Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

TB PARU
I. Konsep Penyakit
1.1 Definisi
Tuberkolosis adalah penyakit infeksi yang menular yang disebabkan oleh
Mycobacterum tuberculosis. (Price dan Wilson, 2005)

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang


secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis
jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada
orang lain (Santa, dkk, 2009).

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tubercolosis. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ
paru-paru dibandingkan bagian lain dari tubuh manusia, sehingga selama ini
kasus tuberkulosis yang sering terjadi di Indonesia adalah kasus tuberkulosis
paru/TB Paru (Indriani et al., 2005).

Penyakit tuberculosis biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan


bakteri Mycobacterium Tubercolosis yang dilepaskan pada saat penderita batuk.
Selain manusia, satwa juga dapat terinfeksi dan menularkan penyakit
tuberkulosis kepada manusia melalui kotorannya (Wiwid, 2005).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang


parenkim paru Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya,
termasuk meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. (Suzanne C. Smeltzer &
Brenda G. Bare, 2002 ).
1.2 Etiologi
Penyebab dari penyakit tuebrculosis paru adalah terinfeksinya paru oleh
micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan
ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga
paru-paru merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga
terdiri dari asal lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam
dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycobacterium
tuberculosis yaitu melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan
menginfeksi (Depkes RI, 2000).
1.3 Patofisiologi
Tempat masuk kuman mycobacterium adalah saluran pernafasan, infeksi
tuberculosis terjadi melalui (airborn) yaitu melalui instalasi dropet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi. Basil tuberkel yang mempunyai permukaan alveolis biasanya
diinstalasi sebagai suatu basil yang cenderung tertahan di saluran hidung atau
cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.

Setelah berada dalam ruangan alveolus biasanya di bagian lobus atau paru-paru
atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan, leukosit polimortonuklear pada tempat tersebut dan memfagosit
namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama masa
leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses
dapat juga berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak,
dalam sel basil juga menyebar melalui gestasi bening reginal. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, nekrosis bagian
sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju-lesi
nekrosis kaseora dan jaringan granulasi di sekitarnya terdiri dari sel epiteloid dan
fibrosis menimbulkan respon berbeda, jaringan granulasi menjadi lebih fibrasi
membentuk jaringan parut akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus gholi dengan gabungan terserangnya


kelenjar getah bening regional dari lesi primer dinamakan komplet ghon dengan
mengalami pengapuran. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis
adalah pencairan dimana bahan cairan lepas ke dalam bronkus dengan
menimbulkan kapiler materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitis akan
masuk ke dalam percabangan keobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di
bagian lain dari paru-paru atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga
tengah atau usus.

Kavitis untuk kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dengan


meninggalkan jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkijaan dapat mengontrol sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung, sehingga kavitasi penuh dengan bahan perkijuan
dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat tidak
menimbulkan gejala dalam waktu lama dan membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi limpal peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme
atau lobus dari kelenjar betah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah
kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.
Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen yang biasanya
sembuh sendiri, penyebaran ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar
ke organ-organ tubuh (Price & Wilson, 2005).
1.4 Pathway

1.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam
(2006) dapat bermacam-macam antara lain :

a. Demam
Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis
yang masuk.
b. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah
haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat. Kebanyakan
batuk darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
c. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya
sudah setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang
ditemukan.
e. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang,
nyeri otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang
timbul secara tidak teratur.
1.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien tuberculosis paru yaitu:
a. Kultur sputum: positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap
akhir penyakit.
b. Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
c. Tes kulit (mantoux, potongan vollmer): reaksi positif (area indurasi 10 mm
atau lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intra dermal antigen)
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara
berarti menunjukkan penyakit aktif.
d. Elisa/Wostern Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorak: dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas
simpangan kalsium lesi sembuh primer atau effuse cairan.
f. Histologi atau kultur jaringan paru: positif untuk mycobacterium
tuberculosis,
g. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granulana Tb, adanya sel
raksasa menunjukkan nekrosis,
h. Nektrolit: dapat tidak normal tergantung pada lokasi dan beratnya
infeksi.
i. GDA: dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
j. Pemeriksaan fungsi paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi
oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan
jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas) (Doengoes, 2000).
a. Pemeriksaan fisik :
 Pada tahap dini sulit diketahui.-Ronchi basah, kasar dan nyaring.
 Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan
padaauskultasi memberi suara umforik.
 Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
 Bila mengenai Pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak)
b. Pemeriksaan Radiologi :
 Pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan
batas tidak jelas.
 Pada kavitas bayangan berupa cincin.
 Pada Kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat
dengandensitas tinggi.
c. Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronchus atau kerusakan paru karena TB.
d. Laboratorium :
 Darah : leukosit meninggi, LED meningkat
 Sputum : pada kultur ditemukan BTA
e. Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
1.7 Komplikasi
Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :
a. Meningitisas
b. Spondilitis
c. Pleuritis
d. Bronkopneumoni
1.8 Penatalaksanaan
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
 Tahap awal (intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
3. Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
4. Jenis, sifat dan dosis OAT

5. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
1. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
a. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori
anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
b. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
1.9 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1 : Ketidakefektifan bersih jalan napas
1.9.1 Definisi
Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas
untuk mempertahankan bersihan jalan napas
1.9.2 Batasan karakteristik
 Batuk yang tidak efektif  Perubahan frekuensi napas
 Dispnea  Perubahan pola napas
 Gelisah  Sianosis
 Kesulitan verbalisasi  Spurum dalam jumlah yang
 Mata terbuka lebar berlebihan
 Ortopnea  Suara napas tambahan
 Penurunan bunyi napas  Tidak ada batuk

Diagnosa 2 : Gangguan pertukaran gas

1.9.3 Definisi
Kelebihan atau defisit oksigenasi dan/atau eliminasi karbon dioksida pada
membran alveolar-kapiler.
1.9.4 Batasan karakteristik
 Diaforesis  Hiperkapnia
 Dispnea  Hipoksemia
 Gangguan penglihatan  Hipoksia
 Gas darah arteri  Iritabilitas
abnormal  Konfusi
 Gelisah  Napas cuping hidung
 Penurunan karbondioksida  somnolen
 pH arteri abnormal  takikardi
 pola pernapasan abnormal (misal :
kecepatan, irama, kedalaman)
 sakit kepala saat bangun

1.10 Perencanaan
Diagnosa 1 : Ketidakefektifan Bersih Jalan Napas
1.10.1 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali normal
Kriteria hasil :
 Mempertahankan jalan nafas pasien
 Mengeluarkan sekret tanpa bantuan
1.10.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional

Intervensi Rasional
1. Kaji fungsi pernapasan contoh : Bunyi nafas, 1. Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan
kecepatan, irama, kedalaman dan atelektasis
penggunaan otot aksesori 2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan Sputum berdarah kental atau darah cerah
mukosa / batuk efektif : catat karakter, jumlah diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka
sputum, adanya emoptisis bronkal dan dapat memerlukan evaluasi
3. Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi. 3. Posisi membantu memaksimalkan ekspansi
Bantu pasien untuk batuk dan latihan napas paru dan menurunkan upaya pernapasan
dalam 4. Mencegah obstruksi / aspirasi
4. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea : 5. Berkolaborasi dengan tim medis dalam
penghisapan sesuai keperlua pemberian obat-obatan mempercepat
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam penyembuhan.
pemberian obat-obatan

Diagnosa 2 : Gangguan Pertukaran Gas


1.10.3 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan : Pertukaran gas kembali normal
Kriteria hasil
 Permukaan paru kembali efektif
 Penurunan dispneu
 BB meningkat
1.10.4 Intervensi keperawatan dan rasional

Intervensi Rasional
1. Kaji adanya gangguan bunyi atau pola 1. TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari
nafas bagian kecil bronchopneumoni sampai inflamasi
2. tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas difusi luas, nekrosis, efusi pleura.
3. Kolaborasi : berikan tambahan oksigen 2. Menurunkan kinsumsi oksigen
yang sesuai 3. Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat
terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi/
menurunnya alveolar paru

1.11 Daftar Pustaka


Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6.
Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI : Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Tambayong, J. 2003. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.
Banjarmasin,12 November 2018

Ners muda,

(Linda Dewi Lestari, S.Kep)

Preceptor klinik,S

(Sulastri, S.Kep., Ns)

Anda mungkin juga menyukai