DENGAN PENDARAHAN
Disusun Oleh:
10542038512
Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Anestesi,
Terapi Intensif, Dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar
Konsulen Pembimbing
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
LEMBAR PENGESAHAN...........……………............................................... . 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 5
Identitas Pasien....................................................................................... 5
Anamnesis ................................................................................................ 5
Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 6
Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 6
Diagnosis Kerja ...................................................................................... 7
Pre Operasi ............................................................................................... 8
Penatalaksanaan ..................................................................................... 6
Intra Operasi ........................................................................................... 7
Post Operasi ........................................................................................... 12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 13
BAB IV KESIMPULAN................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 29
BAB I
PENDAHULUAN
B. Anamnesis
Keluhan utama : nyeri perut bawah
Riwayat sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan nyeri pada perut bawah disertai susah buang
air kecil. Sebelumnya beberapa jam yang lalu pasien kontrol ke poli urologi untuk
pelepasan kateter. Riwayat Seminggu sebelumnya pasien telah menjalani TURP
Riwayat penyakut terdahulu
- Hipertensi (+)
- Dislipidemia (-)
- DM (-)
- Asma (-)
- Alergi obat dan makanan (-)
C. Pemeriksaan Fisik
GCS : E3M5V4
Tanda Vital
- Tekanan darah : 80/50 mmHg
- Nadi : 131 x/m
- Pernapasan : 34 x/m
- Suhu : 36.5oC
Status generalis
- Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup, capilary refill lebih dari 2 detik dan teraba hangat
- Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut
- Mata : Terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
- Pemeriksaan leher
a) Inspeksi : Tidak ada jejas
b) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat
pembesaran kelenjar tiroid
- Pemeriksaan toraks
a) Jantung
a. Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila
mamae sinistra
b. Palpasi : ictus cordis teraba
c. Perkusi :
Batas atas kiri SIC IILPS sinistra
Batas atas kanan SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri SIC V LMC sinistra
Batas bawah kanan SIC IV LPS dextra
d. Aulkultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur
b) Paru
a. Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan
dinamis serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak
b. Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan
kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak
c. Perkusi : sonor kedua lapang paru
d. Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua
pulmo. Tidak terdengar suara wheezing
c) Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi : Perut cembung, tidak simetris, tidak terdapat
jejas dan massa(+)
b. Auskultasi : peristaltic (+)
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : Teraba massa pada region kuadran kanan
bawah, nyeri tekan (+). Hepar dan lien tidak teraba
d) Pemeriksaan Ekstremitas
a. Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
b. Turgor kulit cukup, akral hangat
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Hematologi
WBC : 17,82^103/ul
HGB : 8.2 g/dl
HCT : 25.1%
PLT : 440^103/ul
CT : 7 mg/dl
PT : 15.3 mg/dl
APTT : 34.8
E. Kesan Anestesi
Laki-laki dengan pendarahan post TURP dengan ASA PS III
F. Penatalaksanaan
a. 02 8 Lpm via NRM
b. Pasang infus 2 jalur
c. Siap darah PRC 3 bag
d. Inj. Antibiotik sesuai profilaksis
e. Dorong pasien ke ICU Setelah KU membaik
G. Kesimpulan
ACC ASA III
H. Perhitungan MABL
Maximal allowable blood lose (MABL) yaitu batas jumlah perdarahan
yang masih bsa ditolerir sebelum melakukan transfusi.
Diketahui BB pasien = 50 kg, HCT pasien = 28.1
MABL = Initial HCT- HCT target x EBV
Initial HCT
EBV = BB X 75 (PRIA)
50 X 75 = 3750
MABL = 28.1- 25 X 3750
28.1
= 3.1 X 3750
28.1
= 413
MAINTENANCE
4 X 10 = 40
2 X 10 = 20
1 X 30 = 30 +
90
Jadi MABL pasien tersebut 413, jika perdarahan pasien sudah melewati
MABL maka pasien sudah harus ditransfusi.
Tn. D dengan keluhan nyeri pada perut bawah disertai susah buang air kecil.
Sebelumnya beberapa jam yang lalu pasien kontrol ke poli urologi untuk pelepasan
kateter. Riwayat Seminggu sebelumnya pasien telah menjalani TURP. Riwayat
Hipertensi (+),Dislipidemia (-), DM (-), Asma (-), Alergi obat dan makanan (-). Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA III.
Saat dilakukan evakuasi pendarahan, tanda vital pasien TD : 80/50 mmHg,
HR: 131x/m, RR: 34x/m, S: 36,5 C, itu merupakan tanda-tanda syok, pasien
diberikan cairan koloid yaitu Gelafusal 500 cc. Kemudian setelah itu pasien
ditransfusi 1 bag PRC (500cc). Cairan kristaloid yang diberikan selama operasi
sebanyak 1500 cc( 3 botol).
Setelah selesai dilakukan evakuasi pendarahan, pemantauan akhir TD
100/60mmHg; Nadi 108x/menit, pernapasan 24X/Menit dan SpO2 99%. Pasien
kemudian dibawa ke ruang ICU.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
b) Patogenesis
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi.
Tubuh secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non
vital dan dengan demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima
aliran darah. Saat terjadi perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan
turun akibat rangsang ‘baroreseptor’ di aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi
turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf simpatis di jantung dan organ
lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi vasokonstriksi dan
redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna, dan
ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan
akut ini, dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan
merangsang pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary
posterior akan melepas vasopressin, yang akan meretensi air di tubulus distalis
ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas renin, menurunkan MAP (Mean
Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron dimana air dan
natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat perdarahan
akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi
yang akan menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah
meningkat. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan
perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang
luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara
konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga mentoleransi
penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari
splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat
waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya
dalam pertahanan tubuh.6
c) Tahapan Syok Hipovolemik
Perbedaan antara kelas-kelas syok hemoragik mungkin tidak terlihat jelas
pada seorang penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon
terhadap terapi semula dan bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi awal
saja. System klasifikasi ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini dan
patofisiologi keadaan syok. 5
Klasifikasi Penemuan Klinis Pengelolaan
Kelas I : kehilangan Hanya takikardi minimal, Tidak perlu penggantian
volume darah < 15 % EBV nadi < 100 kali/menit volume cairan secara IVFD
Kelas II : kehilangan Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 15 – 30 % takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan
EBV penurunan pulse pressure, kristaloid (RL atau NaCl
penurunan produksi urin 0,9%) sejumlah 3 kali
(20-30 cc/jam) volume darah yang hilang
Kelas III : kehilangan Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 30 - 40 % takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan
EBV perubahan status mental kristaloid (NaCl 0,9% atau
(confused), penurunan RL) dan darah
produksi urin (5-15 cc/jam)
Kelas IV : kehilangan Takikardi (>140 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah > 40 % EBV takipnea (35 kali/menit), yang hilang dengan cairan
perubahan status mental kristaloid (NaCl 0,9% atau
(confused dan lethargic), RL) dan darah
Bila kehilangan volume
darah > 50 % : pasien tidak
sadar, tekanan sistolik sama
dengan diastolik, produksi
urin minimal atau tidak
keluar
d) Penatalaksanaan syok
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah
mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat
mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul
akibat dari perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok
sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi perangkat untuk
diagnosis dan terapi.8
Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir
semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah – olah penderita menderita
syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh
suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus
dipegang ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisiknya diarahkan lepada diagnosis cedera yang
mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital
awal (baseline recordings) penting untuk memantau respons penderita terhadap
terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan
penderita mengijinkan.8
B C
A
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss),
syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga
terjadi hipoksia jaringan.7
Pada ½ jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur
setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam
keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir
hematokrit 10 – 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri,
memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras
habis.7
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka
cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah
karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan
kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai
20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau
hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan
paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
e) Monitor resusitasi
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita.
Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda
positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu,
pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan
pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai
peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan.8
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal
yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran
urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran
darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran
urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak
dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin
turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi
yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha
diagnostik.8
a. TVS dan diuresis yang meningkat di atas normal. Hal ini menunjukkan
kelebihan cairan intra vaskular dan harus segera dikurangi.
b. TVS dan diuresis masih di bawah normal. Hal ini menunjukkan kekurangan
cairan intra vaskular dan perlu ditambah.
c. TVS meningkat, diuresis menurun. Perlu mengukur TBKP dan curah jantung
untuk penentuan terapi lebih lanjut.
g) Evaluasi terapi
Evaluasi yang penting adalah kontinuitas pengamatan parameter fisiologik
sebagaimana yang telah dianjurkan terdahulu.
Tambahan evaluasi antara lain :
a. Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernapasan tiap 15-30 menit.
b. Pengukuran keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan. Ingat bahwa
syok berat atau berlanjut sering disertai nekrosis tubular akut dan kegagalan
ginjal.
c. Pengukuran hematokrit periodik jika perdarahan diduga masih berlangsung.
Perlu diketahui bahwa penurunan hematokrit pada syok hemoragik tanpa
terapi tidak terjadi segera malainkan bertahap selama 24-48 jam. Hal ini
disebabkan karena terdapat hemodilusi.
d. AGD perlu dilakukan berulang-ulang karena pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan fungsi kardiorespirasi dalam
keadaan gawat darurat.
h) Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun – tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi
dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan
hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan
dalam memberikan koreksi defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan
titer anti A rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal
ini selalu tersedia di UGD.7
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin,
hydroxy-ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama di intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh
plasma expander. Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal
daripada Ringer Laktat (kira-kira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi, baik karena dextran maupun gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini
dapat terjadi disertai dengan syok, yang memerlukan adrenalin untuk mengatasinya.
Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal.
Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch darah dan pada dosis lebih
dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.7
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik
dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga
Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.7
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan
keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4
kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular
20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung
selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin.
Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan
atau tanpa peningkatan volume intrasel.8
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295
mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat
hipertonik
BAB IV
KESIMPULAN