Anda di halaman 1dari 13

BAB II

2.1 Anatomi dana Fisiologi Vesica Urinaria

Buli-buli atau vesika urinaria adalah organ rongga yang terdiri atas 3 lapisan otot
detrusor yang saling berayam, yakni (1) terletak paling dalam adalah otot longitudinal, (2) di
tengah merupakan otot sirkuler, dan (3) paling luar merupakan otot longitudinal . Mukosa
buli – buli atau vesica urinaria terdiri atas sel transisional yang sama seperti pada mukosa
pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan
meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Trigonum
buli-buli tak mempunyai peranan dalam proses miksi. Fungsinya adalah memperlancar arus
urin dari ureter ke arah kandung kemih.

Kedua ureter menembus otot detrusor dalam posisi oblik dan memanjang 1–2 cm di
bawah mukosa kandung kemih sebelum bermuara ke dalam kandung kemih. Struktur tersebut
dapat mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter. Gerakan peristaltik ureter
memungkinkan urin mengalir menuju kandung kemih karena peningkatan tekanan intra
ureter. Otot detrusor selain meluas ke seluruh kandung kemih juga meluas ke arah bawah dan
mengelilingi leher kandung kemih sepanjang 2–3 cm lalu turun hingga ke uretra posterior
yang disebut sebagai sfingter interna. Otot detrusor secara tidak langsung berfungsi sebagai
katup mencegah pengosongan kandung kemih oleh leher kandung kemih dan uretra posterior
hingga tekanan pada kandung kemih mencapai ambang potensial yang berlangsung secara
otonom. Pada bagian bawah uretra posterior, uretra melalui diafragma urogenital yang terdiri
dari kumpulan otot sfingter eksterna yang bekerja secara volunter.

Secara anatomis buli-buli terdiri atas 3 permukaan yaitu (1) permukaan superior yang
berbatasan dengan rongga perineum, (2) dua permukaan inferiolateral, dan (3) permukaan
posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli.
Vesika urinaria berfungsi untuk menampung urine dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung
urine, Vesica urinaria mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa
lebih kurang adalah 300-450ml, sedangkan kapasitas vesika urinaria pada anak menurut
formula dari koff adalah:

Kapasitas Vesika urinaria = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml


Pada saat kosong vesika urinaria terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat
penuh berada diatas simfisis sehingga dapat di palpasi dan diperkusi.Vesika urinaria
mendapatkan vaskularisasi dari cabang arteria iliaka interna, yakni arteria vesikalis superior,
yang menyilang di depan ureter. Kandung kemih manusia mempunyai dua fungsi utama yaitu
penampungan dan pengosongan urin.3 Secara fisiologis, pada proses berkemih terdapat
empat syarat yang harus terpenuhi agar berlangsung normal, yakni: 1. kapasitas kandung
kemih yang adekuat, 2. pengosongan kandung kemih yang sempurna, 3. berlangsung dalam
kontrol yang baik, dan 4. setiap pengisian dan pengosongan kandung kemih tidak berakibat
buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan ginjal.

Persyarafan somtik dan otomom (simpatis dan parasimpatis mempersyarafi bagian


aluran kemih. Medula spinalis mempersyarafi persyarafan daerah torako-lumbal yaitu Th-10
sampai dengan L-1 yang bersatu pada pleksus hipogastrik dan diteruskan melalui serat saraf
post-ganglionik untuk mempersarafi detrusor, leher kandung kemih, dan uretra posterior.
Sistem persarafan parasimpatis berasal dari korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4 yang
mempersarafi daerah fundus sedangkan persarafan somatik setinggi korda spinalis yang sama
melalui nervus pudendus mempersarafi otot sfingter eksternal.

Sedangkan Sistem saraf simpatik mempengaruhi reseptor α dan β pada daerah vesiko-
uretra. Letak reseptor α-adrenergik dominan pada bagian trigonum, leher kandung kemih,
dan proksimal uretra posterior, sedangkan reseptor β - adrenergik terletak dominan di daerah
fundus. Norepinefrin merupakan neurotransmiter yang dilepaskan sistem saraf simpatis dan
ketika berikatan dengan reseptor α-adrenergik pada leher kandung kemih dan uretra posterior
mengakibatkan kontraksi otot sehingga tahanan pada area ini meningkat. Sebaliknya, bila
norepinefrin berikatan dengan reseptor β – adrenergik pada daerah fundus akan berakibat
relaksasi otot detrusor yang memungkinkan kandung kemih membesar tanpa terjadi
peningkatan tegangan dinding kandung kemih.
Persarafan parasimpatis melepaskan asetilkolin yang kemudian akan menempati reseptor
terutama di daerah fundus dan sedikit pada uretra posterior. Rangsangan pada persarafan
tersebut menyebabkan pelepasan asetilkolin yang mengakibatkan kontraksi otot-otot detrusor
dan pada saat yang sama terjadi refleks inhibisi terhadap persarafan simpatis sehingga
menekan pelepasan norepinefrin. Hal itu menyebabkan relaksasi otot trigonum, leher
kandung kemih, dan uretra posterior. Inhibisi simpatis juga berakibat berkurangnya stimulus
pada reseptor β – adrenergik daerah fundus yang memperkuat kontraksi otot detrusor karena
rangsangan parasimpatis untuk mengosongkan kandung kemih. Sesaat sebelum kandung
kemih berkontraksi terjadi rangsangan pada nervus pudendus yang merelaksasikan otot
sfingter uretra eksterna.
Pengaturan proses berkemih terjadi melalui persarafan medula spinalis dan sistem
saraf pusat. Pusat persarafan kandung kemih pada medula spinalis berhubungan dengan pusat
miksi sistem saraf pusat yang terletak pada batang otak bagian bawah melalui persarafan
aferen dan eferen. Terdapat dua jalur aferen yang naik ke batang otak yakni traktus sensori
pelvik (funikulus dorsalis) dan traktus sakrobulba; dan tiga jalur eferen yang turun ke medula
spinalis yakni 1. traktus retikulospinal lateralis yang jika teraktivasi menyebabkan kontraksi
kandung kemih, 2. traktus retikulospinal ventralis yang berfungsi menghambat otot detrusor
berkontraksi, dan 3. traktus retikulospinal

A. Hubungan dengan susunan saraf pusat (Faiz and Moffat, 2004; Snell, 2006)
1. Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-
bulbospinal atau long loop refleks. Pusat miksi pons merupakan titik pengaturan
(switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk
pengaturan pengisian atau pengosongan vesica urinaria. Pusat miksi pons berperan
sebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari
daerah lain di otak.
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan
gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung
kemih atau retensi urine. Pada saat dilakukan pemeriksaan menunjukkan adanya
vesica urinaria yang hiperrefleksi.

2.2 Definisi
Neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan suatu penyakit yang
menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem
saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. Neurogenic bladder adalah suatu
disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf yang terlibat dalam pengendalian
berkemih.
Keadaan Neurogenic bledder ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu
berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu
aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali
(overactive bladder). Dengan kata lain, Neurogenic bladder adalah kelainan fungsi kandung
kemih akibat gangguan sistem saraf

2.3 Epidemiologi
Penlitian APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) dari 7875 laki-laki dan
perempuan, sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia
didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%.
Angka Kejadian Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi
neurologis tertentu. Di Amerika neurogenic bladder angka kejadian ini disertai dengan
ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan
parkinson dan 15% pada pasien dengan adanya stroke.

2.4 Etiologi
Keadaan yang menggangu dari fungsi kerja saraf yang bertugas mengendalikan
kandung kemih atau saluran keluarnya bisa menyebabkan terjadinya Neurogenic baldder.
Beberapa penyebab neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut
seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson,
multiple sklerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan
logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis
dan penyakit vaskuler.
Ada juga beberapa gangguan veisca urinaria yang dapat terjadi pada bagian tingkatan lokasi
lesi. Tergantung jaras yang terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :
A. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan
seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat
hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus
depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral
pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi
kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu
bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.
B. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara
lain adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Vesica urinaria akan mengalami hiperrefleksi karna kehilangan inhibisi
normal dan mengakibakan peningkatan tekanan pada volume vesica urinaria .
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi
detrusor. Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari vesica
urinaria hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi
sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosongan vesica urinaria yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila
dikombinasikan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu
pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica urinaria
yang hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi vesica urinaria. Penderita mengeluh mengenai seringnya
miksi dalam jumlah yang sedikit.
C. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural
akan menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesica urinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena
mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik
atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria
juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitas dari peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri
masih didapatkan karena informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis
melalui n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu
mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica urinaria memungkinkan
terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan
intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress inkontinens sering timbul pada
batuk atau bersin.

2.5 MANISFESTASI KLINIK


Manifestasi klinik yang terjadi: volume urine kecil selama berkemih, frekuensi dan
urgensi kemih, infeksi saluran kemih, inkontinensia urin, dribblingurin yang merupakan suatu
keadaan dimana urin menetes pada akhir miksi, hilangnya sensasi kandung kemih penuh.
Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi,
urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value)
karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons
maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis.
Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian sakral,
(Disinergia detrusor-sfingter) DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun
pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul
akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat
kegagalan untuk memulai refleks miksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.

Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada
pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat
hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan
frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN
dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens
dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan
overflow

2.6 Diagnosis
Menegakan diagnosis Neurogenic bledder, hal yang pertama kali dilakukan
melakukan anamnesis tujuannya yaitu untuk mengetahui bagaimana pola buang air kecilnya
atau ada tidak gangguan saat berkemih serta mengetahui adanya faktor-faktor resiko.
Tanyakan penyakit yang sedang diderita untuk menunjang diagnosis apakah berhubungan
dengan gangguan berkemih.
Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan rektal,
genitalia, serta pemeriksaan dinding perut (abdominal) untuk mengecek ada tidaknya
pembesaran pada bladder ataupun kelainan lainnya. Selain itu, pemeriksaan neurologis juga
dilakukan untuk menentukan kelainan neurologis yang menjadi dasar terjadinya neurologic
bladder, uji neurologis harus mencakup status mental, refleks, kekuatan motorik dan
sensibilitas (termasuk dermatomal sakral). Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan
laboratorium yaitu dengan memeriksa urin ataupun darah. Pemeriksaan lainnya seperti :

2.6.1. Pemeriksaan urodinamika


Merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui fungsi kandungan kemih dengan
mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih
dan kecepatan aliran urin keluar dari kandung kemih pada saat buang air kecil. Pemeriksaan
urodinamika dapat berupa Cystometrography, Postvoid residual urine, uroflometri, serta
elektromielografi sfingter.

2.6.2. Cystometrography
Cara pemeriksaannya dengan memasukan kateter berisi transduser untuk mengukur tekanan
ke dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut ddihubungkan dengan komputer.
Kemudian memasukan cairan steril ke dalam kandungan kemih. Selama fase pengisian
tersebut komputer akan memberikan informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan
rektum, refleks kandungan kemih dan kapasitas kandungan kemih.

Gambar 3. Cystometrography
2.6.3. Postvoid residual urine
Adalah sebuah tes diagnostik yang mengukur berapa banyak urin di kandung kemih yang
tersisa setelah buang air kecil. Pemeriksaan residu urine setelah berkemih (PVR) adalah
pemeriksaan dasar untuk inkontinensia urine untuk mengetahui kemampuan vesika urinaria
dalam mengosongkan seluruh isinya. Abnormal : 50-100ml / >20% volume BAK.

2.6.4. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah
yang tidak invasive. Hasilbiasanya diberikandalam mililiterper detik(mL / detik).

Gambar 4. Uroflometri

2.6.5. Elektromielografi
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau tidak. Kegagalan
relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan disinergia detrusor sfingter
(kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi
lesi pada korda spinalis.

2.6.6. Cystoscopy
Membantu memastikan adanya kegiatan berkemih yang terkoordinasi atau tidak. Kegagalan
relaksasi uretra selama kontraksi kandung kemih menghasilkan disinergia detrusor sfingter
(kegiatan berkemih yang tidak terkoordinasi) yang dapat didiagnosis secara akurat saat terjadi
lesi pada korda spinalis. Fungsi sistoskopi dalam pemeriksaan disfungsi kandung kemih
neurogenik memungkinkan adanya penemuan massa kandung kemih seperti kanker dan batu
pada kandung kemih yang tidak dapat terdiagnosa dengan hanya pemeriksaan urodinamik
saja.Pemeriksaan ini diindikasikan untuk pasien yang mengeluhkan gejala berkemih iritatif
persisten atau hematuria. Pemeriksa dapat mendiagnosa berbagai macam penyebab pasti dari
overaktivitas kandung kemih seperti sistitis, batu dan tumor secara mudah.

Gambar 5. Cystoscopy

2.6.7. Pemeriksaan Imaging berupa pemeriksaan X-ray, USG, CT-Scan serta MRI.
Untuk mendeteksi kelainan neurologis dapat dilakukan pemeriksaan ini.

2.7 PENATALAKSANAAN
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan secara
reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi ginjal. Kateterisasi
atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa terlalu
lama di kandung kemih. Sebagai contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik
dapat memicu buang air kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk
paha mereka . Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada
pada risiko infeksi saluran kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara
berkala biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus.
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra untuk
mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan maupun untuk sementara
waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak mengalami
kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan untuk mencegah infeksi kandung kemih.
Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita
dibandingkan dengan pria. Pada pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan
jaringan di sekitarnya.

2.7.1. Terapi Non farmakolgis


2.7.1.1.Bladder Training
Satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik.
Tujuan rehabilitasi:
1. Kelancaran aliran urine mulai dari ginjal
- bebas kateter kandung kemih dan uretra
- menghilangkan obstruksi uretra
2. Keadaan abakterial
- sterile intermittent catherization
- pengosongan kandung kemih secara sering dan teratur
3. Pengosongan kandung kemih secara tuntas pada setiap masa pengosongan
dengan cara mengembangkan/ meningkatkan kekuatan ekspulsi pada waktu
yang cukup, sesuai dengan yang dibutuhkan.

Hal-hal yang tercakup dalam pengertian bladder training :


1. Kateterisasi intermiten
2. Pengaturan dan pengontrolan masuknya cairan ke dalam tubuh
3. Refleks stimulasi terhadap kandung kemih
4. Crede manuever
5. Bantuan medikamentosa yang dapat mempunyai efek terhadap kandung kemih. Hal
tersebut dapat diatur kombinasinya sesuai kondisi neruogenic bladder.

Kontra indikasi bladder training:


1. Sistitis berat
2. Pielonefritis
3. Gangguan/kelainan uretra
4. Hidronefrosis
5. Vesicourethral reflux
6. Batu traktus urinarius
7. Penderita tidak kooperatif

Terdapat tiga macam metode bladder training,:


- Kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul),
Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu
program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh.
Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam
menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar
panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat
penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih
- Delay urination (menunda berkemih),
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk
berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat dilakukan
dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training dilakukan sebelum
kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin
dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem
selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan
kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih
dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali
- scheduled bathroom trips (jadwal berkemih).

Langkah-langkah bladder training :


1. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang memungkinkan
kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan
volume urin residual.
2. Anjurkan klien minum (200-250 cc).
3. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
4. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.
5. Lihat kemampuan berkemih klien.
Program kateterisasi kontinyu
Kateterisasi kontinyu tidaklah fisiologis karena kandung kemih selalu kosong, sehingga
kehilangan potensi sensasi miksi; terjadi atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih;
ditambah lagi dengan sepsis dan bakteriuri. Oleh karena itu dianjurkan program kateterisasi
intermiten. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan bebas kateter berkisar antara 3 -
278 hari atau sekitar 8-10 minggu, jika tidak ada obstruksi.
Paremeter keberhasilan
1. Penderita dapat mengeluarkan urine dengan baik dan lancar, baik secara spontan,
dengan bantuan stimulasi refleks ataupun dengan crede/valsava manuever secara
mudah.
2. Residual urine kurang atau sama dengan l00 ml. Tak didapat perubahan patologis
pada saluran kemih.
3. Penderita bebas kateter.

FARMAKOTHERAPY
OBAT UNTUK RETENSIO URINAE
A. Jenis Penyekat Alfa
Cara Kerja:
1) Merelaksasi otot polos
2) Meningkatkan urinary flow rate pada obstruksi akibat spasme
Efek samping: Sedasi, dizziness, hipotensi postural, depresi, nyeri kepala, mulut kering, mual,
takhkardi dan palpitasi
Obat yang dipakai:
1) Alfuzozin HCl 2,5 mg/tbl
Dosis 2,5 mg tiga kali sehari dengan max l0mg/hari
2) Indoramin 20 mg/tbl
Dosis 20 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan setiap 2minggu 1 tbl. Sampai 100
mg/hari
3) Prazosin HCl (Minipress® 1 mg/2 mg/tbl.)
Dosis 0,5 mg dua kali sehari dapat ditingkatkan setiap 3-7 hari sampai max 2x2 mg.
4) Terazosin HCl (Hytrin® 1 mg/2 mg/tbl)
Dosis awal 1 mg saat tidur dapat ditingkatkan 1 mg setiap minggu sampai max l0
mg/hari dosis tunggal. Jika pasien mengeluh pusing, suruh tetap tidur sampai
pusingnya hilang.

B. Jenis Para Simpatomimetik


Cara kerja:
1) Meningkatkan efek muskarinik
2) Meningkatkan aktivitas m. detrusor
Pada keadaan tidak ada obstruksi jalan keluar kandung kemih, peranannya untuk mengatasi
retensio urine terbatas. Efek samping : Keringat, bradikardi, kolik intestinal
Obat yang dipakai:
1) Carbachol 2 mg/tbl
2) Bethanechol chloride Urecholin lOmg/tbl)
Dosis 3-4 x 10-25mg _jam sebelum makan
3) Distigmine bromide 5 mg/tbl
Dosis 5 mg/hari atau 2 hari _ jam sebelum makan

OBAT UNTUK INKONTINENSIA URINAE


Bersifat anti muskarinik untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan mengurangi
kontraksi m. detrusor yang tidak stabil. Efek samping : mulut kering, pandangan kabur,
glaukoma.

Anda mungkin juga menyukai