Anda di halaman 1dari 2

6.

Hubungan Industrial dan PHK


Ketenagakerjaan adalah unsur yang memegang peran dan kedudukan yang sangat penting
sebagai pelaku dan tujuan pembangunan baik di Indonesia maupun dibelahan dunia mana
pun. Sehingga sangat diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta meningkatkan perlindungan tenaga
kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Dalam dunia ketenagakerjaan terdapat lembaga kerja sama yang disebut sebagai Hubungan
Industrial sebagaimana yang termuat dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pasal 1 ayat (16) yaitu :“Hubungan Industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur Pengusaha, Pekerja/Buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.

Maka secara sederhana dalam setiap perusahaan senantiasa berlangsung hubungan di antara
Perusahaan (Pengusaha) dengan karyawan (pekerja/buruh), yang baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama bertugas menangani faktor-faktor produksi lainnya, kedua pihak
sama-sama terlibat langsung dalam proses produksi pembuatan barang dan jasa.
Ada beberapa bentuk lembaga kerjasama dalam hukum ketenagakerjaan yang diharapkan
dapat membela kepentingan buruh/pekerja, yaitu
a. Lembaga kerjasama Bipartit, merupakan suatu sistem komunikasi yang berguna untuk
melancarkan sistem komunikasi dua arah antara bawahan dengan atasan, antara karyawan
dengan pengusaha.
1. Fungsinya sebagai media untuk saling berbagi dan saling mendengarkan aspirasi dari
masing-masing pihak khususnya untuk mempertemukan dua kepentingan antara
kepentingan bawahan dan atasan atau karyawan dan pengusaha.
2. Lembaga kerjasama bipartit wajib dibentuk oleh setiap perusahaan yang
mempekerjakan 50 orang pekerja/buruh atau lebih. Hal ini diatur dalam pasal 106 ayat 1
UU No. 13 Tahun 2003.
3. Susunan keanggotaan lembaga kerjasama bipartit terdiri dari:
· Unsur Pengusaha
· Unsur Pekerja/Buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk
mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
4. Penyelesaian Perselisihan di Tingkat Perusahaan (Bipartit), adalah adanya perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja atau serikat pekerja, karena adanya perselisihan yang menyangkut
mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja,
serta perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial wajib dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat,
sebagaimana diatur dalam pasal 136 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003.
b. Lembaga kerjasama Tripartit
1. Pengertian Lembaga Kerjasama Tripartit
Lembaga kerjasama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan pemerintah. Dalam lembaga kerjasama Tripartit, Pemerintah
mempunyai peran dalam menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan dan melaksanakan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-
undangan ketenagakerjaan.
Selain pemerintah, Pekerja/buruh dan juga serikat pekerja/buruh dalam hubungan industrial
berfungsi: menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, meyalurkan aspirasi secara demokratis, memajukan perusahaan,
memperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Pengusaha dalam hubungan industrial berfungsi: menciptakan kemitraan, mengembangkan
usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara
terbuka demokratis dan berkeadilan.
2. Struktur Lembaga kerjasama tripartit berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 terdiri
atas:
· Lembaga kerja sama tripartit nasional, provinsi dan kabupaten/ kota;
· Lembaga kerja sama tripartit sektoral nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
c. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Para pihak yang berselisih mengenai hubungan industrial sebaiknya mengedepankan
perdamaian ketimbang membawa langsung perkara mereka ke Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). Dari sisi PHI, mekanisme perdamaian akan menurunkan
beban pengadilan, yakni beban kerja maupun biaya perkara yang harus ditanggung negara.
Bagi para pihak, penyelesaian yang cepat dan tak berlarut-larut bisa menghemat waktu,
dana dan sumber daya.
Dengan diundangkannya UU No. 13 tahun 2003, Undang-Undang No. 22 Tahun
1957 sudah dianggap tidak sesuai lagi karena hanya mengatur penyelesaian perselisihan
hubungan Apalagi setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, putusan P4D dan P4P dirasakan tidak efisien lagi. Hal ini
karena lembaga P4D dan P4P berada diluar Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, sehingga putusannya menjadi bersifat administratif
sama seperti putusan dari Lembaga Administrasi Negara yang lain yaitu dapat digugat dan
dituntut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Sementara putusan PT-TUN
dapat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung sehingga proses penyelesaiannya menjadi
lebih lama dan berlarut-larut.
Untuk mengakomodasi kelemahan pada undang-undang sebelumnya, maka diterbitkan UU
No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan
diterbitkannya UU tersebut, maka dasar hukum PPHI yang berlaku pada saat ini mengacu
pada UU No. 2 tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai