Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial yang merupakan


bagian dari masyarakat, dalam perkembangannya akan mengalami
berbagai macam perkembangan baik fisik maupun psikis. Manusia sebagai
individu memiliki kekhususan. Ciri khas, kepribadian, karakter, yang
tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, manuisa disebut
makhluk yang unik karena dari semua individu yang ada di muka bumi ini
tidak satupun sama. Dalam kehidupan individu juga harus terjaga
keharmonisan sebagai individu yaitu dimulai dari berfikir yang jujur dan
benar, berkata yang jujur dan benar dan berperilaku yang jujur dan benar.
Dengan kata lain bahwa kehidupan harmonis bagi seseorang individu
adalah keseimbangan antara pikiran, perkataan dan tindakan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang
lain dalam kehidupan, oleh karena itu manusia selalu menjalin hubungan
dengan orang lain misalnya menjalin hubungan pacaran. Pacaran tidak
selamanya berjalan dengan lancar karena selama proses penjajagan
terkadang mengalami konflik-konflik tertentu yang bisa mempengaruhi
hubungan tersebut. Manusia sebagai makhluk sosial. Membutuhkan hidup
berdampingan dengan orang lain. Secara wajar, Kehidupan sosial seperti
berteman, berkeluarga, bermasyarakat, bersuku berbangsa dan bernegara.
Menikah dan menjalin hubungan perkawinan yang harmonis
merupakan impian setiap manusia setelah memasuki usia dewasa, secara
umum kehidupan perkawinan juga lebih banyak memberikan keuntungan
bagi individu dibandikan dengan hidup sendiri. Dalam setiap kehidupan
rumah tangga pasti terdapat masalah-masalah yang akan timbul. Jika
suami istri dalam rumah tangga tersebut tidak mampu untuk

1
2

mengendalikan dirinya masing-masing, tidak menutup kemungkinan akan


terjadi pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga. Dan apabila
pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga sudah tidak mungkin
didamaikan. Maka jalan terakhir yang ditempuh oleh pasangan yaitu
perceraian. Perceraian merupakan solusi yang dianggap oleh suami dan
istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan tepat setelah melalui mediasi
yang dilakukan secara maksimal tetapi tidak membuahkan hasil.
Kehilangan pasangan hidup akibat perceraian atau kematian pasangan
dapat membuat seseorang menyandang status baru sebagai janda atau
duda. Pada perempuan yang bersetatus janda akan mengalami suatu
kondisi dimana seseorang merasakan beban hidup yang sangat berat dan
sulit karena di satu sisi lain mereka merasakan beban psikologis dari
masyarakat yang umumnya mengangap kehidupan menjanda sebagai hal
yang negatif.

Dampak positif hal ini tidak menutup kemungkinan seorang istri


bekerja untuk mencari nafkah sendiri, dan menjadi lebih mandiri.
Sedangkan dampak negatifnya menyebabkan seseorang istri menjadi
ketergantungan terhadap suaminya. Karena tidak bisa dipastikan
selamanya hubungan suami istri bisa bertahan lebih lama, namun
kemungkinan terjadi perpisahan baik perpisahan melalui perceraian atau
kematian. Berdasarkan hal tersebut kehilangan orang yang sangat dicintai
dan tentunya kebutuhan yang seharusnya di penuhi, dan beradaptasi
dengan perubahan kehidupan secara mendadak dan dapat menimbulkan
tekanan yang sangat besar kepada individu. Ketika individu tidak mampu
lagi untuk mengatasi perubahan yang sudah ada maka akan menjadikan
stres

Menurut National Taiwan Ocean Unerversity (NTOU) (2016) dalam


penelitian yang berjudul “teori stres setimulus, respons, transaksional”
menyatakan bahwa stress dapat terjadi bila individu berurusan dengan
lingkungan yang tidak terduga atau situasi yang mengancam. stres akan
3

menjadi eustres (Positif) atau tertekan (Negatif) maka bagi seseorang yang
merasakan stres. Jika kemampuan mengatasi stres tidak mencukupi dan
tuntutannya berlebihan, stres akan terus meningkat, akibatnya stres
memberi kontribusi negatif terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Oleh
karena itu, kesadaran terhadap stres dan gejalannya cenderung terhindar
dari konsekuensi negatif stres.

Menurut Karvistina (2016) status yang disandang seseorang dapat


mempengaruhi hubungan atau interaksinya dalam masyarakat. Status janda
dalam hal ini cenderung banyak dirugikan karena status dan
kesendiriannya, setiap perilaku dan gerak-geriknya selalu menjadi sorotan
di masyarakat. Penolakan perbedaan yang dapat membuat orang
merendahkan diri sendiri atau orang lain, menolak orang dari kelompok
mereka sendiri atau dengan orang lain, menolak orang dari kelompok
yang berbeda dan menciptakan kriteria ke dalam kelompok mereka sendiri
untuk mengusir, menghukum, atau menyingkirkan anggota kelompok.
Seseorang individu yang mengalami perceraian dan tidak dapat
beradaptasi dengan keadaan, dapat membuat individu mengalami depresi
berkepanjangan yang akan menyebabkan individu menarik diri dari
lingkungan sehingga terjadi gangguan jiwa isolasi sosial.

Menurut Lusia Nasrani, Susy Purnawati (2015) dalam penelitiannya


yang berjudul “perbedaan tingkat stress antara laki-laki dan perempuan”
bahwa dari 180 peserta yuga dengan perbandingan laki” dan perempuan
41:139 stress yang merupakan ketegangan emosional atau fisik yang
berasal dari setiap peristiwa atau pikiran yang membuat seseorang menjadi
frustasi, marah atau gugup jenis kelamin berpengaruh pada tingkat stres.
Tingkat stres yang lebih tinggi sering dijumpai pada perempuan senam
yoga dapat menurunkan stres baik pada laki-laki maupun perempuan.
Tujuan ini untuk mengetahui perbedaan tingkat stres antara laki-laki dan
perempuan pada peserta yoga di kota denpasar.
4

Karena seiring perubahan zaman, masih banyak lagi laki-laki yang


memegang erat aturan yang diciptakan oleh generasi pendahulu tersebut.
Namun, tidak sedikit puperempuan yang berkarir selalu memutuskan
untuk pekerjannya meskipun sudh berganti status. Maka perempuan hanya
bertugas berkisar di tempat-tempat seperti: dapur, meja rias.

Menurut WHO (World Health Organisation) tahun 2011 tercatat


penderita gangguan jiwa sebesar 542.700.000 jiwa atau 8,1 % dari jumlah
keseluruhan penduduk dunia yang berjumlah sekitar 6.700.000.000. pada
tahun 2012 penderita gangguan jiwa sekitar 900.000.000 jiwa atau 13%
dan pada tahun 2013 sekitar 450.000.000 orang didunia mengalami
gangguan jiwa. Di indonesia dengan berbagai faktor biologis, psikologis,
dan sosial dengan keanekaragaman penduduk maka jumlah kasus
gangguan jiwa dapat terus bertambah dan akan mempengaruhi
produktivitas manusia untuk jangka panjang.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2013,
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar
6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan,
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang. Sedangkan, data riset kesehatan
dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2014 menyebutkan,
terdapat 20 juta pasien yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia. Jadi,
dari data Riksedas tahun 2013 hingga data Riksedas tahun 2014
mengalami peningkatan sebesar 17,7 % dari 34 juta jumlah pasien pada
tahun 2013 hingga 2014.
Menurut Riskesdas tahun 2013 Prevelensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil yang artinya 1 sampai 2 orang dari 1000
penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat profosi rumah tangga
(RT) yang pernah memasung anggota rumah tangga (ART) gangguan jiwa
berat (14,3%) dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan
(18,2%) serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan
5

terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk


Indonesia (6,0%) provisi dengan prevelensi gangguan mental emosional
tertinggi adalah Sulawesi tengah, jawa barat, DI Yogyakarta, dan nuasa
tenggara timur.(Maulana, 11 April 2014).
Berdasarkan data dari dinas kesehatan Provinsi Jawa Tengah tercatat
ada 1.091 kasus yang mengalami gangguan jiwa dan beberapa dari kasus
tersebut. Angka tersebut diperoleh dari pendataan sejak Januari hingga
November 2012 (Hendry, 2012).Jawa Tengah tahun 2011 terdapat 30.000
(0,09 %) orang yang mengidap gangguan jiwa dari jumlah penduduk Jawa
Tengah sekitar 32.000.000. Provinsi Jawa Tengah prevalensi gangguan
jiwa pada tahun 2013 sekitar 80.000 (0,23 %). orang yang mengalami
gangguan jiwa dari jumlah penduduk Jawa Tengah 34.000.000 orang
mencapai angka menepati urutan keempat setelah Provonsi Aceh, DIY,
dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari data gangguan jiwa di Jawa tengah
pada tahun 2011 dantahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 0,14%.
Orang.
Berasarkan data rekam medic RSJD Dr. Amino Gondohutomo
semarang pada tahun 2014 total klien gangguan jiwa untuk empat kasus
besar berjumlah 8.468, diantaranya resiko perilaku kekerasan 3.970
(46,88%), halusinasi 3.610 (42,63%) isolasi sosial 738 (8,71%) dan harga
diri rendah 150 (1,77%). Tahun 2015 dari bulan Januari – September 5070
klien diantaranya resiko perilaku kekerasan 2258 (44,53%) halusinasi
2296 (45,28%), isolasi soosial 454 (8,95%), harga diri rendah 62 (1,22%).
Pada bulan januari 2016 – januari 2017 untuk empat kasus besar sebanyak
5,443 (99,98%), yang meliputi resiko perilaku kekerasan 2,295 (42,16%),
halusinasi 2,503 (45,98%), isolasi sosial 513 (9,42%), dan harga diri
rendah 132 (2,42%). Pada bulan Januari 2017 – Maret 2018 untuk empat
kasus besar sebanyak 4.748 yang meliputi resiko perilaku kekerasan 2.018
(44,70%), halusinasi 2.293 (48,29%), isolasi sosial 420 (8,84%) dan harga
diri rendah 14 (0,29%).
6

Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa kasus


halusinasi menduduki pengkatan pertama dari kasus empat besar. Pada
tahun 2014 mengalami peningkatan 4,26%. Pada tahun 2015 dari bulan
Januari – September terdapat 454 pasien isolasi sosial dari jumlah pasien
total 5.070 pasien (8.95%) . pada bulan Januari 2016 – Januari 2017
terdapat 513 pasien dengan isolasi sosial dari jumlah pasien 5.443( 9.42%)
sedangkan bulan Januari 2017 – Maret 2018 terdapat 420 pasien dengan
isolasi sosial dari jumlah pasien 4.748 ( 8.84%) berawal dari berbagai
masalah yang sudah dijelaskan di atas mengakibatkan resiko terjadinya
isolasi sosial akan semakin meningkat.
Menurut Nur Bainah (2013) dalam penelitian yang berjudul „‟faktor-
faktor pemicu perceraian” Perkawinan kadang muncul permasalahan-
permasalahan yang memicu tidak harmonis di dalam keluarga, ada
masalah tak terduga yang siap menghancurkan bahtera rumah tangga, ada
perbedaan pendapat, ada duka, ada derita, ada suka dan ada juga yang
paling penting kita menyadari bahwa pasangan kita mempunyai
kekurangan yang tak mungkin diubah yang mungkin dapat menimbulkan
pertengkaran-pertengkaran. Keadaaan ini kadang-kadang dapat diatasi
sehingga kedua belah pihak menjadi lebih baik kembali, tetapi tidak
kalahnya kesalahpahaman itu menjadi berlarut-larut sehingga kedua belah
pihak tidak dapat didamaikan. Apabila keadaan semacam ini terus
berkelanjutan dimana dia damai dan tentram seperti yang dianjurkan oleh
agama tidak tercapai dan ditakutkan akan terjadi perpecahan keluarga yang
makin meluas maka agama islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan
keluar yang terakhir bagi suami istri yang sudah gagal dalam membina
suami istri.

Menurut Eyvin Berhimpong, Sefty Rompas (2016) dalam penelitian


yang berjudul “pengaruh latihan keterampilan sosialisali terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial” menyatakan bahwa latihan
keterampilan sosialisasi diberikan pada pasien dengan gangguan isolasi
7

sosial untuk melatih keterampilan dalam menjalin hubungan dengn orang


lain dan lingkungan secara optimal bertujuan untuk mengajarkan
kemampuan berinteraksi seseorang dengan orang lain. Tujuan penelitian
untuk mengetahui pengaruh latian keterampilan sosialisasi terhadap
kemampuan berinteraksi klien isolasi sosial. Latian keterampilan
sosialisasi dapat dijadikan sebagai salah satu tindakan mandiri perawat
dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terhadap kemampuan
berinteraksi klien isolasi sosial.

Berdasarkan data diatas, penulis tertarik mengambil judul “Asuhan


Keperawatan Jiwa Isolasi Sosial: Menarik Diri dan latihan berinteraksi
kepada orang lain di Ruang Madrim RSJD Dr. Amino Gondohutomo
semarang provinsi jawa tengah”

B. Rumusan Masalah
Karena seiring perubahan zaman, masih banyak lagi laki-laki yang
memegang erat aturan yang diciptakan oleh generasi pendahulu tersebut.
Namun, tidak sedikit puperempuan yang berkarir selalu memutuskan untuk
pekerjannya meskipun sudh berganti status. Maka perempuan hanya bertugas
berkisar di tempat-tempat seperti: dapur, meja rias.
Dampak dari sebuah perceraian salah satunya menimbulkan stress
yang berkepanjangan dikarenakan kebutuhan ekonomi yang biasanya
tercukupi sekarang menjadi berkurang atau tidak tercukupi. Ketergantungan
istri yang tidak bekerja terhadap suami membuat istri menjadi tertekan karena
harus mencukupi perekonomian keluarga tanpa mengantungkan suami lagi.
Jika kemampuan mengatasi stres tidak mencukupi dan tuntutannya
berlebihan, stres akan terus meningkat, akibatnya stres memberi kontribusi
negatif terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Oleh karena itu, kesadaran
terhadap stres dan gejalannya cenderung terhindar dari konsekuensi negatif
stres.

Maka stres akan menjadi eustres (positif) atau tertekan (negatif) maka
bagi seseorang yang merasakan stres. Jika kemampuan mengatasi stres tidak
8

mencukupi dan tuntutannya berlebihan, stres akan terus meningkat, akibatkan


stres memberi kontribusi negatif terhadap kesehatan fisik dan
psikologis.berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis
meruuskan masalah sebagai berikut: Asuhan Keperawatan Jiwa Isolasi
Sosial: Menarik Diri dan latihan berinteraksi kepada orang lain di
Ruang Citro Anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi jawa
tengah.

C. Tujuan Penulisan
Memberikan asuhan keperawatan pada pasien isolasi sosial menarik diri
dan mengajarkan cara berinteraksi kepada orang lain.

D. Manfaat Penulisan
1. Masyarakat
Sebagai bahan bacaan yang dapat memberikan manfaat tentang
pemberian asuhan keperawatan pada pasien isolasi sosial menarik diri
dan mengajarkan cara berinteraksi kepada orang lain.
2. Bagi pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan
Sebagai salah satu sumber informasi bagi pelaksanaan penelitian
bidang keperawatan tentang mengajarkan cara berinteraksi kepada
orang lain pada pasien isolasi sosial menarik diri pada masa yang akan
datang dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan.
3. Peneliti
Dapat menambah wawasan dan pengalaman serta ilmu dalam
mengaplikasikan asuhan keperawatan jiwa pada pasien isolasi sosial
menarik diri dan mengajarkan cara berinteraksi kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai