PENDAHULUAN
Dalam praktek sehari-hari menghadapi pasien dengan [enyakit kulit sebelum
menegakan diagnosis dan terapi, sebaiknya dilakukan pendekatan komunikasi yang
efektif, kemudian dilakukan pengamatan penyakit kulit khususnya morfologi, guna
memperoleh gambaran khas yang mendukung diagnosis.
Setelah mendapatkan kesan mengenai kesehatan pasien, membuat diagnosis kulit
dimulai dengan melihat aspek morfologi kelainan kulit. Dalam hal ini penting
mempelajari kelainan kulit dengan menentukan ciri dasarnya.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan dan penentuan diagnosis sebaiknya dilakukan sebagai berikut:
1. Bila pasien datang untuk pertama kali kepada dokter, dapat ditanyakan kepada
pasien tentang keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat. Sudah
selayaknya bila pasien berobat untuk eksim, dokter tidak mengobati lipoma atau
fibroma yang dideritanya. Namun, bila dilihat pasien juga menderita basalioma,
tentunya juga diberi nasehat agar tumir tersebut diperiksakan dan diobati. Keluhan
utama, misalnya rasa gatal, nyeri, panas, baal, lepuh, koreng, benjolan, peruahan
bentuk dan estetika, gangguan fungsi berkemih dan tubuh) hendaknya disertai
dengan keterangan lama sakit. Hal tersebut penting untuk menilai apakah pernyakit
tersebut akut atau kronis.
2. Hal yang penting ditanyakan kepada pasien adalah:
Awitan sakit (onset of the disease)
Riwayat perjalanan penyakit dan kejadian selama penyakit berlangsung
Faktor yang memengaruhi penyakit (menjadikan lebih berat atau buruk,
lebih baik atau berkurang). Misalnya infeksi di gigi atau di tenggorokan
atau stres yang dapat menjadi faktor pemicu, istirahat atau penggunaan obat
tertentu yang dapat meringankan penyakit.
Faktor genetik atau faktor penyakit di keluargasedarah, dan faktor
predisposisi, seperti diabetes atau riwayat penyakit di masa lampau,
misalnya alergi atau riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit sekarang.
Riwayat penggunaan obat tertentu untuk penyakit yang
dideritanyamaupaun untuk penyakit lain, dan pengaruh obat tersebut.
Anamnesis tidak perlu dilakukan terinci, tetapi dapat dilakukan lebih terarah
pada diagnosis kerja atau diagosis banding setelah dan sewaktu inspeksi.
3. Pemeriksaan dermatologik
Inspeksi
Bantuan pemeriksaan dengan kaca pembesar dapat dilakukan. Pemeriksaan ini
mutlak dilakukan dalam ruangan yang cukup cahaya. Anamnesis terarah
biasanya dilakukan bersamaan dengan inspeksi untuk melengkapi data
diagnostik. Misalnya pasien yang menderita dermatitis pada tangan, perlu
ditanyakan ada tidaknya kelainan di tempat lain. Selain itu jenis pekerjaan atau
kebiasaan yang sering dilakukan, atau adanya hubungan dengan bahan tertentu
yang digunakan di tangan tersebut.
Bila ada kelaianan di tempat lain, perlu dilakukan inspeksi seluruh tubuh
pasien. Mintalah dengan hormat agar pasien bersedia diperiksa seluruh
tubuhnya dan terangkan tujuan dan mafaat dengan jelas. Demikian perlu
dilakukan pemeriksaan rambut, kuku, dan selaput lendir (mukosa mulut,
mukosa genital dan anal), terutama pada penyakt tertentu misalnya liken planus
atau psoriasis. Inspeksi dilakukan secara cermat dan teliti, rekam dalam ingatan,
agar kita tidak perlu memeriksa bolak-balik. Kemudian catat di rekam medis,
tanggal pemeriksan, jam, lokasi, morfologi, yang ditemukan serta tanda spesifik
yang didapat.
Pada inspeksi perlu dilakukan lokasi dan penyebaran, warna, bentuk dan batas,
ukuran setiap morfologi (efloresensi) di masing-masing lokasi. Inspeksi perlu
diikuti dengan palpasi untuk mengetahui tekstur kulit, elastisitas, suhu kulit,
kulit lembab, atau kulit kering atau berminyak, dan permukaan masing-maisng
jenis lesi.
Bila terdapat kemerahan pad akulit, ada tiga kemungkinan:
- Eritema
- Purpura
- Telangiektasis
Cara membedakannya yakni ditekan dengan jari dan digeser. Pada eritema
warna kemerahan akan hilang, dan warna tersebut akan kembali setelah jari
dilepaskan karena terjadi vasodilatasi kapiler. Sebaliknya pada purpura tidak
menghilang karena terjadi perdarahan di kulit, demikian pula dengan
telangiektasis akibat pelebaran pembuluh darah yang menetap.
Cara lain adalah dengan diaskopi, yaitu menekan dengan benda transparan
(diaskopi)pada tempat kemerahan tersebut. Diaskopi disebut positif bila warna
merah menghilang (eritema), disebut negatif bila warna merah tidak
menghilang (purpura atau telangiektasis). Pada telangiektasis akan tampak
kapiler yang berbentuk seperti tali yang berkelok-kelok dapat berwarna merah
atau biru.
Palpasi
Pada palpasi diperhatikan masing-masing jenis lesi, apakah permukaan rata,
tidak rata (berbenjol-benjol), licin/halus atau kasar, dan konsistensi lesi
misalnya padat, kenyal, lunak, dan nyeri pada penekanan. Perhatikan pula
adanya tanda-tanda radang akuatau tidak,
- Tumor (benjolan atau pembengkakan)
- Colour (warna kemerahan)
- Dolor (nyeri)
- Kalor (panas)
- Fungsiolesa (gangguan fungsi kulit misalnya keringat berlebih atau tidak
berkeringat). Bila ada tanda radang akut sebaiknya diperiksa kelenjar getah
bening regional, maupun generalisata.
4. Beberapa periksaan sederhana dan langsung dapat dilakukan dengan alat bantu,
misalnya:
Pemeriksaan diaskopi dengan guna membedakan eritema dan purpura
Uji gores (dermografism), yaitu dengan menggoreskan benda tumpul di kulit
kemudian timbul urtika sesuai goresan tersebut (misalnya pada urtika
pigmentosa)
Uji white dermographisme, yaitu setlah dilakukan goresan tersebut tidak
muncul urtika, melainkan hanya goresan putih saja. Hal tersebut terjadi pada
dermatitis atopik.
Uji tanda Nikolsky guna menilai apakah ada tanda epidermolisis. Tanda
Nikolsky langsung dikatakan positif bila atap bula ditekan, maka bula akan
melebar kesaping menjadi lebih luas. Uji Nikolsky tidak langsung dikatakan
positif bila kulit diantara dua bila ditekan dan digeser, maka kulit tersebut akan
terangkat/terlepas dari dasarnya.
Beberapa uji diagnostik lain, misalnya pada psoriasis dapat dilakukan uji
tetesan lilin, fenomena Auspitz, dan fenomena Koebner (dapat dibaca pada
topik psoriasis).
5. Setelah pemeriksaan dermatologik (inspeksi dan palpasi) dan pemeriksaan umum
(internal selesai), maka dapat dibuat kesimpulan diagnosis sementara (diagnosis
kerja), dan diagnosis banding berdasarkan data anamnesis yang diperoleh dan
morfologik (termasuk tanda spesifik dan patognomonik).
6. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, misalnya:
- Pemeriksaan langsung dari kerokan kulit
- Slit skin smear (khusus untuk pemeriksaan M.lepra)
- Cairan/duh tubuh guna pemeriksaan bakteriologik dan jamur.
- Bilamana diperlukan rencana pemeriksaan darah, urin, dan faeces lengkap,
dan biopsi jaringan kulit untuk pemeriksaan histopatologik yaitu
pemeriksaan imunohistokimia, serta tes serologik
- Pemeriksaan khusus kulit misalkan tes tempel, dan tes tusuk (prick test)
dilakukan sesuai dengan indikasi
- Guna membutikan keterlibatan organ lain, perlu dikonsulkan ke bagian
terkait, misalnya penyakit dalam, kesehatan anak, hematologi, neurologi,
gigi, mata, dan THT.
7. Setelah seluruh hasil pemeriksaan selesai dengna tambahan hasil pemeriksaan
penunjang dapat diharapkan membangun diagnosis pasti.
MORFOLOGI KULIT
Dermatologi dapat dipelajari secara sistematis oleh Plenck (1776) menulis bukunya
yang berjudul System der Hautkrankheiten. Berdasarkan efloresensi (ruam) tersebut
penyakit kulit mulai dipelajari secara sistematis. Sampai kini pemikiran Plenck masih
dipakai sebagai dasar membuat diagnosis penyakit kulit secara klinis, walaupun
ditambah dengan segala kemajuan di bidang teknologi bakteriologi, mikologi,
histopatlogi, dan imunologi.
Jadi untuk mempelajari penyakit kulit mutlak diperlukan pengetahuan tentang ruam
kulit atau morfologi atau ilmu yang mempelajari lesi kulit.
Efloresensi kulit dapat berubah pada waktu berlangsungnya penyakit. Proses tersebut
dapat merupakan proses yang lazim dalam perjalan proses patologik. Kadang-kadang
perubahan ini dapat dipengaruhi oleh keadaan dari luar, misalnya garukan dan
pengobatan yang dilakukan, sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi, akibatnya
gambaran klinis morfologik penyakit menyimpang dari yang biasa sehingga sulit
dikenali. Demi kepentingan diagnosis, penting sekali mencari kelainan yang pertama
(efloresensi primer) yang biasanya khas untuk penyakit tersebut.
Menurut Prakken (1966) yang disebut sebagai efloresensi (ruam) primer:
- Makula
- Papul
- Plak
- Urtika
- Nodus
- Nodulus
- Vesikel
- Bula
- Pustul
- Kista
Sedangkan yang dianggap sebagai efloresensi sekunder adalah:
- Skuama (sangat jarang sekali timbul sebagai efloresensi primer)
- Krusta
- Erosi
- Ulkus
- Sikatriks
Berikut ini akan diberikan definisi kelainan kulit dengan istilah-itilah yang behubungan
dengan kelainan tersebut.
Makula adalah kelainan kulit berbatas tegas yang berupa perubahan warna semata-
mata. Contoh:
- Melanoderma
- Leukoderma
- Eritema
- Purpura
- Petekie
- Ekimosis
Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh
darah kapiler yang reversible.
PENUTUP
Pemahaman mengenai morfologi kulit dan aplikasi dalam praktek sehari-hari sangatlah
penting. Penulisan didalam rekam medis harus jelas dan benar, sehingga dalam
penyusunan status harus mengikuti kaidah ilmiah.
Status pemeriksaan pasien kulit harus lengkap, mulailah dengan identitas, anamnesis
terkait denga penyakit, pemeriksaan fisik umum (sangat penting, namun sering dokter
melewatkannya), status dermatologikus (lokasi dan morfologi), pemeriksaan
diagnostik langsung dengan atau tanpa laboratorium penunjang. Dari data tersebut
(kumpulan gejala dan tanda) buatlah kesimpulan diagnosis kerja (sementara) dengan
diagnosis banding, buat perencanaan apakah hendak dilakukan penunjang
laboratorium/intervensi, atau dirujuk ke departemen lain untuk melihat apakah ada
eterlibatan organ tertentu.
Bila semua telah terkumpul buatlah diagnosis kerja. Tentukan rencana terapi medika
mentosa dan nonmedika mentosa. Tentukan prognosis dan rencana tindak lanjut.