Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya
mengalami peningkatan. Data hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SK-RT) yang
dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1995
menunjukkan, diperkirakan terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga menderita
gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini, data tersebut
dipastikan meningingkat karena krisis ekonomi dan gejolak-gejolak lainnya diseluruh
daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut memicu terjadinya
peningkatan tersebut.
Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar dibandingkan dengan masalah
kesehatan lainnya yang ada dimasyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat (community
mental health) telah menjadi bagian masalah kesehatan masyarakat (public health) yang
dihadapi semua negara.
Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak
modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan
kemajuan teknologi baru. Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung
namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan
beban bagi keluarga penderitan dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian kesehatan jiwa?
2. Apa kriteria kesehatan jiwa?
3. Apa rentang kesehatan jiwa?
4. Apa pengertian keperawatan kesehatan jiwa?
5. Apa saja peran perawat kesehatan jiwa?
6. Apa saja prinsip-prinsip kesehatan jiwa?
7. Bagaimana model praktek kesehatan jiwa?
8. Bagaimana falsafah kesehatan jiwa di Indonesia?
9. Bagaimana aspek aspek keperawatan jiwa?
10. Bagaimana aspek legal dalam keperawtan jiwa?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kesehatan jiwa
2. Untuk mengetahui apa saja kriteria kesehatan jiwa
3. Untuk mengetahui apa saja rentang kesehatan jiwa
4. Untuk mengetahui pengertian keperawatan kesehatan jiwa
5. Untuk mengetahui apa saja peran perawat kesehatan jiwa
6. Untuk mengetahui apa saja prinsip-prinsip kesehatan jiwa
7. Untuk mengetahui apa saja model praktek kesehatan jiwa
8. Untuk mengetahui apa saja falsafah kesehatan jiwa di Indonesia
9. Untuk mengetahui apa saja aspek aspek keperawatan jiwa
10. Untuk mengetahui apa saja aspek legal dalam keperawtan jiwa

1.4 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah ini terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
1. Bab I : Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan,
Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
2. Bab II : Tinjauan Teoritis terdiri dari Pengertian Kesehatan Jiwa, Kriteria
Kesehatan Jiwa, Rentang Kesehatan Jiwa, Keperawatan Kesehatan
Jiwa, Peran Perawat Kesehatan Jiwa, Prinsip-Prinsip Kesehatan Jiwa,
Model Praktik Keperawatan Jiwa, Falsafah Keperawatan Jiwa,
Aspek-Aspek Keperawatan Jiwa, Aspek Etik Dalam Keperawatan
Jiwa.
3. Bab III :
4. Bab IV : Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan Jiwa


Kesehatan jiwa menurut undang – undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014 merupakan
suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual
dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikaan kontribusi untuk
komunitasnya.
Menurut Riyadi dan Purwanto (2013), kesehatan jiwa suatu kondisi perasaan
sejahtera secara subyektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencakup aspek
konsep diri, kebugaran dan kemampuan pengendalian diri.1
Menurut Australia Health Minister, Mental Health Nursing Prative, dalam Yosep
dalam Herman (2011), Kesehatan jiwa kemampuan individu dalam kelompok dan
lingkungannya untuk berinteraksi dengan yang lain dengan cara untuk mengapai
kesejahteraan, perkembangan yang optimal, dengan menggunakan kemampuan mental
nya ( kognisi, afeksi, relasi ) memiliki prestasi individu serta kelompok nya konsisten
dengan hukum yang berlaku.2
Menurut Keliat, dkk dalam Prabowo (2014), kesehatan jiwa suatu kondisi mental
sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagian yang utuh dari
kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia
dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya.3 Mampu menghadapi stress
kehidupan dengan wajar, mampu bekerja dengan produktif dan memenuhi kebutuhan
hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa
yang da pada dirinya dan merasa nyaman dengan orang lain.4
Menurut Videbeck (2008) menjelaskan kesehatan jiwa suatu kondisi sehat
emosional, psikososial, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal
yang memuaskan,perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan
stabilan emosional.5

1 Riyadi, T dan Purwanto, T. 2013. Asuhan Keperawatn Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2 Yosep Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama
3 Keliat, B.A, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
4 Eko Prabowo. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
5 Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC
Menurut World Health Organization (WHO)6, 25 % dari penduduk dunia pernah
mengalami masalah kesehatan jiwa, 1% diantaranya merupakan gangguan jiwa berat.
Di Indonesia rata-rata gangguan jiwa berat seperti halusinasi, ilusi, waham, kemampuan
berpikir, gangguan proses pikir serta tingkah laku yang aneh, misal nya agrevitas atau
katonik di setiap provinsi sebesar 14,3 % sedangkan di jawa tengah penderita gangguan
berat sebesar 2,3%. (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Center for Mental Health Services (CMHS) secara resmi mengakui keperawatan
jiwa salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat jiwa menggunakan
pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik, teori kepribadian dan perilaku manusia
untuk mendapatkan kerangka berpikir teoritis yang mendasari praktek keperawatan
(Stuart & Laria, 2006).7
Dimasa lalu gangguan jiwa di pandang sebagai kerasukan setan atau hukuman
karena pelanggaran sosial, agama atau norma sosial. Oleh sebab itu penderitadianiaya,
dihukum, dijauhi atau diejek masyarakat. Saat ini pandangan tentang gangguan jiwa
berubah . American Psychiatric Association menjelaskan bahwa gangguan jiwa sebagai
sindrom atau pola psikologis pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada
individu dan sindrom itu di hubungkan dengan ada nya distres (misal nya gejala nyeri,
menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu atau beberapa fungsi
penting) atau disertai peningkatan resiko secara bermagna untuk mati, sakit,
ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (Notosoedirjo, Latipun dalam Prabowo,
2014 ).

2.2 Kriteria Kesehatan Jiwa


Schneiders (dalam Semiun, 2006) mengemukakan beberapa kriteria mengenai
kesehatan mental sebagai berikut:
a. Efisiensi mental
Efisiensi mental digunakan untuk menilai kesehatan mental, kepribadian yang
mengalami gangguan emosional neurotik, atau tidak adekuat sama sekali tidak
memiliki kualitas ini.

6 World Health Organization. Mental Health Action Plan for 2013–2020. World Health Organization: Geneva, 2013. M
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/89966/1/9789241506021_eng.pdf
7 Stuart & Laraia. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
b. Pengendalian dan integrasi pikiran dan tingkah laku
Pengendalian yang efektif merupakan salah satu tanda yang sangat pasti dari
kepribadian yang sehat. Tanpa pengendalian ini maka obsesi ide yang melekat
(pikiran yang tidak hilang), fobia, delusi, dan simtom-simtom lainnya mungkin
berkembang.

c. Integrasi motif-motif serta pengendalian konflik dan frustasi


Konflik yang hebat bisa muncul apabila motif-motif tidak terintegrasi. Kebutuhan
akan afeksi dan keamanan akan bertentangan dengan otonomi, dorongan seks dapat
bertentangan dengan cita-cita atau prinsip moral.
d. Perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang positif dan sehat
Perasaan-perasaan positif seperti diterima, mencintai, memiliki, aman, dan harga diri
masing-masing memberi sumbangan pada kestabilan mental dan dilihat sebagai
tanda kesehatan mental.
e. Ketenangan atau kedamaian pikiran
Penyesuaian diri dan kesehatan mental berorientasi kepada ketenangan pikiran atau
mental, apabila ada keharmonisan emosi, perasaan positif, pengendalian pikiran dan
tingkah laku, integrasi motif-motif maka akan muncul ketenangan mental.
f. Sikap-sikap yang sehat
Sikap-sikap mempunyai kesamaan dengan perasaan-perasaan dalam hubungannya
dengan kesehatan mental dalam perjumpaan kita dengan kepribadian-kepribadian
yang tidak dapat menyesuaikan diri atau kalut, kita selalu teringat betapa pentingnya
mempertahankan pandangan yang sehat terhadap hidup, orangorang, pekerjaan, atau
kenyataan.
g. Konsep diri yang sehat
Kesehatan mental sangat bergantung pada konsep diri sehingga seseorang harus
mempertahankan orientasi yang sehat kepada kenyataan objektif, demikian juga
harus berfikir sehat mengenai diri kita sendiri.
h. Identitas ego yang adekuat
Identitas ego adalah dimana ia menjadi diri sendiri. Apabila identitas ego tumbuh
menjadi stabil dan otonom, maka orang tersebut akan mampu bertingkah laku lebih
konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungannya.
i. Hubungan yang adekuat dengan kenyataan
Seseorang yang terlalu menekan masa lampau adalah orang yang tidak berorientasi
kepada kenyataan, sedangkan seseorang yang menggantikan kenyataan dengan
fantasi atau khayalan adalah orang yang telah menolak kenyataan. Penjelasan
kriteria kesehatan mental yang dikemukakan Schneiders (1965) di atas dapat
disimpulkan bahwa kesehatan mental memiliki keterkaitan dengan aspek
kepribadian seseorang seperti efisiensi mental, pengendalian dan integrasi pikiran
dan tingkah laku, pengendalian konflik, perasaan dan emosi yang positif, ketenangan
pikiran, sikap yang sehat, konsep diri yang baik, dan identitas ego yang adekuat,
serta seseorang yang memiliki hubungan adekuat dengan kenyataan.

2.3 Rentang Kesehatan Jiwa


1. Dinamis bukan titik statis
2. Rentang dimulai dari sehat optimal – mati
3. Ada tahap-tahap
4. Adanya variasi tiap individu
5. Menggambarkan kemampuan adaptasi
6. Berfungsi secara efektif : sehat

2.4 Pengertian Keprawatan Kesehatan Jiwa


1. Menurut Dorothy, Cecelia
Perawatan psikiatric/ keperawatan kesehatan jiwa adalah proses dimana perawat
membantu individu/ kelompok dalam mengembangkan konsep diri yang positif,
meningkatkan pola hubungan antar pribadi yang lebih harmonis serta agar berperan
lebih produktif di masyarakat.
2. Menurut ANA
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri
sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan,mempertahankan, memulihkan
kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada.
3. Menurut Kaplan Sadock
Proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan
prilaku yang akan mendukung integrasi. Pasien atau klien dapat berupa individu,
keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas.
4. Menurut Stuart Sundeen
Keperawatan mental adalah proses interpersonal dalam meningkatkan dan
mempertahankan perilaku yang berpengaruh pada fungsi integrasi. Pasien tersebut
biasa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau masyarakat. Tiga area praktik
keperawatan mental yaitu perawatan langsung, komunikasi dan management.

2.5 Peran Perawat Kesehatan Jiwa


Keperawatan kesehatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupanya untuk
meningkatkan dan mempertahankan prilaku yang mendukung pada fungsi pada fungsi
yang terintegrasi sehingga sanggup mengembangkan diri secara wajar dan dapat
melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjalankan tugasnya sehari-hari
sebagaimna mestinya.
Dalam upaya pengembangan pelayanan keperawatan jiwa, perawat sangat penting
, untuk mengetahui dan menyakini akan peran dan fungsinya, serta memahami
beberapa konsep yang berhubungan dengan asuhan keperawatan jiwa Para perawat
kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik. Aspek dari peran
tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi.
1. Pelaksana asuhan keperawatan
Perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada induvidu,
kelurga dan komunitas. Dalam menjalankan peranya, perawat menggunakan konsep
prilaku manusia, perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta
gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada induvidu , keluarga
dan komunitas.
Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui
pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis
keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan
keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.
2. Pelaksana pendidikan keperawatan
Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa induvidu, keluarga dan komunitas
agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri , anggota keluarga dan anggota
masyarakat lain. Pada akhirnya diharpkan anggota masyarakat bertanggung jawab
terhadap kesehatan jiwa.
3. Pengelola keperawatan
Perawat harus menunjukan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab
dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa.
Dalam melaksanakan peranya ini perwat :
a. Menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola asuhan
keperawatan jiwa
b. Menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan dalam mengelola
asuhan keperawatan jiwa.
c. Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus seperti mengorganisasi ,
koordinasi, dan mengintergrasikan pelayanan serta perbaikan bagi individu
maupun keluraga.
d. Mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan
4. Pelaksana peneliti
Peran mengidentifikasi masalah dalam bidang keperwatan jiwa dan
menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa ( dalmi, 2010).

2.6 Prinsip-prinsip Kesehatan Jiwa


Jaelani (2001) mengungkapkan beberapa prinsip kesehatan mental di antaranya:
a. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri
Orang yang memiliki self image memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri, orang lain, alam lingkungan, dan tuhan.
b. Keterpaduan atau integrasi diri
Keterpaduan diri berarti adanya keseimbangan antara kekuatankekuatan jiwa dalam
diri, kesatuan pandangan dalam hidup, dan kesanggupan mengatasi stres. Orang
yang memiliki keseimbangan diri berarti orang yang seimbang kekuatan id, ego, dan
super egonya.
c. Perwujudan diri
Pentingnya aktualisasi diri dalam kesehatan mental ditegaskan oleh Reiff dimana
menurutnya orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu
mengaktualisasikan diri atau mewujudkan potensi yang dimilikinya dan memenuhi
kebutuhannya dengan cara baik dan memuaskan.
d. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial, dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan tempat tinggal
Kemampuan menerima orang lain berarti berarti kesediaan menerima kehadiran,
mencintai, menghargai, menjalin persahabatan, dan memperlakukan orang lain
dengan baik. Melakukan aktivitas sosial berarti bersedia bekerja sama dengan
masyarakat dalam melakukan pekerjana sosial yang menggugah hati. Menyesuaikan
diri dengan lingkungan berarti berusaha untuk mendapatkan rasa aman, damai, dan
bahagia dalam hidup bermasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Manusia yang
memiliki ketiga kemampuan ini merupakan tanda dari manusia yang sehat
mentalnya.
e. Berminat dalam tugas dan pekerjaan
Setiap manusia harus berminat dalam tugas dan pekerjaan yang ditekuninya. Dengan
demikian, ia dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya dan mengurangi beban
penderitaannya.
f. Agama, cita-cita, dan falsafah hidup
Dengan agam manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada
di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Dengan cita-cita manusia
dapat bersemangat dan bergairah dalam perjuangan hidup yang berorientasi ke masa
depan. Dengan falsafah hidup manusia dapat menghadapi tantangan yang
dihadapinya dengan mudah.
g. Pengawasan diri
Manusia yang memiliki pengawasan diri akan terhindar dari kemungkinan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum, baik hukum agama, adat, maupun aturan moral
dalam hidupnya.
h. Rasa benar dan tanggung jawab
Rasa benar dan rasa tanggung jawab penting bagi tingkah laku karena setiap
individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Sebaliknya rasa benar,
tanggung jawab dan sukses adalah keinginan setiap manusia yang sehat mentalnya.
Berdasarkan penjelasan Jaelani (2001) di atas bahwa yang dimaksud dengan prinsip
kesehatan mental adalah dasar-dasar yang harus ditegakkan manusia guna
mendapatkan kesehatan mental dan terhindar dari gangguan kejiwaan yang terdiri
dari gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri, keterpaduan atau integrasi
diri, perwujudan diri, berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas
sosial, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal kemudian berminat
dalam tugas dan pekerjaan, agama, cita-cita dan falsafah hidup, pengawasan diri
serta rasa benar dan tanggung jawab.

2.7 Model Praktik Keperawatan Jiwa


1. Model Konseptual Praktik
Model adalah suatu cara untuk mengorganisasikan pengetahuan yang kompleks,
membantu praktisi, serta member arah dan dasar dalam menentukan bantuan yang
diperlukan. Model praktik dalam keperawatan kesehatan jiwa ini menggambarkan
sebuah psikodinamika terjadinya gangguan jiwa.
Beberapa model praktik yang dikembangkan dalam keperawatan kesehatan jiwa,
antara lain Model Psikoanalisis (Sigmund Freud, 1858-1939)
1. Model ini meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan
pada perkembangan masa anak. Penyimpangan perilaku juga ditujukan dengan
pertahanan ego yang tidak adekuat untuk mengontrol ansietas.
Proses terapeutik psikoanalisis menggunakan teknik asosiasi bebas dan analisa
mimpi yang bertujuan untuk menginterpretasikan perilaku, menggunakan
transferen untuk memperbaiki pengalaman masa lalu, serta mengidentifikasi area
masalah melalui interpretasi resistensi pasien.
2. Model Interpersonal (Harry Stack Sullivan, 1892-1949)
Model interpersonal ini meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan
interpersonal. Pandangan tentang gangguan jiwa menurut model ini adalah akibat
ansietas yang timbul dan dialami dalam hubungan interpersonal.
Proses terapi meliputi membina hubungan antar terapis dengan klien untuk
membangun rasa aman pada klien. Berikut proses terapi yang perlu dilakukan
perawat;
 Share Anxieties (upaya melakukan sharing mengenai hal-hal yang dirasakan
klien yang dapat menimbulkan kecemasan klien saat berhubungan dengan orag
lain).
 Therapist use empathy and relationship (perawat berupaya bersikap empati dan
turut merasakan hal-hal yang dirasakan oleh klien, memberikan respons verbal
yang mendorong rasa aman pada klien dalam berhubungan dengan orang lain).
3. Model Eksistensial (Perls, Glesser, Ellis, Roger & Frank)
Model ini mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku terjadi jika individu
putus hubungan dengan dirinya dan lingkungannya, seperti mengasingkan diri
sehingga individu tersebut merasa putus asa, sedih, sepi dan lain-lain. Hal ini
disebabkan karena kurangnya kesadaran diri yang mencegah partisipasi dan
penghargaan pada hubungannya dengan orang lain.
Proses terapi menurut model ini adalah membantu klien mengalami hubungan
otentik. Masalah klien diidentifikasi melalui interpretasi dan resistensi, serta proses
trensferesi klien. Peran klien dalam model ini adalah mengungkapkan secara verbal
semua mimpinya untuk diibterpretasikan oleh terapis.
4. Model Terapeutik Supportif (Werman & Rockland)
Model ini mengungkapkan bahwa masalah klien diakibatkan oleh faktor bio-
psikososial, sehingga menekankan pada respons koping yang terjadi ;
 Aspek biologis yang menjadi masalah, seperti gejala psikosomatis (sakit maag,
migraine, sakit pinggang, dan lain-lain)
 Aspek psikologis yang mengalami banyak keluhan, seperti ansietas, kurang
percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu dan pemarah)
 Aspek sosial yang memiliki masalah seperti menarik diri, susah bergaul, tidak
disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya.
Ketiga fenomena tersebut muncul akibat ketidakmampuan dalam beradaptasi
pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa
lalu.
Proses terapi menurut model ini adalah meningkatkan tes realita dan harga diri,
mengarahkan dukungan sosial dan menguatkan respon koping yang adaptif.
Disamping itu, terapis harus memberikan hubungan yang hangat, empati dan
bersahabat dengan klien, serta mengajak klien untuk berpartisipasi dalam terapi.
5. Model Medis (Meyer, Kraepelin, Spizer & Frances)
Munculnya gangguan perilaku diakibatkan oleh proses penyakit biologis.
Penyimpangan perilaku dalam kasus ini juga merupakan gangguan sistem saraf
pusat dan dicurigai bahwa depresi dan skizofrenia di penagruhi oleh transmisi
impuls neural serta gangguan sinapsis. Gejala yang muncul merupakan kombinasi
faktor fisiologis, genetic, lingkungan dan faktor sosial.
Proses terapi berfokus pada penanganan diagnosis yang meliputi terapi
somatic dan teknik interpersonal. Terapi tersebut diberikan sesuai dengan respon
simptomatik. Terapis menegakkan diagnosis penyakit dan menentukan pendekatan
terapeutik.
Dalam model ini, peran pasien yaitu mempraktikan regimen terapi yang
dianjurkan dan melaporkan efk terapi kepada dokter. Pasien akan menjalani terapi
kepada dokter dengan jangka panjang apabila diperlukan. Peran terpais dalam
model ini, yakni menggunakan kombinasi terapi somatic dan terapi interpersonal.
6. Model Sosial (Thomas Szasz & Bryan Caplan)
Model ini menjelaskan faktor sosial dan lingkungan dapat menyebabkan stress
yang menimbulkan ansietas dan gejala-gejala gangguan jiwa. Kategori gangguan
jiwa dalam model sosial ditentukan oleh lingkunga sosial.
Proses terapi dapat dilakukan dengan cara membantu klien untuk
menyesuaikan diri dengan sistem sosialnya. Bentuk terapi dapat berupa inventaris
krisis, manipulasi lingkungan dan dukungan sosial. Peran klien dalam terapi ini,
klien dituntun mengekspresikan masalahnya kepada terapis dengan menggunakan
sumber-sumber di masyarakat. Peran terapis adalah mengeksplorasikan sistem
sosial klien dan sumber-sumber yang tersedia.
7. Model Perilaku (H.J. Eysenk, J. Wolpe & B. F. Skimner)
Model ini meyakini bahwa perubahan perilaku akan mengubah kognitif dan
afektif. Penyimpangan dalam model ini terjadi karena manusia telah membentuk
kebiaaan perilaku yang tidak diinginkan. Perilaku menyimpang terjad kerana
berguna untuk mengurangi ansietas. Jika demikian, perilaku lain yang dapat
mengurangi ansietas dapat dipakai sebagai pengganti.
Terapi yang dilakukan dalam model ini merupakan proses pendidikan dimana
penyimpangan perilaku tidak di hargai sedangkan perilaku yang produktif
dikuatkan, selain itu terapi relaksasi dan latihan keasertifan juga perlu dilakukan
karena merupakan bagian dari pendekatan perilaku.
Peran pasien dalam model ini, pasien dapat mempraktikan teknik perilaku
yang digunakan, mengerjakan pekerjaan rumah, dan penggalakan latihan, serta
pasien berusaha mengembangkan hierarki perilaku. Peran terapis dalam model ini,
yaitu mengajarkan pasien tentang pendekatan perilaku, membantu
mengembangkan hierarki perilaku dan menguatkan perilaku yang diinginkan.
8. Model Komunikasi (Eric Berne & Paul Watzlawick)
Model ini menyatakan bahwa gangguan perilaku terjadi apabila pesan tidak
dikomunikasikan dengan jelas. Bahasa yang digunakan untuk merusak makna
pesan, bisa diteruskan secara seretak pada berbagai tingkatan.
Proses terapeutik dilakukan melalui pola komunikasi yang dianalisis dan
umpan balik diberikan untuk mengklarifikasi area masalah. Analisis transaksional
berfokus pada permainan dan belajar untuk berkomunikasi secara langsung tanpa
bersandiwara.
Peran pasien dalam model ini adalah memperhatikan pola komunikasi,
termasuk permainan, dan bekerja untuk mengklarifikasi komunikasinya sendiri
serta memfalidasi pesan data orang lain. Peran terapis dalam peran ini adalah
menginterpretasi pola komunikasi kepada pasien dan mengajarkan prinsip-prinsip
komunikasi yang baik.
9. Model Stress Adaptasi (Gail Stuart)
Model ini menyatakan bahwa pandangan terhadap penyimpangan perilaku ini
adalah sehat-sakit diidentifikasi sebagai karakteristik individu yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan. Respons adaptif dipengaruhi oleh faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian awal terhadap stressor, penilaian terhadap sumber koping
yang digunakan. Model ini meyakini bahwa individu berpotensi sehat-sakit,
memiliki kemampuan adaptasi yang meliputi fisik, konsep diri, peran, dan saling
ketergantungan.
Proses terapeutik dapat dilakukan dengan mengidentifikasi faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian terhadap stressor,
a. Model Stress Adaptasi Dalam Keperawatan Jiwa
Keperawatan kesehatan jiwa menggunakan model stress adaptasi dalam
mengidentifikasi penyimpangan perilaku. Model ini mengidentifikasi sehat
sehat – sakit sebagai hasil berbagai karakteristik individu yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan. Model ini mengintegrasikan komponen biologis,
psikologis, serta sosial dalam pengkajian dann penyelesaian masalahnya.
Apabila masalahnya disebabkan karena fisik, maka pengobatan secara fisik
atau kimiawi. Apabila masalah psikologis, maka harus diselesaikan secara
psikologis. Demikian pula dengan masalah sosial, maka lebih sering dapat
diselesaikan dengan pendekatan sosial melalui pendekatan psikologis.
Beberapa hal yang harus diamati dalam model stress adaptasi adalah faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan
mekanisme koping yang digunakan. Ada dua kemungkinan koping terpilih
yaitu berada antara adaptif an maladaptif. Koping ini bersifat dinamis, bukan
statis pada satu titik. Dengan demikian, perilaku manusia juga selalu dinamis,
yakni sesuai berbagai faktor yang mempengaruhi koping terpilih.
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor resikko yang menjadi sumber terjadinya
stress yang memperngaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi
stress baik secara biologis, psikososial dan sosiokultural. Faktor ini akan
mempengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai terhadap pengalaman
stress. Adapun macam-macam faktor predisposisi ;
a. Fisik dan Biologis
Dibawah ini beberapa faktor fisik dan psikologis yang dapat menyebabkan
terjadinya stress.
 Genetik
 Case History
 Pengalaman Hidup
 Pola Istrirahat/Tidur
 Dietary
 Postur Tubuh
 Penyakit
b. Psikologis
Beberapa faktor psikologis yang memicu terjadinya stress, antara lain ;
 Persepsi
Stress dapat dipengaruhi dari bagaimana individu berpersepsi terhadap
stressor yang muncul. Kadar stress tersebut sangat bergantung pada hal-
hal berikut.
 Kontrol terhadap stress
 Stress yang dapat diprediksi
 Kemampuan melawan batas.
 Emosi
Perbedaan kemampuan untuk mengenal dan membedakan setiap perasaan
emosi sangat berperngaruh terhadap stress yang dialaminya. Stress dan
emosi memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi keduanya.
 Situasi Psikologi
Hal tersebut dapat mempengaruhi konsep berfikir (kognitif) dan penilaian
terhadap situasi-situasi yang mempengaruhinya. Situasi tersebut dapat
berupa konflik, frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang dapat
mempengaruhi penilaian yang mengancam bagi individu.
 Pengalaman hidup
Kejadian tersebut memebrikan dampak psikologis dan memungkinkan
munculnya stress pada individu. Beberapa kejadian tersebut antara lain
sebagai berikut;
 Perubahan hidup
 Masa trasisi (life passage)
 Krisis hidup
c. Sosiokultural/Environment
Faktor lingkungan meliputi beberapa hal berikut ;
 Lingkungan fisik
Kondisi yang berhubungan dengan sekililing individu yang dapat memicu
terjadinya stress, hal tersebut dapat berupa bencana alam.
 Lingkungan biotic
Gangguan ini berasal dari mikroskopik berupa virus ataupun bakteri.
 Lingkungan sosial
Hubungan yang kurang baik dengam orang tua, rekan kerja dan hal yang
berhubungan dengan orang lain yang apabila tidak berjalan dengan baik
akan menjadi stressor bagi individu.

2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang menganggap individu sebagai
tantangan yang mengancam hidup/tantangan.
a. Kejadian yang menekan (Stressfull)
Terdapat tiga caradalam mengategorikan kejadian yang menekan kehidupan,
yaitu ;
 Aktivitas sosial, meliputi keluarga, pekerjaan, pendidikan, sosial,
keuangan, krisis komunitas, keuangan dan aspek legal.
 Lingkungan sosial, merupakan kejadian yang dijelaskan sebagai jalan
masuk dan jalan keluar individu dalam lingkunag sosial.
 Keinginan sosial, adalah keinginan secara umum seperti pernikahan.
b. Ketegangan hidup
Ketegangan hidup dapat terjadi karena adanya stress yang meningkat karena
kondisi kronis atau disebabkan oleh konfil yang terjadi secara kontiyu.

3) Penilaian Terhadap Stressor


Penilaian terhadap stressor meliputi penentuan arti dan pemahaman terhadap
pengaruh situasi yang penuh dengan stress bagi individu. Stress dapat
menghasilkan berbagai respon, yang berguna sebagai indikator terjadinya stress
yang dialami individu. Respon stress pada individu dapat terlihat dalam berbagai
aspek sebagai berikut;
a. Respons Kognitif
Respons kognitif merupakan jembatan psikologis antara seseorang dengan
lingkungannya dalam menghadapi kerusakan dan potensial kerusakan. Faktor
kognitif mencatat kejadian yang menekan, memilih pola koping yang
digunakan, serta emosional, fisiologis, perilaku dan reaksi sosial seseorang.
Hal ini dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, denyut nadi
(apical dan perifer) dan sistem pernapasan. Terdapat tiga tipe penilaian
stressor primer dari stress yaitu, kehilangan, ancaman dan tantangan.
b. Respons Afektif
Respons afektif adalah membangun perasaan. Dalam penilaian terhadap
stressor, respons afektif utama adalah reaksi yang tidak spesifik atau
umumnya merupakan reaksi kecemasan yang diekspresikan dalam bentuk
emosi.
c. Respons Fisiologis
Respons fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin yang
meliputi rangsangan berbagai hormone seperti prolaktin, oksitosin,
adrenokortikotropik (ACTH), vasopressin, insulin, epineprin, norepineprin
dan neurotransmitter lain di otak. Respons fisiologis the fight-or-flight
menstimulasi divisi simpatik dari sistem saraf otomom dan meningkatkan
aktivitas kelenjar adrenal. Stress yang dialami individu juga dapat
mempengaruhi sistem imun dan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
melawan penyakit.
d. Respons Perilaku
Respons perilaku hasil dari respons emosional dan fisiologis. Respons ini
dapat dibedakan menjadi dua yaitu, fight yang berarti melawan situasi yang
menekan dan flight yang berarti menghindari situasi yang menekan.

e. Respons Sosial
Respons ini didasari pada tiga aktivitas, yaitu mencari arti, atribut sosial, dan
perbandingan sosial.
Hans Selye (2011) melakukan riset terhadap dua respons fisiologis tubuh
terhadap stress yaitu;
 Local Adaptation Syndrome (LAS)
Tubuh menghasilkan banyak respon setempat terhadap stress. Respon
setempat ini biasanya berjangka pendek, termasuk pembekuan darah, dan
penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dan sebagainya.
Berikut merupakan karakteristik LAS ;
 Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
 Respon bersifat adaptif dan memerlukan stressor untuk menstimulasinya.
 Respon bersifat jangka pendek dan tidak terjadi secara kontinyu.
 Respon berrsifat restorative.
 General Adaptation Syndrome (GAS)
Merupaka respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stress, yang
melibatkan sistem saraf otonom dan endokrin (neuroendokrin). GAS
terbagi menjadi 3 tahap, yaitu ;
1) Fase alarm (waspada)
Melibatkan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran
untuk menghadapi stresor. Terjadi reaksi psikologis fight or flight
dan reaksi fisiologis. Tanda-tanda fisik seperti curah jantung
meningkat, peredaran darah cepat, serta darah di perifer dan
gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ
tubuh terpengaruh, gejala stres memengaruhi denyut nadi,
ketegangatn otot, dan daya tahan tubuh menurun.
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan
tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat pada meningkatnya
volume darah, yang pada akhirnya menyiapkan individu untuk
bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula
darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi keperluan adaptasi.
Teraktivasinya epinefrin dan norepinefrin mengakibatkan
denyut jantung meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke
otot. Selain itu, terjadi peningkatan pengambilan oksigen dan
meningkatnya kewaspadaan mental. Aktivitas hormonal yang luas ini
menyiapkan individu untuk melakukan "respons melawan atau
menghindar". Respons ini bisa berlangsung dari menit sampai jam.
Bila stresor masih menetap, maka individu akan masuk ke dalam fase
resistensi.
2) Fase resistence (resistensi/melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologi dan pemecahan masalah serta mengatur
strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis
sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi
faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi, gejala stres akan
menurun dan tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut
jantung, tekanan darah, dan curah jantung. Hal tersebut terjadi karena
individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stresor, jika ini
berhasil tubuh akan memperbaiki sel- sel yang rusak. Bila gagal,
maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari GAS,
yaitu fase kehabisan tenaga.
3) Fase exhauted (kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi untuk penyesuaian
telah terkuras, akibatnya timbul gejala penyesuaian diri terhadap
lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri
koroner, dan sebagainya. Bila usaha melawan tidak dapat lagi
diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.
Pada tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis,
akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres.
Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor
inilah yang akan berdampak pada kematian.
Berdasarkan pemaparan diatas terdapat proses adaptasi dengan
indikator stress yang berbeda-beda ;
a. Adaptasi Fisiologis
Indikator fisiologis dari stres adalah objektif sch lebih mudah
didentifikasi dan secara umum dapat dia atau diukur. Namun,
indikator ini tidak setiap saar teramati pada setiap klien yang
mengalami stres. Tanda yang paling tampak adalah klien tampak
gelisah, dan tid ama ati mampu beristirahat dan berkonsentrasi.
Indikator dapar timbul sepanjang tahap stress. Durasi dan intensitas
dari gejala secara langsung berkaitan dengan durasi dan intensitas
stresor yang diterima.
Indikator fisiologis dari berbagai sistem. Hubungan antara
stres psikologis dan penyakit sering disebut interaksi pikiran tubuh.
Penelitian menunjukkan bahwa stres mempengaruhi penyakit dan
pola penyakit Pada masa lalu, penyakit infeksi adalah penyebab
kematian paling utama. Akan tetapi, sejak ditemukannya antibiotik,
kondisi kehidupan dan pengetahuan tentang nutrisi yang meningkat,
serta metode sanitasi yang lebih baik telah menurunkan angka
kematian. Saat ini, penyebab utama kematian adalah penyakit yang
mencakup stresor gaya hidup. Berikut adalah indikator stres
fisiologis;
 Kenaikan tekanan darah.
 Peningkatan ketegangan di leher, bahu, dan punggung.
 Peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernapasarn
 Telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki dingin.
 Postur tubuh tidak tegap.
 Keletihan.
 Sakit kepala.
 Gangguan lambung.
 Suara yang bernada tinggi.
 Mual, muntah, dan diare.
 Perubahan nafsu makan.
 Perubahan berat badan
 Perubahan frekuensi berkemih.
 Dilatasi pupil.
 Gelisah, kesulitan tidur, atau sering terbangun saat tidur.
b. Adaptasi Psikologis
Emosi kadang dikaji secara langsung atau tidak langsung
dengan mengamati perilaku klien. Stres mempengaruhi kesejahteraan
emosional dalam berbagai cara. Kepribadian individual mencakup
hubungan yang kompleks di antara banyak faktor membuat reaksi
terhadap stres yang berkepanjangan ditetapkan dengan memeriksa
gaya hidup dan stresor klien yang terakhir, pengalaman terdahulu
dengan stresor, mekanisme koping yang berhasil di masa lalu, fungsi
peran, konsep diri, dan ketabahan yang merupakan kombinasi dari
tiga karakteristik kepribadian yang diduga menjadi media terhadap
stres. Wiebe dan Williams menjelaskan ketiga karakteristik tersebut
adalah rasa kontrol terhadap peristiwa kehidupan, komitmen
terhadap aktivitas yang berhasil, dan antisipasi dari tantangan sebagai
suatu untuk pertumbuhan (Nashir dan Abdul Muhith, 2011).
Indikator stres psikologis adalah sebagai berikut ;
 Ansietas.
 Depresi
 Kepenatan.
 Peningkatan pengunaan bahan kimia.
 Perubahan dalam kebiasaan makan, tidur, dan pola aktivitas.
 Kelelahan mental.
 Perasaan tidak adekuat.
 Kehilangan harga diri.
 Peningkatan kepekaan.
 Kehilangan motivasi.
 Ledakan emosional dan menangis.
 Penurunan produktivias dan kualitas kineja pakerjaan.
 Kecenderungan untuk membuat kesalahan (misaln penilaian
buruk).
 Mudah lupa dan pikiran buntu.
 Kehilangan perhatian terhadap hal-hal yang rinci.
 Preokupasi (misalnya mimpi siang hari). Ketidakmampuan
berkonsentrasi pada tugas.
 Peningkatan ketidakhadiran dan penyakit.
 Letargi.
 Kehilangan minat.
 Rentan terhadap kepekaan

c. Adaptasi Perkembangan
Stres berkepanjangan dapat mengganggu atau meng- hambat
kelancaran menyelesaikan tahap perkembangan. Dalam bentuk
ekstrem, stres yang berkepanjangan dapat mengarah pada krisis
pendewasaan. Bayi atau anak kecil umumnya menghadapi stresor di
rumah. Jika diasuh dalam lingkungan yang responsive dan empati,
mereka mampu mengembangkan harga diri yang sehat dan pada
akhirnya lingkungan yang belajar respons koping adaptif yang sehat.
Berbeda dengan bayi, anak usia sekolah biasanya
mengembangkan rasa kecukupan. Mereka mulai menya- dari bahwa
akumulasi pengetahuan dan penguasaan keterampilan dapat
membantu mereka mencapai tujuan, dan harga diri berkembang
melalui hubungan berteman dan saling berbagi di antara teman. Pada
tahap ini, stres ditunjukkan oleh ketidakmampuan atau
ketidakinginan untuk mengembangkan hubungan berteman.
Sementara itu, remaja biasanya mengembangkan rasa identitas yang
kuat, tetapi pada waktu yang bersamaan perlu diterima oleh teman
sebaya. Remaja dengan sistem pendukung sosial yang kuat
menunjukkan suatu peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan
diri terhadap stresor, tetapi remaja tanpa sistem pendukung sosial
sering menunjukkan peningkatan masalah psikososial (Dubos dalam
Nashir dan Abdul Muhith, 2011). Dewasa muda berada dalam
transisi dari pengalaman masa remaja ke tanggung jawab orang
dewasa. Konflik dapat berkembang antara tanggung jawab pekerjaan
dan keluarga. Stresor mencakup konflik antara harapan dan realitas.
1. Mekanisme Koping
Hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi tingkat stres merupakan bagian dari
koping. Koping adalah proses di mana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan
yang diterima antara keinginan (demand) dan pendapatan (resources) yang dinilai
dalam suatu keadaan yang penuh tekanan. Selain digunakan untuk memperbaiki atau
menguasai masalah, koping juga dapat membantu seseorang untuk mengubah
persepsinya atas ketidaksesuaian, menolerir atau menerima bahaya, juga melepaskan
diri atau menghindari situasi stres. Stres diatasi dengan kognitif dan behavioral
transactions melalui lingkungan.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Nasir dan Muhith, 2011), dalam
melakukan koping, ada dua strategi yang bisa dilakukan.
a. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
Problem focused coping adalah usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang
menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini ditujukan dengan mengurangi
demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk
mengatasinya. Seseorang cenderung menggunakan metode ini apabila mereka
percaya bahwa sumber atau demands dari situasinya dapat diubah. Stretegi yang
dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut;
 Confrontative Coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan
pengambilan resiko.
 Seeking Social Support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
 Planful Problem Solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analitis.
b. Emotional Focused Coping
Emotional Focused Coping adalah usaha mengatasi stress dengan cara
mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak
yangakan ditimbulkan oleh suatu kondisi yang dianggap penuh tekanan. Strategi
yang digunakan dalam Emotional Focused Coping adalah sebagai berikut ;
 Self-control, usaha untuk mengatur perasaan ketika mengahadapi situasi yang
menekan.
 Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan
yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
 Positive reappraisal, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam
permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat
semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi
karena pikiran dan tindakan sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila
individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
 Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun, strategi ini menjadi
tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah
tersebut.
 Escape/Avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindari perilaku merokok, minum alcohol, dan
menggunakan NAPZA.
Individu menggunaka problem focused coping jika masalah yang mereka
hadapi dapat di kontrol. Sebaliknya, inidividu menggunakan emotion focused
coping dalam menghadapi masalah, jika masalah mereka sulit untuk di kontrol.
Taylor dalam Nasih dan Muhith (2011) mengungkapkan bahwa terkadang
inidividu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun
tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu. Para peneliti
menemukan bahwa penggunaan strategi emotional focused coping oleh anak-anak
secara umum meningkat seiring bertambahnya usia mereka.

2.8 Falsafah Keperawatan Jiwa


a. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan keprawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi
yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang
disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara
kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda pada masa
ini adalah membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat.
Daendels menderikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semaran, tetapi tidak
diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk
kepentingan tentara Belanda.
b. Masa Penjajahan Inggris (1812-1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan
adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat
kesehatan penduduk pribumi antara lain: pencacaran umum, cara perawatan pasien
dengan gangguan jiwa, kesehatan para tahanan.
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan
penduduk lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok Jakarta
dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba, yaitu RS. Cipto Mangunkusumo
(RSCM). Tahun 1816-1942 berdiri rumah sakit-rumah sakit hampir bersamaan,
yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. ST Carollus Jakarta, RS. ST.Boromeus di
Bandung, RS Elizabeth diSemarang. Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-
sekolah perawat.
c. Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan dunia
keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas keperawatan
dilakukan oleh orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh
Jepang, akhirnya terjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
d. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan di bidang kesehatan, yaitu rumah sakit
dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirkan Sekolah Guru Perawat dan sekolah
perawat setingkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan tahun
1962, yaitu Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan
perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai
bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK (Program Studi Ilmu Keperawatan) yang
merupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia. Tahun 1995 PSIK
FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul PSIK-PSIK baru seperti di
UNDIP, UGM, UNHAS dan lain-lain.
Perkembangan kesehatan jiwa yang penting setelah Indonesia merdeka antara lain:
1) Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 ditetapkan oleh
pemerintah.
2) Didirikan BKR-PPJ (Badan Koordinasi Rehabilitasi Penderita Penyakit Jiwa).
3) Pemberian sistem pelaporan diolah dengan komputer sejak 1971.
4) PPDGJ Ke-1 di Indonesia tahun 1973.
5) Integrasi kesehatan jiwa dalam pelayanan kesehatan di puskesmas.
e. Tahun 2000-an
Pada tahun 2000-an, keperawatan jiwa di Indonesia mulai mengalami
perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dilihat melalui adanya penanganan
perawatan mandiri pada keperawatan jiwa, dengan ditetapkannya 4 besar masalah
yang ditemukan. Tahun 2000 diperkenalkan contoh bangsal perawatan pada pasien
jiwa yang dikenal dengan Model Pelayanan Keperawatan Profesional Pemula
(MKKP). Adanya MKKP ini membuat perawatan dan penanganan pasien lebih
terstruktur dan tingkat kesembuhan meningkat.
Perkembangan ilmu keperawatan dapat dilihat dari semakin bertumbuhnya
jenjang pendidikan tinggi di Indonesia, seperti perkembangan ilmu keprawatan yang
kian pesat di beberapa universitas di Indonesia.
Perkembangan ilmu keperawatan jiwa semakin pesat dengan dimulainya program
pndidikan magister (S2) Keperawatan, program Ners spesialis Keperawatan Jiwa
pada tahun 2005, serta program doktoral di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (UI) pada tahun 2008. Sesmentara, Universitas Gajah Mada (UGM)
membuka Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada (PSIK FK-UGM) pada 1999. Di Universitas Diponegoro (UNDIP), Program
Studi S1 Pendidikan Magister Keperawatan secara resmi dimulai tahun ajaran
2011/2012, setelah sebelumnya berhasil dengan Program Studi S1 Keperawatan
pada tahun 1999. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran (Unpad)
merupakan fakultas ilmu keperawatan tertua kedu setelah Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.

2.9 Aspek-aspek Keperawatan Jiwa


Darajat dalam Jaelani, 2001) membagi kesehatan mental menjadi beberapa aspek,
diantaranya:
a. Terwujudnya keserasian yang sungguh-sunguh antara fungsi-fungsi kejiwaan
Berkembanganya seluruh potensi kejiwaan secara seimbang sehingga manusia
dapat mencapai kesehatannya secara lahiriah maupun bathiniah serta terhindar dari
pertentangan bathin, keguncangan, keraguan dan tekanan perasaan dalam
menghadapi berbagai dorongan dan keinginan.
b. Terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri
Usaha untuk menyesuaikan diri secara sehat terhadap diri sendiri yang mencakup
pembangunan dan pengembangan seluruh potensi dan daya yang terdapat dalam
diri manusia serta kemampuan memanfaatkan potensi dan daya seoptimal mungkin
sehingga penyesuaian diri membawa kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri
dan orang lain.
c. Penyesuaian diri yang sehat terhadap lingkungan dan masyarakat
Manusia tidak hanya memenuhi tuntutan masyarakat dan mengadakan perbaikan di
dalamnya tetapi juga dapat membangun dan mengembangkan dirinya sendiri
secara serasi dalam masyarakat. Hal ini hanya bisa dicapai apabila masing-masing
individu dalam masyarakat sama-sama berusaha meningkatkan diri secara
terusmenerus dalam batas-batas yang diridhai Allah.
d. Berlandaskan keimanan dan ketakwaan
Masalah keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya hanya
dapat terwujud secara baik dan sempurna apabila usaha tersebut berdasarkan atas
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
e. Bertujuan untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia di dunia dan
akhirat
Kesehatan mental bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sejahtera dan
bahagia bagi manusia secara lahir dan bathin, jasmani dan rohani, serta dunia dan
akhirat.

2.10 Aspek etik dalam Keperawatan Jiwa


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang
terlihat dari huubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif,
konsep diri yang positif, dan kestablian emosional.
Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga kategori,
yaitu:
1. Faktor individual
Meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran danketakutan, ketidakharmonisan
dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).
2. Faktor interprsonal:
Meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau
menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional.
3. Faktor budaya dan sosial:
Meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal,
kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia dan jenis kelamin.
Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urband mental
health).

4.2 Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah diolah, maka penulis mempunyai beberapa saran
yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi kita semua, yaitu:
1. Pengadaan klinik-klinik psikiatrik akan membantu mengatasi banyaknya masalah-
masalah kesehatan jiwa masyarakat.
2. Peran serta masyarakat akan sangat membantu dalam mengatasi masalah-masalah
kesehatan jiwa masyarakat.
3. Diharapkan kesehatan jiwa healthly people 2010 dapat mengurangi masalah-masalah
kesehatan jiwa yang dihadapi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai