Anda di halaman 1dari 26

TUGAS

MAKALAH

“PENGANTAR ARSITEKTUR”

OLEH:

NAMA : MUSFIRA EKA PUTRI MUIS

STAMBUK : P3B116046

JURUSAN : D3 ARSITEKTUR

FAKULTAS : PENDIDIKAN VOKASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2016

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

KATA PENGANTAR..............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5

BAB III PENUTUP................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................26

2
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan limpah Nya
makah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Lingkungan yang
terkait dengan diri manusia dan konsep naungan sebagai tanggapan manusia terhadap kondisi
lingkungannya” dengan tepat waktu.

Penulisan makalah ini merupakan suatu tugas mata kuliah pengantar arsitektur jurusan
D3 arsitektur fakultas pendidikan vokasi Universitas Halu Oleo Kendari

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi,
kalimat, tata letak dan desain. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membantu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dalam makalah ini dapat
berguna khusunya bagi saya dan umumnya bagi para pembaca.

Akhir kata, saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini dari awal hingga akkhir.

Kendari, 29 agustus 2016

penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keberadaan lingkungan hidup sebagai salah satu asset bagi manusia merupakan suatu hal yang
sangat mendasar, perhatian masyarakat terhadap lingkungan hidup memberikan gambaran bahwa
persoalan lingkungan hidup memerlukan perlindungan dari manusia itu sendiri maupun pemerintah. Sebagai
makhluk hidup kita mempunyai tanggungjawab pribadi kepada sang pencipta untuk memelihara bumi dan
isinya dari segala kerusakan dan pencemaran, manusia menjadi salah satu faktor penentu dalam proses
pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan dan pengolahan lingkungan hidup yang membentuk
kesatuan fungsional, saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat
spesifik, holistik dan berdimensi ruang. Lingkungan juga berpengaruh terhadap tempat
naungan manusia. Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah tempat tingak manusia. Seorang manusia
membuat tempat teinggal atau naungan sesuai dengan kondisi lingkungan yang berada
disekitarnya, contoh, seseorang membuat rumah panggung di tengah hutan agar terhindari
dari hewan hewan buas.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana tentang lingkungan yang terkait dengan diri manusia?
2. Apa penjelasan konsep naungan sebagai tanggapan manusia terhadap kondisi
lingkungan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimna lingkungan yang terkait dengan diri manusia
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang konsep naungan sebagai tanggapan manusia
terhadap kondisi linkungannya

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lingkungan yang terkait dengan diri manusia

Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan
perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis,
termasuk didalamnya adalah tempat tinggal. lingkungan juga terkadang sering disebut
patokan utama pembentukan prilaku.

Semuanya dikaitkan dengan lingkungan dan manusia pun selalu tergantung pada
lingkungan nya. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik
yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan
mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh
lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya. bahwa lingkungan-
lingkungan yang dihadapkan pada seseorang, tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap
kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya. Suatu perspektif belajar sosial
menganalisis hubungan kontinu antara variable-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan
perilaku terbuka dan tertutup seseorang.

Pada mulanya manusia berpindah mencari tempat yang nyaman untuk hidup. Setelah
lelah hidup berpindah pindah, manusia berusaha mencoba menciptakan kenyamanan dengan
menetap dalam satu lokasi dan menyesuaikan diri terhadap kondisi tempat tersebut. Manusia
kemudian menciptakan hunian dasar dengan menyesuaikan(adapt) secara bertahun-tahun
hingga berabad-abad dengan tempat, yang di pengaruhi 3 faktor besar tempat yaitu : letak
geografis, letak astronomis, dan letak geologis.

Letak geologis ialah letak suatu tempat berdasarkan struktur batu-batuan yang ada
pada kulit buminya. Letak geologis dapat terlihat dari beberapa sudut, yakni dari sudut for-
masi geologinya, keadaan batuannya, dan jalur-jalur pegunungannya. Tanah memiliki ciri-ciri
material dan struktur batuan kompleks yang terkandung di dalamnya baik mineral, karakter,
zat, hingga minyak bumi. Kandungan tanah beserta batuan yang berada di suatu tempat,
mempengaruhi keadaan tumbuhan apa saja yang dapat tumbuh. Dari tumbuhan ini binatang
dapat hidup di sekitarnya. Bagi manusia, tumbuhan dan binatang ini menjadi sumber maka-
nan dan mata pencaharian manusia. Bahan, kondisi lansekap, Tumbuhan dan binatang ini

5
kemudian dipakai selanjutnya sebagai material konstruksi bagi manusia untuk menciptakan
hunian seperti kayu, batu, hingga kulit binatang, untuk beradapatasi dengan iklim dan cuaca
di sekitarnya serta pengaruh lain untuk melindungi fisiknya. Selain itu kondisi mineral, tum-
buhan dan binatang ini juga digunakan manusia sebagai penghasil energi dasar, seperti api
kemudian minyak untuk menghangatkan tubuh, sejalan dengan adaptasi dan teknologi seba-
gai sumber memasak, dan penghasil energi.

Begitu pula dengan urusan tempat itnggal atau naungan. Kita ambil contoh
perbandingan lingkungan indonesia dan eropa. Konsep lingkungan di indonesia dengan di
eropa mengalami perbedan suhu, musim bahkan adat istiadat atau budaya. Karena kondisi
lingkungan indonesia dan eropa jauh berbeda, dimana indonesia, memiliki banyak pulau, dan
laut, budaya yang kental, sumber daya alam yang melimpah, dan sangat berguna bagi
kehidupan manusia manusia yang ada di indonesia.

Indonesia berada di Iklim tropis yang menurut koppen adalah berkarakter temperatur
tinggi (pada permukaan laut atau ketinggian rendah) — dua belas bulan memiliki temperatur
rata-rata 18 °C (64.4 °F) atau lebih tinggi. Indonesia sendiri berada di iklim hujan tropis
dimana mengalami kelembaban 60 mm (2.4 in) ke atas sepanjang 12 bulan. Iklim ini terjadi
pada garis lintang 5–10° dari khatulistiwa. Di iklim hujan tropis, Manusia bisa dengan mudah
menyesuaikan diri dengan suhu alam sekitar.

Matahari dan Hujan adalah tantangan terbesar di lokasi tropis. Matahari sepanjang
tahun, kelembapan yang tinggi, dan curah hujan yang tinggi, adalah potensi utama yang perlu
di pertimbangkan dalam mengadaptasi hunian terhadap iklim tropis. Kegiatan manusia dapat
di lakukan kapan saja bila tidak terganggu terik matahari dan curah hujan tinggi yang berpe-
ngaruh langsung terhadap tubuh manusia dan menghindari kelembapan yang berpotensi tim-
bul bakteri dan penyakit bagi manusia. Suhu Iklim tropis tidak menjadi gangguan berarti bagi
tubuh manusia. Dalam beberapa catatan, Josef prijotomo seringkali menyebutkan kebiasaan
telanjang(hanya menggunakan cawat) masyarakat tradisional yang dinalarkan ketidakpenga-
ruhan signifikan antara suhu iklim tropis dan tubuh. Penyesuaian hunian manusia untuk iklim
tropis ini adalah “menghindari” efek langsung terik panas matahari dan curah hujan basah
yang tinggi mengenai tubuh. Sehingga yang dibutuhkan dalam hunian tropis adalah yang
menaungi kegiatan manusia dari terik matahari dan curah hujan yang tinggi. Dan sejatinya
seperti pendapat Romo Mangun, manusia tropis, hidup di luar daripada di dalam.

6
Arsitektur dan tempat berjalan dengan sejarah yang panjang menyesuaikan kondisi lingku-
ngan sekitar. Melalui trial and error manusia bersinggungan dengan alam, berusaha
menyempurnakan tempat tinggalnya sehingga bisa menyesuaikan tubuh dengan huniannya
terhadap alam.

Indonesia adalah Negara kepulauan yang satu pulau dengan pulau yang lain
dihubungkan oleh laut. Laut atau perairan adalah penghubung pulau dan daratan, bukan
pemisah. Jikalau laut dan perairan menjadi pemisah maka keterisolasian dari masing-masing
pulau akan dapat muncul sebagai konsekuensinya. Sebaliknya, dengan menjadikan perairan
dan laut sebagai penghubung, maka tidak hanya keterisolasian itu tersisihkan, tetapi
komunikasi antara pulau satu dengan yang lain akan muncul sebagai konsekuensinya.
menyadarkan kita akan arti dan makna dari sebutan bangsa kita sebagai bangsa bahari.

Lautan yang menjadi penghubung antar pulau juga memberikan kekhususan pada
iklim yang ada di Indonesia. Iklim di Indonesia tidak hanya tropik, tetapi juga lembab, jadi
beriklim tropik lembab.

Kelembaban dari iklim ini dipermantap oleh kekayaan hutan hujan tropik yang
mengisi daratan Nusantara. Dengan kelembaban ini pula tubuh menjadi mudah sekali
berkeringat serta udara berkurang kenyamanannya karena menimbulkan kegerahan.
Berhadapan dengan kelembaban ini, sebuah penyelesaian yang cemerlang telah berhasil
ditemukan oleh anak-anakbangsa Nusantara. Pertama, tidak merasa perlu untuk mengenakan
pakaian. Penutup tubuh yang ada hanyalah penutup kelamin semata, atau lebih diperluas lagi
adalah sebatas dari pusar hingga lutut. Busana seperti itu adalah norma kesopanan yang
berlaku, dan itu berarti bahwa samasekali tidak porno sebagaimana kita sekarang ini
menilainya. Dan karena itu tidaklah mengherankan bila hingga abad ke 16 Masehi kita masih
bisa menyaksikan relief candi yang menggambarkan sosok manusia dengan busana yang
seperti tersebutkan tadi. Dari wayang kulit di Jawa kita juga menyaksikan bahwa sebagian
terbanyak tokoh yang digambarkan bertelanjang dada. Dihadapkan pada orang-orang yang
bertelanjang dada ini orang-orang Eropa yang mengunjungi Nusantara menilainya sebagai
tidak beradab (maklum, dalam adat dan budaya Eropa, ihwal berbusana yang menutup
seluruh tubuh adalah sebuah tanda beradab). Dengan memperhatikan kenyataan bahwa
bertelanjang dada adalah penyelesaian atas kelembaban yang tak dapat dihindari, tentunya

7
dapat dibayangkan bagaimana semestinya bangunan yang didirikan untuk ‘mewadahi’
manusia Nusantara. Sebuah ruangan yang memakai dinding serba tertutup sudah pasti sulit
untuk dipahami sebagai penyelesaian atas kelembaban ini. Betapa tidak, dalam hal berada di
luar bangunan saja sudah tak berpakaian, bagaimana nyaman bila berada dalam ruangan yang
serba berdinding tertutup. Dengan pencermatan seperti itu, dapat kemudian dikatakan bahwa
bangunan yang mewadahi manusia yang harus berhadapan dengan kelembaban adalah
bangunan yang tidak memiliki dinding tertutup. Sebuah beranda, serambi (teras) dan kolong
bangunan adalah tempat-tempat di bangunan yang dapat mewadahi manusia yang berkeringat
dan gerah karena kelembaban. Dangau-dangau di sawah serta warung dan gardu jaga juga
dengan jitu menjadi wujud bangunan yang merupakan penyelesaian atas kelembaban yang
menimbulkan keringat. Apabila terpaksa harus ada dinding, maka dinding ini adalah berupa
kerai atau kalau mau lebih canggih, dinding yang berukir tembus seperti lazimnya sekat
berukir. Bagaimana halnya dengan bagian bangunan yang berdinding, bahkan berdinding
rapat tanpa jendela? Keadaan bangunan yang serba tertutup seperti itu akan sangat jitu bila
digunakan untuk menyimpan barang serta untuk menghangatkan tubuh bila suhu udara
menjadi dingin. Kalau tidur di malam hari dianggap sebagai menyimpan badan, maka bagian
bangunan yang serba tertutup itu tidak hanya menyimpan barang tetapi juga menyimpan
badan. Dengan demikian, bagian bangunan yang berdinding tertutup itu asal-muasalnya
bukanlah sebuah tempat tinggal, melainkan tempat penyimpanan. Bagian dari rumah yang
digunakan untuk berbagai kegiatan harian hadir sebagai serambi, beranda, dangau atau gardu
serta kolong dari bangunan panggung. Kalau dipaksakan untuk disebut tempat tinggal, maka
bagian yang berdinding rapat adalah tempat untuk tinggal di malam hari sedang di siang hari
adalah di beranda, serambi atau kolong.

Dengan gambaran yang berdasar kelembaban seperti di depan, pembacaan denah dari
arsitektur Nusantara akan menjadi sangat berbeda dari pembacaan denah dari bangunan
Erorika. Di Nusantara, beranda, serambi dan kolong adalah tempat melangsungkan aktifitas
siang hari. Bilik yang berdinding tertutup adalah tempat penyimpanan (termasuk menyimpan
badan di malam hari). Pembagian bangunan dari irisan/potongan bangunan Nusantara juga
bukan terdiri dari kepala-badan-kaki, melainkan terdiri dari atap-bilik-kolong. Bila antara
bilik dengan muka tanah ada geladak, maka pembagiannya menjadi atap-bilik-geladak-
kolong.

8
Dengan kelembaban maka ketropikan di Nusantara menjadi berbeda dari ketropikan
di Afrika, misalnya. Daerah-daerah yang bertropik-lembab tentu tidak hanya Indonesia.
Malaysia dan Philipina, juga segenap daerah kepulauan di Amerika Tengah adalah daerah-
daerah yang beriklim tropik lembab. Di segenap tempat tadi, beranda atau kolong dan
ruangan berdinding tertutup memang menghadirkan diri, sekaligus mendapat pendayagunaan
yang serupa dengan yang di Nusantara. Yang menjadikan berbeda dari Nusantara adalah
dalam bentukan atap bangunan. Sebagian banyak bangunan di Amerika Tengah adalah
bentukan atap pelana atau atap perisai; sedang yang di Malaysia dan Philipina umumnya
serupa dengan yang ada di Nusantara, jadi cukup berragam bentukannya.

Kita tidak perlu menyangkal betapa pentingnya angin ini bagi pelayaran mengingat
adalah angin yang seakan menjadi motor bagi bergeraknya kapal dan perahu. Dengan
kemampuan berlayar par pelaut dan peniaga Nusantara hingga Madagaskar di abad-abad
sebelum Masehi, tak ayal lagi pengetahuan akan pola pergerakan angin, dan sudah barang
tentu pengetahuan akan arus laut yang bergantiganti sepanjang tahun, telah sangat dikuasai.
Sebutan mata-angin dapat dipastikan berawal dari ihwal pelayaran, bukan dari ihwal
bercocoktanam. Laut dan gunung dijadikan titik rujukan bagi mataangin itu, sehingga arah ke
laut dalam mataangin orang Bali dinamakan kelod, di Madura dinamakan Laok, sedang di
Jawa dinamakan Lor. Sementara itu, dalam hal menyusuri sungai, motor penggerak dari
kapal dan perahu bukan angin, melainkan dayung dan keras-lemahnya arus sungai dari hulu
ke hilir, dan karena itu arah hilir dan arah hulu atau udik (mudik) lebih banyak digunakan.
Angin yang merupakan pergerakan udara dari dua tempat yang berbeda tekanan udaranya
juga mampu didayagunakan dengan baik di daratan. Dalam keadaan normal (bukan dalam
masa pancaroba khususnya), angin menjadi sumber utama bagi penyejukan udara. Angin
yang berhembus dari laut akan membawa uap air dan mendatangkan udara yang lembab.
Tetapi, bersamaan dengan angin yang berhembus itu, kepengapan udara dalam ruangan juga
akan menjadi berkurang dengan cukup bena (signifikan). Di sini pula kolong, serambi dan
beranda menjadi bagian dari bangunan yang dengan cemerlang mampu mendayagunakan
hembusan angin guna menghadirkan ruangan yang nyaman (comfort). Melalui pembacaan
atas asal angin berhembus, bangunan yang didirikan diarahkan agar dapat semaksimal
mungkin memanfaatkan hembusan angin. Tidaklah mengherankan bila kebanyakan bangunan
Nusantara didirikan dengan arah bubungan atap yang berlawanan dengan arah hembusan
angin, seakan menjadi penangkap hembusan angin. Secara umum, arah hadap ke laut atau ke
gunung adalah keletakan dari bangunan-bangunan Nusantara yang memakai bangun persegi

9
empat; bangunan menjadi memanjang dan letaknya dibuat menangkap angin yang
berhembus. Oleh karena itulah bangunan-bangunan di pantai utara Jawa memanjang dari
timur ke barat dan menghadap ke ke laut Jawa (utara), sedang di daerah Jawa selatan,
bangunan dibuat menghadap ke Samudra Hindia (selatan). Jikalau hubungan antara bangun
geometrik dari denah bangunan menunjukkan adanya kaitan antara bangunan dengan arah
angin, maka bangunan-bangunan dengan denah lingkaran rupanya bertempat pada daerah
yang arah anginnya cenderung memutar, seperti misalnya di daerah lembah atau daerah yang
dikelilingi oleh bukit. Selanjutnya, mengitari sekelompok gugus bangunan maupun sebuah
gugus bangunan yang berdiri sendiri, pepohonan yang ditanam sepanjang pagar tapak
lingkungan hunian serta pepohonan yang ditanam di seputar dusun diberi peran untuk
menjadi pelambat lajunya hembusan angin.

Dengan hembusan angin yang menyejukkan dan dengan kelembaban yang dapat
ditanggulangi dengan tinggal di beranda. Serambi atau kolong, maka keberadaan bilik di
dalam bangunan menjadi nyaris tak terkunjungi di siang hari. Di malam hari saja bilik-bilik
itu digunakan sebagai tempat untuk tidur, untuk menyimpan badan. Kegiatan harian yang
lebih banyak terpusat pada sekeliling bagian luar bangunan memberi kesempatan bagi
tampang luar bangunan untuk ditangani dengan citarasa estetika dan artistika yang
mempesona. Tubuh luar bangunan tidak hanya kaya dengan ukiran (dan di percandian
dielokkan dengan relief-relief), tetapi juga dengan menggunakan warna yang cerah dan segar.
Tidak itu saja, sosok bagian atap juga menjadi sangat berragam perupaannya. Bagian bilik
dan kolong boleh saja tanpa sentuhan artistika dan estetika yang menyita perhatian, tetapi
tidak demikian halnya dengan bentuk atapnya. Nampaknya, demi penandaan bagian yang
terpenting dan terutama dari sesuatu bangunan Nusantara, maka bentukan atap menjadi
sangat mencolok penampilannya.

Iklim tropik hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Kalau mau
dipaksakan menjadi empat musim, maka ada tambahan dua musim pancaroba, yakni
pancaroba menuju penghujan dan pancaroba menuju kemarau. Salah satu pembeda mencolok
antara iklim tropik dengan iklim subtropik adalah suhu udara. Bagi iklim subtropik rentang
suhu udara dapat dipastikan mencakup suhu udara yang di sekitar nol derajat Celsius, sebuah
suhu udara yang dalam iklim mereka berada dalam cakupan musim dingin. Suhu yang sangat
rendah dalam musim dingin dengan langsung menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup
manusia yang berdiam di tempat itu. Dan karena itu tidak mengherankan bila mereka

10
mengatakan bahwa iklim adalah ancaman, bahkan ancaman yang mematikan. Artinya, suhu
yang rendah berpotensi mengakibatkan kematian. Dihadapkan pada ancaman kematian ini,
tak ada jalan lain kecuali harus melindungi diri dari ancaman tadi. Di situ pula lalu muncul
perumusan bangunan adalah perlindungan, arsitektur adalah tempat berlindung. Sebuah
tindakan berlindung adalah tindaan menyembunyikan diri, dan oleh karena itu lawan yang
mengancam sebisa mungkin tidak bisa mengetahui di manakah yang berlindung itu berada.
Sebuah ketertutupan di semua sisi lalu menjadi jawaban dari pihak yang berlindung. Sebuah
bangunan, karena dijadikan perlindungan adalah buatan manusia yang disemua sisinya
tertutup; yaitu lantai, dinding dan atap semuanya serba tertutup. Sekurangnya tiga bulan
lamanya orang harus berdiam di tempat yang serba tertutup, yang serba terpisah atau
terisolasi dari dan lingkungan sekitar bangunan dan dunia luar. Perasaan ketersendirian yang
dialami lalu membuat penghuni bangunan empat musim ini mengenal dengan baik
perbedaannya dari kebersamaan.

Bagaimanakah halnya dengan iklim tropik seperti yang ada di Nusantara ini? Musim
kemarau maupun musim penghujan tidak menghasilkan suhu udara yang selisihnya seekstrim
seperti yang empat musim. Suhu udara juga samasekali tidak mampu menjadi ancaman bagi
keselamatan hidup anak-anakbangsa Nusantara. Baik dalam musim kemarau maupun dalam
musim penghujan orang tetap dapat menikmati hidup dengan busana yang hanya melingkari
dari peerut hingga lutut. Terhadap terik matahari yang menyengat atau curah hujan yang
demikian deras, cukuplah bernaung di bawah pohon yang sangat rindang. Kalau harus tetap
melakukan perjalanan, orang Nusantara cukup memotong daun pisang atau daun keladi untuk
menaungi kepala dan badan. Kalau mau mengenakan yang buatan sendiri, sebuah topi yang
berdaun lebar atau sebuah payung juga sudah dapat menjadi penyelesaiannya. Dihadapkan
pada keadaan yang dua iklim ini, bukan tindakan berlindung yang diperlukan, tetapi adalah
tindakan bernaung atau berteduh. Dari sini tentunya sudah dapat dibayangkan bagaimanakah
bangunan yang diperlukan bagi tanggapan terhadap iklim kemarau dan penghujan. Sepotong
daun pisang atau keladi, sebuah topi lebar dan sebuah payung dan sebuah atap adalah
tanggapan atas iklim tropik. Petikan dari naskah kuno di Jawa menggambarkan kebenaran
dari hal itu “tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping
kajeng ageng” – orang yang menyusup ke dalam bangunan itu dapat diupamakan dengan
bernaung/berteduh di bawah pohon yang rindang.

11
Kebutuhan utama akan bangunan dan arsitektur lalu bukan untuk dijadikan
perlindungan sebagaimana dilakukan oleh bangunan di Erorika; yang dibutuhkan adalah
sebuah pernaungan atau perteduhan. Arsitektur lalu bukan sebuah perlindungan; arsitektur
adalah sebuah pernaungan. Itulah yang menjadi pengertian tentang arsitektur di Nusantara.
Bagi kebutuhan seperti ini, yakni akan adanya pernaungan atau perteduhan, maka cukup
hadirnya sebidang atap penaung atau peneduh yang menjadi jawabannya. Di depan telah
dikatakan bahwa keaneka-ragaman bentukan atap itu berkaitan dengan peran penting dan
terhormat dari bagian atap. Melalui peninjauan atas ketropikan yang berisi musim kemarau
dan musim penghujan, tentu menjadi semakin mantap dan nyata bahwa unsur pertama dan
utama dari arsitektur Nusantara adalah atap. Dengan peran dan kedudukan yang utama ini
pula lalu struktur bangunan menjadikan tiang-tiang penyangga atap sebagai tiang-tiang
utama. Sementara itu, dihadapkan pada musim penghujan yang basah, permukaan tanah akan
dengan langsung menjadi basah bila hujan tiba. Menanggapi kepastian basahnya tanah ini,
sebentang geladak dapat dihadirkan, dan merentang di atara tiang-tiang yang menopang atap.
Geladak ini sudah barang tentu membentuk jarak dengan muka tanah, membentuk kolong
bangunan. Lantai bangunan yang berupa geladak ini lalu bukan hadir karena takut pada
binatang buas, melainkan agar diperoleh bidang yang tidak becek. Selanjutnya, melihat
bahwa kolong geladak ini dapat didayagunakan pula untuk berbagai kegiatan manakala
musimnya bukan musim penghujan, maka letak geladak semakin ditinggikan dari muka tanah
di satu sisi, dan di sisi lain dibangun pula penopang-penopang geladak. Kini konstruksi
bangunan tidak lagi hanya berupa tiang-tiang penopang atap tetapi juga tiang-tiang penopang
geladak.

Perbedaan mencolok antara arsitektur Erorika dari arsitektur Nusantara dapat pula
dilihat dari bahan bangunan yang digunakan. Bila kita membuka buku sejarah arsitektur
Eropa kita akan melihat bahwa semenjak jaman Yunani hingga jaman sekarang ini, bahan
bangunan yang dominan dipergunakan adalah bahan-bahan bangunan yang anorganik. Ini
berbeda dari bangunan di Nusantara yang menggunakan bahan bangunan yang organik,
seperti kayu, bambu, alangalang, rumbia dan rotan. Pemakaian bahan bangunan yang organik
ini mengandung sebuah konsekuensi langsung yang tidak dapat dihindari yakni aus dan
lapuknya bahan itu dalam jangka waktu yang tertentu. Alangalang dan rumbia akan menjadi
bahan yang paling cepat aus dan lapuk, kemudian disusul oleh bambu dan rotan, dan akhirnya
kayu yang dipakai untuk tiang, balok dan bilah lantai serta bilah dinding sebagai yang paling
lama mengalami keausan dan kelapukan. Bila ketiga jenis bahan itu dipakai bersamaan di

12
sebuah bangunan, maka akan terjadi saat aus dan lapuk yang berbeda. Untuk
mempertahankan bangunan agar tetap dapat didayagunakan, sudah barang tentu dituntut
adanya penggantian bahan bangunan. Tuntutan seperti ini dengan langsung berkaitan dengan
konstruksi yang digunakan; dituntut konstruksi yang dapat dicopot dan diganti tanpa harus
merusak atau merubuhkan seluruh bangunan. Konstruksi ikat konstruksi cathokan serta
konstruksi purus dan lubang adalah yang jitu. Di depan telah ditunjukkan bahwa arsitektur
Wae Rebo yang hanya bermodalkan konstruksi ikat dapat menghadirkan diri sebagai
bangunan yang seukuran bangunan setinggi lima lantai. Sebuah keberhasilan yang luar biasa!
Tidaklah mengherankan bila para pendatang Eropa geleng-geleng kepala dan terkagum-
kagum menyaksikan kehebatan bangunan Nusantara yang samasekali tidak menggunakan
paku tapi bisa berdiri dengan kokoh.

Pemakaian paku dalam mengkonstruksi bangunan juga memperlihatkan perbedaan


yang besar dari konstruksi yang tanpa paku. Bangunan yang tidak menggunakan paku akan
menghasilkan konstruksi yang masih bisa bergoyang-goyang. Kemungkinan bergoyang ini
ditopang pula dengan penggunaan alat yang belum memungkinkan untuk menghasilkan
presisi yang tinggi, misalnya pada sambungan antara tiang dengan balok. Lubang pada tiang
yang akan dimasuki oleh purus balok bisa saja satu atau dua sentimeter lebih longgar dari
ukuran purus balok. Secara keseluruhan, konstruksi yang digunakan di arsitektur Nusantara
menghasilkan bangunan yang bisa bergoyang-goyang. Bahkan, keadaan yang paling stabil
dan kokoh dari bangunan di Nusantara itu akan dicapai bila bangunannya sedikit miring,
tidak tegaklurus terhadap tempatnya berdiri. Dengan adanya kesempatan bagi bangunan
untuk bergoyang ke sisi yang satu di saat yang tertentu, lalu bergoyang ke sisi lain dalam
kesempatan yang berbeda, maka bangunan Nusantara ini lalu menjadi tak ubahnya dengan
sebuah gubahan yang ‘hidup’, mengingat salah satu dari ciri dari keadaan yang hidup adalah
adanya gerakan dari obyek bersangkutan. Di sini pula pengertian dari pengurip, penghidup,
yang ada di sejumlah arsitektur anakbangsa Nusantara itu mendapatkan penjelasannya.
Dengan menamakan konstruksi di Nusantara ini sebagai konstruksi goyang (sebagai lawan
dari konstruksi mati, sebutan bagi konstruksi yang menggunakan paku), kehandalan dari
arsitektur Nusantara menjadi semakin terbukti bila dihadapkan dengan gempa. Gempa yang
merupakan gerakan bumi secara tiba-tiba, dapat berupa gerak yang horisontal dan dapat pula
hadir dalam gerakan yang vertikal. Dengan penerapan konstruksi goyang, saat gempa
menerpa, bangunan dengan nikmat mengikuti saja irama dari gempa, apakah horisontal
ataukah vertikal, ataukah keduanya secara bergantian atau bersamaan. Pada sebagian banyak

13
bangunan Nusantara yang keletakannya tidak dilakukan dengan menanam tiang ke dalam
tanah, maka dapat saja terjadi bangunan akan terguling dan tergolek di tanah di saat gempa
berlangsung; bangunan samasekali tidak remuk seperti yang selalu terjadi pada bangunan
tembok dan beton. Di sini sebuah kecemerlangan pengetahuan konstruksi telah ditunjukkan
dan dibuktikan oleh bangunan Nusantara, yakni penerapan konstruksi goyang.
Gerakan konservasi adalah gerakan melestarikan bangunan agar mampu bertahan dalam
perubahan waktu (dan ruang). Bagi dunia Erorika, konservasi dengan mempertahankan
keaslian bangunan dapat dijalankan dengan tak banyak kesulitan. Maklum, bahan-bahan
bangunannya sebagian terbesar adalah bahan bangunan yang anorganik. jikalau harus
melakukan penggantian bahan, itu dapat dilakukan dengan harus tetap mengkuatirkan
konstruksi dari bangunan. mencopot satu bata atau batu bisa saja mengakibatkan runtuhnya
bangunan. Keadaannya akan sangat berbeda bagi konservasi di arsitektur nusantara. Hampir
seluruh bangunan Nusantara dalah bangunan kayu, bangunan dengan bahan bangunan yang
organik. Naluri dasar dari setiap bahan bangunan organik adalah mengalami penuaan, lapuk
dan runtuh. pemikiran untuk mendapat bangunan yang mampu berusia ratusan tahun tentu
tidak ada dalam pemikiran arsitektur Nusantara. yang ada ialah bangunan yang harus bisa
mengalami penggantian bagian bangunan yang lapuk atau aus tanpa harus mengakibatkan
bangunan runtuh. Atau, kalau memang harus mengganti seluruh bahan bangunannya, maka
membuat bangunan baru yang sepersis mungkin dengan yang sudah tua dan aus adalah
penyelesaiannya. Dengan demikian, konservasi di Nusantara adalah pelestarian yang
mengharuskan penggantian. Bongkar dan ganti dengan yang persis dengan yang dibongkar,
itulah tindakan konservasi yang berlaku di Nusantara.

Pencermatan atas arsitektur anak-anakbangsa Nusantara yang saya lakukan di depan


bertitik-tolak atau berlandasan pada kenyataan geoklimatik Indonesia. Kenyataan ini dengan
langsung menjadikan adanya keniscayaan akan adanya perbedaan dari kenyataan geoklimatik
Erorika. Pengertian atau perumusan Erorika yang menjadikan arsitektur sebagai perlindungan
lalu menjadi berbeda dari pengertian dan perumusan yang digunakan di Nusantara yakni
arsitektur sebagai pernaungan atau perteduhan. Dalam hal arsitektur sebagai perlindungan
bagian lantai, dinding dan atap adalah mutlak untuk hadir di bangunan, tidak demikian halnya
dengan di Nusantara karena hanya memutlakkan hadirnya atap serta menganjurkan adanya
geladak.

14
Selanjutnya, jikalau paparan itu dicermati, maka ihwal adat, sistem kepercayaan dan
pandangan dunia (worldview), serta budaya dari anak-anakbangsa Nusantara, hampir-hampir
tidak terikutkan dalam memunculkan pengertian sebagai pernaungan atau perteduhan. Dalam
tulisan-tulisan saya yang lain, ihwal-ihwal itu saya cermati sebagai keping-keping perekam
pengetahuan tentang arsitektur, bukan sebagai sistem budaya yang dicerminkan oleh
arsitektur. Sikap saya yang menempatkan segenap ihwal itu sebagai keping rekaman
pengetahuan saya dasarkan pada kenyataan bahwa anakbangsa Nusantara ini mewariskan
pengetahuannya tidak dengan menggunakan tulisan, melainkan dengan menggunakan
segenap ihwal tadi. Masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang bertradisi tanpatulisan;
dan ini berbeda dari masyarakat Erorika yang bertradisi tulisan. Dengan tatapikir (mindset)
tradisi tanpatulisan ini pula saya misalnya saja, memahami upacara pemasangan kuda-kuda
dan bubungan atap di Jawa adalah sebuah bentuk pemeriksaan dan pengujian kehandalan
konstruksi kuda-kuda. Selamatan yang diselenggarakan sebelum pemasangan kuda-kuda itu
adalah sebuah wujud pengupahan tenaga kerja yang dirupakan sebagai barter antara tenaga
dengan makanan yang disajikan.

Dari pencermatan saya di depan, kita menjadi memahami betapa mengagumkan


kecemerlangan pengetahuan anakbangsa Nusantara ini di bidang arsitektur, dan oleh karena
itu samasekali tak dapat dikatakan sebagai sebuah genius loci atau kearifan lokal (local
wisdom) sebab kedua sebutan itu berlatarbelakang Erorika sebagai inti dan sebagai yang
unggul, sedang di luar Erorika adalah tak ubahnya dengan ‘antah berantah’. Sebagai
pengganti kedua sebutan itu, saya menggunakan sebutan cerlang-tara, yang adalah singkatan
dari kecemerlangan Nusantara.

Di bagian awal dari paparan saya ini saya menjanjikan untuk menunjukkan bahwa
arsitektur Nusantara itu berbeda dari arsitektur tradisional. Kiranya, melalui pasal yang
terakhir ini kita semua telah dapat mengetahui bahwa arsitektur nusantara itu berbeda dari
arsitektur tradisional. Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahamannya atas arsitektur
anakbangsa Nusantara pada pertama, kenyataan geoklimatik (kepulauan dan tropik lembab)
serta yang kedua adalah kenyataan tradisi tanpatulisan. Di sini ihwal adat hingga upacara dan
artefak menjadi rekaman-rekaman pengetahuan arsitektur. Sementara itu, arsitektur
tradisional mendasarkan pemahamannya pada arsitektur sebagai cerminan
budaya/kebudayaan, sebuah dasar yang tanpa disadari ternyata adalah ranah kajian budaya
dan antropologi.

15
Manusia yang tinggal dalam satu tempat bertambah banyak dan menjadi satu komuni-
tas kemudian mulai membagi peran, bergotong royong sebagai komunitas sesuai kemampu-
annya dan mulai saling bergantung untuk saling memenuhi kebutuhannya. Hubungan hubu-
ngan manusia yang diatur ini menjadi satu kesepakatan sosial agar komunitas manusia yang
didalamnya bisa hidup berdampingan dengan adil

Komunitas yang terbentuk dari sistem sosial kemudian membentuk kegiatan dan
fungsi baru didalam hunian untuk menyediakan fasilitas sosial. Hunian kini terbagi menjadi
tempat yang memisahkan aktifitas fisik yang privat sesuai dengan nilai sosial yang terbentuk.
Manusia hidup berkelompok dan ruang ruang bersama tercipta baik di dalam hunian maupun
di luar hunian. Kesepakatan sosial juga membentuk sistem ekonomi agar hasil dari peran
masing masing manusia dapat dinilai dan dihargai sehingga bisa ditukar dengan kebutuhan
lainnya. Disamping itu, manusia juga mempertanyakan tentang asal usul hal, hingga menelur-
kan sistem kepercayaan yang menyesuaikan sistem sosial setempat.

Perkembangan sistem sosial, kepercayaan, politik, ekonomi, teknologi dan politik


yang berkembang secara kompleks dan kumulatif, kemudian menumbuhkan fungsi-fungsi
kegiatan baru dalam komunitas dan membutuhkan tempat yang nyaman untuk berkegiatan
sesuai fungsinya. Lumbung makanan, ruang tamu, tempat bermusyarah, penjara, kantor ketua
adat, tempat ibadah, restoran, hingga bank berkembang secara kumulatif.

Dengan berjalannya perkembangan manusia diseluruh dunia, manusia yang memben-


tuk sistem sosial dan ekonomi, melakukan perjalanan ke tempat-tempat lain untuk mencari
tempat yang lebih nyaman baik dengan motif kenyamanan tempat-tubuh hingga motif politik
dan ekonomi. Pengaruh luar tempat mulai saling menginspirasi baik dari sistem kebudayaan,
kepercayaan sosial, ekonomi hingga teknologi.

Dari ekspansi Manusia Austronesia, masuknya pengaruh India, Eropa, timur tengah
hingga sekarang, informasi baru berdatangan. Fungsi turut berkembang secara akumulatif
dengan Bahan dan Teknologi seperti bata merah hingga sistem dinding dan beton mewarnai
perkembangan Arsitektur Indonesia. Masing masing zaman berusaha mewakilkan bahan dan
fungsi, juga berusaha menyesuaikan terhadap kondisi alam.

Kebutuhan manusia menurut diagram Maslow, setelah pemenuhan fisik telah tercapai,
manusia kemudian mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang timbul

16
karena sistem sosial, seperti rasa aman, percaya diri, kognitif, estetik, aktualisasi diri hingga
pemenuhan yang transenden. Sebagai bagian dari satu komunitas yang besar, manusia kemu-
dian membuat tanda dan simbol sebagai satu bahasa untuk berinteraksi dan memenuhi kebu-
tuhan sosialnya. Tanda dan simbol ini akhirnya digunakan manusia sebagai identitas diri,
maupun identitas komunitas untuk membedakan dengan diri atau komunitas lainnya.

Setelah bangunan hunian, kegiatan bertambah dan beragam, sehingga membentuk


arsitektur baru sesuai dengan fungsi baru yang dibutuhkan komunitas atau masyarakat. Seba-
gai satu komunitas, manusia yang berusaha memenuhi kebutuhan sosialnya melalui perjua-
ngan identitas juga turut berdampak pada arsitekturnya. Identitas ini digunakan baik untuk
membedakan fungsi, kepemilikan komunitas, baik suku, kepercayaan hingga negara sebagai
pemenuhan rasa “bersama”

Dari proses pengaruh mempengaruhi sebelum jaman majapahit, arsitektur


vernakular(geografis) yang masih hidup, pendudukan belanda hinga menjadi negara Indone-
sia, kita bisa melihat pengaruh identitas muncul dalam arsitektur. Satu contoh menjelang
kemerdekaan, arsitek-arsitek belanda seperti wolff schoemaker dengan politik etis berusaha
mengadaptasi kondisi alam dengan mencoba teknologi bangunan modern digabungkan
dengan identitas bangunan vernakular yang telah ada, bahkan dengan sadar meletakkan iden-
titas dibangunan pada saat tersebut, seperti dikutip dibuku tegang bentang, “arsitektur occi-
dental (barat) merupakan suatu konstruksi yang bersifat totalitas, sedangkan arsitektur tradi-
sional Indonesia merupakan susunan yang subyektif, elementer, dengan mengutamakan
wajah luar terutama wajah depan”.

Perjuangan identitas berlanjut pada awal masa kemerdekaan, pemerintahan presiden


Soekarno, menggunakan gaya modern sebagai nation building. Moderninsme atau usaha
untuk membawa semangat zeitgeist, “Kesatuan Indonesia”. Keadaan ini didukung dengan
proyek-proyek pada saat itu dengan gaya internasional oleh arsitek-arsitek generasi Sujudi,
Silaban, dsb yang mendominasi arsitektur di Indonesia. Periode selanjutnya, arsitektur kemu-
dian di dikte oleh kekuasaan Presiden Soeharto untuk menciptakan Indonesia yang
“satu(generik)” dengan program-program standarisasi. Pada masa Soeharto terjadi juga jawa-
nisasi dengan menjadikan Bangunan Joglo sebagai bangunan pemerintahan/nasional. Arsitek-
tur vernakular lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, yang masih hidup dianggap sebagai
arsitektur tradisional yang sudah lewat masanya.

17
Masyarakat yang jengah dengan politik imperialisme ini, kemudian mulai menyuara-
kan kebosanan terhadap modernisme. Post-modernisme hadir karena Modernisme dianggap
tidak bisa menyuarakan keragaman dan pluralisme yang ada diseluruh indonesia.

Setiap orang melakukan dekorasi. Kita kurang lebih sepakat seakan mempertanyakan “oten-
tik”. Kini setiap orang bisa menggunakan sejarah, budaya, referensi, tema, metafora, memori,
pengalaman, sebagai metode tanpa rasa malu. Alih alih arsitektur modern yang terlalu dingin
dan mewakili imperialisme, post-modern atau melalui sebutan(teori) lainnya hadir sebagai
jawaban atas pluralisme, mewakili suara-suara keragaman. Modern yang sebelumnya men-
jadi semangat jaman baru, pemersatu, kini digantikan dengan bahasa lebih sopan, melalui
abstraksi abstraksi identitas, seringkali dalam bentuk yang lebih sederhana.

Dalam sejarah arsitektur Indonesia, modernisme tidak pernah benar benar terjadi
menjadi gerakan sama seperti di Amerika, ia hanya menjadi sebuah gaya. Begitu juga dengan
post modernisme yang alih-alih menjadi semangat pembawa keragaman atau lomba otentisi-
tas atas dorongan konsumerisme.

Tidak dapat di pungkiri, Indonesia dengan keragaman yang luar biasa membuat
masing masing baik pribadi maupun secara kelompok memerlukan identitas yang menginfor-
masikan karakter masing masing usul, tempat, dan budaya termasuk dengan praktek arsitek-
tur dan arsiteknya yang sadar/tak sadar berada dalam taktik post modern ini

Fungsi, teknologi, dan wajah arsitektur, berkembang akumulatif dengan sistem sosial
hingga politik pada zamannya. Arsitektur di Indonesia sekarang memiliki tantangan dengan
semakin terbukanya informasi lewat teknologi informasi. Arus deras informasi baik tekno-
logi, teori, visual turut serta memeriahkan praktik arsitektur di Indonesia. Arsitektur di Indo-
nesia sekarang selain memiliki dimensi sosial yang kian kompleks, juga memiliki permasala-
han menyaring informasi dan tanda tanda untuk kemudian memilih yang bisa disesuaikan ter-
hadap tempat.

Sistem sosial, politik, kepercayaan, hingga ekonomi ditambah dengan masalah masa-
lah kontemporer membuat arsitektur mengembangkan diri sesuai pemahaman bahan dan tek-
nologi pada zamannya untuk memenuhi kebutuhan fungsi dan identitas yang semakin bera-
gam dan juga terpenting adalah pembagian fungsi kegiatan melalui pemintakatan (penzoni-
ngan) area terhadap hubungan dengan tempat.

18
Namun, yang perlu di pikirkan kembali setelah masuknya pengaruh fungsi dan identi-
tas, adalah menarik kembali arsitektur ke hubungan manusia dan tempat, tempat dimana tem-
pat saya tinggal, Indonesia, yang senantiasa menjadi gambaran besar masalah tubuh dan tem-
pat adalah tropikalitas dengan sinar matahari dan curah hujan tinggi, tentang naungan.

B. Konsep naungan sebagai tanggapanmanusia terhadap kondisi lingkungan

Dengan dasar naungan, maka perlu ada pengertian kembali dari masing masing unsur.
Untuk memudahkan praktikalitas dalam desain, maka yang perlu di perhatikan dalam tiap
unsur arsitektur dasar setelah mengartikan kembali adalah mempertanyakan masalahnya
dengan alam dan hubungannya dengan tubuh manusia itu sendiri.

Perlu ada cara pembagian mintakat dari fungsi dan program, baik hasilnya tempat berupa
ruang dan massa tanpa harus mengorbankan bagaimana udara, dan cahaya tetap dapat menga-
lir dan atau menembuskan(permeable). Mintakat yang tetap mengalirkan atau dan menem-
buskan(permeable) secara berkelanjutan

 kegiatan dan fungsi apa saja yang perlu di bagi antara privat dan umum
 bagaimana menyesuikan terhadap paparan panas yang begitu besar di iklim tropis
 bagaimana pembagian mintakat pada lahan yang sempit
 bagaimana membagi mintakat sesuai privat dan umum tanpa mengorbankan kebutu-
han cahaya dan aliran udara.

Hal yang paling sulit setelah pemintakatan adalah menentukan sisi yg menjadi perhing-
gaan suatu tempat (ruang, daerah, dan sebagainya) melalui ketentuan yg tidak boleh dilam-
paui. Mengartikan ulang tentang sempadan dalam arsitektur naungan, menjadi penting untuk
menentukan cairnya dan sifat ketembusan masing-masing mintakat sebagai sikap terhadap
bayang dan aliran udara.

 apakah ada ketentuan yg tidak boleh dilampaui


 bagaimana sebuah sempadan mewujud untuk memisahkan mintakat
 bahan apa yang bisa memisah kegiatan privat dari suara, dan pandangan tetapi tetap
meresapkan udara dan cahaya agar tidak lembab?
 bagaimana menjaga suhu tiap tempat agar stabil
 bagaimana menanggulangi angin yang terlalu keras

19
 bagaimana menanggulangi paparan matahari yang panas sepanjang waktu
 bagaimana menanggulangi agar binatang yang tidak diinginkan tidak masuk ke tem-
pat kegiatan manusia

Untuk menghindari curah hujan dan panas sinar matahari langsung, maka dibutuhkan
naungan yang dapat membuat manusia tetap dapat berkegiatan tanpa terganggu. Naungan
pada awal terbentuknya adalah penyesuaian peneduh dari hal sederhana untuk dari berteduh
sekedar dibawah pohon atau memanfaatkan gua kemudian berkembang dengan membuat dan
merangkai bahan sekitar lingkungan seperti dedaunan atau kayu untuk digunakan sebagai
naungan.

Di iklim hujan tropis, kelembapan tinggi sering terjadi karena penguapan air yang
tinggi. Kelembapan tinggi menimbulkan masalah bagi penghuni karena memicu timbulnya
jamur atau bakteri penyakit yang berdampak pada tubuh manusia. Untuk mengadapatasi
sebuah hunian, maka diperlukan pemahaman bahwa ruang dibawah naungan bisa dilewati
angin agar ruangan tidak menjadi lembab.

Dalam sejarah arsitektur, naungan ini dikembangkan menjadi elemen atap dalam
bangunan. Atap naungan tropis pada awalnya adalah sebuah elemen untuk meneruskan curah
hujan yang tinggi dengan segera ke tanah. Seiring dengan perkembangan teknologi, atap
dapat mengalami transformasi dari bentang pendek ke bentang lebar yang disesuaikan dengan
fungsi kegiatan yang akan menempati di bawahnya.

Naungan, di iklim tropis yang kemudian menandakan tempat berkegiatan khusus yang dapat
dilakukan dimana ruang dibawahnya terbebas curah hujan tinggi dan sengatan terik matahari
yang langsung mengenai tubuh.

 ketika curah hujan tinggi, air diturunkan secepat cepatnya ke tanah, tetapi kesiapan
tanah untuk menyerap tidak baik.
 bagaimana atap yang besar atau luas tetapi tetap terang di ruang dalam
 bagaimana konsep naungan disusun dalam hunian tinggi
 bahan apa yang memiliki daya tahan tinggi terhadap terpaan panas dan hujan, mudah
diganti bila rusak
 Bagaimana proporsi, skala naungan terhadap tubuh

20
Setelah mengartikan kembali dan “mempertanyakan” masing-masing unsur dasar arsi-
tektur: manusia dan tempat, kemudian dicari pemecahan masalahnya secara utuh dengan
unsur solusinya baik bahan (struktur dan teknologi) dan idiom estetika tampilan yang dibu-
tuhkan bagi masing masing manusia, komunitas atau tempat itu sendiri.

Dari sekian solusi mintakat dan naungan, berikut ini adalah beberapa pendapat atas melalui
percobaan karya, melihat, hingga merasakan beberapa bangunan arsitek yang saya datangi
yang menghasilkan beberapa “cara” untuk diterjemahkan kedalam konteks kekinian untuk
mengatasi bayang dan aliran udara adalah :

 mintakat yang menembuskan (permeable) : melalui pembagian mintakat dengan


merancang ruang dan masa diantara ruang terbuka yang berorientasi menembuskan
dengan ruang terbuka, gaya hidup tropis dengan aliran udara yang baik bisa mengalir.
Dengan pengolahan mintakat yg menembuskan, maka terdapat beberapa keuntungan
yang tercipta, yaitu;
 kontrol kegiatan : membagi mintakat sesuai fungsi atau sifat seperti privat dan umum
menentukan bagaimana cairnya hubungan masing masing sifat kegiatan dengan ruang
ruang terbuka dan solusi menembuskan bagi masing-masing fungsi dan sifat kegiatan.
ruang interaktif : dalam skala mendatar(horizontal), ruang terbuka maka menyediakan
bahkan memancing bagi manusia/komunitas untuk interaksi guyub seperti di taman,
plaza, setapak, dan lain sebagainya..
 skala ketinggian : dalam bangunan tinggi masalah kepadatan menjadi penting, tetapi
perlu ada solusi dalam skala bangunan agar tetap dalam skala manusia sehingga perlu
dibagi sehingga memiliki satu ruang terbuka dalam skala vertikal. Dalam beberapa
kasus membuat mintakat melayang memberikan efek menembuskan secara trimatra
baik mendatar ataupun meninggi.
 lansekap bagian dari arsitektur : pohon besar dan rindang adalah unsur baik untuk
menaungi panas dan hujan lewat daun dan ranting rantingnya. Menggunakan pohon
berarti juga menurunkan suhu lewat bayangnya bagi tubuh, dan menyejukkan bagi
mata. Pohon juga sekaligus menyediakan skala manusia, sehingga dalam skala kota,
skala dan garis langit buatan manusia yang kadang terlalu tinggi, menyilaukan, dan
membosankan direduksi dengan kehadiran pohon. landsekap seperti tanaman rambat
atau pohon berfungsi tidak saja meneduhkan bangunan tetapi menjadi pilihan lain
membagi mintakat secara umum dan privat.

21
 payung peneduh : pohon berhasil dalam kondisi tropis memberikan naungan yang
teduh, sama seperti halnya teritisan atap miring yang melindungi curah hujan tinggi,
tetapi juga melindungi panas langsung ke dinding atau jendela langsung. Selain panas
ke atap, sebagian besar panas matahari juga mengenai dinding dan ruang dalam. perlu
ada payung payung peneduh yang bisa mengurangi panas ini yg meneduhkan baik
melalui bayangan dan keporian tanpa mengorbankan pandangan.
 berpori : seperti dalam bangunan vernakular(geografis) tropis, banyak material pemi-
sah ruang privat menggunakan kayu, bambu dan ijuk yang memberikan angin sejuk
mengalir dari ruang ke ruang. Melalui kreativitas pola dan jenis bahan, konsep berpori
bisa menjadi alternatif penghawaan alami sekaligus memisahkan privat dan umum.

Hidup dengan gaya konsumerisme kini dinilai dengan uang/produksi. Sukses dinilai
dengan kecepatan. Begitu halnya dengan teknologi media informasi, berlomba lomba menya-
jikan kecepatan dan keseketikaan informasi. Kecepatan memberikan kepuasan.

Dunia yang datar karena teknologi informasi ini, kemudian di pakai sebagai jejaring
informasi-seketika tentang arsitektur. Informasi bertebaran dengan tanda-tandanya. Jejaring
informasi kemudian digunakan arsitek meluaskan fungsinya sebagai; tempat diskusi, kritik,
tempat promosi, propaganda, dan lain sebagainya. Informasi dan tanda bertebaran dalam
keseketikaan.

dalam kecepatan dan budaya konsumerisme, kita dituntut untuk terus berproduksi.
Praktikalitas ditantang dengan arus permukaan untuk di bangun. “Membaca” adalah kemewa-
han bagi yang berpraktek. “Membangun” adalah kemewahan bagi akademisi. Tidak ada yang
sempurna, pandangan/teori ideal dan praktek ideal. Praktek menemukan masalah realitas
tumpang tindih yang tidak tertulis dalam teori dan butuh solusi praktis. Dan teori menemukan
masalah yang begitu kompleks, terus berubah dan tidak ada yang sempurna menyelesaikan
satu hal.

Arsitektur melalui permainan tanda dan makna ini seringkali mengandung unsur dis-
torsi yang menyesatkan antara fungsi, makna dan nilainya sehingga dapat menggiring publik
ke tingkah laku yang menyimpang. Arsitektur kemudian memiliki pesona yang sesungguhnya
tidak ada. Arsitektur menjadi hiperrealitas komunikasi, kepalsuan menjadi kebenaran, isu
menjadi sebuah informasi.

22
Tanda dan kandungan informasi yang terjadi dalam arsitektur sekarang perlu di telaah
secara kritis. Penilaian arsitektur yang kian terbagi “orisinil atau tidak” “bagus jelek” perlu di
pahami terbagi dalam dua kutub subyektif dan obyektif. Aspek obyektif berkaitan dengan
pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi proses pengembangan arsitektur, seperti
teknologi, teknik, material, konvensi, dan kode bahasa. Sedangkan aspek subyektif berkaitan
dengan kemampuan daya kreatif yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideo-
logi atau ketidaksadaran arsitek.

23
BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan
Arsitektur adalah penyeimbang dan pengatur antara keindahan/estetika
(venusitas), kekuatan (firmitas), kegunaan/fungsi (utilitas), dimana semua aspek
memiliki porsi yang sama sehingga tidak boleh ada satu unsur yang melebihi unsur
lainnya. Dalam definisi modern, arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi,
estetika, dan psikologis. Namun, dapat dikatakan pula bahwa unsur fungsi itu sendiri
di dalamnya sudah mencakup baik unsur estetika maupun psikologis.

naungan adalah salah satu cara memahami secara obyektif dalam mencoba
memecahkan masalah tubuh dan tempat yang saya harapkan bisa secara radikal
(mengakar) terhadap dominasi masalah tempat di Indonesia yaitu iklim tropis basah.
Masih ada masalah berikutnya yang masih memerlukan kajian dalam perjalanan saya
sebagai arsitek, namun bisa kita jawab bersama-sama dengan payung arsitektur nau-
ngan, yaitu;
 meningkatnya jumlah penduduk dan arus urbanisasi, manusia kini mendominasi kota.
Kota dengan batas luasnya yang terbatas kini menghadapi masalah karena jumlah
manusia yang harus di atur, bagaimana arsitektur naungan melalui bahan dan tekno-
logi dapat berperan dalam kepadatan tinggi bisa menjadi pemecahan masalah terma-
suk turunannya seperti sosial budaya politik dan lain sebagainya.
 Tingkat keberhasilan arsitektur naungan dengan pemecahan subyektif melalui hibu-
ran, kreatif dan estetik yang dilakukan dilapangan dengan analisa rencana dan keber-
hasilannya baik meliputi metoda detail, skala, proporsi dan lain sebagainya.
 Bahan(material) dan teknologi apa yang bisa kita ciptakan sebagai jawaban akumula-
tif dari arsitektur naungan sesuai unsur-unsur di atas.
 Mengingat belum meratanya pembangunan di Indonesia, arsitektur yang bisa men-
jangkau semua kalangan termasuk ekonomi rendah perlu dipikirkan sebagai tanggung
jawab bersama.
 Bagaimana mengaitkan hubungan arsitektur naungan sebagai kesatuan utuh, sebagai
cara manusia menghuni melalui hubungannya dengan tempat-manusia dan liyan.

24
Memang, arsitektur naungan tanpa pemahaman yang dalam akan dianggap
sekedar arsitektur atap sebagai solusi arsitektur tropis dan kemudian terjebak dalam
perlombaan menganyam wajah. Pada akhirnya, Arsitek sebaiknya mendahulukan
penyelesaian masalah objektif(yang membatasi proses), meningkatkan pengetahuan
obyektif dan mengurangi pengetahuan palsu (pseudo knowledge) melalui hubungan
manusia dan tempat dan masalah lainnya tanpa mengurangi unsur subyektif seperti
hiburan, kreativitas dan estetika. Arsitektur perlu dikritisi sehingga berbagai bentuk
salah persepsi dapat di hindarkan, lalu membagi kritik secara luas dampak arsitektur
sebagai pendidikan ke masyarakat, dibanding berkutat pada “meniscayakan (sekedar)
Tampilan yang meng-Indonesia” yang seringkali terjebak dalam politik identitas.
B. Saran
Saya sebagai mahasiswa baru arsitektur kepada mahasiswa arsitektur lainna di seluruh
indonesi, marilah kita mencintai arsitektur dan bekerja keras karna dengan mencintai
arsitektur masalah dan tantangan yang akan kita hadapi dalam mempelajari dunia
arsitektur selalu bisa di atasi dengan kecintaan kita terhadap dunia arsitektur,
jadikanlah tugas tugas yang di berikan dosen kepada kami mahasiswa sebgai hobi,
agar mengerjakannya dengan penuh rasa senang dan gembira

25
DAFTAR PUSTAKA

http://rumah-yusing.blogspot.co.id/2010/07/arsitektur-nusantara-arsitektur-naungan.html

http://www.itchcreature.com/2013/04/03/arsitektur-naungan/

http://archipeddy.com/ess/term_ars.html

http://juned-4rch.blogspot.co.id/2013/06/materi-mk-pengantar-arsitektur-2.html

http://sejarahars.blogspot.co.id/

https://azenismail.wordpress.com/2010/05/14/manusia-sebagai-makhluk-individu-dan-makhluk-
sosial/

https://id.scribd.com/doc/288435313/MANUSIA-SEBAGAI-SALAH-SATU-FAKTOR-YANG-
MENENTUKAN-KONDISI-LINGKUNGAN-HIDUP

26

Anda mungkin juga menyukai