Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TEKNIK ARSITEK MATA KULIAH

FIQH DAN USHUL FIQH

Dosen : Dr. Andri Nirwana A.N., M.Ag.

DISUSUN OLEH:

SAFIRA (170701073)

LISA PERMATA SARI (170701008)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI JURUSAN TEKHNIK ARSITEKTUR

UIN AR-RANIRY BANDA ACEH

2018/2019
ALIRAN-ALIRAN MAZHAB FIQH

1. Aliran Asy’ariyah
Al-Asy’ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. Asy’ari sempat
berguru pada guru Mu’tazilah terkenal, yaitu al-Jubba’i, namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mu’tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian
dikenal sebagai Asy’ariah. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-
pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah “Sang hujatul Islam” Imam Al-
Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.

Perbedaan asy’ariah dengan ahlussunnah


Orang-orang Asy’ariy percaya bahwa imaan dalam hati dan statis dalam hati, mereka tidak
percaya bahwa kita bisa menjadi kafir setelah menjadi Muslim.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah percaya bahwa imaan adalah perkataan dan perbuatan serta
niyyah (di dalam hati), juga bertambah dan berkurang, Ibnu Taimiyyah berkata, “Iman adalah
perkataan dan perbuatan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dalam hati.”1

Salah satu kesalahan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah bahwa mereka membedakan
antara iman dari perbuatan. Nabi SAW. menjelaskan sebagaimana yang diriwayatkan oleh
‘Umar Ibnu Khattab sebagaimana Nabi SAW. berbicara kepada Jibril a.s. bahwa, “Islam adalah
mengucapkan “laa ilaaha illaLlah”, melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa ramadhan
dan menunaikan haji…,” dan dia berkata dalam hadits yang sama bahwa “Imaan adalah
beriman kepada Allah, kitabNya dan Rasulnya…”
Karena hadits ini, orang-orang Asy’ariy membedakan Islam dan Imaan, membedakannya
dan mereka mempelajari masalah-masalah perbuatan dalam konteks (masuk dalam
pembahasan) Syari’ah dan belajar masalah-masalah iman dalam pembahasan atau konteks
aqidah.
Pada Aqidah mereka mengatakan bahwa itu adalah apa yang ditegaskan (tasdiq) dan
berdasarkan hanya pada dalil yang qhat’i bukan zhanni, walaupun mereka mengambil dalil
zanni untuk masalah syari’ah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mempunyai talazum (penyatuan)
antara aqidah dan syari’ah. Selanjutnya, pada aqidah, asy’ariyyah percaya bahwa tidak ada

1
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, 2001), h. 104.
taqlid dalam aqidah, tetapi taqlid hanya ada pada syari’ah. Mereka mengatakan bahwa aqidah
harus berdasarkan pada pendirian setiap individu. Ini adalah perkataan imam Al-Maturidiy.
Ahlus Sunnah percaya dalam ittba’, mengikuti kehidupan Ulama, Allah SWT berfirman,
“Bertanyalah kepada Ahluz zikr jika kamu tidak tahu.”

2. Aliran Jabariyah
1) Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian
memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.
Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak
manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh
yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin
Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum
agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi
yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata
dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman,
tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara.

2) Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok,
yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya
adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan
neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat.
Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam
pengertianya adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan
konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan
Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga
dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja’ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran
adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah,
tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak
dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan
perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik
dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak
pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya)
pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pihak.

3. Aliran Qadariyah
1) Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-
perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa
manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia
mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-
Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W.
Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah
terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-
Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan
selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.

2) Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik
atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh
hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan
balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat,
itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat
pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,
sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang
mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan
seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
4. Aliran Mu’tazilah
1) Pengertian Mu’tazilah.
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yang berarti memisahkan atau
menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang
sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia
menambahkan satu arti yaitu mengusir. Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna
washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua
menunjukkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah
hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga
gurunya wafat.
Setelah kita mempelajari mu’tazilah, sejarah dan ajarannya kita akan melihat bahwa
sebagian besar sejarawan setuju berbagai hal tentang mu’tazilah
a. Mu’tazilah adalah aliran kalam.
b. Dipimpin oleh Washil bin Atho pada awalnya.
c. Lahir pada masa Daulah Bani umayyah.
d. Mempunyai lima ajaran dasar.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa mu’tazilah adalah aliran teologi yang muncul pada
masa Bani Umyyah berkisar antara 115-110 H, dipimpin oleh Washil bin Atho. Yang
menganut lima ajaran dasar.

2) Sejarah Kelahiran
Telah disebutkan diatas bahwa pertikaian politik telah meningkat menjadi masalah
teologi yang seterusnya sejarawan mencatat lahirnya golongan khawarij. Golongan ini
membahas tenang perbuatan ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang bersama mereka.
Mereka menganggap bahwa Ali dan pengikutnya, juga Mu’awiyah dan pengikutnya
adalah kafir karena telah melakukan dosa besar masalah dosa besar inilah yangmenjadi
puncak rangsangan terhadap lahirnya mu’tazilah.
Di Bashrah, pada akhir abad I H, dikenal seorang ulama besar bernama Hasan Bashri
(w 110 H). ia mempunyai murid bernama Washil bin Atho (80-131 H). Pada suatu hari
seorang bernama Qradah bin Da’mah datang kepengajian Hasan dan bertanya” wahai
pemimpin agama pada saat ini telah ada golongan yang mengkafirkan pendosa besar yaitu
waidiyah khawarij, juga ada golongan yang menangguhkan huku atas pendosa besar dan
menganggap dosa besar tidak berpengaruh terhadap iman, yaitu murji’ah. Bagaimana kami
beri’tiqad?”Hasan terdiam sejenak untuk memikirkan jawabannya, pada saat itulah Washil
mengutarakn jawabannya “ aku tidak mengatakan pendosa besar sebagai mu’min tidak
juga sebagai kafir secara mutlak tapi ia berposisi diantara keduanya”. Dalam penuturan
As-Syahrastani, kemudian Washil bangkit dan meninggalkan pengjian itu, ia pergi ke salah
satu sidit masjid dan menegaskan jawabannya. Melihat ini Hasanpun berkata “ washil telah
memisahkan diri dari kita”.
Adapun menurut Al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun nsution, bahwa Washil
sebenarnya diusir oleh gurunya. Pendapat ini juga didukung oleh Ali Musthafa. Harun
melanjutkan sebenarnya telah terjadi perselisihan faham antara keduanya sebelum
kejadian itu, salah satu masalahnya dalah mengenai qadar. Masalah dosa besar hanyalah
puncak perselisihan pendapat antara keduanya hingga Washil meniggalkan pengajian
Hasan Bashri. Memahami bahwa Washil diusir oleh gurunya adalah hal yang sangat logis
pada saat itu, karena seorang murid tidak boleh boleh mendahului dan menentang pendapat
gurunya.
Setelah kejadian itu nama Mu’tazilah menjadi terkenal di Bashrah, pendapat ini adalah
pendapat paling popular dikalangan sejarawan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan
bahwa ketika Qatadah dating ke masjid washil dan amr bin ubaid telah memisahkan diri
dari gurunya. Qatadah dating dan menghampiri salah satu pengajian disudut masjid. Ketika
ia mengetahui itu bukanlah pengajian Hasan iapun pergi dan berkata” ini adalah golongan
Mu’tazila (yang memisahkan diri)”. Pendapat ini diajukan oleh Taszy Zadah Al-Kubro.
Sedangkan Ahmad Amin berpendapat bahwa mu’tazilahtelah ada sejak masa Utsman bin
Affan.

3) Ajaran Mu’tazilah.
Mu’tazilah meletakkan seluruh ajaran mereka pada lima sendi dasar yaitu:

At-Tauhid
Seluruh mu’min memang harus mengesakan tuhan, tapi mu’tazilah karena kegigihan
mereka dalam mempertahankan teori ini, dan juga karena mereka meniadakan sifat tuhan,
sifat adalah dzatnya sendiri. Akhirnya mereka menjadikan tauhid sebagai dasar pertama.
Pengesaan menurut ilmu kalam adalah pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah itu esa
tidak ada satupun yang menyamainya, pengetahuannya, kekuasaanya. Maka pengetahuan
dan pengakuan menurut mu’tazilah adalah dua rukun tauhid. Maka orang yang
meniggalkan salah satunya tidak bisa dikatakan muwahhid. Ruang lingkup pembahasan
tauhid ini ada lima: a] cara mengetahui tuhan, b] sifat wajib bagi tuhan, c] sifat mustahil
bagiNya, d] sifat jaiz, e] tidak ada yang menyamainya. Cara mengetahui tuhan adalah
dengan akal, meskipun terdapat petunjuk lain seperti al-qur’an dan hadist tapi akallah cara
pertama untuk mengetahui tuhan. Karena al-qur’an maupun hadist hanya diberikan kepada
orang yang berakal. Hal pertama yang harus dilakukan untuk mengenal tuhan adalah
penalaran, dan itu adalah kerja akal. Dan tuhan tidak akan memberikan khitabnya kecuali
kepada orang yang berakal.Al-qur’an dijadikan dalil setelah diyakini kebenaranyya
sebagai kalam Ilahi. Akal adalah anugerah tuhan yang harus dijaga dan dipergunakan.
Adapun soal sifat. Tuhan mempunyai dua sifat, yaitu : Sifat dzat, konsep utama dalam
hal ini adalah tidak ada sifat qadim bagi tuhan, karena kalau ada yang qadim maka akan
ada dua yang qadim. Sifat tuhan tidak lain adalah esensinya, sifat adalah dzatnya dan zat
adalah sifatnya. Menafikan siat tuhan bukan berarti tidak meyakini adanya sifat bagi tuhan
tapi sifat itu adalah dzatnya. Agaknya pengertian ahwal lebih rasional, bahwa memberikan
sifat yang qadim bagi tuhan bukan berarti mentapkan adanya yang qadim selain dzatnya,
tetapi sifat tuhan itu adalah keadaanya dan keadaan itu tidak akan ada jikalu dzatnya tidak
ada, dan dzat tidak akan ada kalau keadaan tidak ada. Dengan begitu bisa difahami sifat
itu qadim dengan qadimnya tuhan. Sifat dzat yang wajib bagi tuhan adalah maha tahu,
maha maha kuasa, maha hidup, maha ada dan maha kekal. Kedua adalah sifat perbuatan:
sifat ini adalah baharu karena sifat ini mendatang pada dzatnya. Dari sekian banyak sifat
yang ada dalam al-qur’an selain lima sifat dzat diatas adalah siat perbuatan dan baharu.
Seperti adil, berkendak, kalam dan lainnya.
Sifat iradah artinya allah berkehendak dengan kehendak yang baharu, kehendak yang
tidak bertempat seperti kehendak manusia yang berada di hati, ia berkehendak bukan
karena dzatnya bukan pula dengan kehendaknya yang kekal. Jikalau ada penetapan bagi
sifat tuhan tentu ada pebafian terhadap sifat yang lain, baik siafat perbuatan ataupun sifat
dzat, seperti lemah, bodoh dan lain-lain. Wahid mempunyai dua arti yaitu sesuatu yang
tunggal dtidak terpilah kepada bagian-bagian. Dan sesuatu yang mempunyai sifat dan tidak
ada yang dapat menyerupainya. Allah dengan sifatnya tidak sama dengan sifat manusia
atau siapapun. Allah maha melihat tidak sama dengan melihatnya manusia. Makanya ayat
musytabihat yang memungkinkan adanya anggapan kesamaannya dengan makhluknya
harus diakwilkan.
Al-Adlu

Seperti yang kami tuliskan diatas sifat ini adalah sifat perbuatan. Kata adil ini bisa
menyifati pelaku yang berarti tuhan maha adil, ia tidak akan berbuat buruk. Dan bisa juga
menyifati perbuatan tuhan itu sendiri yang berearti pemberian hak-hak seseorang sesuai
dengan perbuatannya. Keadilan tuhan berarti:

a) Maha suci dari segala bentuk kejahatan atau hal-hal buruk lainnya, segala
perbuatannya adalah baik.
b) Ia pasti melaksanakan segal janji dan ancamannya.
c) Ia tidak akan memberikan taklif diluar batas kemampuan manusia.

Allah tidak menciptakan kesesatan dan keimanan, teapi manusia dengan akalnya bisa
mengenal tuhan. Dalam hal ini juga manusia bebas menetukan pilihannya tanpa terikat
dengan kemauan Allah, karena jikalau ia menciptakan iman dan inkar tentulah ia sendiri
yang harus bertanggung jawab atas inkar dan iman tersebut. Karena mengazab orang yang
terpaksa bersalah lebih kejam daripada mengazab orang karena kesalahan orang lain itu.
Faham ini sangat erat kaitannya dengan dasar selanjutnya yaitu al-wa’du wal waid. Karena
allah adil maka ia akan meminta pertanggung jawaban masing-masing.

Al-Wa’du wal Waid

Karena ia adil ia memberikan taklif sebatas kemampuan manusia, akrena ia adil ia


memberikan pahal dan dosa bagi yang berhak. Karena allah adil janji dan ancamannya
akan terwujud. Manusia yang berbuat baik akan mendapatkan wa’dunya sedangkan yang
berbuat ingkar akan mendapat waidnya. Dengan begitu tidak akan ada syafaat pada hari
hisab.

Al-Manzilah bayna Manzilatain

Pendosa besar adalah fasiq tidak mu’min juga tidak kafir juga tidak mukmin ia berposisi
diantara keduanya. Sedangkan nasibnya di akhirat adalah tergantung apakah ia bertobat
atau tidak sebelum mati. Dosa besar adalah segala yangterdapat ancamannya dalam al-
quran, seperti qadzaf, zina, membunuh dan lainnya. Konsep utama dari dosa besar adalah
menyalahi aturan akal juga menyalahi aturan agama. Selain yang disebutkan hukumannya
secara jelas oleh al-quran maka termasuk dosa kecil. Bagaimanakah awal mula al-
manzilah bayna manzilatain ini? Dalam ayat qadzaf disebutkan bahwa mereka adalah
orang yang fasiq, tapi tidak dijelaskan apakah ia keluar dari iman atau tidak, sedangkan
para muslim berbeda pendapat apakah pendosa besar keluar dari iman atau tidak, dan
mereka setuju bahwa pendosa besar adalah fajir dan fasiq. Di dalam ayat lain disebutkan”
dan perangilah ahli-ahli ktab yang tidak beriman kepada allah dan kepada hari akhir, dan
tidak mengharamakan apa yang diharamkan oleh allah dan rasulnya. Juga tidak memeluk
agama yang haq [at-taubah : 29] Dan hadist nabi” seorang muslim tidak mewarisi orang
yang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim” Sedangkan pendosa besar tidak
temasuk dalam kriteriua diatas. Sedangkan munafik hukumnya, apabila ia tidak
memperlihatkan kenifaqannya maka ia tetap dianggap mu’min tapi apabila ia
memperlihatkannya ia disuruh bertobat atau dibunuh.

Adapun mu’min dalam al-qur’an adalah” allah menjadi wali bagi orang-oang yang
beriman [al-baqarah: 257]. Dalam ayat lain” dan berilah kabar gembira bagi orang-orang
yang beriman bahwa mereka akan mendapatkan keutamaan yang besar dari sisi allah [ali
imran: 28] Sedangkan pendosa besar dalam al-qur’an adalah “ ingatlah allah akan
melaknat orang-orang yang dzalim (hud :18 ).Berati pendosa besar tidaklah mu’min tidak
juga kafir, tapi fasiq dan fajir sesuai dengan kesepakatan orang muslim dan kehendak allah.

Al-Amr bil Ma’ruf dan Nahy an Munkar

Yaitu memerintahkan atau menganjurkan untuk berbuat kebaikan dan melarang dari
perbuatan yang munkar, ajaran ini lebih berkaitan kepada amalan lahir seorang mukmin
daripada lapangan ketauhidan.

Allah menyuruh kaum muslimin untuk menyeru kepada kebaikan, menyiarkan agama
dan memberikan petunjuk kepada yang sesat. Mu’tazilah dikenal alah satu yang giat dalam
mengamalakan ajaran yang kelima ini.

Iman tidak telepas dari perbuatan baik. Iman sesungguhnya adalah yang tercermin
dalam perbuatan baik, mereka yang berbuat jelek akan masuk neraka kecuali jikalau
bertobat.2

2
Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, 2001), h. 101.
MAZHAB-MAZHAB HUKUM ISLAM

1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini muncul di Kufah (Irak) dan diimami oleh Abu Hanifah (80-150/699-767),
seorang ahli hukum terkemuka kelahiran kota tersebut. Mazhab ini pada awal
perkembangannya mengembangkan ajaran hukum yang berorientasi rasional sehingga disebut
fiqhur-ra’yi dan para pendukung mazhab ini dikenal sebagai Ahlur ra’yi (kaum rasionalis). Hal
ini karena mereka banyak menggunakan dalil qiyas dan istihsan. Bahkan dalam mazhab ini
dinyatakan bahwa apabila hadis ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang bukan ahli fikih
bertentangan dengan qiyas, maka hadis tersebut ditolak dan didahulukan oleh qiyas.3
Mazhab Hanafi mendapat kesempatan berkembang luas sejak awal kelahirannya, karena
Abu Yusuf (w. 182/798), murid Abu Hanifah, diangkat menjadi Hakim Agung Kerajaan
Abasiyah. Pada masa Kerajaan Turki Usmani di zaman pertengahan hingga zaman modern,
mazhab ini dijadikan mazhab resmi kerajaan. Ketika Kerajaan Turki Usmani melakukan
modernisasi hukum pada Periode Tanzimat (1839-1880) dengan mengodifikasi sejumlah
bidang hukum, kodifikasi untuk hukum perdata materinya diambil sepenuhnya dari hukum
islam mazhab Hanafi. Sejak itu, mazhab ini menguasai perundang-undangan di sejumlah
negara di Timur tengah. Pada masa kini, mazhab ini dianut oleh masyarakat Muskim di banyak
negara Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tengah.4

2. Mazhab Maliki
Mazhab ini lahir di Madinah, dan dihubungkan kepada ulama terkenal Imam Malik (93-
179/711-795) yang lahir dan meninggal di kota Rasul tersebut. Di samping sebagai ahli hukum,
pendiri dan imam mazhab Maliki, ia juga dikenal sebagai ahli hadis. Karyanya yang terkenal
dan masih langgeng hingga sekarang berjudul al-Muwaththa’. Sumber hukum mazhab Maliki
adalah seperti mazhab lainnya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijmak dan Qiyas. Di
samping itu, Imam Malik dikenal banyak menggunakan prinsip maslahat dalam fatwa-
fatwanya, sehingga ia hamper identik dengan maslahat, dan maslahat hamper identik dengan

3
Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 25.
4
Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 26.
dirinya, dan fikih yang dikembangkan dalam mazhabnya disebut sebagai fiqh al-mashlahah.
Dalam mazhab ini juga dikenal ijmak ahli hukum Madinah sebagai salah satu sumber hukum.5
Mazhab Maliki banyak berkembang di kawasan Afrika Utara di negara-negara seperti
Maroko, Aljazair, Tunis, Libia dan juga Spanyol temp dulu. Selain itu juga berkembang di
daratan tinggi Mesir, Sudan, Bahrain dan Kuwait. Kaidah-kaidah hukum mazhab maliki
banyak terserap ke dalam peraturan perundangan negara-negara di Afrika Utara.

3. Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dihubungkan kepada Imam Asy-Syafi’i (150-204/767-820). Ia lahir di Gazza,
Palestina, kemudian pada masa kecilnya dibawa ke Mekkah, dan pada tahun 170/787 belajar
kepada Imam Malik sampai meninggalnya sang imam tahun 179/785. Ia banyak melakukan
perjalanan ke berbagai nigari Islam untuk belajar. Ia juga beberapa kali mengunjungi Bagdad
dan belajar kepada murid-murid Abu Hanifah. Pada tahun 199/815, ia pergi ke Mesir (Kairo)
dan menetap di sana hingga wafat tahun 204/820.
Ia menghasilkan sejumlah karya yang dapat dibaca hingga sekarang seperti ar-risalah
(tentang karya teori hukum islam), al-umm, ikhtilaf al-hadis, dan lain-lain. Imam asy-syafi’i
dikenal mempunyai dua mazhab (Kaul) : mazhab kadim, yaitu pendapat-pendapat hukumnya
ketika ia belum pindah ke Mesir, dan Qaul (mazhab) jaded, yaitu hukumnya setelah menetap
di Mesir.6
Sumber-sumber hukum dalam mazhab syafi’i meliputi Al-Qur’an, Hadis, Ijmak, dan
Yordania, juga sebagian Syria dan Libanon khususnya kota Beirut, juga sebagian Irak, Hijaz,
Asia Selatan dan masyarakat di Asia Tenggara.

4. Mazhab Hambali
Mazhab ini dihubungkan kepada tokoh Ahmad Ibn Hanbal, lahir di Bagdad tahun 164/780
dan meninggal dikota yang sama tahun 241/853. Seperti Imam Malik, Ahmad di samping
sebagai ahli hukum dan imam sebuah mazhab fikih, juga seorang ahli hadis terkenal dengan
kitab himpunan hadisnya al-musnad.7

5
Prof. Dr. Syamsul Answar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 26.
6
Prof. Dr. Syamsul Answar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 27.
7
Prof. Dr. Syamsul Answar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 28.
Sumber hukum dalam mazhab hambali ada lima, yaitu:
1) Nas-nas syariah (teks-teks Al-Qur’an dan Hadis)
2) Fatwa sahabat “yang tidak diketahui adanya pendapat lain yang menolaknya”
maksudnya fatwa yang disepakati sekalipun secara diam-diam
3) Fatwa sahabat yang diperselisihkan dengan cara dipilih fatwa yang dinilai paling dekat
kepada Al-Qur’an dan Hadis
4) Hadis mursal dan hadis daif yang kedaifannya bukan karena palsu atau rawinya
tertuduh dusta
5) Qiyas, yang digunakan “dalam keadaan darurat”, artinya digunakan bilamana dalil-dalil
yang lain memang tidak ada.

Mengenai Ijmak, dalam mazhab Hambali pada dasarnya tidak dijadikan dasar hukum,
kecuali apabila berupa Ijmak Sahabat.
Apabila fikih Hanafi dicirikan oleh fiqh ar-ra’yi dan fikih Maliki dicirikan dengan fiqh al-
mashlahah, maka fikih Hambali disebut sebagai fiqh as-sunnah, yaitu lebih banyak didasarkan
kepada tradisi, khususnya tradisi Nabi SAW. Oleh karena itu, dalam mazhab ini hadis daif
lebih diunggulkan daripada qiyas.8
Mazhab Hambali boleh dikatakan kurang luas perkembangannya dibandingkan dengan
tiga mazhab terdahulu. Mula-mula berkembang di Bagdad dan Irak, kemudian di Mesir, namun
pada zaman sekarang menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi Arabia. Selain itu terdapat juga
pengikutnya di Palestina, Syria dan beberapa tempat lain.

5. Mazhab Az-zhahiri

Mazhab Az-zhahiri adalah salah satu diantara mazhab fiqih kalangan ahlusunnah wal
jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun
202 Hdi Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat
menjadi Daud Az-Zhahiri.

Beliau banyak menghafal hadits-hadits dan seorang faqih mujtahid atas sebuah mazhab
yang berdiri sendiri di luar mazhab empat yang terkenal setelah sebelumnya beliau menjadi
mengikut mazhab Asy-Syafi’iyah. Selain itu ada tokoh yang tidak kalah terkenal dalam

8
Prof. Dr. Syamsul Answar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 28.
mazhab ini yaitu Abu Muhammad Ali bin Said Ibnu Hazm Al-Andalusi (384 –456 H) atau
sering disingkat menjadi Ibnu Hazm. Mazhab ini memiliki kitab pegangan yang cukup
populeer di kalangan ahli fiqih yaitu Al-Muhalla dalam masalah fiqih dan kitab Al-Ihkam fi
Ushulil Ahkam dalam masalah ushul fiqih.

Asas dari mazhab ini adalah mengamalkan nash zahir dari Al-Quran Al-Karim dan
Sunnah selama tidak ada dalil yang menunjukkan kepada makna lain selain yang zahir.
Sedangkan ketika tidak ada nash, mereka akan merujuk kepada ijma, termasuk
ijma shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma, biasanya mereka menggunakan
metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah / boleh. Mereka menolak
metode qiyas, istihsan, zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bil ijtihad. Menurut mereka
semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Mereka juga menolak dalil taqlid.

Diantara contoh hasil fiqih mazhab ini adalah bahwa haramnya emas dan perak itu
sebatas bisa digunakan sebagai wadah minuman saja, sedangkan bila digunakan untuk
perhiasan laki-laki, tidak haram. Bahwa riba yang diharamkan itu terbatas pada jenis
makanan yang enam saja. Bahwa shalat Jumat dikerjakan hanya pada masjid yang besar saja.
Bahwa istri yang kaya punya kewajiban memberi nafkah kepada suami yang miskin.

6. Mazhab-mazhab yang Telah Lenyap


Di samping empat mazhab hukum sunni di atas, masih terdapat banyak mazhab sunni
lainnya, akan tetapi telah lenyap dalam sejarah, seperti mazhab Ibnu Syubrumah (w…),
mazhab Ats-Zauri (w. 161/778), mazhab Ats-Thabari (w. 310/923), mazhab Dzahiri, dan lain-
lain. Mazhab terakhir ini, meskipun sekarang sudah tidak lagi mempunyai pengikut, namun
pemikirannya masih tetap dipelajari dan diikuti sebagian. Mazhab ini didirikan oleh Dawud
Adz-Dzahiri (w. 270/883). Pemikiran mazhab ini diabadikan melalui karya-karya Ibn Hazm
(w. 456/1062) dari Spanyol seperti al-Muhalla dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.9

9
Prof. Dr. Syamsul Answar, M.A., Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta, 2007), h. 29.
DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah,
2002)

an-Nasyar, Ali Syami, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1977)

Tim, Enseklopedi Islam, “Jabariyah” (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi’i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah,
Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting:
Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).

Anda mungkin juga menyukai