Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN September 2018

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN POST OPERASI TURP

DENGAN PENDARAHAN

Disusun Oleh:

Ilham Akbar, S.Ked

10542038512

Pembimbing

dr. Zulfikar Tahir , M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA

BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ilham Akbar


NIM : 10542038512
Judul Presentasi Kasus : Resusitasi Cairan Pada Pasien Post Operasi

TURP Dengan Pendarahan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Anestesi,
Terapi Intensif, Dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar

Makassar, September 2018

Konsulen Pembimbing
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN...........……………............................................... . 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 5
Identitas Pasien....................................................................................... 5
Anamnesis ................................................................................................ 5
Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 6
Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 6
Diagnosis Kerja ...................................................................................... 7
Pre Operasi ............................................................................................... 8
Penatalaksanaan ..................................................................................... 6
Intra Operasi ........................................................................................... 7
Post Operasi ........................................................................................... 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 13
BAB IV KESIMPULAN................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi
dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1.
Resusitasi cairan adalah pemberian cairan adekuat dalam waktu relative cepat
pada penderita gawat akibat kekurangan cairan. Kekurangan cairan pada penderita
gawat umumnya perdarahan akibat kecelakaan atau kekurangan cairan karena sebab
yang lain. Pemberian cairan bertujuan untuk memulihkan volume sirkulasi darah dan
diperlukan karena gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
hal yang umum terjadi pada pasien dengan tindakan bedah, termasuk bedah
laparatomi. Gangguan cairan yang terjadi dikarenakan kombinasi dari faktor-faktor
sebelum pembedahan, selama pembedahan dan sesudah pembedahan.
Syok hemoragik (hipovolemik) disebabkan kehilangan akut dari darah atau
cairan tubuh. Cairan di tubuh manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan
ekstraselular terbagi dalam cairan intravaskular, cairan interstisial, dan cairan
transelular.
Sebagian besar penderita syok hipovolemik akibat perdarahan meninggal
setelah beberapa jam terjadinya perdarahan karena tidak mendapat penatalaksanaan.
Salah satu penyebab terjadinya syok hemoragik tersebut diantaranya adalah cedera
akibat kecelakaan. Menurut World Health Organization (WHO) cedera akibat
kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 75 tahun
Berat Badan : 50 kg
Agama : Islam
Alamat : BTN Polri Manggarupi Gowa
No.RM : 268483
Diagnosis : Retensio urine

B. Anamnesis
Keluhan utama : nyeri perut bawah
Riwayat sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri pada perut bawah disertai susah buang
air kecil. Sebelumnya beberapa jam yang lalu pasien kontrol ke poli urologi untuk
pelepasan kateter. Riwayat Seminggu sebelumnya pasien telah menjalani TURP
Riwayat penyakut terdahulu
- Hipertensi (+)
- Dislipidemia (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- Alergi obat dan makanan (-)
C. Pemeriksaan Fisik
GCS : E3M5V4
Tanda Vital
- Tekanan darah : 80/50 mmHg
- Nadi : 131 x/m
- Pernapasan : 34 x/m
- Suhu : 36.5oC
Status generalis
- Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup, capilary refill lebih dari 2 detik dan teraba hangat
- Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
- Mata : Terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
- Pemeriksaan leher
a) Inspeksi : Tidak ada jejas
b) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat
pembesaran kelenjar tiroid
- Pemeriksaan toraks
a) Jantung
a. Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila
mamae sinistra
b. Palpasi : ictus cordis teraba
c. Perkusi :
Batas atas kiri SIC IILPS sinistra
Batas atas kanan SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri SIC V LMC sinistra
Batas bawah kanan SIC IV LPS dextra
d. Aulkultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur
b) Paru
a. Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan
dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak
b. Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan
kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak
c. Perkusi : sonor kedua lapang paru
d. Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua
pulmo. Tidak terdengar suara wheezing
c) Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi : Perut cembung, tidak simetris, tidak terdapat
jejas dan massa(+)
b. Auskultasi : peristaltic (+)
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : Teraba massa pada region kuadran kanan
bawah, nyeri tekan (+). Hepar dan lien tidak teraba
d) Pemeriksaan Ekstremitas
a. Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
b. Turgor kulit cukup, akral hangat

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Hematologi
WBC : 17,82^103/ul
HGB : 8.2 g/dl
HCT : 25.1%
PLT : 440^103/ul
CT : 7 mg/dl
PT : 15.3 mg/dl
APTT : 34.8
E. Kesan Anestesi
Laki-laki dengan pendarahan post TURP dengan ASA PS III
F. Penatalaksanaan
a. 02 8 Lpm via NRM
b. Pasang infus 2 jalur
c. Siap darah PRC 3 bag
d. Inj. Antibiotik sesuai profilaksis
e. Dorong pasien ke ICU Setelah KU membaik
G. Kesimpulan
ACC ASA III
H. Perhitungan MABL
Maximal allowable blood lose (MABL) yaitu batas jumlah perdarahan
yang masih bsa ditolerir sebelum melakukan transfusi.
Diketahui BB pasien = 50 kg, HCT pasien = 28.1
MABL = Initial HCT- HCT target x EBV
Initial HCT
EBV = BB X 75 (PRIA)
50 X 75 = 3750
MABL = 28.1- 25 X 3750
28.1
= 3.1 X 3750
28.1
= 413
MAINTENANCE
4 X 10 = 40
2 X 10 = 20
1 X 30 = 30 +
90
Jadi MABL pasien tersebut 413, jika perdarahan pasien sudah melewati
MABL maka pasien sudah harus ditransfusi.

Tn. D dengan keluhan nyeri pada perut bawah disertai susah buang air kecil.
Sebelumnya beberapa jam yang lalu pasien kontrol ke poli urologi untuk pelepasan
kateter. Riwayat Seminggu sebelumnya pasien telah menjalani TURP. Riwayat
Hipertensi (+),Dislipidemia (-), DM (-), Asma (-), Alergi obat dan makanan (-). Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA III.
Saat dilakukan evakuasi pendarahan, tanda vital pasien TD : 80/50 mmHg,
HR: 131x/m, RR: 34x/m, S: 36,5 C, itu merupakan tanda-tanda syok, pasien
diberikan cairan koloid yaitu Gelafusal 500 cc. Kemudian setelah itu pasien
ditransfusi 1 bag PRC (500cc). Cairan kristaloid yang diberikan selama operasi
sebanyak 1500 cc( 3 botol).
Setelah selesai dilakukan evakuasi pendarahan, pemantauan akhir TD
100/60mmHg; Nadi 108x/menit, pernapasan 24X/Menit dan SpO2 99%. Pasien
kemudian dibawa ke ruang ICU.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi


darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Sebagai
respon terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme energi sel
menjadi anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk waktu yang
terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Kematian
karena syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism
sel. 1
Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis
terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi jenis
syok menjadi 4 antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok
neurogenik.2,3
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang
tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah
yang cepat (syok hemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma
tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang
paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat
dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga
abdomen.
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun
laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok
mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman
tentang patofisiologi syok.4 Tatalaksana syok bertujuan memperbaiki gangguan
fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.5
a) Etiologi
Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh :
- Kehilangan darah/syok hemoragik
 Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
 Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
- Kehilangan plasma: luka bakar
- Kehilangan cairan dan elektrolit
 Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
 Internal : asites, obstruksi usus

b) Patogenesis
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi.
Tubuh secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non
vital dan dengan demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima
aliran darah. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan
turun akibat rangsang ‘baroreseptor’ di aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi
turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf simpatis di jantung dan organ
lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi vasokonstriksi dan
redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna, dan
ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan
akut ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan
merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary
posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di tubulus distalis
ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, menurunkan MAP (Mean
Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron dimana air dan
natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat perdarahan
akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi
yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah
meningkat. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan
perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang
luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara
konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga mentoleransi
penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari
splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat
waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya
dalam pertahanan tubuh.6
c) Tahapan Syok Hipovolemik
Perbedaan antara kelas-kelas syok hemoragik mungkin tidak terlihat jelas
pada seorang penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon
terhadap terapi semula dan bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi awal
saja. System klasifikasi ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan
patofisiologi keadaan syok. 5
Klasifikasi Penemuan Klinis Pengelolaan
Kelas I : kehilangan Hanya takikardi minimal, Tidak perlu penggantian
volume darah < 15 % EBV nadi < 100 kali/menit volume cairan secara IVFD
Kelas II : kehilangan Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 15 – 30 % takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan
EBV penurunan pulse pressure, kristaloid (RL atau NaCl
penurunan produksi urin 0,9%) sejumlah 3 kali
(20-30 cc/jam) volume darah yang hilang
Kelas III : kehilangan Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 30 - 40 % takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan
EBV perubahan status mental kristaloid (NaCl 0,9% atau
(confused), penurunan RL) dan darah
produksi urin (5-15 cc/jam)
Kelas IV : kehilangan Takikardi (>140 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah > 40 % EBV takipnea (35 kali/menit), yang hilang dengan cairan
perubahan status mental kristaloid (NaCl 0,9% atau
(confused dan lethargic), RL) dan darah
Bila kehilangan volume
darah > 50 % : pasien tidak
sadar, tekanan sistolik sama
dengan diastolik, produksi
urin minimal atau tidak
keluar
d) Penatalaksanaan syok
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah
mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat
mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul
akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok
sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat untuk
diagnosis dan terapi.8

Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari


penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera.
Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.8

Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus


mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari
kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.8

Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir
semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah – olah penderita menderita
syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh
suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus
dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8

a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisiknya diarahkan lepada diagnosis cedera yang
mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital
awal (baseline recordings) penting untuk memantau respons penderita terhadap
terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan
penderita mengijinkan.8

1) Airway dan Breathing


Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.8

2) Circulation (Sirkulasi – Kontrol Perdarahan)


Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang
jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi
jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat
dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya
perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan.
Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.8

3) Disability (Pemeriksaan neurologis)


Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik.
Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti
perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan
fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi
mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan
oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap
berasal dari cedera intrakranial

4) Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)


Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki
sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat
penting dilakukan tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemakaian
penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal
sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.8

5) Dilatasi lambung – Dekompresi


Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anak-anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus
yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi
lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.
Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan selang/pipa kedalam
perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk
mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik,
masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.8

6) Pemasangan kateter urin


Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.8

b. Akses pembuluh darah


Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral.8

c. Terapi awal cairan


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial
dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl
fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti
yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis
hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang
baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus.
Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak.
Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada
respons ini.8

Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar


diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah,
dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan
oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang
secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang
dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma
yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini dikenal sebagai
“hukum 3 untuk 1” (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respons
penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ
yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Bila, sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum
diketahui atau penyebab lain untuk syok.8
Penderita datang dengan perdarahan

Pasang infus jarum besar,


ambil sampel darah Catat tekanan darah, nadi,
perfusi, (produksi urin)
Ringer Laktat atau NaCl
0,9% 20ml/kgBB cepat,
ulangi. 1000-2000 ml
dalam 1 jam

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk


- Tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100
- Perfusi hangat,Hemodinamik
kering Teruskan cairan 2-4 x
baik
- Urin ½ ml/kg/jam estimated loss

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk


A

B C
A
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss),
syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga
terjadi hipoksia jaringan.7
Pada ½ jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur
setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam
keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir
hematokrit 10 – 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri,
memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras
habis.7

a. Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan


patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-
kira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai
volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume
darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila
kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume
sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-
90 ml/kg).8

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderitak, kehilangan


sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50%
EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah
transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari
10% EBV berkisar antara 2 – 4 x volume yang hilang.7

Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic


Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer
Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi
keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial
Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya.
Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut
telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan
terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi
diberikan.7

Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka
cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah
karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan
kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai
20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9

Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau
hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah antara lain:

1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan
paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
e) Monitor resusitasi
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita.
Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda
positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu,
pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan
pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai
peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan.8

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran
urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8

Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran
urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak
dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin
turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi
yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha
diagnostik.8

Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk


menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara
berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah
pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan
melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal dapat diketahui
penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan
perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui
operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap
perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara
simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi
berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah.
Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada
takikardi, takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih
syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak
menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai.

f) Tanda-tanda kegagalan resusitasi

a. TVS dan diuresis yang meningkat di atas normal. Hal ini menunjukkan
kelebihan cairan intra vaskular dan harus segera dikurangi.
b. TVS dan diuresis masih di bawah normal. Hal ini menunjukkan kekurangan
cairan intra vaskular dan perlu ditambah.

c. TVS meningkat, diuresis menurun. Perlu mengukur TBKP dan curah jantung
untuk penentuan terapi lebih lanjut.

g) Evaluasi terapi
Evaluasi yang penting adalah kontinuitas pengamatan parameter fisiologik
sebagaimana yang telah dianjurkan terdahulu.
Tambahan evaluasi antara lain :
a. Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernapasan tiap 15-30 menit.
b. Pengukuran keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan. Ingat bahwa
syok berat atau berlanjut sering disertai nekrosis tubular akut dan kegagalan
ginjal.
c. Pengukuran hematokrit periodik jika perdarahan diduga masih berlangsung.
Perlu diketahui bahwa penurunan hematokrit pada syok hemoragik tanpa
terapi tidak terjadi segera malainkan bertahap selama 24-48 jam. Hal ini
disebabkan karena terdapat hemodilusi.
d. AGD perlu dilakukan berulang-ulang karena pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan fungsi kardiorespirasi dalam
keadaan gawat darurat.
h) Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun – tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi
dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan
hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan
dalam memberikan koreksi defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan
titer anti A rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal
ini selalu tersedia di UGD.7

b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin,
hydroxy-ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh
plasma expander. Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal
daripada Ringer Laktat (kira-kira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi, baik karena dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini
dapat terjadi disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya.
Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal.
Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch darah dan pada dosis lebih
dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.7

c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik
dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga
Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.7

d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%


Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun
pemberian infus IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan
juga setelah cairan interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl
0,45% tidak dapat digunakan.7

Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan
keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4
kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular
20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung
selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan
atau tanpa peningkatan volume intrasel.8

Tabel 8. Berbagai Cairan Kristaloid10

Cairan Na+ K+ Cl- Ca++ HCO3 Tekanan


(mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) Osmotik
(mOsm/L)
Ringer 130 4 190 3 28* 273
Laktat
Ringer 130 4 109 3 28# 273
Asetat
NaCl 154 0 0 0 0 308
* #
0,9% sebagai laktat sebagai asetat
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan
cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik


dengan hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia
dengan asidosis metabolik, kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam
larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel.7

Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat


metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat.
Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.6

Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:

1. Cairan rumatan (maintenance).


Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi
cairan intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam
sel. Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline
¼ / NaCl 0,22%

2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)


Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada
perpindahan cairan melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 – 295
mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%, Ringer Laktat, koloid

3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295
mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat
hipertonik
BAB IV
KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan kegagalan perfusi jaringan yang disebabkan


oleh kehilangan cairan intravaskuler. Proses kegagalan perfusi akibat kehilangan
volume intravaskuler terjadi melalui penurunan aliran darah balik ke jantung (venous
return) yang menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung berkurang.
Penurunan hebat curah jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan
tidak optimal yang dalam kedaan berat menyebabkan syok. Gejala klinis syok
hipovolemik baru jelas terlihat bila kekurangan volume sirkulasi lebih dari 15%
karena pada tahap awal perdarahan kurang mekanisme kompensasi sisitim
kardiovaskuler dan saraf otonom masih dapat menjaga fungsi sirkulasi dalam kedaan
normal. Gejala dan tanda klinis juga tidak muncul pada waktu bersamaan, seperti
perubahan tekanan darah sitolik terjadi lebih lambat dari adanya perubahan tekanan
nadi, frekuensi jantung dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, pemeriksaan
dan penatalaksanaan yang cermat harus dilakukan untuk penatalaksanaan yang tepat,
serta penanggulangan segera kasus-kasus yang beresiko agar tidak jatuh kedalam
kondisi syok.
DAFTAR PUSTAKA

1. George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan


Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan
Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.
2. Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al.
Hypovolemic Shock Treatment & Management 2013: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
3. Guyton A, Hall J. The Heart (Unit III, Chapter 9-13). Textbook of Medical
Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 45-300.
4. Soenarto RF. Fisiologi Kardiovaskuler. In: Soenarto RF, Chandra S, editors.
Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 75-89.
5. Guyton A, Hall J. Circulation (Unit IV, Chapter 14-24). Textbook of Medical
Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 45-300.
6. Hidayat JK. Fisiologi Susunan Saraf Otonom. In: Soenarto RF, Chandra S,
editors. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 91-9.
7. Costanzo L. Physiology Cases and Problems. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2012.
8. Worthley LIG. Shock: a review of pathophysiology and management: Part I
Critical Care and Resuscitation. 2000;2:55-65.

Anda mungkin juga menyukai