Anda di halaman 1dari 4

“Kesempatan Berharga”

Pukul tujuh pagi, aku terbangun dari tidurku dan beranjak pergi dari kamarku. Hari ini adalah
awal dari libur panjangku, hari yang kugunakan untuk beristirahat dari aktivitas sekolahku
yang melelahkan. Apalagi aku berlibur selama seminggu.

Tiba – tiba terdengar suara teriakan aneh.


Ternyata dia sudah bangun, ya itu adikku. Aku sudah terbiasa menyaksikan perbuatan-
perbuatan aneh yang setiap hari dilakukannya. Bahkan ia bisa melukai dirinya sendiri. Aku
dan keluargaku sudah lelah mengurusnya, namun tidak pernah berbuah manis.
Umurnya sudah 5 tahun, namun dia masih tidak bisa makan sendiri, bermain sendiri, belajar,
atau hal-hal lain yang biasa dilakukan anak-anak seusianya. Sehingga dia merepotkan seluruh
anggota keluarga kami.

Demam tinggi yang dialaminya sewaktu baru lahir menyebabkannya terkena autis.
Akibatnya, dia sering melakukan hal-hal aneh yang kerap membuatku malu di hadapan
teman-temanku ketika mereka bermain di rumahku.
Dia sering memukul-mukulkan kepalanya ke tembok, mematahkan sendok, dan hal-hal aneh
lain yang membuatku mulai membencinya. Apakah ini takdir atau tidak, aku sangat malu
mempunyai adik seperti dia. Aku terkadang iri melihat anak-anak lain seumurannya yang
lucu dan sudah mulai bisa berinteraksi dengan baik.

“Ana, tolong jaga Kiki ya..,” teriak mama dari dapur.


Huh, kini aku yang harus menjaga anak itu. Bagiku, menjaga Kiki adalah hal paling
membosankan dan melatih kesabaranku. Dia sangat hiperaktif dan sering melakukan hal
bahaya. Kiki bahkan pernah memainkan pisau.

“Mama..,” katanya padaku.


“Apa? Aku ini kakak. Bukan mama, ingat…,” ucapku kesal.
Seakan tidak mendengar perkataanku, dia langsung menyerbu bola karetnya dan memukul-
mukulkannya ke kepalanya. Dengan berkacak pinggang, aku menyaksikan perbuatannya
yang konyol dan memalukan itu.
“Jangan…,” kataku seraya merebut bola itu.
Sambil tertawa, dia melompat-lompat setinggi mungkin sampai jatuh berulang kali. Namun,
setiap ia terjatuh, samakin keras pula suara tertawanya. Lalu, ia berguling-guling di lantai dan
mencoret-coret dinding.
“Ingat, gak boleh lari-lari. Duduk manis, ya…,” kataku seraya menatap tajam ke arahnya.
Tanpa menghiraukan perkataanku, dia pergi entah ke mana. Dan aku tidak
mengkhawatirkannya. Biar saja dia pergi, kalau bisa tidak usah kembali. Memang, di hatiku
tidak ada tempat untuknya. Aku tidak mempunyai setetespun perasaan sayang untuknya.
Seakan, dia bukan saudaraku yang seharusnya kuperhatikan dan kusayangi. Entahlah,
mungkin perasaan sayang itu sudah sirna.

“Ana..,” panggil mama yang sedang menggendong Kiki.


“Mama pergi sebentar ya… Kiki kan, harus menjalani terapi. Jaga rumah, ya..,” pesan mama
lembut.
Kubalas senyum mama dengan manis. Namun, sekilas kutatap Kiki. Anak itu sedang
menggigit ujung bajunya. Kutatap dia dengan sinis dan pandangan benci seakan dia bukanlah
saudaraku.
Mama yang melihat pandanganku itu, seketika berubah mimiknya menjadi sedih.
Tampaknya, beliau sudah mengetahui kebencianku pada Kiki. Aku saja yang heran, mengapa
begitu sayangnya mama dan papa pada Kiki.
“Ana, kamu maklum ya sayang… bagaimanapun juga, Kiki ini adik kamu nak. Kita sama-
sama berjuang..,” suara mama bergetar.
Kulihat air mata mama mengalir. Tampaknya, mama sudah berusaha keras untuk
menahannya. Melihat kesedihan mama, aku ikut meneteskan air mata. Tak tega melihat
mama tenggelam dalam ratapan menyedihkan itu.

Kulirik Kiki. Aneh, dia tersenyum manis padaku. Baru kali ini, aku melihatnya tersenyum
padaku. Kali ini, jiwaku mendukungnya. Ada sebongkah perasaan terpendam di hatiku yang
mulai bersinar. Sepertinya, aku masih sayang padanya.
“Kakak..,” katanya tiba-tiba sambil memelukku.
Aneh, sungguh aneh. Dia bisa menyebut namaku dengan baik dan bahkan memelukku.
Kubalas pelukannya dengan hangat. Perasaan bersalah menyergap jiwaku. Kulihat mama
yang tampak tidak bisa berkata-kata.

“Ma, bolehkah aku ikut?” Tanyaku.


Mama terkejut. Maklum, aku tidak pernah ikut mamaku membawa Kiki menjalani terapi.
Biasanya, aku memilih tinggal di rumah sambil bersantai membaca komik. Namun, entah
kenapa jiwaku meleleh kali ini.
Sambil mengangguk, mama mencium Kiki dengan hangat. Sepertinya, aku mulai merasakan
kehangatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Lalu kami bergegas pergi dari rumah,
sambil membawa Kiki.

Kami memilih menaiki taksi agar lebih aman untuk Kiki. Setibanya di taksi, pandangan Kiki
terarah pada sebuah taman bermain yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Aku dan
mama saling pandang, mengerti perasaan Kiki. Aku tahu, Kiki pasti bingung menyampaikan
kemauannya itu.

Mama mengarahkan supir taksi itu untuk berhenti di taman bermain itu. Aku merasa aneh,
namun kali ini aku bersemangat mengajak Kiki pergi ke sana. Kami memang belum pernah
pergi ke tempat seperti ini. Makanya, Kiki terlihat antusias sekali.

“Itu..,” tunjuk Kiki.


“Itu namanya jungkat jungkit..,” kataku.
“Itu..,” tunjuknya lagi.
“Itu namanya es krim..,”ujarku.
“Es krim..,” ulangnya.
“Ya, benar… kamu pintar..,” pujiku.

Akhirnya, kami berkeliling selama hampir satu jam. Kami juga mengajak kiki bermain
ayunan, bermain jungkat jungkit, makan ice cream, dan lain-lain. Baru kali ini aku lihat Kiki
bersikap tenang di tempat umum. Bahkan, dia bisa sedikit memahami perkataan aku dan
mama.

Setelah puas, kami memutuskan pergi ke rumah sakit tempat Kiki akan menjalani terapi. Kali
ini, kami menaiki becak. Kiki sudah mulai bisa diatur, ada harapan bahwa Kiki masih bisa
sembuh. Kurasakan mukjizat dari Tuhan yang terus mengalir.
Awalnya, becak itu berjalan dengan santai. Aku, mama, dan Kiki menikmati perjalanan ini
sambil bersenda gurau. Sampai akhirnya ada sebuah angkot yang melaju kencang dan
kehilangan arah. Sepertinya, remnya blong.
Siapa sangka, angkot yang kehilangan arah itu melaju ke arah kami. Sampai akhirnya, suara
benturan yang dashyat terjadi. Aku terlempar cukup jauh dari pintu becak itu. Memang sakit,
tapi aku gesit mencari mama dan Kiki. Mama jatuh tepat di hadapanku. Beliau hanya
mendapati sedikit goresan di lengannya.
Aku kembali mencari-cari Kiki. Di tengah percahan roda dan kaca. Sambil memegangi
tanganku yang agak sakit, aku menjelajahi ke seluruh pelosok. Air mataku berlinang, teringat
akan Kiki. Ternyata aku sangat menyayanginya.
Tiba-tiba, aku melihat sosok mungil bermandikan darah tak jauh di hadapanku. Kututup
wajahku dengan tanganku. Aku merasa hampa, mati rasa. Terngiang sikap burukku pada Kiki
selama ini.

Orang banyak menyelamatkan korban-korban lainnya. Aku dan ibu mengikuti ambulans yang
membawa Kiki. Aku hanya teringat satu hal, sayangku pada Kiki. Perasaanku padanya
selama ini tertutup oleh rasa malu dan gengsi. Namun, apa yang dilakukannya tadi pagi
membuatku sadar, Kiki sayang padaku. Hanya dia tidak tahu bagaimana cara
mengungkapkannya. Bagaimanapun keadaan Kiki, ikatan batinnya selalu terhubung padaku.
Karena kami adalah saudara kandung, sedarah. Tidak ada yang menandingi kasih sayang,
kasih sayang antara aku dan Kiki.

Air mataku berderai selama perjalanan. Sampai akhirnya kami tiba di rumah sakit. Kiki
hendak dibawa di ruang UGD. Kutatap wajah polosnya sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba, dibukanya perlahan matanya. Ditatapnya lembut wajahku. Aku dan mama
tercengang. Dia hendak mengucapkan sesuatu, dengan susah payah dipaksanya untuk
berbicara.
“Aku…. sayang…. kakak..,” katanya perlahan.
Aku tercengang. Antara menyesal, sedih, bahagia, aku tidak bisa mengartikan perasaanku.
Suster yang membawanya saja saling pandang dan keheranan. Aku diam membisu terduduk
lemah di lantai.
Ibu yang melihatku menolongku dengan sekuat tenaga. Ibu menenangkanku meskipun beliau
juga tidak tenang. Aku hanya berharap, Tuhan mau memberiku kesempatan untuk membalas
Kiki. Walaupun hanya semenit, aku mencintainya. Aku mencintai Kiki.

Setelah 5 jam menunggu dengan gelisah, akhirnya dokter keluar dari ruangan Kiki. Raut
mukanya terlihat lesu. Seperti tidak tega mengatakan suatu hal pada kami. Aku menepis-
nepis dugaan buruk.
Sebelum dokter sempat berbicara, aku menerobos dan masuk ke ruangan Kiki. Aku sudah
tidak tahan, sungguh tidak tahan. Aku ingin agar Tuhan memberikan aku satu kesempatan
lagi untuk bertemu dengan Kiki.
Kutatap wajah Kiki lekat-lekat. Berharap, dia akan membuka matanya dan mendengarkan
aku berbicara. Aku hanya ingin Kiki tahu, bahwa aku mencintainya. Aku sangat
mencintainya, tidak dapat kugambarkan.

Tanpa diduga, aku merasakan tangan Kiki menggenggamku dengan hangat. Mulutnya
bergetar, matanya mulai terbuka. Kutatap dia dengan tidak percaya. Tuhan membalas doaku,
kesempatan untukku.
“Kiki… kamu harus tahu, dik.. Kakak, sayang, kamu… ya, kakak sayang kamu.” Ucapku
sambil berderai air mata.
Kiki menganggukkan kepalanya lemah. Sambil bergetar, bibir mungilnya bergerak.
Tangannya menggenggamku semakin erat. Kurasakan ikatan batin dan kasih sayang yang
selama ini terpendam.
“Kiki juga sayang kakak..,” katanya susah payah.
Aku tidak percaya. Kudekap Kiki dengan hangat, sehangat kasih sayangku pada Kiki. Dokter
yang menyaksikannya tercengang tak percaya. Aku merasakan begitu manisnya semua ini.
Kasih sayang yang sebelumnya tidak pernah kuberikan pada Kiki.

Dokter mengajak aku dan mama ke luar ruangan. Agar dokter bisa merawat Kiki dengan
lebih leluasa. Aku semakin yakin, ikatan batin Aku dan Kiki akan membawanya keluar dari
masa kritisnya.

Setelah beberapa jam menanti dengan perasaan tak karuan, dokter keluar ruangan seraya
tersenyum lega. Aku sudah bisa menebak keajaiban apa yang diberikan Tuhan dengan
melihat raut dokter itu.
“Akhirnya, dia keluar dari masa kritisnya… kemungkinan besar, Kiki akan selamat,” ujar
dokter itu seraya tersenyum.
Aku meneteskan air mata kebahagiaan. Semua rasa khawatirku sirna sudah. Tuhan sudah
membalas doaku. Aku diberikan kesempatan yang berharga untuk lebih menunjukkan
sayangku pada Kiki.

Mulai saat ini, aku bertekad akan lebih bersabar menghadapi Kiki. Tak peduli apapun
pendapat orang mengenai Kiki. Karena aku sudah diberikan kesempatan berharga untuk
menyayangi Kiki.

Anda mungkin juga menyukai