Anda di halaman 1dari 32

MODUL KEPERAWATAN KELUARGA DAN KOMUNITAS II

Diskusi Kelompok “Penyakit Menular TBC”

Semester V Tahun Ajaran 2018/2019

Dosen Pengampu:

Ns. Uswatun Khasanah, S.Kep., MNS

Disusun Oleh:

Kelompok 1 PSIK 2016 Kelas A

Nina Diana 11161040000002

Ernidya Damayanti 11161040000009

Annisa Putri Utami 11161040000013

Dea Putri Rahmadani 11161040000015

Vina Ayu Wardani 11161040000018

Tika Rahmawati 11161040000024

Fitriyani Nursyifa 11161040000081

Dawda Kairaba Kijera 11161040000089

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

NOVEMBER/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat,
sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di
alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta
harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Ibu Ns. Uswatun Khasanah, S.Kep.,
MNS selaku Dosen Modul Keperawatan Keluarga dan Komunitas II yang telah membantu kami,
sehingga makalah DK Pemicu III “TBC” ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya menturuti
egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk
lebih menyempurnakan makalah kami dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang
kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari makalah ini, sebagai
tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Ciputat, 13 November 2017

Penyusun

2|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................2


DAFTAR ISI ...................................................................................................................................3

BAB I : PENDAHULUAN ...........................................................................................................4


A. Latar Belakang ........................................……............................................................5
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan .........................................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................................................6
2.1.1 Definisi…………...................................................................................................................6
2.1.2 Etiologi...................................................................................................................................6
2.1.3 Epidemoiologi........................................................................................................................7
2.4. Dampak atau Komplikasi.........................................................................................................8
2.5 Peran Perawat…………………………………………………………………………………8
2.6 Patologik TBC........................................................................................................................13
2.7 Pengobatan TBC dan Drop Out Pengobatan TBC..................................................................14
2.8 Drop Out pengobatan TBC…….............................................................................................22
2.9 Upaya Pencegahan TBC dan Drop Out..................................................................................26
2.10 Asuhan Keperawatan…………………................................................................................28

BAB III : PENUTUP...................................................................................................................31


3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................31
3.2 Saran ..................................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................33

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laporan WHO menyatakan bahwa jumlah terbesar kasus Tuberculosis Paru (TB paru)
terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TB
paru adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan
bahwa jumlah terbesar kematian akibat penyakit ini di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau
angka mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Indonesia menduduki urutan ketiga
setelah India dan China dalam jumlah penderita TB paru di dunia. Jumlah penderita TB paru dari
tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TB
paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TB di Indonesia. Tuberculosis paru adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk basil dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga
untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama basil Koch. TB paru terutama menyerang
paru- paru sebagai tempat infeksi primer, selain itu, tuberculosis dapat juga menyerang kulit,
kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TB paru menular melalui droplet infeksius yang
terinhalasi oleh orang sehat.Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa
tahun. Sifat dormant ini berarti kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tubercolosis aktif
kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang kaya oksigen, dalam hal ini tekanan bagian apical paru-paru lebih
tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkolosis. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB paru BTA positif kepada orang yang
berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

4|Page
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan TBC ?


1.2.2 Bagaiamana dengan etiologi TBC ?
1.2.3 Bagaimana epidemiologi (prosesperjalanan penyakit TBC) ?
1.2.4 Bagaimana dampak dan komplikasi terhadap TBC ?
1.2.5 Bagaimana Upaya pencegahan dan penanganan TBC dari segi perawat, dan pemerintah ?
1.2.6 Bagaimana patogenesis TBc ?
1.2.7 Apa itu drop out TBC ?

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahu matei tentang penyakit menular berupa TBC yaitu


definisi,etiologi,patofisiologi,epidemiologi,dampak, komplikasi, upaya pencegahan ,
penanganan, dan drop out.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa/i dapat mengetahui
tentang penyakit menular yaitu TBC.

5|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang langsung disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacteriu Tuberculose). Kuman tersebut masuk kedalam tubuh manusia melalui udara
(Pernafasan) ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut menyerang dari paru ke organ tubuh lain
melalui peredaran darah, kelenjar limfe, saluran nafas dan langsung ke orang. (Depkes RI. 2002)

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal darituberkel yang berartitonjolan kecil dan
keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membanguntembok mengelilingi bakteri dalam
paru.

2.2 Etiologi

Disebabkan oleh bakteri bacillus Mycobacterium Tuberculosa Kuman berbentuk batang (basil)
yang tahan terhdap penularan asam pewarnaan (BTA), tetapi cepat mati bila terkena sinar
matahari langsung. M.Tuberculosa dapat hidup dan tetep menginfeksi beberapa minggu delam
keadaan kering tetapi dapt mati pada suhu 60 derajat celcius dalam waktu 15-20 menit. Dalam
suasana gelap dan lembab kuman tuberculosis dapat bertahan berhari-hari bahakn berbulan-
bulan.

2.3 Epidermiologi

2.3.1 Personal 1. Umur

Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak.Sebagian besar


penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data
WHO menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak
terdapat pada umur produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun
2008 menunjukkan jumlah penderita baru TbParu positif 87,6% berasal dari
usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤55
tahun)

6|Page
2. Jenis Kelamin

Penyakit TbParu menyerang orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan


perempuan. Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia produktif

3. Stasus gizi

Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi seluruh
sistem tubuh termasuk sistem imun. Sistem kekebalan dibutuhkan manusia
untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh `mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman
Tb paru akan mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam
paru-paru kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang terinfeksi kumanTB
Paru belum tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh
orang tersebut. Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur
di dalam tubuh (dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun
apabila daya tahan tubuh lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi
penyakit. Penyakit Tb paruLebih dominan terjadi pada masyarakat yang status
gizi rendah karena sistem imun yang lemah sehingga memudahkan kuman Tb
masuk dan berkembang biak

2.3.2 Tempat 1. Lingkungan

TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang ditularkan


melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor.
Penderita Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada
lingkungan yang kumuh dan kotor

2. Kondisi sosial ekonomi

Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO pada tahun
2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru sebagaian besar
berada di negara yang relatif miskin
7|Page
2.3.3 Waktu Penyakit Tbparu dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada saat itu
kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya Tb paru.

2.4 Dampak atau Komplikasi

Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.Komplikasi-


komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi dua, yaitu : Komplikasi
dini:komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.

2.4.1 Komplikasi pada stadium lanjut:

Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut adalah:

a. Hemoptisis masif (pendarahan dari salurannafas bawah) yang dapat mengakibatkan


kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik

b. Kolaps lobus akibat sumbatan ductus

c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) padaparu

d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan sebagainya

2.5 Peran Perawat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan /


2.5.1 Level komunitas
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu
maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan
terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan

8|Page
kesejahteraannya.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya menumbuhkan


kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk meningkatkan
posisi tawar (bargaining power ), sehingga memiliki akses
dan kemampuan untuk mengambil keuntungan timbal balik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial, kesehatan dan budaya
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri,
pedoman umum) upaya pemberdayaan masyarakat perlu
memperhatikan sedikitnya empat unsur pokok yaitu : a)
Aksesibilitas informasi, karena imformasi merupakan faktor
berharga kaitannya dengan peluang, layanan, penegakan
hukum, efektivitas negosiasi, dan akuntabilitas ; b)
Keterlibatan dan partisipasi, yang menyangkut siapa yang
dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan
proses pembangunan; c) Akuntabilitas, kaitannya dengan
pertanggung jawaban publik atas segala kegiatan yang
dilakukan dengan mengatas namakan rakyat; d) Kapasitas
organisasi lokal, kegiatannya dengan kemapuan bekerja sama
mengorganisasi warga masyarakat, serta memobilitasi sumber
daya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi.

Tujuan Pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi TB Paru


adalah membentuk kemandirian agar masyarakat agar secara
mandiri mempunyai kesadaran akan pentingnya upaya
pencegahan untuk menanggulangi penyakit TB paru dengan
membentuk subjektif norm pada setiap individu dalam
keluarga baik sebagai keluarga penderita secara langsung
maupun tidak langsung. Hal ini dapat mengambil beberapa
contoh untuk membentuk sikap kemandirian dalam upaya

9|Page
pencegahan penyakit TB paru.

Kemandirian dari suatu masyarakat atau kelompok dapat


dilihat pada indikator kemandirian tentang bagaimana
masyarakat mempunyai akses, kemampuan utuk mandiri
tentunya ada 1 indikator yaitu : 1) indikator knowledge
mencakup pengetahuan tentang cara penularan TB paru dan
hubungan TB paru dengan penyakit yang merusak immunitas,
2) indicator kemampuan (capacity) mencakup kemampuan
masyarakat merawat penderita TB paru di rumah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko, 3)indikator kepercayaan
(trust) mencakup sikap masyarakat terhadap informasi dan
program yang dijalankan untuk mengatasi TB paru serta, 4)
participatory yang mencakup tingkat kunjungan penderita TB
ke uskesmas, ketuntasan pengobatan, keterlibatan support
system dalam pengendalian TB $arukhususnya di daerah
endemik.

2.5.2 Level Management Pengaruh beyond health terhada penyakit TB paru seperti
fasilitas perumahan yang kumuh, lembab yang memudahkan
kuman TB hidup dan berkembang biak. Faktor kemiskinan
besar perannya dalam uaya pengobatan, upaya preventif, dan
akses terhadap pelayanan kesehatan. kemandirian masyarakat
yang dapat dinilai dari beberapa faktor antara lain:
kemandirian untuk patuh minum obat dan pemeriksaan ulang
dahak paska penyembuhan, kemandirian dalam melakukan
upaya pencegahan penyakit TB paru, dan kemandirian dalam
pengobatan dan kesatuhan dalam minum obat. Value atau nilai
tentang penyakit TB paru di masyarakat dapat membentuk
norma subjektif pada masyarakat yang akan memengaruhi
10 | P a g e
upaya kemandirian masyarakat dalam upaya pencegahan,
pengobatan dan kepatuhan minum obat TB. Terbentuknya
subjective norm masyarakat terhadap upaya pencegahan
penyakit yang berpengaruh secara langsung terhadap angka
kesakitan TB paru.

Dalam melaksanakan promosi kesehatan berbasis


pemberdayaan tersebut peran yang dapat ditampilkan oleh
perawat adalah : advokat , pendidik, coordinator, fasillitator,
agen pembaharu, pengorganisir pelayanan serta pengamat
kesehatan. Adapun strategi implementasinya dapat dilakukan
pendekatan kepada tokoh penting di masyarakat dan support
system pendukung lainnya untuk mengoptimalkan pencapaian
kemandirian yang diinginkan (membangun jejaring
kerjasama)."

Dalam program penanggulangan TB paru di Indonesia bentuk


riil program kerja perawat manager yaitu :

1. menjalin Partnership

Partnerships adalah setiap orang atau kelompok yang


memiliki kepedulian, kemauan, kemampuan dan komitmen
yang tinggi unutk memberikan dukungan serta kontribusi
pada pengendalian TB dengan berperan sesuai potensinya.
Potensi tersebut dimanfaatkan secara optimal untuk
keberhasilan penanganan TB

2. Case Manager

Keberhasilan ekspansi DOTS di Indonesia membutuhkan


dukungan manajerial yang kuat. Desentralisasi pelayanan
kesehatan berpengaruh negatif terhadap kapasitas sumber
daya manusia dan program pengendalian TB. Dalam hal ini

11 | P a g e
perawat dapat berperan sebagai case manager TB paru,
banyak hal yang bisa dilakukan oleh perawat dalam bidang
ini. Salah satu wujud nyata dari peran case manager adalah
mengontrol perkembangan kasus TB. Kegiatan tersebut dapat
dispesifikasikan menjadi : Pengembangan SDM, Monitoring,
Evaluasi (Surveilance)

2.5.3 Level Klinis 1. Care Giver

Perawat sebagai care giver adalah pemberi pelayanan


kesehatan yang berfokus pada kesembuhan klien. Perawat
sebagai Care Giver dapat berperan di puskesmas ataupun
dirumah sakit.

2. Researcher

Penelitian saat ini masih harus dikembangkan danhasilnya


perlu didesiminasikan bagian dari system informasi strategis
untuk pengambilan keputusan dalam program pengandaian
TB. Sehingga perawat mempunyai kesempatan yang sanngat
besar terkait program tersebut. Data-dat yang ditemukan
terkait kejadian TB, upaya penanggulangan yang benar serta
trategi yang tepat untuk menelan kasus Tb paru.

3. Educator

Peran perawat klinis selanjutnya adalah educator. Pendidik


sangat berperan dalam kesembuhan pasien TB. Mengingat
proses pengobatan TB yang sangat panjang yaitu pasien
diwajibkan meminum obat selama 6 bulan tanpa boleh
terputus yang dapat membuat pasien jenut dalam
pengobatannya. Dan juga efek samping yang ditimbuka oleh
obat anti tuberculosis (OAT) yang membuat pasien mual nyeri

12 | P a g e
sendi dsb. Maka sebagai pendidik, perawat harus bisa
memotivasi pasien agar terus meminum obatnya tanpa
terputus.

2.6 Patologik TBC

Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses patologik
yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan
patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat
aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus
paling tinggi.

Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang
karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada
jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit
polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan
akhirnya mematikan sel fagosit.

Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus
masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel
fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar,
intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel
epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun
tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel
epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia
Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar
dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma,
kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan

13 | P a g e
jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat
mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai
jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium
pada bahan perkijuan.

Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba
virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula
granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag
menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi
granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit.

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan
yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan
terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman
tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan
sekaligus imuniti.

2.7 Pengobatan TBC dan Drop Out pengobatan TBC


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4
atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

2.7.1 . OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

a. Rifampisin

b. Isoniazid

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

e. Etambutol

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

14 | P a g e
a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg
dan pirazinamid. 400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

a. Kanamisin

b. Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

Derivat rifampisin dan INH

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

a. Kapreomisin

b. Sikloserino

c. PAS (dulu tersedia)

d. Derivat rifampisin dan INH

e. Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Dosis OAT :

a. Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau BB > 60 kg : 600 mg
atau BB 40-60 kg : 450 mg atauBB < 40 kg : 300 mg atau Dosis intermiten 600 mg / kali

b. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X


semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali

15 | P a g e
c. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2
X semingggu atau : BB > 60 kg : 1500 mg atau BB 40-60 kg : 1 000 mg atau BB < 40 kg
: 750 mg

d. Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg atau BB 40 -60 kg :
1000 mg atau BB < 40 kg : 750 mg atau Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

e. Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg : 1000mg atau BB 40 - 60 kg : 750 mg atau


BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi dosis tetap : Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita
hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat
menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan
sesuai dengan pedoman pengobatan.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.

Efek Samping OAT : Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan
obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

a. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,
rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra) Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan
sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

16 | P a g e
b. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik
ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare

c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang

c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin dapat menyebabkan
warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

c. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.

d. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,


buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut

17 | P a g e
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak
diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

e. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan
peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada
penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.

Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi)
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr

Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon. Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan
obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

2.7.2 PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1. TB paru (kasus baru), BTA positif, atau lesi luas.

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH

Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE Paduan ini dianjurkan untuk

TB paru BTA (+), kasus baru

18 | P a g e
TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:

TB dengan lesi luas

Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid)

TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH

Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE Paduan ini dianjurkan untuk :

TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal

TB di luar paru kasus ringan

TB paru kasus kambuh Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada
fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji
resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program
P2TB)

3. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT
minimal 2 OAT yang masih sensitif (seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2
RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

19 | P a g e
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1
RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)

Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya
kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

4. TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :

Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadwal

Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu

Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP

Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali
sesuai jadual.

5. TB Paru kasus kronik

Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah
ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT
yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid

Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

20 | P a g e
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

2.7.3 PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.

a. Penderita rawat jalan

Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam Bila perlu dapat
diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

b. Penderita rawat inap

Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

a. Batuk darah (profus)

b. Keadaan umum buruk

c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleura masif / bilateral

f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

g. TB di luar paru yang mengancam jiwa :

21 | P a g e
h. TB paru milier

i. Meningitis TB

j. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat.

2.8 Drop out dan pengobatan TBC

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

2.8.1 RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)

Definisi : Rsistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya.

1. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

2. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan
TB

3. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

4. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
penderita TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu
hanya 4 sampai 16 minggu.

“WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resitensi ganda kini
menyebar di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususnya rifampisin
dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat antituberkulosis yang lainnya. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR.

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :

22 | P a g e
a. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

b. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat
misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan, maupun karena
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

c. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang nya daftar obat yang resisten Penggunaan obat kombinasi yang
pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga
kadang menimbulkan kebosanan Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB, Belum
menggunakan strategi DOTS , Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi
untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”, bergantung dari
hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat
tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin,
klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat. Saat ini paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif
minimal 2 – 3 OAT dari obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2)golongan kuinolon, yaitu
Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400 mg

23 | P a g e
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama
yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan

Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini kurang menggembirakan. Pada
penderita non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.

Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci
penting mencegah dan mengatasi masalah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat
penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda Prioritas yang
dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB Pencegahan resistensi dengan
cara pemberian OAT yang tepat dan pengawasan yang baik.

DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) Organisasi Kesehatan


Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis
adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena
itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi
dengan baik. DOTS mengandung lima komponen, yaitu :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy)

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik Istilah DOT
diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengawasan dilakukan oleh :

6. Penderita berobat jalan

7. Langsung di depan dokter

24 | P a g e
8. Petugas kesehatan

9. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)

10. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

11. Penderita dirawat

Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas RS, selesai
perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan..

Tujuan :

Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

Mencegah putus berobat

Mengatasi efek samping obat

Mencegah resistensi

Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai harus diingat:

Tentukan seorang PMO Berikan penjelasan kepada penderita bahwa harus ada seorang PMO dan
PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT

Persyaratan PMO PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita TB sampai sembuh
selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota
keluarga yang disegani penderita

Tugas PMO Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan pengawasan kepada


penderita dalam hal minum obat, mengingatkan penderita untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai
jadwal, memberitahukan / mengantar penderita untuk kontrol bila ada efek samping obat,
bersedia antar jemput OAT jika penderita tidak bisa datang ke RS /poliklinik

Petugas PPTI atau Petugas Sosial Untuk pengaturan/penentuan PMO, dilakukan oleh PKMRS
(Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit), oleh PERKESMAS (Perawatan Kesehatan
Masyarakat) atau PHN (Public Health Nurse), paramedis atau petugas sosial

25 | P a g e
Petugas sosial Ialah volunteer yang mau dan mampu bekerja sukarela, mau dilatih DOT.
Penunjukan oleh RS atau dibantu PPTI, jika mungkin diberi penghargaan atau uang transport.
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara :

Peroranga/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun keluarga) dapat dilakukan di unit


rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll

Kelompok Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok penderita, kelompok


keluarga penderita, masyarakat pengunjung RS dll. Cara memberikan penyuluhan : Sesuaikan
dengan program kesehatan yang sudah ada Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk
diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya Beri
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas Gunakan bahasa yang
sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet
dll)

DOTS PLUS

Merupakan strategi pengobatan dengan menggunakan 5 komponen DOTS Plus adalah


menggunakan obat antituberkulosis lini 2 DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang
tidak menggunakan strategi DOTS. Strategi DOTS Plus merupakan inovasi pada pengobatan
MDR-TB

2.9 Upaya pencegahan tbc dan drop out

2.9.1 Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :

Terapi pencegahan :

Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300
mg ) sehari selama minimal 6 bulan.

Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan

2.9.2 Upaya pencegahan drop out pengobatan


26 | P a g e
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat.

a. Evaluasi klinik

Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1
bulan. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit . Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi
bakteriologik (0 - 2 - 6 /9) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan
& evaluasi pemeriksaan mikroskopik . Sebelum pengobatan dimulai Setelah 2 bulan pengobatan
(setelah fase intensif) Pada akhir pengobatan . Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2
– 6/9) Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9) .

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

a. Sebelum pengobatan

b. Setelah 2 bulan pengobatan

c. Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap. Fungsi
hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk
data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan Asam urat diperiksa bila
menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri. Pada
anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling
penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat

27 | P a g e
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat.
Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita,
keluarga dan lingkungan

Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi penderita yang telah sembuh Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap
dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya
kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA
dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.

2.10 Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan

A. Pengkajian Umum
Identitas, keluhan, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dulu, riwayat sosial
ekonomi, dan lingkungan.
B. Pengkajian pola fungsi Kesehatan
Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan, pola nutrisi dan metabolik, pola
eliminasi, pola aktivasi, pola tidur, dan istirahat, pola persepsi diri, dan pola peran
hubungan.
C. Pengkajaian Khusus
 Aktivitas/istirahat : gejala; kelemahan dan kelelahan tanda; kesulitan tidur, demam
malam hari.
 Makanan : gejala: kehilangan nafsu makan, tanda; penurunan berat badan
 Nyeri/kenyamanan: gejala; nyeri dada meningkat karena batuk, tanda; pasien
meringis, tidur tidak nyenyak
 Pernafasan : batuk berdarah, sesak nafas
 Cardiovaskuler : takikardi
D. Pemerikasaan Fisik
Inpeksi, perkusi, auskultasi, palpasi
E. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium: kultur sputum
 Test kulit: mantoux
 Leukosit ringan dengan predominasi limfosit
 GDA : abnormal
28 | P a g e
 Pemerikasaan radiologi
 Pemerikasaan fungsi paru: penurunan kualitas vital
F. Analisis Data
Data subjektif:
 Mengeluh tidak ingin di skrining
 Mengeluh panas
 Batuk berdarah
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Malaise

Data objektif:

 Klien datang ke puskesmas sudah di dapati TB


 Terdapat klien TB diantaranya 5 dewasa dan 10 balita
 Ronki basah, kasar dan nyaring
 Bila terkena pleura menjadi efusi pleura
 Pembesaran kelenjar, biasanya multiple
 Kadang terjadi abses
G. Defining Characteristic
 Difficulty with prescribed regimen
 Failure to include treatment in daily living
 Failure to take action to reduce risk factor
 Ineffective choise in daily living for meeting health goal
H. Diagnosa keperawatan
 Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan kurang informasi/salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif dan tak
akurat/tak lengkap informasi yang ada.
 Ineffective health management
I. NOC dan NIC
NOC
 Compliance behavior : prescribe medication
 Community program effectiveness
 Community health screening effectiveness
 Knowledge : medication

NIC

 Medication management
 Teaching: medication
 Health screening
 Health education
 Helath care information exchange

29 | P a g e
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang disebabkan
oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara
yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi.
 TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic
tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang
jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium.
Tanda dan Gejala:
1. Tanda
o Penurunan berat badan
o Anoreksia
o Dispneu
o Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
2. Gejala
o Demam
o Batuk
o Sesak nafas.
o Nyeri dada
o Malaise
 Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil.
Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Efek TB
pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe, letak dan keparahan
penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu

30 | P a g e
hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan
fasilitas diagnosa dan pengobatan TB.
 Jika kuman TB menyerang paru, maka risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus,
terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari
ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB congenital).
 Peran bidan dalam menangani klien dengan TB paru adalah dengan memberikan
konseling mengenai definisi, penyebab, cara pencegahan dan penularan serta terapi TB
Paru, juga menjelaskan pada klien tentang dampak yang ditimbulkan terhadap kehamilan.
Di samping itu juga menawarkan alternatif solusi dan melakukan asuhan kebidanan
untuk wanita TB Paru masa prakonsepsi dalam mempersiapkan kehamilannya.

3.2 Saran

 Setiap pasangan yang akan merencanakan kehamilan, hendaknya berkonsultasi dulu


mengenai kondisi kesehatan kepada tenaga kesehatan, termasuk bidan. Hal ini bertujuan
untuk mendeteksi penyakit/kelainan yang mungkin dialami calon orang tua, sehingga
dapat melakukan tindakan yang lebih komprehensif dalam mengantisipasi dampak yang
mungkin ditimbulkan dari penyakit yang diderita, baik bagi ibu maupun janin yang
dikandungnya.
 Dalam menjalankan tugasnya, bidan melakukan Asuhan Kebidanan yang tidak hanya
pada ibu hamil dan bersalin, tapi juga pada wanita yang menginginkan kehamilan.

31 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

2. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengandalian Tuberculosis (PNPT). Jakarta :

3. Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis. Kemenkes : RI

4. Marwansyah. 2015. Pengaruh Pemberdayaan Keluarga PEnderita Tuberkulosis.


www.ui.ac.id . diakses pada 8 november 2018.

5. WHO, 2012. Global tuberculosis report 2012. Geneva, Switzerland: WHO Press.

32 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai