PENDAHULUAN
Pada era global sekarang ini, diare tergolong penyebab utama kematian anak. Angka
kejadian diare tidak dapat dipungkiri masih tercatat dengan angka kematian dan kesakitan
yang cukup tinggi. Di negara berkembang, khususnya Indonesia, angka kejadian diare masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu di sorot lebih dalam untuk
menekan angka kematian dan kesakitan diare karena survei morbiditas yang dilakukan oleh
Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 sampai dengan 2010 tercatat bahwa
Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan World Health Organization
(WHO) menyebutkan bahwa diare merupakan salah satu penyakit yang diperkirakan 40%
penyebab kematian pada anak setiap tahunnya. Tercatat bahwa satu dari lima anak atau
sekitar 1.5 juta setiap tahunnya meninggal akibat diare. Diperkuat dengan data dari UNICEF-
WHO yang mengatakan bahwa dua dekade terakhir tercatat bahwa diare merupakan
Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 penyakit diare menduduki
urutan kedua dari penyakit infeksi dengan angka morbiditas sebesar 4,0% dan mortalitas
3,8%. Dilaporkan pula bahwa penyakit Diare menempati urutan tertinggi penyebab kematian
kedua setelah pneumonia (9,4%) dari seluruh kematian bayi.1 Hal ini cukup menggambarkan
bahwa penyakit diare masih tergolong pencetus tertinggi kematian pada anak. Di Indonesia
berdasarkan data laporan Surveilans Terpadu Penyakit (STP) puskesmas dan rumah sakit
(RS) secara keseluruhan angka insidens Diare selama kurun waktu lima tahun dari tahun
2002 sampai tahun 2006 cenderung berfluktuasi dari 6,7 per 1000 pada tahun 2002 menjadi
9,6 per 1000 pada tahun 2006 ( angka insiden bervariasi antara 4,5- 25,7 per 1000).
Hal ini diperkuat dengan adanya Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 yaitu
menyebutkan bahwa penyebab kematian anak balita sama dengan bayi, yaitu terbanyak
adalah diare (31.4%) .3 Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan
Case Fatality Rate (CFR) yang masih tinggi apabila dibandingkan dengan target CFR diare
di Indonesia saat KLB yaitu kurang dari 1%.4 Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan
dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi
KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR
1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita
Menurut Data kesehatan Indonesia, pada tahun 2011 menyebutkan bahwa Provinsi Jawa
Barat merupakan provinsi ketiga tertinggi yang mempunyai angka kejadian diare tinggi,
Secara garis besar ada empat faktor risiko utama yang dapat menyebabkan diare yaitu
faktor ibu, faktor anak, faktor sosiodemografik, dan faktor lingkungan.6 Faktor yang paling
sering mempengaruhi angka kejadian diare adalah faktor ibu dan faktor lingkungan. Apabila
dilihat dari aspek ibu, perilaku ibu merupakan salah satu faktor risiko terbesar seperti
pemberian ASI (Air Susu Ibu) yang tidak sesuai dengan kurun waktu yang telah dianjurkan
oleh pemerintah yaitu selama enam bulan merupakan faktor risiko tertinggi, lalu diikuti
dengan faktor lainnya seperti pemberian susu formula menggunakan botol bayi,
menggunakan air dari sumber yang tercemar, tidak mencuci tangan saat memasak, menyuapi
anak, dan setelah buang air besar.1 Selain dari faktor ibu, faktor lingkungan juga berpengaruh
terhadap terjadinya diare antara lain adalah kurangnya sarana air bersih dan ketersediaan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pada khususnya PHBS di rumah tangga
mempunyai 10 faktor, antara lain persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan,
memberikan ASI eksklusif, menimbang bayi dan balita setiap bulan, menggunakan air bersih,
mencuci tangan dengan air bersih, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik dirumah,
makan sayur dan buah, melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan tidak merokok di dalam
rumah. Kesepuluh faktor ini ditujukan untuk memberdayakan setiap keluarga agar mampu
dan mau menanggulangi masalah-masalah kesehatan dimulai pada ruang lingkup kecil yaitu
keluarga.
Faktor PHBS yang berperan dalam kejadian diare, antara lain adalah pemberian ASI,
penggunaan air bersih, mencuci tangan dengan air yang bersih dan mengalir, dan
Jatinangor merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai kepadatan penduduk cukup
tinggi di Kabupaten Sumedang karena banyaknya pendatang, hal ini merupakan salah satu
menurunnya banyak pohon atau kawasan yang fungsional untuk menjaga kualitas air, selain
kualitas air yang tidak terjamin, tidak proposional penataan ruang dapat membuat lingkungan
tidak nyaman dan kumuh, bahkan dapat diduga akan adanya pemukiman warga yang
berdekatan dengan tumpukan sampah (indikasi sumber penyakit) yang tentu saja akan
berdampak pada kesehatan warga.8 Puskesmas Jatinangor memaparkan bahwa pada tahun
2012 angka kejadian diare mencapai 1.95 % pada penderita usia 0-4 tahun dan distribusi
paling besar terjadi pada Desa Sayang. Hal tersebut diperkuat dengan RISKESDAS 2007,
angka kejadian diare sebesar 13% lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan,
cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan tingkat pengeluaran RT per
kapita rendah.9 Oleh sebab itu selaku peneliti memilih tempat di Kecamatan Jatinangor
karena angka kejadian diare masih cukup tinggi dan untuk memangkas angka kejadian diare
ini diperlukan informasi faktor risiko apa yang sering menyebabkan angka kesakitan diare di
Kecamatan Jatinangor.
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka masalah yang dapat diidentifikasi antara
lain :
3. Bagaimana faktor pemberian ASI eksklusif pada balita diare di Kecamatan Jatinangor?
4. Bagaimana faktor penggunaan air bersih pada balita diare di Kecamatan Jatinangor?
5. Bagaimana faktor mencuci tangan dengan air yang bersih dan mengalir bersih pada balita
6. Bagaimana faktor penggunaan jamban sehat pada balita diare di Kecamatan Jatinangor?
Kecamatan Jatinangor.
Kecamatan Jatinangor.
3. Mengetahui gambaran kejadian diare pada balita berdasarkan faktor pemberian ASI
4. Mengetahui gambaran kejadian diare pada balita berdasarkan faktor penggunaan air
5. Mengetahui gambaran kejadian diare pada balita berdasarkan faktor mencuci tangan
6. Mengetahui gambaran kejadian diare pada balita berdasarkan faktor penggunaan jamban
Ada 4 aspek yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat (Hendrik L. Blum) antara
lain adalah faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik. Keempat faktor ini
mempunyai keterkaitan antara satu dengan lainnya. Lingkungan yang baik tidak akan
menghasilkan output yang maksimal melainkan di sinergisasikan dengan tiga faktor lainnya.
Kejadian diare dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti faktor perilaku, faktor lingkungan,
faktor ibu, faktor anak, dan sebagainya. Jika dilihat dari faktor-faktor tersebut, hal ini dapat
dicegah dengan upaya peningkatan PHBS di tingkat Rumah Tangga. PHBS merupakan tolak
ukur untuk melihat kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, sehingga dapat
disimpulkan PHBS dapat mengurangi angka kejadian diare, khususnya pada PHBS tingkat
Rumah Tangga.
pengorganisasian masyarakat. Adapun tujuan dari upaya tersebut antara lain adanya perbaikan
sanitasi lingkungan, pendidikan untuk kebersihan perorangan, dan adanya pengembangan
rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam
memelihara kesehatannya.
Gambar
2.1
Kerang
ka
Pemikir
an
Faktor
faktor risiko apa yang sering terjadi sehingga menyebabkan diare pada balita yang tidak
kejadian diare di Kecamatan Jatinangor, penelitian ini merupakan salah satu alat yang
pengetahuan.
Hal lain yang dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu dapat terbantunya program-
mengarah kepada faktor risiko tertinggi guna menekan angka kejadian diare pada balita di