang manusia serta bergaul
secara sosial dengan semua manusia, yang sesuai dengan ajaran Islam, bahwa setiap
96
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

melawan jika terdesak. Artinya orang Melayu tidak suka mencari lawan,
sabar dan mengalah diutamakan. Namun demikian, kesabaran ada
batasnya, jika sudah hilang kesabaran dan terdesak, maka orang Melayu
pastilah melawan. (5) Orang Melayu bersifat setia, tidak ingkar janji.
Bagi orang Melayu kesetiaan adalah di atas segala-galanya. Mereka ini
sangat segan pada orang alim, setia pada pemimpin, hormat pada orang
tua, menyayangi yang lebih muda, serta patuh kepada ketentuan dan
kaidah yang berlaku.
Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik Melayu adalah adat
resam, termasuk aplikasinya dalam sastra, bahasa, dan kesenian. Dalam
bahasa Arab adat berarti kebiasaan, lembaga, peraturan, atau hukum.
Sedangkan dalam bahasa Melayu dapat dipadankan dengan kata resam.
Resam adalah jenis tumbuhan pakis besar, tangkai daunnya biasanya
dipergunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab.
Arti lain kata resam adalah adat. Jadi dalam bahasa Melayu yang
sekarang ini, adat dan resam sudah digabung menjadi satu yaitu adat
resam.

4.4 Tingkatan Kebangsawanan Melayu

Sastra dan budaya Melayu bukan hanya didukung oleh masyarakat


kebanyakan (rakyat), tetapi juga oleh golongan bangsawan. Dalam
kebudayaan Melayu dikenal beberapa tingkat kebangsawanan. Menurut
Tengku Luckman Sinar (wawancara pada 23 September 2006),
bangsawan dalam konsep budaya Melayu adalah golongan yang
dipercayakan secara turun-temurun menguasai sautu kekuasaan tertentu.
Namun demikian, seorang bangsawan yang berbuat salah dalam ukuran
norma-norma yang berlaku dalam kebudayaan, dapat saja dikritik
bahkan diturunkan dari kekuasaannya, seperti yang tercermin dalam
konsep raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Hirarki
kekuasaan adalah dari Allah, kemudian berturut-turut ke negara, raja,
pimpinan, rakyat, keluarga, dan keturunannya.

muslim adalah rahmat kepada seluruh alam. Lebih jauh lagi setiap orang Melayu adalah
rahmat kepada semua orang dan makhluk di dunia ini.
97
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Dalam kebudayaan Melayu, tingkatan golongan bangsawan itu


adalah sebagai berikut.
(a) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah pemimpin atau
guru--baik dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. Menurut
penjelasan Tengku Lah Husni (wawancara 17 Maret 1988), istilah
Tengku pada budaya Melayu Sumatera Timur, secara resmi diambil
dari Kerajaan Siak pada tahun 1857. Dalam konteks kebangsawanan,
seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayahnya bergelar
Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar
Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara
genealogis diwariskan berdasarkan hubungan darah, terutama secara
patrilineal.
(b) Syaid, adalah golongan orang-orang keturunan Arab dan dianggap
sebagai zuriat dari Nabi Muhammad. Gelar ini terdapat di Riau
adalah Semenanjung Malaysia.
(c) Raja, yaitu gelar kebangsawanan yang dibawa dari Indragiri (Siak),
ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhanbatu: Bilah, Panai,
Kualuh, dan Kotapinang. Pengertian raja di daerah Melayu tersebut
adalah sebagai gelar yang diturunkan secara genealogis, bukan
seperti yang diberikan oleh Belanda. Oleh pihak penjajah Belanda,
gelar raja itu diberikan baik mereka yang mempunyai wilayah
pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah
kampung kecil saja. Pengertian raja yang diberikan Belanda ini
adalah kepala atau ketua. Menurut keterangan Sultan Kesebelas
Kesultanan Deli, Tengku Amaluddin II, seperti yang termaktub
dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur
tahun 1933, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku nikah
dengan seorang bangsawan yang bergelar Raden dari Tanah Jawa
atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari Minangkabau
(Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari
perkawinan ini berhak memakai gelar Raja.
(d) Wan, jika seorang wanita Melayu bergelar Tengku kawin dengan
seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan
bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak
memakai gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat
98
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa


dia menikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka
gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya—dan
hilang jika kawin dengan orang kebanyakan.
(e) Datuk, istilah kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari
Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil
Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang
mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi
oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatukan
atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang
gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar
datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan
bangsanya. Di beberapa kesultanan Melayu di Malaysia, gelar datuk
diperoleh oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam
pengembangan budaya Malaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya
adalah datuk seri dan datuk wira.
(f) Kaja, gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk.
(g) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan
penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu dalam berbagai bidang sosial dan
budaya seperti: kesenian, dagang, bahasa, agama, dan lainnya.
Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan, atau
masyarakat kebanyakan.2

2
Tingkatan-tingkatan bangsawan Melayu Sumatera Timur ini, diolah dari penjelasan
yang dikemukakan para narasumber, yang diperoleh dari penelitian lapangan. Wilayah
penelitian mencakup: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Bilah, Pane, Kota-
pinang, dan Kualuh.
99
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Bagan 4.1:
Tingkat Kebangsawanan Melayu di Sumatera Utara
dan Hubungannya dengan Rakyat

Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan kebangsawan-


an ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang luas dalam
konteks sosial dan budaya etnik Melayu di Sumatera Utara, walaupun
biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini
yang menjadi orientasi kehidupan sebagian besar etnik Melayu adalah
menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-
istiadat Melayu.

4.5 Sistem Kekerabatan

Dalam kebudayaan Melayu sistem kekerabatan berdasar baik dari


pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria

100
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian termasuk ke


dalam sistem parental atau bilateral.
Sistem kekerabatan etnik Melayu di Sumatera Utara, berdasar
kepada hirarki vertikal adalah dimulai dari sebutan yang tertua sampai
yang muda: (1) nini, (2) datu, (3) oyang (moyang), (4) atok (datuk), (5)
ayah (bapak, entu), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dan (10)
entah-entah.
Hirarki horizontal adalah: (1) saudara satu emak dan ayah, lelaki
dan wanita; (2) saudara sekandung, yaitu saudara seibu, laki-laki atau
wanita, lain ayah (ayah tiri); (3) saudara seayah, yaitu saudara laki-laki
atau wanita dari satu ayah lain ibu (emak tiri); (4) saudara sewali,
yaitu ayahnya saling bersaudara; (5) saudara berimpal, yaitu anak dari
makcik, saudara perempuan ayah; (6) saudara dua kali wali, maksudnya
atoknya saling bersaudara; (7) saudara dua kali impal, maksudnya atok
lelaki dengan atok perempuan bersaudara, (8) saudara tiga kali wali,
maksudnya moyang laki-lakinya bersaudara; (9) saudara tiga kali
impal, maksudnya moyang laki-laki sama moyang perempuan
bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat
kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali
dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.
Dalam sistem kekerabatan Melayu Sumatera Utara, dikenal tiga
jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik
kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh
kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari impal larangannya.
Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua
si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat
atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk
menutup malu "si gadis yang tidak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak
laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-
emak yang bersaudara.

101
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Bagan 4.2:
Kekerabatan Melayu Secara Vertikal

102
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

Bagan 4.3:
Struktur dan Sebutan Anak pada
Keluarga Inti Melayu Sumatera Timur

103
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Terminologi kekerabatan lainnya untuk saling menyapa adalah


sebagai berikut: (1) ayah, (2) mak (emak, asal katanya mbai); (3)
abang (abah); (5) akak (kakak); (6) uwak, dari kata tua, yaitu saudara
ayah atau mak yang lebih tua umurnya; (7) uda, dari kata muda, yaitu
saudara ayah atau mak yang lebih muda umurnya; (8) uwak ulung,
uwak sulung, saudara ayah atau mak yang pertama baik laki-laki atau
perempuan; (9) uwak ngah, uwak tengah, saudara ayah atau emak
yang kedua baik laki-laki atau perempuan; (10) uwak alang atau uwak
galang (benteng), saudara ayah atau mak yang ketiga baik laki-laki atau
perempuan; (11) uwak utih, uwak putih, saudara ayah atau mak yang
keempat baik laki-laki atau perempuan; (12) uwak andak, wak pandak,
saudara ayah atau mak yang kelima baik laki-laki atau perempuan;
(13) uwak uda, wak muda, saudara ayah atau mak yang keenam baik
laki-laki atau perempuan; (14) uwak ucu, wak bungsu, saudara ayah atau
mak yang ketujuh baik laki-laki atau perempuan; (15) wak ulung cik,
saudara ayah atau mak yang kedelapan baik laki-laki atau perempuan;
dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang cik, dan seterusnya. Jika anak
yang dimaksud adalah anak dari andak misalnya, maka panggilan pada
nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 12 dan seterusnya ke bawah
disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah
ngah cik, (5) ayah alang cik, dan seterusnya.
Terminologi kekerabatan lainnya adalah sebagai berikut: (1) mentua
atau mertua, kedua orang tua istri; (2) bisan (besan) sebutan antara
orang tua istri terhadap orang tua sendiri atau sebaliknya; (3) menantu,
panggilan kepada suami atau istrinya anak; (4) ipar, suami saudara
perempuan atau istri saudara laki-laki, demikian juga panggilan pada
saudara-saudara mereka; (5) biras, suami atau istri saudara istri sendiri.
Misalnya Ahmad berbiras dengan Hamid, karena istri Ahmad adalah
kakak kandung istri Hamid. Kedua saudara itu dalam keadaan bersaudara
kandung. Dapat juga sebaliknya. (6) semerayan (semberayan), yaitu
manantu saudara perempuan dari mertua perempuan; (7) kemun atau
anak kemun, yaitu anak laki-laki atau perempuan dari saudara-saudara
kita; (8) bundai, yaitu panggilan aluran ibu yang bukan orang
bangsawan; (9) bapak, kata asalnya pak, yang berarti ayah atau entu
(artinya suci), dapat juga dipanggil abah; (10) emak, berasal dari kata
104
Bab IV: Identitas dan Struktur Kekekrabatan Masyarakat Melayu

mak, yang bererti ibu atau bunda, yang melahirkan kita (embai); (11)
abang, yang berasal dari kata bak atau bah yang artinya saudara tua
laki-laki; (12) kakak, berasal dari kata kak, yang berarsaudara tua
perempuan; (13) adik, yang berasal dari kata dik, artinya saudara lelaki
atau perempuan yang lebih muda; (14) empuan, artinya sama dengan
istri, tempat asal anak; (15) laki, yaitu suami.
Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur dikenal pula istilah
puang, yaitu saudara laki-laki atau wali dari pihak ayah atau ibu.
Seterusnya dikenal pula istilah kekerabatan anak beru, yang terdiri dari
anak beru kontan dan anak beru condong. Yang dimaksud anak beru
kontan adalah suami atau istri dari anak kandung. Di sisi lain, anak beru
condong adalah aluran menantu dari pihak ayah atau ibu.3
Jadi institusi perkawinan adalah berfungsi pula untuk menjaga turai
kekerabatan ini, yang menjamin keturunan menurut hukum Allah.

3
Istilah puang, anak beru, serta impal ini, dalam konteks kebudayaan Sumatera
Utara, memperlihatkan adanya hubungan antara kebudayaan Melayu dan Karo. Di dalam
kebudayaan Karo, dikenal tiga unsur kekerabatan utama, yang ditarik dari dua faktor yaitu
hubungan darah dan perkawinan, yaitu: (a) senina (saudara satu klen yang ditarik dari
garis keturunan ayah); (b) kalimbubu, yaitu pihak yang memberikan istri; dan (c) anak
beru, yaitu pihak yang menerima istri. Secara umum, dalam kebudayaan Karo ini, dikenal
rakut sitelu (tiga kerabat utama), merga silima (lima klen utama orang Karo: Karo-karo,
Sembiring, Perangin-angin, Tarigan, dan Ginting), dan tutur siwaluh (pertuturan yang
delapan). Ketiga aspek ini, yaitu rakut sitelu, merga silima, dan tutur siwaluh, dapat
digambarkan sebagai berikut.

105
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Melalui perkawinan, struktur kekerabatan dan juga hubungan darah akan


berlaku sebagaimana ketentuan adat dan hukum Tuhan. Jika norma-
norma ini dijalankan dan dilestarikan, maka akan sinambunglah
kebudayaan Melayu tersebut. Salah satu ekspresinya adalah dalam
upacara atau istiadat perkawinan.

106
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

BAB V

UPACARA ADAT PERKAWINAN


MELAYU SEBAGAI TERAPAN
GAGASAN BUDAYA

5.1 Pengenalan

Upacara adat perkawinan dalam kebudayaan mana pun di


seluruh dunia ini, merupakan terapan atau aplikasi dari gagasan-
gagasan tentang perkawinan. Selanjutnya, institusi perkawinan itu
sendiri adalah fenomena yang universal, yang terdapat dalam semua
kelompok manusia. Institusi perkawinan ini melibatkan semua
unsur kebudayaan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung nilai-
nilai religi, filsafat hidup, adat-istiadat, norma-norma, sistem-sistem
sosial, sanksi-sanksi sosial, dan lain-lainnya. Namun bagaimanapun,
perkawinan ini biasanya memerlukan tiga masa proses, yaitu (a)
pendekatan terhadap calon pasangan hidup dan persiapan, (b)
upacara perkawinan itu sendiri, dan (c) berbagai aktivitas selepas
upacara perkawinan. Dalam bahasa yang singkat ketiga adalah pra-
upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pasca upacara
perkawinan.
Sebagai sebuah terapan dari gagasan budaya, maka upacara
perkawinan ini, biasanya memiliki nilai-nilai universal, serta
sekaligus berbagai karakteristik yang khas, yang membedakan
antara satu perkawinan dengan perkawinan yang lain, baik dalam
sebuah budaya etnik atau antara berbagai budaya etnik. Di antara
nilai-nilai universalnya adalah melaksanakan kehendak Tuhan
dalam mengisi salah satu siklus hidup, yaitu lahir, tumbuh dan
berkembang, kawin, mengembangkan generasi manusia, dan
akhirnya meninggal. Nilai-nilai lain adalah peran manusia dalam

107
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

melanjutkan keturunan. Selain itu, perkawinan juga mengandung


nilai mengeratkan kekerabatan, serta nilai-nilai lainnya.
Karakteristik khas perkawinan di dalam kebudayaan Melayu,
di antaranya tercermin dalam kenyataan sosial bahwa antara satu
kawasan dengan kawasan lain, walau dasar adatnya sama, namun
tejadi perbedaan-perbedaan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Bahkan dalam satu kawasan budaya yang sama pun, misalnya
sama-sama di dalam kebudayaan Melayu Bilah di Labuhanbatu
Sumatera Utara misalnya, antara satu kampung dengan kampung
lainnya juga terjadi perbedaan. Demikian pula antara satu telangkai
dengan telangkai lainnya juga pasti memiliki variasi pantun,
ungkapan, pepatah, juga kalimat-kalimat komunikasi verbal1 yang
saling berbeda.
Semua persamaan dan perbedaan di dalam aktivitas upacara
adat perkawinan Melayu ini, merupakan kekayaan khasanah di
dalam kebudayaan. Upaya menyeragamkan dari para pelaku dan
pakar budaya Melayu memang dapat dilakukan. Namun upaya ini
yang paling relevan adalah berupa penentuan tata aturan garis-garis
besar dalam upacara adat perkawinan, yang merupakan inti dari
upacara tersebut. Di sisi lain, perbedaan-perbedaan yang telah
terjadi di dalam tradisi lisan ini, janganlah dihapuskan atau dicoba
untuk diseragamkan dan direduksi. Upaya memperkecil perbedaan
dalam aktivitas upacara adat perkawinan Melayu ini, akan

1
Dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu ini, komunikasi verbal
memegang peranan utama. Komunikasi verbal ini terutama dikendalikan dan
diarahkan oleh dua orang telangkai yang mewakili pihak laki-laki dan pihak
perempuan. Bahasa yang digunakan sepenuhnya adalah bahasa Melayu, yang
memiliki nilai-nilai etika dan estetikanya tersendiri. Bahasa ini adalah
mengekspresikan peradaban Melayu, seperti yang diungkap dalam pribahasa: yang
kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. Dalam konteks
ilmu komunikasi, telangkai menjadi komunikator (sumber pesan), dan sekaligus
sebagai komunkate (penerima pesan). Peserta upacara adalah sebagai komunikate
juga. Dalam konteks ilmu linguistik, telangkai adalah tenor, peserta upacara adalah
pelibat, dan lingkungan upacara adalah medan (fields).
108
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

menyebabkan “pemiskinan” kreativitas, dan mendistorsikan


kekayaan budaya Melayu di bidang upacara perkawinan.
Untuk itu, di dalam buku ini, sebelum kami mendeskripsikan
upacara adat perkawinan Melayu, yang berbasis pada penelitian
lapangan, 2 terlebih dahulu kami melakukan studi terhadap variasi-
variasi ipacara adat perkawinan Melayu. Studi ini melibatkan
beberapa tulisan tentang adat perkawinan Melayu yang ditulis oleh
beberapa penulis Melayu. Kemudian kami membandingkannya, dan
seterusnya mencari berbagai perbedaan dan persamaan. Akhirnya
kami akan memerikan tata aturan secara garis-garis besar dalam
upacara adat perkawinan Melayu, sesuai dengan studi yang kami
lakukan ini.

5.2 Variasi Upacara Adat Perkawinan Melayu

Variasi-variasi adat perkawinan Melayu, seperti sudah


diuraikan di atas, dapat dilihat dari berbagai tulisan mengenai adat-
istiadat ini. Variasi-variasi tersebut, menurut penafsiran kami
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah upacara
adat perkawinan Melayu secara umum tumbuh dan berkembang
dalam tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, semua hal dicatat dalam
memori para pelaku dan yang menyaksikannya. Dengan transmisi
yang seperti ini, maka akurasi detil-detil upacara memang tidaklah
seragam, namun beragam.
Kedua, dalam tradisi lisan Melayu pun selain transmisi
kelisanan, kebebasan para pelaku dan pendukung budaya untuk
melakukan variasi-variasi memang menjadi bahagian dari
pengayaan budaya, bukan sebaliknya. Dalam tradisi musik Melayu
sebagai contoh, variasi melodi, bukan saja terjadi antara kawasan

2
Dalam konteks kerja di dalam ilmu pengetahuan, seperti pada antropologi,
sosiologi, etnomusikologi, antropologi, komunikasi, dan lainnya; studi lapangan
menjadi ciri utamanya. Kerja ini meliputi pengamatan terlibat, wawancara,
perekaman kegiatan yang diteliti, pemilihan peristiwa, pendekatan kepada
informan kunci dan pangkal, dan lain-lainnya.
109
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

yang satu dengan yang lainnya, misalnya antara Melayu Deli


dengan Melayu Riau, tetapi juga antara penyanyi atau antara
pemusik. Misalnya variasi atau improvisasi gaya melodi yang
dinyanyikan Nur ‘Ainun adalah berbeda dengan yang dinyanyikan
oleh Asnidar Darwis atau Laila Hasyim. Gaya permainan akordion
Amat Setia dengan Tengku Muhammad Daniel, Al-Haj, dalam
mengiringi Serampang Dua Belas juga dapat dikatan berbeda
variasinya. Demikian pula dalam konteks upacara perkawinan,
pantun-pantun dan ungkapan-ungkapan yang disajikan oleh Tengku
Syahdan tentu saja berbeda dengan pantun-pantun dan ungkapan-
ungkapan yang ditampilkan oleh Tengku Ismail. Demikian pula
untuk berbagai tradisi lisan lainnya.
Yang ketiga, para penulis yang menulis mengenai upacara adat
perkawinan Melayu pun, variasi-variasi tulisan yang mereka
hasilkan juga mengacu kepada sistem tradisi lisan yang seperti itu.
Para penulis ini, baik sebagai telangkai, budayawan, ilmuwan
budaya, seniman, dan lainnya umumnya dilatarbelakangi oleh
pengalaman hidupnya dalam mengingat, mencatat, menganalisis,
dan menafsirkan tentang upacara adat perkawinan ini. Pengalaman
hidup itu termasuk di antaranya ilmu pengetahuan yang diterima,
kemampuan intelektual, kemampuan menganalisis dan menafsir,
dan hal-hal sejenis. Tetapi bagaimanapun, tulisan-tulisan mereka ini
sangatlah berguna dalam rangka mendukung tradisi lisan upacara
adat perkawinan Melayu yang secara umum ditransmisikan secara
kelisanan.
Berikut ini adalah beberapa contoh deskripsi upacara
perkawinan adata Melayu yang menjadi fokus kajian kami. Bahan
tulisannya berbentuk deskripsi ringkas, makalah, blog, website, dan
buku. Materi kajian komparatif terhadap variasi dan persamaan
upacara adat perkawinan Melayu ini, adalah buku-buku dan tulisan
singkat berikut.
1. Yuscan, tahun 2007 yang lalu, menulis sebuah buku yang
bertajuk Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu
Sumatera Timur, yang diterbitkan di Medan oleh Biro Adat
Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia. Buku
110
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

ini juga diedit oleh dua orang editor yaitu Noor Fuady, S.E. dan
Edi Syahputra, S.T. Terdiri dari 122 halaman isi ditambah v
halaman bahagian awal. Menggunakan huruf font Time New
Roman 12 dengan satu setengah spasi.
2. O.K. Moehad Sjah, tahun 2012 menulis buku yang temanya
perkawinan Melayu, yang bertajuk Adat Perkawinan
Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Buku ini
diterbitkan di Medan oleh Universitas Sumatera Utara Press.
Secara keseluruhan buku ini terdiri dari bahagian isi sebanyak
172 halaman ditambah bahagian awal sebanyak vii halaman,
disertai ilustrasi berupa foto-foto yang dicetak berwarna.
Menggunakan huruf font arial 11, dengan spasi satu setengah.
3. O.K. Gusti bin O.K. Zakaria bin H. O.K. M. Saad bin Datuk
Muda Thaib, menulis sebuah buku yang juga bertema adat
perkawinan Melayu, yang bertajuk Upacara Adat-Istiadat Suku
Melayu Pesisir Sumatera Timur. Buku ini terdiri atas 66
halaman, menggunakan huruf font Times New Roman ukuran
11.
4. Happy Susanto, M.A. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
menulis sebuah artikel yang bertema upacara adat perkawinan
Melayu, dengan judul “Adat Perkawinan Melayu” yang
diunggahnya dalam laman web yang beralamat di
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1545)
5. Ari Ansera, menulis sebuah artikel yang bertajuk “Tradisi
Pernikahan Adat Melayu Kepulauan Riau.” Artikel ini dimuat
(diunggah) penulisnya dalam sebuah situs web yang beralamat di
http://arigentser29serasan.blogspot.com/2013/11/tradisi-pernika-
han-adat-melayu.html.
6. Wardah Fazri yang menulis artikel tentang proses perkawinan
adat Melayu Palembang dari satu upacara ke upacara lainnya. Ia
menguraikan secara general perkawinan ini. Adapun alamat
laman webnya adalah pada http://female.kompas.com/read/2010/
02/02/19150389/Prosesi.Pernikahan.Adat.Palembang
7. Chandra, menulis sebuah artikel yang bertajuk “Adat-istiadat
Melayu Kayung Kalimantan Barat.” Tulisan ini diunggahnya
111
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dalam laman web. Yang beralamat di http://makalahku-


chandras.blogspot.com/2011/04/adat-istiada-melayu-kayungkali-
mantan.html).
8. Satu blog yang tidak menuliskan nama penulisnya. Blog ini
secara umum mendeskripsikan “Adat Perkawinan Melayu di
Melaka” Malaysia. Blog ini secara umum memerikan tahapan-
tahapan upacara yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat
Melayu yang ada di Melaka Semnanjung Malaysia. Hampir
sama dengan di tempat-tempat lainnya, adat perkawinan Melayu
di Melaka juga terdiri dari upacara pra perkawinan, pelaksanaan
perkawinan, dan pasca perkawinan. Namun bagaimana pun,
upcara adat perkawinan Melayu Melaka ini memiliki ciri-ciri
khususnya juga. Adapun blog tersebut adalah pada http://www.
jalan-akhirat.wordpress.com/2010/03/01/adat-per-kawinan-
melayu-melaka

Tabel 5.1:
Perbandingan Proses Perkawinan Adat Melayu
Oleh Beberapa Penulis

Proses Perkawinan Adat Melayu


Penulis Keterangan
Pra-Upacara Nikah Upacara Nikah Kawin Pasca Upacara
Kawin Nikah Kawin

1. Yuscan merisik dan meminang akad nikah 1. naik sembah Upacara nikah
1. merisik berbisi 1. persiapan keluarga lelaki 2. malam bersatu kawin kawasan
2. merisik kecil 2. persiapan keluarga (lepas pantang) Sumatera Timur
3. merisik besar perempuan 3. meminjam (Tamiang,
4. meminang malam berinai pengantin Langkat, Deli,
a. berinai curi Serdang,
b. berinai kecil Batubara,
c. berinai besar Asahan, dan
pengantin bersanding Labuhanbatu)
1. mengantar pengantin
a. persiapan kel. lelaki
b. persiapan keluarga
perempuan
c. tertib acara
pelaksanaan
112
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

2. menyambut kedatangan
rombongan pengantin
lelaki
a. silat tarik
b. hempang batang
c. silat laga
d. tukar tepak sirih di
halaman
e. tukar memayungi
pengantin
f. perang bertih/ bunga
rampai
g. tari persembahan
h. sepatah kata di
halaman
i. hempang pintu
j. pijak batu lagan
k. sembah mertua
l. hempang kipas/
pelaminan
m. tepung tawar
n. makan nasi hadap-
hadapan/ nasi belam
o. mandi bedimbar

2. O.K. 1. merisik halus (tepi) 1. mengucap/akad nikah 1. mandi Upacara nikah


Moehad 2. memanggil penghu- 2. penyerahan mahar bedimbar/ kawin kawasan
Sjah lu telangkai 3. berandam dan mandi mandi berhias Sumatera Timur
3. merisik tengah/ berhias 2. meminjam (Tamiang,
besar dan 4. berinai curi pengantin Langkat, Deli,
meminang 5. berinai tengah 3. malam bersatu/ Serdang,
4. menjamu sukut 6. berinai besar/malam malam Batubara,
5. mengantar sirih berinai pengantin Asahan, dan
besar 7. mengantar pengantin a. naik halangan Labuhanbatu)
a. hempang batang b. cemetuk
(batang-batang) kedua dari
b. hempang pintu suami
c. pengembang tikar 4. kunjungan
d. buka tabir pengantin baru
e. buka kipas 5. hari megang
8. acara tampung tawar
9. makan nasi adap-adapan
10. cemetuk pertama dari
suami
11. naik sembahan
12. cemetuk dari keluarga
13. serah terima pengantin

3. O.K. Gusti 1. merintis 1. akad nikah 1. naik sembahan Upacara nikah


2. jamu sukut 2. ikat janji 2. malam bersatu kawin kawasan
3. risik kecil 3. malam berinai curi 3. naik halangan Sumatera Timur
4. risik besar 4. malam berinai kecil 4. meminjam (Tamiang,
5. meminang 5. malam berinai besar pengantin Langkat, Deli,
113
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

6. naik emas 6. mengantar pengantin 5. memulangkan Serdang,


lelaki pengantin Batubara,
7. hempang pintu 6. mebat Asahan, dan
8. buka kipas 7. membawa Labuhanbatu)
9. bersanding pindah
10. tepung tawar pengantin
11. cemetuk perempuan
12. makan nasi ulam
13. serah terima pengantin
Lelaki
14. mandi bedimbar

4. Hapy A.Proses Perkawinan B. Persiapan menuju hari D.Pasca-Upacara Upacara nikah


Susanto dan 1. merisik dan perkawinan Perkawinan kawin kawasan
Mahyudin Al meninjau 1. gotong royong 1. malam keluarga Riau (Riau
Mudra 2. merasi 2. pembacaan barzanji dan 2. upacara mandi Daratan dan
3. melamar, persediaan jamuan damai Kepulaun Riau)
meminang, dan C. Upcara Perkawinan
bertunangan 1. upacara menggantung-
gantung
2. upacara berinai
3. upacara berandam
4. upacara khatam Quran
5. Upacara perkawinan
5.1 upacara antar belanja
atau seserahan
5.2 upacara akad nikah
5.3 upacara menyembah
5.4 upacara tepung tawar
5.5 upacara nasehat
perkawinan
5.6 upacara jamuan
santap bersama
6. Upacara langsung
6.1 Upacara mengarak
pengantin lelaki
6.2 Upacara menyambut
arak-arakan
pengantin lelaki
6.3 upacara bersanding
6.4 upacara resepsi
perkawinan
6.5 upacara ucapan alu-
Aluan dan tahniah
6.6 upacara pembacaan
doa
6.7 upacara santap nasi
hadap-hadapan
6.8 ucapan tahniah

5. Ari Ansera 1. menjodoh 1. bertanggas Upacara nikah


2. merisik 2. gantung-gantung kawin kawasan
3. memberitahu/ 3. berandam Riau (Riau
114
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

menyampaikan hajat 4. berinai kecil Daratan dan


4. meminang 5. serah terima hantaran Kepulaun Riau)
5. berjanji waktu 6. akad nikah
6. mengantar belanja 7. berinai besar dan
7. ajak-mengajak tepuk tepung tawar
8. beganjal 8. berarak

6. Wardah 1. madek (melihat) 1. akad nikah Upacara nikah


Fajri 2. menyenggung 2. munggah kawin kawasan
3. ngebet Palembang dan
4. berasan Sumatera
5. mutuske kato Selatan
6. ngantarke belanjo

7. Chandra 1. meresik-resik 1. akad nikah Upacara nikah


2. membuk mulut 2. ngundoh menantu kawin Melayu
3. ngantar tande 3. malam pacar Kayung
4. ngantar barang 4. bepepinjam Kalimantan
5. bepepajang Barat
6. bepapar
7. ngunjam bale
8. begegantung
9. mengarak
10. mandi
11. makan nasi adap
12. ngaleh turun

8.[blog 1. mencari jodoh 1. pernikahan 1. jemput menantu Upacara nikah


jalanakhirat] 2. penentuan jodoh 2. berinai besar 2. malam satu kawin Melayu
3. merisik 3. hari langsung 3. membalas tidur Melaka,
4. meminang 4. sirih lat-lat Malaysia
5. hantar tanda 5. suap-suap
6. hantaran belanja 6. masuk ke bilik pengantin
7. menyerambi 7. makan damai
bertunang 8. makan waris
8. menjemput tetamu
9. berinai curi
10. berinai kecil
11. berandam
12. mandi berhias

Seperti terurai di dalam tabel di atas, yaitu delapan upacara


perkawinan, baik dalam tahap pra-upacara nikah, saat nikah, dan
selepas nikah, di berbagai kawasan di dunia Melayu, terdapat
berbagai kesamaan, dan sekaligus juga perbedaan. Semua ini
memang menjadi sifat dari adat perkawinan Melayu yang
115
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ditransmisikan melalui tradisi lisan. Perbedaan ini menjadi


kekayaan untuk adat perkawinan Melayu.

5.3 Contoh Deskripsi Upacara Adat Perkawinan Melayu

Pada bahagian ini, kami para penulis mendeskripsikan tahap-


tahap, terminologi, dan ciri-ciri khas adat perkawinan etnik
Melayu—dengan contoh kasus dalam wilayah kebudayaan
Sumatera Utara. Sumber-sumber deksripsi upacara adat perkawinan
ini, terutama berdasarkan kepada penelitian lapangan, ditambah
dengan buku-buku mengenai perkawinan Melayu, seperti: Rais
B.N. (1983); Hasbullah Ma’ruf (1977); O.K. Gusti (2005); O.K.
Moehad Sjah (2012); Muhammad Ali Zainuddin dan O.K. Gusti
(1995); Yuscan (2007), dan lainnya—yang kami lakukan dalam dua
dasawarsa terakhir, dengan tumpuan para informan kunci, yaitu
para telangkai di Sumatera Utara (lihat daftar informan). Sumber-
sumber ini didapati langsung di lapangan, dengan cara melihat,
merekam, kemudian menganalisis melalui kerja laboratorium ilmu-
ilmu sosial, budaya, dan seni.
Dalam kontkes kebudayaan masyarakat Melayu di kawasan
Sumatera Utara (yang menjadi fokus deskripsi dalam sub bab ini),
biasanya dalam tataran konseptual dan praktik, menjadi sebuah
pikiran sebuah keluarga, jikalau anaknya yang telah dewasa
(melampaui usia akil baligh), baik laki-laki maupun perempuan
belum mendapatkan jodoh untuk berumah tangga. Biasanya syarat
dewasa ini selalu dihubungkan dengan pengertian dalam agama
Islam. Pengertian dewasa menurut agama Islam bagi kaum wanita
adalah telah mendapat haid (menstruasi) sekitar umur 12 tahun,
sedangkan untuk jenis kelamin lelaki apabila suaranya telah
menjadi parau (berubahnya suara untuk dari suara khas anak-anak
menjadi suara yang khas dewasa). Maknanya seorang lelaki
ataupun wanita dapat dinikahkan oleh tuan kadi apabila telah
dewasa (akil baligh atau mukalaf menurut hukum Islam).
Menurut penjelasan para informan, sebuah perkawinan yang
normal, menurut kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan
116
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

masyarakat Melayu, biasanya melalui satu masa pertunangan (ikat


janji antara pihak wanita dan pihak pria) yang lamanya sekitar satu
tahun. Dalam masa pertunangan itulah seorang anak dara (gadis)
dan jejaka (bujang) berkenalan. Masa perkenalan itu, pada
umumnya, selalu terjadi pada beberapa musim yang berkenaan
dengan aktivitas mengolah makanan pokok etnik Melayu yaitu padi,
seperti: (a) musim menanam padi, (b) musim mengetam padi, dan
(c) musim mengirik padi. Ini terjadi dalam masyarakat Melayu yang
agraris. Dalam masyarakat Melayu yang bercorak bahari atau
maritim, proses perkenalan itu bias saja melalui berbagai pesta adat,
seperti menghanyut lancang (jamu laut), upacara gebuk, pesta
perkawinan, dan lain-lainnya.
Masa perkenalan dan pertunangan ini, biasanya akan dinaikkan
tarafnya dengan masa perkawinan. Dalam tata cara perkawinan
yang direstui kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing
pihak, biasanya menurut konsep budaya tradisional Melayu di
kawasan ini, menurut pengamatan yang telah kami lakukan,
dilaksanakan dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut,
yaitu:

1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara);


2. merisik resmi dan meminang;
3. menyorong tanda sebagai pengabsahan pertunangan;
4. ikat janji;
5. jamu sukut, yaitu kenduri untuk memberitahukan kepada
keluarga masing-masing pihak;
6. berinai;
6.1 berinai curi
6.2 berinai kecil
6.3 berinai besar
6.4 pertunjukan tari dan musik inai
6.5 hiburan pertunjukan budaya
7. akad nikah;

117
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

7.1 keluarga lelaki,


7.2 keluarga perempuan,
7.3 tuan kadi,
7.4 saksi-saksi akad nikah,
7.5 pelaksanaan akad nikah,
7.6 pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki,
7.7 doa
7.8 marhaban dan barzanji
8. mengantar pengantin;
8.1silat tarik
8.2 hempang batang
8.3 silat laga
8.4 tukar tepak sirih di halaman
8.5 tukar memayungi pengantin
8.6 perang bertih/ bunga rampai
8.7 Tari Persembahan (Makan Sirih)
8.8 sepatah kata di halaman
8.9 hempang pintu
8.10 pijak batu lagan
8.11 sembah mertua
8.12 hempang kipas/ pelaminan
8.13 tepung tawar
8.14 makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam
8.15 hiburan seni pertunjukan
9. mandi bedimbar/mandi berhias
10. resepsi pernikahan (rumah atau di hotel)
11. meminjam pengantin
12. malam bersatu/malam pengantin
13. naik halangan
14. cemetuk kedua dari suami
15. kunjungan pengantin baru
16. hari megang

118
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

5.3.1 Merisik Kecil Melalui Seorang Telangkai

Dalam kebudayaan Melayu, apabila dalam sebuah keluarga


tertentu terdapat seorang anak lelaki yang telah dewasa, maka
biasanya orang tua selalu membicarakan dan memberikan arahan-
arahan mengenai jodoh anaknya. Secara umum, pihak lelaki yang
mencari pasangan hidupnya—sedangkan pihak perempuan hanya
menunggu datangnya seorang jejaka yang dapat menjadi pasangan
hidupnya. Jika kedua orang tua dari pemuda tersebut telah
mendapatkan calon untuk anaknya, maka secara diam-diam, tanpa
diketahui orang lain, dia memanggil seorang wanita yang berusia
relatif tua, yang sudah biasa mengerjakan tugas sebagai telangkai.3
Tugas perempuan tua ini, antara lain melihat tingkah laku si gadis
dan kemungkinan orang tua si gadis menerima peminangan.
Pekerjaannya itu dilakukan dengan beberapa cara, misalnya
membawa kain untuk dijual kepada si gadis, untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan oleh orang tua si pemuda. Wanita tua
yang mempunyai tugas tersebut dinamakan juga “penghubung tidak
resmi”—sedangkan pekerjaannya dinamakan merisik tidak resmi.
Situasi awal ini sepenuhnya adalah untuk mengetahui tentang anak
gadis yang direncanakan akan dijodohkan dengan pemuda tersebut,
dengan keterlibatan kedua orang tua si pemuda. Setelah telangkai
tidak resmi tadi, yaitu biasanya perempuan tua, menyelesaikan
tugasnya, maka peranan penghubung berikutnya dialihtugaskan
kepada penghulu telangkai tidak resmi. Kadangkala pihak keluarga
pemuda tersebut langsung saja mengangkat penghulu telangkai
resmi, tanpa merujuk dahulu kepada penghulu telangkai tidak resmi.

3
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) versi elektronik, yang
dimaksud dengan telangkai (te-lang-kai) n 1. Perantara dalam perkawinan juga
dalam perundingan: akhirnya pemuda itu menyuruh seorang telangkai meminang
gadis idamannya untuk menjadi istrinya; dalam telangkai artinya sudah dipinang
orang; 2. Perantara atau wakil, orang tua yang menjadi telangkai di penjualan
kerbau itu; menelangkai, v menanyakan (meminang) gadis untuk: dia menelangkai
anaknya yang tertua; penelangkaian, artinya n peminangan (dengan perantara
telangkai).
119
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Penghulu telangkai resmi ini diangkat oleh pihak yang berkuasa,


yaitu pihak keluarga yang memberi tugas, menelangkai. Biasanya
sebagai jerih payahnya, dia diberi sepasang kain, setelah pekerjaan
selesai, yaitu selepas upacara perkawinan berlangsung.
Pada umumnya penghulu telangkai resmi meneruskan
pekerjaan yang dilakukan oleh penghulu telangkai tidak resmi.
Pertanyaan maupun pembicaraan tidak lagi secara sembunyi-
sembunyi atau diam-diam, melainkan secara terus terang oleh
pihak lelaki. Merisik ini juga dilakukan oleh perempuan tua
sebagai perantara pihak perempuan dengan pihak laki-laki.
Penghulu telangkai dilambangkan sebagai jembatan maksud
(kepentingan dalam konteks adat perkawinan Melayu) oleh pihak
laki-laki maupun perempuan.
Meskipun seorang penghulu telangkai dapat berkata terus
terang, namun dalam konteks peradaban masyarakat Melayu,
pembicaraan untuk menyatakan maksud mestilah dengan memakai
bahasa-bahasa kiasan yang sarat dengan makna-makna
tersembunyi, dan lazim pula menggunakan pantun. Ini sesuai
dengan ungkapan Melayu:

Yang kurik kundi,


Yang merah saga,
Yang baik budi,
Yang indah bahasa.

Ungkapan Melayu tersebut menunjukkan bagaimana seorang


yang menjadi tipe ideal di dalam masyarakat. Ada dua ciri
utamanya, yaitu orang yang baik, yang tentunya menjadi tauladan
kepada semua orang adalah ia yang baik budinya, seperti bertakwa
kepada Allah, suka membantu kepada sesama, sopan santun dalam
perbuatannya, tidak menyakiti hati orang lain, dan secara umum ia
sangat menjaga hubungan antara sesama manusia dan makhluk.
Tipe ideal yang kedua adalah seseorang itu akan dinilai baik,
apabila ia sopan dalam berkomunikasi melalui bahasa verbal dan
juga nonverbal. Bahasa adalah sebuah sarana komunikasi yang
120
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

perlu diekspresikan dengan segala keindahannya. Demikian maksud


ungkapan tersebut di atas, yang sangat populer di kalangan
masyarakat Melayu.
Kembali lagi ke dalam deskripsi upacara adat perkawinan
Melayu. Dalam tahap awal ini, telangkai tidak resmi, yaitu
perempuan setengah baya tadi, mengemukakan maksud dari pihak
keluarga lelaki, dengan contoh kalimat-kalimat sebagai berikut.

Jikalau saya perhatikan secara seksama, maka kini anak


gadis encik itu sudah remaja yang sempurna, bukan
saja lahiriahnya tetapi juga batinnya. Anak dara encik
itu oleh Tuhan dianugerahi kecantikan, sehingga
“kumbang” mana pun sangat mengaguminya. Selain
itu, gadis encik sangat rajin menjalankan ibadah, sopan
dan santun, tutur kata, dan prilakunya mencerminkan
wanita sholehah. Tentu saja akan berbahagialah
pemuda yang dapat mempersunting bunga encik di
Taman Firdausi ini, yang serba sempurna. Oleh karena
itu, saya datang bukan sembarang datang, datang saya
berlandas adat negeri, seperti kata pantun:

Kalau pergi ke Kota Lama,


Singgahlah pula di Kuala Linggi,
Kami bawakan ikan tenggiri,
Kami datang hendak bertanya,
Bunga semerbak harum mewangi,
Bolehkah kumbang kami menyeri?

Ibunda atau bisa juga utusan dari pihak si gadis menjawab


pertanyaan telangkai dengan kalimat-kalimat seperti contoh berikut
ini.

Wahai encik telangkai, tersanjung benar kami keluarga


bekeluarga di rumah ini, atas pujian encik. Namun
begitu pun, usahlah terlalu diangkat benar, nanti kami
121
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

jatuh pula, ibarat manusia lupa tempat bumi berpijak,


terlalu terkagum pada angkasa lepas. Tentang anak
gadis kami, usia masih setahun jagung, darah pun baru
setampuk pinang, bak tumbuhan masih baru tumbuh.
Namun demikian, usul puan akan kami terima dan
pertimbangkan, dan akan kami musyawarahkan secara
keluarga. Namun seperti kata pantun Melayu

Luas sungguh padang sabana,


Merata-rata pokok ilalang,
Kalau boleh kami bertanya,
Dari mana datangnya kumbang?

Berdasarkan komunikasi verbal melalui kalimat demi kalimat


dan sekerat pantun di atas, ucapan penghulu telangkai dijawab oleh
orang tua perempuan si gadis, dengan bekata pula dengan maksud
tidak menolak dan tidak menerima langsung, karena sangat tercela
secara kultural, jika pada merisik pertama berterus terang
mengatakan hal yang sebenarnya. yakni ingin mengawinkan anak
daranya. Namun sebaliknya berbahaya pula, jika langsung menolak
sesuatu pertanyaan orang, karena boleh saja diguna-gunai melalui
ilmu kebatinan (supernatural) dan dapat mendatangkan penyakit,
misalnya sijundai (polong). Dengan mempertimbangkan hal-hal
religi, budaya, dan sosial tersebut, maka ibu si gadis berusaha
menerangkan dengan kata-kata yang baik dan merayu, siapa yang
menyuruhnya mencari menantu untuk anak lelakinya dan
dengan mengemukakan segala kebaikan yang ada pada pihak lelaki.
Selepas telangkai ini pulang dan menemui pihak keluarga
lelaki, maka bermusyawarah dan bermufakatlah keluarga si anak
dara, apakah pinangan tersebut diterima atau tidak dengan sangat
rahasia. Musyawarah internal keluarga ini tidak boleh didengar
oleh orang-orang luar. Sebab kemungkinan ada pihak keluarga lain
yang mempunyai anak gadis, yang ingin menjodohkan anaknya ini
dengan lelaki yang diam-diam telah merisik tadi.

122
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Biasanya, sebelum keputusan diambil, maka pihak keluarga si


gadis ini mengirimkan seorang kepercayaannya untuk mencari
keterangan mengenai asal-usul dan keadaan keluarga pemuda
(bujang) tersebut untuk menjadi pertimbangan. Apabila keterangan
tersebut memuaskan dan dapat diterima, maka pihak si gadis
memanggil beberapa kerabat keluarganya (orang tua-tua) untuk
meminta pertimbangan.
Jika keputusan dalam musyawarah tersebut menerima risikan
pertama, maka dikabarkan dan diberitahu kepada perempuan
sebagai telangkai dari pihak laki-laki untuk datang ke rumah si
gadis tersebut. Pihak si gadis menyatakan melalui kalimat-kalimat
yang beridentitas kental kultural Melayu sebagai berikut.

Apa yang encik telangkai tanyakan tempo hari itu,


kami telah pun memusyawarahkannya dalam situasi yang
mesra. Apa yang telah ditanyakan itu, telah kami
pahami maksud, tujuan, dan makna-makna di balik
pertanyaan tersebut. Bak kata ungkapan Melayu, gayung
telah pun bersambut nampaknya, layar pun telah
terkembang, kapal pun siap untuk menuju lautan dalam.
Namun demikian encik puan, ada yang menjadi
ketidaknyamanan kami, yaitu anak gadis kami ini
sebenarnya masihlah remaja, belum sempat belajar
sempurna, baik ilmu dunia dan juga ilmu akhirat, anak
kami ini serba kekurangan di sana-sini. Kami pun takut
kelak di kemudian hari menjadi bahan umpatan
masyarakat pula.

Hisap rokok tembakau Cina,


Dibawa pedagang dari Palembang,
Bunga kami tiada sempurna,
Baru mekar kemarin petang.

Namun demikian, sepenuhnya kami serahkan keputusan


ini kepada pihak encik.
123
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Telangkai yang menjadi utusan pihak keluarga pemuda, akan


memberikan pandangan pula, dengan contoh kalimat-kalimat
seperti berikut ini.

Wahai encik yang kami muliakan, apa yang telah


menjadi perhatian kami selama ini, telah kami kaji
secara mendalam dan meluas. Apa yang kami
kemukakan dan ketahui tentang anak gadis mak cik itu,
benar adanya, bukan menyanjung dan juga bukan
menghibur, memang demikianlah adanya.

Tanak beras menjadi bubur,


Dimakan dengan garam dan santan,
Kumbang kami tak dapat tidur,
Ibarat pungguk rindukan bulan.

Keputusan kami sudah bulat, bak bulat kata di mufakat,


bulat air di pembuluh. Apa yang menjadi jawaban encik
sekeluarga ini, akan saya sampaikan sepenuhnya
kepada pihak sang jaka dan keluarganya. Semoga Allah
merestui niat dan keinginan baik ini.

Dari penjelasan kalimat demi kalimat seperti terurai di atas,


maka dapat dipahami secara komunikasi verbal, bahwa pihak si
gadis sebenarnya menerima pinangan dari pihak pemuda melalui
telangkai yang diutusnya. Seterusnya, tentu saja berita gembira ini
akan segera disampaikan telangkai tersebut kepada pihak orang tua
pemuda.
Dalam budaya Melayu, oleh karena telangkai ini telah berhasil
melakukan tugas risikannya, maka biasanya ia mendapat upah
berupa pakaian atau baju (atau apapun) sebagai cenderamata dari
pihak laki-laki. Juga sebagai ucapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada telangkai ini.

124
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

5.3.2 Merisik Resmi dan Meminang

Proses selanjutnya dalam konteks upacara perkawinan ini


adalah merisik resmi dan meminang. Acara ini, menurut adat
Melayu dilakukan oleh penghulu telangkai secara resmi. Keluarga
pihak laki-laki biasanya ingin mengetahui apa saja syarat-syarat
menurut adat Melayu dan agama Islam yang harus dipenuhi, untuk
melengkapi proses ini. Hal-hal yang menyangkut persyaratan
tersebut, ditanyakan dengan pasti dan rinci oleh pihak perempuan
kepada penghulu telangkai resmi.
Selepas saja mendengar dan menerima keputusan dari pihak
perempuan, maka pihak laki-laki mengadakan musyawarah di
antara sanak keluarga untuk membicarakan masalah merisik dan
meminang secara resmi, yang harinya telah disepakati bersama
antara kedua-dua belah pihak.
Proses merisik dan meminang menurut adat dilakukan secara
terpisah. Masing-masing dilaksanakan dengan waktu yang
berbeda. Namun yang lazim dikerjakan, biasanya dilakukan
sekaligus mengingat akan waktu dan tenaga yang besar. Oleh
karena itulah, maka banyak yang melakukan dua pekerjaan ini agar
ringkas.
Acara merisik dan meminang ini dilakukan oleh anak beru
(menantu laki-laki dan perempuan) serta beberapa orang tua laki-
laki dan perempuan yang telah berumah tangga, yang jumlahnya
sekitar 10 orang. Dalam konteks ini, penghulu telangkai bertugas
sebagai saksi, sebab penghulu tersebut dahulu sudah bertugas
sebagai penghulu (penghubung) resmi. Dalam perspektif adat
perkawinan Melayu di Sumatera Timur, umumnya anak gadis atau
janda-janda muda tidak dibenarkan ikut, karena alasan tata susila,
etika, moral, dan norma adat Melayu memang mengaturnya
sedemikian rupa.
Pada saat kunjungan acara risikan atau peminangan ini, secara
adat pihak laki-laki membawa tepak sirih yang akan ditunjukkan
secara visual dan disertai penjelasan verbal untuk acara tersebut.
Biasanya jumlah tepak sirih yang dibawa paling sedikit 5 buah,
125
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

kadang kala berjumlah 7 buah atau lebih. Jumlah ini selaras dengan
tingkat kedudukan sosialnya. Tepak-tepak yang berjumlah ganjil
tersebut ialah: (1) tepak pembuka kata atau tepak merisik, (2) tepak
meminang, (3) tepak janji, (4) tepak bertukar tanda, dan (5)
beberapa tepak penggiring.

Gambar 5.1:
Beberapa Perlengkapan untuk
Acara Merisik dan Meminang

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

Di sisi lain, di rumah keluarga perempuan telah pula


disediakan beberapa tepak pula. Diantaranya ialah: (1) tepak
nanti, (2) tepak janji, dan (3) tepak bertukar tanda. Selain dari
tepak-tepak tersebut, disediakan pula makanan-makanan yang
dihidangkan apabila acara peminangan telah pun selesai. Ini
merupakan jamuan bersama antara pihak utusan (biasanya keluarga)
laki-laki dan perempuan, yang menjalin silaturahmi lebih akrab lagi.
126
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Dalam acara peminangan ini, kedua-dua orang tua tidak boleh


hadir—baik orang tua perempuan maupun orang tua laki-laki.
Hanya sanak keluargalah yang saling berhadapan, terutama anak
beru yang paling penting dalam konteks pertemuan peminangan
ini. Merekalah sebagai orang semenda (semando). Selain itu, tata
cara adat Melayu menentukan bahwa kaum perempuan biasanya
masuk dan duduk di ruangan dalam rumah, di sisi lain golongan
laki-laki, baik dari pihak perempuan maupun laki-laki duduk di
ruangan depan atau tengah rumah, yang disaksikan oleh penghulu
telangkai sebagai penengah (wasit) adat, apabila ada kesalahpa-
haman antara kedua belah pihak, yang berkepentingan ini.

Gambar 5.2:
Salah Satu Suasana Merisik dan Meminang

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

Dalam kebudayaan Melayu, biasanya, selain anak beru,


masing-masing pihak menyediakan seorang ahli dalam bersilat
lidah dalam konteks merisik ini. Bersilat lidah ini kadang-kadang
memerlukan masa yang berjam-jam lamanya. Ada pula pihak laki-
127
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

laki terpaksa kembali untuk lain kali (diulangi kembali) karena


tidak bisa memaparkan kehendak secara teratur. Apabila hal ini
terjadi sangat memalukan bagi pihak laki-laki.
Pada umumnya untuk mencapai atau memberi tahu kehendak
yang diwakilinya dipakailah bahasa kiasan, ibarat, ungkapan, bidal,
pantun, dan sejenisnya. Apabila maksud dikatakan dengan tegas,
eksplisit, atau terang-terangan, maka juru bicara tersebut dapat
dikatakan kasar dan tidak tahu adat sopan santun. Jika dikatakan
secara berterus terang, maka datanglah pantun sindiran yang
berbunyi sebagai berikut.

Yang merah hanya saga,


Yang kurik hanya kundi,
Yang indah hanya bahasa,
Yang baik hanyalah budi.

Dari pantun di atas menyatakan bahwa berbahasa yang baik


dan indah menandakan budi yang baik pula. Apabila terdengar
pantun seperti di atas maka sangatlah malu dan jika orang yang
mendapat celaan tersebut kurang sabar, maka boleh saja terjadi
perdebatan.
Pada waktu meminang, anak beru diapit oleh ahli-ahli bersilat
lidah dan duduk berdekatan berhadapan. Apabila anak beru tidak
boleh bersilat lidah maka diserahkan pimpi¬nan berkata kepada ahli
tersebut, setelah anak beru memberikan sepatah dua kata sebagai
pembuka kata.
Sebenarnya segala sesuatunya telah diketahui oleh kedua
belah pihak, misalnya siapa yang akan dipinang, berapa emas
kawinnya, kapan menikah dan bersatu. Namun agar permasalahan
diselesaikan dengan kata mufakat, maka dalam peminangan inilah
waktu yang tepat untuk menguji kepintaran berkata-kata dengan
tidak langsung menerusi kiasan, sehingga maksud yang akan
dicapai tidak boleh dielakkan lagi oleh pihak lain.
Apabila kedua belah pihak telah bertemu dalam konteks
komunikasi peminangan, maka pihak perempuan menyorongkan
128
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

sebuah tepak sirih (sirih nanti) kepada pihak tamu sebagai


penyambut tamu. Salah seorang wakil bicara pihak perempuan
berkomunikasi verbal dengan contoh sebagai berikut.

Luas nian alam ciptaan Tuhan,


Terbentang luas bumi dan lautan,
Kita lihat matahari pun bersinar terang,
Sang bayu pula bertiup sepoi,
Di angkasa sana awan berarak mesra,
Burung-burung pun ria bersenandung ceria,
Kami lihat tetamu datang dengan tujuan,
Berbinar wajah alamat sentosa,
Maaf kami terima di gubuk usang,
Membuat kami ahlil bait bersuka cita,
Sesuai kata pantun:

Pokok dadap tumbuh di pantai,


Ditanam juga di tepi muara,
Mohon dan maaf majelis ramai,
Sambutlah salam dengan suara.

Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji dan syukur kepada Allah,


Salawat dan salam kepada Rasulullah,
Semua kita mendapat rahmah,
Sebagai umat yang bertuah.

Burung belibis terbang mangawan,


Hinggap sebentar di pohon alpukat,
Tetamu datang apa gerangan,
Harus disambut secara adat.

Kalau pergi ke Kota Pinang,


Luasnya kebun merata-rata,
129
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Makan sirih sekapur seorang,


Pertanda mula asalnya kata.

Kalimat demi kalimat dan dua kerat pantun di atas sebenarnya


mengkomunikasikan dan mengekspesikan kegembiraan pihak
perempuan sebagai tuan rumah, kedatangan para tetamu yang bukan
sembarang tetamu. Pesan komunikasinya disampaikan dengan kata-
kata yang merendah hati. Setelah itu salah satu juru bicara yang
mewakili pihak perempuan menyorongkan tepak sirih, untuk
dimakan, dan resmilah pembuka kata dari tuan rumah.
Setelah itu, maka pihak utusan laki-laki memakan sirih tersebut,
dan selanjutnya menyorongkan sebuah tepak pembuka kata yang
telah terbuka. Di beberapa daerah di kawasan budaya Melayu
Sumatera Timur, norma adatnya adalah gagang atau (hulu) sirih
tersebut menuju ke arah pihak perempuan. Arah yang sedemikian
rupa, selalu diibaratkan dengan sebilah keris. Jadi gagang keris
yang menghadap pihak perempuan, kalau sebaliknya dapat diartikan
sebagai “menghunus” keris. Namun di beberapa tempat ada juga
yang sebaliknya. Juru bicara dari pihak laki-laki kemudian
berkomunikasi, dengan menggunakan contoh beberapa bait (kerat)
pantun sebagai berikut.

Kalau pergi ke Kota Palembang,


Bawalah majun barang secawan,
Bukan datang sembarang datang,
Datang kami membawa pesan,

Sampan tertambat di tepi kuala,


Anak dagang berniaga batik,
Semoga kita dalam lindungan Allah,
Akan diijabah-Nya niat yang baik.

Tuan rumah yang amat kami hormati, datang kami bukan


sembarang datang, datang dengan sebuah tujuan, sesuai
amanah pihak keluarga, yaitu:
130
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Tinggilah tinggi si matahari,


Anak kerbau mati terlambat,
Sudah lama kami mencari,
Tempat berteduh di hujan lebat.

Di ufuk timur mentari jingga,


Awan berarak berlarat-larat,
Menuju hari menjelang siang,
Selaras dengan amanah keluarga,
Kami pun sudah bulat dan mufakat,
Kumbang kami nak menyeri kembang.

Pada saat menyodorkan tepak, maka secara budaya pihak


laki-laki haruslah berhati-hati, yaitu jangan sampai “ekor” sirih
tersorong lebih dahulu. Jikalau terjadi hal yang seperti ini, maka
akan terjadi respons verbal dan isyarat dari pihak perempuan.
Mereka akan mengatakan, "Ganjil juga tetamu kita ini, ekor pula
duluan maju.” Mereka berbicara tidak secara langsung ditujukan
kepada pihak laki-laki, tetapi seolah-olah mereka berbicara
sesamanya sambil tertawa. Maka pihak laki-laki yang mendapat
“malu,” dan berarti “kemenangan adat” berada di pihak perempuan.
Walaupun begitu, biasanya pihak laki-laki cepat memperbaiki
kesalahan melalui pantun, dengan contoh sebagai berikut.

Nelayan menangkap ikan siakap,


Buritan berpindah arah daksina,
Manusia itu tempatnya khilaf,
Hanya Allah Yang Maha Sempurna.

Anak nelayan pulang ke daik,


Membawa sesukat buliran padi,
Kami ibarat telurnya itik,
Kasih ayam barulah menjadi.

131
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Secara umum, dalam konteks kebudayaan Melayu, pihak laki-


laki harus lebih banyak menerima sindiran dan bersifat mengalah.
Ini merupakan prinsip dari kalah untuk menang, biarlah mengalah
asal saja maksudnya meminang tercapai. Lebih jauh lagi, apa yang
dikomunikasi-kan melalui ungkapan, kias, ibarat, tamsil, kalimat,
seloka, dan seterusnya ini merupakan bentuk ekspresi budaya, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan silaturrahmi, bukan
kalah atau menang dalam berhujah.
Kemudian selepas itu, tepak sirih bagi pihak laki-laki tersebut
diedarkan oleh pihak perempuan sambil masing-masing mengambil
sirih sekapur lalu dimakan. Setelah tepak pertama selesai,
dilanjutkan dengan menyorong tepak sirih oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan, sambil berkomunikasi secara verbal
sebagai berikut.

Wahai Datuk yang amat kami hormati, telah jauh


perjalanan kami, banyak lembah yang telah dituruni,
banyak bukit telah didaki, jalan berkelok kanan dan kiri,
karena satu hajatlah maka kami datang kemari. Begitu
pula sudah lengkap rasanya para utusan kami yang hadir,
disertai sirih adat dan sirih iring-iringan. Semua ini
terungkap di dalam pantun Melayu.

Tangkaplah tangkap anak sembilang,


Ditangkap nelayan di pagi hari ,
Duduk kami duduk berbilang,
Karena hajat memberi sirih.

Menandak indah tuan puteri,


Diiring rentak alunan rodat,
Bukan sirih sembarang sirih,
Sirih kami berpandu adat,

Musafir lata bermain rebab,


Indah alunan menyentuh hati,
132
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Sirih menyembah pinang menghadap,


Jari sepuluh junjungan duli.

Demikianlah kata mula dari kami, moga-moga tanya


berjawab, gayung pun bersambut.

Kata-kata dan pantun terurai di atas, adalah cara tetamu (pihak laki-
laki) menyatakan maksud dengan memulakan kata-kata yang
bersifat menghormati tuan rumah (pihak perempuan). Selepas saja
pihak lelaki berkata, maka pihak perempuan menjawab atau
membalasnya dengan berpantun pula, dengan contoh sebagai
berikut.

Leka benar terbangnya elang,


Terbang tinggi di bawah awan,
Duduk kita duduk berbilang,
Adat yang mana nak dikeluarkan?

Anak dara pergi ke pekan,


Pergi membeli setumpuk limau,
Sirih risik belum pun dimakan,
Apa hajat rombongan tetamu?

Seterusnya, pihak laki-laki memulai kalimat demi kalimat dengan


berhati-hati dan penuh dengan makna-makna kultural, untuk
mengkomunikasikan maksud mereka datang ke rumah pihak
perempuan. Contohnya adalah sebagai berikut.

Ampunkan kami datuk! Sebenarnya, sebesar-besar


bumi, lebih besar lagi maksud yang kami kandung.
Setinggi-tinggi gunung, lebih tinggi harapan yang kami
gantungkan pada datuk. Seluas-luas samudera, lebih luas
lagi cita-cita yang kami titipkan kepada datuk. Oleh
karena itulah, maka kami rombongan datang kemari, tidak
menghiraukan panas, tidak menghiraukan hujan, tidak
133
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

pula hirau atas haus dan dahaga. Tujuh tempat, tujuh


sungai, tujuh samudera telah kami lalui. Seterusnya onak
dan duri pun dilanda, dilanggar, dikuakkan, agar tujuan
dapat dicapai. Sesuai dengan yang kami dengar, datuk
adalah orang yang arif lagi bijaksana, tahu dikias tahu di
umpama, paham di adat paham di resam, memegang adat
dan kebiasaan, amanah dengan janji dan kata-kata, dari
dahulu sampai sekarang. Datuk juga tahu siapa salah
siapa ditimbang, adat dan agama jadi pegangan.
Seterusnya dari pada itu datuk, kami lihat besarlah
sudah anak emas dan sibiran tulang di rumah, anak dari
Wan Ulong Syahruddin dan Encik Maimunah binti Harun,
umur sudah setahun jagung, darah sudah setampuk
pinang, laki-laki remaja lajang, menjadi hutang ibu dan
bapa, menjadi tanggungan seluruh keluarga, baru
sebahagian hutang dibayar, pertama karat pusat dan
berayun; kedua berkhitan sunat Rasul; ketiga mengaji
khatam Qur'an; keempat diajar sopan dan santun. Hanya
tinggal satu lagi,

Ikan todak ikan tenggiri,


Dimakan dengan daun pegaga,
Menjamu semua si warga desa,
Hukum adat hukum negeri,
Wajib disuruh berumah tangga.
Baru sempurna umat manusia.

Desau angin telah berlalu, risik merisik himbau


menghimbau, berdesir meninggalkan kesan, kait berkait
rotan di hutan, berjalin menjadi satu.
Datuk yang kami muliakan, jika kami umpamakan,
anak kami ini bak seekor kumbang sedang terbang, telah
melintas melalui taman, terpandang ia pada jambangan,
indah letaknya di tengah ruang, berisi pula bunga
rupawan sedang mengembang. Pulanglah kumbang
134
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

mendapatkan keluarga, menceritakan bunga yang sedang


mekar, siang malam teringat saja, tiada lupa barang
sebentar.

Singapura berupa-rupa,
Sapu tangan jatuh di lumpur,
Hendak lupa tak bisa lupa,
Lupa sebentar di kala tidur.

Naik tinggi menjulang asap,


Sampailah pula di atas kayangan,
Kalau cinta sudah meresap,
Mabuk kepayang berkepanjangan.

Hati kumbang dilanda asmara, pungguk merindukan bulan


purnama, Adam pun mencari Siti Hawa, Khais pula
rindukan Laila, begitu pula Romi sayangkan Yulia, kekasih
hati sepanjang masa, dengan harapan dan ridhanya Allah.
Oleh karena itu datuk, seluruh keluarga telah
bermusyawarah, dan kemudian diberi tugas kepada kami,
untuk bertanya secara adat, menyampaikan maksud
dengan resmi, agar sampai hajat di hati. Bolehkah kami
dengan cerana, memberi sirih dengan setangan, bolehkah
kami datang bertanya, adakah kembang dalam
jambangan? Sekian kata dari kami datuk.

Seterusnya juru bicara dari pihak wanita pun menjawab pertanyaan


dan maksud dari pihak laki-laki, dengan untaian kalimat demi
kalimat, seperti contoh berikut ini.

Wahai tuan-tuan yang kami hormati, semua kalimat


sebagai penyampai hajat telah kami dengar, telah kami
pahami isi, tujuan, dan maknanya. Sepertinya sang
kumbang ini tukang pesiar, pengalaman terbang diasah
benar, sampai-sampai kembang kami yang tersepuk di
135
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ujung dunia pun tak lewat sasar. Oleh karena tuan


datang menjenguk, maka hati kami pun menjadi sejuk,
dan seluruh keluarga sudah pun berembuk. Kata ini
kami sampaikan, sebelum sirih kami makan.
Namun demikian wahai tuan, memang hanya satu
taman kami, tetapi banyak kembang tumbuh di sini, lebih
satu di dalam puri.

Ikan bilis si ikan teri,


Dimakan orang masa kenduri,
Tidak takutkah kumbang menyeri,
Melihat bunga melingkar duri?

Lain dari itu tuan-tuan dan puan-puan, sungguhpun


kembang belum bertali, bunga tetap dijaga famili, para
pengawal menjaga silih berganti, mengharap keamanan
dari Ilahi, berguru tujuh langit dan bumi. Itulah kata
dari kami.

Berikutnya, pihak laki-laki yang mendengar ucapan dari juru bicara


pihak perempuan ini tambahlah gembira, sebab pihak perempuan
nampaknya memberikan harapan-harapan baik. Oleh karena
itu, pihak laki-laki kembali meneruskan kata-katanya, seperti
contoh berikut ini.

Tuan-tuan dan puan-puan yang kami hormati dan


muliakan sekalian, puri mulia ini punya penunggu,
masyhur semerbak ke segenap rantau, ke hilir sampai
tanjung, ke hulu juga sampai ke gunung. Bukan kembang
sembarang kembang, mawar hidup jadi suntingan, suci
dan bersih sangat cemerlang, berkelip rupawan bagaikan
bintang. Berulang kepada pangkal, dikaji dari alif, dihitung
dari mula, hidup manusia dikandung adat, mati dikandung
tanah, kunci kata pada kias. Sirih bersusun, pinang
berlombok, tepak berbaris menunggu sapa, anak beru
136
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

beriring menunggu ijin, dari datuk seluruhnya, menyuruh


mengabdi kepada kembang, mawar bunga suntingan, yang
tertua dalam jambangan, untuk dijaga dan disayangi, lebih
dari anak sendiri. Segala syarat jadi pikulan, tiada ingkar
dari janji, baik yang sudah, baik yang kemudian, asalkan
lulus adat dan syarat. Bagaimanapun, jika ringan akan
kami jinjing, jika berat akan kami pikul, bukan maksud
berada-ada, hanya takut akan Ilahi. Seperti dikemukakan
dalam pantun Melayu, datuk.

Mari menjolok buah pepaya,


Ditadah dengan selembar batik,
Tolonglah jawab kami bertanya,
Bolehkah bunga hendak dipetik?

Tuan-tuan dan puan-puan yang kami hormati sekalian,


demikianlah kata-kata pangkal dari kami.

Seperti yang sudah dideskripsikan sebelumnya, ketika proses


perisikan yang tidak resmi, yang dilakukan oleh utusan berupa
seorang wanita tua, dan kemudian semuanya akan diselesaian pada
proses pinangan ini, sebenarnya tuan rumah yaitu pihak
perempuan telah berjanji akan menerimanya. Namun kemudian,
dalam konteks adat, tuan rumah bertindak seolah-olah dia bertahan
dan “tidak mudah” meluluskan hajat dan permintaan dari pihak
laki-laki yang datang. Setelah melalui beberapa "cengkerama"
(yaitu bersahut-sahutan komunikasi verbal), secara budaya segala
persoalan jadi selesai dengan sendirinya dan semuanya akan
gembira sambil bercengkerama pula, terutama pada waktu makan
bersama.
Ketika pihak laki-laki mengemukakan hajat atau keinginan
pada saat kedatangannya itu, seluruh yang hadir di dalam
ruangan dalam (yaitu kelompok perempuan) dan ruang muka (yaitu
kelompok laki-laki) mendengarkan dengan penuh perhatian sopan
santun, tiada bercakap-cakap. Selepas saja pihak laki-laki berhenti
137
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

berkata untuk menanti kalimat sambutan, maka pihak perempuan


menguraikan pula sambil berkata-kata dan berpantun secara estetis,
dengan contoh sebagai berikut.

Wahai tetamu kami yang terhormat, teringatkan kami


akan pantun Melayu,

Pohon cendawan pokok kerakap,


Hidup berlambak di batang kayu,
Sirih pinang sudah pun dihadap,
Syarat dan janji tentukan dahulu.

Gunung Sinabung di atas bukit,


Asap keluar sedikit pekat,
Bukan niatan hendak mempersulit,
Tetapi itulah tuntutan adat.

Wahai tuan-tuan yang budiman, dari pangkalan kami


melihat perahu datang berlayar, menentang arus pasang
dan naik, sarat pula muatan berbagai ragam, penuh
haluan sampai ke buritan. Sampai pula pada syarat
kiasan. Menyuruh berpikir dan berpedoman, takut bencana
datang, hidup manusia dikandung adat. Hukum adat
hukum negeri, adat belum lagi bertukar.

Dari kampung menuju kota,


Dengan tujuan mengambil gaji,
Sumpah Melayu tetap setia,
Tiada ingkar terhadap janji.

Lain dari itu datuk, kita belajar dari sumpah Demang


Lebar Daun, asal adat Melayu lama, siapa mengubah
janji, bubungan rumah akan terjungkir, kaki tiang
meninjau langit. Lembah sama ditimbun, gunung sama
diratakan, ke hulu sama berakit, ke hilir sama berenang,
138
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

rotan berjalin tetap berjalin, berjalin menjadi satu, kutuk


manusia engkar janji, mawar tetap belum bertali, hanya
berdetik di dalam hati.
Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, bunga ditanam
belum terkopek, jumlah mawar lebih dari satu, sama tua
sama muda, sama umur setahun jagung, sama darah
setampuk pinang, sama akal tumbuh keluar, dunia akhirat
sedang dituntut, mungkin nanti jadi umpatan, sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Kemudian
pula tuan-tuan, semua kata telah didengar, semua kalimat
telah dikaji, kunci kata pada kias, awal pangkal bagi kami,
untuk rembukan anak beru, menentukan hajat yang baik.
Semua untuk mengikat silaturrahmi.
Tuan-tuan dan puan-puan yang kami muliakan, kembali
lagi kepada pangkal kata. Anak beru penggalang perahu,
berdasarkan adat bersendikan syarak, timbul dan
tenggelam untuk kaum, segala kata cukup rukunnya,
manusia cukup dengan syaratnya, lajang remaja tiada
cedera, tiada sakit tiada cacat, berdaya lahir disertai
batin, boleh mengikat anak tangga, mengganti kayu
selang, bernama bergelar seperti orang, kalau sah dapat
dikata, kalau dijanji baru menjadi, baru disambung soal
lanjutan, jika tidak hanya berjamu, kaum kerabat dari
jauh. Tuan-tuan, demikian kata dari kami (Rais, 1983).

Selepas saja pihak perempuan mengemukakan jawaban seperti


contoh terurai di atas, makapihak laki-laki berembuk dan
bermusyawarah untuk memberi jawaban tentang segala pernyataan
pihak perempuan tersebut. Biasanya pertanyaan-pertanyaan pihak
perempuan berkisar kepada hal-hal berikut ini: (1) siapa yang
hendak meminang? (2) siapa yang hendak dipinang? (3) apakah
yang meminang itu dalam keadaan sehat? (4) apakah yang meminag
tersebut tidak cacat dan cedera?
Dalam konteks dan norma adat Melayu, pihak perempuan dan
laki-laki yang telah membuat kesepakatan adat dalam peminangan
139
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ini, tidak dibenarkan ingkar janji dan tidak keberatan pula untuk
melanjutkan pembicaraan tentang risikan (peminangan) ini,
biasanya mereka mendapat jawaban yang menyenangkan.
Pertanyaan seperti tersebut di atas lazim dikemukakan, untuk
menghindarkan perselisihan yang kemudian mungkin timbul.
Risikan dan pinangan yang dilakukan sekarang ini adalah resmi,
disaksikan oleh penghulu telangkai. Misalnya, lain yang dihajat
untuk dipinang, lain yang didapat waktu bersanding atau jadi istri,
karena salah sebut nama waktu meminang.
Yang dihindari adalah lain nama laki-laki yang disebut waktu
merisik, lain pula laki-laki yang datang waktu menikah. Di sisi
lain, harus pula diketahui dan berjanji bahwa calon-calon pengantin
ini tidak cedera dan harus waras pikirannya, dan bila nanti waktu
nikah ada cacat ataupun sesuatu yang tidak memenuhi janji,
maka masing-masing pihak bisa menolak. Setelah pihak laki-laki
berembuk, maka mereka pun berkomunikasi secara verbal yang
ditujukan kepada pihak perempuan dengan contoh sebagai berikut.

Tuan-tuan dan puan-puan sekalian bak kata pantun


Melayu,

Pisang emas bawa berlayar,


Masak sebiji di atas peti,
Hutang emas dapat dibayar,
Hutang budi dibawa mati.

Pulau Pandan jauh di tengah,


Di balik pulau Si Angsa Dua,
Hancur badan dikandung tanah,
Budi yang baik dikenang juga.

Matahari terang bersinar,


Bunga seroja bunga kesturi,
Sidik itu artinya benar,
Amanah berarti menepati janji,
140
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, seperti sirih


pulang ke gagang, seperti pinang pulang ke tampuk. Tidak
ada sultan menolak sembah, hidup dikandung adat, mati
dikandung tanah, bar mati anak asal jangan mati adat,
adat diisi lembaga dituang, hidup sandar menyandar,
hukum tiada berat sebelah, janji berlaku kedua belah
pihak. Dari kami, diakukan siapa engkar siapa ditimbang,
cacat tidak cedera pun tidak, sawan gila luar janji, lain
dijanji lain tiba, tiada kembali pulang balik, bila mati
pulang tanda, tanda hilang dengan percuma, bila pria
mungkir janji, dara ingkar ganda tanda, nilai lipat dua
kali.
Kemudian selain dari itu tuan-tuan, banyak rantau
telah ditempuh, yang kecil sudah besar, yang bingung
sudah cerdik, yang lajang sudah remaja putra, Awang
Abdullah nama timangan, Awang Abdullah bin Andak
Zakaria nama lengkap Melayunya, oleh keluarga
dihajatkan akan berumah tangga, dengan mawar kuntum
utama, Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin. Pemuda
kami serahkan, untuk membawa kain basahan, untuk
menyisip lantai yang patah, untuk mengikat si anak tangga,
untuk merumput jalan ke tepian, untuk dijadikan suruh-
suruhan, timbul-tenggelam dengan kerabat, hidup mati di
tangan datuk. Tuan-tuan dan puan-puan sekalian,
sekianlah kabar dari kami (diolah dari Rais, 1983)

Pembicaraan pada saat peminangan, terutama yang terfokus


pada janji kedua belah pihak, sebenarnya sangat meriah antara
yang merisik dan yang kena risik. Kadang-kadang timbul sindir-
sindiran, umpama-umpama, kiasan-kiasan, tamsil, pantun-pantun,
dan sebagainya. Komunikasi yang terjadi biasanya adalah
spontanitas, dengan makna-makna yang mengandung dampak
kultural.

141
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Oleh karena pihak laki-laki telah memberikan janji yang


dituntut oleh adat yang berdasar kepada hukum Islam (syarak),
maka pihak perempuan berpura-pura bermusyawarah dan berembuk
lagi untuk memberi kata-kata putus. Adapun contohnya adalah
seperti yang terurai di bawah ini.

Tuan-tuan yang mulia, teringat kami akan pantun


Melayu yang mengatakan sebagai berikut.

Majun itu menjadi obat,


Cepat diminum agar mujarab,
Sesuai dengan aturan adat,
Pinangan tuan kami kan jawab.

Jika digantang tiga gantang,


Jika disukat tiga sukat,
Jika direntang akan panjang,
Elok dipuntal supaya singkat.

Oleh karena itu tuan, anak beru telah berembuk, impal


larangan pun telah ditanya, saudara ayah telah berpesan,
saudara ibu telah berkata, mencari rasi baik agar bertuah,
ternak membiak padi pun melimpah, kaum sekampung turut
gembira, terang nampaknya cuaca. Semua ini tercermin
dalam pantun orang tua-tua kita di zaman dahulu.

Tangkap gurami tangkaplah sotong,


Diletak pula di atas batu,
Kalau Allah hendak menolong,
Air pasang kapal pun lalu.

Tuan-tuan yang mulia, mawar belum lagi bertali, datang


kumbang hendak menyeri, lulus adat luluslah syarak,
sirih risik akan dimakan. Hanya sebuah pesan lagi, tuan-
tuan yang mulia. Pantun tua pantunlah hikmat, berguna
142
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

untuk semua masyarakat, baik di dunia maupun akhirat,


yaitu:

Dari Kisaran ke Tebingtinggi,


Lanjutkan jalan ke Kota Gebang,
Jikalau bunga asalnya wangi,
Sampai layu pun jangan dibuang.

Ikan kerapu dan cumi-cumi,


Dimakan anak di tengah laman,
Walau runtuh langit dan bumi,
Cinta abadi sepanjang zaman.

Tumbuh bunga di semak belukar,


Wangi menebar sampai ke pekan,
Manusia hanya bisa ikhtiar,
Allah yang akan menentukan,

Sekianlah kata putus dari kami.

Mendengar kata-kata komunikatif berupa keputusan bulat ini,


maka pihak mempelai laki-laki pun meresponnya dengan senang
hati dan lega. Ada yang tersenyum, ada pula yang berbisik-bisik
riang, ada yang diam-diam saja, namun dipendam rasa gembira
tersebut di dalam hati. Pihak pengantin perempuan pun mulai
memakan sirih risik yang dari tadi hanya dihadap saja. Kemudian
proses berikutnya sirih ini disorongkan ke ruang dalam untuk
dimakan oleh wanita-wanita yang ada di sana.
Selepas saja acara menyorongkan tepak merisik selesai, maka
acara berikutnya dilanjutkan dengan menyorong tepak janji sekali
gus meminang. Pada saat menyorongkan tepak janji ini, tidak
sesulit seperti acara merisik sebelumnya. Ini dilakukan oleh pihak
laki-laki ke pihak perempuan sambil berkomunikasi verbal, dengan
contoh komunikasi verbal yang estetis sebagai berikut.

143
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Tuan-tuan dan puan-puan sekalian, yang kami


muliakan dan dirahmati Allah, kami ini nampaknya
seperti minta tanah, lulus satu minta dua, dikasih dua
minta tiga, diberi suasa minta emas, diberi emas meminta
intan, diberi bumi minta langit, diberi bulan minta bintang,
tak ada puasnya. Namun maksud kami tidak begitu,
hanya menunaikan adat negeri, menempati bisikan janji.
Jika ada ijin dari datuk, dari seluruh kaum kerabat, ingin
kami menunaikan tugas, setelah merisik, maka langsung
meminang, Zubaidah binti Wan Ulong Syahruddin, untuk
Awang Abdullah bin Andak Zakaria. Namun demikian pun
terserahlah kepada datuk, apalagi kami sadar sesadar-
sadarnya sebagai orang yang meminta, hanya mengharap
kasihnya orang, hanya menanti sayang yang dimohonkan,
sekian pinta kepada datuk.

Sesudah itu pula, pihak perempuan akan menjawab apa yang


ditanyakan oleh pihak laki-laki tadi, dengan contoh kalimat demi
kalimat sebagai berikut.

Tuan-tuan yang kami muliakan, demi Allah Subhana


Wataala, Sang Khalik pencipta bumi, galaksi, alam dan
seisinya, kami tiada akan ingkar janji, begitu di lidah
begitu di hati, begitu diucap begitu dilakukan, begitu
diputus begitu diterapkan. Tidak usahlah tuan merendah
benar, yang besar tetap besar, sekali emas tetaplah emas,
pinangan bersyarat kami terima, dengan seijin kerabat dan
keluarga.

Kalimat tersebut di atas menandakan bahwa pihak


perempuan menerima sirih pinangan dari pihak laki-laki, lalu
dimakan dan dibagikan oleh kaum wanita yang ada di ruangan
dalam. Dengan demikian selesailah acara peminangan ini, dan
kemudian dilanjutkan dengan acara menyorong tanda
(bertunangan).
144
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

5.3.3 Menyorong Tanda (Bertunangan)

Pada acara menyorong tanda ini, pihak laki-laki mengeluarkan


sebuah cincin dalam sebuah kotak, yang telah dihiasi dengan kain
berwarna kuning dengan manik-manik keemasan sehingga kelihatan
indah. Cincin beserta tempatnya, diberikan kepada pihak
perempuan bersama sebuah tepak pengiring.
Demikian juga pihak perempuan menyorongkan sebuah
tanda dalam suatu wadah yang telah dihiasi pula dan disertai
sebuah tepak. Tanda tersebut boleh berupa cincin (biasanya
emas) ataupun perhiasan lainnya seperti kalung, atau gelang.
Perhiasan-perhiasan tersebut berfungsi sebagai tanda bahwa kedua
calon mempelai telah terikat pada tali pertunangan. Pihak laki-laki
akan menyatakan maksudnya, melalui kalimat, dengan contoh
sebagai berikut.

Setelah itu datuk, mengantar sirih bersatu, bersanding


seminggu kemudian, serentak dengan mahar yang keting-
galan, di waktu bulan purnama raya, menyinari alam
bahagia. Moga-moga berhasil dengan pinta. Demikianlah
dari kami datuk.

Seterusnya pihak perempuan pun akan menyahut hajat dari


pihak laki-laki tersebut, dengan komunikasi verbal, seperti terurai
pada wacana berikut ini.

Wahai tuan-tuan yang kami muliakan, memang sudah


menjadi hal biasa yang sedemikian, demi waktu tuan-tuan
melakukan desakan, supaya semua cepat dikerjakan,
mungkin sebab kerjanya ringan, tak menunggu lagi waktu
berterusan. Namun demikian, lain situasinya untuk kami,
atap yang bocor harus diganti, lantai rumah haruslah rapi,
segala persiapan harus direncanakan, kaum kerabat diberi
tahu. Wahai tuan-tuan, maklumlah kami akan menerima
145
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

pengantin baru, tak dapat bekerja separuh hati, padi di


lalang dikaut dulu, lembu dan kerbau dijerat pula.
Oleh karena itu wahai tuan-tuan yang mulia, ijinkan
pula kami meminta dan mengharap, persetujuan nikah
pada pagi Syawal, tepat pada sepuluh hari bulan,
serentak naik setengah mahar, sama dengan tiga puluh
dua ringgit, mengantar sirih dan bersanding, menaikkan
mahar setengah lagi, pada petang empat belas hari Syawal.
Kemudian dari itu tuan-tuan, adat lama jangan
dibuang, hak kaum wajib diberikan. Batang-batang dan
hempang pintu, masing-masing seperempat mahar, buka
tabir, kembang tikar, buka kipas masing-masing
seperdelapan mahar. Begitulah adat Melayu Lama, jadi
pegangan anak cucu. Demikianlah tuan-tuan adat di sini,
waktu nikah pakaian haji.

Seperti terurai dalam paragraf-paragraf di atas, maka


sebenarnya pihak laki-laki meminta agar acara adat perkawinan
dilangsungkan secepatnya jika disetujui oleh pihak perempuan,
dan juga pihak perempuan menyatakan kesanggupannya untuk
mempersiapkan dan melaksanakan acara adat perkawinan ini dalam
masa yang tidak begitu lama lagi. Kedua belah pihak juga
bermusyawarah untuk memutuskan syarat-syarat adat beserta
harinya yang telah ditentukan. Setelah pembicaraan tersebut, maka
pihak laki-laki memusyawarahkan pula pada anggota keluarga
tentang permintaan pihak wanita. Apabila disetujui, sirihpun
ditukarkan dan dimakan bersama-sama antara kedua belah pihak.
Jika ada sirih pengiring, maka sirih ini diberikan kepada pihak
wanita.
Dengan selesainya aktivitas di atas, maka acara peminangan
telah rampung. Biasanya secara budaya diadakan jamuan makan
oleh pihak perempuan, disertai dengan doa selamat. Biasanya
tepak dan tanda ikat janji tersebut ditepungtawari oleh pihak
perempuan ketika selesai upacara dimaksud. Selanjutnya adalah
dilakukan acara jamu sukut.
146
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

5.3.4 Jamu Sukut

Dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur, acara jamu sukut


merupakan acara yang tujuan utamanya adalah untuk
memberitahukan atau mengabarkan kepada keluarga masing-
masing, bahwa telah terjadi acara peminangan, antara dua kerabat
besar ini. Acara ini juga sekaligus sebagai ungkapan syukur kepada
Allah atas segala rahmat dan hidayah-Nya kepada kedua keluarga
besar ini.
Selepas saja peminangan secara resmi diterima oleh pihak
perempuan, maka baik ibu dan ayah dari calon pengantin
perempuan maupun kedua orang tua dari calon pengantin laki-laki
masing-masing mengadakan sebuah jamuan (kenduri) untuk
mengabarkan keluarga besar mereka masing-masing tentang
peminangan yang baru diterima. Pada beberapa tempat di daerah
Sumatera Timur pada umumnya acara kenduri yang seperti ini
disebut jamu sukut.
Sesudah acara jamuan makan selesai, maka orang yang
tertua dalam acara tersebut bertanya secara singkat kepada tuan
rumah. Adapun pertanyaannya berkisar kepada tujuan dari acara
jamuan makan ini, yaitu dengan merujuk ada apa dengan
menyembelih lembu atau kambing yang disajikan dalam jamuan
tersebut. Tentu saja memotong lembu atau kambing untuk jamuan,
bukan peristiwa biasa.
Merespons apa yang ditanyakan tersebut, maka tuan rumah
langsung saja membuka kata. Bahwasanya sejak awal ia hanya
diam saja, memang demikian yang ia lakukan. Akan tetapi dengan
adanya pertanyaan seperti itu, maka tuan rumah memberitahukan
tentang adanya pinangan yang telah diterima. Selain itu,
disebutkan pula siapa yang meminang dan yang dipinang. Begitu
juga tentang hari pernikahan, acara mengantar, berinani, dan
bersanding, dan kapan "kerja adat" mulai dilaksanakan. Demikian
pula panitia, peralatan untuk pesta, makanan, minuman, undangan,
dan segala sesuatunya telah pun dipersiapkan. Dengan kata-kata
147
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

pembukaan tersebut, tuan rumah menyerahkan seluruh kerja pada


anak beru dan seluruh hadirin. Dalam kebudayaan Melayu, anak
berulah yang diharapkan paling dominan bekerja di dalam acara
pesta kawin ini.
Sejak hari itu, biasanya tuan rumah hanya memperhatikan
perjalanan pekerjaan dan menyediakan bahan dan benda
seperlunya, untuk pesta nikah dan kawin ini. Pelaksana dan yang
bertanggung jawab atas lancarnya pekerjaan tersebut terserah
kepada anak beru dan keluarga lainnya. Setelah saja selesai jamu
sukut, maka pihak laki-laki dan pihak perempuan memberitahu
dan mengundang semua keluarga besarnya dan handai taulan.
Secara tradisional, cara mengabari dan mengundang ini bukan
hanya berupa memberikan sepucuk surat, melainkan membawa
tepak sirih dan isinya yang dibungkus dengan kain. Cara
membawanya adalah dengan teknik menggendongnya dengan kain
panjang, ke rumah yang hendak diundang (dijemput). Untuk kaum
wanita, yang mengundangnya adalah anak beru perempuan,
sedangkan untuk laki-laki, adalah anak beru laki-laki. Cara untuk
memberitahukan adalah orang yang mengundang menyodorkan
tepak yang telah dibuka tersebut untuk dimakan sirihnya. Sesudah
itu, maka diberitahukanlah dengan hormat maksud kedatangannya
sebagai utusan dari keluarga pihak calon pengantin wanita yang
akan mengadakan acara adat perkawinan. Mengundang dengan
cara menydorkan sirih tersebut adalah undangan secara adat
yang mengikat sifatnya. Sehingga orang yang diundang
berkewajiban untuk datang menghadiri upacara yang dimaksud
pada hari yang telah ditentukan, apabila tidak ada halangan yang
sangat besar. Demikian tunjuk ajar adat Melayu mengenai
undangan melalui tepak sirih ini.
Apabila waktu upacara tersebut telah dekat, maka masing-
masing orang yang telah diserahi tugas, menjalankan fungsinya
masing-masing. Mereka yang akan membuat pelaminan (tempat
duduk kedua pengantin) mulai bekerja dengan berangsur-angsur,
karena tidak mungkin pekerjaan ini dilakukan dengan tergesa-
gesa.
148
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Pelaminan Melayu ini dibuat menurut nilai estetik dan rasa


keindahan yang membuatnya, atau dapat juga menurut petunjuk-
petunjuk tuan rumah. Kepada segenap handai taulan diminta oleh
orang tua pengantin laki-laki agar ikut membuat tepak untuk
mengantar sirih besar kepada pihak perempuan. Merupakan suatu
kemegahan budaya pula, jikalau kaum kerabat ikut serta
memberikan setepak sirih masing-masing, yang dibuat menurut
berbagai bentuk: seperti bentuk sampan, burung, perahu, dan
lain-lain. Jumlah tepak tersebut menunjukkan banyaknya keluarga
dan handai taulan. Pada setiap tepak disisipkan secarik kertas
yang berisi pantun ataupun sindiran manis, untuk kedua calon
mempelai. Seperti contoh-contoh berikut ini.

Tanamlah tanam si pokok jati,


Batangnya tumbuh berdepa-depa,
Semoga cinta akan abadi,
Seperti kisah Khais dan Laila.

Terang sungguh sinarnya bulan,


Jadi penyejuk hati yang gundah,
Kami berdoa kepada Tuhan,
Semoga sakinah, mawaddah, warohmah.

Lancang Kuning berlayar malam,


Haluan menuju ke laut dalam,
Kalau nakhoda kuranglah paham,
Alamatlah kapal akan tenggelam.

Jeruk nipis si jeruk purut,


Jeruk bali hijau warnanya,
Asam di gunung ikan di laut,
Dalam belanga bertemu juga.

Padi menguning jelapang sawah,


Siap dituai di siang hari,
149
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Hancur badan dikandung tanah,


Cinta yang suci pasti abadi.

Kalau encik pergi ke Medan,


Bawakan kami buah durian,
Dahulu pungguk rindukan bulan,
Kini berdua di satu laman.

Pergi musafir ke Kota Stabat,


Menimba pengetahuan ilmu agama,
Doa kami setiap saat,
Cinta abadi selama-lamanya.

5.3.5 Berinai

Upacara berinai biasanya diadakan sehari sebelum menikah


(akad nikah) di rumah pengantin masing-masing dan dihadiri oleh
keluarga dan teman-teman terdekat dari kedua calon pengantin.
Ada tiga upacara berinai yaitu berinai curi, berinai kecil, dan
berinai besar. Namun sekarang, malam berinai dilaksanakan satu
malam saja karena untuk mempersingkat waktu dan dana. Malam
berinai yang dilakukan pihak laki-laki hanya tepung tawar oleh
keluarga dan teman-temannya saja, sedangkan malam berinai yang
dilakukan oleh pihak perempuan ialah serangkaian acara sakral
malam berinai diawali dengan bersalaman kepada kedua orang tua
sebelum calon pengantin wanita duduk di pelaminan, kemudian
dilanjutkan dengan acara hiburan dan kemudian tari inai sebagai
pelengkap kesakralan upacara malam berinai tersebut.
Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Timur, biasanya
malam berinai dilakukan selama 3 malam berturut-turut yakni: (a)
malam berinai pertama disebut malam inai curi. Kegiatannya ialah
calon pengantin wanita diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia
tidur sehingga tidak ketahuan. (b) Malam kedua disebut malam inai
kecil, calon pengantin wanita dihiasi, didandani, dan didudukkan di
atas pelaminan yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, dan
150
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

kerabat untuk ditepungtawari. (c) Lalu dilanjutkan dengan malam


inai besar.4 Kegiatannya terlebih dahulu tari inai disertai tarian
Melayu lainnya, kemudian pengantin wanita dipasangi inai pada
kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orang tuanya,
keluarga, dan teman-teman dekatnya. Setelah semua acara selesai,
selanjutnya pengantin wanita dipasangkan inai yang sebenarnya
yang disebut berinai besar. Sesuai dengan perkembangan zaman,
kini malam berinai hanya dilakukan satu malam saja dan acara
sakralnya diadakan di rumah pihak perempuan saja, biasanya
karena alasan faktor menghemat dana dan waktu. Sehingga, malam
berinai yang dilakukan hanya malam berinai besar saja yang
dihadiri seluruh keluarga dan kerabat pihak perempuan.
Tari inai merupakan salah satu seni yang difungsikan pada
upacara adat perkawinan dalam budaya masyarakat Melayu. Seni
pertunjukan ini dapat dikatakan sebagai pelengkap dan pengabsah
upacara adat perkawinan tersebut. Jika pertunjukan tari inai atau
upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan
keesokan harinya tetap berlangsung. Namun upacara malam berinai
ini, memiliki nilai-nilai religius dan kultural tersendiri dalam
persepsi masyarakat Melayu. Apalagi jika keluarga yang tingkat
ekonominya relatif baik, mengadakan upacara adat perkawinan
Melayu, maka biasanya keluarga ini akan mengadakan upacara
malam berinai. Selain berfungsi budaya, religi, sakralitas, kegiatan
tersebut juga memiliki “gengsi sosial.”
Kegiatan tarian inai tersebut adalah merupakan seni
pertunjukan yang melibatkan tari dan musik sekaligus. Dahulu kala,
malam berinai dilakukan setelah akad nikah dan kedua mempelai
didudukkan untuk diberikan inai pada kuku jari tangan dan kaki
kedua mempelai. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, kini
hanya dilakukan di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di

4
Di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Melayu Sumatera Timur, ada
pula yang menyebut malam pertama berinai ini disebut inai curi, sedangkan malam
kedua dan ketiga yang tadinya masing-masing disebut malam inai kecil dan malam
inai besar, kedua-duanya disebut saja sebagai malam inai adat.
151
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

rumah pengantin pria tidak dilakukan upacara malam berinai.


Hanya saja inai akan dihantar dari rumah pengantin wanita kerumah
si calon pengantin pria. Kemudian menurut adat diadakan tepung
tawar dan dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan
kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekat calon pengantin pria.
Pada masa sekarang, yang lazim adalah upacara malam berinai
dilakukan menjelang akad nikah pada keesokan harinya.
Secara umum, gerakan-gerakan tari inai yang dilakukan
merupakan kombinasi dari gerak-gerak hewan atau kejadian-
kejadian alam. Sebahagian gerakannya diambil dari gerak-gerak
silat, merupakan olahraga beladiri tradisional Melayu.
Pada dasarnya alat-alat musik yang biasa digunakan untuk
mengiringi tari inai ini, pada masa-masa awal adalah: (a) sebuah
serunai Melayu yang berfungsi sebagai pembawa melodi, (b) satu
atau dua buah gendang Melayu satu muka (gendang ronggeng), dan
(c) sebuah gong atau tetawak. Rentak musik yang disajikan
berdasarkan irama musik silat yaitu rentak patam-patam, dan juga
judul lagu Patam-patam. Namun, sesuai dengan perkembangan
zaman, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada masa kini
alat-alat musik yang biasa digunakan untuk mengiringi tari inai ini
adalah: (i) sebuah biola, (ii) sebuah akordion, (iii) dua buah
gendang ronggeng, dan adakalanya ditambah (iv) sebuah keyboard.

152
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.3
Calon Pengantin Perempuan
pada Upacara Malam Berinai

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)

153
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Struktur pertunjukan inai ini baik tarian dan musiknya, lebih


rinci dikaji pada bab khusus, tepatnya Bab VII pada buku ini.
Pertunjukan inai ini merupakan salah satu bahagian saja dari
berbagai seni pertunjukan dalam satu rangkaian upacara adat
perkawinan Melayu secara lengkap. Jadi pertunjukan inai bukanlah
satu-satunya pertunjukan dalam konteks upacara perkawinan adat
Melayu.

Gambar 5.4:
Tari Makan Sirih Dipersembahkan di Depan
Calon Pengantin Perempuan
pada Upacara Malam Berinai

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)

154
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.5:
Inai yang Siap Digunakan

(Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013)

Gambar 5.6:
Gerak Sembah Awal Tari Inai pada Upacara Malam Berinai

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)

155
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.7:
Dua Penari Inai Menampilkan Keahlian
Menggerakkan Piring pada Upacara Malam Berinai

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)

Gambar 5.8:
Penari Inai Sedang Melakukan Atraksi Gerak
di Atas Pahar

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)


156
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.9:
Acara Hiburan Meronggeng Selepas Pertunjukan Tari Inai
Pada Upacara Malam Berinai

(Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013)

Di saat pengantin duduk di pelaminan inilah tari inai dan


kesenian-kesenian Melayu lainnya seperti rodat, hadrah,
gambus, ronggeng, dimainkan untuk memeriahkan acara tersebut.
Menurut informasi yang dikemukakan oleh Tengku Syahdan tari
inai ditampilkan di depan pelaminan, gunanya untuk menghormati
pengantin, dan menambah kekuatan serta ketahanan jasmani dan
rohani (menurut konsep religi animisme Melayu, sebelum
masuknya Islam). Menurut persepsi masyarakat Melayu, pada
masa itu inai diartikan sebagai penambah tenaga jasmani dan
rohani yang memakainya serta menolak marabahaya, terutama
bahaya yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk halus yang
jahat. Dalam sistem kosmologinya, etnik Melayu pada umumnya

157
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

percaya bahwa penyakit awal kali datang dari ujung kaki dan
tangan, maka pada bahagian inilah inai ditempelkan.
Setelah masuknya Islam, guna tari inai untuk memperkuat
ketahanan jasmani dan rohani pengantin berangsur-angsur tidak
lagi dipercayai. Setelah masuknya agama Islam dalam kehidupan
etnik Melayu, dan dijadikan sebagai pandangan hidup berupa adat
bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, maka guna
tari inai adalah sebagai hiburan yang mengandung nilai-nilai
estetis dan sedikit ritual, sebagai salah satu identitas budaya Melayu
dalam aktivitas perkawinan. Sedangkan fungsinya, dapat saja
sebagai pengabsahan pengantin secara adat, meneruskan generasi,
pengintegrasian masyarakat, perlambangan, pengungkapan esetetis,
emosi jasmani, dan lainnya.
Setelah selesainya upacara malam berinai ini, maka selalu juga
malam tersebut diselenggarakan hiburan dengan pertunjukan musik
dan tarian Melayu lainnya, seperti hadrah, burdah, rodat,
ronggeng, dan lain-lain. Ini semua dilakukan di rumah pihak calon
mempelai perempuan. Keesokan harinya dilaksanakan upacara akad
nikah atau lazim juga disebut istiadat nikah kawin Melayu.

5.3.6 Akad Nikah

Secara kultural, hari pernikahan dapat saja dilakukan pada


waktu pagi ataupun malam hari. Ketentuan waktu ini, didasarkan
kepada musyawarah dan mufakat kedua belah pihak keluarga calon
pengantin lelaki dan perempuan, pada saat pertemuan sebelumnya.
Selain itu, dalam kebudayaan Melayu, hari dan saat akad nikah ini
selalu diadakan pada hari baik dan bulan baik, menurut kalender
Islam. Kegiatan yang seperti ini disebut dengan merasi.
Pada acara tersebut calon pengantin laki-laki diantar oleh sekitar
sepuluh orang keluarganya yang tua-tua laki-laki atau perempuan
ke rumah pihak perempuan untuk mengucapkan akad nikah.
Biasanya pakaian calon pengantin pada waktu akad nikah ini,
haruslah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sewaktu
meminang. Misalnya telah dijanjikan bahwa sewaktu nikah calon
158
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

pengantin laki-laki harus memakai pakaian haji, yaitu serban


tegang dan jubah panjang, maka pakaian ini jugalah yang harus
dipakai pada saat akad nikah tersebut. Demikian pula jika disepakati
memakai pakaian teluk belanga, maka pakaian ini pula yang
dipakai.
Jika pada musyawarah itu disepakati memakai pakaian haji,
tetapi calon pengantin laki-laki datang pakai baju teluk belanga
dan kupiah saja misalnya, maka ada hak pihak perempuan untuk
menolaknya. Dalam realitasnya, selalu pula ada kejadian penolakan
seperti ini, yaitu seperti yang telah dijanjikan: uang mahar
dinaikkan juga pada waktu nikah, yaitu ditambah lagi setengah
dari jumlah seluruhnya, karena perjanjian pakaian yang dilanggar
ini. Dahulu kala, uang mahar itu di Sumatera Timur dibayar dengan
uang ringgit, kini biasanya dibayar dengan uang rupiah.
Uang mahar itu dibungkus dalam kain tiga lapis yang
berlainan warna. Ada pula yang membuat sampai sembilan lapis,
dengan ditambahi bertih (beras yang digoreng tanpa menggunakan
minyak, digongseng), beras kuning (beras yang direndam pada air
kunyit), dan bunga rampai (beraneka ragam bunga-bungaan), serta
uang. Kesemuanya ini dibungkus dan diikat dengan benang
pancawarna yang diikat dengan simpul hidup. Kemudian uang
yang telah dibungkus itu dimasukkan ke dalam cepu (peti kecil)
dan cepu tersebut dibungkuskan pula baik-baik pada sehelai kain
panjang. Setelah selesai, maka diletakkan di atas sebuah dulang
kecil yang dinamakan semerip. Uang mahar tersebut digendong
untuk dibawa ke rumah pihak perempuan. Peralatan-peralatan
yang turut dibawa yakni: pahar (tempat yang terbuat dari
kuningan berbentuk bulat ceper dan memiliki kaki), yang berisi
pulut kuning, ayam panggang, dan sebuah tepak nikah. Di dalamnya
dimasukkan sebahagian biaya nikah untuk tuan kadi. Biasanya
biaya nikah dibayar oleh kedua belah pihak masing-masing.
Kemudian di rumah pihak perempuan telah menanti sebuah
tepak sirih dan sebuah pahar pulut kuning. Pahar tersebut
nantinya ditukarkan sewaktu hendak pulang. Acara pernikahan ini
ditempatkan di ruangan bahagian dalam, tempatnya tersendiri, di
159
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

atas tikar pandan yang disebut tikar ciau, yang di atasnya


dibentangkan sebuah tilam (katil) yang dilapisi kain. Di sinilah
calon pengantin didudukkan. Pada saat rombongan pihak laki-laki
telah sampai di rumah perempuan, maka kaum laki-laki dipersilah-
kan duduk di ruang muka, dan kaum ibu di ruang dalam. Alat-
alat perlengkapan upacara akad nikah ini berupa: tepak sirih nikah,
pulut kuning, dan bungkusan uang mahar yang dibawa tersebut,
diletakkan di ruang muka, di tengah-tengah hadapan majelis dan
hadirin yang telah menghadirinya. Selepas itu, pihak perempuan
mulai berkomunikasi verbal sebagai pembuka kata dengan cara
berpantun, ditujukan ke pihak laki-laki, dengan contoh sebagai
berikut ini.

Makan sirih berpinanglah tidak,


Pinang tertinggal di Labuhan Ruku,
Makan sirih mengenyanglah tidak,
Adatlah resam pusaka Melayu.

Jikalau pergi ke Labuhanruku,


Bawakan kami seekor selindit,
Duduk kami bagai terpukau,
Datang rombongan bukan sedikit.

Rasa gulai sangatlah sedap,


Ditambah lauk ikan tenggiri,
Pinta kami sirih disantap,
Apa hajat di dalam hati?

Ketiga rangkap atau bait pantun tersebut berdasarkan filsafat


hidup orang Melayu memberi tahu bahwa tuan rumah
mempersilahkan untuk memakan sirih, agar pelaksanaan segera
dapat dimulai. Maka selepas itu, pihak laki-laki memakan sirih
tersebut. Setelah selesai makan sirih ini, maka pihak laki-laki mulai
berkomunikasi secara verbal menyambut pantun tanya tadi, dengan
contoh sebagai berikut ini.
160
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Wahai tuan-tuan dan puan-puan sekalian yang amat


kami hormati, pada hari baik dan bulan baik ini, datang
pula kami kemari, menagih, dan menepati janji. Janji
yang dimuliakan, yakni remaja putra kami bawakan,
untuk diambil akad nikahnya. Selain itu pula, mahar pun
kami antarkan. Pembayar hutang yang diucapkan, hutang
adat hutang syarak, harus selesai seluruhnya. Demikian
pinta dari kami.

Selepas itu, pihak perempuan menyambut komunikasi verbal di


atas dengan berkata-kata sebagai ekspresi komunikasi responsif,
dengan gaya tuturan sebagai berikut.

Tuan-tuan dan puan-puan yang kami muliakan,


pertama-tama syukur kita panjatkan ke hadirat Allah,
Tuhan Yang Maha Kuasa, atas kesehatan dan pertemuan
yang telah Dia gariskan. Maka sesuai janji, tanda manusia
tetap beradat, tanda kampung tetap berpenghulu, tanda
luhak tetap beraja, tanda syarak tetap dipegang, tetap adat
jadi pusaka. Selanjutnya tuan-tuan dan puan-puan, sudah
menanti tepak nikah, sudah terhampar tikar ciau, sudah
tergantung tabir di dinding, sudah terentang langit-langit,
sudah terhidang pulut kuning, sudah terbilang orang
duduk, sudah cemerlang niat semua orang, sudah menanti
tuan kadi, sedah sekata anak beru. Oleh sebab itu tuan-
tuan dan puan-puan sekalian, usaha baik kita percepat,
teruna disilakan mengambil tempat. Demikianlah kata dari
kami.

Setelah pihak laki-laki dan perempuan berbalas-balas pantun


dan kalimat-kalimat yang penuh dengan nilai-nilai adat, untuk
mengutarakan maksud kedua belah pihak, maka anak beru pihak
perempuan membuka bungkusan uang mahar, yang dibawa pihak

161
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

laki-laki dengan cermat dan hati-hati, serta dihitung jumlah


isinya, apakah sesuai dengan yang telah dijanjikan atau tidak.
Menghitung uang di dalam cepu (peti kecil) tidak boleh
sampai mengeluarkan bunyi gemerisik. Pada masa dahulu ketika
pada kehidupan etnik Melayu memakai uang ringgit, apabila
kedengaran bunyi berdenting, maka "semangat" kedua pengantin
bisa hilang, dan akibatnya dipercayai mereka nantinya saling
bertengkar. Apabila telah dihitung dengan jumlah yang cukup,
maka uang tersebut dibungkus kembali seperti semula dan
disorongkan ke ruang dalam, agar didukung (ditimang-timang) oleh
keluarga yang tua-tua secara bergantian. Hal ini dimaksudkan agar
perkawinan itu nantinya mendapat keselamatan dan kekal atas izin
Allah. Setelah dipegang bergantian, lalu diserahkanlah kepada
orang tua pengantin perempuan, yang selanjutnya diberikan kepada
pengantin perempuan.
Pengantin laki-laki telah duduk di atas tilam yang diapit kiri
kanan oleh tuan guru ataupun keluarganya yang memiliki ilmu
supernatural, agar dalam pelaksanaan pernikahan tersebut tidak
ada halangan apa-apa, dan diridhai Allah. Di hadapan pengantin
laki-laki duduk seorang tuan kadi dan disertai dua orang saksi
untuk mendengar akad nikah tersebut. Keluarga yang lain duduk
menyaksikan upacara secara cermat, lalu tuan kadi mengucapkan
doa nikah, setelah itu berkata yang nantinya dijawab oleh
pengantin laki-laki, dengan contoh sebagai berikut.

Tuan kadi: “Awang Abdullah bin Andak Zakaria!”


Pengantin lelaki: “Saya, Tuan.”
Tuan kadi: “Saya nikahkan Tuan dengan Zubaidah binti
Wan Ulong Syahruddin, yang berwakil walinya
kepada saya, dengan mahar 30 gram emas
tunai.”

Ini adalah teks akad nikah kalau walinya adalah tuan kadi. Jika
ayahnya langsung, maka teks akad nikah itu adalah sebagai berikut.

162
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Wan Ulong Syahruddin (ayah mempelai wanita): “Awang


Abdullah bin Andak Zakaria!”
Pengantin lelaki: “Saya.”
Wan Ulong Syahruddin: “Saya nikahkan anak kandung
saya Zubaidah denganmu, dengan mahar 30 gram
emas tunai.”

Kemudian pengantin laki-laki ini, menjawab pernyataan tuan


kadi tersebut dengan ucapan sebagai berikut:

Pengantin lelaki: “Saya terima nikah Zubaidah binti Wan


Ulong Syahruddin dengan mahar 30 gram
emas tunai.”

Jika ia menjawab teks ucapan langsung dari ayah kandung sang


mempelai wanita maka jawabannya adalah sebagai berikut.

Pengantin lelaki: “Saya terima nikah Zubaidah dengan


mahar 30 gram emas tunai.”

Apabila ucapan nikah tersebut lancar dan terang didengar oleh


tuan kadi beserta dua orang saksi, maka sahlah nikah itu. Tuan
kadi juga menanyakan perihal tersebut, “Apakah sah jawaban akad
nikah yang baru saja diucapkan mempelai pria?”
Dalam kenyataan kultural, sering juga akad nikah ini tidak
dapat dilakukan dengan sempurna, diulang-ulang beberapa kali
sampai jelas. Keadaan tersebut biasanya diakibatkan oleh sesuatu
gangguan secara supernatural yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak
yang tidak senang serta menghendaki gagalnya acara ini. Dalam
budaya Melayu, dipercayai bahwa masalah ini adalah berasal dari
gangguan makhluk halus terhadap pengantin pria, wanita, dan juga
keluarganya.

163
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.10:
Akad Nikah

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

Seterusnya adalah dilakukan pembacaan sighat taklik oleh


pengantin lelaki. Dalam ajaran Islam, dalam konteks pernikahan
ini, sighat taklik adalah suatu janji secara tertulis yang
ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi
akad nikah di depan penghulu (kadi), istri, orang tua (wali), saksi-
saksi, dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut.
Sighat taklik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan
sah secara ketentuan hukum dan agama Islam. Adapun janji serta
ucapan yang diucapkan oleh mempelai pria (suami) adalah sebagai
berikut.

164
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Bismillahirrohmanirrohim
Wa aufuu bil-ahdi innal-ahda kaana mas-uulaa
(Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut)

Sesudah akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah
Mempelai Pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya
pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai Wanita) binti (Nama Ayah
Mempelai Wanita) dengan baik (muasyarah bil maruf) menurut syariat
agama Islam.

Selanjutnya saya membaca sighat talik atas istri saya itu sebagai
berikut:
Sewaktu-waktu saya:

1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.


2. Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu
enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada


Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh
pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp.
10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya,
maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada pengadilan tersebut tadi kuasakan untuk menerima uang


iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq.
Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah Sosial.

165
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(Nama Kota), (Tanggal)


Suami,

(Tandatangan)
(Nama Jelas Mempelai Pria)

Sighat taklik ini adalah salah satu aktivitas yang lazim


dilakukan dalam upacara nikah kawin dalam masyarakat Islam di
seluruh dunia, termasuk juga di dalam kebudayaan Melayu. Sighat
taklik ini memiliki dasar hukum Islam, yang salah satunya dapat
kita rujuk dari Kompolasi Hukum Islam (KHI) dan fatwa dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam
pandangan agama Islam. Oleh karena itu, pernikahan bermakna
ibadah kepada Allah Azza Wa Jalla, mengikuti sunnah Rasulullah
SAW. Dalam melangsungkan pernikahan, peraturan dan ketentuan
hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi peraturan
agama Islam harus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya.
Secara yuridis formal, sahnya sebuah perkawinan menurut
Negara Indonesia, adalah tertuang dalam pasal 2 ayat 1 UU
Perkawinan. Di sini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan-
nya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam UU Perkawinan tersebut. Selain itu, setiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
166
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar


pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan umum UU
Perkawinan)
Sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai
pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa
janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang. Pada KHI Pasal 1 huruf
e, sighat taklik ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada
umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta
untuk membacanya.
Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang
demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai
bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya
dalam Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan
setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal
ini membuat mereka tidak mau untuk mengucapkannya. Kalaupun
mengucapkan, itu karena terpaksa. Terkadang, mempelai yang
mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut dengan Pegawai
Pencatat Perkawinan (biasanya dari Kantor Urusan Agama
setempat). Mempelai yang bersangkutan berpendirian perkawinan
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
terpenuhi syarat dan rukunnya. Oleh karena itu, ia tidak harus
melakukan sighat taklik talak tersebut.
Sementara pegawai pencatat perkawinan ataupun pihak
lainnya yang berkepentingan (misalnya keluarga mempelai wanita),
berkeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak.
Mereka tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara
mesti ditegakkan. Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut
terjadi di hadapan tamu undangan pada hari akad nikah. Di satu
pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya bersikeras menolak.
Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal bagi
tamu undangan.

167
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.11:
Doa Selesai Akad Nikah Dipimpin Tuan Kadi

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

Menurut KHI, perjanjian sighat taklik bukan merupakan


keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di
dalam pasal 46 ayat (3), "Perjanjian taklik talak bukan suatu
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali."
Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa perjanjian taklik talak
bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.
Hasil sidang Komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg di Ruang
Rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/
7 September 1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum
dalam sighat taklik talak pada dasarnya telah dipenuhi dan
tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur
168
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

bahwa perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam


setiap perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas jelas bagi kita kedudukan sighat
talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut
bukanlah suatu keharusan (tidak wajib), demikian juga dengan
Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang
tidak mau membaca sighat taklik talak, tak perlu risau. Tidak ada
yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai akad nikah.
Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar segala sesuatu
dibicarakan beberapa hari sebelum akad nikah agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak dinginkan. Demikian untuk dapat dimengerti dan
dipahami oleh para pembaca.
Dalam konteks penelitian di lapangan, pada masa sekarang
ini, sebahagian besar pengantin lelaki membacakan sighat taklik
talak. Apa yang dilakukan ini, biasanya adalah sesuai dengan saran-
saran yang dikemukakan oleh para tuan kadi. Pembacaan ini lebih
banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Di antaranya adalah
memberikan kepastian hak dan kewajiban suami istri dalam
membina rumah tangga, yang dinakhodai oleh sang suami. Jika
tidak dibacakan, mungkin pengantin laki-laki tidak mengetahui apa
saja hak dan kewajibannya sebagai suami. Demikian pula istri.
Apabila acara akad nikah telah selesai, maka tuan kadi
membacakan doa selamat. Berikut adalah contoh dari sepenggal
doa berbahasa Arab, yang dibacakan tuan kadi setelah selesainya
upacara akad nikah.

169
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

170
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

171
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

172
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Selain itu, dalam ajaran dan peradaban Islam, setelah akad


nikah ini, disunnahkan mempelai laki-laki memegang ubun-ubun
mempelai wanita sambil mengucapkan doa berikut.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan


dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku
berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau
tetapkan atas dirinya.

Selepas itu, acara dilanjutkan dengan jamuan makan. Dalam


kebudayaan Melayu biasanya disajikan makanan khas Melayu
seperti: gulai ayam, ikan, nasi lemak, kari kambing, roti jala,
pengat, manisan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada waktu pulang, pihak laki-laki membawa pulut kuning
beserta isinya yang disediakan pihak pengantin wanita. Pulut
kuning ini juga ditempatkan di sebuah tempat yang disebut balai.
Rangkaian berikutnya adalah pada keesokan harinya pihak lelaki
menghantar pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan.

5.3.7 Menghantar Pengantin

Upacara menghantar (mengantar) pengantin ini, dalam


keseluruhan rangkaian upacara adat perkawinan Melayu, terdiri lagi
173
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dari bahagian-bahagian yang lebih kecil. Dimulai dari prosesi


rombongan pengantin lelaki. Kemudian dilanjutkan dengan
hempang batang. Seterusnya adalah hempang pintu, kemudian pijak
batu lagan. Diteruskan dengan pengembang tikar, buka tabir, buka
kipas, tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, acara naik
sembahan, serah terima pengantin, dan mandi bedimbar atau mandi
berhias.
Pada zaman dahulu, tepatnya sejak adanya institusi perkawinan
adat orang Melayu, yang lazim dilakukan adalah setelah pengantin
perempuan duduk di pelaminan, maka dikirimlah utusan ke rumah
pihak pengantin laki-laki untuk memberitahukan bahwa pengantin
perempuan telah siap untuk bersanding di pelaminan. Pada siang
harinya pengantin laki-laki dihantar ke rumah pengantin perempuan
bersama-sama dengan sanak keluarga dan handai taulan.
Pengantin laki-laki berpakaian pengantin lengkap (yaitu
memakai destar di kepala, baju bertabur atau telepuk (kerah kecak
musang, celana panjang, berkain samping untuk menutup
pinggang, memakai keris sebelah kanan pinggang, dan memakai
pending diikatkan di tangan. Ia memegang sebuah tabung perak
berisi beraneka ragam bunga dan daun sirih (yang disebut dengan
sirih genggam). Demikian juga di atas pelaminan, pengantin
perempuan memegang sirih genggam pula. Apabila pengantin laki-
laki telah sampai di tempat pengantin wanita, di atas pelaminan,
kedua sirih genggam ini dipertukarkan, karena sirih genggam
pengantin laki-laki adalah yang dibawa untuk istrinya, sedangkan
sirih genggam pengantin wanita adalah untuk menyambut
suaminya.
Lebih jauh menurut Moehad Sjah, mengikut adat berbusana
dalam kebudayaan Melayu ini, pakaian pengantin terdiri dari unsur-
unsur berikut ini.
(1) Kepiyah atau detar lingkaran selilit kepala, setengah lingkaran
di atas dari kiri ke kanan, yang dihiasi berbagai manik-manik,
dan rantai emping terbuat dari perak atau emas;
(2) Sepasang baju teluk belanga kecak musang, terbuat dari kain
sutera bertabur atau berbunga telepuk, sehelai kain sarung, dan
174
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

sutera bertabur atau berbunga telepuk yang berfungsi menjadi


kain samping;
(3) Sebuah tali penggang lebar berkepala terbuat dari emas atau
perak yang disebut pending;
(4) Sebuah terapang atau keris pandak, yang disipkan di pinggang
sebelah depan agak ke kiri;
(5) Sirih genggam, yang terbuat dari tembaga atau suasa, yang
berbentuk kelongsong dan diisi daun sirih, dipegang dengan
tangan kanan, pada saat naik dan ketika duduk di atas
pelaminan (Moehad Sjah, 2012:28).
Di halaman rumah pengantin perempuan, sebelum sampai ke
atas pelaminan, pengantin laki-laki diapit oleh dua orang anak
kecil (gading-gading) yang nantinya bekerja mengipasi kedua
pengantin. Pengantin laki-laki yang datang, diarak beramai-ramai
dengan aktivitas musikal. Biasanya adalah seni yang disebut
hadrah. Sebuah balai, yaitu bangunan beberapa kotak papan,
semakin ke atas semakin kecil (jumlahnya ganjil), yang berisi
pulut kuning, seekor ayam dipanggang, dan beberapa buah telur
yang dibungkus dan dihiasi oleh kertas (kertas minyak atau manila),
beberapa tepak sirih dan bunga sirih, serta uang yang belum
diberikan yaitu kekurangannya, dibawa oleh anak beru di barisan
bahagian depan. Bahagian depan barisan ini ada beberapa orang
bersilat untuk menjaga-jaga apabila ada sesuatu gangguan terhadap
prosesi tersebut. Pengantin laki-laki di barisan bahagian tengah,
dijulang langsung atau ditandu di atas sebuah kursi—yang
mengangkatnya adalah anak beru pihak pengantin laki-laki. Pada
barisan bahagian belakang, adalah kaum wanita dan bapak-
bapak—berdasarkan persepsi tradisi Melayu mereka harus memakai
pakaian adat Melayu. Kaum wanita memakai baju kebaya panjang,
kain songket, dan selendang. Kaum lelaki memakai baju teluk
belanga, celana (seluar) panjang, dan kain samping serta memakai
peci (tutup kepala).
Di depan pintu masuk pekarangan rumah pengantin wanita,
telah menunggu dan berjaga-jaga beberapa anak beru pihak
pengantin wanita. Selembar kain panjang ataupun seutas tali yang
175
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

berbunga direntangkan mereka, sehingga rombongan pengantin


laki-laki tidak dapat masuk. Kelompok prosesi pihak pengantin
laki-laki berhenti, tidak dapat berjalan masuk, karena ditahan oleh
kelompok pengantin wanita. Peristiwa penahanan prosesi kelom-
pok pengantin laki-laki oleh kelompok pengantin wanita ini, secara
adat disebut dengan gatang-gatang (yang merupakan hak adat
anak beru).

Gambar 5.12:
Pengantin Lelaki Dijulang dalam Ritual
Prosesi Menghantar Pengantin Lelaki Bersanding

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

176
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.13:
Rombongan Pengantin Lelaki Berhenti di Halaman Rumah
Pengantin Perempuan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan


Tarwiyah, 2013.

177
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.14:
Pertunjukan Silat Menyambut Kedatangan
Rombongan Mempelai Lelaki

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Gambar 5.15:
Suasana Hempang Batang

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

178
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.16:
Tukar Tepak di Tengah Halaman

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Gambar 5.17:
Pertunjukan Tari Persembahan di Tengah Halaman

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

179
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Karena rombongan pengantin lelaki ini dihadang oleh pihak


keluarga mempelai perempuan, maka juru telangkai pengantin laki-
laki bertanya secara komunikasi verbal yang estetis sebagai berikut.

Asalamualaikum kami ucapkan,


Kepada tuan orang budiman,
Kami datang berserta rombongan,
Mengapa dihadang kami berjalan?

Telangkai dari pihak pengantin perempuan (pihak menanti) segera


menjawab pertanyaan secara berpantun pula, dengan contoh sebagai
berikut.

Wa’alaikum salam kami ucapkan,


Pada tetamu yang sangat terhormat,
Sesuai istiadat yang jadi dasaran,
Mohon sediakan syaratnya adat.

Tuan-tuan, adat diisi, lembaga dituang. Di mana


ranting dipatah, di situ air disauk, di mana tanah dipijak,
di situ langit dijunjung, siapa melanggar akan dilanggar,
penyelesaian hanya diperoleh jika adat dipenuhi. Sesuai
pantun Melayu,

Ditimbang sudah bersukat-sukat,


Setelah lelah mohon hentikan,
Jika disediakan syaratnya adat,
Hempang batang kami singkirkan

Pihak telangkai pengantin laki-laki bertanya melalui media


puisi tradisional Melayu, yaitu pantun sebagai berikut.

180
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Makan bersama sekotak kuaci,


Dimakan sudah di hari petang,
Apa syaratnya sebagai kunci,
Agar kami tidak dihempang.

Pihak telangkai pengantin perempuan, seketika saja menjawab


pertanyaan dari juru telangkai pihak pengantin lelaki itu sebagai
berikut.

Hormat menantu kepada besan,


Beri lukisan di atas kanvas,
Penghuni kampung menitip pesan,
Tolong berikan si kunci emas.

Maka terjadilah pertengkaran yang “dibuat-buat" dan tawar-


menawar tentang penyelesaian adat. Akhirnya pihak pengantin
laki-laki membayar uang batang-batang (sebagai kunci emas tadi)
sebesar seperempat mahar. Setelah uang batang-batang ini
dipenuhi, maka kain penghalang (dapat juga disebut penghalang
pintu) ini dibuka, dan rombongan pihak pengantin laki-laki
dipersilahkan untuk melanjutkan prosesinya, dengan komunikasi
estetis dari telangkai pihak pengantin perempuan. Contoh pantun itu
adalah sebagai berikut.

Tangkap-tangkap si ikan momah,


Ditangkap nelayan di bibir pantai,
Silahkan masuk ke halaman rumah,
Masih banyak halangan menanti.

181
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.18:
Suasana Hempang Pintu

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Oleh pihak pengantin wanita, di depan pintu pekarangan telah


disediakan tiga orang untuk mengangkat pengantin laki-laki dan
kedua gading-gading sampai ke depan pintu rumah pengantin
wanita, di tempat inilah mereka diturunkan. Di depan pintu telah
menanti pula beberapa impal (anak laki-laki dari saudara ibu
yang laki-laki atau kemanakan). Mereka berhak atas adat hempang
pintu sebanyak seperempat mahar. Sebelum uang adat tersebut
dibayar, pengantin laki-laki tidak dibenarkan masuk—maka
timbullah pertengkaran yang juga "dibuat-buat" atau “direkayasa.”
Pihak impal pengantin wanita (melalui telangkai) berkomunikasi
secara verbal sebagai berikut

Datuk-datuk yang kami muliakan,

Tinggilah terbang burung merpati,


Hinggap sekejap di atas dahan,
Apakah maksud datang kemari,
Adat yang mana tuan bawakan?
182
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Impal larangan menghempang pintu,


Bahu membahu berbanjar-banjar,
Menuntut bahagian adat dahulu,
Rela berkorban kalau dilanggar.

Pihak telangkai yang mewakili pihak pengantin laki-laki pun


menjawab sebagai berikut.

Datuk-datuk yang kami hormati, serta keluarga sekalian yang


kami muliakan,

Tatkala dulu burung terbang,


Panji sudah kita tanamkan,
Orang kini mendapatkannya,
Tatkala dulu kami datang,
Janji sudah kita simpulkan,
Sekarang kami menepatinya.

Wahai ahlil bait yang baik hati,


Menyambut kami datang kemari,
Sangat pula berkenan hati,
Hajat kami datang kemari,
Sesuai mufakat beserta janji,
Menghantar pengantin muda bestari.

183
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.19:
Pijak Batu Lagan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Sudah terkembang payung adat,


Sudah tersusun pulut balai,
Sudah beriring bunga sirih,
Disambut dengan tepung tawar,

maka itu,
Kami datang membawa adat,
Hempang pintu mohon diurai,
184
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Inilah uncang orang yang letih,


Hak impal seperempat mahar.

Pihak telangkai pengantin wanita pun menyambutnya.

Sudah terdinding kain tabir, sudah terbentang langit-


langit, sudah terbentang tikar ciau, sudah berdiri
pelaminan, sudah tersimpuh mempelai putri, hutang adat
telah dibayar, hutang letih ditepung tawar, kain hempang
kami turunkan, silahkan pengantin masuk ke dalam.

Hempang pintu telah dibuka, pengantin laki-laki serta


rombongan masuk ke ruangan tengah, dipimpin oleh anak beru
perempuan pihak pengantin laki-laki. Kaum bapak tidak boleh
masuk, melainkan duduk di ruangan depan. Setelah berada di
ruangan tengah, pengantin laki-laki dan rombongan (terdiri dari
kaum ibu) ditahan lagi—karena belum membayar hutang adat,
yaitu penahanan tabir pendinding pelaminan yang dijaga oleh
anak beru pihak perempuan. Pada saat ini terjadi lagi
"pertengkaran." Apabila pihak pengantin laki-laki membayar uang
adat sebesar seperdelapan mahar, maka dibukalah tabir pendinding
pelaminan.
Setelah itu, pengantin laki-laki memijak batu lagan. Seterusnya
ia menuju pelaminan, tetap antara dua sampai tiga meter kembali
berhenti, karena tikar dan kain belum dibentangkan, untuk menjadi
tempat berjalan pengantin. Tikar tersebut dijaga oleh saudara-
saudara ibu pengantin wanita. Pada saat ini saudara-saudara ibu
pengantin wanita mempunyai hak adat yang disebut kembang
tikar dan pihak pengantin laki-laki harus membayar seperdelapan
mahar lagi. Setelah dibayar, maka tikar pun dikembangkan—dan
pengantin laki-laki dibawa ke pelaminan. Sebelum menginjakkan
tikar, terlebih dahulu menginjakkan sebuah talam sebagai lambang
membersihkan kaki. Setelah itu pengantin tersebut dipersilahkan
duduk pada kursi pelaminan, di sebelah kanan pengantin
perempuan, yang dari semula telah duduk di kursi pelaminan. Pada
185
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

saat ini, wajah pengantin wanita masih ditutupi dengan kipas,


dipegang oleh istri dari saudara laki-laki dari pengantin wanita.

Gambar 5.20:
Suasana Hempang Kipas

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Maka pihak laki-laki dan hadirin yang saling bertanya-tanya,


pertengkaran "berpura-pura" pun terjadi. Pihak pengantin wanita
menyatakan bahwa hak adat yang terakhir belum dipenuhi, yakni
membayar seperdelapan mahar lagi, untuk hak adat hempang kipas.
Setelah mahar diberikan, maka kipas yang menutupi wajah
pengantin wanita dibuka—dan hadirin dapat melihat kedua
pengantin di pelaminan. Sirih genggam kedua pengantin tersebut
ditukarkan. Pada sisi kiri dan kanan pengantin, duduk orang yang
menjaga dan mengatur masing-masing pengantin. Maka bersan-
dinglah kedua mempelai, dikipasi oleh kedua anak gading-gading
dan dilihat beramai-ramai oleh sanak keluarga, tetangga, handai
tolan, dan segenap yang hadir dengan penuh suka cita dalam
konteks budaya.

186
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.21:
Kedua Mempelai Duduk Bersanding di Pelaminan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Di atas tangga pelaminan sebelah bawah terletak sebuah


tepak sirih, yaitu simbol menyambut mereka datang. Balai pulut
yang dibawa oleh pihak pengantin laki-laki diletakkan sejajar
dengan balai pulut pihak perempuan. Kemudian kedua pengantin
ditepungtawari oleh kedua orang tua masing-masing, yang
kemudian disusul oleh para kerabatnya, alim-ulama, tokoh-tokoh
masyarakat, tetangga, dan lain-lainnya, sesuai dengan konteks dan
keadaan para hadirin yang menghadiri acara ini.

187
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.22:
Sembah Istri kepada Suami

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001.

Gambar 5.23:
Sembah kepada Orang Tua

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001.

188
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.24:
Tepung Tawar dan Doa Dari Ayahanda

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001.

Gambar 5.25:
Tepung Tawar dan Doa Dari Ibunda

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001.

189
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.26:
Tepung Tawar dari Kerabat

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Menurut Lah Husni telah menjadi adat kebiasaan pula, bahwa


puak Melayu memakai tampung (tepung) tawar5 pada beberapa
upacara dan kejadian-kejadian penting, seperti perkawinan,
pertunangan, khitanan, seseorang yang kembali dengan selamat
dari suatu perjalanan, terlepas dari marabahaya, atau mendapat
rahmat dari Tuhan di luar dugaannya.6 Menurutnya istilah tepung

5
Dalam penelitian lapangan, diperoleh data kultural, bahwa istilah tepung
tawar ini berasal dari dua kata yaitu tampung dan tawar. Artinya seseorang itu
menampung penawar, berupa doa-doa yang disertai ramuan-ramuan yang
mengandung makna budaya. Istilah tampung tawar ini, lama kelamaan berdasarkan
situasi zaman dan perubahan bahasa menjadi tepung tawar.
6
O.K. Moehad Sjah (2012:41) merinci penggunaan tampung tawar dalam
kebudayaan Melayu itu, ke dalam beberapa konteks kebudayaan. Konteks tersebut
adalah: (1) untuk pengantin pada saat, a. malam berinai, b. bersanding, c. lepas
halangan (jika pengantin perempuan masih perawan); (2) wanita lepas bersalin atau
melahirkan; (3) mencukur anak; (4) anak berkhitan atau sunat Rasul; (5) memasuki
190
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

tawar ini berasal dari kata tampung tawar yang maknanya tangan
menampung penawar (obat).
Susunan tepung tawar yang biasa digunakan oleh masyarakat
Melayu, secara umum terdiri dari tiga bahagian pokok, yaitu
sebagai berikut.
(1) ramuan penabur yang terdiri dari: a. beras putih yang
melambangkan kesuburan; b. beras kuning yang melambang-
kan kemuliaan dan kesungguhan; c. bertih yang melambangkan
perkembangan, d. bunga rampai yang melambangkan keharum-
an nama, e. tepung beras yang melambangkan kebersihan hati;
(2) ramuan rinjisan yang terdiri dari: daun kalinjuhang (silinju-
hang; tangkai dan daun pohon pepulut (sipulut); daun
gandarusa atau daun sitawar; daun jejerun (jerun-jerun); daun
sepenuh; daun sedingin; dan pohon dan akar sembau;
(3) perdupaan yang terdiri dari kemenyan atau setanggi yang
dibakar—yang dapat diartikan doa kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa (Lah Husni, 1977:74-79), oleh sanak keluarga dari
kedua belah pihak, 7 juga tokoh-tokoh adat, dan masyarakat
sekitar.

rumah baru yang ditempati; (6) orang yang akan berjalan jauh; (7) pulang selamat
dari merantau atau perjalanan jauh; (8) permulaan membuka hutan untuk
berladang; (9) permulaan menukal, membuat lubang di tanah untuk menanam
padi, pada tujuh lubang pertama saja: a. kayu penukal dari batang sekapung, b.
tampung tawar pada tanah yang akan ditugal, c. diletakkan air di dalam geluk
(tempurung kelapa); (10) benih padi yang akan ditanam; (11) permulaan mengetam
padi; (12) menyimpan padi dalam lumbung; (13) sembuh dari penyakit yang berat,
dan (14) anak selesai berkelahi dan mengeluarkan darah.
7
Di dalam kebudayaan Melayu Riau (daratan dan kepulauan), istilah tepung
tawar ini lazim disebut dengan tepuk tepung tawar. Menurut Tenas Effendy
(2013), upacara tepuk tepung tawar ini, hakekatnya adalah doa untuk keselamatan
dan kesejahteraan pemberi dan penerima, serta cerminan kesucian hati pihak
penepuk tepung tawar dalam menerima dan melepaskannya dari Bumi Lancang
Kuning (Riau) ini. Menurutnya, berbagai ramuan (alat kelengkapan) yang dibuat,
memiliki makna-makna sebagai berikut: (a) daun setawar melambangkan adat
penawar yang berbisa atau beracun, dan disebut juga membuang segala yang sial,
menolak segala yang merusak, menawar segala perbuatan buruk manusia, jin, dan
setan. (b) Daun sedingin, melambangkan kesabaran, ketenangan, kedamaian,
191
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Acara berikutnya, setelah tepung tawar adalah pemberian


cemetuk dan makan nasi hadap-hadapan—yaitu segala macam
"hiasan" yang dihadapkan kepada kedua pengantin serta hadirin
dari kedua belah pihak yang dihormati atau dituakan. Kesemua
hiasan tersebut terbuat dari makanan. Yang pertama adalah nasi
sulang-sulangan—maksudnya agar kedua pengantin saling tolong-
menolong. Lalu saling memberikan minuman dan keduanya saling
berlomba mengambil hidangan berupa seekor ayam yang telah
dimasak, dimasukkan pada tempat tertentu (kotak) ditimbuni
dengan nasi minyak (lemak), yaitu nasi yang dimasak dengan
santan kelapa). Di atas nasi tersebut dihiasi bunga-bungaan yang
terbuat dari buah-buahan dan sayur-sayuran.

kenyamanan, dan ketenteraman di dalam kehidupan. Disebut juga sebagai


penyejuk hati atau pelapang dada, atau dikatakan supaya yang panas menjadi
dingin, supaya yang marah tidak menyalah. (c) Daun ati-ati, melambangkan sikap
kehati-hatian, waspada, cermat, yang juga lazim disebut supaya bercakap dengan
beradab, berbual dengan akal, berbicara berkira-kira, bergaul secara betul, duduk
pada yang elok, tegak pada yang layak, mencontoh pada yang senonoh, meneladan
pada yang sepadan, meniru pada yang sejudu, memakai pada yang sesuai, supaya
nasehat membawa manfaat, supaya petuah membawa faedah. (d) Daun ganda rusa,
melambangkan obat dari segala penyakit dari luar, yang lazim disebut penolak
bala, sihir, fitnah, hasad, dengki, dan lainnya; sebagai lambang menegakkan tuah
dan marwah. (e) Bedak limau, melambangkan ketulusan dan kebersihan hati dalam
kehidupan pribadi, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Juga dikatakan membuang segala karat dunia. Membersihkan yang lahir,
mensucikan hati, membersihkan yang nampak, mensucikan yang tidak nampak. (f)
Daun percung, wewangian yang melambangkan menjaga nama baik, atau
keharuman nama pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, pengarum
tuah dan marwah, pewangi harkat dan martabat. (g) Beras kunyit, melambangkan
kemurahan rezeki dan melimpahnya rahmat Allah, cerminan kesuburan, rezeki tak
putus, rahmat tak habis. (h) Beras basuh, melambangkan kesucian diri lahir dan
batin, kesucian harta, usaha, pekerjaan, membasuh yang kotor, mensucikan yang
baru, agar rezeki menjadi halal dan bertugas secara ikhlas. (i) Bertih,
melambangkan sikap timbang rasa, toleran, senasib sepenanggungan, seaib semalu,
yakni perpaduan hidup, direndang sama pecah, dibakar sama hangus. (j) Bunga
rampai, melambangkan keberagaman hidup yang penuh kasih sayang, dengan
nama baik, harum, dan semerbak.
192
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.27:
Persembahan Barzanji dan Marhaban
Mengiringi Acara Tepung Tawar

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Lebih rinci lagi Moehad Sjah (2012:42-44) menjelaskan bahwa


selesai acara tampung tawar, bidan pengantin menurunkan kedua
mempelai dari pelaminan. Etikanya kelingking kanan pengantin
perempuan dikaitkan dengan kelingking kiri pengantin lelaki, lalu
berjalan memasuki bilik tempat diselenggarakannya pemberian
cemetuk.
Setelah sampai di bilik, kedua mempelai duduk di atas tilam
berlapiskan tikar ciau. Kemudian pengantin wanita menyembah dan
mencium tangan suaminya. Mempelai lelaki memasangkan sebuah
cincin ke jari istrinya. Cincin ini disebut cemetuk. Keduanya
kemudian dibawa ke ruangan untuk upacara makan nasi hadap-
hadapan.
Dalam kebudayaan Melayu, makan nasi hadap-hadapan (adap-
adapan) ini dimaknai dalam konteksnya sebagai berikut: (a) nasi
minyak di dalam pahar, yaitu santapan raja dengan permaisurinya,

193
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dan sebagai hidangan kehormatan; (b) jambar istimewa di muka


pengantin yang disediakan untuk tetamu terhormat, yang bermakna
sifat dermawan raja, makan enak bukan untuk raja dan kerabatnya
saja tetapi untuk semua orang.

Gambar 5.28:
Berbagai Jenis Makanan yang Disediakan pada Acara
Makan Nasi Hadap-hadapan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Adapun materi nasi adap-adapan ini, adalah sebagi berikut: (1)


sebuah pahar atau dulang penuh berisikan nasi minyak, di dalamnya
dibenamkan seekor ayam masak bulat; (2) sebuah pahar atau dulang
yang berisi penuh dengan pelbagai macam kueh. Di depan kedua
pahar ini dihidangkan jambar berseprah indah berisi lengkap dengan
piring, gelas, makanan, dan lauk-pauk yang istimewa. Di antaranya
dilengkapi pula dengan halua (dari berbagai jenis buah-buahan
194
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

seperti betik, asam gelugur muda, buah kundur, mergat, bunga


betik, cabai, dan lainnya. Demikian pula beberapa buah pinggan
yang berisikan ulam mentah dan masak. Dibentuk menjadi berbagai
macam benda, misalnya betik yang direbus dibentuk seperti burung,
ikan, dan lainnya. Begitu juga lauk-pauk istimewa seperti ikan
sembam, udang galah, ayam panggang, anyang kepah, kepala
kambing, nasi minyak, nasi briyani, kari kambing, pajri terong dan
nenas, dan berbagai buah-buahan.

Gambar 5.29:
Salah Satu Suasana Acara Makan Nasi Hadap-hadapan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

Kedua mempelai disuruh berlomba dengan tertip mencari ayam


masak bulat yang telah dibenamkan di dalam onggokan nasi minyak
tadi. Jika terpegang kaki atau sayap ayam oleh sang lelaki, dapat
ditafsirkan sang suami akan selalu pergi merantau. Makna dari
makan nasi hadap-hadapan ini adalah penghormatan kepada

195
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

semenda. Dihidangkan khusus untuk semenda kaum wanita, ibu-ibu


terhormat di sekitar rumah mempelai wanita tempat ia tinggal.
Acara selanjutnya adalah naik sembahan. Kedua pengantin
diarahkan oleh mak bidan untuk menuju ke ruang tengah. Di bilik
ini telah duduk kedua ibu bapak pengantin dan segenap kerabatnya,
sahabat dan teman-temannya, dan tetamu khusus yang ingin
mengikuti acara ini. Kedua pengantin menyorongkan tepak dan
menyembah kepada ibu dan bapaknya, kemudian nenek dan
atoknya, dan segenap kerabat.
Selepas acara naik sembahan ini, acara berikutnya adalah serah
terima pengantin. Acaranya berupa pihak keluarga mempelai laki-
laki menyerahkan secara resmi pengantin ini kepada pihak keluarga
mempelai perempuan, terutama mertua lelaki dan perempuannya.
Pihak mertua secara resmi menerimanya tinggal bersama di rumah
mereka ini. Selanjutnya rombongan kerabat mempelai laki-laki
pulang ke rumahnya masing-masing, sementara pengantin lelaki
tinggal di rumah mintuanya.
Dalam filsafat adat Melayu, kegiatan-kegiatan dalam rangkaian
adat perkawinan ini merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara
kedua mempelai dan keluarganya—karena pada mulanya mereka
(kedua pengantin) tidak saling kenal. Berbeda dengan zaman
sekarang, umumnya mereka menentukan pilihannya sendiri, dan
saling kenal sebelum beranjak ke jenjang perkawinan.
Acara berikutnya adalah mandi bedimbar atau mandi berhias.
Pada petang hari setelah semua acara selesai, maka kedua mempelai
malakukan acara mandi bedimbar. Kegiatan ini dilakukan di sebuah
tempat yang disebut panca persada di halaman rumah pengantin
perempuan. Di halaman rumah disediakan empat tiang pada area
yang berukuran sekitar 1 ½ kali 2 meter, di tiap sudutnya
dipacakkan tiang tersebut. Tiang itu dihiasi dengan bunga hidup.
Pada setiap sisi ruangan yang terbentuk tersebut dihiasi dengan
daun kelapa muda dan diberi atap dari kain. Menurut Moehad Sjah
(2012:46), panca persada ini dilengkapi dengan Sembilan
perlengkapan (benda-benda) upacara, yaitu sebagai berikut.

196
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

(1) Sebuah pasu besar berisi air dicampur bunga rampai, yang
disebut air taman, leher pasu tersebut dililit dengan daun
kelambir (nyiur) muda yang dianyam dan diberi nama lipan-
lipan.
(2) Sebuah pasu besar berisi air dicampur bunga rampai, irisan
limau mungkur, dan setanggi, dinamakan air ukuf, yang secara
budaya berfungsi untuk menolak bala, leher pasu ini dililit pula
dengan lipan-lipan.
(3) Empat gebuk yang pertama berisi empat batang gumba-gumba,
yang kedua berisi empat batang menyerupai burung, yang
ketiga berisikan empat buah berbentuk bola, dan terakhir berisi
bentuk empat tangga mesjid, tiap leher gebuk dihiasi lipan-
lipan juga.
(4) Dua buah mayang pinang yang masih bulat menyatu,
diletakkan pada dua pasu tadi.
(5) Satu gebuk berisi air doa selamat dan satu gebuk lagi berisi air
tolak bala.
(6) Dua buah kelapa muda dikupas sampai licin tinggal
tempurungnya saja, dan dua butir telur ayam.
(7) Dua batang lilin ditempatkan di dalam baki.
(8) Sebuah pahar berisi perlengkapan tampung tawar dan sebuah
perdupaan.
(9) Sebuah baki berisi alat-alat hias, seperti bedak, celak, dan
minyak wangi.
Prosesnya adalah kedua mempelai didudukkan di atas kursi,
lalu dilingkung di atas bahunya dengan sehelai kain panjang.
Keduanya memakai kain basahan lalu ditepungtawari oleh tiga
perempuan tua. Selanjutnya kedua pengantin tegak berdekatan di
atas sepotong ujung daun pisang, lalu bidang melilitkan tujuh helai
benang bola ke pinggang kedua pengantin seperti dua batang buluh
yang diikat menjadi satu. Kemudian gumba-gumba diambil lalu
disapukan tujuh kali dari kepala sampai ke kaki kedua pengantin.
Selanjutnya masing-masing mulut pengantin diisi air melalui
mayang pinang yang masih utuh, dan setelah masing-masing mulut
mempelai penuh berisi air, mereka saling menyemburkan ke arah
197
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

wajah masing-masing pasangannya, dilakukan selama tiga kali


berurutan. Selepas itu bidan memecahkan mayang pinang di atas
kepala kedua mempelai, setelah pecah maka mak bidan
menyapukannya kepada kedua pengantin mulai dari wajah hingga
ke kaki, kemudian meletakkan telur ke dekat kaki masing-masing,
lalu keduanya memijak telur tersebut sampai pecah. Kemudian, mak
bidan memasang lilin lalu mengelilingkan tujuh kali kepada kedua
pengantin dengan air ukuf, kemudian air taman, dan dimandikanlah
keduanya. Sebagai penutup, mak bidan memandikan pengantin
dengan air tolak bala dan di akhir sekali dengan air doa selamat.
Seterusnya kedua pengantin makan sirih sambil bercermin. Mak
bidan menyolokkan benang tiga untai ke pinggang kedua mempelai,
diikat menjadi satu, ujung benang disimpul mati. Mak bidan
memasang lilin, lalu mengedarkan lilin tadi mengelilingi kedua
pengantin. Kedua bidan berlomba membakar simpulan benang
dengan lilin sampai putus, lalu lilin dihadapkan ke wajah pengantin,
dan dihembus oleh kedua mempelai sampai padam.
Selepas itu kedua pengantin memakai pakaian yang indah,
dibawa naik ke rumah, dan didudukkan di atas sebuah tilam yang
tebal, dan disorongkan sebuah semerip (baki) yang berisikan aneka
macam kue: piring berisi lepat berinti, buah Melaka, dua mangkuk
bubur kacang hijau, piring berisi kueh rasidah, dan piring berisi
kueh cucur.
Keesokan harinya kedua pengantin dihiasi dengan pakaian
pengantin kembali, untuk mengadakan sembah keliling yaitu
untuk memperjumpakan keduanya dengan ayah, bunda, dan kaum
keluarga dari pihak perempuan yang ada di rumah tersebut.
Keduanya pun menyembah dengan bergantian dan memberikan
cemetuk (hadiah) kepada sanak keluarga yang telah membantu
pelaksanaan perkawinannya tersebut. Setelah itu dilanjutkan
dengan acara para kaum kerabat memberikan nasehat-nasehat
kepada kedua pengantin.

198
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.30:
Suasana Mandi Bedimbar

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013.

199
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

5.3.8 Meminjam Pengantin, Memulangkan Pengantin, dan


Membawa Pindah Pengantin Perempuan

Selepas semua kegiatan tersebut di atas, maka giliran


selanjutnya dalam rangkaian adat perkawinan Melayu ini, adalah
apa yang disebut dengan meminjam pengantin. Yang datang
menjemput pengantin, biasanya tiga orang anak beru laki-laki dan
tiga orang anak beru perempuan dari pihak pengantin laki-laki.
Yang menemani pengantin wanita adalah tiga orang keluarganya
pula. Apabila rombongan pengantin sampai ke rumah mertua
pengantin wanita, maka kedua pengantin mencuci kaki di dekat
pintu rumah, dilakukan di atas talam. Lalu pengantin wanita
diperlihatkan beberapa bahan baku makanan yang telah disiapkan
oleh pihak pengantin laki-laki, seperti: asam, garam, beras, dan
lesung batu. Tujuannya adalah pengantin wanita telah menjadi
bahagian dari keluarga pihak pengantin laki-laki dan dipersilahkan
nantinya masak seperti yang dilakukan di rumahnya sendiri.
Pada saat ini salah satu dari keluarga pengantin laki-laki
berkata: "Inilah beras, asam, garam di rumah mertua; kalau datang
sekali lagi, janganlah segan dan malu-malu, masaklah sendiri,
karena ini rumah kamu juga." Kata-kata itu diartikan bahwa
pengantin perempuan harus menganggap sebagai rumahnya sendiri.
Apabila ia ingin memasak atau mengerjakan pekerjaan lainnya
jangan ragu-ragu, sungkan-sungkan, dan malu-malu (Rais, 1983).
Di rumah pihak pengantin laki-laki, kedua pengantin
didudukkan juga di atas pelaminan dan ditepungtawari oleh
keluarga pihak pengantin laki-laki. Setelah itu diadakan sembah
keliling seperti yang dilaksanakan di rumah pihak pengantin wanita.
Setelah tiga malam berada di rumah pengantin laki-laki, dan adat-
istiadat telah dijalani, maka kedua pengantin baru dihantar
kembali pulang ke rumah keluarga pengantin wanita.
Acara berikutnya adalah memulangkan pengantin. Menurut
Gusti (2005:32) sampai pada hari yang sudah dijanjikan, kedua
pengantin dihantar kembali ke rumah orang tua pengantin
perempuan. Keduanya dibekali hidangan serta beberapa buah
200
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

peralatan dapur dan peralatan makan dan minum. Sampai di rumah


pengentin perempuan, maka diserahkan kembali pengantin baru
tersebut kepada kedua orang tua pengantin perempuan oleh para
anak beru yang menghantarkannya dengan menyembahkan setepak
sirih.
Acara berikutnya adalah membawa pindah pengantin
perempuan. Menurut Gusti (2005:33) sesudah beberapa hari
kemudian datanglah anak beru dari pihak pengantin lelaki ke rumah
orang tua pengantin perempuan, sebagai utusan dari kerabat
pengantin lelaki. Tujuannya adalah membicarakan maksud hendak
membawa pindah pengantin perempuan.
Tepat pada hari yang telah ditentukan, maka datanglah utusan
dari orang tua penagntin lelaki menjemput kedua pengantin. Utusan
ini menyorongkan tepak sirih kepada orang tua pengantin
perempuan sambil memohon ijin untuk membawa pindah kedua
pengantin. Selepas saja mendapat ijin, maka dibawa pindahlah
kedua pengantin.
Dengan selesainya adat meminjam pengantin, memulangkan
pengantin, dan membawa pindah pengantin perempuan ini, maka
adat perkawinan telah selesai dikerjakan. Seterusnya tinggal kedua
pengantinlah yang paling menentukan dalam mengarahkan
perjalanan rumah tangganya. Yang penting disadari adalah
perkawinan yang dijalani oleh kedua mempelai pastilah akan
berisikan suka dan duka sekaligus. Dalam adat Melayu, perkawinan
yang dipandang baik adalah perkawinan yang abadi, dalam
membina biduk rumah tangganya. Kekal sampai munculnya
keturunan mereka baik anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
Perkawinan ideal dalam budaya Melayu adalah perkawinan yang
abadi ini. Namun jika di pertengahan jalan biduk rumah tangga
mereka mengalami guncangan, bisa saja karena faktor internal atau
eksternal, maka perceraian pun diperbolehkan. Namun demikian,
dalam ajaran Islam, kegiatan halal yang “dibenci” Allah adalah
perceraian. Namun seorang suami atau istri tidak diperkenankan
bersikap dayus, yaitu membiarkan saja penyelewengan pasangan

201
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

hidupnya, dengan berpura-pura tidak tahu, untuk menyelamatkan


biduk rumah tangga. Perceraian lebih baik dari sikap dayus ini.

Gambar 5.31:
Tengku Syahdan
Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara

Dokumentasi: Muhammad Takari


dan Tarwiyah, 2013.

202
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.32:
Tengku Ismail
Salah Seorang Telangkai Senior Sumatera Utara

Dokumentasi: Muhammad Takari


dan Tarwiyah, 2013.

5.3.9 Malam Pengantin, Kunjungan, dan Hari Megang

Menurut Moehad Sjah (2012:50) pada masa dahulu di


sekitar dasawarsa dua puluhan abad ke-20, masih terjadi hal yang
aneh menurut adat masyarakat Melayu masa sekarang. Ada lima hal
yang “aneh” itu, yaitu sebagai berikut.
(1) Anak dara dipingit, ditempatkan di atas para atau loteng, tidak
boleh sembarangan keluar rumah, jika ada kepentingan harus
keluar bertudung lingkup, atau terselubung kain sarung, yang
tampak hanya kedua mata saja, dan dikawal seorang
perempuan kerabatnya yang telah berusia relatif tua;
(2) Lelaki muda yang hendak kawin, tidak diperkenankan mencari
jodohnya sendiri, harus mengikut pilihan ibu atau kerabatnya;
203
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(3) Banyak pengantin lelaki yang tidak mengerti melakukan coitus


(jimak, persetubuhan), sehingga harus diajari langsung oleh
mak bidan pengantin.
(4) Ayah, ibu, serta kerabat kedua belah pihak menanti dengan
harap-harap cemas apakah telah dilaksanakan jimak, sehingga
tiap hari mak bidan pengantin ditanyai. Oleh karenanya mak
bidan pengantin tidak diperbolehkan pulang sebelum jimak
dilakukan oleh kedua pengantin, dan mak bidan ini berusaha
sekaut mungkin agar hubungan suami istri itu segera
dilakukan.
(5) Jika lebih dari tiga malam keduanya belum melakukan jimak,
maka pengantin lelaki dianggap tidak mampu “melaksanakan
tugasnya.” Namun jika malam pertama sudah dilakukan ia
dikatakan sebagai “lelaki rakus.”
Kesucian seorang gadis sebagai istri dan pendamping, memang
mendapat prioritas utama di kala itu. Jika sang mempelai
perempuan itu adalah gadis yang suci, maka ibu pengantin lelaki
mengirimi sebuah talam yang berisi: 1. tiga buah kelapa yang sudah
dikupas, dan tidak ditebuk, 2. seekor ikan daing (talang) yang besar,
biasanya dalam bentuk ikan kering, 3. sepiring pulut kuning berinti,
dan 4. alat tampung tawar. Ini sebagai ekspresi kegembiraan mereka
sekeluarga karena sang mempelai wanita masih perawan.
Selanjutnmya, pada masa dahulu itu dilakukan juga kunjungan
pengantin baru kepada unsur-unsur sosial berikut ini: (a) raja yang
bertempat tinggal terdekat, (b) datuk yang bertempat tinggal
terdekat, (c) penghulu kampung, dan (d) keluarga-keluarga akrab
ayah dan ibu kedua mempelai. Kunjungan kepada unsur-unsur
sosial tersebut harus berpakaian pengantin lengkap dan diiringi dua
kerabat yang perempuan. Dalam peradaban Melayu, kunjungan
kedua pengantin ini disebut dengan mebat. Orang yang dikunjungi
ini akan memberikan buah tangan kepada kedua pengantin, bisa
berupa hadiah atau cemetuk.
Perlu pula di sini dijelaskan tentang hari megang puasa atau
megang hari raya. Jika kedua calon pengantin masih dalam masa
pertunangan atau sudah dilakukan peminangan, tetapi belum
204
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

dilakukan upacara istiadat perkawinan (akad nikah), dan keduanya


bertemu dengan: (1) hari megang, yaitu sehari sebelum puasa, maka
calon mempelai lelaki mengirimkan daging bantai. Yaitu daging
lembu beserta dengan rempah-rempahnya, ke rumah orang tua
calon mempelai perempuan. Kemudian ibu calon mempelai
perempuan mengirim seperangkat hidangan lengkap ke rumah
keluarga calon mempelai lelaki. (2) hari megang hari raya, maka
calon mempelai lelaki mengirimkan daging bantai dan sepasang
kain baju serta alat perhiasan ke rumah calon mempelai wanita.
Kemudian keluarga calon mempelai wanita mengirimkan balasan
berupa seperangkat hidangan lengkap serta air ukuf ke rumah calon
mempelai lelaki (Moehad Sjah, 2012:54). Demikian aktivitas
malam pengantin, kunjungan kepada unsur sosial pimpinan umat
Melayu, dan hari megang, yang terjadi pada masa-masa awal abad
kedua puluh tersebut, yang berhasil direkam oleh beberapa penulis
budaya Melayu.

5.3.10 Resepsi Perkawinan

Pada masa sekarang ini, sesuai dengan perkembangan zaman,


dalam dimensi ruang dan waktunya, tidak jarang pula, setelah
semua rangkaian upacara adat perkawinan Melayu seperti terurai di
atas dilaksanakan, maka ada satu lagi rangkaian upacara
perkawinan Melayu yang selalu diselenggarakan, yaitu pesta atau
resepsi perkawinan. Acara ini sesuai dengan perkembangan zaman
biasanya dilakukan di rumah kediaman mempelai wanita. Juga
lazim diselenggarakan di hotel-hotel, gedung-gedung yang memang
disewakan untuk kepentingan seperti ini, dan tempat-tempat lain
yang dipandang layak untuk diselenggarakannya resepsi
perkawinan.
Agak berbeda dengan upacara adat seperti diurai di atas, yang
penuh dengan aspek ritual dan religi, maka acara resepsi
perkawinan ini, lebih syarat dengan hiburan, kegembiraan, dan
silaturahmi sosial. Tujuan utama resepsi perkawinan ini adalah
mengumpulkan dengan cara mengundang kerabat, handai tolan,
205
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

teman-teman, dan semua pihak yang memang dipandang perlu


untuk diundang dalam acara dimaksud.
Dalam resepsi perkawinan ini, biasanya terlibat berbagai
pihak, seperti penyedia makanan dan minuman untuk tetamu
undangan, shooting audiovisual, pengambilan foto-foto pernikahan,
sewa tempat perkawinan, sewa penginapan, pembawa acara resepsi
pernikahan, pihak-pihak yang harus berpidato atau memberikan
kata-kata nasehat. Begitu pula biasanya dibentuk panitia yang
disiapkan untuk mengelola resepsi pernikahan ini.
Meskipun acara resepsi perkawinan ini, tidak begitu
menonjolkan aspek ritual dan religi, namun sebagaimana lazimnya
kegiatan di dalam kebudayaan Melayu, tetap saja unsur agama
menjadi akar tunjang utama di sini. Dalam upacara resepsi ini,
biasanya diadakan kata-kata nasehat dari ulama, tokoh-tokoh
masyarakat, juga yang mewakili kedua pihak keluarga besar
pengantin. Kedua pengantin juga didudukkan di pelaminan yang
telah disediakan untuk acara ini.
Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, pada acara
resepsi pernikahan ini, pada masa sekarang lazim oleh para pihak
yang diundang untuk menghadiri upacara tersebut, juga
mengirimkan papan bunga yang isinya adalah ucapan selamat
berbahagia kepada kedua mempelai. Papan-papan bunga ini
merupakan ekspresi dari budaya material masyarakat di kawasan
ini. Semakin banyak papan bunga yang dikirimkan biasanya dapat
dimaknai bahwa kedua pengantin memiliki pergaulan yang luas di
semua strata dan kalangan masyarakat. Budaya pengiriman papan
bunga ini, dalam konteks Sumatera Utara, bukan hanya untuk
resepsi pernikahan dalam kebudayaan Melayu saja, tetapi meluas di
semua kalangan—baik itu agama, etnik, ras, dan lain-lainnya.
Tampaknya budaya papan bunga ini menjadi sebuah kecenderungan
budaya di Sumatera Utara.
Selain dari papan bunga, biasanya dalam konteks acara resepsi
pernikahan ini, selalu pula disediakan tempat berupa kotak yang
dihias, untuk para undangan memberikan sejumlah uang yang
dimasukkan ke dalam amplop dan dimasukkan ke dalamnya.
206
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Tujuan dari kegiatan ini adalah para undangan turut merasakan


kebahagian kedua mempelai dan memberikan hadiah berupa
sejumlah uang kepada keduanya. Ini adalah sebuah kegiatan yang
bersifat kultural di kawasan ini. Selain itu, bagi mereka yang mau
memberikan kado, berupa benda-benda seperti jam dinding, jam
tangan, kipas angin, seprei, kompor masak, gelas, piring, dan
sebagainya juga dapat diberikan kepada panitia yang mengurusinya.
Pihak panitia juga biasanya menyediakan cenderamata kepada
semua undangan yang hadir. Cenderamata ini bisa berupa tas kecil,
pulpen, bingkai foto, lampu kecil, gantungan kunci, dan benda-
benda sejenis. Di dalamnya biasanya diselipkan ucapan terima kasih
dari kedua mempelai bersama keluarga besarnya.
Dalam acara resepsi perkawinan ini, aspek yang paling
menonjol adalah hiburan berupa seni pertunjukan musik dan tarian.
Yang paling sering diadakan adalah pertunjukan musik keyboard,
yang cukup banyak tersedia di kawasan ini. Musik keyboard ini,
biasanya terdiri dari seorang pemain keyboard, dua atau lebih
penyanyi perempuan dan laki-laki, disertai dengan rodes
(mengurusi peralatan dan sound system), dan lain-lainnya. Mereka
akan membawakan lagu-lagu sesuai dengan suasana yang ada,
apakah lagu-lagu pop Melayu, daerah Sumatera Utara, musik
populer Indonesia dan Barat, dan lain-lainnya.
Dalam konteks acara hiburan dalam resepsi perkawinan ini,
ada pula yang menanggap band yang cukup ternama di Sumatera
Utara, atau mendatangkan artis dan band dari Jakarta. Semua ini
tergantung dari keinginan penyelenggara pesta, keuangan, dan
orientasi acara tersebut.
Acara resepsi pernikahan di hotel atau gedung ini, biasanya
dimulai dengan prosesi kedua pengantin beserta kedua keluarga
besarnya menuju pelaminan yang telah ditata sedemikian rupa. Pada
saat masuk ini, lazim juga dipertunjukkan tari Persembahan atau
tari Zapin. Acara ini dipandu oleh juru acara. Selanjutnya kedua
mempelai duduk di kursi di pelaminan. Pengantin pria di sebelah
kanan pengantin perempuan. Ayah dan ibunya mengapit di sisi

207
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

kanan untuk pengantin pria dan di sisi kiri kedua orang tua
pengantin perempuan.
Selanjutnya dilakukan pembacaan doa yang dipimpin oleh
seorang ulama atau ustadz. Seterusnya adalah kata sambutan dari
ulama. Diteruskan dari tokoh masyarakat. Kemudian dilanjutkan
dengan kata sambutan dari yang mewakili keluarga pengantin
perempuan, juga yang mewakili dari keluarga mempelai laki-laki.
Setelah itu, dilakukan upacara tepung tawar dari kedua keluarga
besar. Selepas itu, salam-salaman dari para hadirin yang diundang.
Biasanya selepas salaman diadakan acara foto bersama pengantin
untuk para undangan ini, dari satu undangan ke undangan
berikutnya, tergantung situasi yang ada. Sementara para tetamu
biasanya makan makanan yang telah disediakan oleh panitia
penyelenggara, sambil menikmati hiburan musik atau tarian.

208
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan Gagasan Budaya

Gambar 5.33:
Contoh Foto Suntingan Upacara Resepsi Pernikahan di Medan
Yang Dijadikan Bahan Promosi bagi Fotografer dan
Ahli Shooting Video

Dokumentasi: Muhammad Takari dan


Tarwiyah, 20

209
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 5.34:
Salah Satu Suasana Resepsi Adat Perkawinan Melayu yang
Diselenggarakan di Gedung

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

Gambar 5.35
Busana Pengantin Melayu dalam Gaya Selayar Eropa

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001

210
Bab V: Upacara Adat Perkawinan Melayu sebagai Terapan gagasan Budaya

Gambar 5.36
Papan Bunga pada Resepsi Adat Perkawinan Melayu sebagai
Kecenderungan Budaya Masa Kini

Dokumentasi: Junaidi Maimun dan Lailan Syafinah, 2001.

211
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

BAB VI

FUNGSI PERKAWINAN
6.1 Pengenalan

Semua ide (gagasan), kegiatan, dan benda-benda yang terdapat di


dalam kebudayaan manusia, memilki fungsi-fungsi tersendiri, sesuai
dengan tujuannya. Kegiatan atau aktivitas manusia ini merupakan salah
satu perwujudan kebudayaan, yang di dalamnya juga pastilah terkandung
aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Fungsi-fungsi dari semua kegiatan
yang dilakukan manusia, adalah untuk mendukung sistem sosial yang
telah dibangun bersama, terutama untuk terciptanya konsistensi internal
di dalam sebuah kebudayaan masyarakat. Contohnya para nelayan yang
menangkap ikan di laut. Kegiatan sosial dan budaya ini, fungsinya adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, menafkahi anak dan
istrinya. Dengan menangkap ikan ia akan menjualnya dan menerima uang
dari hasil penjualan tersebut. Selanjutnya uang yang diterimanya
dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan hidup, seperti bahan-bahan
pokok: beras, gula, minyak makan, gas, sayur-mayur, lauk-pauk, garam,
dan seterusnya.
Dengan menafkahi keluarganya, maka akan terjadi harmoni sosial
dan konsistensi internal budaya. Artinya sebuah keluarga yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bahkan secara ekonomis melebihi
kebutuhan hidupnya, maka akan sejahteralah keluarga tersebut.
Dampaknya akan terjadi harmoni sosial, keluarga ini akan mendukung
stabilitas dan ketahanan ekonomi masyarakat, bahkan mungkin akan
memberikan sebahagian hartanya untuk kepentingan orang-orang lain
yang membutuhkannya di dalam masyarakat tersebut. Demikian pula
yang terjadi di dalam adat perkawinan Melayu Sumatera Utara.
Untuk mengkaji fungsi adat perkawinan di dalam kebudayaan
masyarakat Melayu ini digunakan teori fungsionalisme dalam ilmu

212
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

antropologi yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas


teori fungsi itu sebagai berikut.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat
dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus,
sedangkan individu-individu yang ada dapat saja berganti setiap saat.
Oleh karena itu, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut
sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi
adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di
dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai
tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya
secara jelas dan tegas melalui kutipan berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a


partial activity makes of the total activity of which it is a part. The
function of a particular social usage is the contribution of it makes to the
total social life as the functioning of the total social system. Such a view
implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may
speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which
all parts of the social system work together with a sufficient degree of
harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent
conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam kaitannya dengan adat perkawinan dalam kebudayaan Melayu,


maka institusi ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas
masyarakat Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau
konsistensi internal. Adat adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja
untuk mendukung tegaknya budaya Melayu secara keseluruhan. Adapun
secara rinci berbagai fungsi adat perkawinan Melayu ini adalah seperti
yang diurai berikut ini.

6.2 Fungsi untuk Keberlanjutan Generasi Manusia Melayu

Di antara fungsi perkawinan yang paling menonjol di dalam


kebudayaan masyarakat Melayu adalah untuk keberlanjutan (kontinuitas)
generasi manusia Melayu. Dengan digagasnya perkawinan dan
dilaksanakannya istiadat perkawinan Melayu, maka akan memberikan

213
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

fungsi lebih jauh yaitu manusia Melayu akan berlanjut. Karena untuk
mendapatkan keturunan, aspek yang wajib dilakukan adalah
menyelenggarakan adat perkawinan Melayu, dimulai dari merisik,
meminang, jamu sukut, akad nikah, berinai, mengantar pengantin
bersanding, hempang batang, hempang pintu, hempang kipas, bersanding,
sembah orang tua, tepung tawar, marhaban, barzanji, mandi bedimbar,
meminjam pengantin, dan seterusnya.
Dengan melakukan upacara adat perkawinan ini, maka kedua pasang
suami dan istri yang baru ini diabsahkan secara agama dan adat sekaligus.
Keduanya diharapkan dan didoakan semoga akan segera mendapat anak,
dan abadi sampai keturunan-keturunan selanjutnya, yaitu cucu, cicit, dan
seterusnya. Dalam perspektif ini, keluarga baru ini menambah aset
kepada tegaknya generasi Melayu dalam konteks mengisi ruang dan
waktu dari zaman ke zaman. Dengan memiliki anak, maka jumlah umat
Melayu akan bertambah, dan menjadi daya dorong untuk lebih
meningkatkan daya gerak kebudayaan Melayu secara umum.
Dalam perspektif budaya Melayu, anak ini nantinya akan
meneruskan apa yang menjadi cita-cita kedua orang tuanya, yaitu
umumnya berharap dan berdoa agar anaknya ini menjadi manusia yang
berguna bagi agama, nusa, dan bangsanya. Bahkan ketika orang tua
meninggal dunia, maka putuslah semua pahala yang didapatinya di dunia,
kecuali tiga hal yakni: sedekah zariah, ilmu yang diamalkan orang lain,
serta anak yang saleh. Oleh karena itu, harapan setiap orang tua Melayu
adalah mendapatkan anak yang saleh, yang akan dapat memberinya
pahala, dan diterima di sisi Tuhan nanti setelah meninggal dunia. Anak
adalah amanah Allah kepada orang tuanya. Demikian pentingnya institusi
adat perkawinan ini dalam konteks untuk keberlanjutan generasi Melayu.
Institusi adat perkawinan ini pun selaras dengan semboyan Hang Tuah,
“Tak Melayu hilang di bumi.” Artinya kebudayaan Melayu akan terus
tegak di bumi Allah ini, yang salah satunya adalah melalui kontinuitas
dalam regenarasi manusia-manusia Melayu melalui terbinanya keluarga
yang salah satunya diabsahkan melalui perkawinan.

214
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

6.3 Fungsi sebagai Kontinuitas dan Perubahan Budaya

Institusi adat perkawinan dalam konteks kebudayaan Melayu secara


meluas adalah berfungsi untuk kontinuitas dan perubahan kebudayaan.
Artinya melalui adat perkawinan ini, maka kebudayaan Melayu itu akan
kontinu dan berubah dari zaman ke zaman. Dua sisi dimensional ini, yaitu
kontinuitas dan perubahan jelas terjadi. Kontinuitas kebudayaan terjadi
berdasarkan konsep adat sebenar adat, berupa hukum-hukum Allah
terhadap semua ciptaan-Nya, termasuk manusia. Demikian pula
perubahan terjadi menurut konsep adat yang diadatkan, menurut era dan
ruang yang dilaluinya.
Institusi adat perkawinan berfungsi untuk melanjutkan dan
melestarikan kebudayaan Melayu serta tidak lupa mengembangkannya
berdasarkan semua kejadian di dunia ini. Melaui institusi ini, maka
terciptalah generasi-generasi Melayu berikutnya menggantikan generasi-
generasi Melayu sebelumnya. Dengan pergantian generasi ini, maka
terjadi pula estafet dalam pengendalian dan polarisasi kebudayaan.
Generasi penerus ini perlu pula harus diarahkan ke arah yang baik bagi
kebudayaan Melayu. Aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian dalam
hal ini adalah perlunya kebijaksanaan, kearifan, kemandirian, keteguhan,
dan seterusnya dalam merspons segala perubahan.

6.4 Fungsi untuk Menjaga Struktur Kekerabatan

Fungsi perkawinan di mana pun di dunia ini, termasuk di dalam


masyarakat Melayu adalah untuk menjaga struktur kekerabatan.
Perkawinan sebagai suatu ritual suci, bahkan sebagai ibadah, memiliki
kaitan langsung dengan struktur kekerabatan. Tanpa adanya institusi
perkawinan akan kacaulah susunan kekerabatan umat manusia. Tanpa
perkawinan akan musnah struktur kekerabatan yang ditetapkan Tuhan
kepada makhluk manusia.
Pada dasarnya, institusi adat perkawinan adalah menyatukan dua
insan keturunan Adam dan Hawa, dalam sebuah rumah tangga.
Tujuannya amatlah mulia, yakni saling memberikan kasih sayang dan
215
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

cinta yang diabsahkan oleh agama dan adat sekaligus. Selain menyatunya
dua insan ini, maka secara langsung akan menyatu pula dua keluarga
besar, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang membina rumah
tangga tersebut.
Seterusnya di mana pun di dunia ini, dengan terwujudnya sebuah
perkawinan, maka akan diatur tutur atau panggilan kekerabatan, baik
secara vertikal maupun horizontal. Struktur kekerabatan inilah yang
menjadikan manusia secara kelompok, baik kecil maupun besar, menjadi
harmoni. Hidup dalam suasana kekeluargaan. Yang satu menyayangi
yang lainnya, yang muda menghormati yang lebih tua, yang tua
memberikan kasih sayang kepada yang muda sebagai sebuah keluarga
besar. Nilai-nilai kebersamaan sebagai sebuah keluarga besar, sebagai
dampak dari terwujudnya perkawinan ini begitu menonjol.
Melalui institusi adat perkawinan ini, maka pihak-pihak yang
tadinya mungkin berseteru atau berkonflik secara sosial, kini menjadi
damai, karena telah menjadi sebuah keluarga besar. Begitu juga yang
tadinya agak “menjaga jarak” karena berbagai perbedaan, apakah itu
perbedaan budaya, ras, etnik, bahasa, tingkat sosioekonomi, jabatan,
kekuasaan, dan lainnya—kini menjadi tidak berjarak lagi. Bahkan dalam
sebuah keluarga besar, yang memiliki “kelebihan” apa pun memiliki
kewajiban untuk membantu keluarganya yang membutuhkan. Dengan
demikian, institusi adat perkawinan ini sangat berfungsi dalam menjaga
struktur kekerabatan, dan sekaligus menjaga eksistensi setiap individu
dalam sistem sosial masyarakat secara umum.

6.5 Fungsi untuk Pemenuhan Kebutuhan Biologis

Fungsi institusi adat perkawinan lainnya adalah untuk memenuhi


kebutuhan biologis manusia. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia
diciptakan ke dunia ini memang berpasang-pasangan dalam konteks
membentuk rumah tangga. Setiap manusia (yang telah akil baligh)
diberikan Tuhan nafsu (libido seksual), yang harus dikelola dengan
sebaik-baiknya. Berbeda dengan makhluk malaikat, yang tidak diberi
nafsu seperti ini. Oleh karena itu, malaikat secara fitrah akan selalu
beribadah kepada Allah dalam mengisi keseluruhan hidupnya.
216
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Sebagai makhluk yang dianugerahi libido seksual ini, maka dalam


ajaran Islam, dianjurkan hanya ada satu orientasi seksual, yaitu
heteroseksual. Artinya laki-laki secara fitrahnya menyukai perempuan
atau sebaliknya. Jika melanggar ketetapan Allah ini, maka itu termasuk
kepada penyimpangan, baik psikologis, fisik, budaya, sosial, agama, dan
seterusnya. Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan oleh Allah bahwa beberapa
kaum manusia pernah diciptakan oleh Allah ke dunia, namun karena
penyimpangannya dalam orientasi seksual ini, maka Allah kemudian
menghapus kaum tersebut dari dunia ini, dan menggantikannya dengan
kaum yang baru, yang mematuhi hukum Allah tersebut.
Institusi adat perkawinan adalah berfungsi sebagai pengabsah
hubungan biologis antara dua anak manusia. Pengabsahan ini selalu
berdimensi agama dan kebudayaan sekaligus. Dengan melalui institusi
perkawinan ini, maka dua orang yang secara alamiah memang ingin
menyatu dalam biduk rumah tangga, disyahkan, dan diajurkan memenuhi
kebutuhan libidonya dalam polarisasi yang benar, tepat, dan terarah.
Dampak selanjutnya, dengan tersalurnya libido manusia ini, maka
setiap orang yang berumah tangga akan merasakan bahwa dirinya adalah
makhluk sempurna, yang tunduk kepada perintah Tuhan dalam konteks
menjadikan dirinya manusia yang seutuhnya. Berbagai dampak positif
akan ia peroleh melalui “tersalurnya” kebutuhan biologis ini, seperti:
penuh dengan tanggung jawab, memiliki orientasi kuat ke masa depan
untuk menjadi lebih baik, mengasah dan mengaplikasikan sikap toleransi
kepada pasangan hidup dan akhirnya kepada semua orang dan makhluk,
merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari pasangan, dan lain-
lainnya.

6.6 Fungsi sebagai Kesempurnaan sebagai Makhluk Manusia

Fungsi institusi adat perkawinan lainnya adalah bagi mereka yang


telah melaksanakannya adalah merasakan kesempurnaan sebagai
makhluk manusia. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang paling
sempurna yang diciptakan Allah di dunia ini. Manusia sebagai makhluk
sempurna ini, selalu juga disebut sebagai khalifah di muka bumi. Ini
bermakna bahwa manusialah yang wajib menjadi pemimpin bagi semua
217
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

makhluk di muka bumi. Jika manusia rusak, maka akan rusak pulalah
alam ini, karena diakibatkan oleh kepemimpinan yang tersandang pada
setiap manusia. Sebaliknya, jika manusia itu sebagai makhluk yang
sempurna menjadi rahmat kepada seluruh alam, maka akan damai dan
sejahteralah semua yang ada di dunia ini, baik itu lingkungan, hewan,
tumbuhan, alam makrokosmos, alam mikrokosmos, sampai juga
makhluk-makhluk yang berada di alam gaib.
Dengan melakukan perkawinan ini, maka sempurnalah ia sebagai
manusia ciptaan Tuhan. Perkawinan adalah sebagai sebuah anugerah dan
juga takdir yang diturunkan Allah kepada manusia. Maka dengan
melakukan perkawinan, yang diabsahkan oleh agama dan adat, merasa
dan dipandang sempurnalah mereka itu. Bahkan ketika seseorang itu
sebenarnya mampu untuk melakukan perkawinan, baik dari sudut batin,
fisik, harta, kedudukan dan pangkat, dan lainnya yang mendukung, dan ia
dengan sengaja tidak melakukan perkawinan, maka ia dipandang
menyalahi hukum Tuhan. Bahkan dalam Islam, orang yang mampu
melakukan perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, warohmah, dan ia tidak melakukan itu, maka Nabi
Muhammd menyatakan bahwa ia bukan umatnya. Apa maksud dari
sunnah Rasulullah ini adalah bahwa seorang muslim yang taat kepada
perintah Allah (sebagai cara menjadi orang takwa), jika ia mampu untuk
berumah tangga, maka lakukanlah, jangan menghindarinya. Itu adalah
sebagai bagian dari menuju manusia yang sempurna (insan al-kamil).
Namun demikian, bagi setiap muslim yang belum mampu untuk
melakukan pernikahan, baik itu material, fisik, dan spiritualnya, maka ia
dianjurkan untuk melakukan puasa. Inti ajaran puasa ini adalah untuk
mengelola nafsu agar tidak liar dan tak dapat dikendalikan. Seorang
muslim yang baik diajarkan untuk dapat memanajemeni libido yang
dianugerahi Tuhan.

6.7 Fungsi untuk Menghindari Perbuatan Dosa

Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah untuk menghindari


perbuatan dosa. Sebagimana diketahui, setiap manusia diciptakan Tuhan
disertai dengan nafsu seksual. Nafsu ini haruslah dikendalikan dan
218
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

diarahkan ke arah yang benar menurut ajaran Tuhan—bukan dimatikan,


ditiadakan, atau diselewengkan.
Hampir semua agama atau kepercayaan yang ada di dunia ini, tidak
membenarkan perzinahan dilakukan oleh manusia. Perzinahan, seperti
layaknya hewan adalah perbuatan dosa, yang menyimpang dari ajaran
yang telah ditetapkan oleh agama apapun. Dampak dari perzinahan ini,
memang akan menggerus peradaban manusia secara keseluruhan. Bukan
hanya dosa dan dampaknya bagi yang melakukan, tetapi juga struktur
sosial yang telah ada secara harmonis akan terganggu bahkan
ditiadakannya. Perzinahan akan menghasilkan susunan masyarakat yang
tak tentu arah, dan rusaklah turai sosial dan kekerabatan yang telah
dibangun oleh institusi perkawinan.
Oleh karena itu, setiap manusia yang melakukan perkawinan
sebenarnya adalah untuk menghindari perbuatan dosa. Orang yang
melakukan perkawinan akan mendapat ridha Tuhan, serta ketenteraman
hidup bersama pasangannya. Dengan disertai berbagai dampak positif,
baik secara sosial maupun budaya. Dengan melakukan perkawinan, maka
kalau dilakukan di luar perkawinan akan menimbulkan berbagai dampak
negatif, seperti tidak jelasnya status anak, tidak jelasnya status wanita
yang hamil dan melahirkan di luar nikah, dan lainnya, maka di dalam
perkawinan akan menjadi dampak dan energi positif. Kalau dilakukan di
luar perkawinan akan menjadi dosa, maka di dalam perkawinan akan
menjadi pahala. Dalam Islam, hubungan suami istri ini merupakan
ibadah, sedekah kepada pasangan. Bahkan di dalam ajaran Islam, secara
metaforik digambarkan istrimu adalah pakaianmu, demikian pula
suamimu adalah pakaianmu pula. Istri ibarat ladang yang harus perlu
selalu ditanami dengan pepohonan “cinta,” dirawat, diperhatikan
sepanjang waktu, dan akhirnya akan menghasilkan tanaman-tanaman
yang memberikan manfaat dalam keluarga tersebut.

6.8 Fungsi Etika dan Norma-norma Sosial

Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah sebagai ekspresi dari


etika dan norma-norma sosial. Di manapun di dunia ini, setiap kelompok

219
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

manusia memiliki etika (moralitas) dan norma-norma sosial yang menjadi


panduan di dalam menjalani kehidupannya.
Salah satu etika manusia adalah melakukan perkawinan. Manusia
yang yang tidak melakukan perkawinan dengan sengaja yang sebenarnya
ia mampu, maka ia telah menyalahi etika sosial yang berlaku dalam
kelompok masyarakatnya. Demikian juga seseorang yang memiliki rasa
kebersamaan secara sosial, ia akan memperdulikan norma-norma yang
menjadi acuan adat dalam kehidupannya. Di antara norma-norma sosial
manusia yang universal adalah melaksanakan perkawinan ketika ia telah
mampu untuk itu.
Perkawinan adalah sebuah manifestasi dari etika yang dibangun oleh
sekelompok manusia di mana pun di dunia ini. Di dalam perkawinan
terkandung nilai-nilai etika (moralitas). Orang yang beretika adalah orang
yang melakukan perkawinan ketika ia mampu, bukan sebaliknya.
Demikian pula norma-norma sosial ini mengatur bagiamana sebuah
keluarga inti melakukan perkawinan menuju rumah tangga yang bahagia
dan sejahtera.

6.9 Fungsi Ekspresi Hubungan kepada Allah dan Makhluk

Fungsi institusi perkawinan lainnya adalah ekspresi atau


pengejewantahan hubungan manusia yang melaksanakannya kepada
Allah dan juga semua makhluk ciptaaan Allah. Sebagai mahluk ciptaan
Allah, memang dirinya sadar bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan.
Sebagai makhluk ia harus mematuhi segala ajaran-ajaran dan petunjuk-
petunjuk yang datangnya dari Tuhan, sebagai pencipta dirinya. Dalam
membentuk hubungan yang baik ini, maka seorang manusia menuruti
perintah Tuhan, yang salah satunya melakukan perkawinan. Sebagai
makhluk yang memiliki daya berpikir melebihi makhluk-makhluk lain,
maka seorang manusia dapat berpikir bahwa di balik perkawinan ini
banyak fungsi sosial dan budaya yang terkandung di dalamnya. Dengan
melakukan perkawinan, maka seorang manusia itu sebenarnya telah
menjaga hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta dirinya.
Selain kepada Tuhan, perkawinan juga merupakan ekspresi menjaga
hubungan dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Melalui
220
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

perkawinan, maka seorang itu telah melakukan kontak sosial dan budaya
dengan suami atau istrinya. Lebih jauh lagi kepada keluarga besar suami
atau istrinya. Lebih luas lagi, dengan terjalinnya hubungan yang semacam
ini, akan berdampak positif bagi konsistensi internal peradaban manusia
secara keseluruhan. Selain itu, perkawinan juga mendekatkan setiap
manusia dengan lingkungan dan semua makhluk yang ada di dunia ini,
berdasarkan konsep sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, jangan
saling menyakiti, tetapi saling menjaga harmoni. Demikian kira-kira
tafsiran kami terhadap fungsi institusi adat perkawinan dalam semua
kelompok manusia di dunia, termasuk dalam kebudayan Melayu.

221
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

BAB VII

SENI PERTUNJUKAN
DALAM RANGKAIAN
UPACARA PERKAWINAN

7.1 Pengenalan

Masyarakat Melayu pada umumnya adalah masyarakat yang


menjunjung tinggi kesenian, sebagai pemberi ciri utama terhadap
tamadun (peradaban) mereka. Masyarakat Melayu adalah masyarakat
yang mencintai estetika, sesuai ajaran Islam, bahwa Allah itu indah dan
Allah menyukai keindahan. Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan
Tuhan, pastilah setiap manusia juga mencintai keindahan.
Keindahan ini merupakan kebutuhan dalam kehidupan yang
ditempuh manusia. Keindahan tersebut dapat berupa gerak, yang
dihubungkaitkan dengan seni tari. Jika keindahan tersebut diekspresikan
melalui titik, garis, bentuk, warna, komposisi, dan sejenisnya maka
keindahan ini disebut dengan seni rupa. Apabila keindahan tersebut
diekspresikan melalui melodi, harmoni, atau ritme, maka ia disebut
dengan seni musik. Selanjutnya apabila keindahan tersebut diekspresikan
melalui prolog, dialog, epilog, pertunjukan panggung, pencahayaan,
musik, tari, dan lainnya, yang kemudian mendukung sebuah seni
pertunjukan, maka seni ini disebut teater atau drama.
Demikian pula dalam konteks rangkaian adat upacara perkawinan
Melayu, dalam beberapa tahapnya selalu menggunakan seni. Penggunaan
seni ini merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari adat, terutama
dalam konteks adat-istiadat Melayu.
Penggunaan seni itu di antaranya mencakup seni kuliner, seni
arsitektur terutama dalam konteks pelaminan dan hiasan-hiasannya,
222
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

busana (pengantin dan peserta upacara), seni pertunjukan (musik dan


tari), dan lain-lainnya. Penggunaan seni persembahan dalam rangkaian
upacara adat perkawinan Melayu ini dapat diuraikan seperti berikut ini.

7.2 Penggunaan Seni Persembahan

Seni persembahan atau pertunjukan biasanya digunakan dan


berfungsi dalam setiap upacara adat perkawinan Melayu. Di dalam
pertunjukan ini terkandung nilai-nilai budaya. Yang penting pula adalah
memperkuat identitas kebudayaan, terutama adat perkawinan Melayu.
Berbagai seni pertunjukan dilakukan oleh para seniman Melayu di dalam
rangkain upacara adat perkawinan ini. Genre-genre seni pertunjukan
tersebut, ada yang memang hanya dilakukan dalam tahapan upacara
tertentu, tetapi ada pula yang diselenggarakan untuk berbagai acara dalam
rangkaian upacara adat perkawinan Melayu ini. Selengkapnya, berbagai
seni pertunjukan yang digunakan itu dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 7.1:
Kegiatan Upacara dan Seni yang Digunakan

No. Kegiatan Upacara Seni yang Digunakan

1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara);


merisik resmi, dan meminang;
2. menyorong tanda sebagai pengabsahan
3. pertunangan;
4. ikat janji;
5. jamu sukut;
6. berinai;
6.1 berinai curi;
6.2 berinai kecil;
6.3 berinai besar;
6.4 pertunjukan tari dan musik inai; Tari inai dan seni pertunjukan
6.5 hiburan pertunjukan budaya; (hadrah, burdah, zapin,
223
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

ronggeng, dan sejenisnya)


7. akad nikah
7.1 keluarga lelaki,
7.2 keluarga perempuan,
7.3 tuan kadi,
7.4 saksi-saksi akad nikah,
7.5 pelaksanaan akad nikah,
7.6 pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki,
7.7 doa
7.8 barzanji dan marhaban Barzanji dan marhaban
8. menghantar pengantin
8.1 silat tarik Silat dan musik Patam-patam
8.2 hempang batang
8.3 silat laga Silat dan musik Patam-patam
8.4 tukar tepak sirih di halaman
8.5 tukar memayungi pengantin
8.6 perang bertih/ bunga rampai
8.7 Tari Persembahan (Makan Sirih) Tari Persembahan dan Lagu
Makan Sirih
8.8 sepatah kata di halaman
8.9 hempang pintu
8.10 pijak batu lagan
8.11 sembah mertua
8.12 hempang kipas/ pelaminan
8.13 tepung tawar Barzanji dan marhaban
8.14 makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam
8.15 hiburan seni pertunjukan Seni pertunjukan (musik dan
tari)
9. mandi bedimbar/mandi berhias
10. resepsi pernikahan (di rumah atau di hotel) Seni pertunjukan (musik dan
tari)
11. meminjam pengantin Seni pertunjukan (musik dan
tari)

224
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

12. malam bersatu/malam pengantin


13. naik halangan
14. cemetuk kedua dari suami
15. kunjungan pengantin baru
16. hari megang

Seperti terdapat di dalam tabel tersebut, maka dapat diketahui


bahwa berbagai genre seni pertunjukan ada yang digunakan dalam acara
tertentu dan ada pula yang digunakan dalam berbagai acaranya. Seperti
terlihat di atas, bahwa seni tari dan musik inai, digunakan dalam acara
malam berinai. Kemudian barzanji dan marhaban diselenggarakan ketika
selesainya akad nikah dan acara tepung tawar. Begitu juga lagu Rinjis-
rinjis diperdengarkan ketika acara tepung tawar. Di sisi lain, tari
Persembahan dan Lagu Makan Sirih dipertunjukkan ketika acara
menyambut kedatangan pengantin lelaki di tengah halaman rumah.
Seterusnya berbagai seni pertunjukan Melayu, dipertunjukkan dalam
acara-acara yang sifatnya hiburan dalam kerangka upacara adat
perkawinan Melayu. Genre yang dipilih pun bebas, disesuaikan dengan
keinginan tuan rumah dan penyelenggara pesta, juga keuangan yang
tersedia. Di antara genre-genre seni pertunjukan yang dilakukan dalam
konteks hiburan ini, adalah: (1) seni zapin (gambus); (2) seni ronggeng,
(3) Serampang Dua Belas; (4) keyboard Melayu; dan lain-lainnya.

7.3 Seni Tari dan Musik Inai

Menurut Curt Sachs (1963:5) dalam bukunya yang berjudul History


of The Dance mengemukakan bahwa perkembangan tari sebagai seni
yang tinggi telah ada pada zaman prasejarah. Pada awal kebudayaan tari
telah mencapai tingkat kesempurnaan yang belum tercapai oleh seni atau
ilmu pengetahuan lainnya.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari,
ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar, warna, dan seni
sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang

225
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dimana koreografi ini memiliki


ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati
oleh pelakunya dan penontonnya. Dimana di dalam penyajian tarian inai
ini menggunakan gerakan variatif pencak silat khas Melayu.
Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah
terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai
keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki
makna-makna tersendiri. Adapun kata struktur di sini adalah bagian-
bagian yang melengkapi tari inai dalam pertunjukannya saling
berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapan-tahapannya.
Dalam menyajikan seni inai ada dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan dalam penampilannya, yakni unsur seni tari dan musik.
Apabila penampilan seni inai tersebut dilakukan secara terpisah, maka
unsur seni tari tidak dapat disebut sebagai tari inai (dalam konteks
upacara inai dalam perkawinan tradisional Melayu). Sedangkan unsur
musik dapat saja berjalan dengan diiringi gerakan silat.
Kesenian inai ditampilkan khusus pada upacara perkawinan
Melayu Sumatera Timur, di saat pengantin wanita duduk di atas
pelaminan sehari sebelum upacara secara adat dimulai. Pengantin
wanita duduk di atas pelaminan untuk ditepungtawari oleh pihak
orang tua pengantin wanita serta kerabat tetangga yang dituakan.
Upacara malam berinai yang dimeriahkan oleh seni inai, gambus, dan
ronggeng, biasanya hanya dilakukan di rumah pengantin wanita.
Di rumah pengantin pria tidak diadakan keramaian, hanya saja
menurut adat resam, diadakan acara tepung tawar dan dilanjutkan
pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya, oleh teman-
teman dekatnya. Pada upacara malam berinai ini, pengantin pria tidak
dibenarkan hadir di rumah pengantin wanita. Menurut penjelasan para
informan, ini merupakan larangan, karena menurut adat Melayu, jika
larangan tersebut tidak dipatuhi akan mendatangkan marabahaya yang
tidak diinginkan, dan masyarakat setempat akan mencela keluarga pihak
perempuan bahwa si calon pengantin pria tidak mempunyai adat sopan
santun.
Menurut keterangan mereka, malam inai dapat dilakukan selama
tiga malam, yang dibagi menjadi: malam pertama disebut malam inai
226
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

curi, malam kedua inai adat, dan malam ketiga inai besar. Inai curi
berarti pengantin diberi inai oleh teman-temannya sewaktu pengantin
tidur, sehingga tidak ketahuan. Pada malam berinai adat, pengantin
wanita dihiasi, didandani, dan didudukkan di atas pelaminan yang
dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, dan kerabat, untuk ditepungtawari
oleh beberapa orang yang berhak menurut adat. Yang berhak ini adalah
kelurga pengantin wanita, seperti kedua orang tuanya, kakek dan
neneknya, pakcik dan makciknya, pengetua adat, dan yang sejajar
kedudukannya dengan yang disebutkan di atas.
Lalu dilanjutkan dengan penampilan tari inai, gambus, ronggeng,
dan hadrah. Setelah selesai penampilan tari inai, pengantin wanita
diberi inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orang
tuanya, keluarga, teman-teman dekatnya (khususnya wanita). Setelah
acara demi acara ditampilkan, maka pengantin wanita dibawa masuk
ke kamarnya untuk berinai yang sebenarnya, yang juga disebut malam
berinai besar (Rais, 1983:40).
Properti adalah suatu alat atau benda yang dapat dilihat dan
menempati dimensi ruang. Istilah properti sering dipergunakan pada
seni tari. Pada umumnya, dalam suatu tari properti berfungsi sebagai
pelengkap saja, atau juga sebagai alat pendukung gerak tari tersebut.
Properti tersebut sering dipakai sebagai nama atau judul dari sebuah
tari, misalnya properti payung untuk tari payung, properti piring untuk
tari piring, keris untuk tari keris, begitu juga selendang, kipas, lilin, dan
lainnya. Properti yang digunakan pada tari inai Melayu Pesisir Timur
Sumatera Utara, umumnya memakai dua buah piring kecil (misalnya
piring untuk tempat kue) dan di bahagian tengahnya dilengketkan
masing-masing sebatang lilin kecil, di pinggiran piring tersebut
diletakkan daun inai yang telah ditumbuk halus dicampur dengan gambir
dan kapur.
Seorang penari masing-masing memegang dua buah piring untuk
tangan kanan dan kiri. Di dalam kebudayaan Melayu di Sumatera
Utara, properti yang dipergunakan disebut rumah inai. Rumah inai
terbuat dari sebatang kayu kapuk (kabu-kabu), karena kayu ini relatif
ringan, sehingga jika dipegang oleh kedua jari-jari tangan tidak
membutuhkan tenaga yang besar, sehingga mudah pula digerak-gerakkan
227
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(dimainkan). Pada keempat sisi kayu tersebut dilengketkan daun bunga


cempaka (kantil) dan di sela-sela daun tersebut, daun inai yang telah
ditumbuk halus dilekatkan pada rumah inai yang telah dilubangi.
Sedangkan lilin kecil dilengketkan di atas rumah inai (yang telah
dilubangi sesuai dengan besarnya lilin). Dahulu kala (sebelum
kemerdekaan Indonesia) menurut keterangan para narasumber, lilin
dibuat dari sarang lebah yang dibentuk seperti lilin. Pada masa sekarang
ini, dipergunakan lilin, karena mudah didapat. Rumah inai yang terdiri
dari daun cempaka, saat kini sering pula digantikan dengan kertas
manila.

7.3.1 Struktur Tari Inai

Tari inai dalam upacara perkawinan dalam adat Melayu Sumatera


Timur biasanya dipertunjukan pada saat malam hari.Tari ini mengandung
makna religius dan menggambarkan sistem kosmologi Melayu. Gerak-
gerik tarian adalah mengakomodasikan gerak-gerik fauna atau kejadian-
kejadian alam, sesuai dengan konsep budaya Melayu kembali ke alam
semula jadi, dan alam yang terkembang menjadi guru.
Adapun jenis geraknya terbagai ke dalam dua belas macam, sebagai
dijelaskan berikut ini.
(1) Lelo sembah, gerakan ini adalah duduk bersimpuh, torso tegak,
kedua tangan disatukan (sikap sembah), hitungan satu kali
delapan, pada hitungan delapan tangan kanan ditarik dari bawah,
jari-jari tangan kiri lurus ke atas, lalu kedua tangan membuat
gerakan menyilang.
(2) Ular todung membuka lingkar, hitungan satu kali delapan, kedua
tangan dibawa ke kanan, jari-jari tangan kiri ke atas, kanan ke
bawah. Hitungan tujuh dan delapan, tangan kanan dan tangan kiri
disilang dan diputar. Hitungan satu kali delapan, dibawa ke
samping kiri, proses gerakan tangan sama seperti di atas, tetapi
gerakan ini dilakukan di sebelah kiri, hitungan satu kali delapan,
dibawa ke depan dada, hitungan tujuh kali delapan proses gerakan
tangan dilakukan dua kali.

228
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

(3) Ular todung meniti riak, hitungan satu kali delapan, tangan kanan
dibawa ke atas sejajar dengan mata. Hitungan satu kali delapan,
mengambil rumah inai. Pada hitungan satu sampai empat, tangan
kanan mengambil rumah inai dari arah kanan. Hitungan lima
sampai delapan, dibawa ke atas sambil diputar, hitungan satu
kali delapan, dibawa ke samping kanan, dan rumah inai dimainkan
di samping kanan. Hitungan satu kali delapan, dibawa ke samping
kiri dan dimainkan (dengan gerakan tangan). Pada hitungan satu
kali empat, tangan kiri mengambil rumah inai. Hitungan lima
sampai delapan, kedua rumah inai dimainkan ke depan dada.
Hitungan satu kali delapan, rumah inai dibawa ke samping kanan,
lalu dimainkan dengan kedua tangan. Hitungan satu kali delapan,
dibawa lagi ke samping kiri. Hitungan satu kali delapan, rumah
inai dibawa lagi ke depan dada dengan proses yang sama.
(4) Itik bangun dari tidur, hitungan satu kali delapan, lutut kaki kiri
mencecah di lantai (sikap berdiri dengan tumpuan pada lutut),
sedangkan kaki kanan menapak. Hitungan tujuh sampai delapan,
rumah inai dimainkan dengan tangan.
(5) Itik berdiri kaki sebelah dan menggamit langit. Hitungan satu kali
delapan, kaki kiri diangkat, kaki kanan sebagai tumpuan dan arah
badan berputar ke kanan, badan agak rendah, mata melihat ke
atas, sedangkan kedua tangan memegang rumah inai, sambil badan
berputar rumah inai juga dimainkan. Hitungan satu kali delapan,
digerakkan ke arah kiri, gerakan ini dilanjutkan dengan empat
kali delapan hitungan, dengan cara bergantian dan badan dalam
keadaan rendah.
(6) Puting beliung berbalik arah. Hitungan satu kali delapan, kaki
kanan dilangkahkan ke depan, sehingga seluruh badan condong ke
kanan. Lutut kanan ditekuk hingga hitungan tujuh sampai delapan,
rumah inai digerakkan dan badan lurus ke depan. Hitungan satu
kali delapan, badan berbalik ke kiri. Hitungan tujuh sampai
delapan sama dengan gerakan di atas. Hitungan satu kali delapan,
kaki kanan diangkat, sedangkan kaki kiri menapak inai dan
dimainkan. Hitungan satu kali delapan, kaki kanan diletakkan,
lutut ditekuk hingga seluruh badan condong ke kanan. Hitungan
229
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

tujuh sampai delapan sama dengan gerakan di atas. Hitungan satu


kali delapan, badan diputar ke kanan, hitungan tujuh sampai
delapan sama seperti gerakan di atas. Hitungan satu kali delapan,
kaki kanan diangkat, lalu badan berputar ke kanan, kemudian
kaki kanan diletakkan kembali dan digantikan dengan kaki kiri.
Arah badan berputar ke depan, kaki kiri diletakkan kembali.
(7) Bonang solai, hitungan satu kali delapan, langkah maju dan kedua
ujung kaki jinjit, hitungan tujuh sampai delapan menggerak-
kan rumah inai.
(8) Buaya melintang tasik, hitungan dua kali delapan: hitungan satu
kaki kiri menapak, sedangkan kaki kanan diangkat lurus ke
belakang, kaki kiri sebagai tumpuan, lututnya ditekuk, gerakan
dilakukan bergantian.
(9) Olang balega, hitungan satu kali delapan, hitungan satu, kaki kanan
diangkat, tangan kanan dibuka sejajar pinggang, lalu berputar
180 derajat ke arah kanan, kaki kiri sebagai tumpuan, hitungan
delapan kaki kanan menapak sikap kuda-kuda.
(10) Berokik mengisai bulu. Hitungan dua kali delapan: hitungan satu
sampai dua tangan dibuka, sedangkan badan menghadap ke kiri,
hitungan dua berbalik arah ke kanan, tangan kiri dilipat, sedangkan
tangan kanan bersiku, kaki pada hitungan satu masih tetap,
hitungan dua kaki kiri ditarik ke belakang dan begitu seterusnya.
(11) Berokik melintas batas. Hitungan satu kali delapan: pada hitungan
satu sampai empat kaki kanan ditekuk dekat kaki kiri, kaki kiri
sebagai tumpuan, sikap badan agak membungkuk, pada hitungan
kedua kaki berjinjit di atas lantai berjalan seperti berlari-lari kesil
lima sampai enam, dan hitungan tujuh sampai delapan kaki kanan
diangkat kembali, proses gerakan tangan tetap dilakukan.
(12) Sembah akhir. Kaki kiri ditarik ke belakang, lalu lutut dicecahkan
ke lantai. Kaki kiri juga disentuhkan ke lantai, sehingga duduk
bersimpuh, lalu kedua rumah inai dibawa ke samping kanan,
sedangkan badan membungkuk. Hitungan satu kali delapan, bawa
ke depan, lalu rumah inai dimainkan lagi, kedua inai diletakkan
lalu kedua tangan disatukan dengan sikap sembah.

230
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Alat-alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari inai,


biasanya adalah sebagai berikut: (a) dua buah gendang dua sisi yang
berbentuk barel, kadang disebut dengan gendang silat—atau kadang
menggunakan gendang ronggeng, frame drum; (b) sebuah serunai
(shawm) Melayu; (c) sebuah tawak-tawak (hand gong); (d) seperangkat
calempong (canang) yang biasanya terdiri dari dua buah, diletakkan pada
dua utas tali yang diikat secara horizontal pada sebuah rak.
Namun sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman, alat-
alat musik tersebut, kini cenderung digantikan oleh alat-alat musik yang
lebih “kekinian.” Di antaranya adalah: (a) gendang ronggeng, (b) biola
menggantikan serunai, dan (c) tawak-tawak. Adakalanya disertai pula
dengan keyboard.
Pada kebudayaan etnik Melayu, tari inai yang ditampilkan pada
upacara perkawinan di waktu malam berinai merupakan kegiatan yang
penting dalam suatu perkawinan dan pada upacara tersebutlah tari inai
ditampilkan. Gerakan-gerakan tari inai ini, menurut konsep etnosains
Melayu, memiliki makna-makna religius. Gerakannya adalah kombinasi
dari gerakan-gerakan silat.
Selanjutnya menurut penjelasan para informan, gerakan-gerakan tari
inai merupakan gerakan silat memiliki hitungan variatif dan memiliki
makna tersendiri. Gerakannya seolah menggambarkan sebagai lentera
yang selalu menerangi pengantin di sepanjang perjalanannya, dalam
konteks mengharungi hidupnya, dalam bahtera rumah tangga dalam masa
yang tidak lama lagi. Gerakan-gerakan tarian tersebut, dapat dilihat dari
deskripsi secara kinisiologis sebagai berikut.

231
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Tabel 7.2:
Deskripsi Gerak Tari Inai (Dengan Teknik Kinisiologi)
dan Pesan Komunikasi yang Disampaikan

Nbr Ragam Hitungan Deskripsi Gerak Penari Inai Sketsa Komunikasi yang
Gerak Gerak Disampaikan

1. Lelo (2 kali 8) Melakukan sembah,


somba perlunya menghormati
1.1 1 sampai 7 Duduk bersimpuh, torso tegak, manusia, termasuk
kedua tangan disatukan dan manusia yang sedang
dirapatkan. menonton seniman.
1.2 8 Sikap tangan berubah, jari-jari
tangan kanan mengarah ke bawah
sedangkan kiri tetap ke atas.
1.3 1 sampai 8 Tangan kanan diarahkan ke kanan,
kedua tangan membuat proses
menyilang, di depan dada dan posisi
jari tangan di atas.

2. Ular Penari menirukan


todung (5 kali 8) gerak ular todung
Membuka dengan ciri utama
2.1 lingkar 1 sampai 6 Kedua tangan dibawa ke arah kanan, gerakan tangan
badan dicondongkan ke arah kiri. memutar, artinya
adalah bahwa dalam
7 sampai 8 Kedua tangan disilangkan, posisi menyikapi tantangan
badan tetap seperti dfeskripsi di hidup harus berani
atas membuka diri dari
kehidupan pribadi
2.2 1 sampai 8 Kedua tangan melakukan proses menuju kehidupan
gerakan memutar bermasyarakat.
2 kali 8 Proses gerak sama dengan seluruh
numerik 2.1 tetapi arahnya ke kiri
2.3 1 sampai 6 Kedua tangan dibawa ke depan dada
7 sampai 8 Membuat proses gerakan kedua
tangan memutar, gerakan ini
dilakukan dua kali.

232
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

3. Ular (9 kali 8) Setelah diri terbuka,


todung maka jalan seterusnya
Meniti adalah beranikan diri
3.1 riak 1 sampai 6 Tangan kanan dibawa ke atas berjalan di dunia ini
sejajar dengan arah pandang mata dengan segala suka
ke depan. dan dukanya.
3.2 7 sampai 8 Melakukan proses memutar oleh
kedua tangan.
3.3 1 sampai 8 Kedua tangan dibawa ke arah kanan,
dan melakukan proses gerakan
memutar, sedangkan badan
dicondongkan ke kiri.
3.4 1 sampai 4 Tangan kanan mengambil rumah
inai, lalu badan dicondongkan ke
kanan.
3.5 5 sampai 8 Rumah inai dibawa ke atas sejajar
pandangan mata sambil diputar-
putar
3.6 1 sampai 8 Rumah inai dibawa ke samping
kanan dengan proses gerakan
memutar seperti numerik 3.4,
badan dicondongkan ke kiri.
3.7 1 sampai 8 Gerakan sama dengan numerik 3.5
tetapi gerakan ke samping kiri,
badan dicondongkan ke kanan.

3.8 1 sampai 4 Mengambil rumah inai pada tangan


kiri

3.9 5 sampai 8 Kedua rumah inai dibawa


mendekati dada.

3.10 1 sampai 8 Kedua rumah inai kembali dibawa ke


samping kanan, dilakukan proses
gerakan memutar pada kedua
tangan.

3.11
1 sampai 8 Kebalikan numerik 3.9

233
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

1 sampai 8 Dibawa ke dekat dada, juga diputar


oleh kedua tangan.

4. Itik bangun (4 kali 8) Gerakan ini menirukan


dari tidur gerakan itik, yang
memiliki makna dan
4.1 1 sampai 6 Sikap berdiri tertumpu pada lutut pesan bahwa hidup ini
(lutut kiri mencecah lantai, lutut selalu harus sadar
kanan menapak lantai). akan bumi dipijak dan
4.2 langit dijunjung,
7 sampai 8 Melakukan proses memutar pada janganlah sombong
tangan dengan memegang ingatlah di mana
rumahinai di depan dada. manusia berasal.
4.3 1 sampai 8 Melakukan proses gerak yang sama
ke arah samping kanan.

4.4 1 sampai 8 Dilanjutkan ke arah kiri.

4.5 1 sampai 8 Kembali ke arah depan

5. Itik berdiri (2 kali 8) Setelah diri terbuka


kaki maka jalan seterusnya
5.1 sebelah 1 sampai 8 Kaki kiri diangkat, kaki kanan adalah beranikan diri
dan sebagai tumpuan badan berputar ke berjalan di dunia ini
meman- kanan agak rendah, mata melihat ke dengan segala suka
dang atas, kedua tangan melakukan dan dukanya.
langit proses gerakan memutar dengan
memegang kedua rumah inai.

5.2 1 sampai 8 Gerak dilakukan ke arah kiri, dengan


proses gerak yang sama dengan
numerik 5.1
Catatan:
Gerakan ini dilakukan sebanyak
empat kali, yaitu: dua kali ke kanan,
dua kali ke kiri secara bergantian,
sikap badan tetap membentuk kuda-
kuda.
234
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

6. Puting (4 kali 8) Pesan yang ingin


beliung disampaikan bahwa
berbalik angin puting beliung
6.1 arah 1 sampai 6 Kaki kanan melangkah ke depan, memiliki kekuatan
sikap badan condong ke depan, arah dahsyat dan manusia
menghadap ke kanan, lutut kanan sebagai khalifah di
ditekuk, kaki kiri lurus. muka bumi harus
mampu merekayasa
7 sampai 8 Sikap statis, hanya kedua tangan peristiwa yang
membuat proses gerakan memutar. diciptakan Allah.

6.2 1 sampai 4 Sikap badan tegak kembali dan kaki


kiri ke depan.
6.3 5 sampai 8 Badan berbalik ke kiri, sehingga
condong badan ke depan hadap kiri,
dan tangan melakukan proses
gerakan memutar.
2 kali 8 Gerakan ini dilakukan bergantian,
hanya arah hadap bertukar ke
belakang, dan pada gerak yang
terakhir kembali ke arah depan.

7. Bonang (1 kali 8)
solai
7.1 1 sampai 6 Melangkah maju ke depan dengan Pesan yang ingin
kaki berjinjit. disampaikan adalah
merajut berbagai-bagai
7.2 7 sampai 8 Menggerakkan rumah inai dengan nilai-nilai persatua
proses memutar dengan posisi kaki dalam masyarakat.
kiri diangkat, kaki kanan sebagai
tumpuan

8. Buaya (2 kali 8)
melin-tang
8.1 tasik 1 sampai 2 Posisi kaki kiri menapak, Pesan yang akan
disampaikan,
3 sampai 6 Kaki kanan diangkat lurus ke berkorbanlah sekali-
belakang, berat badan bertumpu sekala untuk orang
pada kaki kiri. yang memerlukan
pertolongan.
8.2 7 sampai 8 Lutut kiri agak ditekuk, kedua
tangan melakukan proses gerakan
memutar.

235
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gerakan ini dilakukan bergantian


8.3 1 kali 8 kanan dan kiri, dengan gerakan
maju.

9. Elang (1 kali 8)
balega
9.1 1 sampai 6 Kaki kanan diangkat, kaki kiri Pesan budaya yang
sebagai tumpuan, kedua tangan hendak disampaikan
merentang sejajar pinggang, lalu adalah bergerak
9.2 berputar 180 darjah ke arah kanan. seperti burung elang
yang sedang terbang di
udara, mengisyaratkan
bebas dan penuh
perhatian.
7 sampai 8 Kedua kaki menapak dengan sikap
kuda-kuda, kaki terbuka 90 darjah
dengan tangan membuat gerakan
bersilang.

10 Berokik (2 kali 8)
mengi-sai
bulu 1 sampai 4 Kedua tangan terbuka sejajar Pesannya menirukan
10.1 pinggang ke arah kiri, kaki gerak elang terbang
membentuk posisi kuda-kuda. yang bermakna awas
terhadap alam dengan
10.2 5 sampai 8 Badan membalik ke arah kanan, memperhatikan
posisi kaki kiri lurus ke belakang, sekeliling persekitara.
kaki kanan agak direndahkan
(tumpuan pada kaki kanan) posisi
tangan membentuk siku-siku
dilanjutkan dengan proses
memutar.
1 kali 8 Gerak ini berupa gerakan mundur
bergantian kanan dan kiri sebanyak
empat kali.

11 Berokik (2 kali 8)
melintas
batas
11.1 1 sampai 4 Kaki kanan ditekuk dekat ke kiri, Pesannya masih teap
tumpuan pada kaki kiri, badan agak mimesis gerakan
mermbungkuk. elang, dan menembusi
batas biasa ia terbang,
5 sampai 6 Gerak berlari kecil dengan kaki artinya selalu

236
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

berjinjit. menjelajahi sesuatu


yang baru dalam
11.2 7 sampai 8 Kaki kanan diangkat kembali dengan kehidupan ini.
membuat proses gerakan tangan
menyilang.
1 kali 8 Dilakukan sebanyak dua kali.

12 Sem-bah (5 kali 8)
akhir
1 sampai 4 Kaki kiri ditarik ke belakang, lutut Memberi hormat
12.1 dicecahkan ke lantai. kepada semua makhluk
da persekitaran, di
12.2 5 sampai 8 Dilanjutkan menarik kaki kanan, mana kita menjadi
sehingga duduk bersimpuh, sikap bahagian darinya.
badan agak membungkuk.

1 sampai 8 Dibawa ke samping kanan dengan


12.3 membuat proses gerakan memutar
pada tangan.

12.4 1 sampai 8 Dibawa ke samping kiri dengan


proses yang sama dengan gerakan
pada numerik 12.3.

1 sampai 8 Dibawa ke arah depan dengan


12.5 proses gerakan tangan yang sama.

12.6 1 sampai 8 Kedua properti rumah inai


diletakkan di atas lantai dan
dan kemudian kedua tangan disatukan,
membentuk sikap sembah.
12.7

Diolah dari Linda Asmita, 1994.

237
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

7.3.2 Penari Inai

Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tari inai ini,


karena penari yang akan mempertunjukan tarian tersebut. Penari menjadi
pusat perhatian penonton, sehingga diperlukan penari yang memiliki
kecakapan dan kemampuan menarikan tari inai tersebut di pelataran
depan pelaminan pengantin.

Gambar 7.1
Penari Inai dan Busananya

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

238
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Dalam penyajian tari inai pada masyarakat Melayu pada konteks


upacara adat perkawinan biasanya harus menggunakan penari laki-laki
berjumlah genap atau berpasangan misalnya 2 penari, 4 penari, ataupun 6
penari. Alasannya adalah jika lilin salah satu penari mati maka penari
yang lainnya memberikan api agar lilin tersebut dapat menyala lagi.
Diawali dari posisi depan, sebelum memulai tarian dilakukan
penghormatan kepada pengantin dan para tamu, yang kemudian
dilanjutkan dengan melakukan gerakan silat yang bersifat refleks dan
saling berlawanan (saling mengisi gerakan dan ruangan yang kosong
antara penari yang satu dengan penari yang lainnya. Namun dalam
penyajian tari inai yang penulis dapatkan di lapangan penari berjumlah
dua orang dan menampilkan secara bergilir. Struktur penyajiannya
diawali dari posisi depan juga sebelum memulai tarian dilakukann
penghormatan kepada pengantin dan para tamu.
Pemilihan penari inai yang penulis dapatkan di lapangan merupakan
anggota dari Sanggar Pusaka Serumpun Binjai Bakung, Pantai Labu. Para
penari yang dipilih mempunyai waktu akan berlatih lagi untuk
mempelajari sebelum hari pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari
secara bergantian menghadap pengantin.

7.3.3 Busana dan Properti Tari Inai

Pakaian merupakan bahan pelengkap kebutuhan manusia yang


berfungsi untuk melindungi tubuh manusia dari keadaan panas maupun
dingin. Pakain yang dimaksud bukanlah pakaian sehari-hari, melainkan
pakaian yang khusus untuk kepentingan upacara. Kostum yang dipakai
penari dan pemusik pada upacara inai, biasanya memakai kostum
pesilat, berwarna hitam atau warna lainnya. Biasanya pakaian antara
penari dan pemusik dibedakan oleh warnanya saja.
Pakaian yang dipakai oleh penari dan pemusik inai terdiri dari:
(1) Baju gunting Cina dengan celana (seluar) yang longgar; (2) destar
yaitu kain yang dilapisi kain kertas yang dihiasi manik-manik, diikatkan
di kepala penari; (3) sesamping yaitu kain sarung (seperti songket atau
pelekat) yang diikatkan di pinggang—dapat dibentuk segitiga atau
239
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

sejajar, tepatnya di atas lutut (tidak sampai mata kaki). Bahan yang
dipilih jenis kain satin yang lembut dan mengkilat, agar memperlancar
gerakan-gerakan penari dan pemusiknya. Untuk penari, warna yang
dipilih lebih "menyala" dibanding warna pakaian pemusiknya. Misalnya
merah, kuning, hijau, dan sebagainya, disesuaikan dengan kehendak
penari, pemusik, dan kelompoknya.

7.3.4 Inai

Inai adalah tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki


daun yang lebat dan berukuran relatif kecil. Daun yang telah tua ditandai
dengan adanya bintik-bintik hitam yang terdapat pada daun tersebut, daun
yang tua itulah yang digiling halus dicampur dengan gambir dan kapur
dan dibubuhkan pada kuku atau kulit sehingga menghasilkan warna
kemerah-merahan. Pemakaian inai pada upacara perkawinan memiliki
pengaruh dari Arab, karena inai dipercaya dapat menangkal roh jahat dan
sebagai obat untuk luka dikulit, tetapi seiring berkembangnya pengetahu-
an masyrakat, sekarang inai digunakan dalam masyarakat Melayu sebagai
tanda sudah menikah. Jadi, properti yang digunakan penari pada acara
malam berinai adalah 2 buah lilin, 2 buah piring dan inai secukupnya,
lilin di tegakkan di atas piring kemudian pinggiran lilin dikelilingkan inai
yang sudah digiling halus.

Gambar 7.2
Lilin dan Inai sebagai Properti Tari

Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013

240
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.3
Para Pemusik Iringan Tari Inai
(Pemian Gendang Ronggeng dan Biola)

Dokumentasi: Syarifah Aini, 2013

241
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 7.4
Ensambel Musik Inai Tradisional

Gambar tangan: Muhammad Takari, 2014

7.3.5 Alat-alat Musik

Alat musik Melayau dapat dikelompokkan menurut pendapat Curt


Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu: (1) idiofon penggetar utamanya
badannya sendiri, (2) membranofon, penggetar utamanya membran, (3)
kordofon, penggetar utamanya senar, dan (4) aerofon penggetar utamanya
adalah melalui udara. Alat musik Melayu pengiring tari inai adalah
sebuah biola dan gendang ronggeng, berikut penjelasannya.
Biola adalah sebuah alat musik yang tergolong ke dalam klasifikasi
kordofon (bersenar) yang dimainkan dengan cara digesek. Biola memiliki
empat senar (G-D-A-E) yang dilaras berbeda satu sama lain dengan
interval sempurna kelima. Nada yang paling rendah adalah G. Tanda klef
untuk biola selalu menggunakan atau ditulis pada kunci G. Sebuah nama
yang lazim dipakai untuk biola ialah fiddle, dan biola seringkali
242
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

disebut fiddle jika digunakan untuk memainkan lagu-lagu tradisional. Di


sisi lain, gendang ronggeng terbuat dari kulit kambing dan kayu (kelapa,
nangka, mahoni), termasuk ke dalam klasifikasi membranofon dan
dimainkan dengan cara dipukul dengan kedua telapak tangan pemainnya,
sehingga penghasil utama bunyi adalah membran.

Gambar 7.5
Ensambel Musik Inai Masa Kini

Gambar tangan: Muhammad Takari, 2014

243
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 7.6
Taksonomi Gendang Ronggeng yang Biasa dipakai
Mengiring Tari Ronggeng dan Inai

Dokumentasi dan gambar tangan: Muhammad Takari, 1997

Pada masa-masa awal perkembangan ensambel musik inai, alat


musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi utama adalah serunai,
sebagai pembawa fungtuatis ritmik adalah gendang Melayu (gendang
ronggeng) atau gendang silat. Dilihat dari rentak musik yang
dipergunakan, berdasarkan informasi yang diperoleh adalah irama patam-
patam, yang juga terdapat di daerah Karo. Irama musik ini juga disebut
dengan paporangan (untuk berperang). Lagunya disebut dengan Lagu
Inai atau Paporangan Selapis, secara konseptual berarti lagu dan tari
peperangan yang dilakukan oleh seorang penyaji. Lagu peperangan ini
adalah bertujuan memerangi makhluk-makhluk halus yang hendak
mengganggu jalannya upacara perkawinan, khususnya pada ritual malam
berinai.
244
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.7
Motif Tumbuhan pada Baluh Luar Gendang
Khas Buatan Yusuf Wibisono di Medan

Dokumentasi: Muhammad Takari, 1997

7.3.6 Struktur Musik

Menurut Nettl (1964:98) ada dua pendekatan berkenaan dengan


pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan
menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai
cara ke atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Dari dua hal di atas untuk memvisualisasikan musik iringan tari
Inai, penulis melakukan transkripsi agar lebih muda menganalisisnya
terutama tangga nada, motif, kadensa, dan lain-lain. Sehingga dengan
demikian diharapkan dapat membantu kita untuk mengkomunikasikan
kepada pihak lain tentang apa yang kita pikirkan dari apa yang kita
dengar. Dalam pentranskripsian, penulis menggunakan notasi Barat untuk
memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar. Sebagaimana dikatakan
oleh Nettl (1964:94) yang mengutip pendapat Seegers tentang penulisan
notasi musik bahwa notasi musik terdiri dari dua bagian yaitu notasi
deskriptif dan notasi preskriptif.

245
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 7.8
Struktur Gendang Ronggeng

Diolah dari Fadlin, 1988

246
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.9
Biola

Sumber: www.concertgoersguide.org

247
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Gambar 7.10
Tawak-tawak atau Gong
Untuk Mengiringi Tai Inai

Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997

248
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.11
Struktur Tawak-tawak atau Gong

Gambar tangan: Muhammad Takari, 1997

249
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Lebih lanjut dikatakan bahwa notasi deskriptif ialah notasi yang


menggambarkan secara terperinci aspek-aspek musikal yang terdapat
pada musik. Sedangkan notasi preskriptif hanya menuliskan bagian-
bagian yang dianggap menonjol dalam suatu musik tanpa harus
menuliskan secara lengkap hal-hal yang ada dalam musik. Oleh karena
itu, dalam buku ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yaitu
notasi deskriptif. Salah satu dari notasi deskriptif adalah penggunaan
notasi balok. Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap secara
efektif dalam pentranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada,
simbol-simbol nada pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain.
Alasan dalam hal ini karena notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang
terdapat dalam musik iringan tarian ini, dan juga sering digunakan dalam
penulisan suatu musik.
Musik dalam pertunjukan tari inai pada perkawinan masyarakat
Melayu di Sumatera Utara adalah sebagai musik pengiring dengan
memakai alat musik biola dan gendang ronggeng sebagai tempo.
Keberadaan musik iringan dalam tari Inai merupakan hal yang berkaitan,
dan tak dapat dipisahkan. Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan
untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian
ragam dan pola-pola gerakan yang ada.

7.3.6.1 Rentak Patam-patam

Rentak mak inang dan rentak patam-patam di dalam tulisan ini


didiskusikan secara bersamaan, karena pada prinsipnya pola ritme kedua
rentak ini adalah sama. Bila dibandingkan antara keduanya dengan rentak
senandung, maka pola ritmenya jauh lebih sederhana. Pola ritme rentak
mak inang terdiri dari empat buah not bernilai seperempat yang
digantungi oleh empat onomatopeik (tung, tak, ding, dang), yang terdapat
di dalam permainan gendang Melayu. Keempat onomatopeik bunyi ini
dimainkan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memberikan
respons sebagai peningkah saja. Sekalipun kedua rentak ini pola ritmenya
yang sama, namun masing-masing mempunyai pendekatan berbeda. Pola
rentak patam-patam merupakan kelipatan pola ritmis mak inang

250
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

sedangkan tempo keduanya relatif sama, yaitu antara delapan puluh


sampai dengan seratus enam puluh ketukan setiap menit. Jenis meter
adalah empat untuk mak inang dan dua untuk patam-patam.
Motif dasar dari rentak mak inang hanya merupakan kumpulan
empat buah not seperempat ( ) yang masing-masing diisi oleh
onomatopeik tung, tak, ding, dang. Keadaan ini berlaku terus berulang-
ulang sepanjang lagu. Aksentuasi terletak pada hitungan satu dan empat,
sedangkan pada pola ritme rentak patam-patam terletak pada hitungan
satu dan ketukan atas (anacrusik) hitungan dua, dengan jenis bunyi tung
dan dang. Jenis meter yang terdepat di dalam rentak mak inang adalah
empat. Sedangkan jenis meter pada rentak patam-patam adalah dua. Hal
ini ditentukan dengen jatuhnya suara gong, yaitu jatuh pada ketukan
pertama.
Untuk menghidupkan bunyi rentak mak inang atau rentak patam-
patam, tangan kiri pemain ikut meningkahi pola dasar ini dengan cara
menempatkan pukulan-pukulannya pada ketukan atas setiap ketukan.
Onomatopeik yang dihasilkan oleh tangan kiri ini dapat bervariasi. Akan
tetapi menurut kebiasaannya menggunakan onomatopeik ka, ke, gen, dan
ngen. Kerjasama antara tangan kanan dan tangan kiri dalam
menghasilkan pola ritme mak inang dan patam-patam dapat diperhatikan
pada Notasi 7.1 dan 7.2, sedangkan dasar pola ritmenya dapat dilihat
pada Bagan 7.1.

Notasi 7.1:
Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang

251
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.2:
Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan
pada Pola Rentak Mak Inang

Keterangan:
kn: kanan (tangan kanan)
kr: kiri (tangan kiri)

Variasi-variasi yang selalu muncul pada pola ritme ini adalah


singkopasi-singkopasi (sincopation) yang terjadi pada ketukan dalam
hitungan tiga dan empat, yaitu diletakkan pada ketukan atasnya dengan
menggunakan onomatopeik dang yang diberi aksen kuat (forte).
Sementara ketukan pada hitungan dua, onomatopeiknya diganti dari ding
menjadi dang. Variasi-variasi ini adalah variasi yang sangat umum di
dalam rentak mak inang. Kadang-kadang variasi ini dipanjangkan dua
kali. Akan tetapi di dalam birama kedua suara dang dimajukan ke
ketukan kedua, sehingga suara terjadi lima kali.
Dari uraian di atas pola ritme rentak mak inang dan rentak patam-
patam dapat diringkaskan sebagai berikut:

252
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Bagan 7.1:
Struktur Rentak Mak Inang

253
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.3:
Variasi Rentak Mak Inang

Notasi 7.4:
Pola Dasar Ritme Rentak Patam-patam

254
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

7.3.6.2 Melodi Patam-patam

Pada dasarnya melodi lagu Patam-patam yang lazim digunakan


untuk mengiringi tari inai adalah juga selalu digunakan untuk mengiringi
silat dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Melodi lagu ini, berciri
khas musik Melayu. Di antaranya adalah berorientasi melodis satu suara,
disertai dengan gerenek, cengkok, dan patah lagu. Melodi ini cenderung
diulang-ulang dan disesuaikan dengan konteks mengiringi pertunjukan
tari inai. Selengkapnya melodi patam-patam itu, yang dibawakan biola,
dan disertai dengan iringan ritme gendang Melayu adalah seperti contoh
berikut ini.

255
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.5:
Patam-patam
Pentranskripsi: Syarifah Aini
dan Kiki Alpinsyah

256
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Seperti telihat dalam hasil transkripsi di atas, lagu Patam-


patam ini dibentuk oleh tangga nada tujuh nada (heptatonik).
Tangga nadanya tersdiri dari rangkaian nada-nada: E-Fis-G-A-B-C-
D, yang dapat digambarkan dalam notasi berikut ini.

Notasi 7.6:
Tangga Nada Lagu Patam-patam

7.4 Seni Zapin atau Gambus

Selain seni inai, dalam malam berinai ini juga kadang


dipersembahkan seni zapin atau seni gambus. Seni zapin seperti
dimahfumi bersama adalah seni Islamik yang amat populer dalam
kehidupan budaya orang Melayu. Dalam konteks negara bangsa,
Malaysia menentapkan seni zapin ini sebagai kesenian nasionalnya.
Bahkan Negeri Johor menganggap dan memandang zapin sebagai
identitas kawasannya. Kerajaan Johor begitu aktif membina,
melestarikan, dan mengembangkan seni zapin.
Menurut sejarah seni, zapin berasal daripada kawasan Yaman di
Semenanjung Arabia. Kesenian ini memang digunakan sebagai seni
hiburan saat diadakannya pesta perkawinan di kawasan tersebut.
Kemudian seiring dengan perkembangan Islam ke Asia Tenggara, maka
kesenian zapin ini dibawa serta. Di Nusantara ini seni zapin juga
mengalami perkembangan-perkembangan menurut kawasan-kawasan. Di
kawasan Dunia Melayu dikenali pula zapin Arab dan zapin Melayu.
Biasanya zapin Arab adalah zapin yang gerak, musik pengiring asli dari
Semenanjung Arabia. Sementara zapin Melayu adalah zapin yang telah
digarap menurut estetika orang-orang Melayu, dengan ciri khas gerakan
257
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

tangan dan badan yang khas Melayu seperti: melayang, mendayung,


genggam tak sudah, dan seterusnya. Musik yang digunakan juga sudah
dikembangkan dengan lagu-lagu berbasis Melayu. Di dalam Dunia
Melayu zapin yang khas Melayu juga tercipta, misalnya Zapin Anak
Ayam, Zapin Bunga Hutan, Zapin Kasih dan Budi, Zapin Serdang, Zapin
Deli, Zapin Menjelang Maghrib, Zapin Sulalah, Zapin Persebatian,
Zapin Bulan Mengambang, dan sebagainya.
Bahkan pengucapan kata zapin pun kemudian berubah pula.
Misalnya ada yang menyebutnya jepin, japin, dana, bedana, dan
marawis. Namun struktur dan fungsinya hampir sama saja. Namun
bagaimana pun, masyarakat Nusantara juga memandang bahwa zapin
adalah seni Islam, yang memuat unsur-unsur dan ajaran-ajaran Islam.
Contoh lagu zapin yang amat terkenal di Sumatera Utara yang digunakan
untuk mengiringi upacara inau atau digunakan pula saat pesta pernikahan
(walimatul ursy). Zapin ini disebut dengan Bulan Mengambang di
kawasan Melayu Deli dan Serdang.
Secara etimologis, kata zapin berasal dari Bahasa Arab, yang
memiliki berbagai makna. Kata zapin sendiri berkaitan dengan kata-kata
turunan seperti zafa, zaffa, zafana, zaffan, dan lain-lainnya. Kalau
ditelisik lebih jauh, memang kesemua kata itu dalam bahasa Arab
memiliki hubungan dengan kata tari dalam bahasa Melayu. Namun
sebelum dibedah maknanya, alangkah baik kita lihat dahulu apa arti zapin
dalam wikipedia Indonesia.

Zapin berasal dari bahasa Arab yaitu kata "Zafn" yang mempunyai
arti pergerakan kaki cepat mengikut rentak pukulan. Zapin merupakan
khasanah tarian rumpun Melayu yang mendapat pengaruh dari Arab.
Tarian tradisional ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur,
digunakan sebagai media dakwah Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin
yang didendangkan. Musik pengiringnya terdiri dari dua alat yang utama
yaitu alat musik petik gambus dan tiga buah alat musik tabuh gendang
kecil yang disebut marwas. Sebelum tahun 1960, zapin hanya ditarikan
oleh penari laki-laki namun kini sudah biasa ditarikan oleh penari
perempuan bahkan penari campuran laki-laki dengan perempuan. Tari
Zapin sangat banyak ragam gerak tarinya, walaupun pada dasarnya gerak
dasar zapinnya sama, ditarikan oleh rakyat di pesisir timur dan barat
Sumatera, Semenanjung Malaysia, Sarawak, Kepulauan Riau, pesisir

258
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Kalimantan dan Brunei Darussalam (sumber: http//id. wikipedia.org/


wiki/Zapin)

Berdasarkan kutipan seperti terurai di atas, maka dapat dikatakan


bahwa istilah zapin berasal dari bahasa Arab. Kemudian zapin adalah
salah satu tari Melayu, yang diadopsi dari Arab. Zapin adalah media
enkulturasi dak dakwah Islam. Ensambel musik terdiri dari dua peran
yaitu yang membawa melodi adalah musik petik (gambus atau ‘ud) dan
pembawa ritme yaitu tiga buah alat pukul kecil (maksudnya gendang
marwas). Awalnya ditarikan lelaki, akhirnya perempuan, atau campuran
laki-laki dan perempuan. Ragam tari berkembang dan tari ini muncul di
Alam Melayu. Kemudian seorang profesor tarian Melayu Mohd Anis Md
Nor menguraikan secara panjang lebar tentang arti kata zapin ini dan
kata-kata turunannya sebagai berikut.

In Malaysia, Singapore, the Riau Islands and Sumatera, Zapin


designates a performing arts genre which encompasses a repertoire of
dances and a body of music. But first and foremost, Zapin means dance, a
particular kind of dance usually performed by men. In his Unabridged
Malay-English Dictionary, Richard Winsted noted that the word Zapin is of
Arabic origin with its most frequent usage found in the state of Johor on the
southernmost part of the Malay Peninsula. Wilkinson explains that Zapin is
an Arabic derived word which denotes the term for an Arab dance
performed by two persons. Wilkinson, however, added further that the word
Zafin generally stands for the etymology of dancing. …
The word Zapin may have come from the Arabic root word Zaffa
( ) which mean to lead the bridge to her groom in a wedding
procession. It is important to trace Zapin from the Arabic root word or
masdar ( ) since the Arabic-derived word or Arabic-loaned word in
the Malay vocabulary may have undergone modification in sound and may
have taken a specific meaning other than the original Arabic word. This is
all the more important when a word like Zapin cannot be directly associated
with an Arabic performance genre. One can only speculate from the manner
in which the root word I conjugated and in due course try to associate the
conjugated Arabic with the word Zapin. The closest association of Zapin
with the most word Zaffa is in Zafah ( ) which means wedding,
while Zafana ( ) means to dance in a wedding. Wehr interpreted
Zafana as to dance or gambol, thus allowing the word be associated with
some form of prancing or frolic. Lane explained Zafanan ( ) as

259
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

danced, played or sported, and that ( ) ia a


sentence implies that “ a person (she) used to the dance to El-Hasan”. A
dance is called Zaffan ( ). Dance is this context cannot be
associated with raqasa ( ), which implies dance as in a less
respected and less honoured gathering than a wedding. Raqasa are
performed in places such as entertainment clubs or an establishment which
solicits money from patrons. Zsfana implies an honored and respected dance
tradition which is associated with a wedding celebration (Mohd Anis Md
Nor, 1990:32-33).

Menurut kajian Mohd Anis Md Nor, bahwa di Dunia Melayu zapin


adalah sebuah genre seni pertunjukan yang di dalamnya menampilkan
tarian dan musik sekaligus. Biasanya tarian zapin dipersembahkan oleh
penari lelaki. Seperti yang dikutipnya dari Winsted, kata zapin berasal
dari bahasa Arab, yang banyak digunakan oleh orang Melayu Johor.
Zapin dalam bahasa Arab ini menurut Wilkinson adalah tarian yang
dilakukan dua orang penari laki-laki. Kata turunan zapin yaitu zaffa
maknanya adalah sehelai kain yang dibawa oleh pengantin wanita kepada
mempelai lelaki dalam prosesi pernikahan. Kemungkinan besar pula
istilah zapin ini disesuaikan dengan lidah Melayu sehingga kemungkinan
bisa memiliki arti lain. Namun arti-arti itu jika ditelusuri dari bahasa Arab
memiliki makna yang dekat, seperti maknanya adalah upacara pernikahan
atau menari untuk upacara pernikahan. Kata zapin ini pula tidak dapat
dihubungkan dengan kegiatan menari yang bertujuan memperoleh uang
yang disebut dengan kegiatan raqasa. Zapin berhubung erat dengan tari
yang dipersembahkan pada upacara pernikahan. Dengan demikian, zapin
memuat penuh ajaran-ajaran Islam, yaitu memperbolehkan menari di
majelis (upacara) pernikahan (walimatul ursy)
Dalam ajaran agama Islam, lagu dan tari boleh dilakukan pada
tempat dan situasi tertentu, atas panduan Rasulullah SAW. Antara
diperbolehkannya kegiatan menyanyikan lagu dan tari itu menurut
perspektif Islam, dapat dilihat dalam dua hadits yang dikutip berikut ini.

260
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Artinya: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Bahwa Umar melihat


Hassan menyanyikan lagu di dalam masjid, langsung ditegurnya,
tetapi Hassan menjawab, “Saya pernah menyanyi dan orang yang
lebih baik (Rasulullah SAW.) dari kamu berada di sampingku.”
(Hadits Riwayat Muslim, Fadlail Shahabah: 4539).

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, “Rasulullah s.a.w. masuk ke


masjid, di situ ada para habasyah/negro sedang menari-nari
(mempersembahkan tari), diherdiklah mereka oleh Umar.” Nabi
SAW mengatakan: “Biarkanlah hai Umar, mereka adalah Bani
Arfidah.” (Hadis Riwayat Ahmad: 10544).

Para pakar sejarah seni umumnya sepaham bahwa zapin yang datang
ke Nusantara ini berasal dari Hadhramaut. Kini kawasan Hadhramaut itu
261
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

berada di Negara Yaman, tepatnya di selatan Jazirah Arabiah. Orang-


orang Hadramaut ini atau yang lazim disebut Hadhrami datang ke
Nusantara di abad-abad ke-13. Masuknya zapin ke Nusantara ini pada
abad ke-13 ditulis oleh Tom Ibnur sebagai berikut.

Zapin reached the archipelago in parallel with the region's Islamic


rise in the 13th century. Arabic and Gujarati traders came with Muslim
missionaries and artists, plying their trade in the archipelago. Some of
them stayed on and others returned back to their homeland when their
trade and business were done. Those that stayed assimilated into the local
community by marrying the locals.
Zapin, among other Muslim arts and culture, was introduced by
these traders, which then flourished among the Muslim communities.
Now, we can find Zapin throughout the region, such as Northern Sumatra,
the Riau islands, Jambi, southern Sumatra, Bangka, Belitung, Bengkulu,
Lampung, Jakarta, northwestern and southern Java, Nagara, Mataram,
Sumbawa, Maumere, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, Ternate and Ambon. In the neighbouring countries, Zapin can
be found in Brunei Darussalam, Malaysia and Singapore.
In the region, zapin consists of two forms, Zapin Arab (Arabic
Zapin), which does not change much since, and still practiced by local
Arabs. The second form is Zapin Melayu (Malay Zapin) which was
derived from its original form and modified to suit the local communities.
Zapin Arab only has one form whereas Zapin Melayu consists of a variety
of forms and styles. The terminology was also diversified, depending on
the language and local dialects of the region. The terminology Zapin is
used in North Sumatra and Riau, and in Jambi, Southern Sumatra and
Bengkulu, beside called Zapin it is known as Dana. Zapin is known as
Bedana in Lampung, and in Java it is called Zafin. Kalimantan is inclined
to call it Jepin or Jepen, in Sulawesi it is Jippeng and in Maluku Jepen. In
Nusatenggara, it is known as Dana-Dani.
Zapin is performed in occasions such as weddings, circumcision,
thanksgiving, village festivals, even Islam's major celebrations. Generally,
Zapin dancers are males. The dance is accompanied by a musical
ensemble comprising of marwas, gendang, flute, violin, accordion,
dumbuk, harmonium and vocal. The dance is moderate and repetitive. Its
movement is inspired from human nature and the environment. For
example: titi batang, anak ayam patah, siku keluang, sut patin, pusing
tengah, alif and others.
Zapin performance generally inspire the performers to showcase
their dance skills and craftsmanship by improvising with the

262
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

accompanying music. For hundreds of years, Zapin has been a source of


entertainment to local communities as well as conveying good advice to
its audience with its pantuns (verses, quatrains) and songs. Even if the art
form have been changed, its evolution comes naturally. Problems with
continuity for traditional arts and crafts, culture, religious implications and
other factors are some of the reasons hampering the progress of this art
form. (Tom Ibnur dalam http://sriandalas.multiply. com/journal/ item/25)

Mohd Anis Md Nor yang mengutip pendapat William R. Roff dalam


disertasinya menjelaskan bahwa adalah penting untuk mengetahui
hubungan antara orang-orang Arab dari Hadhramaut dengan masyarakat
Melayu di Asia Tenggara. Berdasarkan sejarah, orang-orang Arab dari
Hadhramaut ini dalam jumlah yang besar datang ke Asia Tenggara pada
awal abad kesembilan belas (Mohd Anis Md Nor, 1990:33). Populasi
masyarakat Arab di Singapura, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan
Jawa menjadikan kondisi perekonomian di kawasan ini lebih maju.
Menurut Drewes perpindahan orang-orang Arab dari Hadhramaut ke Asia
Tenggara ini datangnya lebih belakangan dibandingkan dengan kelahiran
Islam di Tanah Arab (Drewes, 1985:7-17).
Dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya Dunia Melayu,
zapin menyebar ke semua penjuru Nusantara, seperti di Semenanjung
Malaysia, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jambi, Lampung,
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan
lain-lainnya. Persebaran zapin ini amatlah didukung oleh para penyebar
agama Islam di Nusantara, karena zapin dipandang sebagai ekspresi seni
Islam. Kini salah satu negeri Melayu yaitu Johor menetapkan zapin
sebagai tarian identitas kawasan itu yang juga telah menjadi tarian
nasional Malaysia. Kawasan-kawasan lain juga tidak tinggal diam dalam
konteks mewarisi seni zapin ini. Setiap kali ada festival tari atau musik
Melayu, berbagai kawasan Dunia Melayu selalu mempagelarkan seni
zapin sebagai identitas kawasannya. Misalnya dalam kegiatan Pesta
Gendang Nusantara di Melaka, Festival Tari Melayu di Palembang,
Festival Zapin di Johor, Pesta Khatulistiwa di Kalimantan Barat, Pesta
Budaya Melayu di Medan, dan lain-lainnya.
Zapin memiliki struktur tari dan musik, yang dihasilkan oleh sistem
estetika di mana ia tumbuh dan berkembang Struktur musik zapin dapat
263
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dilihat dari instrumentasi ensambel, tangga nada, wilayah nada, nada


dasar, ambitus, pola ritme, metrum, dan sejenisnya. Struktur musik dan
struktur tari memiliki kaitan yang sangat erat.
Pertunjukan zapin biasanya dimulai dengan bunyi alat musik
pembawa maqam dalam gaya free meter. Ini disebut dengan taksim. Pada
saat ini biasanya penari masuk ke pentas dengan disertai gerak sembah.
Selepas itu masuklah lagu dan tari zapin secara bersamaan yang diikat
dalam rentak zapin dan meter empat secara siklusnya. Tari di sini
dikembangkan dengan berbagai ragam gerak seperti alif, pecah, langkah,
sut, anak ayam, dan tahto. Di ujung persembahan musik memainkan
bahagian tahtim atau tahto sebagai coda persembahan. Suara gendang
dalam densitas kuat atau senting. Kemudian berakhirlah persembahan
satu repertoar tari dan musik zapin tersebut. Ini pola umum pertunjukan
zapin di Alam Melayu.
Ensambel musik zapin di Alam Melayu dikembangkan dari
gabungan dua jenis alat musik, yaiu alat musik pebawa melodi dan alat
musik pembawa ritme (rentak). Alat musik pembawa melodi untuk
mengiringi zapin adalah: (a) gambus Melayu atau ‘ud Arab, (b)
harmonium, (c) akordion, dan (d) biola. Bisa dipilih salah satu atau
gabungan antara alat-alat musik pembawa melodi itu. Orientasi garapan
musik adalah melodis yang membentuk tekstur heterofoni. Masing-
masing alat pembawa melodi membentuk melodi yang sama dan saling
memberikan improvisasi. Sementara alat musik pembawa rentak adalah:
(a) beberapa (2 atau lebih) gendang marwas, (b) dok (gendang silindris),
(c) gendang ronggeng, (d) marakas, (e) nekara, dan lainnya. Struktur
ritme yang dibangun berdasarkan kepada teknik interloking. Setiap
pemain alat musik ritme ini memainkan pola ritmenya sambil membentuk
pola-pola ritme gabungan. Pemain alat musik perkusi juga harus
memahami kapan densitas lemah, sedang, atau kuat yang diistilahkan
sebagai senting.
Hubungan musik dengan tari adalah sama-sama menggunakan meter
empat. Siklus hitungan empat ini, ditambah dengan pola ritme dan gerak
tari muncul dalam pertunjukan zapin. Sejauh pengamatan penulis rentak
zapin dan gerak dasar zapin inilah yang menjadi ciri utama kenapa seni
pertunjukan Islam ini disebut dengan zapin.
264
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Khusus untuk rentak zapin dalam gendang, secara garis besar


menggunakan dua onomatope yaitu tum dan tak. Tum dipukul agak ke
tengah gendang, sedangkan tak dipukul di bahagian tepi membran
gendang. Adapun ritme atau rentak dasar gendang dalam seni zapin
adalah sebagai berikut.

Notasi 7.7:
Rentak Dasar Zapin

Rentak dasar tersebut menjadi panduan keseluruhan pemain


musik dan penari zapin dalam pertunjukan zapin. Struktur rentak dasar itu
terdiri dari not seperempat yang menggunakan onomatope tum (tung)
kemudian dilanjutkan dengan tanda istirahat seperdelapan ditambah not
seperdelapan yang menggunakan onomatope tak, jatuh pada pukulan up-
beat. Ini terjadi pada ketukan kedua. Kemudian pada ketukan ketiga,
rentak diisi oleh tanda istirahat seperdelapan dan seperelapan not yang
menggunakan onomatopeik tung. Ketukan keempat pula diteruskan
dengan durasi tanda istirahat seperdelapan ditambah dengn not
seperdelapan dalam pukulan up-beat yang menggunakan onomatope tak.
Demikian seterusnya rentak dasar ini menjadi ruh kepada pertunjukan
musik dan tari zapin. Kalau diperhatikan secara seksama, maka yang unik
di dalam rentak dasar zapin ini adalah hitungan ganjil dan genap yang
saling mengisi, dan menjadikan rentak ini harus menuju ke pukulan
pertama karena adanya stressing up-beat pada pukulan dua, tiga, dan
empat. Kalau dihitung berdasarkan not seperdelapan, rangkaian rentak
dasar zapin adalah 3 + 2 + 2 + 1 not perdelapanan, atau digambarkan
dalam pecahan taktus sebagai berikut (*** + ** + ** + *).
265
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Unuk membentuk rentak gabungan yang sifatnya interloking dan


ostinato, maka setiap pemain memainkan pola-pola ritme yang berbeda.
Inilah yang dikembangkan oleh para pemain gendang dalam pertunjukan
zapin di Nusantara. Setiap pemain memiliki kretivitas sendiri dalam
mengembangkan pola-pola ritme zapin itu. Beriut adalah salah satu
contoh ritme gabungan dari teknik interloking yang terjadi dalam
persembahan zapin di Nusantara.

Notasi 7.8:
Teknik Interloking dalam Permainan Rentak Zapin

Lagu-lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan zapin Melayu di


Nusanara adalah lagu-lagu yang diolah dan diciptakan oleh seniman
Melayu di Nusantara ini. Ada yang hanya dalam bentuk melodi saja,
namun ada pula yang disertai dengan teks atau lirik lagu. Lagu-lagu zapin
Melayu ini diolah menjadi khas musik Melayu. Namun demikian untuk
zapin Arab atau marawis lagu-lagu yang digunakan umumnya adalah
lagu-lagu Arab. Setiap kawasan di Dunia Melayu memiliki lau-lagu
andalan dan menjadi ciri khas daerah setempat. Sebagai contoh dari Riau
terdapat lagu Zapin Lancang Kuning dan Persebatian. Di Serdang
266
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

terdapat lagu Zapin Bulan Mengambang. Sementara di Johor terdapat


lagu Zapin Bunga Hutan dan Ya Salam. Di Palembang pula terdapat lagu
Zapin Palembang. Di antara lagu-lagu zapin yang umum digunakan
dalam zapin Melayu adalah seperti pada tebel berikut ini.

Tabel 7.3:
Beberapa Lagu Zapin yang Lazim Dipersembahkan
di Dunia Melayu

No Judul Keterangan

1 Anak Ayam Lagu zapin tradisi Melayu


2 Bulan Mengambang Lagu zapin tradisi Serdang
3 Bunga Hutan Lagu zapin trdisi Melayu Johor
4 Gambus Palembang Lagu zapin tradisi Melayu Palembang
5 Kamaruzzaman Lagu zapin tradisi Arab
6 Lancang Kuning Lagu zapin tardisi Melayu dari
Kepulauan Riau
7 Maulana Lagu zapin tradisi Melayu
8 Naamsidi Lagu zapin tradisi Arab
9 Persebatian Lagu zapin tradisi Riau
10 Selabat Laila Lagu zapin tradisi Arab
11 Ya Salam Lagu zapin tradisi Melayu
12 Zapin Deli Lagu zapin Melayu Deli
13 Zapin Kasih dan Budi Lagu zapin Melayu, ciptaan Ngah
Suhaimi
14 Zapin Menjelang Lagu ciptaan Rizaldi Siagian, tari Yose
Maghrib Rizal Firdaus
15 Zapin Serdang Lagu zapin Melayu Serdang

267
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.9:
Melodi Zapin Bulan Mengambang

268
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Tangga nada yang digunakan dalam zapin Melayu adalah hasil


sintesis antara tangga-tangga nada mayor, minor (zigana, harmonik,
melodik, dan natural) serta sistem maqamat Arab. Ada pula yang
menggabungkan antara beberapa tangga nada tersebut. Yang paling
menonjol, dalam lagu-lagu zapin Melayu, supaya persembahan melodi
menjadi khas Melayu, para pemusik dan penyanyi zapin Melayu biasanya
menggunakan sistem estetika melodi musik Melayu yang terbagi ke
dalam teknik patah lagu, cengkok, dan gerenek. Ini menjadi nafas utama
lagu-lagu zapin Melayu. Contoh ganbungan antara tangga-tangga nada
dunia ini dalam seni zapin dapat dikaji pada lagu Lancang Kuning. Di
dalam lagu ini digabungkan tiga jenis tangga nada yang benar-benar padu
yaitu mayor, minor natural, dan sedikit warna tangga nada blues. Ini
memperlihatkan bahwa seniman Melayu itu sangat kreatif dalam
menggarap dan mengdun musik-musik di dunia ini, dan menjadi citarasa
dan estetika Melayu sendiri.
Pengguaan pantun banyak mendapatkan peran utama dalam lagu-
lagu Melayu termasuk dalam zapin Melayu. Oleh karena itu, pantun
menjadi ciri khas dari sebuah pertunjukan zapin Melayu. Lagu-lagu yang
digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus-menerus.
Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik Melayu. Untuk
lagu yang berjudul sama, oleh seorang penyanyi yang sama, dalam selang
waktu beberap menit, jika diulang, biasanya akan menghasilkan teks yang
berbeda.
Dalam lagu-lagu zapin Melayu, unsur-unsur pantun sering
digunakan. Di antaranya penggunaan sampiran dan isi. Satu baris teks
terdiri dari empat kata, disertai beberapa suku katanya, menggunakan
persajakan, dan lain-lain. Namun, karena pantun ini disajikan secara
musikal, akan ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu zapin Melayu,
yaitu: (1) pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-
ulangan melodi. (2) Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu
mempergunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan
dimasukkan, misalnya untuk lagu-lagu seperti Ya Salam, Zapin Bunga
Hutan, sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang
menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bahagian ini pantun tak boleh
masuk. (3) Pantun dalam lagu-lagu zapin Melayu juga selalu dapat diulur
269
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang


dimasukinya. (4) Pantun-patun dalam lagu-lagu zapin Melayu juga dapat
disisipi oleh kata-kata seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang,
bang, tuan, puan, akak, abah, ai, uo, dan lain-lainnya, di tempat-tempat
awal, tengah, atau akhir baris. (5) Selain itu, dalam satu baris tidak harus
mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih
melebar dari ketentuan pantun secara umum.
Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan
secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk
memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik,
sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek.
Keadaan seperti ini terjadi pada keseluruhan repertoar lagu zapin Melayu,
yang berdasarkan kepada pantun. Sifatnya lebih fleksibel terhadap tata
aturan pantun, dibanding dengan seni pantun yang disampaikan dengan
cara berpantun.
Berikut adalah kerja analisis terhadap salah satu lagu zapin Melayu
yaitu lagu Lancang Kuning. Lagu ini penulis analisis melalui teori
semiotik yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu seni. Lagu ini menjadi
pilihan karena sangat luas dikenal masyarakat Melayu atau rumpun
Melayu. Lagu ini memiliki identitas kemelayuan yang kuat, bak ditinjau
dari tangga nada maupun onamentasi yang digunakan di dalamnya.
Selain itu, syair lagu Lancang Kuning ini juga sarat dengan makna-makna
budaya yang dianut oleh sebahagian besar masyarakat Melayu. Lagu ini
juga bisa dikatakan sebagai ungakapan sistem simbol yang lazim
digunakan oleh orang-orang Melayu dalam konteks komunikasi budaya.
Selengkapnya transkripsi lagu ini secara preskriptif adalah sebagai
berikut.

270
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Notasi 7.10:
Lagu Zapin Lancang Kuning

271
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Lancang Kuning
Lancang kuning lancang kuning belayar malam belayar malam
Lancang kuning lancang kuning belayar malam belayar malam
Haluan menuju haluan menuju ke laut dalam
Haluan menuju haluan menuju ke laut dalam
Lancang kuning belayar malam
Lancang kuning belayar malam
Lancang kuning lancang kuning menentang badai hai menentang
badai
Lancang kuning lancang kuning menentang badai hai menentang
badai
Tali kemudi tali kemudi berpilin tiga
Tali kemudi tali kemudi berpilin tiga
Lancang kuning belayar malam
Lancang kuning belayar malam
Kalau nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah
paham
Kalau nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah
paham
Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam
Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam
Lancang kuning belayar malam
Lancang kuning belayar malam

Teks lagu Lancang Kuning ini juga mengandungi lambang dalam


konteks budaya Melayu. Lancang kuning itu adalah lambang orang
Melayu dan kebudayaannya dalam mengharungi dunia ini, termasuk
zaman globalisasi budaya sekarang, yang dilambangkan dengan lautan
luas. Pada bait pertama dengan teks sebagai berikut: Lancang kuning
lancang kuning brlayar malam belayar malam; Haluan menuju haluan
menuju ke laut dalam; Lancang kuning belayar malam. Teks ini coba
menyampaikan pesan bahwa lancang kuning (perahu tradisional yang
272
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

berwarna kuning, sebagai simbol kebudayaan Melayu) sedang berlayar


malam, yang itu lebih merbahaya ketimbang berlayar siang hari, malam
gelap, perlu suluh, lampu atau penerangan yang cukup agar boleh belayar
malam. Sementara haluannya pun menuju laut dalam bukan laut tepi,
sehingga perlu berhati-hati seluruh anak kapalnya, terutama nakhoda.
Teks ini melambangkan kebudayaan Melayu yang dihimpit oleh
berbagai-bagai tekanan budaya asing.
Bait kedua menggambarkan lebih jauh tekanan kebudayaan asing
kepada budaya Melayu melalui teks sebagai berikut ini. Lancang kuning
lancang kuning menentang badai hai menentang badai; Tali kemudi tali
kemudi berpilin tiga; Lancang kuning belayar malam. Dalam pelayaran
lancang kuning menghadapi badai lautan, yang perlu diatasi dengan
perjuangan seluruh awak kapal. Keadaan ini menggambarkan sekian
besarnya tantangan yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Melayu
dalam merentas dan menjalani hidup di dunia ini. Namun pada kalimat
(ayat) berikutnya disebutkan bahwa tali kemudi berpilin tiga, artinya
untuk menghadapi cabaran budaya ini masyarakat Melayu sudah bersiap-
siap dengan pilinan tali kemudi berjumlah tiga. Maknanya dalam
menghadapi tantangan peradaban (tamadun), masyarakat Melayu sudah
menyiapkan unsur ulama, pemerintah, dan rakyat yang bekerja bersama-
sama.
Bait ketiga lagu ini mengingatkan pentingnya kewaspadaan dan
keberpihakan pihak penguasa (pemerintah atau kerajaan) kepada rakyat
yang dipimpinnya, dengan berdasarkan kepada pemahaman ilmu yang
diturunkan oleh generasi pendahulu orang-orang Melayu. Dalam hal ini
nakhoda harus paham akan ilmu kelautan, ke arah mana yang hendak
dituju, bagaimana menghadapi gelombang. Dalam arti lain, pemimpin
Melayu harus paham dengan sistem pendidikan Melayu yang tercakup
dalam adat Melayu, seperti yang dikonsepkan dalam adat bersendikan
syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Dengan mengikuti ajaran ini,
insya Allah pimpinan dan rakyat Melayu akan selamat menghadapi
gelombang zaman, seperti yang tercermin dalam teks berikut: Kalau
nakhoda kalau nakhoda kuranglah paham hai kuranglah paham;
Alamatlah kapal alamatlah kapal akan tenggelam; Lancang kuning
belayar malam.
273
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Dalam kebudayaan Melayu, untuk memohon kepada Allah agar


sebuah kampung terhindar dari musibah dan malapetaka, maka
masyarakat Melayu hingga hari ini mengadakan upacara yang disebut
melepas lancang. Upacara ini dilakukan pada masa-masa ketika sebuah
desa mengalami musibah, seperti beberapa warganya hilang di laut, banjir
besar, wabah penyakit dan sebagainya. Jadi lancang (perahu) mempunyai
makna dan lambang tersendiri dalam kebudayaan Melayu. Demikian
kira-kira makna lagu ini dalm konteks budaya Melayu.

Notasi 7.11:
Gerak Dasar Tari Zapin

274
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.11:
Suasana Pertunjukan Tari Zapin Bulan Mengambang di Salah Satu Pesta
Resepsi Perkawinan di Medan

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

7.5 Seni Hadrah

Hadrah adalah salah satu kesenian Islam yang terdapat dalam


budaya Melayu. Menurut sejarahnya, kesenian ini awalnya adalah
bahagian daripada kehidupan kaum sufi di Dunia Islam, antaranya adalah
sekte Rifa’iyah dan Naqsabandiyah dari Asia Selatan. Genre seni ini
memiliki puluhan repertoar lagu (kajian hadrah di Sumatera Utara dalam
peringkat sarjana muda lihat Takari 1990). Notasi 7.12 adalah salah satu
lagu yang bertajuk Bismillah Mula-mula.

275
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.12:
Contoh Hadrah, Lagu Bismillah Mula-mula

276
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

277
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

7.6 Seni Barzanji dan Marhaban

Seni barzanji dan marhaban amatlah populer digunakan dalam


upacara-upacara keagamaan Islam dalam kebudayaan Melayu. Misalnya
untuk mengabsahkan upacara perkawinan, sunat (khatan), musabaqah
tilawatil Qur’an, maulid Nabi, melepas dan menyambut haji dan
sebagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, penyajian barzanji
memang selalu digandengkan dengan marhaban. Keduanya memang dua
genre seni yang selalu berpasangan.
Secara struktural, barzanji terdiri daripada dua bentuk, yaitu barzanji
nathar, merupakan bentuk prosa berirama dan barzanji puisi, dengan
norma-norma aturannya. Barzanji ini di Semenanjung Malaysia, biasanya
menggunakan bentuk nazam dan syair yang dilagukan, rimanya a-a-a-a.
Pesan yang disampaikan biasanya memuji keesaan dan keagungan Allah
dan memuji Nabi Muhammad SAW. Biasanya barzanji dan marhaban
dipersembahkan di majelis-majelis upacara gembira seperti perkawinan,
cukur rambut, maulid Nabi, dan sebagainya. Di Semenanjung Malaysia
barzanji ini sekarang lazim pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Di
Sumatera Utara barzanji dan marhaban ini mengikut pengamatan
penulis, masih menggunakan bahasa Arab, tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu (Indonesia). Notasi berikut ini adalah contoh penyajian
marhaban dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara.

278
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Notasi 7.13:
Cupklikan Melodi Marhaban

279
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

7.7 Tari Persembahan dan Lagu Makan Sirih

Selepas perarakan pengantin lelaki melaksanakan berbagai


hempangan, maka berikutnya adalah kedua mempelai bersanding di
tempat duduk pelaminan. Pada saat ini biasanya dipertunjukkan tari
Persembahan dengan iringan lagu Makan Sirih. Gerak tari yang
digunakan sepenuhnya gerak senandung. Biasanya persembahan ini juga
dilakukan dalam acara-acara lainnya seperti wisuda (bahasa Melayu
Malaysia, konvokesyen), pembukaan gedung yang baru, penyambutan
tetamu agung dan sebagainya. Temponya lambat, menggunakan irama
senandung, dalam satu pusingan memerlukan delapan ketukan dasar, 60
ketukan dasar per menit. Sementara tangga nada yang digunakan adlaah
major. Biasanya untuk penyanyi lelaki dinyanyikan dalam kunci C,
sedang penyanyi perempuan dalam kunci G atau F.
Di antara lagu Makan Sirih yang terkenal adalah gubangan Hajjah
Dahlia Kasim, dengan lirik sebagai berikut.

Makan sirih berpinang tidak


Adatlah resam pusaka Melayu ....
Makan sirih berpinang tidak
Makanlah sirih berpinanglah tidak berpinanglah tidak
Sirihlah dimakan sirih dimakan di Tanahlah Deli
Makan sirih berpinang tidak
Makanlah sirih berpinanglah tidak berpinanglah tidak
Sirihlah dimakan sirih dimakan di Tanahlah Deli
Walaupun sirih mengenyanglah tidak mengenyanglah tidak
Adatlah resam pusaka Melayu
Walaupun sirih mengenyanglah tidak mengenyanglah tidak
Adatlah resam pusaka Melayu
Makan sirih mengenyang tidak
Adatlah resam pusaka Melayu

280
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Selepas pertunjukan tari Persembahan dan lagu Makan Sirih ini, maka
acara persembahan berkutnya adalah tepung tawar yang disertai dengan
lagu yang khas untuk upacara perkawinan, yaitu lagu Rinjis-Rinjis dan
Anak Ikan.

7.8 Rinjis-rinjis dan Anak Ikan

Lagu Rinjis-rinjis dan Anak Ikan adalah dua lagu yang paling umum
digunakan untuk mengiringi upacara tepung tawar yang menjadi salah
satu bahagian dari keseluruhan rangkaian upacara perkawinan adat
Melayu. Lagu ini akan terus mengiringi para sanak keluarga dan tetamu
yang menepungtawari kedua mempelai. Panjang dan pendeknya
persembahkan disesuaikan dengan konteks. Penyanyi pula bisa berhenti
sementara musik terus saja dipersembahkan. Di antara teks lagu Rinjis-
rinjis yang lazim digunakan dalam mengiringi tepung tawar dalam
upacara perkawinan adalah seperti yang diturunkan berikut ini.

Rinjis-rinjis dipilis
Ditepungilah tawar
Hai beras kuning ditabur
Disiram si air mawar

Banyak orang yang datang


Datang berhati senang
Jiwa di dada pun tenag
Hai datang di saat riang

Pengantin duduk bersanding


Ditabur beraslah kuning
Hai kelompok beriring
Orang ramai keliling

Hidup mesti mufakat


Ruamh tangga yang damai
Hai jangan gaduh bersilat
281
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Sampai bercerai berai

Hidup seia sekata


Di dalam rumah tangga
Upat puji rahsia
Jangan sekali ada

Turut kata berdua


Hormat pada famili
Ibu bapak taati
Pada Allah berbakti

7.9 Ronggeng

Selepas upacara-upacara ang bersifat ritual keagamaan Islam, maka


acara berikutnya adalah yang lebih menumpukan kepada hiburan untuk
santai dan bersenang-senang di hari kebahagiaan kedua mempelai.
Adapun di antara seni yang dipertunjukan adalah ronggeng atau joget.
Ronggeng adalah satu genre tari pergaulan sosial dalam kebudayaan
Melayu Sumatera Utara yang begitu populer. Ronggeng digunakan dalam
pelbagai aktiviti budaya seperti untuk merayakan perkawinan, hiburan
ditempat-tempat hiburan di Sumatera Utara, di Pekan Budaya Melayu,
Medan Fair dan sebagainya. Seni ronggeng ini adalah satu kegiatan
kesenian yang melibatkan beberapa ronggeng (perempuan) menyanyi dan
menari melayani para penonton untuk menari bersama mereka, dan tak
lupa adalah nyanyian itu berupa berbalas pantun. Para penonton yang
hendak menari atau menyanyi bersama biasanya membeli tiket dengan
harga nominal tertentu. Namun dalam upacara perkawinan biasanya
cukup meminta secara tertulis atau lisan saja.
Dalam konteks Sumatera Utara persembahan ronggeng biasanya
terdiri dari tiga bahagian, yaitu awal lagu yang disebut dengan Basmallah
Lagu, terdiri dari tiga rangkaian lagu, yaitu: (a) Gunung Sayang, (b)
Serampang Laut, dan (c) Pulau Sari. Kemudian isi persembahan yang
terdiri dari pasangan-pasangan lagu dan tarian, yang berawal dari yang
bertempo lambat atau sedang ke tempo yang lebih cepat. Pasangan lagu
282
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

dan tarian yang kedua ini disebut dengan pecahan. Persembahan isi ini
adalah yang terpanjang masanya mengikut konteks. Bahagian
persembahan akhir biasanya menggunakan lagu Si Paku Gelang. Ini
adalah norma umum persembahan ronggeng Melayu Sumatera Utara.
Pada bahagian isi, sesuai dengan komposisi etnik yang terdapat di
Sumatera Utara, maka di antara lagu-lagu dan tarian yang digunakan
dalam ronggeng diselitkan pula lagu-lagu dari etnik di Sumatera Utara.
Misalnya dari Aceh digunakan lagu Bungong Jeumpa, dari Batak Toba
lagu Sipegge Supir dan Raja Doli. Dari budaya Minangkabau digunakan
lagu Babendi-bendi dan Haji Lahore, dari budaya Sunda digunakan lagu
Es Lilin, dari budaya Jawa digunakan lagu Kembang Kates, Rek Ayo Rek,
dan lain-lainnya.
Selain itu, dalam konteks upacara perkawinan ini sering pula
dipersembahkan tarian Serampang Dua Belas, sebagai tarian nasional
Indonesia. Tarian ini berasal dari kawasan Serdang Sumatera Utara, yang
dipolakan oleh Guru Sauti dari tarian tradisional Melayu Pulau Sari.
Tarian Serampang Dua Belas adalah tarian yang menceritakan perkenalan
pemuda dan pemudi dari awal, jatuh cinta, sampai bersanding di
pelaminan, yang terdiri dari dua belas ragam. Setiap ragam menceritakan
kejadian di masa percintaan mereka. Tarian ini diangkat menjadi tarian
nasional oleh Presiden Sukarno pada dasawarsa 1960-an. Kemudian
tarian ini sangat populer di seluruh Indonesia. Tarian ini pada masa
sekarang sering diperlombakan di berbagai peringkat seperti kabupaten,
kota, dan provinsi. Pemain akordion untuk tarian ini, adalah Dahlan
Siregar, dan kemudian diteruskan oleh Ahmad Setia, dan menurunkan
muridnya yaitu Erwansyah dan Kudri.
Lagu-lagu Melayu dalam pertunjukan ronggeng ini adalah lebih
mengutamakan garapan teks dibandingkan garapan melodi atau
instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus
menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama. Dengan
demikian musik Melayu ini dapat dikategorikan sebagai musik
logogenik. 1 Teksnya berdasar kepada pantun empat baris, kuatrin, yang

1
Jika sebuah genre musik mengutamakan aspek melodi dan ritme saja, dapat
dikategorikan sebagai musik melogenik. Contoh pertunjukan musik yang dikategorikan
283
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Kecenderungan
mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran atau isinya.
Menurut Harun Mat Piah, pantun ialah sejenis puisi pada umumnya,
yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan
sebaris, mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan
kekecualian. Tiap-tiap rangkap terbagi ke dalam dua unit: pembayang
(sampiran) dan maksud (isi). Setiap rangkap melengkapi satu ide. Ciri-
ciri pantun Melayu dapat dibicarakan dari dua aspek penting, yaitu
eksternal dan internal. Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan
seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan didengar, yang termasuk
hal-hal berikut ini.
(1) Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap
terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2, 4, 6, 8, 10 dan
seterusnya, tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin). (2)
Setiap baris mengandung empat kata dasar. Oleh karena kata dalam
bahasa Melayu umumnya dwisuku kata, bila termasuk imbuhan, penanda
dan kata-kata fungsional, maka menjadikan jumlah suku kata pada setiap
baris berjumlah antra 8-10. Berarti unit yang paling penting ialah kata,
sedangkan suku kata adalah aspek sampingan. (3) Adanya klimaks, yaitu
perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada
dua kuplet maksud. (4) Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu
pembayang (sampiran) dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin
mempunyai dua kuplet: satu kuplet pembayang dan satu kuplet maksud.
(5) Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan
sedikit variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima
pada perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting.
Selain rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam

sebagai logogenik adalah pertunjukan ronggeng dan joget Melayu yang memang
mengutamakan teks berbentuk pantun yang disajikan oleh ronggeng dan pengunjung.
Aspek jual beli pantun secara spontanias merupakan ruh pertunjukan ronggeng.
Sementara contoh pertunjukan musik melogenik, yang hanya mengutamakan aspek nada
atau ritme saja, misalnya adalah pertunjukan gonrang bolon di Simalungun, yang tanpa
menggunakan vokal penyanyi, hanya mengutamakan melodi sarune bolon dan bunyi
gonrang sipitu-pitu, serta gong.

284
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

pembentukan sebuah pantun. (6) Setiap stanza pantun, apakah itu dua,
empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan
lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu kesatuan.
Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan
secara subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar,
termasuk: (7) Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan
tanggapan dan dunia pandangan (world view) masyarakat. (8) Adanya
hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud,
baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang-lambang
(Harun Mat Piah, 1989: 91,123, 124).

Gambar 7.12:
Beberapa Ronggeng, Pemusik, dan Penyanyi
Persembahan Ronggeng di Sumatera Utara

Dokumentasi: Yusuf Wibisono 1995

285
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun seperti


yang dikemukakan Harun Mat Piah tersebut juga berlaku. Namun, karena
pantun ini disajikan secara musikal, aka ada lagi beberapa ciri pantun
lagu-lagu Melayu, yaitu sebagai berikut.
(1) pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan
melodi.
(2) Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun,
namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan, misalnya untuk
lagu-lagu seperti Hitam Manis, Selendang Mayang, Siti Payung,
sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi
ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh
masuk.
(3) Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga selalu dapat diulur atau
dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang
dimasukinya.
(4) Pantun-patun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh kata-
kata seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, tuan,
puan, pak ucok, bang ucok, akak, abah, juga judul-judul lagu seperti
Gunung Sayang, Dondang Sayang, Serampang Laut, dan lain-
lainnya, di tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris.
(5) Selain itu, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata
atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan
pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks
tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun.
Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan
teknik melismatik, sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi
yang relatif pendek. Keadaan seperti ini terjadi pada keseluruhan
repertoar kesenian Melayu, yang berdasarkan kepada pantun.
Sifatnya lebih fleksibel terhadap tata aturan pantun, dibanding
dengan seni pantun yang disampaikan dengan cara berpantun.
Contoh-contoh masuknya pantun dalam lagu Melayu, (khususnya
seni ronggeng) secara fleksibel adalah sebagai berikut.

286
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

(1) lagu: Tanjung Katung

pantun asal:
Tanjung Katung airnya biru,
Tempat hendak mencuci muka,
Lagi sekampung hatiku rindu,
Konon pula jauh di mata.

Digarap menjadi:
Tanjung Katung airnya biru (nyawa),
Tempat hendak mencucilaj muka,
Tanjung Katung airnya biru (sayang),
Tempat hendak (ah muka) mencuci muka,
Lagi sekampung hatiku rindu,
Konon pula (ah mata) jauh di mata,
Lagi sekampung hatiku rindu (nyawa),
Konon (ah konon mata) jauh di mata.

Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut.

287
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.14:
Tanjung Katung

288
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

289
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

290
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

(2) Lagu: Laksmana

pantun asal:
Sayang Laksmana mati dibunuh,
Mati ditikam Radin Amperi,
Mujurlah kilat menjadi suluh,
Barulah tampak tanah daratan.

digarap menjadi:
Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang),
Matilah ditikam Radin Amperi,
Sayang Laksmana mati dibunuh (Laksmana sayang),
Matilah ditikam Radin Pangeran,
Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang),
Barulah tampak tanah daratan,
Mujurlah kilat menjadi suluh (Laksmana sayang),
Barulah tampak tanah daratan.

Digarap ke dalam melodi musik menjadi sebagai berikut.

291
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Notasi 7.15:
Laksmana

292
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

293
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

294
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

295
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

7.10 Keyboard

Memasuki era dekade 1980-an, di Sumatera muncul sebuah


fenomena yang cukup meluas, yaitu dengan wujudnya musik keyboard,
yang mengandalkan satu persembahan dengan menggunakan alat musik
keyboard (buatan Jepang). Musik keyboard ini digunakan untuk pelbagai
aktivitas sosial, terutama unutk memeriahkan pesta perkawinan dalam
berbagai etnik dan agama di Sumatera Utara. Di antaranya adalah untuk
perkawinan adat Melayu. Keyboard ini dipersembahkan sianga tau
malam hari di desa-desa maupun kota-kota di seluruh Sumatera Utara.
Di antara pemusik keyboard Melayu yang terkenal adalah Zulfan
Effendi, Syaiful Amri, Ahmad, dan lainnya. Bahkan Suaiful Amri dan
Laila Hasyim mencoba memproduksi jenis musik ini di era 1980-an dan
kemudian karya mereka ini menjadi meledak di pasaran industri musik
Sumatera Utara.
Walau bagaimanapun, musik keyboard Melayu ini terus mendapat
sambutan hingga hari ini. Penyajiannya tetap meneruskan lagu-lagu
tradisi Melayu ditambah dengan lagu-lagu populer Sumatera Utara dan
Indonesia, mahupun Malaysia. Sampai sekarang sebahagaian besar orang
Melayu atau masyarakat Islam di Sumatera Utara, jika melakukan pesta
pernikahan atau khatanan anak, selalunya menggunakan musik keyboard
ini.

296
Bab VII: Seni Pertunjukan dalam Rangkaian Upacara Perkawinan

Gambar 7.13:
Tiga Penyanyi diiringi Ensambel Keyboard

Dokumentasi: Muhammad Takari dan Tarwiyah, 2013

297
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

BAB VIII

KEARIFAN DALAM ADAT


PERKAWINAN MELAYU

8.1 Pengenalan

Sebagai sebuah institusi budaya yang eksis sejak dan selama adanya
masyarakat Melayu, maka perkawinan dalam kebudayaan Melayu dengan
segala gagasan, kegiatan, dan artefaknya mengandung berbagai kearifan.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa kebijaksanaan atau
kearifan dalam kebudayaan Melayu, tidak semata-mata bersifat lokal
(daerah). Orang-orang Melayu sebagai umat yang terbuka, inklusif, dan
terbiasa dalam mengelola berbagai peradaban, selalu menyandarkan
kearifannya pada nilai-nilai universal peradaban, tidak hanya bersifat
kelokalan saja. Oleh karena itu, pada bahagian ini, digunakan terminologi
kearifan saja, tidak kearifan lokal. Maknanya adalah kearifan yang
digagas dan dijalankan oleh orang-orang Melayu secara fungsional tidak
terbatas untuk kalangan orang-orang Melayu saja, tetapi kepada siapapun
dan di mana pun. Dalam hal ini sesuai dengan konsep kebudayaan
Melayu, bahwa setiap umat Melayu adalah menjadi rahmat kepada
seluruh alam semesta. Demikian pula diakui bahwa manusia diciptakan
Tuhan memang terdiri dari berbagai kelompok, baik itu ras, bangsa,
kelompok etnik (suku), namun pada dasarnya dalam gagasan peradaban
Melayu, semua manusia awalnya adalah satu. Dalam konteks agama
samawiyah semua manusia diturunkan dari Adam dan Siti Hawa. Jadi
kelokalan di sini memang diakui oleh orang Melayu, tetapi keuniversalan
adalah hal yang juga dijunjung dalam kearifannya.
Dalam konteks perkawinan ini, pada kebudayaan Melayu
terkandung kearifan-kearifan yang sifatnya universal, dan juga berciri
khas kebudayaan Melayu. Kearifan tersebut sebenarnya telah digariskan

298
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

dalam adat Melayu. Seperti yang tertuang di dalam gagasan adat


bersendikan syarak—syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata
adat memakai. Demikian pula selanjutnya ada empat stratifikasi adat ini,
seperti sudah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Namun demikian,
secara keilmuan alangkah baiknya kita pahami apa itu kearifan, dan yang
sering dikemukakan oleh para antropolog dan ilmuwan budaya adalah
kearifan lokal (local wisdom).

8.2 Pengertian Kearifan Lokal

Dalam konteks pemikiran Islam, kearifan berarti ada yang memiliki


kearifan (al-’addah ma’rifah), yang dilawankan dengan al-’addah al-
jahiliyyah. Kearifan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
oleh ilmu pengetahuan, diakui akal, serta dianggap baik oleh ketentuan
agama (sistem religi). Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah
dan dipandang baik, karena merupakan tindakan sosial yang berulang-
ulang dan mengalami penguatan (reinforcement), bukan sebaliknya.
Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik
atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik hanya terjadi apabila
terjadi pemaksaan oleh penguasa.
Terminologi kearifan lokal adalah padanan dari bahasa Inggris local
wisdom. Di dalam kamus, kata bentukan ini terdiri dari dua kata, yaitu,
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia
karya John M. Echols dan Hassan Shadily, kata local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh segenap anggota masyarakatnya.
Dalam konteks disiplin antropologi, dikenal pula istilah sejenis yaitu
local genius. Dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai genius
lokal.
Dalam sejarah perkembangan ilmu antropologi, terminologi local
genius ini merupakan istilah yang pada awalnya dikenalkan oleh Quaritch
Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local
genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio
299
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas


kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (Ayatroha-
edi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial
sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-cirinya ada lima, yaitu sebagai berikut:
(1) mampu bertahan terhadap budaya luar;
(2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar;
(3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli;
(4) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan
(5) mampu memberi arah perkembangan budaya.
Lebih jauh lagi, Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal
adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan
dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi
nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah
sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang, dan
diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman
mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar
untuk pengambilan kebijakan pada peringkat lokal di berbagai bidang
sosiobudaya, seperti: kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan
sumber daya alam, kegiatan masyarakat pedesaan, penanganan bencana
alam, dan lain-lainnya. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan
budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal
yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan
budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam
jangka waktu yang lama.
Selanjutnya Ridwan (2007:2) menjelaskan bahwa kearifan lokal
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal
300
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,


atau peristiwa, yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut,
disusun secara etimologis, yaitu wisdom dipahami sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau
bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai
kearifan atau kebijaksanaan. Selanjutnya local secara khusus merujuk
kepada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Sebagai ruang interaksi yang sudah didisain (dirancang) sedemikian rupa,
yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia
dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi
yang sudah terancang tersebut disebut setting. Istilah setting dapat
dimaknai sebagai sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat
menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya.
Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan
memproduksi nilai-nilai. Selanjutnya nilai-nilai tersebut yang akan
menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku
mereka.
Pakar lainnya, Keraf (2010: 369) menyatakan bahwa kearifan lokal
atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan, adat kebiasaan, atau etika yang menuntun
prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi
kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman
masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di
antara manusia, tetapi juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan
adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara
semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan
tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku
manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap
alam dan yang gaib.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, pertama, kearifan
tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal sebagai
pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik

301
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat


individual.
Selanjutnya, kedua, kearifan tradisional lebih bersifat praktis, atau
“pengetahuan bagaimana.” Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat
adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas
ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik
dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana
memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa,
baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun
untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu
sebabnya, selalu ada berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk
larangan atau tabu tentang bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan
tertentu di alam ini.
Ketiga, kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut
pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala
relasinya di alam semesta. Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas
dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain.
Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga
pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu
pengetahuan menyeluruh.
Keempat, berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu,
maka masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai
aktivitas moral. Kegiatan bertani, berburu, dan menangkap ikan,
bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan pengetahuan ilmiah
tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-prinsip dan
pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut juga merupakan
kegiatan moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu
moral yang bersumber dari kearifan tradisional.
Kelima, berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat, yang mengkalim
dirinya sebagai universal, kearifan tradisional umumnya bersifat lokal,
karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan dan
pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia yang
partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di sekitar
tempat tinggalnya), dan relasinya dengan alam itu. Namun demikian,
karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan
302
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

tradisional dengan tidak direkayasa pun menjadi universal pada dirinya


sendiri. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana dikenal
dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan tradisional ternyata ditemukan
di semua masyarakat adat atau suku asli di seluruh dunia, dengan
substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun dalam dimensi
moralnya.
Lebih jauh lagi, Teezzi (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa
"akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi
atau agama." Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat
ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kitab-kitab
kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari, dan lain-lainnya. Kearifan
lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat
yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan
tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat
tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu
yang biasanya akan menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan, yang
dapat diamati melalui sikap dan prilaku mereka sehari-hari. Bahwa
kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses
uji coba terus-menerus (trial and error) dari berbagai macam
pengetahuan empiris, non-empiris, estetis, maupun intuitif.
Ardhana (dalam Apriyanto, 2008:4) menjelaskan bahwa menurut
perspektif kebudayaan, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang
diciptakan, dikembangkan, dan dipertahankan oleh masyarakat yang
menjadi pedoman hidup mereka. Termasuk berbagai mekanisme dan cara
untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan sebagai
suatu tatanan sosial.
Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi
kultural tentang kearifan lokal, yaitu sebagai berikut.
(1) Pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data tentang karakter keunikan
lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk
menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk
diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat
keunikan pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk
menghasilkan inisiasi lokal;

303
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(2) Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan


yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai,
bahasa, tradisi, dan teknologi;
(3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat
setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang
dimiliki;
(4) Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi
utamanya; dan
(5) Proses sosial lokal, berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat
dalam menjalankan fungsi-fungsinya, sistem tindakan sosial yang
dilakukan, tata hubungan sosial, serta kontrol sosial yang ada.
Demikian kira-kira pemahaman kami tentang kearifan yang
diperoleh dari bahan-bahan bacaan dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan
sosial. Selanjutnya diuraikan tentang keraifan-kearifan yang terdapat di
dalam institusi adat perkawinan Melayu, sebagai berikut.

8.3 Kearifan Menjadikan Diri sebagai Manusia yang Sempurna


(Insan Alkamil)

Perkawinan dalam adat Melayu adalah ekspresi dari manusia yang


sempurna sebagai makhluk ciptaan Allah di dunia ini. Mereka yang
melaksanakan perkawinan adalah dipandang dan menganggap dirinya
baik secara religi maupun hakekat hidup, adalah manusia yang sempurna.
Manusia sempurna ini, mengandung beberapa pengertian. Pertama,
manusia adalah khalifah di muka bumi. Manusia adalah makhluk yang
diciptakan Allah untuk menjadi pemimpin di mana pun di dunia ini.
Manusia dalam konteks ajaran Islam adalah makhluk yang paling tinggi
derajatnya yang diciptakan Allah, dibandingkan jin, setan, hewan,
tumbuh-tumbuhan, maupun alam semesta lainnya.
Dalam ajaran agama Islam, mereka yang mampu dan kemudian
melaksanakan perkawinan, dalam konteks menuju ridha Allah dalam
membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah,
adalah masuk ke dalam umat Nabi Muhammad. Artinya ia akan menjadi
umat Islam yang sempurna yang sesuai dengan yang disarankan dan
304
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Mereka yang melaksanakan


pernikahan, berarti menyadari dan memahami dirinya sebagai manusia
memang harus melaksanakan perintah Allah ini. Tujuan utamanya agar
manusia akan terus abadi di muka bumi, dalam rangka beribadah kepada
Allah, sekaligus juga membina hubungan dengan sesama manusia,
makhluk, dan lingkungan sekitar. Dengan melakukan perkawinan, maka
tanggung jawab sebagai manusia yang sempurna telah dilakukan.
Perkawinan secara hakikatnya bukan hanya untuk memenuhi
kepentingan dan kebutuhan nafsu semata. Di sebalik institusi perkawinan
ada tanggung jawab humaniora (kemanusiaan) dan juga keberlanjutan
keturunan dan tentu saja kesinambungan kebudayaan. Dengan
melaksanakan dan melakukan perkawinan, maka berarti seseorang itu
telah menjadikan dirinya manusia yang sempurna, baik menurut nilai-
nilai yang terdapat dalam kelompoknya, maupun menurut ajaran-ajaran
religius yang berasal dari Tuhan.

8.4 Kearifan Membina Hubungan dengan Tuhan, Sesama Manusia,


dan Makhluk

Kearifan yang terkandung dalam intitusi perkawinan lainnya adalah


membina hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan juga makhluk.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap umat Melayu, di mana pun, dan
dalam keadaan yang bagaimana pun, tetap wajib melakukan kontak
dengan Allah dan juga manusia serta makhluk-makhluk Allah.
Dengan melaksanakan dan menjalankan perkawinan, seseorang itu
sebenarnya telah melakukan hubungan rohaniah dan juga “fisik” dengan
Tuhan dan sekaligus juga membina hubungan dengan sesama makhluk.
Dalam Islam, konsepnya tegas dan jelas, yaitu setiap muslim haruslah
membina hubungan dengan Allah dan juga membina hubungan dengan
manusia dan makhluk Allah lainnya. Ini diekspresikan dalam istilah
hablum minallah wal hablum minannas.
Seorang Melayu menempatkan dirinya sebagai bahagian yang tidak
terpisahkan dari alam. Dalam filsafat orang Melayu, kebersatuan
(persebatian) antara manusia dengan alam ini digambarkan dalam
konsep: alam yang besar dikecilkan, alam yang kecil dihabiskan, alam
305
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

yang telah dihabiskan dimasukkan ke dalam diri. Artinya adalah Allah


menciptakan alam dan segala isinya, baik itu berupa planet, satelit,
matahari, galaksi, tatasurya, bintang, dan lain-lainnya. Alam makrokos-
mos ini kemudian direnungkan, sebagai ekspresi betapa Maha Kuasanya
Allah. Selanjutnya alam besar itu terdiri dari berbagai alam kecil, yaitu
dunia dan seisinya, termasuklah lingkungan sekitar, gunung, lembah,
sungai, bukit, jelapang padi, perkebunan, sampai juga makhluk-makluk
tak kasat mata seperti: amuba, protozoa, virus, dan seterusnya. Baik alam
makrokosmos maupun mikrokosmos ini, kemudian disatukan dengan diri
manusia, yaitu manusia bersama makhluk-makhluk ciptaan Allah itu
adalah sama-sama memiliki kebutuhan dan kepentingan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan saling menjaga keseimbangan.
Perkawinan yang dilakukan manusia juga merupakan pengejewan-
tahan dari membina hubungan dengan Tuhan dan makhluk ciptaan
Tuhan. Dengan melakukan perkawinan, yang pertama adalah terjadinya
kerabat baru, yang tadinya bukan kerabat, yaitu dari pihak laki-laki dan
juga perempuan yang melakukan perkawinan tersebut. Melalui
perkawinan ini, maka segala benci menjadi cinta, segala permasalahan
menjadi kemaslahatan, segala upaya menjadi berkah. Selain itu, mereka
yang melaksanakan perkawinan, dalam pengalamannya pastilah
dipandang dapat menyelesaikan permasalah sosial dan budaya secara
bijaksana. Bagaimanapun seorang pemimpin di dalam adat Melayu
diutamakan untuk laki-laki, yang telah berumah tangga, dan menjadi
seorang ayah yang bijaksana. Demikian pula untuk imam dalam kegiatan
ibadah dalam Islam, tetap mempertimbangkan aspek-aspek tersebut.

8.5 Kearifan Menjaga Struktur Kekerabatan

Dengan melakukan perkawinan, maka sebenarnya seseorang


Melayu itu, sekaligus baik disadari atau tidak adalah arif dalam menjaga
struktur kekerabatan. Dengan melakukan perkawinan yang dipandu oleh
ajaran-ajaran adat dan agama Islam, maka seorang Melayu itu turut
menjaga kekerabatan yang diwarisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya, termasuk juga hubungan horizontalnya. Dengan melakukan
perkawinan, maka akan lestarilah kekerabatan Melayu, seperti: nini, datu,
306
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

oyang, atok, ayah, anak, cucu, cicit, piut, entah-entah. Demikian pula
kerabat dan sebutannya seperti: saudara kandung, saudara tiri, saudara
seayah, saudara sewali, saudara dua kali wali, saudara dua kali impal,
saudara tiga kali wali, saudara tiga kali impal, dan seterusnya. Demikian
juga tutur: ayah, emak, abah, akak, uwak, pak cik, bisan, minantu, ipar,
semerayan, kemun, dan seterusnya.
Melalui perkawinanlah struktur kekerabatan itu terjaga dan lestari
dari masa ke masa. Bayangkan apabila tidak terdapat institusi perkawinan
dalam kebudayaan Melayu, apa yang terjadi? Tentu saja akan pupus
segala sistem kekerabatan yang telah dibentuk tadi, dan rusak pula
tatanan keluarga dan tatanan sosial dan budaya. Maka dampaknya akan
hancur dan rusak binasalah umat Melayu. Demikian pula umat-umat lain,
akan mengalami nasib yang sama apabila ditiadakannya institusi
perkawinan ini.
Dengan demikian di dalam institusi perkawinan ini terdapat
kearifan dalam rangka menjaga kekerabatan atau turai sosial secara
umum. Tujuannya adalah mencapai konsistensi internal, yang terpolakan
dengan sangat baik, dan disahkan oleh adat dan agama Islam.

8.6 Kearifan Menjadikan Seseorang Masuk Melayu

Secara identitas, yang dimaksud orang Melayu itu, agak berbeda


dengan etnik-etnik yang ada di Nusantara ini, yang umumnya menarik
klen atau kelompok etniknya yang sangat kuat berorientasi dan
berdasarkan kepada garis hubungan darah, baik yang ditarik dari pihak
garis ayah maupun ibu. Orang Melayu dalam hal ini, sangat terbuka
menerima etnik-etnik lain untuk menjadi Melayu, berdasarkan ikatan
budaya. Di Sumatera Utara misalnya dikenal tentang masuknya orang
Batak menjadi Melayu ini terekspresi dalam pantun:

Bukan kapak sembarang kapak,


Kapak untuk membelah kayu,
Bukan Batak sembarang Batak,
Batak sudah masuk Melayu.

307
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Pantun tersebut di atas bukan asal dan sembarang membuatnya. Pantun


tersebut yang berkembang di dalam tradisi lisan Melayu, muncul karena
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Sejak awal orang Melayu
memiliki hubungan budaya dan kekerabatan dengan masyarakat Batak,
yang terdiri dari: Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing-
Angkola. Mereka yang berasal dari kelompok etnik ini, oleh orang-orang
Melayu diterima sebagai orang Melayu dengan ketentuan masuk menjadi
Islam dan mengamalkan budaya Melayu, termasuk di antaranya
berbahasa Melayu, memakai adat Melayu, dan memenuhi berbagai
persyaratan setempat. Dalam persebarannya, orang Batak yang menjadi
Melayu adalah sebagai berikut. Pada umumnya orang Karo yang menjadi
Melayu ada di Langkat, Deli, dan Serdang; Simalungun ada di Serdang
dan Bedagai. Orang-orang Batak Toba umumnya di Asahan dan
Labuhanbatu. Sementara orang-orang Mandailing-Angkola yang menjadi
Melayu umumnya berada di Labuhanbatu.
Selaras dengan perkembangan zaman, berbagai keturunan orang
Melayu yang secara genealogis berasal dari etnik Batak ini, ada yang
menggunakan pencirian Batak, seperti penggunaan marga kembali.
Namun umumnya, mereka ini berada dalam dua identitas atau
dwietnisitas, yaitu Melayu dan Batak sekaligus. Inilah fenomena budaya
dan identitas mereka yang menarik.
Demikian pula orang-orang Melayu Banjar yang berasal dari
Kalimantan Selatan, sejak perpindahannya awal kali di abad ke-19 dalam
proyek persawahan (bendang) di Serdang, diterima dan menjadi bahagian
tidak terpisahkan dari kebudayaan Melayu. Mereka ini sekarang tersebar
di kawasan Langkat, Deli, dan Serdang. Bahkan dalam seni ronggeng
Melayu, mereka ini turut serta mengembangkannya dan istilah galuh
untuk sebutan ronggeng, yang memang berasal dari kebudayan Melayu
Banjar ini.
Selanjutnya etnik lain yang masuk Melayu, terutama melalui
perkawinan adalah berasal dari etnik Jawa. Mereka sudah ada sejak masa
Majapahit, ketika melakukan ekspansi ke Sumatera Timur. Namun,
gelombang yang besar migrasi mereka di kawasan ini adalah ketika
tumbuh dan berkembangnya perusahaan tembakau Deli di Sumatera

308
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

Timur abad ke-19. Mereka ini kemudian sebahagian masuk Melayu,


menjadi Melayu, dan mendukung kebudayaan Melayu.
Begitu pula dengan etnik Minangkabau, yang hijrah ke kawasan ini,
dan memandang Deli sebagai wilayah rantaunya. Sebahagian di antara
mereka ini ada yang masuk menjadi Melayu dan terutama melalui
institusi perkawinan. Bahkan sejak awal masyarakat Melayu yang berasal
dari Minangkabau ini telah ada sejak zaman Pagaruyung. Mereka hijrah
terutama di kawasan Batubara. Di antara hubungan itu dapat dilihat dari
nama-nama kawasan di Batubara yang berkait dengan wilayah Ranah
Minang, seperti: Lima Laras, Lima Puluh (di Minang Lima Puluah Koto),
dan lain-lainnya.
Dalam menentukan masuknya seseorang dari etnik lain menjadi
Melayu, di Sumatera Timur, dikenal tiga pengkategorian. Yang pertama
adalah Melayu “asli,” artinya kedua orang tuanya memang sebagai orang
Melayu, baik itu dari Sumatera Timur, Riau, Semenanjung Malaya,
Sumatera Selatan, Bangka dan Belitung, Kalimantan, dan lainnya.
Kategori kedua, yang sangat berkait erat dengan institusi perkawinan,
adalah mereka yang disebut orang Melayu semenda. Kelompok ini dapat
diartikan sebagai kelompok masyarakat pendukung budaya Melayu, dan
menjadi orang Melayu, dan mereka berasal dari kelompok etnik lain,
yang kemudian kawin dengan orang Melayu asli tersebut. Mereka secara
adat disyahkan sebagai Melayu semenda. Hak-haknya sama dengan orang
Melayu lainnya. Yang ketiga adalah kelompok yang berasal dari etnik
lain, yang atas kesadaran dan keikhlasannya menyatakan diri sebagai
orang Melayu (beragama Islam dan menggunakan adat Melayu), walau
mereka tidak melakukan perkawinan dengan kelompok Melayu asli atau
Melayu semenda. Dengan demikian, maka institusi perkawinan ini
memiliki kearifan masuknya seseorang menjadi Melayu.

8.7 Kearifan Melahirkan Generasi Muda yang Berkualitas

Kearifan institusi dalam kebudayaan Melayu yang lainnya adalah


melahirkan generasi muda yang berkualitas. Istilah berkualitas di sini
maknanya adalah manusia yang sempurna, yang bertakwa, yakni
menjalankan segala perintah Allah dan menjahi segala yang dilarang
309
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Allah. Melalui institusi perkawinan, nilai-nilai keilahian atau keagamaan


sudah ditanamkan sejak dini.
Melalui institusi ini, sepasang suami-istri selalu menyerahkan arah
rumah tangganya dalam lindungan Allah. Doa, usaha, dan ikhtiar selalu
diupayakan oleh pasangan ini untuk menjadikan rumah tangganya
menjadi rumah tangga yang diridhai Allah, selalu berada di jalan yang
telah diajarkan oleh agama. Mereka selalu bahu-membahu dalam
membina rumah tangganya. Demikian pula mereka menginginkan dan
berharap kelak anak-anak yang mereka terima dari Allah sebagai titipan
Allah kelak menjadi anak yang berkualitas, yakni mendalami ilmu agama
dan ilmu-ilmu lain untuk kemaslahatan umat, bangsa, dan negara.
Generasi yang dihasilkan dari rumah tangga yang sedemikian rupa ini
menjadi tumpuan harapan peradaban Melayu, dalam rangka menghadapi
kehidupan di dunia, termasuk juga kepentingan di akhirat kelak. Jadi,
salah satu kearifan yang terdapat dalam institusi perkawinan adat Melayu
adalah menghasilkan generasi muda yang berkualitas.

8.8 Kearifan Membentuk dan Menjaga Adat

Di antara kearifan yang terkandung dalam institusi adat perkawinan


Melayu adalah kearifan membentuk dan menjaga adat. Bagaimana pun,
adat adalah dasar utama orang-orang Melayu dalam merespons alam ini.
Adat berisi petunjuk dan arah dalam mengisi kehidupan mereka. Dalam
persepsi umat Melayu adat harus diisi dan dijaga. Seperti yang tertuang
dalam moto adat Melayu: biar mati anak, asal jangan mati adat. Artinya
yang diutamakan dalam hidup ini adalah kesinambungan kebudayaan
(adat) secara keseluruhan. Kepentingan keluarga, kelompok, dan
golongan, adalah di bawah dari kepentingan adat yang dibentuk dan
dijaga secara bersama itu.
Dengan melakukan perkawinan, maka akan lestarilah generasi umat
Melayu dari zaman ke zaman. Dengan lestarinya generasi ini, maka turut
serta dienkulturasikan pendidikan keilmuan kepadanya. Seterusnya ia
akan menjadi manusia yang sempurna. Oleh karena itu, maka semakin
kuatlah adat Melayu. Kekuatan ini datangnya langsung dari Sang Khalik,
yaitu Allah Subhana Wata’ala.
310
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

Perkawinan adalah salah satu institusi yang penuh dengan nilai-nilai


adat. Di dalamnya terkandung tunjuk ajar Melayu, bagaimana etika,
estetika, fungsi dalam melakukan perkawinan dan juga membina rumah
tangga yang selalu dilindungi dan diberkahi Tuhan. Dengan
melaksanakan dan menghayati adat perkawinan Melayu, berarti
seseorang Melayu itu telah membentuk dan menjaga adat Melayu, yang
penuh dengan nilai-nilai,. Baik yang sifatnya universal atau yang sifatnya
partikular saja. Tujuannya adalah untuk kesinambungan budaya Melayu.

8.9 Kearifan Mengelola Peradaban Dunia dalam Budaya Melayu

Sebagai masyarakat yang terbuka, egaliter, dan inklusif, orang-orang


Melayu sangat kreatif mengelola semua peradaban di dunia ini menjadi
fungsional dan terpolarisasi dengan jelas dan mantap. Salah satu kearifan
yang sedemikian rupa diekspresikan di dalam adat perkawinan Melayu.
Di dalam adat perkawinan Melayu ini ada unsur-unsur pengelolaan
budaya yang berasal dari dalam kebudayaan Melayu itu sendiri dalam
proses yang disebut inovasi. Selain itu, berbagai aspek yang berasal dari
peradaban dunia diambil, disesuaikan, dan diaplikasikan ke dalam budaya
Melayu menurut kebijakannya sendiri. Proses ini selalu disebut dengan
akulturasi.
Kedua proses tersebut menyatu di dalam kebudayaan Melayu,
khususnya dalam istiadat perkawinan. Contoh inovasi adalah penggunaan
busana, destar, sirih genggam, dan lain-lain yang sangat berciri Melayu.
Demikian pula dalam komunikasi verbal digunakan pantun, ibarat, tamsil,
nazam, gurindam, dan kalimat-kalimat yang penuh dengan estetika
bahasa Melayu juga sebagai aspek inovasi dalam adat Melayu.
Kemudian unsur-unsur istiadat perkawinan seperti tepung tawar
dengan segala perlengkapannya, pelaminan, dan lain-lain, nampak unsur
peradaban India. Namun diubahsuaikan dengan kebudayaan Melayu.
Demikian pula penggunaan seni seperti zapin atau gambus, burdah,
marhaban, barzanji, diadun dari tradisi Islam yang berasal dari Timur
Tengah. Selanjutnya dari budaya Barat di antaranya adalah dondang
sayang, band, dan juga pakaian pengantin yang disebut dengan selayar.

311
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Tidak jarang pula orang-orang Melayu yang merupakan keturunan


India, selalu menggunakan unsur-unsur adat India seperti malam berinai
khas India, atau juga menggunakan pakaian sari India. Demikian pula
orang-orang Melayu keturunan Arab, ada pula yang menggunakan unsur-
unsur budaya Arab, seperti makanan kebab Arab, tari dan musik marawis
khas dari Timur Tengah, lagu-lagu kasidah khas Timur Tengah, dan lain-
lain. Inilah di antara keunikan peradaban Melayu di dunia ini. Ia amat
terbuka dan sekaligus memiliki nilai-nilai globalisasi, tetapi tidak
melunturkan identitas kemelayuannya. Dengan demikian, di dalam
institusi adat perkawinan Melayu ini, terkandung kearifan mengelola atau
mengadun peradaban dunia dalam budaya Melayu. Jadi sesuai dengan
pendapat para pakar tradisi lisan maupun antropologi, kearifan dalam
kebudayaan Melayu bukan hanya sekedar kearifan lokal, tetapi juga
mengandung kearifan global.

8.10 Kearifan Memutuskan Perkara dalam Hukum Adat Perkawin-


an

Kearifan lainnya di dalam institusi adat perkawinan Melayu adalah


kearifan memutuskan perkara dalam hukum adat perkawinan. Di
dalamnya terkandung kebijakan bagaimana memutuskan secara adil, jika
berlaku persengketaan, teritama dalam proses perkawinan ini. Pada
dasarnya manusia adalah sebagai makhluk indovidu dan sekaligus juga
makhluk sosial. Oleh karena itu, kepentingan individu, adakalanya
berseberangan dengan kepentingan sosial. Dalam berbagai kasus,
beberapa individu selalu menyimpang dari norma-norma sosial. Jika
terjadi sedemikian rupa, maka para pemuka adat Melayu biasanya secara
musyawarah akan memutuskan dengan seadil-adilnya permasalahan yang
sedemikian rupa.
Dalam adat perkawinan Melayu ini, telah ditetapkan norma-norma
aturannya agar diikuti oleh semua pihak yang terlibat. Di antara norma
adat tersebut adalah:
(a) harus jelas siapa yang melamar dan siapa yang dilamar, jangan ada
kesalahan orang ketika terjadi proses perkawinan ini, Jika terjadi
kesalahan, maka prosesnya dapat dibatalkan secara adat;
312
Bab VIII: Kearifan dalam Adat Perkawinan Melayu

(b) musyawarah keluarga pengantin lelaki dan perempuan mengenai


mahar dan perlengkapan perkawinan lainnya;
(c) penentuan hari pernikahan dan semua proses upacara perkawinan;
(d) pentingnya pemahaman mengenai hak dan kewajiaban sebagai suami
dan istri; dan hal-hal lain.
Dalam konteks upacara adat perkawinan Melayu ini telah ditetapkan
dengan jelas dan tegas mengenai norma-norma dan tatacara
pelaksanaannya. Dengan demikian dalam adat perkawinan Melayu telah
terkandung hukum adat yang tujuannya adalah mencapai konsistensi dan
harmoni sosial dalam kebudayaa. Jadi orang Melayu secara kultural
adalah orang yang memiliki hukum dan taat kepada hukum yang
diciptakan untuk harmoni sosial ini.

8.11 Kearifan Mengarahkan Kontinuitas dan Perubahan Kebudaya-


an

Kearifan lainnya yang terkandung di dalam adat perkawinan Melayu


adalah mengarahkan kontinuitas dan perubahan kebudayaan Melayu
secara umum. Dalam kalimat ini, terkandung makna bahwa dengan
diselenggarakannya adat perkawinan Melayu, maka telah dilestarikan
kebudayaan Melayu secara umum. Pelestarian ini mencakup berbagai
gagasan, tindakan, dan artefak budaya Melayu, terutama yang terdapat
dalam upacara perkawinan Melayu ini.
Gagasan tersebut dapat berupa aplikasi adat bersendikan syarak
dalam upacara. Selain itu ada pula gagasan mengenai hempang dalam
upacara perkawinan, yang dapat dimaknai sebagai “permainan” dalam
konteks mengakrabkan kerabat pengantin pria dengan kerabat pengantin
wanita. Demikian pula gagasan tentang simbol rasa asin pada garam,
manis pada gula, dan masam pada asam, merupakan lambang dari
kehidupan ini.
Segala aktivitas dalam upacara adat perkawinan ini adalah juga
merupakan pengejewantahan dari pelestarian kebudayaan Melayu, baik
dari kegiatan yang nampak dan kasat mata, termasuk pula nilai-nilai
kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Aktivitas istiadat ini

313
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

sebenarnya terangkum di dalam adat-istiadat, yang menggambarkan adat


yang sebenar adat, dan adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
Kemudian benda-benda upacara khas perkawinan ini, seperti:
pelaminan, destar, baju gunting China, kebaya, sanggul, kasut, seluar
pengantin, kain sesamping, sirih genggam, ramuan rinjisan, dan lain-lain
adalah manifestasi dari pemeliharaan kebudayaan, di samping juga tetap
mempertimbangkan segala perubahan yang terjadi.
Di dalam konsep adat Melayu telah digariskan bahwa dalam
menempuh kehidupan ini, manusia pastilah melalui perubahan-perubahan
yang tergantung dalam kondisi dan masa di mana kebudayaan itu hidup.
Perubahan adalah hukum alam, dan ini diintegrasikan ke dalam konsep
adat yang teradat. Namun demikian, di dalam perubahan pastilah ada hal-
hal yang perlu dilestarikan. Perubahan bukan secara revolutif, tetapi
evolutif menurut pemikiran di dalam adat Melayu. Jadi perubahan harus
diimbangi oleh kekekalan yang perlu dilestarikan. Tidak berubah segala-
galanya. Contoh kontinuitas dalam upacara adat perkawinan adalah
konsep tentang perkawinan itu sendiri, serta penciri kebudayaan Melayu,
dan lainnya. Adapun perubahan itu di antaranya adalah penggunaan
pakaian ala Timur Tengah saat akad nikah, perubahan kesenian untuk
acara hiburan, perubahan tempat resepsi perkawinan, perubahan
teknologi yang menyebabkan dapat direkamnya semua hal yang berkaitan
dengan upacara, sampai juga penggunaan media sosial di internet, seperti
facebook, twitter, website, dan lain-lain.
Jadi dengan demikian, pelaksanaan upacara adat perkawinan Melayu
adalah mengandung kearifan mengarahkan kontinuitas dan perubahan
kebudayaan Melayu pada umumnya. Kontinuitas menekankan kepada
kesinambungan dan peruibahan menekankan kepada situasi ruang dan
waktu.

314
Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog

BAB IX

KESIMPULAN, SARAN,
DAN EPILOG

9.1 Kesimpulan

Setelah diuraikan secara meluas dari bab pertama sampai delapan,


maka pada bab ini ditarik kesimpulan dari tema besar buku ini yaitu adat
perkawinan Melayu. Kesimpulan ini digunakan untuk menjawab pokok
masalah atau pertanyaan pengkajian dalam buku ini, yaitu: (a) gagasan,
(b) terapan, (c) fungsi, dan (d) kearifannya.
Yang pertama, yaitu gagasan perkawinan dalam kebudayaan
Melayu adalah berlandaskan kepada konsep adat bersendikan syarak—
syarak bersendikan kitabullah (ABS-SBK). Artinya gagasan perkawinan
dalam kebudayaan Melayu adalah berdasar kepada adat Melayu.
Selanjutnya adat Melayu berdasarkan kepada ajaran agama Islam.
Dengan demikian semua gagasan tentang perkawinan dalam adat Melayu
berdasar kepada agama Islam. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjadi rujukan dari gagasan perkawinan ini adalah surat An-Nisaa’ dan
surat Ath-Thalaq. Gagasan itu di antaranya adalah sebagai berikut: (i)
Bahwa Allah menciptakan setiap manusia berpasang-pasangan yaitu
suami dan istri, yang berasal jenisnya sendiri, agar tenteram, dan itu
adalah salah satu tanda kebesaran Allah sebagai Sang Khalik. (ii) Berilah
mas kawin (mahar) kepada wanita yang dinikahi. (iii) Di depan Allah,
secara hakiki bagi setiap manusia dianjurkan untuk kawin, dan rezeki
dalam rumah tangga itu Allah yang mengaturnya. (iv) Jangan menikahi
wanita musyrik sebelum mereka beriman, dan jangan menikahkan lelaki
musyrik kepada wanita muslim sebelum mereka beriman, sebab kaum
musyrik ini akan mengajak umat Islam ke neraka. (v) Adanya larangan
Allah untuk mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
315
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang


perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui
kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-
anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, mengawini wanita yang
sudah bersuami. Allah memiliki tujuan atas pelarangan ini, baik dari
sudut keturunan, moralitas, menjaga struktur sosial manusia, dan hal-hal
lainnya.
Kesemua firman Alllah tersebut mengarahkan bagaimana
seharusnya setiap individu Islam (termasuk orang Melayu), melakukan
institusi yang disebut perkawinan ini. Dalam ajaran agama Islam ini,
perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dalam konteks kontinuitas
generasi manusia dan sekaligus juga menjaga struktur sosial yang telah
wujud sejak adanya manusia.
Gagasan perkawinan dalam konteks kebudayaan Melayu adalah
bertujuan untuk menemukan dan menyatukan pasangan suami dan istri
berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Allah SWT. Melalui upacara
perkawinan atau nikah kawin, maka sahihlah persatuan hidup antara
sepasang suami dan istri ini, dalam naungan akidah, syariah, dan akhlak
seperti yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadits
Yang kedua, gagasan tadi diterapkan dalam tiga fase utama, yaitu pra
pernikahan, pernikahan, dan pasca pernikahan. Terdapat kekayaan variasi
dalam pelaksanaan gagasan perkawinan dalam kebudayaan Melayu.
Bukan saja antara kawasan dalam Dunia Melayu, melainkan juga satu
tempat yang sama pun memiliki variasi yang membuat kekayaan adat
perkawinan Melayu tersebut.
Berikut ini adalah penerapan istiadat perkawinan Melayu yang
terdapat di Sumatera Timur, berdasarkan penelitian yang kami lakukan
dalam tiga dasawarsa terakhir ini.
316
Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog

1. merisik kecil melalui seorang telangkai (perantara);


2. merisik resmi dan meminang;
3. menyorong tanda sebagai pengabsahan pertunangan;
4. ikat janji;
5. jamu sukut, yaitu kenduri untuk memberitahukan kepada keluarga
masing-masing pihak;
6. berinai;
6.1 berinai curi,
6.2 berinai kecil,
6.3 berinai besar,
6.4 pertunjukan tari dan musik inai,
6.5 hiburan pertunjukan budaya;
7. akad nikah;
7.1 keluarga lelaki,
7.2 keluarga perempuan,
7.3 tuan kadi,
7.4 saksi-saksi akad nikah,
7.5 pelaksanaan akad nikah,
7.6 pembacaan sighat taklid oleh mempelai lelaki,
7.7 doa,
7.8 marhaban dan barzanji;
8. mengantar pengantin;
8.1 silat tarik,
8.2 hempang batang,
8.3 silat laga,
8.4 tukar tepak sirih di halaman,
8.5 tukar memayungi pengantin,
8.6 perang bertih/ bunga rampai,
8.7 Tari Persembahan (Makan Sirih),
8.8 sepatah kata di halaman;
8.9 hempang pintu,
8.10 pijak batu lagan,
8.11 sembah mertua,
8.12 hempang kipas/ pelaminan
8.13 tepung tawar,
317
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

8.14 makan nasi hadap-hadapan/ nasi belam,


8.15 hiburan seni pertunjukan;
9. mandi bedimbar/mandi berhias;
10. resepsi pernikahan (rumah atau di hotel);
11. meminjam pengantin;
12. malam bersatu/malam pengantin;
13. naik halangan;
15. cemetuk kedua dari suami;
15. kunjungan pengantin baru;
16. hari megang.
Dalam setiap upacara perkawinan selalu digunakan seni
persembahan, yang dapat dibagi dalam dua fungsi utama, yaitu (a) yang
ritual menggunakan seni: inai, hadrah, zapin, marhaban, barzanji, silat,
Rinjis-rinjis, Anak Ikan, Tari Persembahan, dan lainnya. Sedangkan seni
untuk fungsi (b) hiburan terdiri dari seni: ronggeng atau joget, serampang
dua belas, dan keyboard. Seni keyboard ini populer sejak dasawarsa
1980-an, hinga ke hari ini.
Yang ketiga, fungsi perkawinan dalam kebudayaan Melayu, menurut
kami adalah: (a) fungsi keberlanjutan generasi manusia Melayu, (b)
fungsi sebagai perubahan dan kontinuitas budaya, (c) fungsi untuk
menjaga struktur kekerabatan, (d) fungsi untuk pemenuhan kebutuhan
biologis, (e) fungsi sebagai kesempurnaan sebagai makhluk manusia, (f)
fungsi untuk menghindari perbuatan dosa, (g) fungsi etika dan norma-
norma sosial, dan lain-lainnya.
Yang keempat, kearifan-kearifan yang terdapat dalam upacara adat
perkawinan Melayu adalah sebagai berikut: (i) kearifan menjadikan diri
sebagai manusia yang sempurna (insan al-kamil); (ii) kearifan membina
hubungan dengan Tuhan, manusia, dan makhluk, (iii) kearifan menjaga
struktur kekerabatan; (iv) kearifan menjadikan seseorang masuk Melayu,
(v) kearifan melahirkan generasi muda yang berkualitas; (vi) kearifan
membentuk dan menjaga adat, (vii) kearifan mengelola peradaban dunia
di dalam budaya Melayu; (viii) kearifan memutus perkara dalam konteks
adat perkawinan; (ix) kearifan mengarahkan kontinuitas dan perubahan
kebudayaan.

318
Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog

Keempat-empat aspek yang kami kaji ini, yaitu: gagasan, terapan,


fungsi, dan kearifan upacara adat perkawinan Melayu adalah menjadi
bahagian dari jatidiri manusia Melayu, yang telah melintasi ruang dan
waktunya selama berabad-abad di dunia ini. Dalam konteks upacara pun
ajaran Islam memang menjadi panduannya. Namun demikian unsur-unsur
budaya sebelum masuknya Islam tetap dilestarikan sesuai dengan ajaran
Islam. Pemungsian ajaran Islam dalam konteks adat perkawinan Melayu
adalah prosesnya dalam “pembumian” atau “penerapan lokal.” Bagi
masyarakat Melayu Islam adalah paripurna, namun bagaimana ia
diterapkan dalam kebudayaan Melayu, harus penuh dengan
kebijaksanaan. Dengan demikian adat perkawninan Melayu, sangat kuat
mengekspresikan nilai-nilai keagamaan Islam, yang menyatu secara
berjalin, memperkuat, dan sinerji—bukan merupakan pertentangan dua
kutub yang berbeda, tetapi sebaliknya.

9.2 Saran-saran

Dalam semua masa dan ruang yang telah dilalui oleh masyarakat
Melayu, maka adat perkawinan terus kontinu, sekaligus mengalami
perubahan-perubahan di sana-sini. Apapun yang terjadi dalam institusi
adat perkawinan Melayu, semestinya polarisasinya haruslah mengarah
kepada penguatan identitas kebudayaan Melayu. Lebih jauh lagi adalah
menuju umat yang menjadi rahmat kepada semesta alam. Dalam mengisi
dimensi ruang dan waktu ini, perlu mempertimbangkan kontinuitas
(kesinambungan atau kelestarian) dan perubahan sekaligus. Diupayakan
oleh orang-orang Melayu agar kontinuitas dan perubahan yang terjadi
tidak revolutif tetapi evolutif dan secara alamiah saja. Bukan berupa
pemaksaan-pemaksaan yang sifatnya formal, dan masyarakat dengan
sangat terpaksa harus mematuhinya. Sebaiknya kontinuitas dan
perubahan dalam intitusi adat perkawinan Melayu adalah penuh dengan
kewajaran, kebijaksanaan, dan keadilan sosiobudaya.
Selain itu, karena seperti disadari, berdasarkan realitas yang terjadi,
upacara atau istiadat perkawinan Melayu memiliki variasi yang begitu
kaya, bukan hanya variasi berdasarkan geografi saja, tetapi juga variasi
berdasarkan pribadi pelakunya, maka sudah selayaknya dilakukan
319
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

penelitian-penelitian yang sifatnya integral, menyeluruh, dan holistik,


terhadap eksistensi istiadat perkawinan Melayu ini. Dalam konteks
tersebut, diperlukan kerjasama, bukan hanya masyarakat Melayu yang
satu dengan masyarakat Melayu lainnya, tetapi juga antar pemerintah,
dan juga antar tokoh-tokoh adat di semua negeri Melayu di Asia
Tenggara ini. Kita memiliki institusi seperti MABBIM (Majelis Bahasa
Indonesia Brunai dan Malaysia), yang telah berhasil menghimpun
kebersamaan bahasa Melayu. Ini dapat diperluas dalam konteks
mendokumentasikan istiadat perkawinan Melayu yang penuh dengan
makna-makna.
Dalam konteks mendokumentasikan kekayaan dan keanekaragaman
istiadat perkawinan Melayu ini, sebenarnya dalam rangka memperluas
wawasan kebudayaan kita, diperlukan ensiklopedia Melayu atau lebih
khusus lagi ensiklopedia perkawinan Melayu. Tujuannya adalah untuk
kita sumbangkan ilmu tersebut kepada generasi yang akan datang. Oleh
karena itu, saran kami, sangat diperlukan dokumentasi yang meluas dan
mendalam tentang adat perkawinan Melayu ini. Tentu saja dengan
pendekatan multidisiplin ilmu.
Dalam rangka enkulturasi ilmu-ilmu budaya seperti halnya adat
perkawinan Melayu ini, diperlukan pembelajaran dalam skala prioritas
jangka pendek, menengah, dan panjang, kepada para generasi muda. Pada
saat ini diperlukan bengkel atau workshop kepada para generasi muda
untuk menjadi telangkai yang jumlahnya kian hari kian menyusut.
Pentingnya pembelajaran menjadi telangkai ini selain dari faktor menjaga
kelestarian budaya, juga adalah untuk kepentingan ekonomi pelakunya.
Menjadi telangkai biasanya menjadi salah satu pendukung ekonomi
keluarga. Selain itu, setiap saat ada orang Melayu yang melaksanakan
adat perkawinan Melayu, dan pasti memerlukan telangkai, mak andam,
pengusaha catering, fotografer, ahli shooting video, dan lain-lain.
Kesemua bidang ini diperlukan pelatihan secara terjadwal, kontinu, dan
terukur, terutama difasilitasi oleh lembaga-lembaga adat Melayu seperti
MABMI, MABIN, AMMI, GAMMI, dan lain-lainnya.
Upacara adat perkawinan Melayu ini juga dapat difungsikan dalam
konteks dunia kepariwisataan kita. Contoh-contoh perkawinan adat
Melayu dan semua pendukungnya ini dapat dilakukan atau dipergelarkan
320
Bab IX: Kesimpulan, Saran, dan Epilog

di berbagai tempat tujuan wisata. Begitu juga dengan seni budaya yang
terkait dengan upacara adat perkawinan Melayu ini, juga dapat berfungsi
sebagai seni wisata kultural di kawasan ini. Oleh karena itu, kerjasama
antara lembaga-lembaga adat Melayu dan kementerian pariwisata,
budaya, dan juga ekonomi (kreatif) perlu terus digalakkan, bukan hanya
sekedar kata-kata, tetapi yang lebih penting adalah aplikasinya.
Bagaimanapun di dalam wisata terkandung kegiatan kultural, ekonomis,
dan tentu saja strategi pemeliharaan dan pengembangan adat.

9.3 Epilog

Di era yang disebut dengan globalisasi ini, dunia semakin menyatu


dan meninggalkan sedikit demi sedikit perbatasan negara-negara bangsa.
Hakikatnya dalam proses ini, semua manusia berada di dalam satu
“kampung” dunia. Apapun yang tejadi di setiap pelosok di dunia ini,
dengan cepat saja kita ketahui melalui media. Dalam keadaan yang
sedemikian rupa ini, ada kecenderungan terjadinya “penyeragaman”
kebudayaan sejagad. Setiap manusia dipaksa dan terpaksa mengikuti
budaya “dominan” yang menjadi trend di saat ini. Apalagi dalam selera
pasar budaya pop kecenderungan itu sangat tampak di depan mata semua
manusia di dunia ini.
Di sisi lain, setiap kelompok manusia dan kebudayaannya
mempunyai resistensi untuk menolak penyeragaman tersebut. Identitas
etnik, budaya, bahasa, kultur tertentu sangat diperlukan dalam menyikapi
dan merespons proses globalisasi ini. Dalam globalisasi ini kelompok-
kelompok manusia malah cenderung pula untuk memelihara dan
mempertahankan identitasnya masing-masing. Mereka tidak mau didikte
oleh proses globalisasi tersebut. Mereka ingin mempertahankan identitas
khasnya.
Dalam menyikapi keadaan tersebut di atas, umat Melayu selalu
mengadunnya secara bijaksana. Secara historis, umat Melayu telah
melakukan globalisasi budaya, sebelum istilah ini akrab di telinga kita
dalam empat dasawarsa terakhir. Umat Melayu selalu mengadun semua
peradaban dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Kita sudah terbiasa
dengan proses akulturasi yaitu menerima unsur budaya asing dan diolah
321
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

kembali sesuai dengan fitrah kebudayaan Melayu. Berbagai peradaban


dunia seperti India, Arab, China, Jepang, Eropa, Amerika, dan lainnya
telah diadun dengan kreatif dalam kebudayaan Melayu. Namun orang
Melayu juga tetap mengembangkan budayanya yang berasal darai dalam
kebudayaan Melayu itu sendiri. Kebijakan mengelola peradaban secara
multidimensional dalam polarisasi menuju ridha Allah adalah sebuah
keinginan besar masyarakat Melayu dari zaman ke zaman. Dengan
demikian kita akan menjadi khalifah di muka bumi ini, sekaligus menjadi
rahmat kepada seluruh semesta alam. Tentu saja dengan bimbingan dan
ridha dari Allah Subhana Wata’ala, insya Allah.

Tinggi terbang si rama-rama,


Hinggap kembali di pokok padi,
Melalui adat serta agama,
Perkawinan Melayu bersifat suci.

Tanam-tanam si pokok jati,


Ditanam pula si ganda rusa,
Apa tanda Melayu sejati,
Memegang adat sepanjang masa.

Rantauprapat sungainya Bilah,


Anak nelayan tangkap gurami
Seperti kata Wira Hang Tuah
Tak kan Melayu hilang di bumi

322
Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

a. Kitab Suci
Al-Qur’an.

b. Buku, Artikel, Majalah, Jurnal, Koran, Skripsi, Tesis, Disertasi,


Makalah, Kamus, Ensiklopedi, dan Sejenisnya
Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat
Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka.
A. Rais B.N., 1983. Peranan, Nelayan, dan Perkawinan dalam Tata Cara
Adat-istiadat Melayu Deli Serdang. Lubuk Pakam: (Tanpa Penerbit).
Amran Kasimin, 2002. Perkawinan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
A.S. Keraf, 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Blacking, John. 1964. How Musical is Man? Seattle: University of Washington
Press.
DeFleur, Melvin L., 1985. Understanding Mass Communication. Boston:
Houghton Mifflin Company.
de Jong, J.P.B de Josselin, 1971. Kepulauan Indonesia sebagai Lapangan
Penelitian Etnologi (Terjemahan P. Mitang). Jakarta: Bhratara.
Djelantik. 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
Drewes, 1985. The Islamization of Indonesia Began in the 1300s as Sufi
Mysticism. Jakarta.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Ediruslan Amanriza, t.t. Adat Perkawinan Melayu Riau. Riau: Unri Press.
Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1994. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Goodenough, W.H., 1970. Description and Comparison in Cultural
Anthropology. Chicago: Aldine Publishing Company.
Gough, E.K., 1959. “The Nayars and the Definition of Marriage.” Journal of the
Royal Anthropological Institute, pp. 23-34.

323
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia. New YorK: St. Martin's Press.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia
Tenggara, 1994, (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan
disunting oleh M. Habib Mustopo), Surabaya: Usaha Nasional.
Hart, Michael H., 1990. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in
History. New York: Carol Publishing Group.
Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre
dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hasbullah Ma’ruf, 1977. Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu
Sumatera Timur. Medan.
Haviland, William A., 1999. Antropologi (penerjemah R.G. Soekadijo). Jakarta:
Erlangga.
Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya.
Husin Embi (et al.), 2004. “Adat Perkawinan di Melaka.” di dalam, Abdul Latiff
Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat
Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka.
Ismail Husein, 1994. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala
Lumpur: University Kebangsaan Malaysia.
Koentjaraningrat. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.
Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes (ed.), 1990. Tribal Peoples and
Development in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Department of
Anthropology and Sociology, University of Malaya (Special
Unnumbered Issue of Manusia dan Masyarakat).
Linda Asmita, 1994. Studi Deskriptif Musik Inai dalam Konteks Upacara
Perkawinan Melayu di Desa Batang Kuis dan Desa Nagur, Kecamatan
Tanjung Beringin, Kabupaten Deli Serdang. Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi
Sarjana Seni).
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chichago: Northwestern
University Press.
Metzger, Laurent, 1994. “Kekuatan dan Kelemahan Orang Melayu: Suatu
Pandangan Seorang Asing,” Alam Melayu, Yaacob Harun (ed.),
Kuala Lumpur: Akademi Pengkajian Melayu Universiti Malaya, pp.
158-175.
Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to
A National Performance Tradition (Disertasi Doktoral). Michigan:
The University of Michigan.
Muhammad Ali Zainuddin dan O.K. Gusti, 1995. Intisari Adat dalam Hal
Pinang-meminang dan Perkawinan Menurut Adat Resam Melayu
324
Daftar Pustaka

Pesisir Sumatera Timur. Medan: Grup Tepak Melayu Telangkai


Pelestari Adat Kebudayaan Melayu.
Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah dalam Kebudayaan Melayu di Deli
Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Jurusan
Etnomusikoligi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi
Sarjana Seni).
Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu
Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan:
Bartong Jaya.
Muhammad Takari dan Fadlin, 2014. Ronggeng dan Serampang Dua Belas
dalam Kajian Ilmu-ulmu Seni. Medan: Universitas Sumatera Utara
Press.
N.A. Ridwan, 2007. “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.” Jurnal Studi Islam
dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38.
Narrol, R., 1965. "Ethnic Unit Classification." Current Anthropology, volume 5
No. 4."
Nasruddin et al., 2011. Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan
Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Republik Indonesia.
Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. Indiana: Colier
Macmillan.
Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and
Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May
(ed.). California: University California Press.
O.K. Gusti bin O.K. Zakaria, 2005. Upacara Adat-Istiadat Perkawinan Suku
Melayu Pesisir Sumatera Timur. Medan: (Tanpa Penerbit).
O.K. Moehad Sjah, 2012. Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Pesisir
Sumatera Timur. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Panuti Sudjiman. 1994. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pelzer, Karl J., 1962. “Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli.”
Journal of Southeast Asian History. 2(2).
Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian
Struggle in East Sumatra 1863-1847. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985.
Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria
1863-1947 (Terjemahan J. Rumbo). Jakarta: Sinar Harapan.
325
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society.


Glencoe: Free Press.
Ramlan Damanik, 2002. “Fungsi dan Peranan Upacara Adat Perkawinan
Masyarakat Melayu Deli.” Medan: Universitas Sumatera Utara.
R. Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: yayasan Bentang,
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Sachs, Curt, 1962. World History of the Dance. California: University of
California.
Sutan Muhammad Zein, 1957. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Syarifah Aini, 2013. Tari Inai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu
di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi. Medan:
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni).
Tamrin Amal Tamagola dan Alpha Amirrachman, 2007. Revitalisasi Kearifan
Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso.
Jakarta: International Center for Islam and Pluralism.
Tenas Effendy, 1994. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan
Pengembangan Budaya Melayu.
Tenas Effendy, 2004. Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang
Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Tenas Effendy, 2013a. Sifat-sifat Utama Pemimpin Melayu. Pekanbaru:
Lembaga Adat Melayu Riau.
Tenas Effendy, 2013b. Tunjuk Ajar Melayu tentang Wakil. Pekanbaru: Lembaga
Adat Melayu Riau.
Tenas Effendy, 2013c. Tunjuk Ajar Melayu tentang Pemberi dan Penerima
Amanah. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.
Tenas Effendy, 2014. “Pentingnya Amalan Adat dalam Masyarakat Melayu.”
dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004.
Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni
Malaysia Melaka.
Tengku Admansyah, 1987. Peranan Budaya Melayu Sebagai Sub Kultur
Kebudayaan. Rantauprapat.
Tengku Luckman Sinar, 1985. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan
Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang.
Tengku Luckman Sinar, 1986. Sari Sejarah Serdang. Medan.

326
Daftar Pustaka

Tengku Luckman Sinar, 1994. Adat Perkawinan dan Tata Rias Pengantin
Melayu. Medan: Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya
Melayu.
Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk
Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni.
Tengku Muhammad Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan
Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar Keserasian Sosial
dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan.
Tengku Muhammad Lah Husni,1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir
Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penulis dan Pemrogram, Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi elektronik
luar jaringan/ luring). Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia.
Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. Wisconsin: University of
Wisconsin.
Hashim Wan Teh, 1997, Tamadun Melayu dan Pembinaan Tamadun Abad
Kedua Puluh Satu, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor
falsafah. Canberra: The Australian National University.
Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictionary (Romanised). London:
Mcmillan Co. Ltd.
Y. Apriyanto, et al., 2008. “Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan
Sumberdaya Air yang Berkelanjutan.” Makalah Pada PKM IPB, Bogor.
Yuscan, 2007. Falsafah Luhur Adat Istiadat Perkawinan Melayu Sumatera
Timur. Medan: Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia.
Zainal Arifin AKA, 2002. Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai: Riwayat Tengku
Amir Hamzah. Langkat: Dewan Kesenian Langkat.
Zainal Arifin AKA, 2005. Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan
Kemerdekaan. Medan: Penerbit Mitra.
Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan
Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu
Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka.

c. Internet
I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos.
co.id , didownload 17/9/03.
Nyamai-Kisia, Caroline. 2010. Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia.
http://phenomenaaroundus. blogspot. com/2010/06/ kearifan-lokal …
Tom Ibnur, dalam http://sriandalas.multiply.com/journal/item/25

327
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Wardah Fazri, menulis artikel dalam http://female.kompas.com/read/2010/02/02


/19150389/Prosesi.Pernikahan.Adat.Palembang
http://jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/0/adatperkawinan-melayu-melaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Zapin
http://wikipedia.org

328
Lampiran

LAMPIRAN

ADAT PERKAWINAN MELAYU


Oleh: Happy Susanto, M.A. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
(dalam melayuonline.com/ind/culture/dig/1545)

1. Konsep Perkawinan Melayu


Perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting.
Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dibilang terasa sangat
spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak
tertuju kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari
perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar. Yang ikut memikirkan tidak saja calon
pengantinnya saja, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi yang paling utama juga termasuk
orang tua dan keluarganya karena perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai
orang tua-tua yang harus dihormati.
Adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit karena banyak tahapan yang harus
dilalui. Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan dalam pandangan Melayu harus mendapat
restu dari kedua orang tua serta harus mendapat pengakuan yang resmi dari tentangga maupun
masyarakat. Pada dasarnya, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Meski tidak masuk dalam
rukun perkawinan Islam, upacara-upacara yang berhubungan dengan aspek sosial-
kemasyarakatan menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna bagaimana
mewartakan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara umum. Dalam adat perkawinan
Melayu, rangkaian upacara perkawinan dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang
keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya. Hanya
saja, memang ada sejumlah tradisi atau upacara yang dipraktekkan secara berbeda-beda di
sejumlah daerah dalam wilayah geo-budaya Melayu.
Sebenarnya jika mengikuti ajaran Islam yang murni, tahapan upacara perkawinan cukup
dilakukan secara ringkas dan mudah. Dalam ajaran Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan
sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ajaran Islam perlu diterapkan di
berbagai daerah dengan menyertakan adat-istiadat yang telah menjadi pegangan hidup
masyarakat tempatan. Dalam pandangan Melayu secara umum, prinsip (syariat) Islam perlu
“dikawinkan” dengan adat budaya masyarakat. Sehingga, integrasi ini sering diistilahkan sebagai
“Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, atau “Syarak mengata, adat memakai” (apa
yang ditetapkan oleh syarak itulah yang harus digunakan dalam adat).
Dalam pandangan budaya Melayu, kehadiran keluarga, saudara-mara, tetangga, dan
masyarakat kepada majelis perkawinan tujuannya tiada lain adalah untuk mempererat hubungan
kemasyarakatan dan memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang dilangsungkan.
Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan
masyarakat tidak merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan
menimbulkan desas-desus tidak sedap di masyarakat, mulai dari dugaan kumpul kebo, perzinaan,
dan sebagainya.
Menurut Amran Kasimin, perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah
dalam kehidupan seseorang. Rasa kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami-istri
merupakan nilai penting yang terkandung dalam makna perkawinan Melayu. Untuk itulah,
perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perkawinan
tersebut mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat.
2. Proses Perkawinan
Ketika seorang laki-laki atau perempuan hendak menikah tentu diawali dengan proses yang
panjang. Proses paling awal menuju perkawinan yang dimaksud adalah penentuan siapa jodoh
329
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

yang cocok untuk dirinya atau yang dalam adat Melayu biasa disebut dengan istilah merisik dan
meninjau. Setelah jodoh yang dirasa sesuai sudah dipilih, maka kemudian dilakukan tahap kegiatan
merasi, yaitu mencari-cari tahu apakah jodoh yang telah dipilih itu cocok (serasi) atau tidak. Jika
kedua tahapan tersebut dirasa sesuai dengan harapan diri orang yang akan menikah maka
kemudian dilakukan tahapan melamar, meminang, dan kemudian bertunangan. Setelah kedua
calon tersebut bertunangan, maka upacara perkawinan dapat segera dilangsungkan.
2. 1. Merisik dan Meninjau
Merisik adalah kegiatan memilih jodoh yang dilakukan orang tua untuk mencarikan calon istri
bagi anak laki-lakinya. Kegiatan merisik biasanya dilakukan apabila seorang laki-laki yang hendak
menikah dengan seorang gadis tetapi belum mengenali jati diri gadis tersebut atau jika sudah kenal
namun baru sebatas kenal sekilas saja. Tujuan dari kegiatan merisik adalah untuk memastikan
apakah gadis tersebut sudah memiliki pasangan atau belum. Tentunya, jika gadis tersebut telah
memiliki tunangan maka laki-laki tersebut tidak bisa lagi berniat untuk menikahinya. Sebab, dalam
hukum Islam seseorang itu dilarang untuk meminang tunangan orang lain.
Para orang tua biasanya mulai berpikir jika anak laki-lakinya dipandang sudah siap untuk
berkeluarga mereka akan mencari dan memperhatikan beberapa gadis yang dikenalinya. Di
samping sebagai jalan untuk mencari jodoh, kegiatan merisik juga dimaksudkan untuk mengetahui
latar belakang calon menantu perempuan, kesuciannya, dan juga kepribadiannya. Kegiatan merisik
juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun,
tingkah laku, bagaimana paras wajahnya, dan juga pengetahuan gadis tersebut tentang agamanya.
Secara prinsipil, kegiatan ini sebenarnya positif saja dilakukan agar para orang tua tidak
salah dalam upaya mencari calon istri yang terbaik untuk anak laki-lakinya. Namun, kegiatan
seperti ini lambat laun jarang dilakukan mengingat zaman sekarang yang sudah begitu modern,
sehingga anak laki-laki pada masa kini lebih suka memilih sendiri jodoh yang diharapkannya. Pada
masa lalu, orang tua sering khawatir jika anak lak-lakinya hendak menikah dengan seorang gadis
yang tidak diketahui bagaimana latar belakangnya. Artinya bahwa pada masa lalu kegiatan merisik
lebih dimaksudkan untuk mengantisipasi agar anaknya tidak salah memilih orang.
Adat merisik biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki, sedangkan adat meninjau dilakukan
oleh kedua pihak. Setelah kegiatan merisik dapat menentukan bahwa gadis tersebut belum
memiliki pasangan, selanjutnya dilakukan tahapan meninjau. Kegiatan ini kadang dilakukan
sekaligus dengan kegiatan merisik. Kegiatan meninjau dimaksudkan untuk mengetahui tempat asal
calon yang akan dinikahi. Kegiatan meninjau dilakukan oleh seorang wakil yang dipercaya dapat
melakukannya. Kegiatan meninjau akan dirasa mudah jika wakil tersebut sudah mengenal gadis
tersebut. Jika belum mengenalnya maka diperlukan waktu untuk melakukan tahapan peninjauan.
Apa saja yang perlu ditinjau? Aspek-aspek yang ditinjau biasanya berkenaan dengan
kepribadian perempuan, termasuk kesopanan tingkah laku dan bahasanya. Selain itu juga perlu
diperhatikan bagaimana cara dia berbicara. Sebagai contoh, bagaimana cara dia menghindangkan
makanan dan minuman kepada tamu. Aspek-aspek yang berkaitan dengan bagaimana cara dia
membersihkan dirinya, seperti berpakaian dan berhias juga perlu diperhatikan untuk menilai
apakah gadis tersebut berkepribadian baik atau tidak. Sebenarnya masih banyak aspek lain yang
perlu ditinjau, di antaranya adalah soal pendidikan, seluk beluk tentang siapa saja orang-orang
dalam keluarga intinya, dan juga latar belakang ekonomi keluarganya. Pada masa lalu, ketika
memilih calon istri aspek yang lebih diutamakan adalah latar belakang pengetahuan agama, tata
susila, dan kesantunan dalam berbahasa.
Kegiatan meninjau juga dapat dilakukan oleh pihak perempuan. Bapak dan ibu pihak
perempuan misalnya bisa meninjau keadaan sesungguhnya seputar diri dan keluarga calon suami
dari anak gadisnya. Kegiatan peninjauan ini biasanya dimaksudkan untuk memastikan status
bujang laki-laki tersebut dan bagaimana latar belakanng ekonominya. Orang tua pihak perempuan
biasanya perlu memastikan bahwa calon suami dari anaknya mampu membiayai hidup rumah
tangga yang kelak dibangun.

330
Lampiran

2. 2. Merasi
Kegiatan merasi sudah sangat jarang dilakukan dalam masyarakat Melayu. Tujuan merasi
adalah untuk memastikan apakah pasangan yang hendak dijodohkan itu sebenarnya cocok atau
tidak. Artinya, merasi adalah kegiatan meramal atau menilik keserasian antara pasangan yang
hendak dijodohkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui perantaraan seorang ahli yang sudah
terbiasa bertugas mencari jodoh kepada orang yang hendak menikah. Pencari jodoh tersebut akan
memberikan pendapatnya bahwa pasangan tersebut dinilai cocok (sesuai) atau tidak.
Pada masa lalu, masyarakat adat mempercayai bahwa kegiatan ini dirasa penting karena
kerukunan rumah tangga ditentukan oleh adanya keserasian antara pasangan suami-istri. Jika hasil
keputusan merasi adalah bahwa pasangan tersebut tidak cocok, maka biasanya orang tua dari
masing-masing pasangan akan membatalkan rencana perkawinan anak-anak mereka. Alasannya,
jika mereka tetap dijodohkan maka konsekuensinya akan berdampak pada ketidakharmonisan,
ketidakrukunan, dan keutuhan rumah tangga mereka akan hancur. Masyarakat pada masa lalu
percaya bahwa pasangan yang tidak serasi akan didera dengan kemiskinan, perceraian, dan
bencana lainnya.
2. 3 Melamar, Meminang, dan Bertunangan
Setelah dirasa bahwa pasangan yang akan menikah sudah cocok, langkah kemudian adalah
tahapan melamar dan meminang. Sebelum meminang, keluarga pihak laki-laki melamar terlebih
dahulu gadis yang akan dinikahi. Maksud dari kegiatan melamar adalah menanyakan persetujuan
dari pihak calon pengantin perempuan sebelum dilangsungkannya acara meminang. Jika masih
dalam tahap melamar, maka rencana perkawinan belum dapat dipastikan. Artinya, meskipun pihak
calon pengantin laki-laki telah merisik dan meninjau latar belakang perempuan yang akan dinikahi,
namun dalam tahap melamar jawaban yang akan diterima darinya masih belum bisa dipastikan.
Lain lagi jika telah perempuan tersebut telah dipinang, maka jawaban darinya bisa diakatakan telah
pasti.
Lamaran dilakukan oleh pihak calon pengantin laki-laki, yaitu dengan cara mengantarkan
beberapa wakil yang terdiri dari beberapa orang yang percaya dapat memikul tanggung jawab
tersebut. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang pasti
dari pasangan yang akan dijodohkan. Biasanya pihak perempuan akan memberikan jawaban
dalam tempo beberapa hari. Adanya tenggat waktu adalah agar perempuan tersebut tidak
dianggap “menjual murah” yang begitu mudah langsung menerima lamaran. Masa tenggang
tersebut juga difungsikan untuk berunding dengan keluarga dan saudara pihak perempuan, di
samping juga untuk menyelidik latar belakang laki-laki secara teliti dan hati-hati.
Setelah calon laki-laki disetujui oleh keluarga pihak perempuan, mereka kemudian menemui
wakil pihak laki-laki untuk memberitahukan keputusan tersebut. Dalam adat Melayu, biasanya pihak
laki-laki sendiri yang akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menanyakan keputusan
tersebut. Setelah kedua pihak berbincang dan bersepakat, utusan dari wakil pihak laki-laki akan
datang lagi untuk menetapkan kapan hari pertunangan. Dalam pertemuan ini juga diperbincangkan
seputar jumlah barang antaran dan jumlah rombongan pihak laki-laki yang akan datang secara
bersama. Hal itu dimaksudkan agar pihak perempuan mudah membuat persiapan dalam menerima
kedatangan mereka.
Istilah “meminang” digunakan karena buah pinang merupakan bahan utama yang dibawa
saat acara meminang beserta daun sirih dan bahan lainnya. Buah pinang adalah lambang untuk
laki-laki karenanya bentuknya yang keras. Sirih adalah lambang untuk perempuan. Buah pinang
dan sirih adalah lambang laki-laki dan perempuan yang bersatu dan tidak dapat dipisahkan. Artinya
bahwa seseorang itu tidak mungkin makan sirih tanpa pinang. Dalam perkembangan adat Melayu
saat ini, buah pinang tidak lagi sebagai satu-satunya bahan yang dibawa untuk meminang, namun
dibelah-belah secara halus dan diantar beserta dengan daun sirih sebagai pelengkapnya.
Tidak ada masa atau waktu tertentu yang ditetapkan dalam tradisi perkawinan Melayu.
Biasanya adat ini dilakukan pada Bulan Maulud (Rabiulawal), yaitu saat petang atau malam hari.
Jika dilakukan pada malam hari karena banyak orang yang bekerja pada siang hari, sehingga
malam hari dipilih sebagai waktu yang tepat. Pada saat acara meminang, rombongan pihak laki-laki

331
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

beserta antarannya akan disambut oleh keluarga pihak perempuan. Antaran diletakkan di tengah
majelis yang disaksikan di depan para hadirin. Sebelum memulai adat meminang, biasanya wakil
pihak perempuan duduk berhadapan dengan ketua wakil pihak laki-laki. Sirih junjung diletakkan di
hadapan mereka berdua.
Bukan uang dibilang, bukan emas-berlian dipandang, namun
ketulusan hati membalut barang antaran sebagai wujud kasih sayang.
Mereka kemudian memulai acara meminang dengan saling berkenalan terlebih dahulu.
Setelah berkenalan wakil pihak perempuan memulai adat ini dengan bertanya kepada wakil pihak
laki-laki tentang siapa yang memiliki sirih tersebut. Wakil pihak laki-laki akan menjawab dengan
menyebutkan nama laki-laki diwakilinya dan juga nama perempuan yang hendak dipinang. Mereka
juga menyatakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu tepak sirih yang diterima oleh wakil
pihak perempuan kemudian dikembalikan kepada wakil pihak laki-laki sambil mengatakan bahwa
pinangan mereka diterima atau ditolak. Wakil pihak laki-laki kemudian mendatangi calon pengantin
perempuan untuk mengenakan cincin di jari manisnya. Perempuan tersebut biasanya berada di
balik bilik yang telah berpakaian indah. Dengan demikian, calon pengantin perempuan tersebut
telah resmi bertunangan dengan calon pengantin laki-laki. Setelah itu calon pengantin perempuan
bersalaman dengan para hadirin, terutama dengan beberapa orang perempuan yang mewakili
rombongan pihak laki-laki.
3. Persiapan Menuju Hari Perkawinan
Hari perkawinan merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh semua anggota masyarakat
yang berkenaan dengan perhelatan acara ini. Pada hari itu semua keluarga, saudara, termasuk
tetangga berkumpul dalam satu majelis. Untuk menyambut hari perkawinan diperlukan persiapan
yang sungguh matang. Persiapan yang dimaksud biasanya mencakup kegiatan bergotong-royong,
pembacaan barzanzi, dan persediaan jamuan.
Tugas utama yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan tersebut adalah
dengan cara membangun bangsal penanggah terlebih dahulu. Bangsal ini nantinya digunakan
untuk kegiatan masak-memasak. Di daerah pedalaman, bangsal penanggah biasanya terbuat dari
kayu dan atapnya terbuat dari daun nipah atau rumbia. Di samping bangsal, yang juga perlu
disediakan adalah tungku-tungku dapur yang diperlukan untuk alat memasak.
3. 1. Gotong-Royong
Sebelum datangnya hari perkawinan perlu dilakukan acara gotong-royong atau rewang (jw).
Pihak tuan rumah perlu menyediakan berbagai macam kue Melayu untuk mereka yang bergotong-
royong. Kegiatan gotong-royong biasanya dilakukan hingga larut malam sambil menikmati kue-kue
yang dihidangkan. Kue yang tahan lama biasanya disediakan oleh tuan rumah melalui pertolongan
tetangga terdekat, yaitu beberapa hari sebelum berlangsungnya majelis perkawinan. Sedangkan
kue yang tidak tahan lama disediakan sehari menjelang perhelatan majelis. Kue-kue ini juga
diantarkan kepada mereka yang memberikan sumbangan tetapi tidak bisa datang.
Kegiatan gotong-royong ini dimulai dengan membagi aktivitas yang perlu dilakukan antara
laki-laki dan perempuan. Pada pagi harinya, pihak perempuan biasanya sibuk menyediakan
berbagai keperluan dalam rumah, sedangkan pihak laki-lakinya mengeluarkan semua alat yang
diperlukan, seperti piring, tempat penyajian makanan, gelas, dan sebagainya yang tersusun secara
rapi. Pada petang harinya, dilakukan penyembelihan ayam, kambing, atau lembu. Setelah
disembelih, sebagian dari pihak laki-laki membuang kulit, membersihkan dan memotong daging
sesuai urutan yang dikehendaki. Sebagian yang lain mencabut bulu ayam dan kemudian
menyerahkannya kepada petugas yang sudah terbiasa memotong dagingnya. Tukang masak akan
menggoreng daging yang telah dipotong agar keesokan harinya dapat dimakan.

332
Lampiran

3. 2. Pembacaan Barzanzi dan Persediaan Jamuan


Kegiatan (majelis) membaca barzanzi dilakukan selepas shalat isya. Majelis ini biasanya
diikuti oleh mereka yang telah melakukan kegiatan gotong-royong selama sehari-semalam, juga
diikuti oleh keluarga dan saudara dari tuan rumah, termasuk para jemputan yang diundang secara
khusus pada majelis ini. Pada masa kini, kegiatan ini tidak populer lagi. Untuk mengadakan
kegiatan ini masih diperlukan usaha gotong-royong sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam
kegiatan pembacaan barzanzi juga dihidangkan jamuan, yang biasanya terdiri dari nasi beserta
lauk-pauknya. Setiap hidangan disediakan untuk empat atau lima orang.
Persediaan jamuan biasanya ditentukan secara berbeda-beda, tergantung pada bagaimana
keinginan keluarga dari tuan rumah. Seorang ayah yang hanya mempunyai anak tunggal atau
tingal satu anaknya yang belum menikah, maka dia biasanya akan mengadakan majelis
perkawinan secara besar-besaran, meski di luar kesanggupan keuangannya sendiri. Bahkan, tidak
sedikit dari mereka yang kemudian rela berhutang hanya untuk memenuhi keinginan besarnya itu.
Dalam acara gotong royong selalu tersedia juadah khas Melayu, seperti, khasyidah, pelita daun,
bolu kembojo, wajit dan nasi kunyit, serta rendang atau panggang ayam.
Untuk melakukan kegiatan persediaan jamuan, biasanya dipilih terlebih dahulu ketua panitia
yang banyak berhubungan secara intens dengan tuan rumah berkenaan dengan segala sesuatu
hal yang berhubungan dengan jamuan. Ia juga bertanggung jawab membeli bahan-bahan
keperluan di pasar. Ia perlu berkoordinasi dengan anggota panitianya yang dibagi berdasarkan
tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menyambut tamu, mengatur tempat duduk tamu,
menyediakan air minum, dan mencuci piring atau gelas yang telah digunakan. Di samping ada
yang bertugas memasak, juga ada yang bertugas menyediakan makanan yang dibawa pulang oleh
hadirin yang datang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan secara sukarela karena merupakan
adat dalam budaya Melayu untuk hidup saling bergotong-royong.
4. Upacara Perkawinan
Setelah melalui proses dan tahapan yang begitu panjang, maka kini saatnya melangsungkan
upacara perkawinan. Istilah upacara perkawinan dapat juga disebut dengan istilah lain, seperti
“upacara nikah kawin”, “upacara helat jamu pernikahan”, dan “upacara perhelatan nikah kawin”.
Upacara ini merupakan hari “H” yang ditunggu-tunggu oleh siapa saja yang berhubungan dengan
perkawinan ini, baik bagi calon pengantinnya sendiri maupun seluruh keluarga dan saudara-
saudaranya. Dalam adat Melayu, upacara perkawinan biasanya dilakukan secara amat terinci,
lengkap, dan bahkan tidak boleh ada yang tertinggal satupun.
4. 1. Upacara Menggantung-Gantung
Upacara ini dilakukan dalam tenggang waktu yang cukup panjang, biasanya 3 hari sebelum
hari perkawinan. Bentuk kegiatan dalam upacara ini biasanya disesuaikan dengan adat di masing-
masing daerah yang berkisar pada kegiatan menghiasi rumah atau tempat akan dilangsungkannya
upacara pernikahan, memasang alat kelengkapan upacara, dan sebagainya. Yang termasuk dalam
kegiatan ini adalah: membuat tenda dan dekorasi, menggantung perlengkapan pentas, menghiasi
kamar tidur pengantin, serta menghiasi tempat bersanding kedua calon mempelai. Upacara ini
menadakan bahwa budaya gotong-royong masih sangat kuat dalam tradisi Melayu.
Upacara ini harus dilakukan secara teliti dan perlu disimak oleh orang-orang yang dituakan
agar tidak terjadi salah pasang, salah letak, salah pakai, dan sebagainya. Ungkapan adat
mengajarkan hal ini sebagai berikut:
Pengantin ibarat raja dan ratu sehari, maka untuk keduanya
disiapkan pelaminan yang megah bak singgasana.
Adat orang berhelat jamu
Menggantung-gantung lebih dahulu
Menggantung mana yang patut
Memasang mana yang layak

333
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Sesuai menurut alur patutnya


Sesuai menurut adat lembaga
Supaya helat memakai adat
Supaya kerja tak sia-sia
Supaya tidak tersalah pasang
Supaya tidak tersalah pakai
4. 2. Upacara Berinai
Adat atau upacara berinai merupakan pengaruh dari ajaran Hindu. Makna dan tujuan dari
perhelatan upacara ini adalah untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan diri dari hal-hal
yang kotor, dan menjaga diri segala hal yang tidak baik. Di samping itu tujuannya juga untuk
memperindah calon pengantin agar terlihat lebih tampak bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara
ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri
dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Malam berinai disebut orang
Membuang sial muka belakang
Memagar diri dari jembalang
Supaya hajat tidak terhalang
Supaya niat tidak tergalang
Supaya sejuk mata memandang
Muka bagai bulan mengambang
Serinya naik tuah pun datang
Berinai bukan sekadar memerahkan kuku, namun memper-
siapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan
tanpa aral halangan.
Upacara ini dilakukan pada malam hari, yaitu 3 hari sebelum upacara perkawinan
dilangsungkan. Bentuk kegiatannya bermacam-macam asalkan bertujuan mempersiapkan
pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Dalam upacara ini yang terkenal
biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu
dilakukan. Upacara ini dilakukan oleh Mak Andam dibantu oleh sanak famili dan kerabat dekat.
Upacara berinai bagi pasangan calon pengantin dilakukan dalam waktu yang bersama-
sama. Hanya saja, secara teknis tempat kegiatan ini dilakukan secara terpisah, bagi pengantin
perempuan dilakukan di rumahnya sendiri dan bagi pengantin laki-laki dilakukan di rumahnya
sendiri atau tempat yang disinggahinya. Namun, dalam adat perkawinan Melayu biasanya
pengantin lak-laki lebih didahulukan.
Seri kecantikan diperoleh melalui kesabaran. Pengantin harus
berdiam diri sabar menanti, agar inai yang dipasang di jemari
tangan dan kaki menghasilkan warna cerah yang berseri.
4. 3. Upacara Berandam
Upacara berandam dilakukan pada sore hari ba‘da Ashar yang dipimpin oleh Mak Andam
didampingi oleh orang tua atau keluarga terdekat dari pengantin perempuan. Awalnya dilakukan di
kediaman calon pengantin perempuan terlebih dahulu yang diringi dengan musik rebana. Setelah
itu baru kemudian dilakukan kegatan berandam di tempat calon pengantin laki-laki. Sebelum
berandam kedua calon pengantin harus mandi berlimau dan berganggang terlebih dahulu.

334
Lampiran

Makna dari upacara berandam adalah membersihkan fisik (lahiriah) pengantin dengan
harapan agar batinnya juga bersih. Makna simbolisnya adalah sebagai lambang kebersihan diri
untuk menghadapi dan menempuh hidup baru. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat:
Adat Berandam disebut orang
Membuang segala yang kotor
Membuang segala yang buruk
Membuang segala sial
Membuang segala pemali
Membuang segala pembenci
Supaya seri naik ke muka
Supaya tuah naik ke kepala
Supaya suci lahir batinnya
Kecantikan budi mestilah yang utama, namun keelokan paras
tiada boleh terlupa. Untuk itulah, Mak Andam merias calon
pengantin agar kemolekan makin ternampak nyata.
Berandam yang paling utama adalah mencukur rambut karena bagian tubuh ini merupakan
letak kecantikan mahkota perempuan. Di samping itu, berandam juga mencakup kegiatan:
mencukur dan membersihkan rambut-rambut tipis sekitar wajah, leher, dan tengkuk; memperindah
kening; menaikkan seri muka dengan menggunakan sirih pinang dan jampi serapah.
Setelah berandam kemudian dilakukan kegiatan “mandi tolak bala”, yaitu memandikan
pengantin dengan menggunakan air bunga dengan 5, 7, atau 9 jenis bunga agar terlihat segar dan
berseri. Kegiatan ini harus dilakukan sebelum waktu shalat ashar. Mandi tolak bala kadang disebut
juga dengan istilah “mandi bunga”. Tujuan mandi ini adalah menyempurnakan kesucian, menaikkan
seri wajah, dan menjauhkan dari segala bencana. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Mandi Bunga atau Mandi Tolak Bala bukan sekadar untuk meng-
harumkan raga, namun agar jiwa bersih suci, jauh dari iri dengki.
Hakekat mandi tolak bala
Menolak segala bala
Menolak segala petaka
Menolak segala celaka
Menolak segala yang berbisa
Supaya menjauh dendam kesumat
Supaya menjauh segala yang jahat
Supaya menjauh kutuk dan laknat
Supaya setan tidak mendekat
Supaya iblis tidak melekat
Supaya terkabul pinta dan niat
Supaya selamat dunia akhirat
4. 4. Upacara Khatam Qur‘an
Pelaksanaan upacara khatam Qur‘an biasanya dilakukan setelah upacara berandam dan
mandi tolak bala sebagai bentuk penyempurnaan diri, baik secara lahir maupun batin. Upacara
khatam Qur‘an sebenarnya bermaksud menunjukkan bahwa pengantin perempuan sudah diajarkan
oleh kedua orang tuanya tentang bagaimana mempelajari agama Islam dengan baik. Dengan

335
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

demikian, sebagai pengantin perempuan dirinya telah dianggap siap untuk memerankan posisi
barunya sebagai istri sekaligus ibu dari anak-anaknya kelak. Di samping itu tujuan lainnya adalah
untuk menunjukkan bahwa keluarga calon pengantin perempuan merupakan keluarga yang kuat
dalam menganut ajaran Islam, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan adat:
Pendidikan boleh tiada tamat, ijazah boleh tiada dapat, tetapi
khatam Al Qur‘an tiada boleh terlewat.
Dari kecil cincilak padi
Sudah besar cincilak Padang
Dari kecil duduk mengaji
Sudah besar tegakkan sembahyang
Upacara ini dipimpin oleh guru mengajinya atau orang tua yang ditunjuk oleh keluarga dari
pihak pengantin. Upacara ini khusus dilakukan oleh calon pengantin perempuan yang biasanya
perlu didampingi oleh kedua orang tua, atau teman sebaya, atau guru yang mengajarinya mengaji.
Mereka duduk di atas tilam di depan pelaminan. Mereka membaca surat Dhuha sampai dengan
surat al-Fatihah dan beberapa ayat al-Qur‘an lainnya yang diakhiri dengan doa khatam al-Qur‘an.
4. 5. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan dilakukan secara berurutan. Artinya, upacara ini tidak hanya mencakup
upacara akad saja tetapi juga mencakup kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan proses akad
nikah, baik sebelum maupun sesudahnya. Kegiatan dalam upacara ini biasanya diawali dengan
kedatangan calon pengantin laki-laki yang dipimpin oleh seorang wakilnya ke rumah calon
pengantin perempuan. Calon pengantin laki-laki biasanya diapit oleh dua orang pendamping yang
disebut dengan gading-gading atau pemuda yang belum menikah. Rombongan pihak pengantin
laki-laki datang menuju kediaman pihak calon pengantin perempuan dengan membawa sejumlah
perlengkapan atau yang disebut dengan antar belanja.
4. 5. a. Upacara Antar Belanja atau Seserahan
Antar belanja atau yang biasanya dikenal dengan seserahan dapat dilakukan beberapa hari
sebelum upacara akad atau sekaligus menjadi satu rangkaian dalam upacara akad nikah. Jika
antar belanja diserahkan pada saat berlangsungnya acara perkawinan, maka antar belanja
diserahkan sebelum upacara akad nikah. Beramai-ramai, beriring-iringan, kerabat calon pengantin
laki-laki membawa antara belanja kepada calon pengantin wanita.
Konsep pemikiran dari upacara antar belanja adalah simbol dari peribahasa-peribahasa
seperti “rasa senasib sepenanggungan”, “rasa seaib dan semalu”, dan “yang berat sama dipikul
yang ringan sama dijinjing”. Makna dalam upacara antar belanja ini adalah rasa kekeluargaan yang
terbangun antara keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Oleh karena makna dan
tujuannnya adalah membangun rasa kekeluargaan, maka tidak dibenarkan jumlah seserahan yang
diantarkan menimbulkan masalah yang menyakiti perasaan di antara mereka. Ungkapan adat
mengajarkan:
Adat Melayu sejak dahulu
Antar belanja menebus malu
Tanda senasib seaib semalu
Berat dan ringan bantu-membantu.
4. 5. b. Upacara Akad Nikah
Ketika rombongan calon pengantin laki-laki Upacara akad nikah merupakan inti dari seluruh
rangkaian upacara perkawinan. Sebagaimana lazimnya dalam adat perkawinan menurut ajaran
Islam, upacara akad nikah harus mengandung pengertian ijab dan qabul. Dalam ungkapan adat
disebutkan bahwa:

336
Lampiran

Seutama-utama upacara pernikahan


Ialah ijab kabulnya
Di situlah ijab disampaikan
Si situlah kabul dilahirkan
Di situlah syarak ditegakkan
Di situlah adat didirikan
Di situlah janji dibuhul
Di situlah simpai diikat
Di situlah simpul dimatikan
Tanda sah bersuami istri
Tanda halal hidup serumah
Tanda bersatu tali darah
Tanda terwujud sunnah Nabi
Dengan terucapnya ijab dan kabul, tanggung jawab ayah atas anak gadisnya beralih sudah kepada
menantu laki-laki.
Pemimpin upacara ini biasanya adalah kadi atau pejabat lain yang berwenang. Setelah
penyataan ijab dan qabul telah dianggap sah oleh para saksi, kemudian dibacakan doa walimatul
urusy yang dipimpin oleh kadi atau orang yang telah ditunjuk. Setelah itu, baru kemudian pengantin
laki-laki mengucapkan taklik (janji nikah) yang dilanjutkan dengan penandatanganan Surat Janji
Nikah. Penyerahan mahar oleh pengantin laki-laki baru dilakukan sesudahnya.
4. 5. c. Upacara Menyembah
Setelah upacara akad nikah selesai dilakukan seluruhnya, kedua pengantin kemudian
melakukan upacara menyembah kepada ibu, bapak, dan seluruh sanak keluarga terdekat. Makna
dari upacara ini tidak terlepas dari harapan agar berkah yang didapat pengantin nantinya berlipat
ganda. Acara ini dipimpin oleh orang yang dituakan bersama Mak Andam. Sembah sujud kepada
orang tua tiada boleh lupa, agar tuah dan berkah turun berlipat ganda.
4. 5. d. Upacara Tepuk Tepung Tawar
Setelah upacara menyembah selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara tepuk tepung
tawar. Makna dari upacara adalah pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin
dan seluruh keluarganya, di samping itu juga bermakna sebagai simbol penolakan terhadap segala
bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Upacara ini dilakukan oleh unsur keluarga
terdekat, unsur pemimpin atau tokoh masyarakat, dan unsur ulama. Yang melakukan tepung tawar
terakhir juga bertindak sebagai pembaca doa.
Tepuk Tepung Tawar hakikatnya adalah pertanda, bahwa
para tetua melimpahkan restu dan doa, bahwa marwah
pengantin kekal terjaga.
Dalam ungkapan adat disebutkan bahwa makna dari Tepuk Tepung Tawar adalah “menawar
segala yang berbisa”, “menolak segala yang menganiaya”, “menepis segala yang berbahaya”,
“mendingin segala yang menggoda”, dan “menjauhkan dari segala yang menggila”. Jadi, upacara
Tepuk Tepung Tawar bermakna sebagai doa dan pengharapan. Dalam pantun nasehat disebutkan:
“Di dalam Tepuk Tepung Tawar, terkandung segala restu, terhimpun segala doa, terpateri segala
harap, tertuang segala kasih sayang”. Dalam pantun lain disebut juga bahwa: “Tepung tawar untuk
penawar, Supaya hidup tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, Semua urusan berjalan
lancar”.
Kegiatan ini dilakukan dengan rincian: menaburkan tepung tawar ke telapak tangan kedua
pengantin, mengoleskan inai ke telapak tangan mereka, dan menaburkan beras kunyit dalam

337
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

bunga rampai kepada kedua pengantin. Setelah upacara ini selesai berarti telah selesai upacara
inti perkawinan. Setelah itu tinggal melakukan upacara-upacara pendukung lainnya, seperti
upacara nasehat perkawinan dan jamuan makan bersama.
4. 5. e. Upacara Nasehat Perkawinan
Seperti halnya adat upacara lainnya, setelah upacara akad nikah diadakan upacara nasehat
perkawinan. Maksud dari perhelatan upacara ini adalah penyampaian petuah, pesan, dan nasehat
bagi kedua pengantin agar mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera (lahir
sekaligus batin), rukun, dan damai. Yang menyampaikan nasehat perkawinan sudah seharusnya
adalah seseorang yang benar-benar telah mempraktekkan bagaimana caranya membangun
keluarga yang sakinah sehingga dapat dijadikan teladan bagi yang lain.
Dalam menempuh hidup baru, cinta kasih mestilah ada, harta kelak boleh dicari bersama,
namun petuah dan ilmu dari tetua rengkuhlah dahulu. Setelah nasehat perkawinan selesai
disampaikan, maka kemudian upacara perkawinan ditutup. Berikut adalah ungkapan kalimat
penutupnya :
4. 5. f. Upacara Jamuan Santap Bersama
Setelah upacara perkawinan selesai ditutup, maka acara selanjutnya adalah upacara jamuan
santap bersama sebagai akhir dari prosesi upacara akad nikah secara keseluruhan. Upacara ini
boleh dikata adalah sama di berbagai adat perkawinan manapun. Tuan rumah memberikan jamuan
makan bersama terhadap seluruh pengunjung yang hadir pada acara perkawinan tersebut.
4. 6. Upacara Langsung
Setelah upacara perkawinan dan akad nikah selesai, prosesi selanjutnya adalah
melakukan upacara hari langsung. Yang dimaksud dengan upacara ini adalah kegiatan yang
berkaitan dengan bagaimana mengarak pengantin laki-laki, upacara menyambut arak-arakan
pengantin laki-laki, upacara bersanding, upacara resepsi, upacara ucapan alu-aluan dan tahniah,
upacara pembacaan doa, upacara santap nasi hadap-hadapan, hingga memberikan ucapan
tahniah atau terima kasih kepada para pengunjung yang telah datang.
4. 6. a. Upacara Mengarak Pengantin Lelaki
Upacara ini bentuknya adalah mengarak pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin
perempuan. Tujuan dari upacara ini sebagai media pemberitahuan kepada seluruh masyarakat
sekitar tempat dilangsungkannya perkawinan bahwa salah seorang dari warganya telah sah
menjadi pasangan suami-istri. Di samping itu, tujuanya adalah memberitahukan kepada semua
lapisan masyarakat agar turut meramaikan acara perkawinan tersebut, termasuk ikut memberikan
doa kepada kedua pengantin. Upacara ini beragam bentuknya, tergantung adat yang berlaku di
masing-masing daerah Melayu.
Bernaung payung iram, diiringi rentak rebana dan gendang,
pengantin laki-laki datang kepada dewi pujaan.
Dalam upacara arak-arakan ini, yang dibawa adalah beragam alat kelengkapan. Namun,
yang paling utama dibawa adalah jambar, di Riau lebih dikenal dengan semerit, pahar (poha), atau
dulang berkaki. Isi dalam jambar terdiri dari tiga unsur, yaitu: unsur kain baju atau pakaian dengan
kelengkapan perias, unsur makanan, dan unsur peralatan dapur. Ketiga unsur tersebut
mengandung makna tentang kehidupan manusia sehari-hari. Jumlah jambar ditentukan
berdasarkan adat setempat, asalkan maknanya sesuai dengan nilai Islam. Jumlah 17 adalah sama
dengan jumlah rukun shalat, jumlah 17 terkait dengan jumlah rakaat sehari semalam, dan jumlah
25 terkait dengan jumlah rasul pilihan.

338
Lampiran

4. 6. b. Upacara Menyambut Arak-arakan Pengantin Lelaki


Sesampainya rombongan arak-arakan pengantin laki-laki di kediaman keluarga pengantin
perempuan, kemudian dilanjutkan dengan upacara penyambutan. Dalam budaya Melayu, upacara
penyambutan tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Oleh karenanya, pengantin laki-laki
perlu disambut dengan penuh kegembiraan sebagai bentuk ketulushatian dalam menerima
kedatangan mereka. Upacara pencak silat merupakan perlambang kepiawaian pengantin laki-laki
menghadapi tantangan.
Upacara penyambutan arak-arakan pengantin laki-laki biasanya bentuknya tiga macam,
yaitu permainan pencak silat, bertukar tepak induk, dan berbalas pantun pembuka pintu. Dalam
kegiatan permainan pencak silat, makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa pengantin
laki-laki sebagai calon kepala rumah tangga perlu ditantang kejantanan dan kepiawainnya. Meski
hanya sebagai simbol, pencak silat juga mengandung makna persahabatan dan kasih sayang yang
dibungkus dengan jiwa kepahlawanan. Setelah permainan silat, rombongan pengantin melanjutkan
perjalanannya, biasanya diteruskan dengan kegiatan “perang beras kunyit” antara pihak pengantin
laki-laki dan pihak yang menyambutnya. Perang Beras Kunyit antar kedua pihak pengantin, bukan
mengobarkan permusuhan, melainkan menyuburkan persaudaraan.
Setelah permainan silat dan perang beras kunyit selesai, kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan bertukar tepak induk. Kenapa tepak perlu ditukar? Sebab, simbol tepak melambangkan
rasa tulus hati dalam menyambut tamu dan juga sebagai lambang persaudaraan. Isi dalam tepak
berupa daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Kegiatan ini dilakukan setelah rombongan
pengantin laki-laki masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini dapat dilakukan di
dalam atau di luar rumah. Bertukar Tepak melambangkan ketulusan hati dan bersebatinya
dua keluarga menjadi satu.
Kegiatan terakhir dalam upacara langsung adalah berbalas pantun pembuka pintu yang
dilakukan di ambang pintu rumah pengantin perempuan. Kegiatan ini bentuknya adalah saling
bersahutan pantun antara pemantun pihak pengantin laki-laki dengan pemantun pihak pengantin
perempuan yang disaksikan oleh Mak Adam. Fungsi dari kegiatan ini biasanya dipahami sebagai
bentuk izin untuk memasuki rumah pengantin perempuan. Setelah Mak Adam atau pemantun pihak
pengantin perempuan membuka kain penghalang pintu dan mempersilahkan tamu untuk masuk,
maka kegiatan ini dianggap selesai. Berbalas pantun Pembuka Pintu menunjukkan adab sopan
santun pengantin laki-laki memasuki kehidupan pengantin perempuan.
4. 6. c. Upacara Bersanding
Acara bersanding merupakan puncak dari seluruh upacara perkawinan. Setelah pasangan
pengantin berijab-kabul, pengantin laki-laki akan balik ke tempat persinggahannya untuk
beristirahat sejenak. Demikian halnya pengantin perempuan perlu kembali ke balik bilik untuk
istirahat juga. Setelah keduanya beristirahat kemudian dilangsungkan upacara bersanding. Wakil
pihak pengantin perempuan menemui wakil pihak pengantin laki-laki dengan membawa sebuah
bunga yang telah dihias dengan begitu indah. Bunga yang diberikan ini menandakan bahwa
pengantin perempuan telah siap menanti kedatangan pengantin laki-laki ke tempat persandingan.
Pengantin laki-laki kemudian dijemput untuk disandingkan dengan pasangannya.
Acara bersanding adalah menyandingkan penganting laki-laki dengan pengantin perempuan
yang disaksikan oleh seluruh keluarga, sahabat, dan jemputan. Inti dari kegiatan ini adalah
mengumumkan kepada khalayak umum bahwa pasangan pengantin sudah sah sebagai pasangan
suami-istri. Seperti halnya dilakukan dalam upacara akad nikah, dalam upacara langsung juga
dilakukan tepuk tepung tawar untuk mengantisipasi jika ada yang belum sempat menyaksikannya
pada upacara akad. Sebagaimana disebutkan dalam ungkapan adat sebagai berikut: Tiada saat
seindah ketika bersanding di pelaminan, bertabur senyum, salam, dan sejahtera.
Apabila pengantin duduk bersanding
Sampailah niat usailah runding
Tanda pasangan sudah sebanding
Hilanglah batas habis pendinding

339
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Dalam ungkapan adat lain disebutkan:


Pengantin bersanding bagaikan raja
Disaksikan oleh tua dan muda
Tanda bersatu kedua keluarga
Pahit dan manis sama dirasa
4. 6. d. Upacara Resepsi Perkawinan
Upacara ini merupakan lanjutan dari upacara bersanding yang disaksikan oleh masyarakat
umum secara lebih luas. Upacara ini dimulai dengan proses kedatangan iring-iringan rombongan
pengantin memasuki pintu gerbang tempat dilangsungkannya resepsi perkawinan. Rombongan
pengantin akan disambut dengan bunyi-bunyian kopang dan diarak sampai pengantin duduk di
pelaminan. Upacara ini biasanya dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur‘an.
Berikut ini adalah ungkapan pada pembukaan resepsi perkawinan :
4. 6. e. Upacara Ucapan Alu-aluan dan Tahniah
Upacara ini merupakan penyampaian rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa terima
kasih yang dilakukan pihak keluarga pengantin perempuan kepada seluruh pihak yang terlibat
dalam perhelatan acara perkawinan. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Tanda orang memegang agama
Tahu mensyukuri nikmat Allah
Tahu membalas budi manusia
Ungkapan adat lain juga menyebutkan:
Tanda orang memegang adat
Tahu mengenang budi kaum kerabat
Tahu mengingat jasa sahabat
Tahu membalas kebaikan umat
Sedangkan ucapan tahniah adalah sambutan penyampaian salam tahniah dari wakil
jemputan kepada kedua pengantin juga kepada seluruh keluarganya, yang tentunya diiringi dengan
doa dan harapan baik terhadap masa depan perkawinan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam
sebuah ungkapan adat:
Adat masuk ke helat jamu
Menyampaikan doa memberi restu
Di mana kurang bantu-membantu
Memberi maaf ianya mau
Hilang sengketa habislah seteru
Rentang antara ucapan alu-aluan dan ucapan tahniah biasanya diselingi dengan adanya
penyampaian nasehat perkawinan oleh seseorang yang telah ditunjuk.
4. 6. f. Upacara Pembacaan Doa
Upacara pembacaan doa sudah umum dilakukan di berbagai adat perkawinan, termasuk
dalam adat Melayu. Dengan dibacakannya doa diharapkan bahwa semua yang dihadir dalam
majelis perkawinan, termasuk kedua pengantinnya, agar diberikan rahmat, karunia, dan
keselamatan dalam mengarungi bahtera hidup ini. Dalam ungkapan adat disebutkan:
Walau tinggi derajat dan pangkat pengantin, walau lanjut pendidikan, pernikahan adalah
hidup baru, maka petuah dan doa tetua amatlah perlu.

340
Lampiran

Elok kerja karena bersama


Elok helat karena sepakat
Elok manusia karena berdoa
Kalau berdoa dengan sungguh
Sengketa usai celaka menjauh
Hati panas menjadi teduh
Rahmat melimpah rezeki pun penuh
4. 6. g. Upacara Santap Nasi Hadap-hadapan
Upacara ini bentuknya adalah makan bersama antara kedua pengantin dengan para tetua
keluarga yang dilakukan di depan pelaminan. Pesan yang ingin disampaikan dalam kegiatan ini
adalah kerukunan yang terbina antara pasangan pengantin dengan seluruh keluarga, saudara, dan
sahabatnya. Makan Nasi Hadap-hadapan mencerminkan kerukunan pasangan suami istri dengan
sanak keluarga, sahabat handai, serta saudara mara.
4. 6. h. Ucapan Tahniah
Sebagai penutup dalam upacara hari langsung biasanya ditandai dengan ucapan tahniah
(penyampaian ucapan selamat) dari seluruh yang hadir kepada kedua pasangan pengantin.
Bedanya dengan ucapan tahniah sebelumnya, dalam kegiatan ini yang disampaikan adalah ucapan
selamat yang langsung tertuju pada pasangan pengantin dengan cara bersalam-salaman. Tahniah,
selamat, dan tuah dilimpahkan kepada sepasang pengantin
oleh segenap jemputan.
5. Pasca-Upacara Perkawinan
Setelah upacara perkawinan dilangsungkan, kemudian dilanjutkan dengan sejumlah
kegiatan yang juga perlu dilakukan sebagai bagian dari seluruh adat perkawinan Melayu. Dalam
tulisan ini yang akan dibahas adalah acara malam keluarga dan upacara mandi damai sebagai
acara paling akhir dari adat perkawinan Melayu.
5. 1. Malam Keluarga
Setelah melakukan upacara hari langsung, kedua pengantin kemudian berkunjung ke rumah
orang tua pengantin laki-laki untuk “menyembah” (menghormati) mereka termasuk bertemu dengan
seluruh keluarganya. Sebelum melakukan upacara menyembah, perlu dilakukan perkenalan
keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan jika hal itu dirasa perlu oleh
karena letak kedua keluarga yang jauh. Dalam upacara menyembah, yang “disembah” bukan
hanya kedua orang tua pengantin laki-laki tetapi juga bagian dari keluarga tersebut yang termasuk
dihormati. Acara ini bisa dilakukan setelah selesainya seluruh rangkaian upacara pekawinan.
Sebuah ungkapan adat menyebutkan: Mertua sama jua orang tua, maka sembah sujud pun
diunjukkan pula.
Adat menyembah ke orang tua
Tanda hidup beradat lembaga
Tanda menjunjung tuah dan marwah
Tanda memuliakan yang tua-tua
Tanda menyatu dalam keluarga
Tanda berkekalan kasih sayangnya
5. 2. Upacara Mandi Damai
Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam upacara ini adalah mandi damai atau mandi
hias. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa kedua pengantin
telah bersatu menjadi pasangan suami-istri yang sah. Untuk itulah, pihak keluarga menyampaikan
rasa syukur dan terima kasih kepada seluruh sahabat dan handai taulan yang telah menyukseskan
terselenggaranya upacara pernikahan mereka. Dalam sebuah ungkapan adat disebutkan:

341
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Bila pengantin dah mandi damai


Habislah bimbang ragu pun usai
Niat terkabul pinta pun sampai
Dunia akhirat rukun dan damai
Pasangan pengantin dimandikan dengan air bunga dan tolak bala yang maknanya adalah
sebagai perlambang terhadap pensucian niat mereka dalam menghadapi bahtera hidup berumah
tangga dan agar mereka dapat terhindar dari segala malapetaka, hasrat dengki, dan sebagainya.
Menjejakkan kaki di atas padi dan beras maknanya adalah sebagai perlambang harapan agar
mereka dapat hidup makmur, aman, dan dikaruniai keturunan yang baik. Sedangkan berjalan
meniti gelang cincin adalah sebagai perlambang agar mereka dapat sabar dalam menghadapi
segala bahaya dan tantangan dalam hidup. Jika dua hati telah bersebati, ijab-kabul telah pula
dilalui, maka tiada lagi penghalang memadu hati.
Setelah melakukan kegiatan mandi damai, kemudian dilakukan kegiatan suruk-surukan.
Dalam kegiatan ini, pengantin perempuan “disurukkan” di antara kumpulan ibu-ibu dan nenek-
nenek secara terselubung. Pengantin laki-laki kemudian diminta untuk mencari mana istrinya di
antara kumpulan-kumpulan tersebut.
Upacara ini ditutup dengan jamuan santap siang bersama sebagai tanda syukur kepada
Allah SWT atas terselengaranya upacara perkawinan dengan sukses. Di samping itu, upacara ini
juga sebagai bentuk pernyataan rasa terima kasih terhadap seluruh keluarga dan masyarakat yang
ikut menyukseskan acara ini. Kegiatan ini menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara
perkawinan.
6. Penutup
Secara umum, adat perkawinan melayu adalah sebagaimana telah dijelaskan dalam
tahapan-tahapan di atas, mulai dari proses perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan,
upacara perkawinannya sendiri, hingga pasca upacaranya. Hanya saja, perbedaan adat
perkawinan di berbagai daerah yang termasuk dalam geo-budaya Melayu adalah terletak pada
perbedaan istilah, nama, dan dialeknya. Ada juga sejumlah daerah yang memiliki keunikan
tersendiri dalam adat atau upacara perkawinan. Varian-varian inilah yang akan dibahas dalam
bagian tersendiri. Wallahu A‘lam.
Ungkapan Lengkap dalam Perkawinan Melayu (contoh):
Ungkapan pada Upacara Akad Nikah (contoh):
Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillahi robbil ‘alamin,
Wal akibatu lil muttaqin
wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i
wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin
wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in;
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan majelis yang mulia
Yang kecil tak disebut nama
Yang besar tak dihimbau gelar
Yang bertuah dengan marwahnya
Yang berhormat dengan berkatnya
Yang alim dengan amanahnya
Yang tua dengan petuahnya
Yang muda dengan takahnya

342
Lampiran

Yang Datuk dengan kuasanya


Ninik-mamak dengan adat pusakanya
Yang bijak dengan arifnya
Yang cerdik dengan pandainya
Yang datang dari hulu dan hilir
Yang jauh tundan bertundan
Yang dekat sogo bergesa
Yang terlingkup alam nan empat
Yang tersungkup oleh adat
Yang ternaung oleh lembaga
Yang terlindung oleh ico dan pakaian
Pertama-tama perkenankanlah saya
menyampaikan ucapan tahniah
serta setinggi-tinggi terima kasih
dari keluarga besar Bapak DR. NAWAR DJAZULI
Atas perkenan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan
dan Puan-puan
Yang telah datang meringankan langkah
Memenuhi jemputan majelis ini
Kedatangan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Kami terima dengan muka yang jernih
Kami sambut dengan hati yang suci
Kami tunggu dengan dada yang lapang
Namun,
Bila di dalam menyambut kedatangan
Pihak calon Pengantin Pria
Dan keluarga besar Bapak DR. H. AHMAD NAJIB
Serta Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Entah terdapat salah dan silih
Entah tersalah adat dengan adab
Entah tersalah tegak dan letak
Yang patut tidak dipatutkan
Yang tua lupa didahulukan
Yang alim lupa dimuliakan
Yang adat lupa diadatkan
Yang dahulu terkemudiankan
Lupa didahulukan selangkah
Lupa ditinggikan seranting
Maka dari itu
Dari jauh kami menjunjung duli
Kepada yang dekat diangkat sembah
Memohon maaf beserta ampun
Atas segala kesalahan dan kealpaan
Maklumlah
Seperti dibidalkan orang tua-tua

343
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Tak ada tebu yang tak beruas


Tak ada kayu yang tak berbongkal
Tak ada sungai yang tak bersampah
Tak ada gading yang tak retak
Tak ada manusia yang tak mengandung khilaf
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Kini berbalik kita ke pangkal kaji
Karena yang ditunggu sudah datang
Karena yang dinanti sudah tiba
Cukup lengkap dengan adatnya
Serta sepadan dengan lembaga
Sebagaimana sama-sama kita ketahui
Bahwa sebulan yang lalu
Antara kedua belah pihak
Sudah membuat kata putus
Seperti kata orang tua-tua
Kok tali sudah disimpul
Kok takuk sudah ditanggam
Kok simpai sudah dibaji
Sudah tersusun bagai daun
Sudah berdiri bagai tiang
Di sana tuah orang berunding
Di sana hikmah orang mufakat
Maka atas kesepakatan kedua belah pihak tersebut
Sekarang akan dilaksanakan Akad Nikah
antara
AWAN LAZUARDI, ST. MT. BIN DR. H. AHMAD NAJIB
dengan
INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM. BINTI DR. H. NAWAR DJAZULI
Yang akan dipimpin langsung oleh
Kepala KUA Kecamatan .........
Untuk itu marilah kita awali
Dengan pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran
Yang dibacakan oleh Qoriah Putri Aisyah
------Pembacaan Ayat-ayat Suci Al-Quran-----
-----Akad Nikah-----
-----Serah Terima Mahar-----
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Orang tua-tua meninggalkan pesan
Minta petuah kepada yang alim

344
Lampiran

Minta akal kepada yang adil


Karena,
Orang berdaulat memberi tuah
Orang alim mengungkung syarak
Yang adat mengungkung hidup
Yang lembaga mengungkung raga
Orang cerdik penyambung lidah
Yang berani pelapis dada
Yang tua punca amanah
Untuk itu marilah sama-sama
Kita ikuti upacara menyembah
Kembali ke Upacara Akad Nikah
Ungkapan pada Upacara Tepuk Tepung Tawar (contoh) :
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia,

Banyak batang perkara batang


Banyak putat dahannya pandak
Banyak hutang perkara hutang
Hutang adat dengan syarak
Hutang syarak sudah selesai
Sudah berlangsung akad dan nikah
Sudah berjawab ijab dan kabul
Sudah diturut sunnah nabi
Semua yang tersurat di kitabullah
Kini tinggal utang adat
Adat disarung tidak berjahit
Adat kelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Adat yang tumbuh tidak bertanam
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk
Adat yang datang kemudian
Yang terbawa burung lalu
Tapi,
Hutang tak boleh dianjak-anjak
Hutang tak boleh dialih-alih
Bila dianjak dia layu
Bila dialih dia mati
Maka bagi kebahagiaan kedua Pengantin
Kita segera melaksanakan upacara
Tepuk Tepung Tawar

345
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Orang berlayar ke pulau Rupat


Membawa kundur berkati-kati
Tepung tawar memberi berkat
Do‘a dan syukur kepada Illahi
Bagi memulakan upacara ini kami persilahkan untuk menepungtawari:
Bapak DR. H. NAWAR DJAZULI , ayah dari Ananda INTAN
Bapak DR. H. AHMAD NAJIB, ayah dari Ananda AWAN
Ibu HJ. LAYLA MUNAWARAH, ibu dari Ananda INTAN
Ibu HJ. ZAENAB MAHMADAH ibu dari Ananda AWAN
Nenek dari INTAN – pihak ayah
Nenek dari INTAN – pihak ibu
Nenek dari INTAN – pihak ayah
Nakek dari INTAN – pihak ayah
Nenek dariINTAN – pihak ayah
Kakek dari AWAN – pihak ibu
Nenek dari AWAN – pihak ibu
Wakil dari keluarga ....
Wakil dari keluarga .....
Wakil dari keluarga besar ......
Sebagai penutup kami persilahkan Bapak H. Taufik sekaligus dilanjutkan dengan memimpin
pembacaan do‘a selamat.
Tepung tawar sudah direnjis
Sudah dibilas pula dengan do‘a
Semoga berkekalan persaudaraan dua keluarga
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia,
Orang tua-tua meninggalkan pesan
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang adil
Minta nasehat kepada yang berpengalaman
Yang banyak memakan asam dan garam
Yang sudah menempuh onak dan duri
Yang sudah diterpa gelombang laut kehidupan
Maka untuk memberikan nasehat ini
Kami persilahkan kepada Bapak K.H. Syamsuni.
Kembali ke Upacara Tepuk Tepung Tawar
Ungkapan pada kalimat penutup Upacara Nasehat Perkawinan (contoh):
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia,
Ibarat berjalan sudah sampai ke batas
Umpama berkayuh sampai ke pulau
Bila unut sampai ke bakal
Umpama sungai sampai ke guguk
Ibarat memanjat sampai ke puncak

346
Lampiran

Ke atas tercium harum langit


Ke bawah tampak kerak bumi
Yang ruas sampai ke buku
Ibarat kaji sudah berkhatam
Dengan demikian selesai sudah upacara ini
Perkenankanlah saya menyampaikan ucapan
Terima kasih atas kesabaran hadirin
Mengikuti senarai acara majelis ini
Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun
Entah kami tersalah tingkah
Entah kami tersalah kata
Entah kami tersalah langkah
Selama kami memandu acara ini
Sekali lagi mohon diberi maaf
Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kembali ke Upacara Nasehat Perkawinan.
Ungkapan pada pembukaan Resepsi Perkawinan (contoh) :
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin,
Wal akibatu lil muttaqin
wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i
wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin
wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in;
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan Jemputan majelis yang mulia
Marilah kita mulai acara resepsi pernikahan ini dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-
Quran yang dibacakan oleh Qoriah Rosmani
-----Pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran-----
Demikianlah tadi pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang te­lah kita simak dengan penuh
khidmat. Semoga Kita semua men­da­pat limpahan rahmat dari Allah SWT. Amin ya robbal alamin.
Selanjutnya kita beranjak ke acara berikutnya, yaitu sepatah kata pengganti sekapur sirih dari ahli
bait Keluarga DR. H. NAWAR DJAZULI dan Keluarga DR. H. AHMAD NAJIB. Dalam hal ini ahli bait
akan diwakili oleh Bp. H. MUHAMMAD ASAD. Kepada Bp. H. MUHAMMAD ASAD kami
persilahkan.
-----Sekapur Sirih dari Ahli Bait-----
Kembali ke Upacara Resepsi Perkawinan
Ungkapan pada upacara alu-aluan (contoh) :
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillahi robbil ‘alamin,
Wal akibatu lil muttaqin
wash sholatu wassalamu ‘alaa asyrofil ambiya-i

347
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

wal mursalin, sayyidinaa Muhammadin


wa ‘alaa aalihii wa ash haa bihii rasulillahi ajma‘in;
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan majelis yang mulia
Yang kecil tak disebut nama
Yang besar tak dihimbau gelar
Yang bertuah dengan marwahnya
Yang berhormat dengan berkatnya
Yang alim dengan amanahnya
Yang tua dengan petuahnya
Yang muda dengan takahnya
Yang Datuk dengan kuasanya
Ninik-mamak dengan adat pusakanya
Yang bijak dengan arifnya
Yang cerdik dengan pandainya
Yang datang dari hulu dan hilir
Yang jauh tundan bertundan
Yang dekat sogo bergesa
Yang terlingkup alam nan empat
Yang tersungkup oleh adat
Yang ternaung oleh lembaga
Yang terlindung oleh ico dan pakaian
Pertama-tama perkenankanlah saya
Menyampaikan ucapan tahniah
serta setinggi-tinggi terima kasih
dari keluarga besar Bapak DR. NAWAR DJAZULI
dan keluarga besar Bapak DR. AHMAD NAJIB
serta KEDUA PENGANTIN
Ananda INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM.
dan
Ananda AWAN LAZUARDI, ST. MT.
Atas perkenan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan
dan Puan-puan
Yang telah datang meringankan langkah
Memenuhi jemputan majelis ini
Kedatangan Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan
dan Puan-puan
Kami terima dengan muka yang jernih
Kami sambut dengan hati yang suci
Kami tunggu dengan dada yang lapang
Namun,
Bila di dalam menyambut kedatangan
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Entah terdapat salah dan silih
Entah tersalah adat dengan adab

348
Lampiran

Entah tersalah tegak dan letak


Yang patut tidak dipatutkan
Yang tua lupa didahulukan
Yang alim lupa dimuliakan
Yang adat lupa diadatkan
Yang dahulu terkemudiankan
Lupa didahulukan selangkah
Lupa ditinggikan seranting
Maka dari itu
Dari jauh kami menjunjung duli
Kepada yang dekat diangkat sembah
Memohon maaf beserta ampun
Atas segala kesalahan dan kealpaan
Maklumlah
Seperti dibidalkan orang tua-tua
Tak ada tebu yang tak beruas
Tak ada kayu yang tak berbongkal
Tak ada sungai yang tak bersampah
Tak ada gading yang tak retak
Tak ada manusia yang tak mengandung khilaf
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Kini berbalik kita ke pangkal kaji
Karena yang ditunggu sudah datang
Karena yang dinanti sudah tiba
Cukup lengkap dengan adatnya
Serta sepadan dengan lembaga
Sebagaimana sama-sama kita ketahui
Seperti kata orang tua-tua
Kok tali sudah disimpul
Kok takuk sudah ditanggam
Kok simpai sudah dibaji
Sudah tersusun bagai daun
Sudah berdiri bagai tiang
Di sana tuah orang berunding
Di sana hikmah orang mufakat
Atas kesepakatan kedua belah pihak tersebut Maka, tadi pa-gi, bertempat di rumah
kediaman pengantin perempuan, telah di­laksanakan Akad Nikah.
antara
Ananda AWAN LAZUARDI, ST. MT. BIN DR. H. AHMAD NAJIB
dengan
Ananda INTAN BAIDURI PERMATASARI, SE. MM. BINTI DR. H. NAWAR DJAZULI
Yang diijabkan langsung oleh Bapak DR. H. NAWAR DJAZULI
Sekarang kedua pengantin sudah sah dan resmi sebagai suami dan istri

349
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Sudah membentuk sebuah rumah tangga yang baru


Sudah terbeban hak dan tanggung jawab
Resepsi malam ini diadakan dalam rangka mera‘ikan pernikah­an tersebut sekaligus mohon
do‘a restu dari anggota majelis un­tuk kedua mempelai. Semoga Allah SWT memberikan
keber­kah­­an, kebahagiaan berupa anak keturunan yang soleh dan taat ke­­­pa­da Allah
SWT, yang akan berbakti kepada kedua orang tua­nya, bangsa dan negaranya. Amin ya
robbal alamin.
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia,
Ibarat berjalan sudah sampai ke batas
Umpama berkayuh sampai ke pulau
Bila unut sampai ke bakal
Umpama sungai sampai ke guguk
Ibarat memanjat sampai ke puncak
Ke atas tercium harum langit
Ke bawah tampak kerak bumi
Yang ruas sampai ke buku
Ibarat kaji sudah berkhatam
Dengan demikian selesai sudah ungkapan kami
Pengganti tepak sekapur sirih
Perkenankanlah kami menyampaikan ucapan
Terima kasih atas kesabaran hadirin
Mengikuti senarai acara majelis ini
Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun
Entah kami tersalah tingkah
Entah kami tersalah kata
Entah kami tersalah langkah
Sekali lagi mohon diberi maaf
Wabillahi taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Orang tua-tua meninggalkan pesan
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang adil
Minta nasehat kepada yang berpengalaman
Yang banyak memakan asam dan garam
Yang sudah menempuh onak dan duri
Yang sudah diterpa gelombang laut kehidupan
Maka untuk memberikan nasehat pernikahan ini
Kami persilahkan kepada Bapak K. H. Syamsuni
-----Nasehat Pernikahan Sekaligus Sambutan Tamu Jemputan
(Ucapan Tahniah)-----
Kembali ke Upacara Alu-aluan

350
Lampiran

Ungkapan pada Pembacaan Doa (contoh):


Hendaknya nasehat pernikahan ini bukan saja tertuju dan men­­­jadi perhatian bagi kedua
pengantin yang baru ini, akan tetapi bisa juga tertuju dan akan menjadi lebih baik bila
menjadi perhatian dan peringatan bagi pengantin yang sudah lama dan kita semua.
Se­moga Allah memberkahi kita semua. Amin.
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Untuk menyempurnakan acara resepsi ini, marilah kita berserah diri kepada Allah SWT
sambil memohonkan do‘a semoga kita semua selalu mendapatkan rahmat dan hidayah dan
kesela-matan di dunia dan akhirat. Do‘a akan dipimpin oleh Bapak K.H. UMAR ABDUH.
-----Pembacaan Do‘a Penutup-----
Bapak-bapak/Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
Jemputan Majelis yang mulia
Ibarat berjalan sudah sampai ke batas
Umpama berkayuh sampai ke pulau
Dengan demikian selesai sudah acara ini
Perkenankanlah kami menyampaikan ucapan
Terima kasih atas kesabaran hadirin
Mengikuti senarai acara majelis ini
Dan sekaligus memohon ma‘af dan ampun
Entah kami tersalah tingkah
Entah kami tersalah kata
Entah kami tersalah langkah
Sekali lagi mohon diberi maaf
Sebelum kami tutup, kami menjemput Bapak-bapak/Ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan
kiranya berkenan bersantap malam bersama atas hidangan yang telah kami sediakan.
Namun sebelum menuju ke meja hidangan, kami persilahkan memberikan ucapan
selamat bersalaman dengan kedua pengantin. Ucapan selamat didahului dengan berfoto
bersama kami mohonkan dengan hormat berturut-turut:
- Yang terhormat: Bapak Gubernur beserta Ibu (misalnya)
- Yang terhormat: Bapak Wakil Gubernur beserta Ibu (misalnya)
- Yang terhormat: Bapak Sekda beserta Ibu (misalnya)
- Yang terhormat: Ketua Adat Melayu beserta Datin (misalnya)
- Yang terhormat: Ketua DPRD beserta Ibu (misalnya)
- Yang terhormat: Bapak Rektor Universitas Hang Tuah beserta Ibu
Kemudian, diikuti oleh hadirin jemputan majelis yang mulia.
Wabillahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kembali ke Upacara Pembacaan Doa (HS/bdy/13/9-07)
Happy Susanto, MA., adalah redaktur Budaya dan Litbang MelayuOnline.com.
Mahyudin Al Mudra, SH. MM., adalah pendiri dan pemangku Balai Kajian dan
Pengembangan Budaya Melayu (BPKBM), serta pemimpin umum (PU) MelayuOnline.com.

351
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

TRADISI PERNIKAHAN ADAT MELAYU KEPULAUAN RIAU


Ari Ansera
(http://arigentser29serasan.blogspot.com/2013/11/tradisi-pernikahan-adat-melayu.html)

A. Adat Pernikahan
Dalam adat melayu kepulauan riau banyak cara atau upacara yang di lakukan sebelum
seseorang menikah.hal ini di lakukan sampai sekarang yang bertujuan menjaga budaya warisan
agar tidak hilang di makan zaman yang semakin modern ini.
Secara umum, tradisi perkawinan masyarakat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan
Riau, Indonesia terbagi dalam beberapa tahapan, antara lain; (1) Menjodoh, Merisik, (2)
Memberitahu/Menyampaikan Hajat, (3) Meminang, (4) Berjanji Waktu, (5) Mengantar Belanja, (6)
Ajak Mengajak, (7) Beganjal, (8) Betangas, (9) Gantung-gantung, (10) Berandam, (11) Berinai
Kecil, (12) Serah Terima Hantaran, (13) Akad Nikah, (14) Berinai Besar, (15) Tepuk Tepung Tawar,
(16) Berarak, dan (17) Bersanding (Ishak Thaib, 2009).
1) Menjodoh
Menjodoh adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua untuk mencari dan mencocokkan
calon suami/istri untuk anaknya. Mencari jodoh merupakan tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya dan oleh sebab itulah pekerjaan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan sangat rahasia,
yang diawali dengan niat dan penglihatan. Penglihatan ini tidak hanya dengan mata kasar akan
tetapi juga dengan mata hati. Umumnya yang menjadi penilaian di dalam kegiatan mencari jodoh
adalah tentang kepercayaan. Calon pasangan anak harus se-iman, ya sudah tentu Islam, garis
keturunannya, pekerjaannya, tingkah laku dan perangainya, dan terkhir adalah tentang status.
Dalam proses menjodoh ini sering sekali orang tua yang langsung mencari, namun ada
beberapa juga yang memercayakannya pada orang lain yang dipercaya. Biasanya orang ini disebut
dengan tali barut atau mak comblang.
Orang tua zaman dulu memang memiliki kemampuan untuk melihat sifat dan prilaku
seseorang dari berbagai media; telaah nama, tanggal kelahiran, tanda badan, dan lain-lain yang
sifatnya abstrak. Proses ini merupakan langkah awal untuk menentukan apakah nantinya pasangan
yang dipilih cocok atau tidak dengan anaknya.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau,
Indonesia secara umum sudah tidak lagi melakukan proses menjodoh ini. Orang tua secara utuh
memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk memilih jodohnya sendiri. Dan peranan orang tua
zaman sekarang hanya me-monitor pilihan anaknya jangan sampai salah.
2) Merisik
Merisik atau menyelidiki adalah pekerjaan yang sering dilakukan oleh perempuan separuh
baya. Perempuan ini ditugaskan untuk pergi melihat dari dekat keadaan sesungguhnya dari dekat
perihal sigadis yang akan dipersunting. Orang yang ditunjuk menjadi perisik haruslah sopan, ramah
dan amanah. Ahli dalam bertutur kata yang bermakna tersirat atau berupa bahasa kias. Biasanya
orang tersebut berasal dari keluarga atau kerabat terdekat yang mempunyai hubungan keakraban
yang kuat dengan orang tua si gadis.
Perisik melaksanakan tugasnya dengan cara bertamu, atau ada juga yang sambil mencari
kutu. Sering sekali hal ini dilakukan dengan bersenda gurau. Jika seluk beluk si gadis baik yang
menyangkut sifat dan prilaku maupun yang menyangkut ibadah telah diketahui secara pasti,
barulah hasilnya disampaikan kepada orang tua yang mengutus. Jika masih ada yang diragukan,
biasanya perisik akan berkunjung lagi dengan alasan yang berbeda, agar tidak dietahui oleh pihak
perempuan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
Pada hakekatnya merisik bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih teliti, penuh kearifan dan
bijaksana tentang calon yang dirisik atau yang diinginkan.
352
Lampiran

3) Memberitahu/ Menyampaikan hajat


Setelah proses merisik terlaksana dengan baik, lalu diutuslah keluarga atau orang tua yang
“dituakan” sebagai wakil pihak laki-laki untuk memberitahu orang tua si gadis bahwa akan ada
utusan pihak lelaki untuk menyampaikan hajat meminang. Pada saat ini terjadi perundingan kedua
belah pihak untuk menentukan waktu yang tepat untuk meminang.
Pemberitahuan ini merupakan etika adat Melayu yang berguna agar pihak perempuan dapat
memberitahu sanak keluarga atau kerabatnya untuk hadir dalam acara tersebut dan atau dengan
kata lain agar pihak perempuan “punya” persiapan untuk menerima tamu yang akan datang.
Secara umum tujuan memberitahu ini adalah meluahkan apa yang tersirat di hati untuk
disampaikan kepada pihak perempuan.
4) Meminang
Sebelum proses meminang dilaksanakan, terlebih dahulu perlu mempersiapkan se-tepak
sirih lengkap, masing-masing kelengkapan yang diletakkan di dalam tepak sirih juga mengandung
lambang tertentu. Adapun isi dari tepak sirih dan perlambangan tersebut :
a. Buah pinang
Sebutir pinang yang telah diupas kulitnya dan diraci. Tidak boleh dibelah dua (utuh). Dalam
adat Melayu Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, buah pinang melambangkan
keikhlasan dan ketulusan hati seseorang. Lurusnya hati seumpama mempulur pinang. Buah
tersebut diletakkan di dalam cembul, yaitu tempat di dalam tepak sirih.
b. Kapur sirih
Kapur sirih berwarna putih melambangkan kebersihan dan kesucian hati. Kapur ini juga
diletakkan di dalam cembul.
c. Gambir
Melambangkan keberkatan dan obat penawar. Gambir juga diletakkan di dalam cembul.
d. Tembakau
Tembakau diletakkan di dalam cembul, gunanya untuk menyugi gigi sesudah memakan sirih.
Tembakau melambangkan kebersihan jasmani.
e. Daun sirih
Daun sirih melambangkan kebesaran, persaudaraan, dan persatuan. Hal tersebut disebabkan
sifat dari sirih yang mudah tumbuh dan memiliki khasiat untuk mengobati beragam penyakit.
Daun sirih dari pihak laki-laki disusun dalam posisi telungkup dalam jumlah ganjil. Daun sirih
telungkup bermakna rendah hati dan berserah diri. Lain halnya sirih dari pihak perempuan
yang disusun telentang. Hal ini melambangkan penerimaan dan penyerahan diri. Daun sirih
yang bertemu ujung bermakna tercapainya kesepakatan di kedua belah pihak.
f. Kacip
Merupakan alat pembelah atau peracik buah pinang. Terbuat dari besi. Selain untuk meracik
juga digunakan untuk mengupas kulit pinang. Kacip melambangkan se-iya se-kata,
kemufakatan bersama dalam keputusan yang baik.
Semua peralatan di atas disusun di dalam cembul tepak. Penyusunan dimulai dari cembul
kapur, cembul pinang, cembul gambir, cembul tembakau, dan kacip di sebelahnya serta daun sirih.
Secara keseluruhan tepak sirih melambangkan persaudaraan, keterbukaan, persatuan, dan
kesatuan dalam keutuhan saling melengkapi.
Persiapan selanjutnya, pihak laki-laki menunjuk orang yang di-tuakan dan sangat paham
dalam hal pinang meminang. Biasanya orang tersebut juga memiliki pengaruh dalam masyarakat,
seperti; tok lebai, tok haji, tokoh adat, pemantun, dan pak imam. Sebelum berangkat meminang, di
rumah pihak laki-laki diadakan pembacaan doa selamat dan hidangan. Perundingan dalam acara
pinang meminang ini selalu dibuka dengan bait-bait pantun.
Disebabkan perubahan zaman, sekarang ini acara meminang disejalankan dengan membawa
tanda jadi (tanda pinangan). Hal ini dikarenakan kedua calon pengantin sudah saling suka atau
saling kenal (berpacaran). Berbanding terbalik jika dibandingkan dengan zaman dahulu, anak gadis

353
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

dilarang keluar rumah, apalagi berpacaran. Hal tersebut sudah barang tentu menyebabkan laki-laki
dan perempuan yang akan menikah tidak saling kenal.
Begitu juga dengan halnya mengantar tanda (bertunangan). Di zaman dahulu, acara ini tidak
banyak diketahui orang, karena sifatnya sangat rahasia dan tertutup. Acara mengantar tanda
dahulunya tidaklah merupakan suatu adat, ini disebabkan antara kedua belah pihak tidak lama
bertangguh tempo, sehingga tidaklah perlu acara mengantar tanda dilaksanakan. Tidak halnya
dengan zaman sekarang, acara mengantar tanda telah menjadi satu kebiasaan dalam masyarakat
Melayu Tanjungpinang. Hal ini disebabkan di antara kedua belah pihak berjanji untuk
melangsungkan pernikahan dalam waktu yang lama, untuk itu perlu diberikan cincin sebagai tanda
(tunangan). Sewaktu mengantar tanda dibuat juga perjanjian antara kedua belah pihak, perjanjian
terbut berbunyi: “... Jika pihak laki-laki mengingkar janji, maka tanda yang telah diberikan menjadi
milik perempuan, atau dengan istilah lain “hangus”. Namun, jika pihak perempuan yang mengingkar
janji, maka harus mengganti dua kali lipat dari tanda yang diberikan...”
5) Berjanji Waktu
Setelah pinangan diterima maka kedua belah pihak berunding untuk menentukan hari
pelaksanaan pernikahan yang tepat (hari baik, bulan baik). Waktu yang lazim digunakan untuk
melaksanakan pernikahan tersebut adalah pada bulan Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal,
Jumadi Akhir, Sa’ban, dan Zulhijah. Bulan yang jarang diambil untuk pelaksanaan pernikahan
adalah bulan Syafar dan Zulkaedah atau disebut juga dengan nama bulan Apit, pada umumnya
ada kepercayaan dalam masyarakat, pada bulan apit ini banyak mendatangkan mudaharat. Dalam
memilih hari, yang dianggap hari baik adalah hari senin, kamis, jum’at, sabtu, dan minggu.
Sedangkan hari selasa dan rabu dianggap juga mendatangkan mudharat.
Maksud dan tujuan diadakan berjanji waktu ini adalah untuk mencari hari baik dan bulan baik agar
pasangan yang menikah nanti mendapatkan hal yang baik-baik dan terhindar dari kemudharatan.
6) Mengantar Belanja
Mengantar tanda bermaksud menunjukkan rasa tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk
mempersunting gadis idamannya. Pada hakekatnya mengantar belanja mencerminkan rasa
senasib sepenanggungan, se-aib se-malu, yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing.
Dalam ungkapan Melayu disebutkan:
Adat orang mengantar belanja
Tanda beban sama dipikul
Tanda hutang sama dibayar
Tanda adat sama diisi
Tanda lembaga sama dituang
Antar belanja bukan bersifat jual beli atau menghitung untung rugi, tetapi sepenuhnya mengacu
pada nilai kekeluargaan dan kekerabatan, seperti dalam ungkapan sebagai berikut;
Yang lebih tambah menambah
Yang kurang isi mengisi
Yang berat sama dipikul
Yang ringan sama dijinjing
Yang pahit sama dirasa
Yang manis sama dicecah
Adat Melayu melarang serta memantangkan tawar menawar dalam menentukan besar
kecilnya hantaran. Dalam memberikan hantaran terbagi atas dua cara, yaitu ; (i) Hantaran tidak
sama naik, dan (ii) Hantaran sama naik.
Hantaran tidak sama naik maksudnya, uang hantaran (uang hangus) dihantarkan jauh-jauh hari
sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Sedangkan uang hantaran sama naik bermaksud, uang
hantaran diberikan pihak laki-laki sewaktu pelaksanaan pernikahan. Jumlah uang hantaran tidak

354
Lampiran

menjadi konsumsi umum, yang mengetahui besaran uang hantaran yang diberikan hanya keluarga
dan kerabat dekat pengantin saja.
7) Ajak Mengajak
Prosesi ini dilakukan untuk meminta pertolongan kerabat, sekaligus memberi kabar baik
pada sanak saudara, kaum kerabat, dan tetangga terdekat yang secara khusus diminta datang
untuk menolong mempersiapkan acara. Prosesi ini dilakukan sekurang-kurangnya tiga hari
sebelum acara gantung-gantung. Maksud dan tujuan mengajak adalah untuk membantu bergotong
royong membuat bangsal, tempat berkhatam – berzanzi, mencari kayu api, dan segala hal yang
perlu disiapkan.
8) Beganjal
Sama istilah dengan gotong royong. Pekerjaan yang digotongrotongkan antara lain;
mengambil kayu untuk membangun bangsal (rumah perlengkapan dan masak); meminjam barang
pecah belah; mengupas kelapa, dan lain-lain. Dengan perkembangan zaman, adat beganjal ini
sudah jarang ditemukan. Apatah lagi pelaksnaan pernikahan tidak dilaksanakan di rumah, dan tuan
rumah tidak juga masak melainkan menyewa jasa tukang masak (catering).
9) Betanggas
Manfaat bertanggas adalah untuk mengeluarkan serta menghilangkan bau keringat serta
untuk mengharumkan dan menyegarkan badan calon pengantin perempuan. Peralatan dan bahan-
bahan yang diperlukan; (a) satu buah bangku, (b) tepak bara lengkap, (c) setanggi, serai wangi,
kayu cendana, gaharu, (d) air panas, dan (e) tikar.
Cara bertanggas dimulai dengan mendudukkan calon pengantin (perempuan) di atas
bangku, pengantin duduk tanpa baju. Dibawah bangku diletakkan tepak bara dan ramuan,
kemudian calon pengantin ditutup dengan kain sebatas leher. Mengenai lamanya calon pengantin
berada di dalam kain tersebut, tidak ditentukan secara pasti.
Setelah bertanggas selesai, dilanjutkan dengan belangi. Bahan-bahan untuk belangi, antara lain;
(a) beras kunyit, (b) daun kemuning, (c) bedak sejuk, dan (d) air limau purut.
Pengantin zaman sekarang lebih senang menempuh jalur praktis untuk bertanggas dan belangi ini.
Mereka lebih suka ke Salon karena dianggap lebih praktis, efektif, dan efisien.
10) Gantung-gantung
Mengagantung adalah prosesi serangkaian acara penggantungan. Yang digantung terlebih
dahulu adalah tabir. Prosesi penggantunga diawali dengan doa selamat, agar apa yang dilakukan
mendapat ridha dari Allah. Kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan yang lain, seperti perakne, dan
pelaminan.
11) Berandam
Berandam pada hakikatnya adalah membersihkan lahiriah untuk menuju kebersihan
batiniah. Berandam dilakukan oleh tukang andam. Di Tanjungpinang tukang andam tidak hanya
dari kaum perempuan, namun ada juga tukang andam laki-laki. Orang-orang yang menjadi tukang
andam umumnya mempunyai kepandaian yang dipusakai secara turun temurun, atau bisa juga dari
menuntut dengan tukang andam terdahulu.
Ungkapan adat dalam berandam:
Adat berandam disebut orang
Membuang segala yang kotor
Membuang segala yang buruk
Membuang segala yang sial
Membuang segala pemali
Membuang segala pembenci
Agar seri naik ke muka

355
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Agar tuah naik ke kepala


Agar cahaya melekat di dada.
Peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk berandam, serta perlambang yang
terkandung di dalamnya :
1. tempat duduk calon pengantin, pondasi kehidupan
2. kain songket atau sejenisnya, menghimpun yang berserak dan menampung sega-la
permasalahan yang lalu, sekarang, dan masa depan.
3. kain putih, ketulusan, kesucian, dan kebersihan hati.
4. lilin berkaki, penerang hati
5. pisau lipat, gunting, dan sikat, pembersih jasmani maupun rohani
6. benang tukal, mempererat silaturahmi
7. beras kunyit, beretih padi dan beras basuh, tepuk tepung tawar, pemberkah hidup.
8. kelapa yang dibuang kulit, kesuburan dan cita-cita
9. padi, rezeki
10. talam tembaga yang berkaki, keutuhan rumah tangga
11. seperangkat alat belangi, penegap semangat hidup.
12. tepak bara, rasa cinta sesama.
13. air limau purut, pembuang kotoran hati
14. penepuk tepung tawar, ucapan tahniah.
Pelaksanaan berandam dimulai dengan mendudukkan calon pengantin pada alas tempat
duduk yang dibuat dari kain songket atau sejenisnya yang dilipat sebesar ukuran pengantin bersila.
Calon pengantin perempuan memakai kain sarung pelekat atau sejenisnya serta tidak memakai
baju (berkemban). Selanjutnya barulah tepak bara dihidupkan, lilin dinyalakan dan semua peralatan
berandam diletakkan di hadapan calon pengantin yang akan diandam.
Untuk langkah awalnya mak andam memulaikannya dengan menabur beras kunyit, di pakai
kain putih, di tepuk tepung tawar untuk 3 orang ( keluarga terdekat membaca doa selamat ). Leher
dikalungkan dengan benang tukal, yang dilanjutkan dengan mencukur rambut/bulu diatas kening
(dahi).kedua pelipis dan bulu roma , mulai dari wajah , tangan hingga kaki ( bulu di daerah sendi-
sendi ) setelah itu keseluruhan badan yang di anggap perlu. Kemudian dilanjutkan dengan
memperelok alis mata , kumis dan ada juga yang sampai mengasah atau membersihkan gigi calon
pengantin.
Apabila telah selesai pelaksanaannya, kain pengalas tempat duduk, bulu dan roma yang jatuh
dikumpul dan dibungkus serta diserahkan kepada masing-masing pihak calon pengantin. Setelah
itu barulah calon pengantin didudukan di kursi dan mak andam pun mulailah melakukan meremas
rambut dengan air limau purut dan berlangi. Hal ini berujuan agar kotoran di seluruh badan menjadi
bersih dan badan berbau harum. Setelah beberapa menit kemudian lalu dibilas dengan air bersih
dan diteruskan dengan mandi biasa. Setelah kegiatan itu calon pengantin dipakaikan baju kurung
lengkap seperti sebelum berandam. Kebiasaan yang tidak pernah dilupakan mak andam sewaktu
akan mulai pencukuran/menggunting rambut ialah membaca mantra/jampi-jampi. Setiap mak
andam memunyai mantra/jampinya masing-masing. Diantara jampi-jampi tersebut ada yang
bunyinya sebagai berikut :
Bismillahirahmanirrahim
Limau manis limau setawa
Bedak langir pembuang sial
Aku mencukur kaki rambut si dare
Bertambah cantek sri naek muke
Ku semangat , ....
Cantik mulai hendak dipakai
Cantik molek dipandang mate
Berkat aku yang memakaikan sri muke,
kasihlah orang melihatnye

356
Lampiran

Berkat doa laillahaillallah...“


Kalau calon pengantin perempuan lagi berhalangan, rambut yang dicukur dikumpulkan dulu,
kemudian harus dimandikan bersama-sama di saat calon pengantin mandi hadas besar.
12) Berinai Kecil
Berinai kecil disebut juga dengan curi inai. Berinai kecil maksudnya adalah menginai calon
pengantin laki-laki dan perempuan sebelum waktu diinaikan. Sedangkan waktu berinai yang
sebenarnya adalah setelah acara tepuk tepung tawar dilaksanakan. Oleh karena itu hal semacam
ini disebut dengan curi inai atau inai curi ( inai sendi ).
Biasanya pelaksanaan berinai kecil dilakukan sehari sebelum prosesi akad nikah.
Pelaksanaannya dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang saudara mara calon pengantin
baik laki-laki maupun perempuan. Maksud berinai kecil ( inai curi atau inai sendi ) adalah sebagai
pertanda bahwa calon penganti telah siap memasuki gerbang pernikahan dan karena itulah yang
diinai hanya pada ujung jari jemari saja dan tidak sampai pada telapak tangan dan telapak kaki.
Inai yang akan digunakan calon pengantin laki-laki diantar dari rumah calon pengantin perempuan,
biasanya diambil sedikit saja karena inai tersebut akan dipersiapkan pada acara berinai besar.
13) Serah Terima Hantaran
Serah terima hantaran adalah penyerahan mahar mas kawin dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan yang kemudian dilanjutkan dengan acara ijab kabul atau akad nikah. Ijab kabul
merupakan acara yang paling dinantikan dan merupakan acara puncak dari segala prosesi
pernikahan. Acara ini terkesan sakral.
Dalam ungkapan adat Melayu dikatakan :
Seutama-utama upacara pernikahan ialah ijab kabulnya
Di situlah ijab disampaikan
D isitulah kabul dilahirkan
D isitulahsyara ditegakkan
Di situlah adat didirikan
Di situlah janji dibubul
Di situlah simpul dimatikan
Tanda sah bersuami istri
Tanda halal hidup serumah
Tanda bersatu tali darah
Tanda terwujud sunnah nabi
Alat yang disediakan untuk melangsungkan aakd nikah antara lain:
* Tepak sirih
* Sirih nikah yang diletakkan dalam senjong besar
* Sirih puan yang diletakkan dalam senjong kecil
* Tikar niah
* Lilin berkaki
* Tempat bara / cungap dari kuningan
* Bunga rampai dalam dulang perak / tembaga
Sebelum mempelai laki-laki menuju ke rumah mempelai perempuan terlebih dahulu
diadakan doa selamat dengan maksud agar seluruh prosesi yang akan dijalani mendapat
kemudahan. Selesai membaca doa, dilanjutkan dengan menyantap hidangan se-adanya, langsung
masuk dalam proses perjalanan menuju ke rumah mempelai perempuan dengan melalui tahapan:
(1) Utusan pihak perempuan mengantar seperangkat pakaian untuk menikah, biasanya baju
kurung degan songkok berhias. Sedangkan alas kaki memakai sendal capal. Pihak perempuan
memakai baju kurung dan tudung manto. Sebelum mengenakan baju, mempelai wajib
mengambil wudhu.

357
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

(2) Sebelum pengantin turun dari rumah terlebih dahulu dibacakan doa selamat.
(3) Calon pengantin bersalam dengan orang tua dan beberapa kerabat keluarga yang hadir.
(4) Calon pengantin turun dari rumah, diawali dengan pembacaan salawat nabi sebanyak tiga kali.
(5) Mak inang menaburkan beras kunyit bercampur uang logam.
(6) Susun urut barisan pengiring pengantin laki-laki:
a. Barisan depan terdiri dari beberapa orang perempuan atau barisan ini disebut juga barisan
pengiring.
b. Barisan pembawa hantaran
i. Pembawa tepak sirih
ii. Pembawa mas kawin
iii. Pembawa bunga rampai
iv. Dikuti pembawa pengiring tambahan (kue, buah, alat sholat, kosmetik, dll)
c. Mempelai laki-laki yang diapit oleh gading kiri dan gading kanan (pengapit).
d. Rombongan pengiring laki-laki
(7) Sampai di halaman rumah mempelai perempuan, mak inang kembali menaburkan beras kunyit
bercampur uang logam
(8) Rombongan dipersilahkan masuk, dan pengantin laki-laki dipersilakan duduk. Pada saat
pengantin duduk, tidak boleh “terduduk” dan tikar alas nikah tidak boleh terlipat.
(9) Acara serah terima hantaran dimulai dengan penyerahan tepak sirih dilanjutkan dengan
seluruh hantaran yang dibawa.
(10) Barang hantaran yang telah diterima dibawa masuk ke dalam kamar pengantin.
(11) Sebelum akad nikah dimulai, tok kadi mencari dua orang saksi, satu orang merupakan saksi
wakil pihak perempuan, satu orang lagi merupakan saksi wakil dari pihak laki-laki.
(12) Melangsungkan Akad nikah
14) Akad nikah
Dalam prosesi ini terbagi menjadi dua jenis tahapan, yaitu (1) Tahapan satu kali pengantin
naik ke rumah pengantin perempuan, dan (2) tahapan pengantin laki-laki naik dua kali ke rumah
pengantin perempuan.
Ø tahapan satu kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan
* khatam Al-Quran,
* Serah terima hantaran dan mahar,
* Akad nikah,
* Tepuk tepung tawar dan Berinai besar, dan
* Bersanding dan bersatu.
Maksud dari pengantin laki-laki naik satu kali ke rumah perempuan adalah apabila selesai
tahapan mulai dari khatam al quran hingga tepuk tepung tawar, pengantin laki-laki tidak dibawa
pulang akan tetapi langsung disandingkan dan bersatu.
Jika yang mempunyai hajat cara seperti tersebut di atas, maka malam berinai kecil dijadikan malam
berinai penuh, dan acara menghadang pintu dengan tali lawe juga tidak ada.
Biasanya tahap satu kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan ini diadakan karena
rumah pengantin laki-laki sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah.
Ø tahapan dua kali pengantin laki-laki naik ke rumah perempuan
* penyerahan hantaran dan mahar,
* ijab kabul akad nikah,
* tepuk tepung tawar dan berinai besar,
* khatam al Quran, dan
* bersanding dan bersatu.
Tahapan ini berbeda dengan tahapan yang sudah dipaparkan di atas. Pada tahapan ini
setelah pengantin di tepuk tepung tawari, pengantin laki-laki dibawa pulang ke rumah terlebih
dahulu. Setelah pengantin laki-laki kembali kerumah, pihak perempuan mengadakan acara
khtaman dan juga diselingi dengan berzanzi atau hadrah. setelah itu barulah pengantin laki-laki
datang kembali, acara dilanjutkan dengan bersanding dan tepuk tepung tawar. Pada masa

358
Lampiran

pengantin laki-laki kembali untuk yang kedua kalinya inilah terdapat acara menghaddang pintu dan
buka kipas.
15) Berinai Besar dan Tepuk Tepung Tawar
Berinai besar adalah upacara berinai yang dilakukan diatas peterakne. Tahap pelaksanaan
berinai besar dan tepuk tepung tawar dimulai dengan mempelai laki laki didudukkan diatas
peterakne yang dipandu oleh mak inang. Caranya yaitu pengantin laki laki duduk pada posisi
bersila, di atas paha mempelai laki laki diletakkan bantal susu ari sebagai pengalas tangan dengan
posisi tangan telungkup. Barulah pelaksanaannya dimulai, yang didahulukan adalah unsur
keluarga, tokoh agama dan adat sebanyak 3-7 orang ( jumlah ganjil ) dan begitu juga untuk
mempelai perempuan.
Setelah selesai mempelai laki laki barulah mempelai perempuan didudukan di atas
peterakne dengan posisi duduk bersimpuh dan bantal susu ari diletakkan di atas pahanya, telapak
tangan ditelentangkan diatas bantal susu ari diletakkan diatas bantal susu ari. Pelaksanaannya
dimulai oleh keluarga tertua , tokoh agama dan adat yang (berjumlah 3 s.d 7 orang perempuan
berjumlah ganjil , jika 7 orang diambil wakil dari pihak laki laki 3 orang dan pihak perempuan 3
orang serta satu orang tok lebai/Ka. Kua sekaligus untuk membaca doa). Mempelai yang akan
didudukkan pada peterakne terlebih dahulu pengantin laki laki, setelah selesai dan dikembalikan
ketempat semula (duduk disamping peterakne) ,barulah digantikan dengan mempelai perempuan
hingga selesai . saat pengantin laki laki tepuk tepung tawar, pengantin perempuan berada
dibelakang pelamin/dalam bilik). Di dalam ungkapan adat Melayu dikatakan :
Yang disebut tepuk tepung tawar
Menawar segala yang berbisa
Menolak segala yang menganiaya
Menjauhkan segala yang menggila
Meninding segala yang menggoda
Menepis segala yang berbahaya
Selain ungkapan tersebut ada juga ungkapan lain:
Di dalam tepuk tepung tawar
Terkandung segala restu
Terhimpun segala doa
Terpatri segala harap
Tertuang segala kasih sayang
Setelah selesai tepuk tepung tawar, lalu orang yang menepuk tepung tawar mengambil
sedikit inai langsung mencolet pada telapak pengantin, begitulah seterusnya. Apabila selesai si
penepuk melakukan tepuk tepung tawar maka mak inang memberi berekat yang telah berisi wajik
didadalam gelas/sejenisnya, dengan setangkai bunga yang terpasang pada secelis bambu (buluh)
yang telah diraut dan ditusuk pada sebutir telur merah yang dibuat sedemikian rupa.
Acara tepuk tepung tawar pada pelaksanaannya ada yang dilaksanakan dengan cara duduk satu-
satu (pengantin laki-laki dan perempuan terpisah), dan ada pula kedua mempelai duduk berdua
sekaligus. Pelaksanaan duduk satu-satu dengan partimbangan bahwa kedua pengantin belum
melakukan mahar batin dan akan melaksanakan tebus kipas. Sedangkan tepuk tepung tawar
duduk berdua dapat dilakukan dengan partimbangan kedua mempelai sudah menikah.
Bahan-bahan yang digunakan pada prosesi tepuk tepung tawar terdiri dari:
a. Beras kunyit, yaitu beras yang diaduk dengan kunyit yang sudah dihaluskan
b. Beras basuh, yaitu beras yang direndam dan atau dicuci dengan air biasa.
c. Beretih, yaitu padi yang digonseng (digoreng tanpa menggunakan minyak goreng)
d. Air tepung tawar, yaitu air yang diadu dengan beras giling

359
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

e. Perenjis (alat untuk merenjis) merepukan gabungan atau ikatan dari beberapa jenis daun yang
berjumlah ganjil (5—7) helai.
f. Embat-embat, yang berisikan air wewangian
Tata cara menepuk tepuk tawar:
1. Ambil “sejemput” beras kunyit[i], beras putih, dan beretih lalu taburkan melewati atas kepala, ke
bahu kanan dan bahu kiri pengantin. Pada saat menaburkan, lafaskan salawat nabi 1 kali.
2. Mencecahkan daun perenjis ke dalam air tepung tawar, lalu direnjiskan di atas dahi, ba-hu
kanan dan kiri, lalu belakang telapak kedua tangan (posisi tangan pengantin harus telungkup).
Untuk merenjis digambarkan dalam bentuk lam alif yang bermakana Allah Berkehendak.
3. Mengambil sebutir telur, lalu meutari telur di muka pengantin. Setelah itu telur tersebut
diletakkan di tempat semula.
4. Mengambil sejemput inai lalu dioleskan di telapak tangan kanan dan kiri.
5. Setelah semua orang yang ditunjuk sebagai penepuk tepung tawar selessai, acara ditu-tup
dengan doa selamat. Jumlah penepuk tepuk tawar adalah bilangan ganjil, dimulai dari 3,5,7,9,
dan 13.
Makna tepuk tepung tawar:
1. Beras kunyit, beras basuh, dan beretih yang dihamburkan bermakana ucapan selamat dan turut
bergembira.
2. Merenjis kening bermakna berfikirlah sebelum bartindak atau teruslah menggunakan akal yang
sehat.
3. Merenjis di bau kanan dan kiri bermakna haru siap memikul beban dengan penuh rasa
tanggung jawab.
4. Merenjis punggung tangan bermakna jangan pernah putus asa dalam mencari rezeki, selalu dan
terus berusaha.dalam menjalani kehidupan
5. Mengalin telur bermakna pengharapan untuk dapat melahirkan keturuanan yang saleh dan
ketulusan hati yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
6. Menginai telapak tangan bermakna penanda bahwa mempelai sudah berakad nikah. Dalam
konsekuensinya penyadaran bahwa “sekarang” sudah tidak bujang atau dara lagi (sudah ada
pendamping).
Doa selamat di penutup acara bermakna pengharapan apa yang dilakukan mendapat berkah dan
ridho dari Allah Swt.
16) Berarak
Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Pada
saat berarak pengantin laki-laki diusung, atau bisa juga berjalan kaki. Iringan pengantin disertai
bunyi kompang dan rebana di sepanjang perjalanan. Ketika sampai di depan rumah pengantin
perempuan, rombongan disambut dengan pencak silat, lalu silat tersebut “disambut” dari pihak laki-
laki.
Setelah bersilat, rombongan pengantin laki-laki tersebut tidak serta merta melenggang ke
dalam rumah. Mereka dihadang di pintu masuk dengan tali lawe (biasanya digunakan kain panjang
yang direntang sebagai penghalang). Untuk membuka tali lawe, selalu diikuti dengan berbalas
pantun dan tebus uang pintu. Uang tebusan ini sepenuhnya milik orang yang menjaga tali. Jumlah
tebusan tidak ditentukan secara pasti, mengikut kesepakatan dari dua belah pihak saja.
Setelah tebusan disetujui, maka tali penghadang akan dibuka, selanjutnya iring-iringan pengantin
laki-laki dipersilakan masuk. Di depan pintu beberapa perempuan sudah menunggu untuk
menaburkan beras kunyit yang bercampur dengan uang logam. Rombongan terus berjalan menuju
peterakne.
Baik lah teman ”semoga apa yang saya poskan ini bisa bermanfaat untuk teman” semua dan
semoga bisa menambah pengetahuan kita bersaama.dan tak kalah penting nya semoga dengan
membaca pos ini kita bisa sama” menjaga budaya yang telah di warisi oleh leluhur kita yang
terdahulu.

360
Lampiran

Prosesi Pernikahan Adat Palembang


Wardah Fajri
(http://female.kompas.com/read/2010/02/02/19150389/Prosesi.
Pernikahan.Adat.Palembang)

KOMPAS.com - Bagi calon pengantin, urusan memilih konsep prosesi pernikahan bukan
perkara sederhana. Apalagi jika keluarga punya andil besar dalam pernikahan. Baik dari segi dana
maupun tradisi yang harus diwariskan kepada anak.
Anda yang berdarah Sumatera memiliki konsep pernikahan melayu sarat tradisi dan makna.
Palembang punya ciri khas tersendiri yang tak kalah uniknya. Ritual pernikahan tradisi kesultanan
masih kuat menempel dalam keluarga Palembang.
Zainal Arifin, penerus tradisi Songket Palembang, keturunan dari Sultan Mahmud
Badaruddin, mengaku masih mempertahankan prosesi pernikahan khas Palembang di bawah
arahannya. Pemilik brand ZainalSongket ini memberikan jasa perencana pernikahan (wedding
organizer) khas Palembang. Pilihannya bisa adat tradisi utuh termasuk busana pengantin, atau
modifikasi dengan memberikan pilihan gaun pengantin yang lebih modern.
"Tata cara pernikahan pada umumnya masih menggunakan adat tradisi secara utuh," papar
Zainal kepada Kompas Female.
Zainal mengakui, prosesi sesuai adat-istiadat keluarga besar kesultanan Palembang
membutuhkan minimal tiga hari, bahkan hingga dua minggu untuk pelaksanaannya.
"Faktor waktu juga yang membuat banyak orang mempertimbangkan kembali untuk
mengikuti prosesi sesuai adat-istiadat. Namun tak sedikit juga yang masih mempertahankan tradisi
dan menyesuaikan dengan kebutuhan, misalkan jika pelaksanaan pernikahannya di gedung,"
Zainal menjelaskan.
Zainal lebih menyarankan agar prosesi lengkap pernikahan adat Palembang dilakukan di
rumah, karena pertimbangan waktu tersebut. Pembagian waktu garis besarnya adalah untuk
prosesi lamaran (biasanya dilakukan tiga bulan sebelumnya), akad nikah, munggah, dan resepsi.
Suasana dan makna religi sangat kental dalam prosesi pernikahan Palembang. Hampir di
setiap tahapan mengandung pengharapan dan doa. Prosesi hingga barang hantaran juga punya
makna mendalam, terkait dengan kehidupan rumah tangga, etika, serta kewajiban dan hak suami-
istri.
Nilai budaya yang diyakini bisa membawa biduk rumah tangga bahagia, tergambar dalam
setiap gerak dan tahapan prosesi. Calon pengantin perempuan pun harus belajar tari, untuk
persembahan kepada pasangannya sebagai tahap akhir prosesi.
Tarian merupakan bentuk pelepasan masa lajang dari sang pengantin perempuan.
Tandanya, si perempuan perlu mengkomunikasikan kepada pasangannya jika ingin beraktivitas di
luar ranah domestik.
Tahapan pernikahan adat Palembang secara berurutan dan terkait terdiri atas:
Madik (melihat). Utusan dari pihak keluarga pria berkenalan dengan pihak keluarga wanita untuk
mengetahui asal-usul dan silsilah keluarga.
Menyenggung. Utusan pihak pria secara resmi membawa hantaran yang disebut tenong atau
sangkek.
Ngebet (diikat). Keluarga pihak pria berkunjung dengan membawa tenong tiga buah pertanda
nemuke kato, atau kedua pihak telah sepakat dan perempuan sudah diikat.
Berasan (bermusyawarah). Musyawarah untuk menentukan apa yang diminta pihak wanita, dan
yang diberikan pihak lelaki. Selain itu menentukan adat yang akan dilaksanakan (dari lima
pilihan adat). Tahapan ini sarat dengan pantun.
Mutuske Kato. Pertemuan kedua keluarga untuk membuat keputusan terkait dengan ritual dan
prosesi pernikahan, termasuk hari pernikahan.
Nganterke Belanjo. Mirip serah-serahan dalam tradisi Jawa, dilakukan sebulan sebelum munggah.

361
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Ritual menjelang akad nikah. Ritual yang dilakukan calon pengantin wanita untuk kesehatan,
kecantikan, dan lambang magis yang dipengaruhi kepercayaan tradisi.
Akad nikah. Dilakukan di rumah calon pengantin pria, jika dilakukan di rumah calon pengantin
wanita dikatakan "Kawin Numpang".
Munggah. Puncak acara perkawinan adat Palembang. Melibatkan kedua belah pihak dan juga
tamu undangan. Prosesi dimeriahkan dengan tabuhan rebana mengiringi pengantin pria,
silat, adu pantun, dan sejumlah prosesi lainnya yang sarat makna seperti buka tirai (tanda
pertemuan pertama lelaki dengan wanitanya), dan diakhiri dengan persembahan tari dari
pengantin wanita.
Jika diperhatikan, baik dari segi bahasa maupun prosesinya, ritual kesultanan Palembang
memiliki kemiripan dengan keraton Jawa. Budaya tradisi memang tak jauh dari akar sejarah.
Kerajaan Sriwijaya menjadi target sasaran Majapahit menguasai nusantara. Akhirnya, budaya Jawa
(Majapahit) mempengaruhi Sriwijaya.
Paduan budaya inilah yang membuat prosesi pernikahan khas Palembang menjadi unik dan
menarik, ditambah lagi pengaruh Cina, Arab, dan juga Hindu yang memperkaya adat istiadat dan
busananya.

ADAT-ISTIADAT MELAYU KAYUNG KALIMANTAN BARAT


Chandra
(dalam http://makalahku-chandras.blogspot.com/2011/04/adat-istiada-
melayu-kayung-kalimantan.html)

BAB1
PENDAHULUAN
Orang Melayu Ketapang adalah puak Melayu ysng mendiami wilayah pesisir pantai, pulau-
pulau besar maupun kecil, dan daerah pedalaman Kabupaten Ketapang, serta beragama Islam,
berbahasa Melayu serta beradat-istiadat Melayu.
Jika dilihat deri keturunannya, maka Melayu Ketapang itu terdiri dari beberapa keturunan, yaitu:
* Penduduk asli yang beragam Islam
* Pendatang dari Jawa (Prabu Jaya)
* Pendatang dari Palembang (Sang Maniaka)
* Pendatang dari Bugis (Daeng Manambon)
* Pendatang dari Berunai (Raja Tengah)
* Pendatang dari Arab
* Pendatang dari Siak (Tengku Akil)
Meskipun Melayu Ketapang berasal keturunan yang berbeda-beda, itu tidak menyebabkan
terpecah-pecahnya Melayu Ketapang, melainkan ikut memperkaya Khasanah budaya Tanah
Kayung (Ketapang).
Raja Kerajaan Tanjungpura sebagai pemegang adat tertinggi memang adil. Raja telah
memperhitungkan dengan masak-masak, bahwa Raja, Kaum Bangsawan dan Rakyat Jelata
memiliki kemampuan yang berbeda. Karena itu, maka dengan mengadopsi syariat Islam, Raja
membagi adat menjadi tiga, yaitu:
a) Wajib
Melaksanakan adat secara penuh merupakan kewajiban bagi Raja yang maksudnya adalah
untuk diketahu seluruh rakyat negeri, serta memberi contoh teladah pelaksanaan adat-istiadat.
b) Sunnat
Bagi kerabat Raja dan Kaum Bangsawan pelaksanaan adat menjadi Sunnat, artinya tidak perlu
sama dengan Raja. Pelaksanaannya menurut kemampuan kerabat tersebut. Berhubungan
Kaum Bangsawan juga merupakan panutan bagi Rakyat Jelata, maka Kaum Bangsawan
hendaknya berusaha melaksanakan adat istiada secara penuh kalau memang sanggup.
c) Jaiz

362
Lampiran

Bagi Rakyat Jelata pelaksanaan adat-istiadat menjadi Jaiz, artinya boleh dikerjakan boleh
ditinggalkan sebagian atau seluruhnya berdasarkan kemampuannya.
Secara keseluruhan adat-istiadat Melayu Kayung itu mengacu kepada syariat Islam, karena
adat bersendi Syarak, Syarak Bersendikan KItabullah.
ASAL USUL MELAYU KETAPANG
Kalau kita bekunjung ke seluruh kecamatan di Kabupaten Ketapang dan berbicara dengan
orang Melayu, maka bahasa Melayu yang kita gunakan sehari-hari di kota Ketapang dapat
dimengerti oleh merekakendati di tempat terpencil seperti di Cali, dihulu sungai law dll. Yang
brbeda hanyalah dialeknya. Kalau diketapang menyebut kamu atau anda adalah kau, maka
dipedalaman menyebut mpuk, Kendawangan mika’, Melano Telok Batang dan PMK menyebutnya
ika’, namun tidak semua daerah berbeda dialeknya seperti di Manismata menyebut kamu atau
anda juga kau. Ini sekedar contoh yang menyatakan kepada kita bahwa orang Melayu Kayung itu
bahasanya sama. Masalah beda dialek hanya karena pemukiman dan interaksi dengan penduduk
sekitar.
Ada yang mengatakan bahwa Dayak maupun Melayu Kayung itu dahulu berasal dari
keturunan yang sama (yang masuk Islam disebut Melayu dan yang tidak masuk Islam (Kristen)
disebut Dayak). Jika kita melihat dari dongeng Danau Pateh Inte dan Demung Juru, jelas bahwa
terpisahnya orang ulu/ orang darat dan orang ilir/ orang laut ketika terjadi malapetaka dipemukiman
yang sekarang menjadi danau Demung Juru dan Pateh Inte yang terletak di desa Ulak Medang
Kecamatan Muara Pawan. Orang-orang yang mengungsi ke hilir akibat malapetaka tersebut inilah
yang menjadi cikal bakal orang Melayu Kayung. Sedangkan yang mengungsi kehulu merupakan
cikal bakal orang Dayak yang kemudian dipopulerkan oleh orang Kristen. Inilah kenapa kalau kita
lihat yang beragama Kristen itu kebanyakan orang dari ulu.
BAB 2
ADAT-ISTIADAT
1. Adat-istiadat Perkawinan
* Meresik-resik
Meresik-resik adalah upaya yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang perempuan yang ditaksir. Bagi orangtua yang ingin meminang
seseorang gadis untuk anak laki-lakinya, langkah pertama adalah mencari informasi sebanyak-
banyaknya tentang gadis idaman anakanya itu. Setelah terkumpul data yang akurat, maka
biasanya mengirim seseorang yang disebut telangke atau mak comblang mengajuk-ajuk sigadis
dan orangtunya kalau-kalau berkenan menerima pinangan dari si laki-laki tersebut. Kalau
pembicaraan pendahuluan beres, maka orangtua lelaki mengirim utusan secara resmi.
* Membuk mulut
Membuka mulut adalah proses yang dilakukan pihak laki-laki untuk memberitahukan niat
meminang kepada pihak perempuan dengan mengutus orang yang biasanya adalah sepasang
suami-istri yang sudah dikenal baik oleh keluarga pihak perempuan. Proses ini biasanya dilakukan
dengan berbicara panjang lebar dan pada saat yang tepat barulah disampaikan niat untuk
meminang tersebut, serta memberikan tempat sirih terlebih dahulu yang berisi sirih, pinang gambir
serta tembakau. Biasanya pihak tuan rumah meminta tempo sehari-duari untuk berunding deng
keluarga. Lalu jika tempat sirih dikembalikan dalam keadaan kosong berarti peminangan diterima,
sebaliknya jika dikembalikan dalam keadaan seperti semula masih berisi lengkap berarti pinangan
ditolak.
* Ngantar tande
Ngantar tande adalah proses yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan masuk menandai
(bertunangan) dengan mengantar barang seperti pakaian lengkap, handuk, sandal dan sepatu,
alat-alat make up, paying yang jumlahnya 1-3 pasang dan sebentuk cincin. Ngantar tande biasanya
dilakukan setelah ditentukan hari baik dan bulan baik, biasanya ditentukan berdasarkan
perhitungan Islam.

363
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

* Ngantar barang
Ngantar barang adalah proses yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk melakukan persiapan
perkawinan. Kegiatan ini dilakukan setelah ada kesepakatan dari kedua belah pihak. Barang-
barang yang diantar berupa:
a) Tempat sirih
b) Seperangkat tempat tidur
c) Selimut tebal
d) Pakaian perumpuan lengkap
e) Sandal dan sepatu perempuan
f) Handuk
g) Payung
h) Alat-alat make up lengkap
i) Barang perhiasan perempuan
j) Dulang berisi bunga rampai
k) Uang asap sesuai kesepakatan
Barang tersebut biasanya dikemas sedemikian rupa yang berbentuk angsa, ular, buaya, bunga dll,
dengan maksud agar lebih meriah.
* Aqad nikah
Aqad nikah ini dilaksanakan jauh sebelum hari besarnya. Ini dinamakan Nikah Gantung, karena
keduanya belum boleh tidur bersama.
Aqad nikah dilaksanakan oleh Penghulu (disertai wali atau boleh diwalikan oleh penghulunya)
dengan didahului dengan pembacaan qalam ilahi seorang qari/aqri’ah. Kemudian Penghulu
menyampaikan Khutbah Nikahdan kemudian melakukan Aqad Nikah.
* Ngundoh menantu
Acara ini di lakukan oleh 7 orang perempuan baya atau sekurang kurangnya 3 orang yang member
minyak rambut, menyisiri dan membedaki serta mengganti pakaian dengan pakaian milik orang tua
perempuan atau pakaian yang telah dipersiapkan oleh pihak perempuan.
* Malam pacar
Malam pacar merupakan bagian dari prosesi adat perkawinan masyarakat Melayu Kayung.
Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Pelaminan (sederhana sampai yang mewah)
b. Payung api (tempat lilin menyala)
c. Ungkaran rotan
d. Pacar yang sudah di tumbuk
e. Minyak kembang setaman (wangi-wangian)
f. Kekayun
Upacara dimulai dengan pemberian pacar yang di sebut menggulung pacar, yaitu
memberikan pacar yang diletakkan diatas telapak tangan kedua mempelai oleh 7 orang lelaki.
Acara selanjutnya di sebut menguku yang di lakukan oleh 7 orang perempuan baya secara
bergantian. Menguku dimaksud agar keduanya terhindar dari penyakit restung pada kukunya.
Kemudian dilanjutkan dengan menyiram minyak kembang setaman kepada kedua mempelai
secara bergiliran, kemudian memasukkan uang kedalam tempat yang disediakan, kegiatan ini di
sebut mengecor.
Setelah upacara mengecor selesai, maka diberikan hidanganringa kepada hadirin dan
kemudian mempelai laki-laki dan rombongan pulang kerumah orang tuanya dengan membawa
dulang yang brisi juadah dari keluarga perempuan sebagai balasan.
* Bepepinjam
Untuk melaksanakan pesta pernikahan , maka piring mangkuk serta perlengkapan lainnya milik
tuan rumah tidaklah mencukupi. Untuk itu terpaksa harus meminjam dengan sanak keluarga dan
tetangga.

364
Lampiran

* Bepepajang
Bepepajang adalah kegiatan yang dilakukan oleh dukun sehari sebelum hari besar. Pada
hakekatnya upacara bepepajang adalah sebagai pemberitahuan kepada penghuni sekitar rumah
dari makhluk ghaib agar tidak mengganggu jalannya hajatan.
* Bepapar
Bepapar adalah meratakan gigi dengan kikir yang dilakukan oleh dukun. Kalau jaman dahulu maka
dilakukan benar-benar meratakan gigi, namun pada saat sekaranghanya sekedar melakukan adat.
Peralatan yang dipakai adalah :
a. Kikir yang bersih
b. Paku dan keminting
c. Asam garam
* Ngunjam bale
Balai atau tarubuat terpaksa harus dibuat karena rumah tak mungkin menampung para undangan.
Sebelum ada tenda biru, maka perkerjaan pertama adalah menyucok atap. Kegiatan ini adalah
membuat atap dari daun nipah atau rumbia atau daun tepus.
* Begegantung
Maksud acara ini adalah memasang kelambu pada tempat tidur penganten. Prosesnya adalah 4
orang lelaki membaca surat Yasin yang masing-masing menghadap keempat penjuru tempat tidur.
* Mengarak (Hari Besar)
Mengarak penganten merupakan puncak acara pernikahan. Penganten lelaki di arak dengan
kendaraan atau berjalan kaki. Dengan didahului pembacaan shalawat, maka penganten diarak
menuju rumah penganten perempuan dengan iringan gendang tar,
2. Mandi 3 Malam
Prosesi mandi 3 malam adalah sebagai berikut :
* Betimbang
Bagi turunan bangsawan, maka dilakukan upacara betimbang sebelum mandi. Untuk
melaksanakan adat ini, diperlukan alat perlengkapan sebagai berikut :
a. Alat timbangan
b. Beras segantang
c. Pisang
d. Kundur
e. Rempah-rempah
f. Kelapa setampang
g. Gula merah
Pelaksanaannya, barang-barang tersebut diletakan pada daun timbangan sebelah dan sebelahnya
di “letak”kan kedua mempelai. Setelah dibacakan do’a tolak bala, maka kedua mempelai dibawa
ketempat mandi.
* Mandi
a. Tempat mandi
Perlengkapan yang dipakai adalah sebagai berikut :
· Tetawak (gong)
· Kepala sapi/kerbau
· Sangku (yang berisi hiasan daun dari kelapa muda, yang berbentuk burung, pedang, keris,
gorah, dll)
· Payung kerajaan
· Kain basahan (berwarna kuning dua lembar masing masing 2 meter)
· Air kembang setaman berupa air yang di beri bunga-bungaan
· Air tolak bala berupa air putih biasa yang sudah dibacakan doa tolak bala.
· Bokor berisi tepung tawar dan daun puring emas.
· Mangkuk berisi sesumpitan berupa ketupat lepas untuk menyemburkan air.
· Talam berisi kaca,lilin menyala,benang dan jarum
b. Acara mandi
Pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

365
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Pertama kedua mempelai diangkat dan diletakan ketengah tempat mandi. Kemudian duduk diatas
tetawak dengan kaki menginjak kepala kerbau/sapi. Kedua ada tujuh orang wanita memandikan
dengan air kembang setaman dan disudahi dengan air tolak bala.
Mula-mula acara betulus yaitu benang dan jarum dilingkarkan kepada keduanya dari atas dan
dilepas dikaki berturut 7 kali oleh 7 orang yang memandikan. Dilanjutkan lagi dengan
mengelilingkan cermin dan lilin menyala sebanyak 7 kali. Terakhir diserahkan kelapa cengkir
berukir dan sesumpitan kepada keduanya. Air kelapanya disedot dan disemprotkan kepada orang
sekitar. Maksudnya agar berbagi kebahagiaan denga orang sekitar. Setelah selesai kedua
mempelai dilap dengan handuk dan kain yang basah diganti dengan kain yang kering berupa kain
pelekat, dan penganten pria mangangkat pasangannya menuju kamar.
3. Makan Nasi Adap
Kedua penganten duduk bersanding didepan kamar dengan bersila sambil menghadapi “nasi adap”
yang terdiri:
· Nasi ketan warna kuning ( nasi kuning )
· Panggang ayam
· Hiasan telor
· Air minum
Dan saling menyupai.
4. Ngaleh Turun
Upacara ngaleh turun adalah kedua mempelai setelah upacara mandi 3 malam pergi kerumah
orang tua laki-laki dengan diiringi keluarga pihak perempuan bagi yang mampu, maka rombongan
penganten diarak dengan iringan gendang tar dan dirumah orangtua laki-laki di laksanakan acara
besar-besaran.
1. Hukum Adat Perkawinan
a. Batal bertunangan
- Batal dari pihak lelaki
Pihak perempuan tidak mengembalikan barang antaran yang diberikan waktu mengantar tande.
Selanjutnya boleh atau bebas bertunangan atau kawin dengan lelaki lain.
- Batal dari pihak perempuan
Apabila batal dari pihak perempuan, maka ia harus mengganti barang antaran sebagai pemberian
waktu mengantar tande sebanyak 2 kali lipat.
b. Bayar pelangkahan
Apabila seorang adik kawin sedang abang atau kakak perempuannya belum menikah, maka si adik
wajib membayar pelangkahan kepada abang dan atau kakaknya yang dilangkahi tersebut biasanya
berupa 1 stel pakaian.
c. Naik basuh kaki
Seorang lelaki karena di kehendaki oleh pihak perempuan untuk suaminya,namun sang lelaki tadi
belum punya apa dan pihak perempuan kaya, maka boleh dinikahkan tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun.
d. Kebabaran
Adalah apabila kedapatan 2 orang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berdua duaan di
tempat sepi ,maka saksi dapat melapor kepada Penghulu Desa. Jika laporannya diteriam, maka
keduanya wajib di nikahkan.
e. Tebus thalak
Jika seorang lelaki berselingkuh dengan seorang perempuan yang bersuami, jika ada saksi
melapor kepada Penghulu, maka mereka harus dikawinkan.
f. Mengampang
- Perempuan yang belum bersuami apabila hamil di luar nikah dengan seseorang atau
beberapa orang lelaki, maka harus dinikahkan segera.
- Kalau yang dihamili itu adik/kakak iparnya sendiri, maka ia harus bercerai terlebih dahulu
dengan istrinya, kemudian dinikahkan dengan yang di hamili tadi.

366
Lampiran

- Kalau sumbang, biasanya dinikahkan dengan orang lain.


g. Sumbang
Adalah suatu perkawinan yang sangat terlarang di lakukan oleh orang melayu. Kalau hal ini
dilakukan, maka hukumannya adalah diusir dari lingkungannya,karena dianggap membawa
kutukan dari Allah bagi seluruh masyarakat desa tersebut, pada masa lalu hukumnnya adalah
dirajam sampai mati.
BAB III
Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Kehamilan
1. Adat-istiadat Kehamilan
§ Adat ketika istri ngidam.
Setelah pemeriksaan bidan/dukun beranak bahwa yang bersangkutan positif hamil, maka wajib di
beri bantaan, berupa mangga muda, dengan sambel berupa cabe digiling bersama garam, kecap
dll. Selesai makan bantaan tadi, maka dibacakan do’a selamat minta perlindungan Allah bagi ibu
dan anaknya yang dikandung.
§ Mandi Tujuh Bulan
Diadakannya upacara Betumbang Apam yaitu pembacaan surat Yasin dimana perempuan hamil
berdiri dengan dikiri kanannya didirikan apam merah dan apam putih. Ada juga yang melaksanakan
betumbang apam terlebih dahulu kemudian melaksanakan acara mandi 7 bulan yang prosesinya
sama dengan mandi 3 malam.
BAB IV
Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Melahirkan
1. Adat-istiadat Melahirkan
§ Melahirkan Bayi
Diadakannya adat bebuang keaik, yaitu mengantar sesaji ke sungai atau keparit yang cukup besar
yang terdiri atas:
a. Paku & keminting
b. Sirih sekapur
c. Rokok sepucok
Kemudian kepada sang ibu yang akan melahirkan diberikan selusoh, yaitu air putih dijampi berupa
do’a kepada Allah agar diberikan kemurahan dalam melahirkan.
§ Ngerat pusat
Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim dan mengucap Dua kalimat Syahadat maka tali pusat
bayi dipotong dan kemudian diperban setelah di beri obat.
§ Tembuni
Bagi yang adat turunannya dibuang keair, maka tembuni tersebut tersebut dibawa kesungai yang
cukup besar atau kelaut lalu dihanyutkan. Ada juga yang adat turunannya ditanam, maka bakul
tembuni tersebut ditanam kedalam tanah.
§ Tanggal pusat
Kalu sudah bertemu wayah (24 jam) maka sang bayi diletakkan diatas talam besar yang
dibawahnya ada beras dan uang logam, baru dialas kain. Setelah dibacakan doa selamat tolak
bala, maka prosesi tanggal pusat selesai.
§ Bebereseh
Yaitu si ibu yang lepas melahirkan itu dimandikan untuk mandi nifas.
Kelengkapan bebereseh ini adalah:
a. Nasi ketan
b. Air gula merah
c. Tetohong
d. Ayam seekor
e. Kain basahan untuk mandi
f. Bedak dan langir secukupnya

367
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Proses mandi nifas dan sekaligus mandi wiladah adalah seperti mandi biasanya, hanya berbeda
karena dibantu dukun untuk memandikannya siibu diberi bedak dan langir untuk menjamin agar
benar-benar bersih dari hadas.
§ Tetohong
Yang dimaksud dengan tetohong adalah sebuah talam kecil disebut tafsi yang berisi:
a. Gula merah
b. Kelapa setampang
c. Pisang 20 biji
d. Telor ayam 2 biji
§ Berayun
Adat Banjar
Ketika anak bayi pertama kali diayunkan maka diadakan upacara betumpang apam dan naik
ayunan. Disengkang ayunan diikatkan bermacam-macam juadah yang terdiri atas:
a. Cucor
b. Ariadam
c. Ketupat tulak bale
d. Lelingkar
e. Dopak
Untuk tali ayunan dianyam benang 7 warna yang terdiri atas:
a. Benang putih
b. Benang merah
c. Benang hijau
d. Benang hitam
e. Benang ungu
f. Benang coklat
g. Benang kuning
Naik Tojang
Untuk upacara naik tojang, maka ayunan berbentuk box digantung ditali ayunan dan diatasnya
ditaruh juadah yang sama dengan turunan banjar.
Ayun Sandah
Yang dimaksud dengan ayunan adalah ayunan kecil dibawah rumah persis dibawah ayunan sang
bayi.
§ Gunting Rambut
Upacara gunting rambut merupakan satu paket yang terdiri atas:
a. Gunting rambut
b. Tijak tanah
c. Betimbang
d. Mandi-mandi
e. Makan nasi adap
Pelaksanaan Gunting rambut
Upacara ini didahului pembacaan kitab Al Barjanzi. Yang di persiapkan:
1. Pemasangan kendit
2. Pemasangan gelang benang
3. Rambut diikat-ikat
4. Sebuah talam berisi: gunting, cincin emas, kelapa cengkir yang sudah dihias dan masih berisi
airnya sebatang lilin yang menyala, bunga rampai, mata beliung, serta tepung tawar.
5. Sebuah talam lagi berisi bunga cucok telor.
§ Tijak tanah
Bahan yang dipersiapkan adalah:
1. Balai Jawe Sebuah bangunan berupa rumah mini tanpa dinding
2. Tebu kuning secukupnya untuk dibuat tangga dan bangunan seperti atap.
3. Juadah sebanyak 6 jenis
4. Sepiring lagi berisi tanah dan sebiji telor ayam kampung.

368
Lampiran

Kue-kue yang didalam 6 buah piring dan piring ketujuh yang berisi tanah dan telor disusun didepan
‘’tangga” dengan urutan:
1. Dodol merah
2. Dodol putih
3. Cucor
4. Ariadam
5. Cengkarok
6. Sesagun
7. Tanah, telor ayam, paku keminting.
Makna dari kegiatan Tijak Tanah ini adalah
1. Sang bayi turun dari rumah yang dilambangkan dengan Balai Jawa
2. Dalam mengharungi kehidupan ada naik dan turunnya dengan perlambang tangga tebu.
3. Dalam mengharungi kehidupan mengalami pahit manisnya kehidupan dengan perlam-bang
juadah.
4. Lambang paku keminting merupakan doa bagi sang bayi agar tegar dalam mengharungi
kehidupan kelak.
5. Akhirnya disadarkan kepada sang anak bahwa kita ini berasal dari tanah dan kembali ke
tanah dengan perlambang memecahkan telor ayam diatas tanah pada piling terakhir.
6. Adapun rebutan tangga tebu adalah suatu perlambang bagi sang bayi, bahwa rezeki dari
Allah tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan dengan tangan, akal dan
pikiran.
§ Betimbang
Bagi anak turunan bangsawan di timbang dengan dacing kayu yang dalam daun timbangan berisi:
1. Beras
2. Gula merah
3. Kelapa setampang
4. Pisang sesisir
5. Rempah rempahan
6. Buah kundor
Makna dari upacara betimbang ini adalah suatu do’a kekhadirat Allah SWT agar kelak sang bayi
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang tua dan masyarakat dengan kata lain memiliki bobot.
§ Mandi-mandi
Untuk upacara mandi ini tidak terbatas hanya kepada anak turunan bangsawan,namun rakyat
biasapun melaksanakan.
§ Makan nasi adap
Secara simbolis nasi dengan kelengkapan disuapkan kepada sang bayi. Kemudian dibacakan do’a
selamat tolak bala.
2. Adat Anak/Remaja
§ Bersunat:
1. Anak lelaki
Untuk acara tunggal besunat prosesinya adalah:
a. Mengunjam bale (Sama dengan adat perkawinan)
b. Bepepinjam (Sama dengan adat perkawinan)
c. Bepepajang (Sama dengan adat perkawinan)
d. Bepapar (Sama dengan adat perkawinan)
e. Mengarak (Sama dengan adat perkawinan)
f. Khataman Qur’an
Selesai khataman Al Qur’an maka penganten sunat sembah sujud kepada orangtuanya, serta
kepada para ketua dan hadirin yang hadir.
g. Begandang Rebana atau Gendang Tar
Malam hari dilaksanakan hiburan dengan mengundang grup Rebana yang biasanya hingga pagi
hari.

369
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

h. Besunat
Setelah matahari terbit, maka mereka dibawa kerumah lalu disunat oleh dukun sunat Pada saat
sekarang, maka acara berendam tidak dilakukan lagi, karena penyunatan dilakukan oleh para
medis.
i. Pacat kundang
Upacara pacat kundang yaitu mengganti obat kalau disunat oleh dukun atau buka perban oleh para
medis. Acara hanya berupa pembacaan do’a selamat tolak bala dan hidangan sederhana saja.
2. Anak Perempuan
§ Mandi tumbuh susu
Anak-anak perempuan berumur 8-9 tahun diikutkan mandi dengan prosesi mandi seperti
penganten atau wanita hamil 7 bulan juga. Mereka juga di hiasi seperti penganten.
§ Belamin
Belamin itu adalah si ABG tersebut dimasukkan kedalam kamar yang tak boleh kena sinar matahari
untuk beberapa hari sampai beberapa bulan. Didalam lamin itu sang anak bekase’, yaitu
membedaki dirinya dengan bedak buatan sendiri.
Apabila sudah selesai, maka dilakukan upacara Turun Lamin, yaitu:
a. Mengunjam bale
b. Bepepinjam
c. Bepepajang
d. Bepapar
e. Khataman Qur’an
f. Begendang Rebana atau Gendang Tar.
BAB IV
Pelaksanaan Adat-istiadat dan Hukum Adat Kematian
1. Adat Istiadar Kematian
§ Menjenguk orang sakit
Apabila mendengar ada orang sakit, maka merupakan “kewajiban” bagi para sanak keluarga,
tetangga, handai tolan untuk menjenguk sisakit. Pada kesempatan tersebut saling bermaaf-maafan
dengan sisakit dan mendoakan agar cepat sembuh.
§ Mengantar pelelawat
Pada kesempatan tersebut para pelawat hendaklah membawa beras pelelawat yang terdiri atas
beras, cabe, garam serta belacan. Tujuan mengantar beras pelelawat ini adalah untuk 1
meringankan beban keluarga yang ditinggalkan oleh simati.
§ Nyusor tanah
Merupakan selamatan dengan membaca do’a arwah setelah selesai menguburkan mayat.
§ Tahlilan
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada malam pertama setelah penguburan dengan membaca tahlil.
§ Nige hari
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke tiga dengan membaca tahlil.
§ Nujoh hari
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke tujuh dengan membaca tahlil.
§ Ngelat
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke lima belas dengan membaca tahlil.
§ Nyelawe
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke 25 dengan membaca tahlil.
§ Ngempat puloh

370
Lampiran

Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke 40 dengan membaca tahlil. Undangan pulangnya di bagikan kue baulu
yang dimasukkan kedalam piring yang dibungkus dengan sapu tangan dan di tambah lagi surat
Yassin.
§ Nyeratus
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke 100 dengan membaca tahlil.
§ Nyeribu
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah duka pada hari ke 1000 dengan membaca tahlil.
§ Bulan ruah
Upacara ini adalah mengumpulkan sanak keluarga dan tetangga untuk sholat maghrib berjemaah
dirumah yang mengadakan kenduri pada bulan Sya’ban untuk membaca Tahlil dan dilanjutkan
dengan membaca doa Arwah bagi sanak keluarga yang telah meninggal.
Diposkan oleh Chandra di 01.47

Adat Istiadat Perkawinan Orang Melayu Melaka


http://jalanakhirat.wordpress.com/2010/03/09/adat-
perkawinan-melayu-melaka/

Unsur-unsur kebudayaan dalam perkawinan orang Melayu Melaka, berjalan berperingkat


mengikut tertib dan menjadikan warisan adat resam ini sesuatu yang unik. Masyarakat di pinggir
pantai Melaka mengamalkan unsur adat yang berlainan dengan masyarakat di bahagian barat.
Begitu juga dengan masyarakat yang terletak berhampiran dan berdekatan dengan Negeri
Sembilan. Berikut dihuraikan secara ringkas unsur-unsur adat dan resam dalam bidang tersebut
mengikut peringkat ketertibannya.
Mencari Jodoh
Terdapat dua cara digunakan bagi amalan dalam menentukan jodoh atau mencari jodoh yaitu
berdasarkan kesanggupan kedua belah pihak lelaki dan perempuan. Kaedah pertama adalah
pemilihan pihak lelaki itu sendiri dan kaedah keduanya melalui pilihan ibu bapanya.
Melalui kaedah pertama, pemilihan jodoh dicari sendiri oleh si teruna yaitu setelah menemui gadis
pilihan hatinya, si teruna akan menyatakan hasrat kepada ibu bapanya. Kaedah kedua pula,
pemilihan dibuat oleh ibu bapa si teruna setelah berkenan akan seseorang gadis yang dipilih untuk
menjadi bakal menantunya dan diberitahu kepada anak terunanya. Kerap kali berlaku bakal
menantu itu terdiri dari ahli keluarga seperti anak saudara atau yang bertujuan untuk merapatkan
lagi hubungan persaudaraan di samping terjaga harta benda dari jatuh ke tangan orang lain.
Bagaimanapun, dalam hal ini, selalunya si ibu akan memerhatikan gelagat serta tingkah laku gadis
itu untuk menentukan kesesuaian bakal menantunya.
Penentuan Jodoh
Terdapat beberapa syarat dalam memilih gadis bakal menantu. Misalnya gadis itu mestilah
mempunyai sifat yang baik dari segi agama, rupa paras yang cantik, berakhlak, banyak keturunan
serta mempunyai kebijaksanaan dan kepandaian khususnya dalam mengurus rumahtangga.
Bagi bakal menantu lelaki pula, hendaklah mempunyai pelajaran agama yang tinggi, sifat
yang sempurna, mempunyai kedudukan (harta benda) yang baik dan mempunyai pengetahuan
yang baik mengenai ilmu rumahtangga.

371
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Merisik
Merisik ialah cara untuk mengetahui sama ada si gadis sudah berpunya atau belum.
Rombongan merisik biasanya dibuat oleh saudara atau keluarga terdekat. Seandainya pihak atau
keluarga gadis bersetuju, maka perundingan akan dibuat untuk menentukan hari pertunangan. Di
sini sebentuk cincin belah rotan akan diberi sebagai tanda persetujuan.
Meminang
Upacara meminang si gadis akan dibuat hanya setelah keluarga gadis itu memberi
persetujuan. Kerja meminang dilakukan oleh wakil kedua-dua belah pihak. Selalunya dijalan oleh
ketua adat dan syarak. Sewaktu meminang, akan ditetapkan tarikh menghantar tanda. Lain-lain
perkara yang dibincangkan ialah bersangkutan dengan hantaran belanja, persalinan dan tempoh
bertunang. Dengan berbuat demikian, tidak ada teruna lain akan masuk meminang gadis itu. Ini
memberi peluang kepada sahabat handai serta kaum keluarga untuk bersiap sedia berderau
(bersama-sama menjalankan tugas di hari perkawinan nanti).
Hantar Tanda
Semasa upacara menghantar tanda, sebentuk cincin akan dihantar untuk disarungkan ke jari
tunangannya. Adat menyampai dan menerima cincin dilakukan di rumah gadis tersebut. Pihak si
gadis akan menyambut rombongan si teruna. Dalam menghantar cincin tanda ini, sering juga
diiringi dengan sebahagian wang hantaran belanja. Walau bagaimanapun, ini terpulang kepada
perjanjian kedua belah pihak. Biasanya upacara menghantar tanda ini dilangsungkan dengan kata-
kata adat seperti ‘helah lelaki hancur, helah perempuan ganda’. Sekiranya si teruna memutuskan
pertunangan itu, cincin dan hantaran itu akan hilang dan jikalau si gadis pula yang menolak, maka
terpaksa pihak gadis menggandakan pemulangan cincin tanda dan hantaran itu.
Hantaran Belanja
Upacara hantar belanja dijalankan pada tarikh yang telah dipersetujui dan sekali lagi
rombongan pihak lelaki datang ke rumah pihak perempuan. Kedua pihak itu selalunya diwakili oleh
ketua kampung. Mereka akan saling bertukar hantaran serta iringan setelah kedua pihak
menghuraikan janji dan menyelesaikan masalah yang bersangkutan. Wang hantaran itu biasanya
diiringi dengan persalinan untuk si gadis dan mengikut apa yang telah dijanjikan. Perjanjian
biasanya dalam bentuk ‘serba satu atau serba dua’. Serba satu bererti persalinan iringan itu setiap
jenis dan digubah dalam pelbagai bentuk seperti bentuk itik, burung dan keris. Wang hantaran pula
digubah biasanya dalam bentuk buah-buahan ataupun pokok bunga.
Sementara itu, iringan lain sering kali turut disertakan adalah bunga rampai, sirih junjung,
pahar telur merah dan alat solek. Kesemua kelengkapan yang dibawa oleh rombongan pihak
pengantin lelaki disampaikan ke rumah gadis itu. Apabila selesai upacara penerimaan di serambi,
yaitu setelah diselesaikan oleh pihak lelaki, hantaran serta iringannya itu diedarkan ke dapur. Ini
adalah untuk disaksikan oleh pihak perempuan. Bekas-bekas kosong itu kemudiannya diisikan
dengan barang-barang balasan daripada pihak gadis, biasanya kuih-muih, nasi dan lauk-pauk yang
akan dibawa pulang oleh rombongan itu untuk si teruna.
Menyerambi Bertunang
Jika dijalankan upacara menghantar belanja pada siang hari, maka malamnya pula diadakan
majlis ‘menyerambi bertunang’. Adat ini dilakukan di serambi rumah. Wakil dari kedua belah pihak
bergilir-gilir membaca doa dan marhaban.
Menjemput Tetamu
Pihak ibu bapa pengantin lelaki akan menjemput orang-orang tua kampung untuk
memberitahu majlis perkawinan yang akan diadakan. Mereka akan membuat tepak sirih dan
meminta sanak saudara serta sahabat handai datang ke rumahnya untuk bersama-sama meraikan
majlis itu. Majlis ini diadakan di rumah bakal pengantin dan segala tanggungjawab majlis akan

372
Lampiran

ditentukan oleh mereka yang ada dalam majlis tersebut. Biasanya majlis kenduri kawin dimulakan
di rumah pengantin perempuan.
Berinai Curi
Majlis berinai curi diadakan pada waktu malam di rumah pengantin perempuan. Majlis ini
bergantung kepada kesanggupan dan kemahuan pihak pengantin. Mulai malam tersebut, jari-jari
dan tapak tangan serta keliling tapak kaki pengantin perempuan diinai. Selepas itu pengantin akan
naik ke pelamin. Kemudian sanak saudara dan sahabat handai akan bergilir-gilir menginaikannya.
Masa ini jugalah pihak pengantin lelaki atau keluarganya berpeluang melihat dari dekat wajah
pengantin perempuan. Berinai curi biasanya diadakan sekurang-kurangnya satu malam tapi
biasanya ia diadakan tiga malam.
Berinai Kecil
Malam berikutnya majlis berinai kecil diadakan. Ianya disertai oleh pengantin lelaki. Tetapi
pengantin lelaki berinai di serambi rumah sahaja. Sementara pengantin perempuan di ruang tengah
rumah di atas pelamin. Majlis ini kadangkala dipanggil ‘menyerambi kawin’.
Berandam
Keesokan harinya diadakan istiadat berandam di mana upacara memotong rambut di
bahagian depan kepala dijalankan oleh tukang andam. Pengantin perempuan biasanya dicukur
anak rambut di dahi serta di pelipisnya. Pengantin perempuan akan merasa perubahan wajahnya
ditambah pula warna merah di jarinya selepas berandam. Upacara berandam dijalankan untuk
persediaan pengantin lelaki pergi ke rumah pengantin perempuan untuk upacara berinai besar
pada malamnya. Pada petang itu juga diadakan upacara mandi berhias. Biasanya upacara ini
memerlukan sebiji kelapa muda ditebuk berbentuk pucuk rebung, beras basuh, sirih berkapur,
gunting, kain putih, tepung tawar dan ikatan dua sepilih dan daun ribu-ribu.
Mandi Berhias
Dijalankan ke atas kedua pasangan pengantin dan biasanya dibuat di serambi atau pelantar
tengah berhadapan dengan pintu luar rumah didahului oleh pengantin lelaki dan diikuti oleh
pengantin perempuan. Pengantin akan duduk menghala ke pintu luar dan di depannya disediakan
dulang beras basuh serta tepung tawar. Sanak saudara dan waris akan menabur beras basuh dan
menepung tawar pengantin itu.
Pernikahan
Upacara akad nikah dijalankan pada malam selepas mandi berhias dan sebelum majlis
berinai. Pakaian pengantin lelaki serba putih kecuali songkok dan kasut. Imam mewakili pengantin
perempuan menjadi jurunikah. Selain dari itu juga disahkan hantaran dan lain-lain yang
bersangkutan. Mas kawin biasanya berbentuk wang tunai. Mas kawin diwajibkan dan diserahkan
kepada pengantin perempuan.
Berinai Besar
Setelah selesai upacara akad nikah, majlis berinai besar dilakukan di atas pelamin dengan
dimulai oleh pengantin lelaki. Ahli-ahli keluarga akan bergilir-gilir menjalankan upacara itu.
Pengantin perempuan pula akan mengambil tempat selepas pengantin lelaki dan berjalan sehingga
selesai.
Hari Langsung
Hari persandingan juga disebut hari langsung yang diadakan pada hari esoknya. Jamuan di
rumah pengantin perempuan akan diadakan secara besar-besaran. Pengantin lelaki akan menuju
ke rumah pengantin perempuan dengan diiringi dengan pukulan rebana dan sanak saudaranya
untuk upacara persandingan.

373
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Sirih Lat-lat
Sirih lat-lat ialah gubahan pokok bunga daripada daun sirih yang dipegang oleh pengantin lelaki
untuk diletakkan atas pangkuan pengantin perempuan apabila sampai di pelamin untuk bersanding.
Suap-suap
Sebuah pahar telur merah dan nasi adab-adab disediakan di depan pelamin dan ianya
berwarna kuning dan diperbuat daripada pulut. Ahli waris akan mengambil sekepal nasi adab-adab
lalu diletakkan di tapak tangan pengantin lelaki dan disuapkan kepada pengantin perempuan dan
sebaliknya.
Masuk ke Bilik Pengantin
Jari kelingking pengantin lelaki yang sebelah kanan mencangkuk jari kelingking pengantin
perempuan dan pengantin lelaki akan melangkah masuk ke bilik pengantin sambil memimpin
pengantin perempuan.
Makan Damai
Makanan disediakan di bilik pengantin di mana peneman-peneman pengantin lelaki turut
bersama dan mereka akan dilayan oleh pengantin perempuan. Mak Andam merupakan orang
utama di dalam majlis itu.
Makan Waris
Pada malamnya pula, sekali lagi diadakan majlis makan yang dihadiri oleh waris dari kedua
belah pihak. Di dalam majlis ini, besan dengan besan akan duduk bersama dan kedua pengantin
akan berkenalan dengan waris dan sanak saudara dari kedua belah pihak.
Jemput Menantu
Majlis ini diadakan untuk pengantin perempuan yang dijemput ke rumah pengantin lelaki
berserta pengiring-pengiringnya. Rombongan pengantin perempuan tidak akan ke rumah bapa
mertuanya selagi pengantin lelaki dan pengiring-pengiringnya tidak datang menjemput .
Kedatangan pengantin lelaki digelar sebagai ‘balik minum air’. Pengantin perempuan akan tidur
semalaman di rumah pihak lelaki.
Malam Satu
Setelah pengantin perempuan pulang ke rumahnya, pengantin lelaki akan tidur di rumah
istrinya pula. Pengantin lelaki akan menyembahkan tepak sirih ketika menjelang subuh kepada
bapa mertuanya. Perlakuan yang ditunjukkan oleh pengantin lelaki akan dapat diketahui sama ada
pengantin perempuan itu masih dara atau tidak semasa dikawini.
Membalas Tidur
Bagi adat membalas tidur, pengantin perempuan buat kali keduanya akan tidur di rumah
suaminya. Pengantin masih lagi memakai pakaian pengantin tetapi hanya sekadar pakaian
‘kondeh’ sahaja.
Dengan huraian yang dinyatakan, jelasnya bahasa masyarakat Melayu Melaka mempunyai
adat istiadat perkawinan tersendiri dan begitu unik sekali. Walau bagaimanapun, dewasa ini
kebanyakan unsur-unsur adat yang dikira kurang penting tidak diamalkan oleh masyarakat Melayu
Melaka.

374
Lampiran

PERANAN PANTUN DALAM ADAT PERKAWINAN MELAYU ASAHAN


Penyusun: H. ARIFIN SARAGIH
(dalam http://mancacima.blogspot.com/p/peranan-pantun-dalam-adat-perkawinan.html)

Ku tulis ulang ini sebagai tanda hormatku pada beliau (alm) sebagai orang tua yang
penuh perhatian pada perkembangan adat budaya melayu di Asahan. Dan hingga
saat ini putri beliau meneruskan langkahnya mencintai budaya melayu Asahan
dengan mendirikan Sanggar Tari "INTAN TIARA" sekaligus juga putri beliau menjadi
pelatih tarinya... (manca-cima)
I. PENDAHULUAN
Bila seorang pemuda menginginkan gadis untuk dipersunting menjadi istri, didahului dengan
mengutus" Penghulu Telangkai" (seorang penghubung yang dipercaya oleh pihak laki-laki untuk
merintis keinginan pemuda terhadap gadis yang menjadi idamannya) Penghulu telangkai berusaha
untuk menemukan permasalahan pada waktu dan saat yang tepat untuk diungkapkan maksud dan
tujuan terhadap gadis (pihak perempuan).
Penghulu Telangkai berusaha untuk menemukan permasalahan pada waktu dan saat yang
tepat untuk diungkapkan maksud dan tujuan terhadap gadis (pihak perempuan). Setelah diperoleh
ketentuan dari Penghulu Telangkai, pihak laki-laki mengadakan musyawarah dengan famili untuk
merembukkan pelaksanaan:
merisik
meminang
menikahkan
melangsungkan peresmian/perkawinan
Hal ini akan dilaksanakan pada hari/jadwal yang telah disepakati antara kedua belah pihak.
II. MERISIK DAN MEMINANG SECARA RESMI
Mersisik dan meminang secara resmi dilaksanakan setelah risikan dilakukan setengah
resmi yang dilangsungkan olh Penghulu Tealngkai berjalan baik. Menurut adapt risikan dan
pinangan dilaksanakan dihadapan keluarga pihak gadis. Dahulu merisik dan meminang selalu
dilaksanakan secara terpisah (tersendiri), namun selalu juga dilaksanakan sekaligus. Pada hari
yang telah disepakati pihak lelalki dating kerumah pihak perempuan membawa beberapa
persiapan:
Tepak Sirih Pembuka Kata
Tepak Sirih Perisik
Tepak Sirih Meminang
Tepak Sirih Bertukar Tanda
Tepak Sirih Ikat Janji
Beberapa buah Tepak Pengiring
Tepak-tepak siriyh ini terdiri dari tepak biasa, dan tepak Palembang. Tepak-tepak ini diisi
dengan sirih yang tersusun rapid an cembul-cembul diisi dengan tembakau, kapur,gambir dan
pinang ditebuk/diukir, ada pinang berkait dan gambir diukir. (cembul-cembul ini ada yang terdiri dari
perak, tembaga, kuningan, suasa dan bahkan emas)
Hal ini melihat kemampuan dari sipelaksana. Dahulu tepak ini dibungkus dengan kain selendang
tetapi sekarang dipilih kain yang lebih indah.
Sementara di rumah pihak perempuan telah menanti pula beberapa tepak:
Tepak Nanti
Tepak Bertukar Tanda
Tepak Ikat Janji
Yang tersedia diatur diatas hamparan permadani indah dibawah langit-langit bertabir aneka corak.
375
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Umumnya sebelum acara merisik dan meminang dimulai, tepak-tepak yang dibawa rombongan
laki-laki disusun menurut urutan,kemudian ditepung tawari.
Pada acara ini masing-masing pihak menyediakan seorang “ahli bersilat lidah” yang disebut:
BENTARA SABDA (Juru Bicara) yang diapit BENTARA KANAN dan BENTARA KIRI (Keluarga
terdekat orang yang dapat mengambil keputusan bila tumbuh hal-hal diluar yang tidak digariskan).
Sebenarnya segala sesuatu telah diketahui oleh kedua belah pihak lewat pembicaraan setengah
resmi dari “ PENGHULU TELANGKAI ” misalnya,
Siapa yang akan dipinangkan dan dipinang
Berapa mahar (mas kawin dan syarat-syarat)
Bila nikah dan bersatu
Bertukar tanda (cincin, gelang, rantai, misalnya)
Bersilat lidah ini kadang-kadang memakan waktu berjam-jam. Malulah rasanya bagi pihak yang
tidak dapat memaparkan kehendaknya dengan teratur dan jelas. Biasanya untuk memaparkan
maksud tidak secara langsung tetapi selalu dengan cara “ Kias dan Ibarat “ Disinilah letaknya
kehalusan budi orang melayu, jangan sampai dikatakan kasar dan tidak beradat.
Yang kurik gundi
Yang merah saga
Yang baik budi
Yang indah bahasa
Di sinilah adapt itu diasah dan diuji dengan kemampuan bersilat lidah, secara tidak langsung
sehingga akhirnya sama-sama diakui oleh kedua belah pihak. Jika kedua belah pihak telah
berhadapan, maka oleh “ Bentara sabda pihak perempuan menyorongkan sebuah tepak sirih-tepak
nanti-sebagai penyambut tamu sambil berkata memberi salam pada para tamu/rombongan dan tak
lupa mengucapkan puja puji kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas ridhoNYA mengharapkan
safaat akan junjungan nabi Muhammad SAW.
Bentara Sabda melanjutkan kata-katanya
Sedang matahari bersinar cerah
Ketika angin berhembus sepoi-sepoi basah
Awan berarak hanyut pasrah
Diiringi suara burung berkicau ria
Ketika ramai sorak anak-anak dihalaman
Dilihat tamu datang berbondong
Sampai dipintu pekarangan
Lalu masuk kehalaman, memberi salam dengan takjim, membuat kami tertegun gembira.
Patut disambut secara adat.
Menurut adat resam Melayu semenjak dari sejak dahulu kala, jika kita kedatangan tamu
sirih ditepak disorong selalu, sebagai tanda keihklasan hati, terimalah tepak sirih…….sirih nanti
dari kami
Sekapur sirih Seulas pinang
Disantap Cik Puan dari Malaka
Kami ucapkan selamat datang
Semoga kita sama bahagia
Makanlah tuan sirih kami
Yang kami sebut sirih penanti
Marilah kita sama menanti
Untuk pengikat silaturrahmi
(sembari menyorongkan/menyuguhkan tepak..)

376
Lampiran

Tinggi berdiri gunung ledang


Di kaki gunung terhampar sawah
Makanlah sirih sekapur seorang
Untuk kita memulai kata
(Sirih dimakan pihak lelaki sekapur seorang/sebagai mewakili rombongan 2 atau 3 orang
memakannya).
(Setelah itu bentara Sabda pihak laki-laki menyorongkan sirihnya/tepak pembuka kata. Tutup
tepak dibuka dan tutupnya diletakkan miring di sebelah kiri tepak. Bentara Sabda laki-laki
menyerahkan tepak tersebut kehadapan Bentara Sabda pihak perempuan dengan tangkai sirih
mengarah kepada Bentara Sabda pihak perempuan, lalu Bentara Sabda pihak laki-laki berpantun:
Kami datang membawa pesan
Salam takjim penuh keikhlasan
Dari… yang jadi pangkalan
Semoga kita bersama dilindungi Tuhan
Tinggi-tinggi simatahari
Anak kerbau mati tertambat
Sudah lama kami mencari
Tempat berteduh dihujan lebat.
Tepak sirih dari pihak laki-laki diedarkan oleh pihak perempuan, kepada pihak mereka lalu
memakan sirih sekapur pinang sekacip. Kemudian pihak laki-laki menyorongkan Tepak Perisik
sambil berkata.
Tuan-tuan/Saudara/I jauh sudah kami berjalan, banyak bukit yang telah kami daki,
banyak lembah yang telah kami turuni, karena besarnya hajat dihati kami sampai kemari,
lengkaplah hadir dalam majelis utusan dari… (menyebutkan nama orang tua laki-laki
disertai sirih adat dan sirih irinngan.
Tumbuh kemiri didalam dulang,
Uratnya besar silih menyalih,
Duduk kami duduk berbilang,
Karena hajat datang kemari.
Limau purut jatuh ke lembah,
Jika dilembah ditumbuh duri,
Pinang menghadap sirih menyembah,
Jari sepuluh menjunjung duli.
Demikianlah kata mula dari kami, moga-moga kata berjawab, gayung bersambut (pihak perempuan
menyambut dan membalas pantun)
Kedudukan tumbuh di dalam dulang,
Uratnya panjang jalur-jaluran,
Duduk kita duduk berbilang,
Alat yang mana kita pakaikan?
Sorong papan tarik papan,
Buah langsat di dalam peti,
Sirih risik belum dimakan,
Apa hajat di dalam hati.

377
Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya

Pihak laki-laki menjawab menguraikan maksudnya


Maaf tuan-tuan…., besar gunung dan setinggi gunung, lebih besar dan lebih tinggi maksud yang
terkandung didalam hati. Itulah sebabnya kami dating kemari, tidak menghiraukan lapar dahaga,
onak dan duri, dilanggar, dilanda, dikuakkan rintangan dan kendala disingkirkan. Kami mendengar
tuan-tuan orang budiman arif cendekiawan dan bijaksana,
Paham dikias, arif diumpama,
Memegang adat dan kebiasaan menepati janji dan kata-kata,
Dari dahulu sampai sekarang,
Siapa salah siapa ditimbang,
Adat dan syarat jadi pegangan.
Kemudian dari pada itu tuan-tuan yang budiman …
Besarlah sudah remaja dirumah putra dari …
Umur sudah setahun jagung,
Darah sudah setampuk pinang,
Laki-laki remaja lajang,
Menjadi hutang ibu bapanya,
Baru sebahagian hutang dibayar.
Pertama: Kerat pusat dan berbuai/berayun,
Kedua: Berkhitan/Sunat Rasul,
Ketiga: Mengaji khatam Qur’an,
Keempat: Diajar bersopan santun, hanya yang
Kelima: yang belum.
Hukum adat hukum negeri,
Wajib disuruh berumah tangga,
Mencukupkan syarat manusiawi,
Menambah turunan anak manusia.
Desau angin telah berlalu,
risik merisik himbau menghimbau,
berdesir-desir berkesan di kalbu,
kait berkait rotan di hutan,
jalin-berjalin menjadi satu.
Tuan-tuan yang kami muliakan,
jika "remaja" dimisalkan seekor kumbang,
terbang tinggi di sawang lapang,
terbang melintas melalui taman,
jatuhlah pandangan pada jambangan,
indah letaknya ditengah ruang,
berisi kembang sedang mengembang.
pulanglah kumbang menghadap keluarga,
menceritakan bunga menawan hati,
siang malam teringat saja,
teringat-ingat termimpi-mimpi.

378
Lampiran

seluruh keluarga telah berapat,


diberilah tugas kepada kami,
untuk bertanya secara adat,
menyampaikan maksud dengan resmi.
bolehkah kami dengan cerana,
memberi sirih dengan setangan,
bolehkah kami datang bertanya,
adakah kembang dalam jambangan.
sekian dahulu kami bertanya
(Bentara Sabda: Pihak Perempuan)
Tuan-tuan yang kami hormati
Semua kata telah didengar, nampaknya "Kumbang tukang pesiar"
Karena tuan datang menjenguk
Membuat hati menjadi sejuk
Seluruh keluarga sudah berembug
Kata ini kami sampaikan
sebelum sirih kami makan
banyaklah kembang ditaman
lebih dari satu didalam puri
beranikah kumbang datang menyeri
karena bunga dilingkungi duri
sesungguhnya kembang belum bertali
bunga dirawat dikawal rapi
oleh keluarga sanak famili
itulah kata dari kami
(Mendengar jawaban ini pihak laki-laki nampak menjadi gembira, sebab pihak perempuan telah
memberi harapan) (Maka Benatara Sabda pihak laki-laki kembali meneruskan kata-kata)
Maaf kami tuan,
Rumah mulia punya penunggu
Masyhur semerbak segenap penjuru
Kehlir melalui seluruh Tanjung
Kehulu sampai kegunung-gunung
Bukan bunga sembarang bunga
Mawar idaman suntingan utama
Bunga penghias indah sempurna
Untuk semerbak penghuni rumah

379

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai