Anda di halaman 1dari 28

EPISTEMOLOGI BAYANI, BURHANI DAN IRFANI DALAM MEMPEROLEH

PENGETAHUAN TENTANG MASHLAHAH

Zulpa Makiah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari, Jl. Jenderal Ahmad Yani Km 4,5 Banjarmasin
E-mail: zulfamakiyah@gmail.com

Abstract: Mashlahah or concept of the benefits an essential part of Islamic law. Ulama (muslim
scholar) have various statements about mashlahah. In one statement, mashlahah is nash authorities that
people have to understand exclusively and strictly. In another, Ulama ensure that intelligence has a
role to decisive the benefit. There are three way to gain knowledge about mashlahah, namely bayani,
burhani, and „irfani. Nash is believed to be esoteric and exoteric, but the meaning of esoteric is more
dominant. This paper wants to explore how to gain knowledge about mashlahah in bayani, burhani, and
„irfani perspective.

Abstrak: Mashlahah adalah suatu yang sangat urgen dalam hukum Islam. Para ulama beragam
pendapat tentang mashlahah. Ada yang memahami secara eksklusif dan ketat dalam pengertian bahwa
mashlahahadalah otoritas nash. Sedangkan pihak lain memahami secara lebih terbuka bahwa akal
memiliki peran dalam menentukan kemaslahatan.Dalam memperoleh pengetahuan tentang mashlahah
terdapat tiga cara, yaitu bayani, burhani, dan „Irfani. Adapun Nash diyakini bersifat esoteris dan
eksoteris, tetapi makna esoteris lebih mendominasi suatu ajaran.Tulisan ini ingin mengkaji lebih jauh
bagaimana cara memperoleh pengetahuan tentang mashlahah dalam perspektif bayani, burhani dan
„irfani.

Kata Kunci: Mashlahah, bayani, burhani dan „irfani.

Pendahuluan eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan,


Epistemologi atau teori pengetahuan (theory sumber-sumber pengetahuan, metodologi ilmu
of knowledge), secara etimologis, berasal dari kata tentangcara mengetahui suatu pengetahuan,
Yunani epistemologi yang berarti pengetahuan sarana yang digunakan dalam rangka kerja
(knowledge), dan logos yang berarti teori tentang metodologis tersebut dan uji validitas
atau studi tentang. Jadi secara terminologis, pengetahuan.2
epistemologi merupakan cabang filsafat yang Mashlahah adalah setiap sesuatu yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, menjadi dasar pemeliharaan tujuan syara‟ didunia
metode, dan validitas (keabsahan) pengetahuan. dan akhirat. Mashlahah menekankan pada
Dengan cara mengetahui unsur-unsur itulah pertimbangan bagi agenda kemanusiaan dalam
kemudian suatu pengetahuan dapat diiafirmasi hukum, yakni pemeliharaan terhadap agam, jiwa,
validitasnya sebagaidisiplin ilmu yang berdiri akal, keturunan, dan harta. Namun Demikian
sendiri. Lawan katanya adalah doxa yang berarti dalam implementasi Istinbath hukum, mashlahah
percaya, yakni percaya begitu saja tanpa
menggunakan bukti (taken for granted).1 2 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Beberapa persoalan pokok yang terkandung Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002),
dalam epistemologi adalah hakekat (esensi), cet.2, hlm.32. Lihat Paul Edward (ed), The Encylopedia
of Philosophy, New York-London : Macmilan
1 Wiliam James Earle, Introduction to Philosophy, (New Publishing Co., Inc, dan the Free Press, 1990),
York-Toronto : Mc. Grawhill, Inc, 1992), hlm.21. hlm.9.
sering dipahami secara paradoks, sebagian yang secara kolegial berperan dalam menetapkan
golongan memperketat mashlahah, sebagian lagi ilmu-ilmu Arab Islam yaitu nahu, balagah, fikih
memahaminya secara moderat dan eksklusif. dan kalam.
Perbedaan penggunaan mashlahah tersebut terkait Bayani adalah metode pemikiran khas Arab
dengan penekanan pada salah satu dari tiga yang menekankan otoritas teks (nas), secara
teknik atau metode penalaahannya, yaitu metode langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi
bayani, burhani dan „irfani. oleh akal kebahasaan yang digali melalui inferensi (
istidlal). Secara langsung artinya mamahami tes
Episteme Bayani sebagai pengetahuan jadi dan langsung
Secara etimologis, term bayani mengendung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara
beragam arti yaitu: kesinambungan (al-waslu): tidak langsung berarti memahami teks sebagai
keterpilahan ( al-fashlu): jelas dan terang (al-zhuhur pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
wa al-wudlhuh): dan kemampuan membuat terang penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti
dan generik. Sebagai sebuah episteme, akal atau rasio bisa babas menentukan makna
keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud dalam dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada
al-bayan al-„ibarat “ perpektif” dan “ metode” yang teks.Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu
sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya memberikan penegtahuan kecuali disandarkan
dalam lingkup “ estetik-susastra”, melainkan juga pada teks.Dalam perspektif keagamaan, sasaran
dalam lingkup “ logic-diskursif”. Dengan kata bidik bayani adalah aspek esoterik (syari‟at).5
lainbayan berubah menjadi sebuah terminologi Aktifitas Intelektual yang bercirikan hawla al-
yang disamping mecakup arti segala sesuatu yang nash( seputar teks) semacam itu menghasilkan
melengkapi tindakan mamahami.3 pola pemikiran yang berorientasi pada reproduksi
Epistemologi bayani muncul bukan sebagai teks dengan alquran sebagai teks intinya, dan
hal yang sui generis, akan tetapi ia memiliki akar mendudukkan rasio dalam posisi al-musharra‟ulah
historisnya dalam sejarah budaya dan tradisi ( penentu hukum yang terbatas). Dalam kerangka
pemikiran Arab. Sebagiman dimaklumi , bahasa inilah, sangat bisa dipahami sekiranya peradaban
Arab diyakin sebagai bahasa wahyu Tuhan. Oleh Arab Islam sampai disinyalir sebagai peradaban
karena itu, cukup berdasar bila dikatakan bahwa teks, karena begitu besar dan berpengaruhnya
determinan historis awal-mula paradaban Islam teks dalam membentuk proses dan produk
adalah sinergi bahasa dan agama. Awal mula intelektual kultural yang berkembang. Bahkan
aktivitas ilmiah yang mewarnai budaya Arab lebih jauh, asumsi dasar yang malandasi segenap
Islam berupa penghimpunan bahasa Arab dan aktifitas-intelektual pun adalah al-ashlu fi an-nash
peletakan dasar-dasar tata kebahasaannya seiring la fi al-waqi‟ (acuan pokok ada pada teks bukan
dengan upaya mamahami ajaran agama dan ada pada kenyataan riil).Oleh karena itu,
memproduksi wacana keagamaan yang problematika utama yang mendominasi dan
membangun “ Rasionalitas – keagamaaan Arab” menjadi salah satu episteme bayani adalah relasi
dengan produk intelektualnya, yaitu ilmu kata dan makna.6
kebahasaan dan ilmu agama.4 Problem distruktif tersebut mewarnai
Nuansa iklim intelektual-kultural semacam beragam keilmuwan bayani, problematiak al-i‟rab
itu melahirkan komunitas agamawan-intelektual ada pada ilmu nahu, problematika al-awzan al-
yang menempati posisi otoritatif dalam ranah
keagamaan dan keilmuan.Mereka adalah
kalangan ulama bayani, meminjam istilah al-Jabiri,
5 Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-„Aql al-„Arabi,
Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), hlm. 38,
Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M.Abed al-Jabiri :
3 Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam
pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, ( “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela,
January-June 2002), hlm.13. 2003), hlm.233.
4 M.Abid al-Jabiri, Takwin….,op.cit, hlm. 75. 6 Al-Jabiri, Bunyat…,op.cit., hlm. 103.
sarfiyyah ada pada ilmu sarf, problematika ad- makna yang dapat dipahami dengan pemaham
dilalah dalam hubunganya dengan fenomena tertentu, atau nas yang tidak mungkin menerima
keluasan maknabahasa Arab pada ilmu fikih, tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak
problematika muhkam-mutasyabih, batasan takwil, mungkin mempunyai arti lain selain yang satu itu.
I‟jaz qur‟ani dan semisalnya ada pada ilmu kalam, Dalam konsep Syafi‟i, ini yang disebut bayan
dan rahasia sastra ada pada ilmu balaghah. yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nas
Kenyataan ini pada giliranya mendorong yangzhanni al-dilalah adalah nas-nas yang
pembentukan nalar bayani yang tertumpu pada menunjukkan atas makna yang masih
pemeliharaan teks (nas) dan refleksi dalam dan memungkinkan adanya takwil, atau diubah dari
tentang tes, dengan alur operasionalnya yang makna aslanya menjadi makna yang lain.
berada diatas “ sistem wacana” bukan diatas “ Kenyataan tersebut juga terjadi ada sunnah,
sistem nalar”.7 bahkan lebih luas. Jika dalam Alquran konsep
Implikasi lain, teks (nas) kemudian qath‟i dan zhanni berkaitan dengan dilalah, dalam
terposisikan sebagai al-ashl (acuan apriori) bagi sunnah hal itu berlaku pada riwayat dan
aktivitas intelektual dalam nalar bayani. Maka, dilalahnya. Dari segi riwayat berarti teks hadis
aktifitas intelektual nalar bayani tidak bisa keluar tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau
dari lingkup tiga ranah: aktivitas intelektual yang tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah
bertitik tolak dari al-ashl, sering disebut dengan tidaknya proses transmisis teks hadis, yang dari
al-istinbath(penggalianpengetahuan dari teks; sana kemudian lahir pelbagai macam kualitas
aktifitas intelektual yang bermuara pada al-ashl, hadis, seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan, gharib,
sering disebut dengan al-qiyas; aktifitas intelektual marfu, dan maqthu dan seterusnya. Dari segi dilalah
dengan pengarahan dari al-ashl.8 berarti bahwa maana terks tersebut telah
Dengan demikian, sumber pengetahuan memberikan makna yang pasti atau masih bisa
bayani adalah teks (nas).Dalamusul fikih yang ditakwil.10
dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan
bayani adalah al-quran dan hadis. Karena itu, Tentang Ushul dan Furu’
epistemogi bayani menaruh perhatian besar dan Berdasarkan kenyataan bahwa bayani
teliti pada proses transmisi teks dari generasi berkaitan dengan teks dan hubunganya dengan
kegenerasi. Ini penting bagi bayani, karena benar realitas, maka persoalan pokok yang ada
tidaknya transmisi teks menetukan benar didalamnya adalah sekitar masalah lafal-makna
salahnya ketentuan hukum yang diambil.Jika dan ushul-furu‟.Menurut al-Jabiri, persoalan lafal
transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan makna mengandung dua aspek yaitu teoritis dan
berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan praktis.Dari sisi teori muncul tiga persoalan
dasar hukum.Sebaliknya, jika transmisinya tentang makna mengandung dua aspek yaitu
diragukan, kebenaran teks tidak bisa dijadikan teoritas dan praktis. Dari sisi teori muncul tiga
landasan hukum.9 persoalan tentang makna suatu kata, apakah
Selanjutnya tentang nash alquran, meski disarankan atas konteksnya atau makna aslinya;
sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu tentang analogi bahasa dan; soal pemaknaan al-
memberikan ketentuan pasti. Dari segi asma al-syar‟iyyah, seperti kata salat, puasa, zakat
penunjukan hukumnya (dalalah al-hukm), nas dan lainnya.11
Alquran bisa dibagi dua bagian, qath‟i dan zhanni. Pada masalah pertama, pemberian makna
Nas yang qathi ad-dilalah menunjukkan adanya atas sebuah kata, muncul akibat adanya
perbedaan antara kaum rasionalis dengan ahli
7 Ibid, hlm. 107. hadis, antara mu‟tazilah dengan ahlu sunah.
8 Mahmud Arif, op.cit., hlm.133.
9 Achmad Khodori Soleh, “M. Abid al-Jabiri : Model
Epistemologi Islam”, dalam dalam “Pemikiran Islam 10 Ibid., hlm.234-235.
Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm.223. 11 Ibid., hlm.235.
Menurut mu‟tazilah yang rasionalis, suatu kata jarang menggunakan istilah Arab tetapi dengan
harus diberi makna berdasarkan konteks dan makna berbeda dengan makna asalnya.15
istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata Adapun tentang hubungan kata dan makna
harus dimaknai sesuai dengan makna asalnya. dalam tatanan praktis, ia berkaitan dengan
Sebab menurut ahli sunnah, bahasa atau kata penafsiran atas wacana (khitab)syara‟.Ulama fikih
pada awalnyaberasal dari Tuhan yang diberikan banyak mengembangkan masalah ini, baik dari
kepada rasul-Nya untuk disebarkan kepada aspek kedududkan sebuah kata, penggunaan,
umatnya, sedangkan bagi mu‟tazilah, suatu lafaz tingkat kejelasan maupun metodenya.
pada dasarnya bersifat mutlak. Karena itu bagi Selanjutnya, soal ushul-furu‟. Menurut al-
ahli sunnah, kata perkata dari sebuah teks harus jabiri, ushul disini tidak menunjuk pada dasar-
tetap dijaga seperti aslinya, sebab perubahan dasar hukum fiqih, seperti Alquran, sunnah,
redaksi teks berarti perubahan makna.12 ijmak, dan qiyas, tetapi pada pengertian umum
Ini sesuai dengan asumsi dasar pengetahuan bahwa ia pangkal (asas) dari proses penggalian
Arab bahwa makna dan sistem berfikir lahir dari penegetahuan. Ushul adalah ujung rantai dari
kata (teks), bukan teks yang lahir dari makna dan hubungan timbal balik dengan furu‟. Dari sini, al-
sistem berfikir.Ilmu nahu (gramatika Arab) yang Jabiri kemudian melihat tiga macam posisi dan
lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari peran ushul dalam hubunganya dengan furu‟.
kemungkinan terjadinya penyimpangan makna. Pertama, ushul sebagai sumber pengetahuan yang
Pada perkembangan selanjutnya, diskursus nahu cara mendapatkanya dengan istinbath. Berbeda
bukan lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa dengan istintaj (deduksi) yang dilakukan
yang mengatur ucapan dan tulisan secara benar berdasrkan proposisi yang sah, istintaj menggali
tetapi sekaligus juga berisi aturan-aturan berfikir, untuk mendapatkan yang sama sekali baru,
yang kemudian melahirkan pengetahuan bayani.13 sehingga nas berkedudukan sebagai sumber
Masalah kedua, tentang analogi bahasa pengetahuan. Kedua, ushul sebagai sandaran bagi
seperti kata nabiz (perasan gandum) dengan pengetahuan lain, yang cara penggunaannya
Khamar (perasan anggur), atau kata sariq ( pencuri dengan qiyas. Ketiga, ushul sebagai pangkal dari
benda) dan nabasy (pencuri mayat dikuburan). proses pembentukan pengetahuan, yang caranya
Disini ulama sepakat bahwa menggunakan dengan mengguanakan kaidah-kaidah ushul
analogi diperbolehkan, tapi hanya dari sisi logika fiqh.16
bahasa, bukan pada lafal atau redaksinya. Sebab Bayan menurut Imam Syafi‟i adalah
masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri ungkapan yang mencakup berbagai macam
yang mempunyai kedalaman makna yang makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang
berbeda, sehingga jika dianalogikan akan bisa sama namun cabangnya berbeda-beda.
merusak bahasa yang ada didalamnya.14 Sedangkan tujuan Syafi‟i dalam menetapkannya
Masalah ketiga, permaknaan terhadap asma yaitu membatasi hubungan kontruksi dan makna
as-syar‟iyyah. Menurut al-Baqilani, karena alquran yang ada didalamnya dengan berangkat dari titik
diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, mak ia tolak bahwa bayan adalah ushul dan furu‟ dan
harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab, bahwa hubungan ushul dan furu‟ ditentukan oleh
tidak bisa didekati dengan budaya dan bahasa pengetahuan terhadap bahasa Arab. Selanjutnya
lain. Sebaliknya menurut mu‟tazilah, pada Syafi‟i mengklafikasi dan menetapkan aspek-
beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai dengan aspek bayan dalam wacana Alquran membaginya
pengertian lain sebab Alquran sendiri tidak menjadi lima, pertama: titah uyang dijelaskan oleh
Allah untuk makhluk_nya secara tekstual yang
tidak membutuhkan ta‟wil atau penjelasan karena
12 Al-Jabiri, Bunyah…, op.cit., hlm.42
13 Al-Jabairi, Takwin…, op.cit., hlm.90-91 15 Al-Jabiri, Bunyah…,op.cit., hlm.58
14 Achmad Khudori Soleh, op.cit., hlm.236 16 Al-Jabiri, Bunyah…,op.cit., hlm.113-116
telah jelas dengan sendirinya. Kedua, titah yang baik antara keduanya memiliki kesamaan makna
dijelaskan oleh Allah secara tekstual namun atau keserupaan.19
membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan, Demikianlah, ijtihad pada dasarnya adalah
dan fungsi ini dipenuhi oleh sunnah Nabi. Ketiga, ijtihad dalam memahami teks keagamaan didalam
titah yang ditetapkan Allah dalam kitabNya dan wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahannya harus
titah ini dijelaskan oleh nabi-Nya. Keempat, dicari didalam dan melalui teks, dan qiyas sama
sesuatu yang tidak disebutkan Alquran namun sekali bukan ra‟yu tetapi suatu proses yang
dijelaskan oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan dilakukan berdasarkan dalil sesuai dengan
sebagaimana titah sebelumnya sebab dalam informasi yang telah ada dalamkitab dan sunnah.
kitab-Nya Allah memerintahkan agar mentaati Dengan demikian agar qiyas bisa berlangsung,
rasul-Nya. Kelima, apa yang Allah mewajibkan harus ada khabar (yakni teks) dalam kitab atau
hambanya untuk berijtihad, dan cara untuk sunah yang dijadikan sumber dalil, dan harus ada
sampai kesana adalah dengan memahami bahasa persesuaian, baik persesuain makna atau
Arab dan stalatika ungkapan dan membangun kemiripan, antara furu‟ dengan sumbernya.
pemikiran berdasarkan qiyas, menganalogikan Ijtihad dan qiyas adalah mekanisme berfikir yang
suatu kasus yang tidak ada ketentuannya dalam berlangsung dengan menghubungkan antara satu
teks atau pun khabar suatu keputusan hukum sisi dengan sisi lainnya dan tidak membangun
yang telah ada yang didasarkan pada teks, khabr dunia pemikiran dengan bertolak dari prinsip-
dn ijmak. Dari sini ditetapkan aturan umum prinsip.20 Sedangkan wilayah kehidupan dan
yang membingkai pikiran dan membatasi wilayah mekanisme pemikiran ini adalah teks. Dari sini
geraknya. Dalam hal ini syafi‟i berkata “ tidak cakupan pemikiran menjadi terbatas atau sekedar
seorang pun berhak mengatakan tentang halal menarik kesimpulan dari teks.dalam istilah
dan haramnya sesuatu kecuali informasi dari ushuliyyun menarik hukum dari kata (istismar al-
kitab dan sunnah, ijmak dan qiyas”. 17 ahkam min al-lafaz). Dalam sini kajian dalam ushul
Demikian Imam Syafi‟i menetapkan usul fikih bertolak dari premis-premis kebahasaan
fikih atau tasyri kedalam empat hal di mana yang dicari dalam kata, jenis-jenis, signifikasi dan
disana ia mempertemukan anatar ushul al-hadis keragamannya.
dan ushul al-ra‟yu, berdasarkan pemisahan
terhadap dua masalah metodik : membatasi ra‟yu Cara Memperoleh Pengetahuan
dan menetapkan syarat-syarat (qiyas) disatu sisi Untuk mendapatkan pengetahuan dari teks,
lain, dan menghubungkan kata dan makna dalam metode bayani menempuh dua jalan. Pertama,
bayan alquran disisi lain.18 berpegang pada redaksi ( lafal) teks, dengan
Ra‟yu tidak boleh berjalan kecuali berdasar menggunakan bahasa Arab, seperti nahu dan
qiyas. Qiyas adalah proses penalaran yang saraf sebagai alat analitis. Kedua, berpegang pada
didasarkan kepada adanya persesuaian dengan makna teks dengan logika, penalaran atau rasio
informasi yang telah ada sebelumnya dalam kitab sebagai sarana analisis.
dan sunnah, persesuaian (antarafuru‟ dan ashal) Penggunaan logika dilakukan dengan empat
cara atau tahapan. Pertama, berpegang pada
tujuan pokok (al-maqhashid al-dharuriyyah)
17 Muhammad Abed al-Jabiri, “Takwin al-“Aql al-
diturunkan teks, yang mencakup lima
Arabi”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, “Formasi
Nalar Arab, Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan kepentingan vital (dharurat al-khamsah), yakni
Pluralisme Wacana Interreligius”, (Yogyakarta : IRCisod, bahwa ajaran pokok teks adalah demi menjaga
2003), hlm.169-170. Hubungan ushul dan furu‟ harus keselamatan agama, jiwa, akal, keturunandan
ditentukan oleh pengetahuan Bahasa Arab, contoh
mengetahui hukum minuman bir, whisky dll (furu‟)
dengan memahami hukum yang ada pada ushul yaitu
khamar. Untuk memahami hukumnya harus
memahami khamar dalam Bahasa Arab. 19 Ibid.
18 Ibid., hlm.170. 20 Ibid., hlm.172.
harta. Caranya dengan menggunakan induksi Ketiga berpegang pada tujuan sekunder
tematis dan disitulah tempat penalaran rasional.21 teks.Tujuan sekunder adalah tujuan yang
Kedua, berpegang pada „illah teks.„illah adalah mendukung terlaksananya tujuan pokok. Sarana
sifat atau keadaan yang melekat pada teks sebagai yang digunakan untuk menemukan tujuan
dasar pijakan dari penetapan sebuah hukum. sekunder teks adalah Istidlal, yakni mencari dalil
Untuk menemukan dan mengetahui adanya „illah dari luar teks, berbeda dengan istinbath yang
suatu teks ini digunakan sebuah sarana yang mencari dalil pada teks. Karena perlunya istidlal
memerlukan penalaran yng disebut masalik al-illah tersebut lahirlah teori-teori baru dalam usul fikih,
(jalan „illah). Jalan „illah yang popular ada tiga antara lain mashlahah mursalah, urf, dan sad al-
yaitu: pertama nas, yaitu: „illah yang telah dzari‟ah.
ditetapkan oleh nas. Kedua ijmak, yakni „illah Keempat, berpegang pada diamnya Syari‟
yang telah disepakati oleh para mujtahid, (Allah) dan Rasul. Hal ini untuk masalah-masalah
misalnya‟illah menguasai harta anak kecil adalah yang sama sekali tidak ada ketetapanya dalam
karena kecilnya. Ketiga as-sibr wa taqsim, dengan teks dan tidak bisa dilakukan dengan cara qiyas.
cara merangkum sifat-sifat baik untuk dijadikan Carnya dengan kembali kepada hukum pokok
„illah pada ashal (nas) kemudian „illah tersebut (ashal) yang telah diketahui.Misalnya hukum
dikembalikan kepada sifat-sifat tersebut. 22 ashal masalah muamalah adalah boleh.Metode ini
Cara kedua ini memunculkan metode yang melahirkan teori baru yang disebut istishhab.
terkenal yaitu qiyas dan istihsan. Qiyas adalah Menurut Marshal G.S Hodgson, masa al-
menyamakan hukum suatu masalah dengan Makmun memerintah adalah masa puncak
masalah lain yang ada kepastiannya dalam teks, perkembangan pemikiran hukum Islam (Fikih)
karena adanya „illah yang sama. Dalam kajian dan kematangan susastra kebahasaan, sehingga
ushul fikih, ada beberapa hal yang harus dipenuhi lahir lembaga ulama dan adib yang memotori
dalam melakukan qiyas yaitu: 1. Adanya al-ashl, gerakan, meminjam istilah George Makdisi,
yakni nas suci yang memberikan hukum dan scholasticism dan humanism. Gerakan pertama
dipakai sebagia ukuran. 2.al-Far‟u, sesuatu yang merupakan perwujudan dari gerakan keagamaan
tidak ada hukumnya dalam nas 3.Hukm al-ashl, tradisonal-konservatif dan budaya intelektual;
ketetapan hukum yang diberikan ashl. 4.‟illah, gerakan ini adalah bentuk interrelasi antara
keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar agama dan budaya, yang mengarah pada
penetapan hukum ashl.23 ortpdoksi keagamaan, sedangkan gerakan kedua
Istihsan adalah berpaling dari sesuatu yang adalah gerakan yang dilatari oleh kepedulian yang
jelas yang masih samar, karena adanya alasan tinggi terhadap kemurnian dan keunggulan
yang kuat untuk pengalihan tersebut. Istihsan ini bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan bahasa
bisa dilakukan berdasarkan nas atau mashlahah. kitab suci; gerakan ini mengarah pada ortodoksi
Berdasarkan nas berarti ada dalil-dalil yang telah memunculkan kejayaan bagi epistemologi
membenarkan atau menghendaki tidak bayani, sehingga ia disinyalir sebagai mainstream
berlakunya dali yang pertama,sedangkan tradisi pemikiran Arab Islam.25
berdasarkan kemaslahatan berarti ada tujuan-
tujuan pokok yang bisa ditinggalkan.24 Cara Memperoleh Pengetahuan tentang
Mashlahah dalam Konstruksi Bayani
Dalam epistemi bayani ini nas dipandang telah
21 As-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, merekam dan memberi informasi tentang
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t), III, hlm.62-64. mashlahah secara holistik. Tidak ada cara lain
22 Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”,
diterjemahkan oleh Masdar Helmi, “Ilmu Usul Fikih”, mengetahui mashlahah kecuali mencermati
(Bandung : Gema Risalah Press, 196), hlm.127-135. dengan istidlal yang dilakukan pada wilayah
23 Ibid.,hlm.106.
24 Fathur Rahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta :
Logos, 1997), hlm.139-141. 25 Mahmud Arif, op.cit., hlm.137.
kecuali pada wilayah nas. Penganut aliran ini menginformasikan mashlahah dari segi esensi
diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu dan fungsi.Penggunaan istishhab sebagai metode
skriptualisme ekstrim dan skriptualisme moderat. dimaksudkan untuk mempertahankan nas
Aliran skriptualisme ekstrim dimotori oleh sebagai sumber mengetahui maslahah..27
mazhab al-Zuhairi yang berpendapat bahwa Kedua, melihat hubungan bayan antar
mashlahah adalah sesuatu yang abstrak dan tidak teks.Jika terjadi pertentangan antara teks dengan
dapat diketahui, kecuali melalui petunjuk Syar‟i zhahir, maka dianggap telah terjadi takhshis atau
melalu dzahir lafal. Secara ekstrim mereka istishna, seperti keharaman mengawini
mengatakan tidak perlu melakukan penelitian mushrikah kemudian diperbolehkan mengawini
terhadap nas-dengan rasio yang pada gilirannya wanita kitabiyah..28
berakhir pada suatu pertentangan dan jauh dari Menggunakan metode ad-dalil untuk
kehendak bahasa (zahir nas).Pengetahuan memahami mashlahah dari suatu nas dengan
manusia mengenai mashlahah tidak dapat mengembangkan dalalah (implikasi/petunjuknya)
dijangkau dengan nalar dan aturan-aturan rasio. secara langsung tanpa dilakukan ta‟lil nas.
Pernyataan mereka dipertegas lagi: “ tidak ada Pendekatan ini antara lain berbentuk natijah.
mashlahah kecuali apa yang dibawa oleh nas dan Mencermati karakter dan kecenderungan
tidak dapat dicari atau diketahui diluar nas”. aliran ini tampak sekali mengalami keterpakuan
Ada keterkaitan pola pikir mereka dengan tekstual sedemikian rupa.Keterpakuan ini
istinbath hukum. Setiap dalildan produk hukum diformulasikan dengan ungkapan “tidak ada
diyakini telah membawa mashlahah. Dengan kata maslahah dan mafsadah kecuali dengan
lain aturan hukum (legal text) hadir ditengah- ketentuan nas.Implikasi dan epistema diatas tidak
tengah masyarakat bersama-sama secar eksplisit ada peran primer yang diperkenankan bagi akal
dan implisit. Disini tampak dengan jelas bahwa dalam menentukan mashlahah.Aliran ini
teks atau nash telah memainkan peran yang menempatkan ruang gerak yang sempit bagi rasio
sangat besar dan mutlak terhadap terciptanya dan nalar dalam mengetahui mashlahah. Di
pengetahuan dan pemahaman terhadap samping itu jika cara mengetahui mashlahah
mashlahah. Teks cukup dipahami dengan sebatas informasi internal teks, maka akan
manthuqnya, tidak perlu melalui mafhumnya..26 kehilangan esensi pemahaman mashlahah yang
Namun jika teks tidak menginformasikan terkait dengan komunikasi kontekstualnya.
mashlahah secara eksplisit, maka mereka Namun demikian metode yang digunakan aliran
menempuh tiga cara: ini-khususnya ad-dalil-mengindikasi penolakan
Pertama, berpegang pada al-ibahah al- qiyas secara teoritis, sedang secara praktis
ashliyah dengan metode istishhab.Penggunaan menerimanya, dengan diberi nama lain.
istishhab ini dimaksudkan sebagai suatu prinsip Aliran skriptualisme moderat melihat nas
pembuktian terhadap pengukuhan status sebagai suatu yang dapat dipahami makna literal
peristiwa yang dianggap telah memiliki asal usul dan makna substantif.Artinya mashlahah dapat
yang sah dari nas dan eksistensinya diakui dipahami dari petunjuk teks dan konteks.
sehingga hal yang berlawanan terlihat. Pola pikir
didasarkan pada surat al-Baqarah : 2. Epistemologi Burhani
Berdasarkan ayat tersebut di bangun kaidah : Burhan secara bahasa adalah argumentasi
“asal dari segala sesuatu itu boleh”. Ibahah yang kuat dan jelas. Dalam istilah logika, al-
menunjukkan kepada suatu yang burhan adalah aktifitas intelektual untuk
bermanfaat.Artinya, asal setiap sesuatu membuktikan kebenaran suatu proposisi melalui

26 M. Faishal Munif, “Maslahah Sebagai Dasar 27 Ibn Haz, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut : Dar al-
Istinbath Hukum Islam”, Jurnal Paramedia, Vol.4 Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz.V.,hlm.3.
No,3., (Juli 2003), hlm.20. 28 Ibid., Juz.IV., hlm.434.
pendekatan deduksi dengan cara menganalisis ilmu sampa pada prinsip-prinsip
menghubungkan proposisi yang satu yang telah dan dasar-dasarnya yang terdalam. Logika pada
terbukti secara aksiomatik..Dengan demikian, dasarnya bertujuan mencapai ilmu-ilmu burhani,
burhan merupakan aktifitas intelektual untuk tetap untuk sampai kesana terlebih dahulu
menetapkan suatu proposisi tertentu.29 memahami silogisme (salah satu cara mencapai
Untuk mendapatkan pengetahuan, dan salah satu macam ilmu burhani).31
epistemologi burhani menggunakan aturan Silogisme pada dasarnya terdiri dari
silogisme.Dalam bahasa Arab, silogisme beberapa proposisi yang disebut dengan premis
diterjemahkan dengan al-qiyas al-jam‟i yang mayor, premis minor dan konklusi.Ini berarti
mengacu pada makna ashal, mengumpulkan. bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif tidak
Secara istilah silogisme adalah suatu bentuk bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis.
argumen di mana dua proposisi yang disebut Di samping itu dua premis tersebut harus
premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa, mengandung satu term yang sama, yang disebut
sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti term tengah (middle term). Misalnya setiap
menyertai. Namun karena pengetahuan burhani manusia mati (premis mayor). Socrates adalah
tidak murni bersumber pada rasio, tetapi manusia (premis minor), maka dengan term
didasarkan juga atas rasio objek-objek eksternal, tengah kata manusia, konklusinya adalah Socrates
maka ia melalui tahapan-tahapan sebelum akan mati..32
dilakukan silogisme yaitu tahap pengertian Dengan demikian, dalam silogisme harus
(ma‟qulat) ; tahap penyertaan (ibarat), dan tahap terpenuhi tiga hal, yaitu pertama, silogisme harus
penalaran (tahlili). Tahap pengertian adalah memiliki dua premis, dan premis kedua
proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang merupakan bagian dan tidak mungkin keluar dari
masuk ke dalam pikiran. Menurut al-Jabiri cakupan premis pertama, serta konklusinya tidak
penarikan kesimpulan dengan silogisme harus mungkin melebihi cakupan yang ada pada premis
memenuhi beberapa syarat yaitu: mengetahui pertama tersebut. Kedua, silogisme terbentuk
latar belakang dari penyusunan premis; adanya dari dua premis yang mengandung tiga term,
konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; yaitu term tengah yang ada kedua premis, term
kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan mayor yang ada pada premis mayor, dan term
benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan minor yang ada pada premis minor. Ketiga,
kebenaran atau kepastian lain.30 silogisme pasti mengandung term tengah yang
Nalar burhani berpegang pada kekuatan ada pada kedua premis, yang fungsinya enjadi
natural manusia yang berupa indera dan otoritas sebab yang melegitimasi predikat dapat bersandar
akal dalam memperoleh pengetahuan.Dari pada subyeknya dalam konklusi.Dari sini
pengertian tersebut nalar burhani identik dengan Aristoteles berkata bahwa ilmu adalah upaya
filsafat, yang masuk kedunia Islam dan menemukan sebab.33
Yunani.Namun demikian dalam konteks Silogisme dapat menjadi ilmu burhani
keilmuan klasik, penyebutan nalar burhani hanya apabila berupa silogisme atau analogi ilmiah,
ditujukan pada pemikiran Aristoteles. yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama,
Kerangka teoritik pemikiran Aristoteles mengetahui term tengah yang menjadi „illah atau
sesungguhnya adalah logika. Istilah logika sendiri sebab adanya konklusi. Kedua, hubungan yang
diberikan oleh Alexander Aphrodisias, salah konsisten antara sebab dan akibat (antara term
seorang komentator terbesar Aristoteles yang
hidup abad 2-3 M. Sementara Aristoteles 31 Muhammad Agus Najib, “Nalar Burhani Dalam
menyebutnya analitika, yang maksudnya adalah Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermenia
: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-
Desember 2003), hlm.224.
29 Al-Jabiri, Bunyat..., op.cit.,46. 32 Ibid.
30 Achmad Khodari Soleh, op.cit.,hlm.250. 33 Ibid.,hlm.225.
tengah dan konklusi), dan ketiga, konklusi harus menambah kekuatan indera seperti alat-alat
bersifat pasti, sehingga sesuatu yang lain tidak laboratorium, proses penelitian lapangan dan
tercakup dalam konklusi tersebut. Untuk penelitian literer yang mendalam. Peran akal
memenuhi syarat ketiga ini menurut Aristoteles disini sangat menentukan, karena fungsinya
premis-premis yang dikemukakan dalam selalu diarahkan mencari sebab akibat. Sementara
silogisme tersebut harus merupakan aksioma- tolak ukur validitas keilmuannya ditekankan pada
aksioma yang kebenarannya tidak bisa dibantah korespondensi, yaitu kesesuaian antara rumus-
dan tidak memerlukan pembuktian lagi. rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan
Aksioma-aksioma ini biasanya mengandung hukum alam. Selain itu ditekankan pula aspek
prinsip-prinsip antara lain “sesuatu yang koherensi, yakni keruntutan dan keteraturan
bertentangan tidak mungkin untuk disatukan”, berfikir logis, serta upaya yang terus menerus
tidak ada jalan tengah bagi dua hal yang dilakukan untuk memperbaiki dan
bertentangan, dan tidak ada suatu peristiwa menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus
kecuali mempunyai sebab.34 dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun
Prinsip-prinsip dan premis-premis di atas oleh akal manusia.36
sebenarnya, menurut Aristoteles, didapat dengan Dengan demikian Agus Najib mengatakan
cara induktif dari realitas empiris yang ada, dalam burhan, akal memiliki peran dan fungsi
melalui proses abstraksi. Benda-benda dan yang paling utama. Karena itu dengan
peristiwa-peristiwa parsial dan empiris pada menggunakan premis-premis logika yang
dasarnya masing-masing memiliki kandungan konsisten, akal berusaha menemukan
yang universal, yang dapat disatukan antara satu pengetahuan dari realitas yang ada (al-waqi‟), baik
dengan yang lainnya yang sejenis. Proses realitas alam, sosial, humanitas maupun
abstraksi ini tidak lain merupakan hasil dari keagamaan.
penalaran akal. Dengan demikian ilmu hanya bisa Nalar burhani tumbuh dan berkembang serta
didapat dengan jalan burhan, dan burhan dibentuk dipraktekkan secara konsisten di wilayah
oleh prinsip-prinsip, serta prinsip-prinsip hasil Andalusia, khususnya di Cordova. Di Andalusia
penalaran akal. Karena kekuatan akal adalah dasar-dasar burhani mulai menemukan eksistensi
prinsip ilmu pengetahuan dan prinsip atau dan karakteristiknya pada periode akhir
landasan bagi prinsip ilmu itu sendiri, hubungan kekuasaan Umayyah. Corak pemikiran ini tetap
ilmu pengetahuan dan peristiwa yang ada di alam eksis sampai dinasti al-Murabbitun, sebelum
sama halnya dengan hubungan akal dan prinsip akhirnya muncul kembali masa pemerintahan al-
ilmu pengetahuan.35 muwahhidiyyah, yang beberapa penguasa dari
Menurut Amin Abdullah, sumber dinasti ini mengembangkan aliran pemikiran
pengetahuan burhani adalah realitas atau al-waqi‟, tersebut serta merumuskannya sebagai ideologi
baik realitas alam, sosial, humanitas maupun resmi negara. Proyek ini belum menampakan
keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi wujud dan karakteristiknya kecuali setelah
burhani disebut sebagai al-ilm al-hushuli, yakni ilmu berlalunya satu abad dan kemunculan Ibnu
yang dikonsep, disusun, dan disistematisasikan Hazm.
melalui premis-premis logika, dan bukannya
lewat otoritas teks, otoritas salaf ataupun intusisi. Episteme Burhani Dalam Hukum Islam
Premis-premis logika keilmuwan tersebut Nalar burhani menolak prinsip infisal
disusun melalui kerjasama antara proses abstraksi (keterputusan, ketidaksaling berhubungan), tajwiz
dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan (keserbabolehan, keserbamungkinan) dan qiyas
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan
36 M. Amin Abdullah, “At-Ta‟wil al-„Ilmi : Kearah
Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, Al-
34 Ibid. Jami‟ah Journal of Islamic Studies. Vol. 39, No. 2, (Juli-
35 M. Abid al-Jabiri, Bunyah ..., op.cit., hlm. 392-396. Desember, 2001), hlm. 378-380.
(analogi yang didasarkan pada keserupaan).37 serupa dengan prinsip dasar yang berlaku dalam
Ibnu Hazm menyatakan bahwa tidak ada jalan sidiplin filsafat, yaitu prinsip kausalitas. Prinsip
untuk mencapai dan memperoleh suatu dasar syari‟ah dimaksud adalah maqhashid al-
pengetahuan kecuali melalui dua cara, yaitu syari‟ah(tujuan-tujuan dasar syari‟ah), karena
pertama, melalui postulat-postulat aksiomatik prinsip ini termasuk dalam katagore as-sabah al-
yang diberikan akal dan persepsi indrawi, kedua ga‟iy (sebab akhir, fanal cause) dalam ungkapan
melalui prinsip-prinsip penalaran yang berasal para ahli filsafat. Jadi apabila dimensi rasionalitas
dariaksioma akal dan persepsi indrawi. Namun disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika
demikian, menurutnya, dalam syariahperlu dibangun atas dasar prinsip maqhashid al-syari‟ah.
dibedakan antara apa yang dijangkau oleh akal Karena itu, untuk membangun rumusan
dan apa yang tidak bisadijangkau olehnya. Akal penalaran dalam syari‟ah termasuk formulasi
semata, misalnya tidak bisa menetapkan Babi itu rasionalismenya, harus berdasar pada prinsip-
haram atau halal, salat zuhur ada empat rakaat, prinsip doktrinal, yang secara gamblang menjadi
dan salat magrib ada tiga rakaat. Dalam konteks tujuan dan maksud syari‟ah, yang akan diterapkan
ini akal tidak punya peran, baik dalam bagi manusia.39
mengukuhkan maupun dalam menolaknya. Rasionalitas syari‟ah dibangun atas dasar
Namun hal ini tidak berarti bahwa akal tidak maksud dan tujuan yang diberikan sang pembuat
punya tempat dalam syari‟ah. Hukum-hukum syari‟ah, dan akhirnya bermuara pada upaya
syari‟ah mirip dengan hukum-hukum alam. membawa manusia kepada nilai-nilai kebijakan.
Menyangkut hukum alam, harus bertitik Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan maqashid
tolak dari pengamatan secara induktif atas al-syari‟ah sebanding dengan gagasan hukum
beberapa fenomena yang terdapat di alam ini kausalitas dialam ini dalam disiplin filsafat.
sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan
umum mencakup segenap fenomena partikulasi keteraturan dan keajegan alam ini, dan juga paada
lainnya yang tidak dijangkau oleh pengamatan landasan prinsip kausalitas.40
induktif. Sementara dalam masalah syari‟ah, juga Pandangan yang berpegang pada maqashid al-
ditemukan hal serupa. Nas-nas yang jelas, seperti syari‟ah sebagai acuan membangun rasionalisme
halnya fenomena-fenomena alam yang jelas, menjadi karakteristik dari pemikiran islam
dinyatakan sebagai data dari sekian data-data Andalusia. Hal ini diawali oleh Ibn Hazm yang
agama yang tidak bisa diubah atau diganti, baik kemudian dimatangkan oleh Ibn Rusyd,
dengan qiyas, ijmak, maupun yang lain. Bila tidak kemudian dilanjutkan as-syatibi.
ada nas, kewajiban seseorang muslim adalah As-Syatibi menyatakan membangun dimensi
mencari dan merumuskan suatu dalil atau rasionalisme dalam disiplin syari‟ah atas dasar
pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti prinsip qath‟i dengan mengacu pada metode
secara induktif teks-teks agama, lalu dijadikan rasionalisme atau burhani, sehingga disiplin ushul
premis-premis yang kemudian digunakan untuk fiqh pun didasarkan pada prinsip kulliyyah as-
menarik satu keputusan hukum.38 syariah (ajaran-ajaran universal dari syari‟ah) dan
Ibnu Rusd memandang bahwa prinsip- pada prinsip maqasid syariah. Prinsip kulliyyah as-
prinsip dalam syari‟ah serupa dengan prinsip- syariah berposisi sebagaimana halnya dengan
prinsip dalam filsafat, bahkan ia menyatakan posisi al-kulliyyah al-„aqliyyah (prinsip-prinsip
bahwa filsafat kawan akrab syariah dan saudara universal) dalam filsafat. Sementara maqhasid as-
sesusuannya. Prinsip dasar dalam disiplin syari‟ah syariah serupa dengan posisi al-sabab al-ga‟iy

37 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam,


diterjemahkan oleh, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LkiS,
2000), hlm. 120. 39 M. Agus Najib, op.cit., hlm. 229.
38 Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, 40 Muhammad Abed al-Jabiri, Post..., op-cit., h 163-164,
op cit., h 126-128. 166.
(sebab akhir) yang berpungsi sebagai unsur-unsur ummat manusia. Karena iya diturunkan dalam
pembentuk penalaran rasional.41 bahasa Arab dalam lingkungan sosial masyarakat
Walaupun masalah agama adalah masalah arab, maka untuk memahaminya kita
perintah dan larangan yang terkait dengan kasus- memerlukan merujuk kepada apa yang dikenal
kasus sfesifik dan pertikular, namun menurut al- oleh bangsa arab dalam bahasa maupun realitas
Syatibi kulliyyah as-syariah tersebut dapat dicapai, kehidupan mereka. Ketiga adalah taklif, yakni
yaitu dengan metode yang berlaku dalam kulliyyah pembebanan hukum-hukum agama kepada
al-„ilmiyyah atau universalitas ilmu-ilmu alam dan manusia. Rumusannya adalah setiap hukum yang
filsafat. Yakni metode induksi yang berfungsi tidak kuasa dilakukan oleh sang mukallaf, maka
untuk meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik atau hukum tersebut secara syar‟i tidak bisa
juz‟iyyah dan dari sana ditarik beberapa prinsip dibebankan kepadanya, meskipun dimungkinkan
universalitas. Implikasinya kulliyyah ini bersifat oleh akal. Pertimbangannya, karena Allah tidak
sebagai kulliyyah „adadiyyah atau universalitas akan membebani seseorang diluar kemampuan
kuantitatif karena sifatnya yang induktif tersebut. dan kesanggupannya. Keempat melepaskan sang
Namun demikian, ia tetap mengandung arti pasti mukallaf dari belenggu dorongan hawa nafsunya,
dan yakin (qath‟i).42 sehingga menjadi hamba Allah secara kodrati.
Menurut as-syatibi sebagaimana dikutip al- Empat unsur dari maqhasid al-syari‟ah ini diwajib
jabiri, universalitas syari‟ah mengandung arti dipertimbangkan dalam setiap pengambilan
pasti dan yakin (qath‟i). Pertama: prinsip keputusan hukum.44
keumuman dan kejangkauan. Hukum-hukum Ibn Hazm memegangi ad-dalil sebagai
syari‟ah bersifat umum, meluas dan menjangkau sebuah metode penetapan hukum dengan cara
semuanya. Hukum-hukum syari‟ah mencakup meneliti secara induktif teks-teks syari‟ah, lalu
semua objek taklif. Dan tidak berlaku secara menarik satu keputusan hukum darinya untuk
sfesifik intuk masa waktu dan tempat tertentu kemudian dipakai sebagaisatu dari dua premis
saja. Kedua, prinsip ketidak pastian dan dalil tersebut. Sementara premis kedua jika bukan
keberubahan. Hukum-hukum syari‟ah demikian merupakan teks syari‟ah, maka ia merupakan
pula halnya. Yang wajib tetap wajib dan yang rumusan akal yang bersifat apriori. Dengan
haram tetap haran dan seterusnya. Apa yang demikian, dalam pandangan Ibn Hazm, premis-
menjadi sebab, tetatp akan menjadi sebab, premis penalaran itu merupakan premis-premis
demikain pula dengan syarat, iya akan tetap burhani dalam syari‟ah.
menjadi syarat. Ketiga prinsip legalitas. Yaitu Ad-dalil memuat dua premis, yang terdiri
posisi disiplin keilmuwan itu sebagai penentu dari empat macam, pertama, dua premis tersebut
bukan malah didikte dan ditentukan dari luar merupakan teks syariah, seperti sabda Nabi
dirinya.43 setiap yang memabukkan adalah khamar, dan
Dalam rumusan al-Syatibi, maqhasid al- setiap khamar adalah haram. Maka disini dapat
syari‟ah terdiri dari empat unsur pokok ; pertama, disimpulkan bahwa setiap yang memabukkan
sesungguhnya syari‟ah diberlakukan dalam adalah haram. Kedua, dua premis yang salah
rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan satunya adalah teks syari‟ah dan yang lainnya
kemaslahatan manusia. Kedua, syari‟ah adalah postulat logika apriori misalnya firman
diberlakukan untuk memahami dan dihayati oleh Allah “...dan (apabila) kedua orang tuanya yang
mewarisi, maka bagi ibu sepertiga”. Maka teks
syari‟ah ini menjadi minor, sementara premis
41 Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyahlm...,op-cit, 540- mayornya adalah ketetapan logika bahwa
542.
42 M. Agus Najid, Nalar Burhani..., op,cit., h 231. bilangan bilangan menjadi bulat dan utuh
43 Ibid., hlm. 230. Hukum taklifi adalah apa-apa yang menjadi satu bagian apabila sepertiga itu
mengandung tuntutan terhadap mukallaf untuk
berbuat atau tidak berbuat atau memilih antara
malakukan atau tidak perbuatan. 44 Abu Ishaq as-Syatibi, op,cit, juz II, hlm.5.
ditambah dengan dua pertiga. Maka dengan metode, yaitu penyimpulan dengan silogisme
demikian, apabila ibu mendapat sepertiga, atau al-qiyas al-jam‟i, dan metode induksi, yang
sementara ahli warisnya hanya ibu dan bapak, keduanya mengacu pada maqhasid al-syariah.
maka bapak menurut logika yang pasti mendapat Pemikiran as-Syatibi mengenai silogisme intinya
dua pertiga. Ketiga, dua premis yang salah adalah bahwa semua dalil syar‟i dibangun dan
satunya merupakan hasil ijmak dan lainnya disimpulkan dari dua premis, salah satunya
adalah perintah syari‟ah untuk mentaati hasil berupa teori yang ditetapkan berdasarkan
ijmak tersebut, maka konklusinya adalah penetapan akal atau persepsi indrawi, yang
ketatapan ijmak tersebut dan tidak boleh menjadi premis minor, sementara yang lainnya
menyelisihinya. Misalnya ijmak umat Islam adalah dalil naqli yang datang dari syar‟iyang
bahwa darahnya si Zaid terjaga karena dia Islam, menjadi premis mayor. Premis mayor yang
maka dengan perintah syari‟ah mentaati ijmak merupakan hukum syar‟i itu sendiri dipandang
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijmak yang sebagai postulat aksiomatik, sebagaimana
menyatakan darah si Zaid terjaga harus ditaati postulat logika aksiomatik yang kebenarannya
dan tidak boleh menyelisihinya. Keempat, dua sudah pasti. Sementara premis minor merupakan
premis yang salah satunya merupakan ketetapan realisasi kausa hukum yang ada pada hukum
syari‟ah yang menyatakan bahwa tergugat harus syara‟ tersebut pada peristiwa-peristiwa persial
disumpah (pembuktian bagi penggugat dan yang terjadi secara empiris. As-Syatibi juga
sumpah bagi tergugat yang menjadi premis mengembangkan pemikiran induksi dalam
mayor), kemudian Zaid menggugat Umar dalam hukum Islam. Iya memandang bahwa teks-teks
masalah utang piutang (sebagai premis minor), syari‟ah apabila dilihat secara induktif ayat per
maka konklosinya adalah umar harus ayat, maka terdapat nilai-nilai universal dan
memberikan sumpahnya bila menyangkal syari‟ah. Kemudian puncak pemikiran As-Syatibi
gugatan itu. Karena itulah Ibn Hazm menyatakan terletak pada pemikirannya tentang maqhasid al-
bahwa tidak ada cara-cara mengetahui hukum- syari‟ah. Menurutnya, maqhasid al-syari‟ah
hukum syari‟ah –yang tidak ada nasnya secara merupakan landasan yang paling mendasar dari
ekspelit- kecuali dengan salah satu cara dari ilmu syari‟ah. Semua penetapan hukum harus
empat cara diatas, dan semuanya itu kembali merujuk pada maksud dan tujuan terakhir yang
kepada nas, dan nas dapat diketahui dan hendak dicapai oleh ketetapan dan aturan
dipahami maknanya dengan akal sebagaimana syari‟ah tersebut.46
langkah-langkah yang digambarkan diatas. Namun menurut Moh. Agustus Najib apa
Dengan demikian ad-dalil pada dasarnya diambil yang dilakukan as-Syatibipada dasarnya adalah
dari nas dan ijmak, tidak ada ra‟yu ataupun qiyas, berusaha secara konsisten untuk menjadikan
sementara ijmak sendiri berasal dari nas syari‟ah, nalar burhani sebagai landasan metodologi hukum
dengan demikian semua hukum agama kembali Islam.
kepada nas.45
Dengan demikian Ibn Hazm menggunaklan Epistema Mashlahah dalam Konstruksi
metode induksi dan silogisme dalam penetapan Burhani
hukun Islam. Ia berusaha membangun disiplin Seperti lazimnya epistime, maka burhan
hukum Islam yang merupakan ilmu bayan di atas memunculkan persoalan sumber pengetahuan.
landasan burhan (filsafat aristoteles). Ada statemen yang diajukan Toshihiko Izutsu,
Selain Ibn Hazm, ilmuan hukum Andalusia bahwa ada dua ragam tanda (sign/ayat). Pertama,
lainnya adalah as-Syatibi. Pemikiran metodologi tanda-tanda (ayat-ayat) yang bercorak
hukum Islamnya terletak pada dua macam linguistik/verbal yang menggunakan bahasa

45 Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, 46 Muhammad Abid al-jabiri, Bunyah al-aql al-Arabi,
op.cit., hlm. 128-129. op.cit., hlm. 539-540.
insani (bahasa Al-Qur‟an). Kedua, tanda-tanda renungan awliya Allah. Ia menempatkan otoritas
(ayat-ayat) yang bercorak non verbal berupa akal pada level kedua karena ia lebih condong
gejala-gejala alam atau maujudat. Dua bentuk ayat pada pendekatan sufistik.48
itu sama-sama bersumber dari Allah. Oleh karena Penggunaan dan peran akal diatas dalam
itu, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang sejarah pemikiran agama Islam telah dilakukan
lainnya-walau dapat dibedakan. Keduanya sama- mu‟tazilah yang hampir melampaui wewenang
sama mengandung kebenaran dari Allah. Ini wahyu. Pemikiran yang berkembang dikalangan
antara lain dibuktikan dari sekian ayat-ayat Al- mereka adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki
Qur‟an terdiri dari ayat-ayat kauniyah. Dengan kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia.
demikian, mashlahah dapat diketahui dari ayat-ayat Dari sini timbul doktrin al-shalah wa al-ashlah,
qur‟aniyyah dan ayat-ayat kauniyah yang yakni Tuhan wajib menciptakan yang baik
terpampang di alam semesta.47 bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
Maujudud sebagai sumber pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa ciptaan Allah
(maslhlahah) bersifat universal dan adil. Bahkan mengandung mashlahah. Sesuatu yang dapat
Muhammad Iqbal mengatakan alam semesta diketahu dengan akal melalui pengalaman, indra,
sebagai sumber ilmu (pengetahuan mashlahah) penelitian, dari percobaan. Dari sini kebenaran
mengandung aspek kebenaran dan dapat pengetahuan mashlahah dilakukan berulang-ulang
mengantar manusia memperoleh kebenaran dari tahap ke tahap, sehingga terjadi hubungan
hakiki. secara logis dan konsisiten.49
Penetapan maujudad sebagai informasi
mashlahah membawa konsekuensi penggunaan Epistemologi ‘Irfani
akal secara dominan. Secara tegas al-Tufi „Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh
menyatakan akal sebagai sarana yang mandiri dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati,
untuk mengetahui mashlahah dan mafsadah (dalam diharapkan Tuhan akan melimpahkan
muamalah dan adat), tanpa menunggu penjelasan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ
nas. Kata Ibn Abd as-Salam, bahwa sebagian kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam
besar mashlahah dunia dapat diketahui dengan pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain.
akal, karena mashlahahtidak samar bagi setiap Dengan demikian, secara metodologi,
orang yang berakal sebelum datangnya syara‟. pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui
Bahkan, ia menegaskan bahwa jika sesorang tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan
ingin mengetahui mashlahah, maka ia secara pengungkapan, baik dengan lisan maupun
sederhana dapat menemukannya secara rasional dengan tulisan.
dengan menganggap Syari‟ tidak memberi Tahap pertama, persiapan.50 Untuk bisa
indikasi. Hasil penemuan ini dapat dijadikan menerima limpahan pengetahuan, seseorang
dasar membangun ketentuan hukum. Ia biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang
mengakui peranan penting akal mengetahui kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda
mashlahah, tapi ia mengakui pulatingkat pendapat tentang jumlah jenjang yang harus
kemampuannya. Baginya, pengetahuan mashlahah dilalui ini. Namun, setidaknya, ada tujuh tahapan
berbeda levelnya tergantung pada level yang harus dijalani,semuanya berangkat dari
pendekatan yang dilakukan masyarakat. Level tingkatan yang paling dasar menuju tingkatan
pengetahuan mashlahah yang paling rendah adalah
pengetahuan untuk seluruh manusia. Lebih tinggi 48 Ibid., hlm. 27-28.
lagi adalah level pengetahuan mashlahah melaului
49 Ibid., hlm. 28.
50 A. Khudori Soleh, op.cit., hlm. 241-242. Al-Qusairi
pemahaman azkiya. Level paling tinggi adalah mencatat ada empat puluh sembilan tahapan yang
pertauatan mashlahah melalui pemahamanatau harus dilalui, sedang at-Thabthabai mencatat dua
puluh empat jenjang, lihat Simuh, Tasawufdan
Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta : Rajawali
47 M. Faisal Munif, op.cit., hlm.27. Press, 1977), hlm. 49-72.
puncak dimana saat itu qalb (hati) telah menjadi menginginkan sesuatupun. Pada tingkat
netral dan jernih, sehingga siap menerima fakir, merupakan realisasi dari upaya
limpahan pengetahuan. pensucian hati secara keseluruhan dari
1. Tobat, meninggalkan segala perbuatan segala yang selain Tuhan.
yang kurang baik disertai penyesalan yang 5. Sabar, yakni menerima segala bencana
mendalam untuk kemudia menggantinya dengan laku sopan dan rela.
dengan perbuatan-perbuatan baru yang 6. Tawakkal, percaya atas apa yang
terpuji. Prilaku tobat sendiri terdiri dari ditentukan Tuhan. Tahap awal dari
beberapa tingkatan. Pertama-tama, tobat tawakkal adalah menyerahkan diri pada
dari perbuatan-perbuatan dosa dan Tuhan laksana mayat dihadapan orang
makanan haram, kemudian tobat dari lalai yang memandikan. Namun menurut
mengingat Tuhan, dan puncaknya adalah Qusyairi, hal ini bukan berarti fatalisme,
tobat dari klaim bahwa dirinya telah karena tawakkal adalah kondisi dalam hati
melakukan tobat. Menurut al-Qusairi tobat dan itu tidak menghalangi seseorang untuk
adalah landasan dan tahapan pertama bagi bekerja mencari nafkah demi kelangsungan
perjalanan spiritual berikutnya. Jika hidupnya. Begitupula sebaliknya, apa yang
seseorang tidak berhasil membersihkan dikerjakan tidak menafikan tawakkal dalam
dirinya pada tahapan ini, ia akan sulit untu hatinya, sehingga jika mengalami kesulitan
naik pada jenjang berikutnya. ia akan menyadari bahwa itu berarti takdir-
2. Wara‟, menjauhkan diri dari segala sesuatu Nya dan jika berhasil berarti atas
yang tidak jelas statusnya (subhat). Dalam kemudahan-Nya.
tasawuf, Wara‟ ini terdiri atas dua 7. Rida, hilangnya rasa ketidaksenangan
tingkatan, lahir dan batin. Wara‟ lahir dalam hati sehingga yang tersisa hanya
berarti tidak melakukan sesuatu kecuali gembira dan suka cita. Ini adalah puncak
untuk beribadah kepada tuhan, sedangkan dari tawakkal.
Wara‟ batin adalah tidak memasukkan Kedua, tahap penerimaan.51 Jika telah
sesuatu apapun dalam hati kecuali Tuhan. mencapai tingkat tertentu dalam sufisme,
3. Zuhud, tidak tamak dan tidak seseorang akan mendapatkan limpahan
mengutamakan kehidupan dunia. Ini lebih pengetahuan langsung dari Tuhan secara
serius dan lebih tinggi dibandingkan iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan
tingkat sebelumnya, karena disini tidak mendapatkan realitas kesadaran diri yang
hanya menjaga dari yang subhat, bahkan demikian mutlak, sehingga dengan kesadaran itu
juga yang halal. Namun demikian, zuhud ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai
merupakan bukan berarti meninggalkan objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran
harta sama sekali. Menurut as-Syibili, dan realitas yang disadari tersebut, karena bukan
seseorang tidak dianggap zuhud jika hal itu objek eksternal, keduanya bukan sesuatu yang
terjadi lantaran ia memang tidak berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama,
mempunyai harta. Zuhud adalah bahwa sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
hati tidak tersibukkan oleh sesuatu apapun kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu
kecuali Tuhan. Semuanya tidak berarti diperoleh melalui representasi atau data-data
dihatinya dan tidak memberi pengaruh indera apa pun, bahkan objek eksternal sama
dalam hubungannya dengan Tuhan. sekali tidak berfungsi dalam pembentukan
4. Fakir, mengosongkan seluruh fikiran dan gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini
harapan dari kehidupan masa kini dan justru terbentuk melalui unifikasi eksistensial.
masa akan datang, dan tidak menghendaki
sesuatu apapun kecuali Tuhan, sehingga ia
tidak terikat dengan apapun dan hati tidak 51 Ibid., hlm. 243-244.
Ketiga, pengungkapan.52 Ini merupakan Bagaimana makna atau dimensi batin yang
tahap terakhir dari proses pencapaian diperoleh dari kashf tersebut diungkapkan.
pengetahuan „irfani, dimana pengalaman mistik Menurut al-Jabiri, makna batin ini, pertama,
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada diungkapkan dengan cara apa yang disebut
oranglain lewat ucapan atau tulisan. Namun, sebagai i‟tibar atau qiyas irfani yaitu analogi makna
karena pengatehuan „irfan bukan masuk tatanan batin yang ditangkap dalam kashf kepada makna
konsepsi kehadiran Tuhan dalam diri dan zahir yang ada dalam teks. Sebagai contoh, qiyas
kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa yang dilakukan kaum syi‟ah yang meyakini
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman keunggulan keluarga Imam Ali atas QS. Ar-
ini dapat diungkapkan. Beberapa pengkaji Rahman, 19-22 “Dia membiarkan dua lautan
masalah „irfan atau mistik membagi pengetahuan mengalir dan bertemu, diantara keduanya ada
ini dalam beberapa tingkat : batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya
1. Pengetahuan tak terkatakan. keluar mutiara dan marjan. Dalam hal ini, Ali dan
2. Pengetahuan „irfan atau mistisisme. Fatimah dinisbahkan pada dua lautan,
3. Pengetahuan metasisme yang terbagi dalam Muhammad saw dinisbahkan pada barzah,
dua bagian yaitu: sedangkan Hasan dan Husein dinisbahkan pada
a. Oleh orang ketiga tetapi masih dalam mutiara dan marjan.54
satu tradisi dengan yang bersangkutan Barzah = Muhammad
(orang Islam menjelaskan pengalaman Dua lautan = Ali/Fatimah
mistik orang Islam yang lain). Dua laut Ali/Fatimah
b. Oleh orang ketiga dan dari tradisi yang Mutiara & Marjan Hasan/Husein
berbeda (orang Islam menjadi Dengan demikian, qiyas „irfani ini tidak sama
pengalaman mistik dari tokoh mistik dengan qiyas bayani atau silogisme. Qiyas „irfani di
non-muslim) sini berusaha menyesuaikan konsep yang telah
Sesuai dengan sasaran bidik „irfan yang ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kashf
esoterik, isu sentral „irfan adalah zahir dan batin, dengan teks, qiyas al-ghaib „ala al-syahid. Dengan
bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi kata lain, seperti dikatakan al-Ghazali di atas,
sebagai pasangan. Menurut Muhasibi, al-Ghazali, zahir teks dijadikan furu‟ (cabang) sedangkan
Ibn Arabi, juga para sufi yang lain, teks konsep atau pengetahuan kashf sebagai ashal
keagamaan (Alquran dan hadis) tidak hanya (pokok). Karena itu, qiyas „irfani atau i‟tibar tidak
mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga memerlukan persyaratan „illah atau pertalian
apa yang tersirat (batin). Zahir teks adalah antara lafal dan makna, sebagaimana yang ada
bacaannya, sedangkan batinnya adalah takwilnya. dalam qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman
Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir- pada isyarat (petunjuk batin).55
batin tidak berbeda dengan lafaz dan makna. Kedua, pengetahuan kashf diungkapkan
Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang lewat apa yang disebut dengan syatahat.
berangkat dari lafaz menuju makna, sedangkan Namunm, berbeda dengan qiyas „irfani yang
dalam irfani, seseorang justru berangkat dari dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks,
makna menuju lafaz, dari batin menuju zahir, syatahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-
atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai ashl, aturan tersebut. Syatahat lebih merupakan
sedangkan lafaz mengikuti makna (sebagai ungkapan lisan tentang perasaan karena limpahan
furu‟).53 pengetahuan langsung dari sumbernya dan
disertai dengan pengakuan seperti ungkapan
“Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustami atau
52 Ibid., hlm. 244.
53 Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, (Kairo : Dar al- 54 A. Khudori Soleh, op.cit., hlm. 246.
Qaumiyyah, 1964), hlm. 65. 55 M. Abid al-Jabiri, Bunyah ..., op.cit., hlm. 274.
“ana al-haqq” (aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj. Untuk samapai pada kawasan batin harus melalui
Ungkapan-ungkapan tersebut keluar dari pendekatan intuitif. Pengetahuan-kebenaran-
seseorang saat mengalami suatu pengalaman mashlahah suatu ajaran dapat diperoleh melalui
intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering kajian aspek esoteris dari makna ayat-ayat Alquran
tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun dan hadis, karena mashlahah diyakini berada
epistemologis tertentu, sehingga ia sering dihujat dibalik tabir teks bukan pada zahir lafal dan
dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang maknanya. Suatu perbuatan yang didasarkan
baku. Meski demikian, secara umum syatahat pada pemahaman dua dimensi (eksoteris dan
sebenarnya diterima dikalangan sufisme suni esoteris) akan memperoleh ilmu yang dapat
yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan mengungkap hikmah (mashlahah) yang dikandung
syarat syatahat harus ditakwilkan, yakni Alquran dan sunnah.
ungkapannya terlebih dahulu harus dikembalikan Seorang „irfani-dengan kemampuan proses
pada makna zahir teks.56 kejiwaannya- sampai pada tahap tajalli (jawaban
Hakikat qiyas „irfani, takwil, dan syatahat batin terhadap persoalan yang dihadapi) tentang
menurut al-Jabiri terletak pada makna umumnya pengetahuan mashlahah yang harus melalui
atau universalitasnya melainkan pada makna tahapan riyadhah (latihan ritus). Pengetahuan
temporal dan subjektivitasnya. Sebab takwil atau mashlahah yang diperoleh melalui pendekatan
syatahat tidak lain adalah pemaknaan atau intuitif hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu
pemahaman atas realitas yang ditangkap saat (awliya) karena mereka sangat konsisten terhadap
kashf, dan hal tersebut pasti berbeda diantara hukum-hukum Allah, sehingga penyelidikan dan
masing-masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa ijtihad mereka sangat sempurna. Dari sinilah
dan pengalaman sosial budaya yang pengetahuan mashlahah dimungkinkan dapat
menyertainya. 57 diperoleh melalui iliminasi (menampakkan
„irfan sebagai metode perolehan pengetahuan langsung) kepada subjek, bahkan pengetahuan
melalui penampakan langsung kepada subjek- seorang„irfani mampu mencapai mashlahah yang
dalam tasawuf- dinamakan ma‟rifah. Sarana ada pada tingkat haqq al-yaqin. Mashlahah
mencapai ma‟rifah adalah kalbu, bukan indera diperoleh melalui tingkat takhalli (pengosongan
bukan akal budi. Kalbu yang dimaksud bukan diri dari perbuatan tercela) dan proses pada
bagian tubuh secara fisik, akan tetapi merupakan tingkat tahalli (memperbanyak amal saleh yang
percikan ruhiyah ketuhanan yang merupakan dihiasi dengan akhlaqal-karimah), yang kemudian
hakekat realitas manusia. Terkadang ia terkait sampai pada tingkat tajalli. Mashlahah yang
dengan segumpal hati manusia. Namun sejauh ini ditangkap dirasakan pada tingkat tajalli tidak
daya nalar manusia belum mampu memahami dapat ditukar dengan mashlahah pada tingkat
keterkaitan antara keduanya.58 rukhsah syari‟ah karena rukhsah berada pada
level bawah. Pandangan dan sikap di atas
Epistema Mashlahah Dalam Konstruksi memiliki implikasi serius terhadap kemaslahatan
‘Irfani manusia, karena dinilai mengabaikan
Dalam pemikiran „irfani, nas diyakini kemashlahahan itu sendiri. Pada dasarnya
berdimensi eksoteris (zahir) dan esoteris (batin). penerimaan dalam rukhsah berarti merealisasi
Namun demikian, kawasan esoteris lebih sebagian kemaslahatan karena kewajiban dalam
mendominasi makna suatu ajaran. Sumber „azimah dirasakan sulit, bahkan nyaris tidak dapat
kebahasaan dinilai tidak mampu memfasilitasi dilaksanakan.59
makna yang tidak dapat diganti dengan teks. Sesuai dengan tradisi „irfaniyyun, pengetahuan
atau perolehan mashlahah terasa sulit bagi orang
lain. Sebagai contoh, kemaslahatan/manfaat
56 Ibid., hlm. 290.
57 Ibid., hlm. 281.
58 M. Faishal Munif, op.cit., hlm. 30. 59 M. Faishal Munif, op.cit., hlm. 30-31.
dalam ibadah seperti salat yang berfungsi memahami hukum-hukum syari‟at serta dalam
mencegah pelakunya dari (perbuatan) keji dan merespon persoalan-persoalan baru yang muncul
munkar sebagaimana dalam surat al-„Ankabut sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam.
(29): 45. Berdasarkan pernyataan di atas Muhy Yaitu ahlu al-hadits dan ahlu al-ra‟yi. Aliran
ad-Din bin „Arabi mengklasifikasi salat menjadi pertama yang berpusat di Hijaz (Mekah-
tujuh macam tingkat. Tingkat paling rendah salat Madinah), banyak menggunakan hadis dan
al-badaniyyah (raga) dan tingkat tertinggi salat al- pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya
khifa‟ (dengan jiwa yang berdialog mesra) yang secara harfiah. Adapun aliran kedua, berpusat di
dapat mengantar seseorang pada maqam fana‟ Irak, banyak menggunakan rasio dalam
(penghancuran diri untuk lebur dengan Allah) merespon persoalan baru yang muncul. Salah
dalam „ain al-wahdah (esensi kesatuan manusia satu contoh kasus perbedaan ini, pada suatu
dengan Allah). Apabila salat tidak dapat ketika seseorang dari kelompok ahlu al-hadits
menghantarkan seseorang pada tingkat fana‟ ditanya tentang dua orang anak bayi yang
berarti ia telah memberikan kemaslahatan kepada menyusu air susu seekor domba, apakah hal itu
pelakunya secara maksimal. Sedemikian rupa dari menjadi hubungan susuan atau tidak.
tujuh macam tingkat salat di atas disederhanakan Jawabannya, ya, karena berdasarkan hadis dua
menjadi dua macam. Pertama, salat syari‟ah, anak bayi yang menyusu pada satu air susu yang
yakni gerakan-gerakan raga seperti berdiri, sama menjadikan keduanya haram menikah.
membaca, ruku, sujud dan sebagainya. Kedua, Meskipun jawaban ini sesuai dengan teks hadis,
salat thariqah, yakni salat hati yang dilaksanakan tetapi tidak sejalan dengan rasio, karena maksud
selama hidup tanpa putus yang merupakan hadis hanya sejalan dengan air susu ibu, bukan
bentuk kerinduan hati kepada Allah. Pelaksana pada domba atau hewan lain. Meskipun
ibadah (salat) bagi irfaniyyun tidak sekedar gerakan demikian, pada masa dinasti Umayyah dan awal
raga lahiriyah, tetapi mengandung gerakan Abbasiyah, ulama dan muridnya bebas dan sering
ruhaniyyah. Gerakan jasmaniyah-memungkinkan bertukar guru atau mengubah pendapat.61
pada saat tertentu- ditinggalkan dibanding Munculnya kedua aliran tersebut terutama
gerakan ruhaniyyah. Pada saat seseorang tidak disebabkan oleh dua faktor. Pertama : pengaruh
dapat melaksanakan salat lahiriyah ia tetap geografis dan kondisi sosial di Madinah pada
diwajibkan melaksanakan salat batiniyyah, walau masa dinasti Umayyah tidak banyak berbeda
dengan niat saja.60 dengan kondisi pada masa Nabi SAW dan
khulafa al-rasyidin, karena Irak sudah menjadi kota
Potret Keterpisahan Epistemologi Dalam metropolitan waktu itu, sehingga persoalan-
Sejarah persoalan lebih kompleks dari pada Madinah.
Antara Ahlu al-Ra’yi dan Ahlu al-Hadits Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru itu
Persoalan mengenai sumber pengetahuan dibutuhkan ijtihad, sementara hadis yang beredar
(mashlahah) sejak awal Islam sudah di Irak tidak sebanyak hadis yang beredar di
memperlihatkan bentuk-bentuk tipologi Madinah yang merupakan tempat turunnya
pemikiran. Sebultah misalnya Ibnu Abbas dan wahyu. Maka para ahli ijtihad mengeluarkan
Ibnu Umar. Kedua tokoh ini berbeda dalam fatwa yang banyak berdasarkan rasio.
melihat nas. Ibnu Abbas lebih menggunakan Kedua : Pengaruh sahabat-sahabat dalam
pendekatan konteks, sedangkan Ibnu Umar memberikan fatwa. Umar bin Khattab dan Ibnu
berpegang pada makna teks. Mas‟ud, misalnya dalam memberikan fatwa
Pada masa tabi‟in (masa awal dinasti banyak menggunakan rasio dengan berusaha
Umayyah) terlihat ulama fikih terpilih ke dalam
dua mazhab utama. Muncul aliran-aliran dalam
61 Masykuri Abdillah, “Ilmu Agama”, dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van
60 Ibid., hlm. 30-31. Hoeve, 2002), hlm. 247.
mencari „illat(reason) dan jiwa syari‟at. Sedangkan (fukaha), dan Keenam: adanya kebebasan
Abdullah bin Umar, sangat berhati-hati dalam berpendapat di bidang ilmiahtanpa adanya
memberikan fatwa dan hanya mempergunakan keharusan untuk mengikuti pendapat atau
nas Alquran dan hadis. Di antara ahli fatwa mazhab tertentu, meskipun tetap dibatasi, selama
dikalangan tabi‟in adalah Sa‟id bin Mutsayyab, tidak melawan atau mengkritik penguasa.63
Ibrahim an-Nakhai, dan Hasan al-Basri. Pada periode ini, di Irak muncul seorang
Sejak awal para ulama tidak muncul dan mujtahid besar bernama Nu‟man bin Tsabit atau
berkembang menjadi kelompok yang homogen. yang lebih dikenal dengan Abu Hanifah (80
Keberagaman dalam bentuk rumusan ulama H/699 M-150 H/767 M). Ia merupakan orang
telah tampak, yang belakangan kondisi ini pertama memformulasikan ilmu fikih. Ia lahir di
mengarah pada terbentuknya mazhab-mazhab di Kufah, putera seorang pedagang sutra dari
kalangan ulama khususnya dan umat Islam pada keturunan Persia yang masuk Islam masa
Umumnya. Ulama di wilayah awal perkembangan pemerintahan khulafaur rasyidin. Ia mempelajari
Islam (Hijaz), cenderung berpegang pada banyak bidang ilmu terutama dari gurunya
panduan Nabi Muhammad SAW yang memang Hammad bin Zaid. Pada periode Umayyah, ia
lebih banyak diingat dan lestari dikalangan sudah menjadi ulama yang berpengaruh,
mereka. Kelompok ini sering disebut ahlu al-hadis sehingga pernah ditawarkan untuk menjadi
(kelompok tradisional), dan mereka sering hakim di Kufah, tetapi ia menolak. Karena
dibedakan dengan ulama di wilayah baru Islam, sikapnya itu ia dibenci dan dihukum oleh
terutama Irak, yang biasanya disebut ahlu al-ra‟yi gubernur Kufah, Yazid bin Umar. Hal yang sama
(kelompok rasionalis). Penamaan di atas bukan juga dialaminya ketika ia menolak tawaran
suatu pemilahan, akan tetapi lebih bersifat Dinasti Abbasiah. Ia akhirnya dipenjarakan oleh
preperensi, karena kelompok ahli hadis bukan khalifah Abdullah bin Muhammad al-Mansur,
berarti tidak menggunakan pendekatan rasional, sampai ia meninggal tahun 767. Meskipun
dan kelompok ahlu al-ra‟yi bukan berarti demikian ia memiliki banyak murid yang
meninggalkan hadis yang sahih.62 menyebabkan mazhabnya banyak diikuti.
Pada periode tabi‟it tabi‟in abad 2 H, dengan Diantaranya adalah Abu Yusuf Ya‟qub bin
munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta Ibrahim dan Muhammad bin Hassan as-Syaibani.
terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang Di antara mazhab sunni, mazhab Hanafi inilah
hukum-hukum syari‟at. Munculnya ulama-ulama yang dianggap paling rasional dalam metodologi
mujtahidin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan pendapatnya.64
yaitu pertama: perkembangan Islam ke berbagai Sementara itu, di Madinah muncul juga
wilayah dengan latar belakang nilai-nilai dan seorang mujtahid besar bernama Malik bin Anas
kebiasaan masing-masing yang beraneka ragam atau Imam Malik (716-796). Ia belajar antara lain
mengharuskan adanya pedoman yang kepada Rabi‟ah bin Farukh dan Yahya bin Sa‟id,
bersandarkan pada hukum-hukum syari‟at. Kedua: dua ahli hadis yang terkenal pada zaman itu.
kemudahan untuk merujuk kepada sumber- Selain pergi ke Mekah untuk menunaikan haji,
sumber dasar syari‟at. Ketiga: semangat kaum Imam Malik tidak pernah meninggalkan Madinah
muslimin untuk berpegang pada ajaran-ajaran selama hidupnya. Ia memformulasikan ilmu fikih
agama. Keempat: adanya iklim yang menunjang, dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-
bersamaan dengan berkembangnya filsafat Islam Muwatta yang terutama berisi hukum-hukum
dan ilmu-ilmu lainnya. Kelima: perhatian para syariat. Pembukuan kitab ini dilakukan atas
khalifah terhadap fikih dan para ahli fikih permintaan khalifah Abu Ja‟far al-Mansur dengan
maksud sebagai pedoman bagi kaum muslim
62 Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Fajar Keemasan Islam”,
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta : Pt. 63 Masykuri Abdillah, op.cit., hlm. 246.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 279. 64 Ibid.
dalam menjalani kehidupan mereka. Khalifah serta menempatkan kedua aliran tersebut secara
Harun ar-Rasyid pernah berusaha untuk proporsional. Hal ini didukung oleh latar
menjadikan kitab ini sebagai hukum yang berlaku belakang Imam Syafi‟i yang pernah belajar
untuk umum, tetapi tidak disetujui oleh Malik dengan Imam Malik (ahlu al-hadits) dan as-
bin Anas. Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi Syaibani (ahlu al-ra‟yi). Munculnya Imam Syafi‟i
paham fikih dikalangan umat Islam di Hijaz yang di satu segi menguasai banyak hadis dan
(aliran ahlu al-hadits). Mazhab Maliki dilain segi memiliki kemampuan dalam menggali
mengutamakan hadis dan memberi kedudukan dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat
khusus bagi praktek („amal) penduduk Madinah. menghilangkan supremasi ahlu al-ra‟yi terhadap
Meskipun demikian ia menerima pertimbangan ahlu al-hadits dalam perdebatan. Karena jasanya
hukum atas dasar kemaslahatan (istishlah).65 membela hadis, maka ia dijuluki sebagai nashir al-
Adapun yang menjadi pedoman bagi paham sunnah (pembela sunnah). Pembelaan ini tidak
fikih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahlu hanya ditujukan kepada kalangan ahlu al-ra‟yi yang
al-ra‟yi) adalah buku-buku yang ditulis oleh banyak mendahulukan rasio daripada hadis,
murid-murid Abu Hanifah. Terutama tetapi juga kepada kalangan ahlu al-hadits yang
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (131-189 H) dalam beberapa hal menggunakan hadis lemah
dengan bukunya antara lain al-Jami‟al-Kabir dan atau mendahulukan praktek penduduk Madinah
al-Jami as-Sagir dan Abu Yusuf dengan daripada hadis. Pemikiran-pemikiran Imam
hukumnya al-Kharaj. Baik Abu Hanifah maupun Syafi‟i ini memang tidak terlepas dari latar
Malik bin Anas masing-masing dijadikan sebagai belakangnya yang pernah belajar di lingkungan
pendiri Mazhab Hanafi dan Maliki. kedua aliran tersebut.
Sejak periode tabi‟in, sering terjadi Imam Syafi‟i menjumpai iklim ketika
perdebatan antara kedua aliran tersebut. kontroversi juristik terjadi merata antara para ahli
Sementara kalangan ahlu al-hadits mencela hukum Madinah dan ahli hukum Irak. Dan
kelompok ahlu al-ra‟yi dengan tuduhan bahwa akhirnya di antara faktor yang mendorong Imam
ahlu al-ra‟yi meninggalkan sebagian hadis, maka Syafi‟i ke dalam penggalian teori hukum usul
ahlu al-ra‟yi pun menjawab dengan fikih adalah gelombang besar orang-orang non
mengemukakan argumentasi tentang „illah- „illah Arab ke wilayah-wilayah Islam dan pengaruh
hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syari‟at. memalukan yang menimpa tradisi-tradisi hukum
Pada umumnya ahlu ar-ra‟yi dengan kemampuan dan budaya Islam. Syafi‟i mengkhawatirkan
debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahli tercemarnya kemurnian syari‟ah dan bahasa
hadis. Namun masing-masing dari kedua aliran Alquran. Di dalam kitab ar-Risalahnya, Syafi‟i
ini tidak memiliki metodologi yang sistematis dan merumuskan pedoman ijtihad dan menguraikan
konsisten, sehingga menimbulkan semakin kaidah-kaidah yang mengatur masalah „amm,
beranekanya dan meruncing perdebatan khass, nasikh dan mansukh, dan menyusun prinsip-
pendapat, yang diantaranya bahkan mengarah prinsip ijmak dan qiyas. Al-Syafi‟i menyangkal
pada pemahaman menurut keinginannya sendiri, validitas istihsan dan menganggapnya tidak lebih
terutama dikalangan ahlu al-ra‟yi.66 dari perbuatan hukum secara serampangan.
Salah seorang murid Imam Malik yang Beliaulah yang telah berjasa menghimpun usul
cerdas adalah Muhammad Idris as-Syafi‟i atau fikih menjadi sebuah disiplin ilmu yang sistematis
yang dikenal dengan Imam Syafi‟i (769-820), dan koheren.67
terpanggil untuk menertibkan perbedaan
pemahaman tersebut dengan memperkenalkan
sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten 67 Muhammad Hashim Kamali, Princples of Islamic
Jurisprudence (The Islamic Texts Society), diterjemahkan
oleh Norhaidi, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam
65 Nur Ahmad Fadhil Lubis, op.cit., hlm. 280. (Ushul Fiqh), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996),
66 Masykuri Abdillah, op.cit., hlm. 246. hlm. 5.
Dengan upaya ini, Imam Syafi‟i dikenal interpretasi alegoris terhadap sumber-sumber
dengan orang yang telah memadukan kedua hukum Islam. Ibnu Hazm al-Andalusi
aliran (ahlu al-ra‟yi dan ahlu al-hadits). Di satu sisi menghidupkan kembali mazhab ini pada abad
ia telah merumuskan logika hukum dibalik teks- ke-11 hingga berkembang kembali di Spanyol.
teks Alquran dan hadis, dan disisi lain ia telah Meskipun demikian jatuhnya kerajaan Islam
menempatkan posisi hadis sahih secara Spanyol turut pula mengakhiri keberadaan
proporsional, yaitu sebagai sumber hukum kedua mazhab di sana.69
setelah Alquran. Ciri mazhab Syafi‟i adalah Yang lain adalah mazhab al-Auza‟i (708-
kombinasi dari kalangan tradisional dan rasional 774). Ia terkenal sebagai salah seorang ahli hadis
dalam suatu metodologi yang lebih sistematis. abad ke-8 dan penentang penggunaan berlebihan
Sama dengan gurunya as-Syafi‟i, salah metodologi qiyas dan bentuk-bentuk penalaran
seorang muridnya Ahmad bin Hanbal (780-855) rasional lain. Di Andalusia pengaruh mazhabini
kemudian mengembangkan aspek ajaran gurunya berkurang ketika posisi hakim Agung di
yang menekankan posisi dan signifikasi sunnah Damaskus dijabat oleh Abu Zar‟ah bin Usman
dalam hukum Islam. Pentingnya kedudukan yang menganut mazhab Syafi‟i.70
sunah bagi Imam Ahmad tampak dari Pada abad ke-8 masih terdapat beberapa
ketekunannya mengkompilasi hadis dalam kitab mazhab lain yang dianut umat Islam.
al-Musnad yang berisikan lebih dari 30.000 hadis. Diantaranya adalah mazhab al-Laits dan mazhab
Kuatnya ia berpegang pada hadis juga terkait erat al-Sauri. Yang pertama dikaitkan kepada al-Laits
dengan keyakinannya dalam bidang akidah, ia bin Sa‟ad (716-791), keturunan Persia dan
menolak pendekatan rasional dan spekulatif yang berdomisili di Mesir. Penyebab memudarnya
dipengaruhi pola pemikiran filosofis, terutama mazhab ini adalah kedatangan Imam as-Syafi‟i ke
yang dikembangkan kaum mu‟tazilah. Sikapnya Mesir hingga pengikut al-Laits banyak yang
yang tegas ini menyeretnya harus berhadapan beralih, karena ajaran mereka tidak berbeda jauh.
dengan banyak pihak terutama para penguasa. Adapun mazhab al-Sauri didirikan oleh Sufyan
Khalifah Abdullah al-Ma‟mun menjebloskannya al-Sauri (715-778), yang terkenal karena
ke dalam penjara karena terkait dengan pengetahuannya yang luas mengenai ilmu-ilmu
penentangan pendapat mengenai kemakhlukan keIslaman, terutama hadis dan fikih. Ia hidup
Alquran. Baru setelah al-Mutawakkil naik tahta ia semasa dengan Imam Hanafi, tetapi berbeda
dapat menyebarluaskan paham yang diyakininya. pendapat tentang penggunaan qiyas dan
Di samping ahli fikih ia dikenal sebagai ahli penyimpangan dari kaidah umum yang
hadis. Walaupun ia pernah belajar kepada Imam didasarkan atas pertimbangan rasional. Pendapat-
Syafi‟i dan Abu Yusuf, tetapi ia memiliki pendapat al-Sauri sulit berkembang karena
pemikiran yang berbeda dari keduanya, dan pendapat-pendapatnya yang keras dan sering
berbeda pula dengan pemikiran fikih Malik, beroposisi dengan pemerintah. Ia pernah
sehingga para pengikutnya menjadikannya menolak tawaran khalifah menjadi hakim.71
sebagai pendiri mazhab Hanbali. Keempat Meskipun awalnya kelompok syi‟ah
mazhab inilah belakangan disebut dengan terbentuk karena persoalan politik,
ahlussunnah wal jamaah.68 perkembangan selanjutnya memperlihatkan
Selain empat mazhab tersebut, masih ada bahwa ulamanya merumuskan metodologi,
mazhab lain. Mazhab Zahiri didirikan oleh kriteria, dan produk ketentuan akidah dan aturan
Dawud bin Ali (815-883) yang lahir di Kufah. hukum sendiri. Merekapun akhirnya terpecah
Gelar al-Zahiri karena mereka berpegang pada menjadi beberapa mazhab. Sebagian kaum
rujukan tekstual (zahir) ayat Alquran dan hadis
dan menentang penggunaan penalaran bebas dan
69 Ibid.
70 Ibid.
68 Nur Ahmad Fadhil Lubis, op.cit., hlm. 280-281. 71 Ibid.
muslim syi‟ah menganut mazhab Ja‟fari. Mazhab kehidupan homogen dan banyaknya sahabat di
ini dinisbahkan kepada Imam Ja‟far bin Madinah membekas jelas pada mazhab Maliki.
Muhammad al-Baqir (699-765), cicit dari Ali bin Bagi mazhab Hanafi, seorang wanita dewasa,
Abi Thalib. Mazhab Ja‟fari khususnya, dan kaum diperbolehkan melakukan akal sendiri, yang
syi‟ah umumnya hanya menerima hadis yang mustahil diterima dikalangan masyarakat Arab
diriwayatkan ahlul bait dan menundukkan yang kuat memegang tradisi patrilineal.73
perkataan para imam syiah (aqwal al- Meskipun demikian, perkembangan
a‟immah)sebagai sumber hukum setelah Alquran. selanjutnya menunjukkan bahwa semua mazhab
Mereka langsung menetapkan rasio sebagai salah yang berkembang menerima Alquran dan sunnah
satu sumber hukum bagi kasus-kasus yang tidak sebagai sumber utama hukum Islam. Namun
diatur oleh sumber-sumber hukum yang lebih dikalangan syi‟ah, rumusan sunnah yang diterima
tinggi.72 berbeda dari penganut sunni. Kalangan syi‟ah
Pengelompokan umat Islam terutama pada hanya menerima sunnah yang diriwayatkan oleh
aspek fikih mengental pada era dinasti keturunan langsung Rasulullah SAW (ahlul bait).
Abbasiyah. Ada beberapa faktor pendorong Dikalangan sunni terdapat perbedaan kriteria.
fenomena ini. Pertama, perkembangan ilmu-ilmu Mazhab Hanafi mensyaratkan hadis yang boleh
keagamaan telah sampai pada tingkat diterima paling tidak dikenal baik (masyhur).
terbentuknya pendekatan dan metodologi yang Sementara itu hadis yang bertentangan dengan
lebih mapan pada masing-masing kelompok. Ini konsensus tradisi penduduk Madinah tidak
ditambah dengan telah berkembangnya lembaga- diterima oleh mazhab Maliki.
lembaga pendidikan keagamaan yang terpusat Mazhab sunni sepakat menerima konsensus
pada ulama-ulama terkenal. Kedua, Dinasti ijmak dan qiyas sebagai sumber utama
Abbasiyah memang lebih memberikan berikutnya. Mazhab Hanafi menerima penetapan
kesempatan dan dukungan terhadap kiprah hukum berdasarkan istihsan, sesuatu yang ditolah
ulama dalam kehidupan umum. Ketiga, diskusi, oleh Mazhab Syafi‟i dan Hanbali. Mazhab Maliki
perdebatan, dan polemik di kalangan ulama berprinsip bahwa perumusan hukum atas
semakin terbuka. pertimbangan kepentingan umum (istishlah) dapat
Ketika periode akhir dinasti Abbasiyah, diterima. Disamping itu dalam kadar yang lebih
friksi antar mazhab semakin menguat karena rendah semua mazhab menerima adat istiadat
adanya campur tangan dan dukungan penguasa dan aturan hukum agama monoteis pra-Islam
terhadap mazhab tertentu. Pada masa ini fikih (syar‟u man qablana) sebagai sumber hukum.
mengalami sistematisasi dan formalisasi. Pada fase kemunduran, hubungan umat
Kemampuan suatu mazhab untuk bertahan Islam secara internal tidak harmonis. Rasa saling
disebabkan gabungan banyak faktor. Di antara menghormati yang berkembang sebelumnya
yang utama adalah tingginya kualitas pemikiran digantikan dengan kebiasaan saling menghina.
orang alim, adanya sekelompok murid yang Sikap saling menghormati di kalangan ulama
tekun mengembangkan, adanya dukungan dapat dilihat dari pujian satu imam kepada imam
penguasa, serta diangkatnya tokoh mazhab lainnya. Imam Syafi‟i pernah berkata : “Dalam
tersebut sebagai petinggi pemerintahan biasanya bidang fikih manusia berutang budi kepada Abu
hakim. Di samping itu, terdapat kondisi saling Hanifah”. Imam Malik pernah memuji Abu
mempengaruhi antara aturan mazhab tertentu Hanifah : “Aku tidak pernah melihat ulama yang
dan kondisi sosio-kultural dari tempat hadis lebih pandai dari Abu Hanifah”. Imam Syafi‟i
tersebut berkembang. Kehidupan kosmopolitan pernah memuji Imam Malik dan Sufyan bin
kota Baghdad banyak mempengaruhi metodologi Uyainah : “Kalau saja tidak ada Imam Malik dan
dan rumusan hukum mazhab Hanafi, sementara

72 Ibid., hlm. 281. 73 Ibid., hlm. 281.


Imam Sufyan, ilmu Hijaz pasti hilang”.74 Saling Menurut pola fikir kaum tekstualis, maksud syara
menghormati seperti tercermin dalam pujian (mashlahah) hanya dapat diketahui dari lafal teks
Imam Syafi‟i kepada Abu Hanifah, pujian Imam sebagaimana apa adanya yang tersurat. Jika
Malik, diganti oleh kegiatan saling mencaci atau disodori ayat : “Pencuri laki-laki atau perempuan
menghina. Para pengikut Abu Hanifah maka potonglah tangan-tangannya sebagai
menjelaskan riwayat kepandaian Abu Hanifah. balasan apa yang diperbuat”. Mereka akan segera
Untuk mempertinggi derajat Abu Hanifah, menjawab hukuman untuk pencuri adalah
mereka berkata : “Imam Syafi‟i bukan keturunan potongan tangan, tidak lain dari itu.78Alasan
Quraisy, tetapi keturunan budak-budak Quraisy”. mengapa mereka menempuh pemahaman
Para pengikut Imam Malik berkata : “Imam tekstual adalah : “Sesungguhnya, maksud Syari‟
Syafi‟i adalah pembantu Imam Malik”. Para adalah misterius bagi kami sebelum ia
pengikut Imam Syafi‟i berkata : “Ahmad bin menjelaskannya sendiri. Hal ini tidak bisa terjadi
Hanbal adalah pembantu Imam Syafi‟i.75 kecuali melalui firman yang jelas mengandung
Dalam rangka mempertinggi derajat Imam makna-makna lain”.79Berhubung kaum
mazhab yang dianutnya, pengikut mazhab tidak zhahiriyyah hanya berpegang pada lahirnya nas,
segan-segan membuat hadis maudhu‟. Para maka dalam menentukan hukum tidak perlu
pengikut Abu Hanifah meriwayatkan bahwa memerlukan bantuan di luar nas. Sebagai
Nabi Muhammad SAW bersabda : “Suatu waktu konsekuensinya mereka menolak mashlahah
akan ada diantara yang bernama Nu‟man, dia mursalah, istihsan, maupun qiyas dalam
adalah pelita umatku. Dan akan ada pula diantara menentukan hukum. Namun kaum zhahiri
umatku yang bernama Muhammad bin Idris, dia menerima ta‟wil manakala ada nas lain yang
lebih menyulitkan umatku dari pada iblis”.76 mengeluarkannya dari makna lahirnya (zhahir).
Para pengikut Ahmad Ibn Hanbal Nas lain itupun harus lahir (zhahir) pula, baik nas
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berasal dari Alquran maupun dari hadis Nabi.
bersabda : “Akan ada di antara umatku yang Ringkasnya, zahir-nya suatu nas hanya dapat
bernama Ahmad bin Hanbal, ia akan dita‟wil dengan nas lain yang berjenis lafal zahir
menjalankan sunnahku seperti para Nabi”.77 pula. Jadi penerapan ta‟wil dikalangan mereka
Hal lain yang menandai ketidakharmonisan tetap tidak dapat menggeser posisinya sebagai
di kalangan umat Islam adalah berkembangnya kaum zhahiri.
sikap saling menyalahkan pendapat ulama lain. Meskipun mereka berdiri sendiri secara
Ditambah lagi superioritas mazhab tertentu atas kokoh dalam tekstualitasnya. Setiap lafal
mazhab yang lain, menumbuhkan iklim tidak diberlakukan secara „amm (secara literal berarti
sehat bagi perkembangan hukum Islam. umum), kecuali nas zahir lain yang
mengeluarkannya dari arti yang umum. Lafal
Antara Zhahiriyyat, Batiniyyat dan khamar dalam surah al-Maidah ayat 90
Pemikiran Kontekstual umpamanya, diartikan kulluma takhammara (apa
Pola fikir zhahiriyyat yang dibidani oleh saja yang seperti khamar) dalam arti keji dan
Dawud bin Ali Khalaf al-Asbahani al-Zhahiri. Ia termasuk perbuatan setan. Atas dasar pengertian
lahir di Kufah tahun 202 H dan wafat di khamar yang demikian itu, maka bila secara
Baghdad tahun 207 H, dalam usia 68 tahun. mudah menghukumi haram terhadap ekstasi,
wiski atau jenis minuman keras lainnya karena itu
semua masuk dalam cakupan kullu ma
74 Mengenai hal kondisi fikih dapat dibaca Mun‟im A.
Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta : Risalah Gusti,
1996), hlm. 128-150. 78 Danusiri, Epistemologi Syara‟, dalam Epistemologi
75 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Syara‟, Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta
(Bandung : Rosda Karya, 2000), hlm. 142. : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 49.
76 Ibid., hlm. 142. 79 As-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut :
77 Ibid., hlm. 143. Dar al-Ma‟rifah, t.th), Jl. II, hlm. 39.
takhammara, ada indikasi perbuatan keji dan liberal, tanpa menggunakan kaidah apapun
perbuatan setan. sebagaimana layaknya para mufassirin, takwilannya
Sedangkan kaum batiniyyah adalah bentuk merusak Alquran. Al- Zahabi mengatakan kaum
kegiatan berfikir yang dalam istimbath hukum batiniyyat sebagai kaum majusi, penyembah
tidak berpegang pada lafal sebagaimana kaum matahari, bulan dan api.82
zhahiri, bukan pula atas dasar pemahaman makna Pola pemikiran kontekstual dalam
yang terkandung dalam lafal (maknawi, memahami maksud syara‟ mempunyai kandungan
kontekstual). Jadi, pola pikir ini amat liberal yang amat luas. Mujtahid bisa melakukan
sifatnya dan tidak menggunakan kaidah umum pendekatan apa saja dalam memahami syara‟
sebagaimana yang terdapat dalam kajian ilmu dengan misi kemaslahatan umum. Ia
usul fikih. mengaitkannya dengan latar belakang kondisi
Al-Syatibi mengatakan, pola pikir batiniyyat sosial, politik, adat istiadat dimana ia tinggal,
didukung oleh sekte syi‟ah batiniyyat. Mereka mengaitkannya dengan masalah-masalah global
hanya mempercayai imamnya yang maksum. Apa dan kontemporer, dan kaitan-kaitan lainnya
kata imam, itulah kebenaran. Jadi kaidah apapun adalah termasuk dalam cakupan kontekstual
yang disusun oleh para fukaha yang terbingkai adalah kaum al-muta‟ammiqin fi al-qiyas (kelompok
dalam ushul fiqh, qawaid al-fiqhiyyah sebagai yang amat gemar melakukan qiyas atau analogi).
atribut untuk istimbath hukum sama sekali tidak Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafal
dipertimbangkannya. Mereka menolak mashlahah daripada lafal itu sendiri.83
mursalah, istihsan, qiyas, dan ijmak.80 Doktrin yang mereka ajukan di dalam
Syi‟ah batiniyyah berawal dari gerakan bawah memahami maksud nas adalah mencari makna
tanah dan membentuk semacam hirarki da‟i. diseberang teks selagi hasil yang diperoleh tidak
Oleh sebab itu golongan tersebut dinamakan bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali
ta‟limiyyat (pengajaran). Gerakan ini dipimpin teks tersebut bersifat mutlak. Lafal mutlak adalah
oleh seorang yang muncul di Kufah dan berasal lafal yang menunjukkan makna kesatuan yang
dari Kuhestan, Iran Selatan. Ia tidak dikenal utuh. Contoh orang Mesir, rajulun, thairun. Ketiga
identitasnya dan mempropagandakan pahamnya. lafal tersebut mempunyai pengertian secara utuh
Orang ini kemudian diganti dengan Ahmad yang dan tidak dibatasi ruang dan waktu. Suatu lafal
dikenal dengan gerakan Qaramitha.81 Itulah dikatakan mutlak manakala berkaitan dengan
sebabnya gerakan ini dikenal sebagai gerakan lafal lain dan keduanya menimbulkan kesatuan
Qaramitha. hukum. Contoh : “Diharamkan atas kamu
Dalam penafsiran Alquran begitu liberal. sekalian bangkai dan darah...”. potongan ayat ini
Tidak ada aturan apapun kecuali kehendak dapatdipahami darah hukumnya haram.
mereka. Kata kafirun mereka artikan orang yang Kemudian ada lafal dam pada ayat lain yaitu :
ingkar kepada Ali bin Abi Thalib. Jinabat berarti Katakanlah : “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu
secara bersungguh-sungguh tidak membuka yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
rahasia selain rahasia kepada yang benar-benar diharamkan bagi seorang yang hendak
golongannya. Mandi besar berarti memakannya, kecuali bangkai atau darah yang
memperbaharui janji. Thaharah berarti mengambil mengalir”. Dari ayat tersebut lafal dam bukanlah
sesuatu yang diizinkan oleh imam. Puasa berarti lafal yang mutlak karena ada qayyidnya yaitu
tidak membuka rahasia. Karena corak penafsiran masfuha (yang tertumpah dari tubuh). Jadi darah
Alquran Alquran kaumbatiniyyah yang begitu yang haram dalam ayat ini adalah darah yang
tertumpah, jika kedua ayat ini dipadukan
80 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : London university
Press, 1979), hlm. 170.
81 Muhammad Husein Thabathaba‟i, Shi‟ite Islam,
diterjemahkan oleh Djohan Effendi dengan judul 82 Danusiri, Epistemologi Syara‟, Ibid., hlm. 54.
Islam Syi‟ah, (Jakarta : Grafiti, 1993), hlm. 85. 83 Ibid.
mengandung pengertian darah haram untuk akal manusia sangat penting dalam membumikan
dikonsumsi.84 pesan-Nya yang tertuang dalam wahyu. Karena
Jika terjadi pertentangan antara nas atau itu perlu dilihat otoritas akal dalam perumusan
tekstual dan makna teks atas dasar penalaran dan aktualisasi hukum Islam.
(nazhariyyat), kelompok kontekstualis akan
mengutamakan makna hasil penalaran dengan Arti Pembaharuan dan Pengembangan
alasan demi tegaknya kemaslahatan, atau mencari Hukum Islam
makna baru. Dengan kata lain berusaha Hukum Islam, menurut Hasbi al-Shiddieqy,
menemukan makna kontekstualnya. Contoh ialah koleksi daya upaya para fukaha dalam
pemahaman mengenai ayat al-Maidah : 38 ; menerapkan syari‟at Islam sesuai dengan
“Pencuri laki-laki dan perempuan, maka kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan kajian
potonglah tangan keduanya... ”. Mereka usul fikih, hukum Islam terbagi menjadi dua.
memahami tindakan preventif untuk mencegah Pertama hukum Islam katagore syariat dan
munculnya pencurian bukan hanya menghukum hukum Islam katagore fikih. Syariat, menurut
potong tangan bagi pencuri, melainkan bisa Satria effendi M. Zein adalah al-nushush al-
ditempuh dengan cara memenjarakannya atau muqaddasah (nas-nas yang suci) dalam Alquran
menciptakan kondisi sosial yang mencegah dan al-sunnatal-mutawatirah (hadis yang
timbulnya berbagai kesenjangan, khususnya mutawatir). Syariat adalah ajaran Islam yang sama
kesenjangan ekonomi. sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia.
Syari‟at adalah wahyu Allah secara murni, yang
Episteme Bayani, Burhani, ‘Irfani dan justru ia tetap, tidak bisa berubah dan tidak boleh
Pembaharuan Serta Pengembangan Hukum berubah. Adapun fikih dalam istilah ushul fikih
Islam adalah pemahaman atau apa yang dipahami dari
Dalam tradisi Islam, hukum Islam dapat al-nushush al-muqaddasaht itu. Fikih apabila
diterangkan sebagai hukum ciptaan Tuhan yang diartikan sebagai pemahaman berarti merupakan
tertuang dalam wahyu, sehingga bersifat proses terbentuknya hukum melalui daya nalar,
idealistik, dapat juga dipahami sebagai hukum baik secara langsung dari wahyu yang
ciptaan pemikir Islam atas jerih payahnya memerlukan pemahaman maupun secara tidak
memahami hukum Tuhan yang lazim disebut langsung.86
fikih. Hukum yang diterapkan oleh pemerintah Sedangkan pembaharuan hukum Islam
Islam dapat juga disebut hukum Islam. Bahkan berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan
perbuatan hukum tentang kebijakan yang ketentuan hukum yang mampu menjawab
dilaksanakan oleh pemeluk Islam dapat juga permasalahan dan perkembangan baru yang
disebut hukum Islam. Dengan demikian lahan ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
hukum Islam menjadi luas. Yang menjadi dan teknologi modern, baik menetapkan hukum
bahasan disini adalah hukum Islam dalam terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan
pengertian fikih.85 hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk
Persoalan yang mengusik para pemikir menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak
hukum Islam, utamanya dewasa ini adalah sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan
adanya pandangan bahwa hukum Islam yang manusia masa sekarang. Yang dimaksud
ditulis oleh para ahli hukum Islam dimasa lalu ketentuan hukum Islam disini adalah ketentuan
adalah ketinggalan zaman. Kendati hukum Islam hukum katagore fikih.87
itu berasal dari Allah, tetapi tampaknya peran

84 Abd Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-I‟iqh, (Kairo : 86 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum
t.tp. 1978), hlm. 192-193. Islam, (Jakarta : Rajawali Pres, 1994), hlm. 103-104.
85 Muhammad Zuhri, op.cit., hlm. 3. 87 Ibid., hlm. 113.
Pembaharuan itu dapat terjadi dalam tiga kemaslahatan umas masa kini yang keadaannya
bentuk atau tiga kondisi.88 Pertama apabila hasil berbeda dengan keadaan masa itu.89
ijtihad lama itu adalah salah satu dari sekian Hubungan antara teori hukum dan
kemungkinan yang dikandung oleh suatu teks perubahan sosial merupakan salah satu masalah
Alquran dan hadis. Dalam keadaan demikian, pokok dalam filsafat hukum. Hukum yang
pembaharuan dilakukan dengan mengangkat pula diasumsikan tidak mengalami perubahan, namun
kemungkinan lain yang terkandung dalam ayat menghadapi suatu tantangan berupa transformasi
atau hadis tersebut. Contoh ulama telah sosial, yang menuntut adaptabilitas hukum.
menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib Seringkali, dampak perubahan sosial itu begitu
zakat, yaitu emas dan perak, tanam-tanaman, hebat sehingga menimbulkan alienasi dalam
buah-buahan, barang-barang dagangan, binatang hukum yang mampu merespon perubahan
ternak, barang tambang dan barang peninggalan sosial.90
orang terdahulu yang ditemukan waktu digali. Masalah perubahan sosial sangat urgen
Ketujuh macam kekayaan yang ditetapkan wajib dalam filsafat hukum Islam. Hal ini disebabkan
zakat itu berkisar dalam ruang lingkup keboleh hukum Islam dipandang sebagai suatu yang
jadian arti (sebagian dari hasil usahamu yang sakral dan internal. Dengan pandangan seperti
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami ini, hukum Islam menjadi baku dan tidak
keluarkan dari bumi untuk kamu). Pendapat yang berubah. Pandangan sakralitas hukum
menetapkan penghasilan yang datang dari jasa menjadikan perubahan sosial harus disesuaikan
dikenakan zakat, sebagaimana yang telah dengan hukum islam, bukan sebaliknya,
dijelaskan, juga tetap berkisar dalam ruang perubahan sosial mempengaruhi penetapan
lingkup kemungkinan arti teks Alquran. Kedua, hukum.91
bila hasil ijtihad lama didasarkan atas „urf Dalam menyikapi sakralitas dan keabadian
setempat, dan bila „urf itu sudah berubah, maka hukum Islam, langkah pertama yang harus
hasil ijtihad lama lama itupun dapat diubah dilakukan adalah menangguhkan terlebih dahulu
dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang sifat hubungan yang seolah-olah transenden,
didasarkan pada „urf setempat yang telah berubah antara Islam dengan formulasi hukum Islam yang
itu. Ketiga, apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dikenal dengan syari‟ah. Bagi an-Na‟im, syari‟ah
dengan qiyas, maka pembaharuan dapat bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri hanya
dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil interpretasi terhadap nas yang pada dasarnya
ijtihad atau ketentuan-ketentuan hukum yang dipahami dalam konteks historis tertentu.92
ditetapkan dengan qiyas. Munawir Syadzali menekankan perlunya
Karena pembaharuan hukum Islam reinterpretasi terhadap ayat Alquran seperti surat
mengandung arti gerakan ijtihad menetapkan an-Nisa ayat 34, 176. Al-Baqarah ayat 228 dan
ketentuan hukum yang mampu menjawab 282, an-Nur ayat 4 dan al-Maidah ayat 5.
permasalahan dan perkembangan baru maka Berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat
pembaharuan itu dilakukan dengan kembali digambarkan : bahwa menurut Islam :
kepada Alquran dan hadis dan tidak terikat
dengan ketentuan-ketentuan hukum hasil ijtihad
lama yang merupakan hukum Islam katagore 89 Ibid., hlm. 115.
fikih. Karena bisa jadi rumusan ulama terdahulu 90 Masnun Thahir, “Dasar-dasar Pembaharuan
tersebut dipengaruhi oleh „urf setempat. Dan Liberalisme Hukum Islam di Indonesia”, Istinbath,
ketentuan tersebut belum tentu mampu No. 1 Vol. 3, (Desember 2005), hlm. 77.
Adaptabilitas maksudnya kemampuan hukum untuk
menjawab permasalahan dan perkembangan beradaptasi terhadap perkembangan masyarakat
baru, artinya belum tentu mampu merealisasi dengan tetap menjaga hal-hal yang bersifat
fundamental dan sakral.
91 Ibid.
88 Ibid., hlm. 113-114. 92 Ibid., hlm. 78.
a. Laki-laki lebih tinggi derajatnya dari Islam berarti usaha menjadikan hukum Islam itu
perempuan, sebab kepemimpinan dalam berkembang dalam arti meluas penggunaan dan
kehidupan keluarga dan masyarakat ada pemberlakuannya. Kalau tadinya hanya berlaku
ditangan pria. untuk maksud tertentu, menjadi berlaku untuk
b. Perempuan tidak diterima kesaksiannya maksud lain-lainnya.97
dalam perkara pidana. Kesaksian mereka Hal ini disebabkan karena hukum syara‟ itu
dalam perkara perdata diterima namun dua adalah titah Allah yang bernilai hukum dan
wanita nilainya sama dengan kesaksian satu jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan
orang laki-laki. dengan keseluruhan titah Allah yang terdapat
c. Dalam pembagian warisan, anak laki-laki dalam Alquran. Jika titah Allah bernilai hukum
mendapatkan bagian dua kali lebih banyak itu hanya untuk mengatur apa yang tersebut
dari anak perempuan.93 sebagaimana dalam teks suci maka sangat sedikit
Doktrin perempuan ini merupakan ajaran yang terjangkau oleh aturan titah Allah, padahal
yang sangat maju untuk ukuran empat belas abad yang harus tunduk pada aturan Allah sangat
yang lalu, oleh karena posisi mereka yang sangat kompleks permasalahannya. Oleh karena itu
rendah dalam struktur kebudayaan Arab pra diperlukan usaha pengembangan hukum Islam
Islam.94 dengan arti titah Allah bernilai hukum, dapat
Sedangkan Sahal mengatakan bahwa Islam diperlakukan untuk maksud yang lebih banyak.98
bukan sesuatu yang statis dan ajaran Islam bukan Titah Allah yang bernilai hukum ditinjau
sesuatu yang sekali jadi sehingga tidak butuh sebagai titah Allah yang bersifat qadim, tidak
reformulasi maupun reaplikasi. Dengan kata lain, mungkinmengalami perkembangan. Namun bila
watak hukum Islam itu selalu perlu ditinjau sebagai aturan dasar yang memerlukan
diterjemahkan secara kontekstual.95 pemahaman dalam pelaksanaannya, maka
Dasar pemikiran pembaharuan hukum pemahaman terhadap titah Allah tersebut dapat
Islam adalah mewujudkan kemaslahatan dan mengalami perubahan dan pengembangan.
keadilan. Hal ini lebih menekankan dari segi Pengembangan hukum Islam dapat diartikan
subtansi tetapi bukan berarti segi formal dan sebagai pertentangan atau perluasan maksud
tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Allah dalam titahnya itu kepada maksud lain,
Ketentuan legal-formal-tekstual yang syah, sehingga penggunaannya menjadi semakin
bagaimanapun, harus mencadi acuan tingkah meluas. Pengembangan dalam arti pertentangan
laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau ini mengandung dua cara. Pertama pertentangan
tidak ingin terjadi anarkhi. Tetap pada saat yang lafaz dengan semata menggunakan pemahaman
sama, parameter legal-formal dan tekstual lughawi. Umpanya titah Allah melarang seseorang
hanyalah merupakan cara bagaimana cita mengucapkan kata kasar kepada orang tua
kemaslahatan, keadilan teraktualisasi dalam diperluas dengan larangan memukul orang tua.
realitas kehidupan.96 Perluasan seperti itu disebutmafhum. Kedua,
Sedangkan pengembangan dalam hal ini perluasan lafaz kepada sasaran lain tidak semata
berarti usaha membuat sesuatu menjadi menggunakan pemahaman lughawi, tapi dengan
berkembang dengan arti menjadi semakin luas, cara memahami „illah dan alasan Allah dalam
semkain besar atau semakin banyak. Bila kata menetapkan hukumnya. Umpamanya titah Allah
pengembangan itu dihubungkan dengan hukum melarang orang meminum khamar, nama sejenis
minuman keras direntangkan kepada minum
wiski, bir, tuak, karena pada jenis ini terdapat
93 Ibid., hlm. 98.
94 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam
Islam, diterjemahkan oleh Farid Wajedi, (Yogyakarta :
LSPPA, 2000), hlm. 29-31. 97 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta :
95 Ibid. Ciputat Press, 2005), hlm. 13.
96 Ibid., hlm. 81. 98 Ibid.
kesamaan „illah hukum yang memabukkan. Cara rohani dan kesucian hati. Nas diyakini bersifat
ini disebut qiyas.99 esoteris dan eksoteris, tetapi makna esoteris lebih
Pemahaman atas titah Allah yang mungkin mendominasi makna suatu ajaran.
mengalami pengembangan dan perubahan adalah Dalam memahami ajaran Islam dan dalam
terhadap titah Allah yang penunjukkannya menyingkap pengetahuan tentang mashlahah,
terhadap hukum bersifat zhanni atau tidak perlu epistemologi integratif, yaitu epistemologi
mengandung kepastian lain. Hukum Islam dalam yang memperhatikan aspek bayani, burhani dan
bentuk ini akan dapat mengalami perubahan dan „irfani. Ketika hukum-hukum Tuhan dipahami
pengembangan untuk mengakomodasi dengan pemahaman parsial, maka yang akan
kehidupan dunia yang selalu mengalami terjadi justru akan merusak kemaslahatan
perubahan ini. manusia. Jika epistemebayanidijadikan satu-satunya
Oleh karena itu pentingnya epistemologi cara dalam memahami teks, maka hukum
Integrasi. Bagaimana memperoleh pengetahuan kehilangan daya akomodatifnya. Respon
dalam pandangan Islam. Alquran telah banyak terhadap perkembangan baru akan terhalangi.
memberikan informasi, disamping sebagai Sebab teks (nas) limited (terbatas), hanya
petunjuk kepada manusia cara memperoleh mengatur hal-hal fundamental dan mendasar
pengetahuan. Ini dapat dipahami secara lafzhi dalam kehidupan. Ketika epistemeburhani dipakai
dari beberapa ayat yang mengisyaratkan agar sebagai satu-satunya epistemologi, maka hukum
Alquran dijadikan sebagai sumber ilmu. Ayat-ayat Tuhan menjadi tidak dipatuhi, teks (nas)
tersebut, selalu memakai kata-kata antara lain : diabaikan. Sedangkan penekanan pada aspek
ya‟qilun, yudabbirun.Begitu pula ketika Alquran „irfanisaja, akan menghilangkan unsur rasionalitas
mengisyaratkan untuk menjadikan alam, diri dan membawa pada praktek keberagamaan yang
manusia, maupun sejarah, dengan menggunakan menyimpang dari syari‟at. Dengan demikian
kata-kata yandhuru, yafqahu, yatazakkaru. integrasi menjadi suatu hal yang urgen dalam
menyingkap dan memahami unsur kemaslahatan
Kesimpulan dalam hukum. Dengan berpijak pada tiga
Ada tiga cara memperoleh pengetahuan epistemologi ini pembaharuan dan
tentang mashlahah,yaitubayani, burhani dan pengembangan hukum Islam harus berjalan, agar
„irfani.Bayani menekankan otoritas teks (nas) hukum Islam selalu mampu merealisasi tujuan
secara langsung atau tidak angsung dan syariat semaksimal mungkin, yaitu kemaslahatan
dijustifikasi oleh aturan kebahasaan. Secara hidup manusia di dunia dan di akhirat.
langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan Daftar Rujukan
tanpa pemikiran. Secara tidak langsung berarti Al-Ghazali, Misykat al-Anwar, (Kairo : Dar al-
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan Qaumiyyah, 1964).
langsung mengaplikasikan tanpa pemikiran. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam
Secara tidak langsung berarti memahami teks Islam, diterjemahkan oleh Farid Wajedi,
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu (Yogyakarta : LSPPA, 2000).
tafsir dan penalaran. Perlakuan terhadap teks Abu Ishaq as-Syatibi, op,cit, juz II.
sangat dominan, tanpa teks pengetahuan tentang Abd Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-I‟iqh, (Kairo :
mashlahah tidak didapat. Burhaniadalah t.tp. 1978).
argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Posisi As-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah,
akal sangat dominan dalam menyingkap (Beirut : Dar al-Ma‟rifah, t.th), Jl. II.
pengetahuan mashlahah. „Irfaniadalah sarana Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad,
memperoleh pengetahuan mashlahahdengan ulah (Jakarta : Ciputat Press, 2005).

99 Ibid., hlm. 100.


Danusiri, Epistemologi Syara‟, dalam Epistemologi Masykuri Abdillah, “Ilmu Agama”, dalam
Syara‟, Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta :
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : London Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta :
university Press, 1979). Risalah Gusti, 1996).
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Muhammad Husein Thabathaba‟i, Shi‟ite Islam,
Islam, (Bandung : Rosda Karya, 2000). diterjemahkan oleh Djohan Effendi
Khodari Sholeh (ed.), “M.abed al-Jabiri : Model dengan judul Islam Syi‟ah, (Jakarta : Grafiti,
Epistemologi Hukum Islam”, dalam 1993).
“pemikiran Islam Kontemporer”, Masnun Thahir, “Dasar-dasar Pembaharuan
(Yogyakarta : Jendela, 2003). Liberalisme Hukum Islam di Indonesia”,
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Istinbath, No. 1 Vol. 3, (Desember 2005).
Islam, (Jakarta : Rajawali Pres, 1994). M. Faisal Munif, “Mashlahah Sebagai Dasar
Muhammad Hashim Kamali, Princples of Islamic Istinbath Hukum Islam”, Jurnal Paramedia,
Jurisprudence (The Islamic Texts Society), Vol.4, No.3. Juli 2003.
diterjemahkan oleh Norhaidi, Prinsip dan Nur Ahmad Fadhil Lubis, “Fajar Keemasan
Teori-teori Hukum Islam (Ushul Fiqh), Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). Islam, (Jakarta : Pt. Ichtiar Baru Van
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani Hoeve, 2002).
dan pendidikan Islam”. Al-Jami‟ah , Paul Edward (ed), The Encylopedia of Philosophy,
Vol.40, No.1, ( January-June 2002). New York-London : Macmilan Publishing
Muhammad Abed al-jabiri, Bunyah al-„Aql al- Co., Inc, dan the Free Press, 1990).
„Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Simuh, Tasawufdan Perkembangannya Dalam Islam,
Arabi, 1991). (Jakarta : Rajawali Press, 1977).
M. Amin Abdullah, “At-Ta‟wil al-„Ilmi : Kearah Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Suci”, Al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies. Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberty
Vol. 39, No. 2, (Juli-Desember, 2001). Yogyakarta, 2002), cet.2.
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Wiliam James Earle, Introduction to Philosophy,
Islam, diterjemahkan oleh, Ahmad Baso, (New York-Toronto : Mc. Grawhill, Inc,
(Yogyakarta: LkiS, 2000). 1992).

Anda mungkin juga menyukai