Anda di halaman 1dari 10

Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan

terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori
besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui
peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya
tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad
ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang
dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.

Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bi Affan, memerintahkan
mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu
namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima ptra ratu Sima dari Kalingga
masuk Islam.

Kalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak
benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan
bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).
Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk ke wilayah kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada
masa kholifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).

Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh
penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Sanggahan Teori Islam Masuk Indonesia abad 13 melalui Pedagang Gujarat Teori Islam Masuk
Indonesia abad 13 melalui pedagang Gujarat adalah tidaklah benar, apabila benar maka tentunya
Islam yang akan berkembang kebanyakan di Indonesia adalah aliran Syiah karena Gujarat pada masa
itu beraliran Syiah, akan tetapi kenyataan Islam di Indonesia didominasi Mashab Safi'i. Sanggahan
lain adalah bukti telah munculnya Islam di masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti
Maimun (1082M) di Gresik.

A. Peradaban Sebelum Kemerdekaan

Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke
delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah
yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang
menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap
disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal
masuknya agama islam ke Indonesia.

Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak
Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai,
Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad
menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.

Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan
Agung maka kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.

Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada
perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar
dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu
antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal
ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek
kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika
penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri
(peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yangsiap melawan penjajah, sedangkan
ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13
menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-
hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama
menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya
menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah
atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera
Barat dan perang Diponegoro di Jawa.

Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-
Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari
Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya
melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis.
Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan
terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi
pematangan pejuangan terhadap penjajahan.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan
Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam
menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim
Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah
pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun
1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun
kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.

Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-
sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan
dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim
bertahun-tahun lamanya.

Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :

1. Pada Masa Kesultanan

Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh,
Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi
kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama
islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama
islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.

Dikerjaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu
sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan
masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di
kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-
Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.

Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan
kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan
kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama
Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.

Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu
Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel
dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang
berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam),
asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.

2. Pada Masa Penjajahan

Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-
pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen
melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih
ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-
kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia
untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian
mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.

Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui
ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808
pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu,
dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan
kewarisan.

Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur
tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk
mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan
Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi
hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.

Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan
Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di
Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa,
dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik
itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah

Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan


agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.

b. Bidang sosial kemasyarakatan

Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.

c. Bidang politik

Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan
tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.

3. Pada Masa Kemerdekaan

1) Departemen Agama

Sebagaimana telah disebutkan, sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai
dibicarakan kaitannya dengan politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua
golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, Negara Indonesia merdeka
hendaknya merupakan sebuah Negara “sekuler”, negara yang dengan jelas memisahkan persoalan
agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya
berpendapat, Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat
misalnya, sebelum kemerdekaan, dalam polemic antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian
dengan M. Natsir di akhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan di dalam siding-
sidang BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah kemerdekaan, persoalan itu juga
terangkat kembali di dalam siding-sidang konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.

Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa
Indonesia sudah bergerak jauh ke depan, memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua [endapat
tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan
pemerintahan engakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan
keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.

Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 adalah sebagai
berikut

1. mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta membimbing perguruan-


perguruan agama

2. mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan

3. member penerangan dan penyuluhan agama

4. mengurus dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah yang berhubungan
dengan hokum agama

5. mengurus dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan pesantren luhur,
serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi

6. mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.

2) Pendidikan
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu tugas penting yang dilakukan Departemen Agama
adalah menyelenggarakan, membimbing, dan mengawasi pendidikan agama. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam sudah berkembang dalam beberapa bentuk pendidikan Islam zaman penjajahan
Belanda. Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di
berbagai pelosok. Tidak ada hubungan antara satu dengan yang lain. Lembaga ini dipimpin oleh
seseorang ulama atau kiai. Untuk tingkat kelanjutan, tidak ada kurikulum yang jelas pada lembaga
ini. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan
masing-masing.

Setelah merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan


agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjutkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga
mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen Agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam
dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi pendidikan agama. Pada
tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang diantaranya
kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di Solo.

3. Hukum Islam

Salah saatu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama
adalah hokum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal hokum
muamalat bersifat peribadi. Hokum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum
waris itu. (paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.

Keberadaan lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari masa colonial Belanda. Pada masa
pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka
jumlah pengadilan agama bertambah,tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para
hakim Islam tampak keta dan kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu, belum
ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan pengadilan
Agama didominasi oleh golongan tradisionalis. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri
(PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.

4) Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelnggarakan


administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu prigram pemerintah, apalagi yang
berkenan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja
sa,a antara pemerintah da ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan
pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena
diperlukan untuk menjamin keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh
seorang panglima Militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961,
Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan
pendidikan.

Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut,,
Majelis Ulama berfungsi :
1. memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatn kepada
pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha
meningkatkan ketahanan nasional.

2. mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan


antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

3. mewakili umat Islam dalam konsultasai antarumat beragama.

4. penghubung antara ulama dan umara (pemerintahan) serta menjadi penerjemah timbal balik

Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian
dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan
kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.

Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan
bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui
keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.

Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam
sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan
politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat
tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan
pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi
pembangunan bangsa dan negara.

B. Peradaban Sesudah Kemerdekaan

1. Pra Kemerdekaan

Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan
pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus
melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Seperti :

- Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)

- Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)

- Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)

- Partai Komunis Indonesia (1914)

Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatasmasih ada organisasi islam lainnya yang berdiri
pada masa itu, diantaranya:

- Jamiat Khair (1905)

- Persyarikatan Ulama ( 1911)

- Persatuan Islam (1920)

- Partai Arab Indonesia (1934)

Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan
Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang
disebut Majelis Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang
didirikan di Surabaya pada tahun 1937.

Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang
menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :

a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda,
yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.

b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan
oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di
Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.

c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda
muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara
Nasional

d. Indonesia (TNI).

2. Pasca Kemerdekaan

Organisasi-organisasi yang muncul pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di
masa kemerdekaan, seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada
gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama. Gerakan ini
adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita negara islam
Indonesia.

Gerakan kekerasan yang bernada islam ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :

- Di Jawa Barat, pada tahun 1949 – 1962

- Di Jawa Tengah, pada tahun 1965

- Di Sulawesi, berakhir pada tahun 1965

- Di Kalimantan, berakhir pada tahun 1963

Usaha - usaha umat Islam untuk membangun peradaban masa depan


Kemajuan suatu peradaban dalam sejarah umat manusia tidak mungkin terwujud apabila
peradaban tersebut menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan peradaban yang lain.
Islam hadir sebagai sebuah peradaban yang unggul pada masa jayanya, juga diyakini
merupakan buah dari keterbukaan Islam untuk menerima berbagai peradaban lain yang ada
di luar Islam dan kemudian menyelaraskan diri dengan ajaran Islam.[6]
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa
Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini, telah timbul mulai abad ke- 11 H/17 M. Inilah
yang membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga
akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan,
untuk mengejar ketinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha di bidang
pendidikan.[7]
Kalau pada awal abad ke-19 M kita menyaksikan bahwa agama hampir saja tercampur oleh
kemajuan ilmu pengetahuan sehingga seolah agama harus ditinggalkan dan tidak lagi
relevan untuk dianut, maka dalam mengakhiri abad ke-20 dan menyongsong abad ke-21 ini
tampaknya agama mendapatkan tempat kembali untuk ditoleh oleh para ilmuwan. Agama
ternyata memang memiliki ruang dalam ilmu pengetahuan. Agama dihadirkan bahkan
dijelaskan melalui perkembangan ilmu pengetahuan. Sistem keimanan dijelaskan dan
dihadirkan sebagai satu kesatuan organik dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
dibutuhkan oleh agama sebagai sarana aktualisasi doktrin-doktrinnya, sedangkan agama
dibutuhkan oleh ilmu pengetahuan sebagai petunjuk agar tidak menyesatkan dan
menakutkan umat manusia yang membuatnya, melainkan agar menjadikan umat manusia
bisa memperoleh hidup secara lebih baik, tenang, damai, dan meyejukkan.[8]
Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Bapak A. Muthohar, bahwa agama dan filsafat-lah
yang menjadi pijakan pemikiran untuk membangun Islam di masa depan.
Kekacauan yang dialami dunia ini menyangkut kekacauan politik, militer, ekonomi, kultural,
psikologis, intelektual dan sosial. Semua kekacauan ini masih mengendap di kerak dunia
Islam dan sejauh ini belum ada tindakan yang berhasil mencairkannya.[9]
1. Bidang pendidikan
Langkah – langkah untuk membangun masa depan, yaitu dengan menghilangkan adanya
politik pendidikan yang terhegemoni oleh barat, dengan cara yaitu:
a. Membangun kembali paradigma pendidikan dengan kembali belajar pada para penemu
muslim. Misalnya: mengenai teori evolusi telah dirintis secara berurutan oleh penemu
muslim mulai Al-Jahizh, Ibnu Miskawaih, sampai Muhammad Jalaluddin Rumi. Intisari evolusi
M. Jalaluddin Rumi adalah “Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan, aku mati
sebagai tumbuhan dan bangkit sebagai hewan, aku mati sebagai hewan dan menjadi
manusia. Mengapa aku harus takut ketika maut menjemput sekali lagi aku akan mati sebagai
manusia agar dapat mengarungi dan berada diantara para malaikat. Bahkan dari sinipun aku
masih harus berangkat. Segala sesuatu pasti akan musnah kecuali wajah Tuhan”.
b. Memberikan apresiasi Islam terhadap ilmu pengetahuan. Islam menyamakan dirinya
dengan ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai syarat Ibadah. Dalam Islam ilmu
disebut sebagai kunci kesuksesan dunia akhirat, akal sebagai alat pengetahuan mendapat
perhatian dalam Islam untuk dikembangkan dan difasilitasi. Islam menolak taqlid buta,
kurafat serta angan-angan.[10]
2. Bidang ekonomi
Pemimpin negara muslim harus mempersiapkan strategi untuk meningkatkan
perekonomiannya melalui upaya rekayasa. Mereka harus mencetak para pengusaha baik
skala domestik maupun internasional. Dunia Islam perlu memikirkan pemerataan kekuatan
perekonomian, melalui kerjasama antara pengusaha muslim. Disamping itu perlu ada
tindakan antisipatif dalam menghadapi dan menyiasati kemungkinan-kemungkinan
gelombang perekonomian di masa depan.
Pemimpin negara muslim harus mempersiapkan strategi untuk meningkatkan
perekonomiannya melalui upaya rekayasa. Mereka harus mencetak para pengusaha baik
skala domestik maupun internasional. Dunia Islam perlu memikirkan pemerataan kekuatan
perekonomian, melalui kerjasama antara pengusaha muslim. Disamping itu perlu ada
tindakan antisipatif dalam menghadapi dan menyiasati kemungkinan-kemungkinan
gelombang perekonomian di masa depan.
Pemimpin negara muslim harus mempersiapkan strategi untuk meningkatkan
perekonomiannya melalui upaya rekayasa. Mereka harus mencetak para pengusaha baik
skala domestik maupun internasional. Dunia Islam perlu memikirkan pemerataan kekuatan
perekonomian, melalui kerjasama antara pengusaha muslim. Disamping itu perlu ada
tindakan antisipatif dalam menghadapi dan menyiasati kemungkinan-kemungkinan
gelombang perekonomian di masa depan.[11]
3. Bidang politik
Para pemimpin bersama masyarakat di negara muslim, hendaknya bekerjasama
membangun pola perpolitikan yang sehat. Hal ini tercermin dalam bentuk ekspresi mereka
untuk saling memahami dan mentoleransi, mengedepankan kepentingan negara, bertindak
serta berfikir objektif dan rasional, dan ekspresinya dalam bentuk lainnya.
Pada bagian lain negara muslim perlu menghindari pikiran atau tindakan yang
mencerminkan nasionalisme sempit, sikap arogan, perasaan superior, dan menjunjung tinggi
konsep patriotisme serta konsep demokrasi yang sehat dan dewasa.
Disamping itu umat Islam sebaiknya membangun kekuatan militer yang tangguh untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan. Dengan pengertian lain motiv membangun militer
bukanlah bertujuan untuk ovensif melainkan devensif dari serangan-serangan.
4. Bidang Sosial dan Budaya
Kebudayaan sebagai sumber nilai tidak bisa terpisahkan dari agama sebagai ajaran yang
diyakini dapat mengatur kehidupan manusia. Budaya merupakan bagian integral dari agama
dan agama bisa menghasilkan budaya. [12]
Perkembangan umat Islam sejak masa paling awal hingga saat ini diwarnai oleh pertikaian-
pertikaian dimulai dari pemilihan siapa pengganti nabi telah menimbulkan benih pertikaian,
hal ini masih berlangsung hingga masa modern seperti Iraq melawan Iran, Iraq menyerang
Kwait, dan Arab Saudi mengundang Amerika Serikat untuk menyerang Iraq. Lantaran
petikaian ini, sampai sekarang Islam belum memiliki pemimpin Internasional yang ditaati
bersama.
Untuk mengatasi berbagai pertikaian tersebut, kita harus membangun budaya dialogis,
bukan sekedar suasana dialogis. Budaya dialogis dimaksudkan supaya kecenderungan untuk
menyelesaikan segala macam pertikaian, perbedaan pandangan, seharusnya melalui
kebiasaan berdialog. Jadi, orientasi waktunya diharapkan bersifat Permanen sehingga
bersifat Prefentif dan Kuratif dalam menyelesaikan masalah. Budaya dialog digunakan untuk
membangun kedamaian semesta secara hakiki meliputi lintas agama, bahasa, dan
negara.[13]
Untuk dapat mewujudkan harapan-harapan besar terhadap agama Islam, maka
menggunakan sebuah corak keberagamaan yang inklusif, dialogis, dan intelektualistik.
Dalam era globalisasi, yang berkat teknologi dan transportasi membuat umat manusia hidup
dalam sebuah “desa buwana”, manusia akan semakin intim dan mendalam me-ngenal satu
sama lain, tetapi sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi
langsung. Maka dari itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian, dengan
kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan.[14]
Keberagamaan Islam yang dialogis dapat diwujudkan apabila umat Islam tidak telalu
menekankan pada truth claim. Terdapat beberapa macam bentuk dialog, yaitu:
a. Dialog internal antara sesama umat Islam
b. Dialog eksternal antara umat Islam dengan umat beragama lain,
c. Dialog antara Islam dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya
kontemporer
d. Dialog antara umat Islam dengan berbagai persoalan aktual yang menyangkut umat
Islam sendiri maupun umat manusia pada umumnya.
Dengan keberagamaan semacam ini diharapkan umat Islam dapat menjawab tantangan
zaman dan dapat memberikan sumbangannya bagi peradaban masa depan umat manusia
yang cenderung pluralistik dan globalistik.

Anda mungkin juga menyukai