Anda di halaman 1dari 20

122

BAB 6. PEMBAHASAN

6.1 Belum Optimalnya Pelaksanaan Patient Safety di Ruang Perawatan B


yaitu Belum Terdapat Tanda Pasien Resiko Jatuh pada setiap Meja
Pasien, Kitir Cairan Infus dan Kitir Obat yang Menggunakan Syringe
Pump Belum Dilengkapi dengan Nama, RM, dan Tanggal Lahir Pasien,
Dosis dan Tanggal Penggantian Dikarenakan Kurang Maksimalnya
Pengawasan Perawat terhadap Pengelolaan Obat
6.1.1 Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (LASA
And High-Alert)
a. Kajian Pustaka
Patient safety secara harafiah merujuk pada keselamatan pasien.
Patient safety adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien di rumah
sakit menjadi lebih aman. Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan
isu global dan nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari mutu
layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis
dari manajemen mutu. Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu
variabel untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan
yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan. Program keselamatan
pasien bertujuan menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga
sangat merugikan baik pasien sendiri dan pihak rumah sakit. KTD bisa
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi,
alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana kurang tepat dan lain
sebagainya (Nursalam, 2011). Sasaran III peningkatan keamanan obat yang
perlu diwaspadai (LASA and High-Alert) terdiri dari pembuatan kebijakan
atau SOP identifikasi, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat-obat yang
perlu diwaspadai, sosialisasi dan implementasi kebijakan atau SOP, inspeksi
di unit pelayanan untuk memastikan tidak adanya elektrolit konsentrat bila
tidak dibutuhkan secara klinis dan panduan agar tidak terjadi pemberian
secara tidak sengaja di area tersebut, dan pelabelan elektrolit konsentrat
secara jelas dan penyimpanan di area yang dibatasi ketat (KARS, 2012).
123

b. Tinjauan Kasus
Berdasarkan hasil pengkajian yang didapatkan di Ruang Perawatan B
didapatkan hasil bahwa pada label keranjang tempat obat pasien masih
terdapat satu identitas pasien yaitu nama dan nomor kamar pasien, belum
terdapat daftar obat LASA dan High Alert karena Ruang Perawatan B tidak
memiliki stok persedian obat cadangan sehingga tempat obat khusus LASA
dan High Alert tidak ada, namun obat pasien dengan high alert sudah
disertai dengan sticker High Alert dari Apotek.
1. Persiapan
Pelaksanaan praktek sasaran III patient safety dimulai dengan
mahasiswa melakukan persiapan untuk pelaksanaan sasaran III ini
dengan melakukan diskusi terkait pelaksanaan pengoptimalan sasaran
III patient safety, menyiapkan label obat dan kitir cairan dan kitir
obatdan sosialisasi pada perawat di Ruang Perawatan B tentang renvana
program yang akan dijalankan, serta menunjuk penanggung jawab
untuk pelaksanaan sasaran III patient safety.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan praktek pengoptimalan penerapan sasaran III dilaksanakan
7 sampai dengan 24 November 2016 yang dilakukan bersamaan dengan
role play kegiatan mahasiswa Manajemen Keperawatan. Pelaksanaan
pengoptimalan sasaran III dilaksanakan oleh mahasiswa dan mendapat
dukungan dari perawat dan Kepala Ruang Perawatan B. Kegiatan yang
dilakukan yaitu
a) Melakukan diskusi terkait pelaksanaan pengoptimalan sasaran III
patient safety
b) Melakukan pelabelan tempat keranjang obat pasien yang sudah
diberi nama, tanggal lahir, nomor RM, dan nomor kamar.
c) Memberikan kitir cairan di plabottle cairan infus, kitir obat syringe
pump pada pasien kelolaan.
c. Kajian Hasil Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Maryam (2009) dengan
judul Hubungan antara Penerapan Tindakan Keselamatan Pasien oleh
Perawat Pelaksana dengan Kepuasan Pasien di IRNA Bedah dan IRNA
Medik RSU Dr. Soetomo Surabaya” didapatkan data bahwa setelah
124

dilakukan analisis data dengan menggunakan uji Chi Kuadrat diperoleh p


value 0,000 (α < 0,05) untuk perhatian pada nama obat, pengidentifikasian
pasien, komunikasi saat operan, pengendalian cairan pekat akurasi ketepatan
pemberian obat, penggunaan alat injeksi sekali pakai dan kebersihan tangan
perawat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Spring (2006) dalam
Maryam (2009) tentang evaluasi metode pelabelan untuk menghindari
terjadinya kesalahan pada nama obat yang membingungkan didapatkan data
bahwa dengan pemberian label pada obat akan dapat mengurangi terjadinya
kesalahan dalam pemberian obat.
d. Asumsi Pelaksana
Pengkajian Manajemen Keperawatan di Ruang Perawatan B merupakan
langkah awal dalam menentukan masalah yang ada dalam ruangan tersebut
kemudian dirumuskan solusi pemecahan masalah dengan memperhatikan
kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang dimiliki ruangan
tersebut. Pelaksanaan sasaran III patient safety sangat diperlukan dalam hal
pencapaian tujuan pada patient safety yang merupakan salah satu penilaian
dalam akreditasi rumah sakit oleh KARS sebagai langkah awal persiapan
RSU Kaliwates dalam pengajuan akreditasi dan dalam peningkatan mutu
pelayanan RSU Kaliwates.
e. Rencana Tindak Lanjut
Penanggung jawab kegiatan mulai melakukan kegiatan yang direncanakan
dengan target waktu yang tepat dan persiapan yang baikserta tetap
berkoordinasi dengan pihak ruangan.
f. Faktor Penghambat
Faktor penghambat pelaksanaan adalah pergantian pasien yang cepat
sehingga perawat terkadang tidak sempat untuk melakukan penggantian
pada label keranjang obat, tidak semua perawat yang mengikuti pelaksanaan
sasaran III tersebut, keterbatasan waktu dan jumlah perawat dengan
banyaknya pekerjaan yang dijalankan oleh perawat di Ruang Perawatan B.
g. Faktor Pendukung
Faktor pendukung pelaksanaan sasaran III patient safety adalah adanya
sikap terbuka dari pihak ruangan dan adanya dukungan dari pihak ruangan
terhadap program yang diajukan oleh mahasiswa.
125

6.1.2 Sasaran V: Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


a. Tinjauan Pustaka
Infeksi nosokomial atau yang sekarang disebut sebagai Health-
Care Associated Infection (HAIs) adalah infeksi yang didapat di rumah
sakit terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit paling tidak selama 72
jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan gejala infeksi saat masuk
rumah sakit (Brooker, 2009). Pasien yang sedang dalam proses asuhan
perawatan di rumah sakit, daya tahan tubuh akan menurun. Hal ini akan
mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman-kuman, virus dan
sebagainya akan masuk ke dalam tubuh pasien dengan mudah. Infeksi
yang terjadi pada pasien yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini
disebut infeksi nosokomial.
Beberapa kejadian infeksi nosokomial mungkin tidak menyebabkan
kematian pasien namun menyebabkan pasien di rawat lebih lama,
sedang pihak rumah sakit juga akan mengeluarkan biaya besar (Depkes,
2006). Infeksi yang didapat saat dirawat di rumah sakit lebih sering
terjadi dan infeksi ini memakan biaya bermiliar-miliar rupiah untuk
perawatan rawat inap lebih lama.
b. Tinjauan Kasus
Pelaksanaan patient safety terutama pada standar V yaitu pengurangan
resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di Ruang Perawatan B belum
berjalan optimal. Penerapan handwash/handrub serta efisiensi penggunaan
APD oleh petugas kesehatan sudah berjalan optimal namun penerapan
handwash/handrub serta sosialisasi hand hygiene kepada keluarga pasien
belum optimal serta terdapat beberapa botol handrub yg masih dalam
kondisi kosong. Selain itu, penggantian infus setiap 3 hari belum dilakukan
oleh perawat yang bertugas serta plester untuk infus masih ada yang belum
disertakan waktu pemasangan infus sehingga akan kesulitan untuk
menentukan lama hari infus yang telah terpasang dikarenakan terbatasnya
tenaga.
c. Kajian Penelitian Sebelumnya
126

Penelitian Rosaliya, Suryani, dan Shobirun (2013) menyimpulkan


bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
nosokomial yaitu terdapat pengaruh antara usia dengan kejadian infeksi
nosokomial, lama hari rawat, dan padatnya penghuni kamar. Lama hari
rawat adalah faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya kejadian
infeksi nosokomial pada pasien di rumah sakit.
d. Asumsi Pelaksana
Standar V patient safety yaitu pengurangan resiko infeksi belum
sepenuhnya berjalan optimal. Petugas kesehatan sudah melaksanakan
efisiensi penggunaan APD dan penerapan handwash/handrub namun pasien
dan keluarga belum sepenuhnya melakukan hal tersebut.Penting bagi
petugas kesehatan untuk memberikan pendidikan kesehatan pencegahan
infeksi terkait efisiensi penggunaan APD maupun penerapan
handwash/handrub guna mencegah terjadinya infeksi.
e. Rencana Tindak Lanjut
Pelaksanaan pendidikan kesehatan pada setiap pasien dan keluarga
terkait:
1. Sosialisasi hand hygiene pada pasien dan keluarga pasien di Ruang
Perawatan B.
2. Memberikan identitas waktu setiap kali melakukan pemasangan infus
untuk mempermudah pengecekan lama hari infus terpasang.
3. Melakukan pengecekan pada botol handrub baik di kamar pasien, di
lorong Ruang Perawatan B maupun di nurse station Ruang Perawatan
B setiap hari sesuai dengan peran ketika roleplay. Jika handrub kosong,
maka mahasiswa memberitahu perawat ruangan atau cleaning service
untuk melakukan pengisian.
f. Fokus Penghambat
Faktor penghambat adalah kurangnya kesadaran pasien dan keluarga
untuk mencuci tangan dengan sabun atau handrub jika keluarga akan
berdekatan dengan pasien atau keluarga membantu pasien dalam melakukan
perawatan, sehingga perlu berulang kali memberitahu keluarga pasien.
g. Faktor Pendukung
Adanya dukungan oleh Kepala Ruang maupun perawat Ruang Perawatan B
untuk selalu memberikan pendidikan kesehatan terkait personal hygine
salah satunya dengan penggunaan hand hygine.
127

6.1.3 Sasaran VI: Pengurangan Resiko Jatuh Pasien


a. Tinjauan Pustaka
Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan isu global dan
nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari mutu layanan kesehatan,
prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen
mutu (WHO, 2004). Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu
variabel untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan
yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan. Program keselamatan
pasien bertujuan menurunkan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga
sangat merugikan baik pasien sendiri dan pihak rumah sakit. KTD bisa
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi,
alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana kurang tepat dan lain
sebagainya (Nursalam, 2011).
Di era globalisasi ini perkembangan ilmu dan teknologi sangatlah
pesat termasuk ilmu dan teknologi kedokteran. Peralatan kedokteran baru
banyak diketemukan demikian juga dengan obat baru. Keadaan tersebut
berdampak terhadap pelayanan kesehatan, di mana pada masa lalu
pelayanan kesehatan sangatlah sederhana, sering kurang efektif namun lebih
aman. Pada saat ini pelayanan kesehatan sangatlah kompleks, lebih efektif
namun apabila pemberi pelayanan kurang hati-hati dapat berpotensi
terjadinya kejadian tidak diharapkan atau adverse event (Depkes, 2006).
Keselamatan pasien merupakan hak pasien. Pasien berhak
memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama masa perawatan di
rumah sakit (Kemenkes, 2009). UU No 36/2009 Pasal 53 (3) tentang
kesehatan menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan nyawa pasien. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas
untuk layanan kesehatan seluruh dunia (Cosway, 2012).
Menurut Ananta (2013) kejadian-kejadian yang berkaitan dengan
keselamatan pasien semakin marak masuk ke ranah hukum bahkan sampai
ke pangadilan. Kenyataan bahwa di RS terdapat puluhan bahkan ratusan
jenis obat, ratusan prosedur, terdapat banyak pasien, banyak profesi yang
128

bekerja serta banyak sistem merupakan potensi yang sangat besar terjadinya
kesalahan. Keselamatan pasien merupakan hak pasien yang dijamin dalam
UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, untuk itu pihak RS perlu
meminimalkan kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam setiap
tindakan yang dilakukan terhadap pasien di RS. Salah satu upaya
meminimalkan kejadian–kejadian tersebut adalah dengan pembentukan Tim
Keselamatan Pasien di RS yang bertugas menganalisis dan mengkaji
kejadian–kejadian yang berhubungan dengan keselamatan pasien.
Menurut Depkes (2006) keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.Salah satu
tujuan penting dari penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit
adalah mencegah dan mengurangi terjadinya insiden. Keselamatan Pasien
(IKP) dalam pelayanan kesehatan. IKP adalah setiap kejadian atau situasi
yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera yang
seharusnya tidak terjadi. IKP ini meliputi kejadian tidak diharapkan (KTD),
kejadian nyaris cidera (KNC), kejadian potensial cedera (KPC), kejadian
centinel (KKP-RS 2007).
b. Tinjauan Kasus
Mahasiswa telah membuat prosedur penatalaksanaan resiko pasien
jatuh dan telah mengimplementasikan hasil kerja dengan menempelkan
penatalaksanaan tersebut pada seluruh tempat tidur pasien yaitu sejumlah 28
tempat tidur. Sehingga keluarga pasien dapat memahami tentang resiko
jatuh yang terjadi pada pasien, apakah pasien tergolong resiko jatuh yang
rendah, sedang ataupun tinggi.
c. Kajian Penelitian Sebelumnya
Suparna dan Tenti Kurniawati (2015) menyimpulkan bahwa Rumah
sakit sebagai pemberi layanan kesehatan harus memperhatikan dan
menjamin keselamatan pasien. Perilaku perawat yang tidak menjaga
keselamatan pasien berkontribusi terhadap insiden keselamatan pasien.
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis.
d. Asumsi Pelaksana
129

Standart VI patient safety yaitu resiko pasien jatuh sudah berjalan


namun belum optimal. Petugas kesehatan yaitu perawat sudah melakukan
pemasangan kancing pada gelang pasien namun dirasa tidak cukup apabila
hanya dipasang klip saja, karena keluarga pasien juga harus tahu dan
memahami apakah keluarganya yang sakit tersebut berada pada resiko jatuh
yang rendah, sedang atau tinggi. Jadi, diperlukan tambahan tanda yaitu
berupa gambar pasien resiko jatuh yang terpasang pada tiap-tiap bed pasien
dan juga perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga
pasien terkait resiko pasien jatuh agar resiko pasien jatuh dapat diawasi.
e. Rencana Tindak Lanjut
Setelah dilakukannya implementasi standart VI tentang resiko jatuh,
perawat selalu menerapkan penatalaksanaan resiko jatuh dengan baik.
Perawat memberikan arahan dan pengertian mengenai tanda yang terpasang
pada pasien atau pada bed pasien. Tanda tersebut diharapkan kedepannya
perawat juga bisa menjaga dengan baik tanda tersebut agar tidak hilang atau
rusak, dan dapat tetap terus digunakan untuk menjaga dan meminimalkan
angka kejadian pasien jatuh di rumah sakit.
f. Faktor Penghambat
Petugas kesehatan belum memberikan informasi dengan jelas terkait
fungsi kancing resiko jatuh pasien kepada pasien maupun keluarga sehingga
pasien dan keluarga belum mengerti tentang fungsi gelang yang dipakai
pasienyang menandakan adanya resiko jatuh yang dialami oleh pasien.
Petugas kesehatan belum mengoptimalkan pembuatan alternatif tanda
selain gelang yang terpasang pada pasien, yaitu tanda gambar resiko jatuh
rendah dan tinggi. Tanda gambar risiko jatuh rendah dan tinggi
dimaksudkan agar ditempatkan pada tiap-tiap bed pasien untuk mengenai
setiap pasien dengan kriteria risiko jatuh yang rendah atau tinggi.
Pembuatan tanda gambar ini menjadi terhambat disebabkan oleh berbagai
faktor salah satunya adalah belum dianggarkan dari pihak yang berwenang
di rumah sakit.
g. Faktor Pendukung
Sudah ada pelaksanaan penanganan resiko jatuh yaitu pemasangan
kancing pada gelang pasien sehingga hanya diperlukan proses
130

penyempurnaan saja tanpa harus menyusun mulai awal tentang pelaksanaan


resiko pasien jatuh.

6.2 Kegiatan Masalah 2: Belum Optimalnya Pelaksanaan Model Penugasan


Tim di Ruangan Meliputi Belum berjalannya Supervisi Keperwatan dan
juga Diskusi Refleksi Kasus yang berada di Ruang Perawatan B
6.2.1 Pelaksanaan Supervisi Berfokus pada Peran Ketua Tim sebagai Supervisor
pada Perawat Pelaksana
a. Tinjauan Pustaka
Supervisi merupakan salah satu bentuk kegiatan dari manajemen
keperawatan dan merupakan cara yang tepat untuk menjaga mutu
pelayanan keperawatan. Supervisi dilakukan setiap saat oleh kepala
ruangan dan perawat lainnya yang didelegasikan untuk mengawasi kinerja
perawat. Kepala ruangan dan wakilnya pada saat tertentu ikut terjun secara
langsung dalam tindakan keperawatan pada pasien sehingga mampu
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan (Nursalam, 2014).
Supervisi mencakup semua aktivitas yang diyakini manajemen akan
membantu mencapai tujuan administrasi. Kegiatan kegiatan yang
merupakan bagian integral dari supervisi dalam keperawatan mencakup
pelaporan, pembagian tugas, pemberian arahan, pengamatan, penilaian,
pembimbingan, dan pendidikan pekerja. Supervisi keperawatan
meyakinkan bahwa semua pasien menerima asuhan seperti yang
seharusnya. Supervisi keperawatan juga mampu meningkatkan kinerja
seorang perawat dalam memberikan pelayanan perawatan yang prima dan
bermutu tinggi (Tampilang dkk, 2013).
Kinerja perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan merupakan
salah satu indikator mutu pada suatu rumah sakit. Salah satu metode yang
digunakan untuk menilai kinerja perawat yaitu dengan melihat standar
asuhan keperawatan. Standar asuhan keperawatan adalah suatu pernyataan
yang menguraikan kualitas yang diinginkan terkait pelayanan keperawatan
terhadap klien (Mandagi dkk, 2015). Gibson dalam Mandagi, dkk (2015),
131

kinerja individu perawat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu individu,


psikologis, dan organisasi. Faktor individu terdiri dari kemampuan,
keterampilan, pengetahuan, demografi, dan latar belakang keluarga. Faktor
psikologis terdiri dari persepsi, sikap, motivasi, kepribadian dan belajar.
Faktor organisai terdiri dari kepemimpinan, struktur, beban kerja, imbalan,
dan supervisi.
b. Tinjauan Kasus
Supervisi Bidang Pelayanan Keperawatan di RSU Kaliwates belum
dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua tim akan tetapi hanya melakukan
manager on duty yang dilakukan setiap hari pada shift malam yang telah di
delegasikan sebagai tim. Selain dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua
tim manager on duty juga dilakukan olehmanager kepada semua unit yang
dilakukan setiap hari Senin, Selasa, dan Kamis pada pukul 17.00 sampai
21.00 WIB, manager on duty yang dilakukan adalah terkait dengan jumlah
pasien dan masalah yang ada pada pasien saat itu.
c. Kajian Penelitian Sebelumnya
Gibson dalam Mandagi, dkk (2015), kinerja individu perawat
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu individu, psikologis, dan organisasi.Faktor
individu terdiri dari kemampuan, keterampilan, pengetahuan, demografi,
dan latar belakang keluarga. Faktor psikologis terdiri dari persepsi, sikap,
motivasi, kepribadian dan belajar. Faktor organisasi terdiri dari
kepemimpinan, struktur, beban kerja, imbalan, dan supervisi.
d. Asumsi Pelaksana
Supervisi yang berjalan di ruangan merupakan supervisi dari kepala
ruang ke ketua tim atau ketua tim ke perawat pelaksana di ruangan. Secara
garis besar, tindakan ini merupakan awal yang baik dalam upaya
mempertahankan dan meningkatkan kualitas mutu pelayanan yang
diberikan. Kedepannya perlu adanya supervisi berjenjang dari kepala
ruangan ke ketua tim dan atau dari ketua tim ke perawat pelaksana agar
tindakan supervisi lebih terfokus dan tepat sasaran.
e. Rencana Tindak Lanjut
132

Dilakukan kegiatan supervisi dari ketua tim ke perawat pelaksana di


ruangan yang dilakukan secara terjadwal, sehingga setiap pemberi layanan
keperawatan di rumah sakit mampu memberikan kinerja yang bermutu dan
sesuai standar asuhan keperawatan yang berkualitas.
f. Faktor Penghambat
Faktor penghambat adalah belum adanya jadwal supervisi terkait
pemberian standar asuhan keperawatan.Supervisi yang dilakukan masih
berupa manager on duty.
g. Faktor Pendukung
Sudah adanya format supervisi dari rumah sakit.

6.2.2 Diskusi Refleksi Kasus


a. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 836/MENKES/SK/VI/2005 Tentang Pedoman Pengembangan
Manajemen Kinerja Perawat Dan Bidan, Diskusi refleksi kasus
(DRK) adalah suatu metoda dalam merefleksikan pengalaman klinis
perawat dan bidan dalam menerapkan standar dan uraian tugas.
Pengalaman klinis yang direfleksikan merupakan pengalaman aktual
dan menarik baik hal-hal yang merupakan keberhasilan maupun
kegagalan dalam memberikan pelayanan keperawatan dan/atau
kebidanan termasuk untuk menemukan masalah dan menetapkan upaya
penyelesaiannya misal dengan adanya rencana untuk menyusun SOP
baru DRK dilaksanakan secara terpisah antara profesi perawat dan
bidan minimal satu bulan sekali selama 60 menit dengan tujuan untuk
mengembangkan profesionalisme, membangkitkan motivasi belajar,
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, aktualisasi diri serta
menerapkan teknik asertif dalam berdiskusi tanpa menyalahkan dan
133

memojokkan antar peserta diskusi. Tindak lanjut DRK ini dapat berupa
kegiatan penyusunan SOP-SOP baru sesuai dengan masalah yang
ditemukan.
2. Tujuan
Berdasarkan Modul Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik
(PMKK) (2009), tujuan dari DRK adalah sebagai berikut:
a) Mengembangkan profesionalisme perawat dan bidan
b) Meningkatkan aktualisasi diri
c) Membangkitkan motivasi belajar
d) Wahana untuk menyelesaikan masalah dengan mengacu pada
standar keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan.
e) Belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar, lebih banyak
mendengarkan, tidak menyalahkan, tidak memojokkan dan
meningkatkan kerja sama.
3. Langkah-Langkah Kegiatan DRK
Berdasarkan Modul Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik
(PMKK) (2009), langkah-langkah kegiatan DRK adalah sebagai
berikut:
a) Memilih/menetapkan kasus yang akan didiskusikan
Topik-topik bahasan yang ditetapkan untuk didiskusikan dalam
DRK antara lain:
1) pengalaman pribadi perawat/atau bidan yang aktual dan
menarik dalam menangani kasus/pasien di lapangan baik di
rumah sakit/puskesmas, pengalaman dalam mengelola
pelayanan keperawatan/kebidanan da issu-issu strategis
2) pengalaman yang masih relevan untuk dibahas dan akan
memberikan informasi berharga untuk meningkatkan mutu
pelayanan.
Proses diskusi ini akan memberikan ruang dan waktu bagi
setiap peserta untuk merefleksikan pengalaman, pengetahuan serta
kemampuannya, dan mengarahkan maupun meningkatkan
pemahaman perawat/bidan terhadap standar yang akan memacu
mereka untuk melakukan kinerja yang bermutu tinggi.
134

b) Menyusun Jadwal Kegiatan


Jadwal kegiatan DRK adalah daftar kegiatan yan harus
dilaksanakan dalam kurun waktu yang ditetapkan dan disepakati.
Kegiatan DRK disepakati dalam kelompok kerja, baik di
puskesmas maupun di rumah sakit (tiap ruangan). Kegiatan DRK
dilakukan minimal satu kali dalam satu bulan dan sebaiknya jadwal
disusun untuk kegiatan satu tahun. Dengan demikian para peserta
yang telah ditetapkan akan mempunyai waktu yang cukup untuk
mempersiapkan. Setiap bulan ditetapkan dua orang yang bertugas
sebagai penyaji dan fasilitator/moderator selebihnya sebagai
peserta demikian seterusnya, sehingga seluruh anggota kelompok
mempunyai kesempatan yang sama yang berperan sebagai penyaji,
fasilitator/moderator maupun sebagai peserta. Peserta dalam satu
kelompok diupayakan antara 5-8 orang.
c) Waktu Pelaksanaan
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
minimal 60 menit, dengan perincian sebagai berikut :
1) Pembukaan : 5 menit
2) Penyajian : 15 menit
3) Tanya jawab : 30 menit
4) Penutup/rangkuman : 10 menit
d) Peran Masing-Masing Personal DRK
Kegiatan selama DRK ditetapkan aturan main yang harus
dipatuhi oleh semua peserta agar diskusi tersebut dapat terlaksana
dengan tertib. Ada 3 peran yang telah disepakati dan dipahami
dalam DRK adalah sebagai berikut:
1) Peran penyaji
a) Menyiapkan kasus klinis keperawatan/kebidanan yang
pernah dialami atau pernah terlibat didalamnya yang
merupakan kasus menarik baik kasus lalu maupun kasus-
kasus saat serta kasus manajemen dan pengalaman
keberhasilan dalam pelayanan
135

b) Menjelaskan kasus yang sudah disiapkan dengan alokasi


waktu 10-20 menit
c) Menyimak pertanyaan yang disampaikan, memberikan
jawaban sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman
nyata yang telah dilakukan dan merujuk pada standar yang
relevan atau SOP yang berlaku
d) Mencatat hal-hal yang penting selama DRK.
2) Peran peserta
a) Mengikuti kegiatan sampai selesai diakhiri dengan mengisi
daftar hadir
b) memberikan perhatian penuh selama kegiatan
c) mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan/pernyataan
minimal satu pertanyaan dengan alokasi waktu keseluruhan
20-30 menit:
i. dalam mengajukan pertanyaan agar merujuk kepada
standar
ii. tidak dibenarkan untuk mengajukan
pertanyaan/pernyataan yang sifatnya menyalahkan atau
memojokkan
iii. tidak dibenarkan untuk mendominasi pertanyaan
iv. pertanyaan berupa klarifikasi dan tidak bersifat
menggurui.
3) Peran fasilitator/moderator
a) Mempersiapkan ruangan diskusi dengan mengatur posisi
tempat duduk dalam bentuk lingkaran
b) membuka pertemuan (mengucapkan selamat datang,
menyampaikan tujuan pertemuan, membuat komitmen
bersama dengan keseluruhan anggota tentang lamanya
waktu diskusi (kontrak waktu) dan menyampaikan tata
tertib diskusi)
c) mempersilahkan penyaji untuk menyampaikan kasusnya
selama 10-20 menit
d) memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan
pertanyaan secara bergilir selama 30 menit
e) mengatur lalu lintas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh peserta dan klarifikasi bila ada yang tidak jelas
f) merangkum hasil diskusi
136

g) melakukan refleksi terhadap proses diskusi dengan meminta


peserta untuk menyampaikan pendapat dan komentarnya
tentang diskusi tersebut
h) membuat kesimpulan hasil refleksi dan menyampaikan isu-
isu yang muncul
i) meminta kesepakatan untuk rencana pertemuan berikutnya
j) menutup pertemuan dengan memberikan penghargaan
kepada seluruh peserta dan berjabat tangan dan membuat
laporan hasil diskusi sesuai dengan format dan menyimpan
laporan DRK pada arsip yang telah ditentukan bersama.
e) Laporan
Setelah melakukan kegiatan, langkah berikutnya adalah menyusun
laporan DRK. Agar kegiatan DRK dapat diketahui dan dibaca oleh
pimpinan, anggota kelompok maupun teman sejawat lainnya maka
kegiatan tersebut harus dicatat/didokumentasikan sebagai laporan.
Bentuk laporan dikemas dengan menggunakan suatu format yang
antara lain berisikan :
1) Nama peserta yang hadir
2) Tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan.
3) Isu-isu atau masalah yang muncul selama diskusi
4) Rencana tindak lanjut berdasarkan masalah, lampiran laporan
menyertakan daftar hadir yang ditandatangani oleh semua
peserta
4. Persyaratan DRK
Diskusi Refleksi Kasus berbeda dengan presentasi kasus karena DRK
mempunyai persyaratan-persyaratan khusus berdasarkan Modul
Pelatihan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK) (2009) yaitu:
a. Suatu kelompok yang terdiri dari satu profesi yang
beranggotakan 5-8 orang
b. Salah satu anggota kelompok berperan sebagai fasilitator, satu
orang lagi sebagai penyaji dan lainya sebagai peserta.
c. Posisi fasilitator, penyaji dan peserta lain dalam diskusi setara
(equal)
d. Kasus yang disajikan penyaji merupakan pegalaman klinis yang
nyata dan menarik
137

e. Posisi duduk sebaiknya melingkar agar setiap peserta dapat


saling bertatapan dan berkomunikasi secara bebas.
f. Tidak boleh ada interupsi dan hanya ada satu orang saja yang
berbicara dalam satu saat dan peserta lain memperhatikan proses
diskusi
g. Tidak diperkenankan ada dominasi, kritik yang dapat
memojokan penyaji atau peserta lain, serta dalam
berargumentasi tidak boleh menggurui.
h. Membawa catatan diperbolehkan, namun tidak mengurangi
perhatian dalam berdiskusi.
i. Diskusi Refleksi Kasus wajib dilakukan secara rutin, terencana
dan terjadwal dengan baik minimal satu bulan sekali dimana
kelompok diskusi berbagi pengalaman klinis dan IPTEK
diantara sejawat selama satu jam.
j. Selama diskusi setiap anggota secara bergilir mendapat
kesempatan untuk menyampaikan pendapat dengan cara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sedemikian rupa, yang
merefleksikan pengalaman, pengetahuan serta kemampuan
masing-masing.
k. Selama diskusi berlangsung harus dijaga agar tidak ada pihak-
pihak yang merasa tertekan atau terpojok, yang diharapkan
terjadi justru sebaliknya yaitu dukungan dan dorongan bagi
setiap peserta agar terbiasa menyampaikan pendapat mereka
masing-masing.
l. Diskusi Refleksi Kasus dapat dimanfaatkan sebagai wahana
untuk memecahkan masalah, merevisi standar, membuat standar
ataupun kesepakatan tindak lanjut agar standar dipatuhi.
b. Tinjauan Kasus
Rumah Sakit Kaliwates Jember belum menerapkan diskusi refleksi kasus
(DRK) karena belum terpapar dengan konsep tersebut. Kegiatan DRK
belum mampu terealisasikan secara optimal karena dari masing-masing
personil memiliki kesibukan tersendiri dan juga padatnya aktifitas kerja
138

sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk berkoordinasi dan


melaksanakan DRK keperawatan.
c. Kajian Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian Mardiah (2013), didapatkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara budaya pembelajaran
organisasi dengan kinerja perawat di ruang rawat inap RSUD Syekh Yusuf
Kab. Gowa. Salah satu bentuk penerapan budaya pembelajaran organisasi
adalah pelaksanaan diskusi refleksi kasus (DRK).
d. Asumsi Pelaksana
Rumah Sakit RSU Kaliwates belum menerapkan diskusi refleksi kasus
karena belum terbentuknya standar pelaksanaan diskusi refleksi kasus
(DRK) yang ditetapkan oleh rumah sakit serta masih kurangnya
pemahaman tenaga keperawatan terkait DRK.
e. Rencana Tindak Lanjut
Pengajuan standar asuhan keperawatan (SAK) dan standar prosedur
operasional (SPO) kepada komite keperawatan untuk ditindaklanjuti
dengan harapan dapat menjadi salah satu kontribusi bagi rumah sakit agar
dapat diterapkan di Rumah Sakit Kaliwates Jember
f. Faktor Penghambat
Faktor penghambat adalah jumlah tenaga untuk penyusunan SPO masih
belum tersedia dengan cukup.
g. Faktor Pendukung
Sudah ada rujukan SPO yang didapatkan dari pemateri pelatihan diskusi
refleksi kasus (DRK) sehingga hanya diperlukan proses penyempurnan
yang disesuaikan dengan kesepakatan rumah sakit tanpa harus menyusun
dari awal.
6.3 Belum Optimalnya Pelaksanaan Pendokumentasian Keperawatan di
Ruang Perawatan B Dikarenakan Kurangnya Kelengkapan
Dokumentasi Keperawatan
a. Tinjauan Pustaka
Standar Asuhan Keperawatan adalah uraian pernyataan tingkat kinerja
yang diinginkan, sehingga kualitas struktur, proses dan hasil dapat dinilai.
139

Standar asuhan keperawatan berarti pernyataan kualitas yang diinginkan dan


dapat dinilai pemberian asuhan keperawatan terhadap pasien/klien.
Hubungan antara kualitas dan standar menjadi dua hal yang saling terkait
erat, karena melalui standar dapat dikuantifikasi sebagai bukti pelayanan
meningkat dan memburuk (Wilkinson, 2006).
Asmadi (2008) juga menjelaskan bahwa dokumentasi keperawatan
merupakan sarana komunikasi dari satu profesi keprofesi lain terkait status
pasien. Sebagai alat komunikasi, tulisan dalam dokumentasi keperawatan
harus jelas terbaca, tidak boleh memakai istilah atau singkatan-singkatan
yang tidak lazim, juga berisi uraian yang tidak jelas, tegas, sistematis. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari disfungsi komunikasi. Perawat
professional diharapkan dapat menghadapi tuntutan tanggungjawab dan
tanggung gugat terhadap segala tindakan yang dilaksanakan (Nursalam,
2008).
Tujuan dan manfaat standar asuhan keperawatan pada dasarnya
mengukur kualitas asuhan kinerja perawat dan efektifitas manajemen
organisasi. Dalam pengembangan standar menggunakan pendekatan dan
kerangka kerja yang lazim sehingga dapat ditata siapa yang
bertanggungjawab mengembangkan standar bagaimana proses
pengembangan tersebut. Standar asuhan berfokus pada hasil pasien, standar
praktik berorientasi pada kinerja perawat professional untuk
memberdayakan proses keperawatan (Kawonal, 2000).
Tujuan dan kriteria hasil yang belum dituliskan dalam substansi
intervensi keperawatan. Tujuan dan kriteria hasil intervensi keperawatan
adalah tujuan dan sasaran realistik dan dapat diukur dimana klien dapat
diharapkan untuk mencapainya (Allen, 2009). Tujuan dan kriteria hasil tidak
memperlihatkan kerugian secara langsung pada pasien dalam proses asuhan
keperawatan, namun dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
implementasi keperawatan pada pasien terkait batas waktu dilakukannya
implementasi dan dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan
evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan.
b. Tinjauan Kasus
140

Pelaksanaan timbang terima di Ruang Perawatan B sudah dilakukan


sesuai dengan teori yang ada. Sistematika penulisan di buku laporan
timbang terima sudah memenuhi komponen-komponen SBAR, namun tidak
ditulis dengan format SBAR.
c. Kajian Penelitian Sebelumnya
Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Bara dan Suryati yang
berjudul “Hubungan Motivasi Perawat dengan Pelaksanaan
Pendokumentasin Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Pasar Rebo”
didapatkan hasil bahwa pelaksanaan pendokumentasian keperawatan dapat
dipengaruhi oleh motivasi perawat. Data dikumpulkan melalui studi
dokumentasi yang ditulis oleh responden dengan cara melihat aspek
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, evaluasi dan catatatn asuhan
keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara motivasi dan dokumentasi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gue dengan judul “Hubungan
Pelaksanaan Supervisi Kepala Ruangan dengan Kinerja Perawat dalam
Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Toto
Kabila Kabupaten Bone Bolango” menyatakan bahwa kinerja perawat
pelaksana dalam pendokumentasian dapat dipengaruhi oleh supervisi yang
dilakukan kepala ruangan. Kegiatan pendokumentasian asuhan keperawatan
merupakan unsur pokok dalam pertanggung jawaban kinerja profesi
keperawatan. Untuk itu diperlukan supervisi keperawatan agar efektifitas
dan efisiensi kerja optimal. Manfaat supervisi dapat meningkatkan
efektivitas kerja dan efisiensi kerja. Berdasarkan pengisian kuisioner oleh
responden menunjukkan bahwa kepala ruangan sebagai supervisor terlihat
memberikan pengarahan dan bimbingan kepada perawat pelaksana.
Karenanya pelaksanaan supervisi kepala ruangan sangat penting diberikan
kepada perawat pelaksana agar perawat pelaksana merasa bahwa dirinya
diperhatikan dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam hal
pendokumentasian asuhan keperawatan.
d. Asumsi Pelaksana
141

Standar asuhan keperawatan yang sudah dimiliki oleh setiap ruangan


yang sudah disusun oleh pihak komite keperawatan dan berdasarkan
ketetapan dari Rumah Sakit yang disarankan oleh pembimbing KARS
terhadap Rumah Sakit, namun perlu dilakukan revisi secara berkala
(minimal setiap 2-5 tahun).
e. Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut dari kegiatan ini yaitu menjadi masukan
terhadap ruang perawatan B dan bagian manajerial keperawatan RSU
Kaliwates Jember untuk menerapkan pendokumentasian timbang terima
pasien sesuai format SBAR.
f. Faktor Penghambat
Faktor yang mempengaruhi yaitu beban kerja perawat yang tinggi.
Masih ditemukan perawat yang melaksanakan kegiatan non keperawatan
seperti administrasi dan transportasi. Sehingga kewajiban perawat dalam
melaksanakan pendokumentasian asuhan keperawatan menjadi tidak
maksimal.
g. Faktor Pendukung
Sistematika penulisan di buku laporan timbang terima Ruang
Perawatan B sudah memenuhi komponen-komponen SBAR.

Anda mungkin juga menyukai