Anda di halaman 1dari 142

LEMBAGA MANAJEMEN - FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

MODUL BREVET A-B


PENGANTAR HUKUM PAJAK
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DISUSUN OLEH :
RADEN MUHAMMAD ROMADHON, SE

CIREBON, 2012

1
BAB I
PENGANTAR HUKUM PAJAK

Negara dalam menjalankan pemerintahannya memerlukan dana yang tidak sedikit


untuk membiayai pengeluaran umum Negara berupa biaya rutin dan biaya
pembangunan.
Sumber-sumber pendapatan negara untuk masing-masing negara berbeda-beda,
tergantung dari sumber-sumber yang dimiliki di negara yang bersangkutan.
Beberapa macam pungutan yang menjadi sumber pendapatan negara di Indonesia
antara lain pajak, restibusi, sumbangan dan penerimaan Negara bukan pajak (PNPB).

Pengertian Hukum Pajak


- Adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat melalui Kas Negara (R. Santoso Brotodihardjo, S.H.).
- Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Publik : mengatur hubungan hukum
antara Negara/pemerintah (sebagai pemungut pajak) dengan warganya yang
berkewajiban membayar pajak (Wajib Pajak).

Pengertian Pajak
a. Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H. :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. Definisinya yang lain (1974 : 8), menyatakan :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk Public Saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment.
b. Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan”.
c. Sedangkan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 telah mendefinisikan pengertian
pajak yaitu :
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

2
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari berbagai definisi para pakar, terdapat persamaan yang merupakan ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak :
1. pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat baik OP atau badan kepada
negara/pemerintah;
2. pajak dipungut berdasarkan kekuatan UU sehingga dapat dipaksakan;
3. atas pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara
langsung;
4. pajak hanya dikenakan dan dipungut oleh negara/pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah;
5. pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum negara/pemerintah;
6. pajak dapat dipungut secara periodic atau secara insidentil;
7. pajak memiliki fungsi anggaran (budgetair) mengumpulkan dana untuk negara dan
fungsi mengatur (regulerend) mengatur perikehidupan masyarakat untuk tujuan
tertentu

Fungsi Pajak :
1. Fungsi anggaran (Budgetair) : sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran
umum pemerintah
2. Fungsi mengatur (Regulerend) : sebagai alat untuk mengatur kebijakan sosial-
ekonomi/perikehidupan masyarakat untuk tujuan tertentu
3. Fungsi redistribusi : sebagai alat pemerataan dan keadilan dalam masyarakat
4. Fungsi demokrasi : merupakan wujud system gotong-royong

Perbedaan Pajak, Retribusi, dan Sumbangan


PAJAK RETRIBUSI SUMBANGAN
Berdasarkan UU Berdasarkan UU Tidak berdasarkan UU
Sifat pungutan dapat dipaksakan Sifat pungutan dapat dipaksakan Sifat pungutan sukarela
Kontraprestasi tidak langsung Kontraprestasi langsung Tidak ada kontraprestasi
Untuk pengeluaran umum pemerintah Untuk pengeluaran umum pemerintah Penggunaannya utk masy tertentu

Hak Negara Memungut Pajak


Negara memiliki hak memungut pajak sesuai landasan hukum UUD 1945 setelah
amandemen ke-4 tahun 2002 dalam Pasal 23 A sebagai berikut :
‘Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur
dengan undang-undang’

3
Perlawanan Terhadap Pajak
1. Perlawanan Pasif
adalah hambatan dan kesulitan yang mengganggu kegiatan pemungutan pajak
akibat keadaan struktur ekonomi, tingkat intelektual dan moralitas masyarakat WP,
teknik dan system pemungutan, lemahnya pengawasan dan pelayanan fiskus.

2. Perlawanan Aktif
adalah hambatan dan kesulitan yang mengganggu kegiatan pemungutan pajak
akibat usaha dan perbuatan yang sifatnya secara langsung perlawanan ditujukan
kepada Pemerintah cq Fiskus dengan bentuk dan tujuan
a. Menghindarkan Pajak (Tax Avoidance)
Melakukan perbuatan dengan alasan legal untuk tidak terkena pajak, misalnya :
a. Pajak atas BBM dihindari dengan cara tidak membeli BBM
b. Cukai dan PPN atas rokok putih dihindari dengan tidak merokok rokok putih
tetapi diganti dengan rokok klobot
b. Menyelundup Pajak (Tax Evasion)
Melakukan perbuatan secara illegal dan melanggar UU Perpajakan untuk tidak
terkena pajak, misalnya :
1. Mengisi SPT Tahunan PPh dengan sengaja secara tidak benar atau tidak
jelas untuk mengecilkan jumlah pajak terutang
2. Membuat Laporan Keuangan Neraca dan R/L yang bersifat ganda, yaitu
untuk Fiskus cq DJP disajikan Rugi, tetapi untuk pihak Bank demi kelancaran
kredit disajikan Laba dsb
c. Melalaikan Pajak
melakukan perbuatan dengan cara menolak membayar pajak yang sudah
ditetapkan, menolak penagihan pajaknya dengan menghalang-halangi usaha
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, mempersulit penyitaan dan pelelangan.
Asas Pemungutan Pajak
Negara dalam memungut pajak dari masyarakat WP menggunakan asas pemungutan
pajak sebagai berikut :
a. Asas Sumber
Pajak dipungut tergantung dari adanya sumber penghasilan di suatu Negara.
Apabila di suatu Negara terdapat sumber penghasilan maka Negara tersebut
berhak memungu pajak tanpa memperhatikan Wajib Pajak dimana bertempat
tinggal.
b. Asas Domisili
Pemungutan pajak tergantung kepada Negara dari tempat tinggal atau domisili

4
Wajib Pajak. Negara dimana seorang WP bertempat tinggal adalah yang berhak
memungut pajak atas segala penghasilan WP yang diperoleh dari manapun.
c. Asas Nasional/Kebangsaan
Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan Kebangsaan atau Kewarganegaraan
dari Wajib Pajak. Asas ini diperlakukan kepada setiap orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak
Asas Pemungutan Pajak menurut Adam Smith, “The Four Maxims atau The Four
Cannons”
1. Equality
 Persamaan hak dan kewajiban di antara sesama WP dalam suatu Negara
 Tidak boleh ada diskriminasi di antara WP dengan alasan dan dalih apapun
 Pengenaan pajak terhadap Subjek Pajak harus mempertimbangkan
kemampuan / ability to pay
 Secara normative tidak diperkenankan memungut pajak terhadap Subjek
Pajak yang tidak mampu membayar.
2. Certainty
 Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang,
kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran, hal tersebut untuk
menjamin kepastian hokum
3. Convenience
 Pajak harus dipungut pada saat yang paling tepat dan paling baik bagi WP
yang bersangkutan.
 Hal ini untuk menutup kemungkinan WP berupaya secara ikegal menghindari
kewajiban membayar pajak
4. Efficiency/Economic Collection
 Biaya pemungutan pajak hendaknya lebih rendah dari jumlah pajak yang
diperoleh atau yang dikumpulkan.

Teori Dasar Hak Negara Memungut Pajak


1. Teori Asuransi
Teori ini ’menyamakan’ pembayaran pajak dengan pembayaran premi asuransi.
Premi tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha negara melindungi
warga masyarakat darisegala kepentingannya, misal keselamatan, keamanan dll.
2. Teori Kepentingan
Berkenaan dengan kepentingan dan tugas negara melindungi warga masyarakat,
maka selayaknya biaya yang dikeluarkan negara untuk tugasnya tsb dibebankan
kepada masyarakat berupa pajak sesuai kepentingan masyarakat itu sendiri.
3. Teori Gaya Pikul

5
Atas jasa-jasa perlindungan yang diberikan negara kepada warganya, negara
memikul biaya. Beban biaya yang dipikul negara tsb merupakan beban yang harus
dipikul bersama warga masyarakatnya berupa pajak sesuai gaya pikul masing-
masing warga yang bersangkutan.
4. Teori Bhakti/Kewajiban Pajak Mutlak
Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak masyarakat
menyadari bahwa membayar pajak sebagai kewajiban untuk membuktikan tanda
bhaktinya kepada negara. Sehingga dasar hukum pajak terletak pada hubungan
masyarakat dengan negara.
5. Teori Asas Daya Beli
Teori ini memendang pemungutan pajak sebagai suatu gejala atau fenomena dari
sejenis pompa yang harus mengambil atau memompa daya beli rumah tangga
masyarakat masuk ke dalam rumah tangga negara kemudian negara menyalurkan
atau memompakan kembali daya beli tsb ke dalam masyarakat dst.

Asas Pembuatan UU Perpajakan


1. Asas Falsafah Hukum
Hukum Pajak harus berdasarkan pada keadilan, baik dalam arti materi per-UU Pajak
maupun pelaksanaannya.
2. Asas Yuridis
Hukum Pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang diperlukan untuk
menyatakan Keadilan bagi negara dan warganya.
Oleh karena itu pemungutan pajak harus bedasarkan UU yang disahkan oleh
Lembaga Legislatif, dengan maksud tercapainya kepastian hukum.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
 Hak-hak aparatur pajak harus dijamin dapat dilaksanakan dengan lancar
 Harus ada system yang dapat mencegah kolusi antara WP dan Fiskus
melakukan markdown, penggelapan pajak, restitusi ilegal dan segala bentuk
penyalahgunaan wewenang.
 Adanya jaminan terhadap kerahasiaan WP maupun perusahaannya.
 WP harus mendapat jaminan hukum agar tidak diperlakukan secara semena-
mena.
 Adanya jaminan terhadap kerahasiaan WP maupun perusahaannya.
3. Asas Ekonomi
 Kebijakan pemungutan pajak harus diupayakan agar tidak menghambat roda
produksi dan perdagangan.
 Pemerintah selaku pemungut pajak harus melihat konteks makroekonomi dari
pemungutan pajak, khususnya pengaruh pajak terhadap kegairahan bisnis.

6
 Oleh karena itu dimungkinkan pemberian fasilitas perpajakan sepanjang hal
tersebut positif bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
4. Asas Finansial
 Sesuai fungsi budgetair, pajak sbg sarana untuk memasukkan dana ke kas
negara, maka biaya pemungutannya harus seminimal mungkin.
 Saat pemungutan pajak hendaknya sedekat mungkin dengan terjadinya
perbuatan, peristiwa dan keadaan yang menjadi DPP.

Pembagian Hukum Pajak


1. Hukum Pajak Materiil
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan, peristiwa hokum
yang dikenakan pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak),
berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu yang timbul dan hapusnya
utang pajak, dan hubungan hokum antara Pemerintah dan Wajib Pajak, contoh :
 UU No. 7/1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.36/2008 tentang
PPh
 UU No. 8/1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.42/2009 tentang
PPN dsb

2. Hukum Pajak Formal


Memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hokum materiil menjadi kenyataan,
memuat antara lain :
 Tata cara penetapan utang pajak
 Hak-hak fiskus untuk mengawasi WP mengenai keadaan, perbuatan dan
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak
 Kewajiban WP, mis : menyelenggarakan pembukuan dan hak WP, mis :
keberatan & banding.
 Contohnya adalah UU No. 6/1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU
No.28/2007 tentang KUP

JENIS DAN PEMBAGIAN PAJAK

1. Menurut Golongan
 Pajak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak bias dilimpahkan ke
pihak lain tetapi menjadi beban langsung Wajib Pajak, contoh : PPh
 Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan
ke pihak lain, contoh : PPN

7
2. Menurut Sifatnya
 Pajak Subjektif, pajak yang dikanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
keadaan Subjek Pajak, selanjutnya diperhatikan keadaan objeknya, contoh : PPh
OP (dilihat PTKP)
 Pajak Objektif, pajak yang dikenakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan Subjeknya, contoh : PPN & PPnBM,
PBB

3. Menurut Pemungutnya
 Pajak Pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai APBN, dilaksanakan oleh Dep Keu cq. DJP, contoh : PPN, PPh
 Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk
membiayai APBD, contoh Pajak Reklame, Pajak Hotel & Restoran.

CARA PEMUNGUTAN PAJAK


Cara Pemungutan Pajak didasarkan pada 3 Stelsel :
1. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)
 Pengenaan pajak didasarkan pada keadaan (objek) yang sesungguhnya atau riil.
 Besarnya penghasilan yang diterima WP yang terutan pajak baru dapat diketahui
setelah
 berakhirnya Tahun Pajak, sehingga pemungutannya dapat dilakukan pada akhir
tahun.
2. Stelsel Anggapan (Fictif Stelsel)
 Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-
Undang, misalnya
 penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga
pada awal tahun pajak dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk
tahun berjalan.
3. Stelsel Campuran
 Merupakan campuran antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
 Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya.

Sistem Pemungutan Pajak


1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak dimana penghitungan, perhitungan, penyetoran dan
pelaporan atas jumlah pajak yang terutang dilakukan sepenuhnya melalui

8
penetapan oleh fiskus. Dengan kata lain, besarnya pajak terutang ditentukan oleh
aparatur pajak
Ciri-Ciri Official Assessment :
 Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak terutang berada pada fiskus
 Wajib Pajak bersifat pasif
 Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak diberi wewenang, kepercayaan dan
tanggung jawab penuh untuk menghitung, memperhitungkan,dan melaporkan
sendiri besarnya pajak yang harus dibayar
3. Withholding System
Sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang dari Wajib Pajak

Tarif Pajak
1. Tarif Proporsional
Tarif proporsional = Tarif Sebanding = Tarif Tetap = Tarif Tunggal adlah tarif pajak
dengan prosentase yang besarnya tetap dari jumlah berapapun yang menjadi DPP
Contoh : tarif PPN berdasarkan UU PPN yaitu sebesar 10%
Jumlah DPP Tarif Proporsional Pajak Terutang (PPN)
1,000,000 10% 100,000
5,000,000 10% 500,000
50,000,000 10% 5,000,000

2. Tarif Progresif, yaitu tarif pajak yang prosentasenya menjadi lebih besar apabila
jumlah yang menjadi DPP semakin besar
Contoh : tarif PPh
Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak ( DPP PPh) Tarif Pajak
S.d. 25.000.000,00 5%
Di atas 25.000.000,00 s.d. 50.000.000,00 10%
Di atas 50.000.000,00 s.d. 100.000.000,00 15%
Di atas 100.000.000,00 s.d. 200.000.000,00 25%
Diatas 200.000.000,00 35%

3. Tarif Degresif, tarif pajak yang prosentasenya semakin menurun apabila jumlah
yang menjadi DPP semakin besar
Contoh : Bea Warisan oleh pemerintah Belanda
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (DPP) Tarif Pajak
S.d. 100.000.000,00 30%
Di atas 100.000.000,00 s.d. 200.000.000,00 15%
Di atas 200.000.000,00 10%

9
4. Tarif Tetap, yaitu tarif dengan jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap
berapapun jumlah yang menjadi DPP
Contoh : Bea Materai

5. Tarif Lainnya
 Tarif Spesifik / Khusus
- tarif sebesar jumlah atau prosentase tertentu untuk jenis barang hasil industri
tertentu.
- Contoh : Tarif PPh Ps. 22 untuk industri kertas 0,1% dari DPP PPN, untuk
indutri baja 0,3% dari DPP PPN
 Tarif Final
- Tarif dengan prosentase tertentu yang dikenakan untuk jenis transaksi
tertentu
- Contoh : PPh final 10% dari bruto transaksi persewaan tanah dan bangunan.

Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak


1. Timbulnya Utang Pajak
Utang Pajak adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh masyarakat (khususnya
Wajib Pajak) akibat adanya keadaan, perbuatan, atau peristiwa, yang harus dilunasi
dengan mekanisme yang berlaku dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Pengertian hutang pajak ini diatur di beberapa peraturan perundang – undangan,
seperti Undang – undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
Menurut Pasal 1 point 8 Undang – Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa tersebut, yang dimaksud dengan “Utang Pajak adalah
pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi adminisirasi berupa bunga. denda
atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak aiau surat sejenisnya
berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan. (Undang-Undang Pajak
Tahun 2000, 2001:2 12).
Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang mendasarmya dan
telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran perpajakan), yang terdiri
dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau perbuatan tertentu. Tetapi yang
sering terjadi ialah karena keadaan, seperti pajak-pajak yang sangat penting yaitu
atas suatu penghasilan atau kekayaan, dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis
Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal
timbulnya karena perbuatan-perbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang
menimbulkan hutang pajak itu sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan
adanya kewajiban masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang – undang.

10
Dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat, antara lain :
1. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus;
2. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya;
3. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi;
4. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Pada umumnya yang berhutang pajak ini terdiri dan seseorang tertentu, namun
dapat pula ditentukan dalam undang-undang pajak bahwa disamping orang-orang
tertentu ini, ada orang (pihak) lain yang ditunjuk untuk turut bertanggung-jawab atas
pelunasan hutang pajak ini. Penunjukan pihak lain ini didasarkan atas
pertimbangan-pentimbangan sebagai berikut:
1. Agar fiskus mendapat jaminan yang lebih kuat bahwa utang pajak tersebut
dapat dilunasi tepat pada waktunva.
2. Orang yang sebenarnva herhutang sukar didapat oleh fiskus. tetapi orang
yang ditunjuk diharapkan dapat dengan mudah ditemui.
Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang mengatur tentang
timbulnya utang pajak tersebut, yaitu:
1. Ajaran Formil, yaitu hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment
System. Contohnya : hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai
kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum
menerbitkan SKP nya.
2. Ajaran Materiil, yaitu utang pajak timbul karena berlakunya undang – undang.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini
diterapkan pada Self Assessment System. Contohnya : syarat timbulnya
utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut Undang – Undang No. 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Manfaat Mengetahui Saat Timbulnya Hutang Pajak


Timbulnya hutang pajak mempunyai peranan yang sangat penting bagi negara,
dalam hal berikut :
a. Pembayaran atau Penagihan Pajak
Undang – undang biasanya menentukan jangka waktu setelah saat terutang
pajak untuk pelunasan hutang pajaknya. Jika hutang pajak pada saat jatuh
tempo tetapi belum dibayar maka akan dilakukan penagihan oleh kantor
pelayanan pajak setempat dan untuk pembayaran dengan terlambat, maka akan
dikenai sanksi administratif berupa denda karena keterlambatannya membayar
pajak.

11
b. Memasukkan Surat Keberatan
Surat keberatan hanya dapat dimasukkan dalam jangka waktu tiga bulan setelah
diterimanya surat ketetapan pajak atau surat terutangnya pajak menurut ajaran
formal, lebih dari tiga bulan pengajuan surat keberatan dianggap daluarsa.
c. Penentuan Daluarsa
Daluarsa dalam pajak dihitung lima tahun sejak terutangnya pajak. Ada yang
dihitung sejak awal tahun dan ada pula yang dihitung sejak akhir tahun.
Tergantung pada sistem pungutan di muka atau sistem pemungutan di belakang.
d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan hanya dapat
diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun sejak terutang pajaknya.

3. Hapusnya Hutang Pajak


Selain hutang pajak itu dapat timbul, hutang pajak pun dapat berakhir atau hapus.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Pembayaran
Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan hapus karena pembayaran
yang dilakukan oleh wajib pajak (wajib pajak telah membayar) ke Kas Negara.
b. Kompensasi
Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi hutang pajak dengan tagihan
seseorang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu kompensasi terjadi
apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak.
Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib Pajak sebelumnya
harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang.
c. Daluarsa
Dalam penghapusan hutang pajak ini, daluarsa diartikan sebagai daluwarsa
penagihan. Daluwarsa atau lewat waktu ialah sebagai salah satu sebab
berakhirnya utang pajak dan hapusnya perikatan (hak untuk menagih atau
kewajiban untuk membayar hutang) karena lampaunya jangka waktu tetentu,
yang ditetapkan dalam unthng-undang. Hak untuk melakukan penagihan pajak,
daluarsa setelah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya
pajak atau berakhimya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang
bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan hutang pajak
dapat ditagih lagi. Namun daluarsa penagihan pajak tertangguh, antara lain;
apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
d. Pembebasan
Hutang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan.
Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap

12
sanksi administrasi.
e. Penghapusan
Penghapusan hutang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi
diberikannya karena keadaan Wajib Pajak misalnya keadaan keuangan Wajib
Pajak (Waluyo dan Wirawan, 1999:10).

13
BAB II
NPWP DAN PENGUKUHAN PKP

Pajak
Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak
Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturanperundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Pengusaha
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.

Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN.11984 dan perubahannya, tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan. kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.

Nomor Pokok Wajib Pajak


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.

Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP


- Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

14
perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara:
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alarnai www.pajak.
go.id.
- Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan
pajak secara terpisah dengan suaminya.
- Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggalnya. juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
- Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila
sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri
paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
- WP orang pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan
untuk memperoleh NPWP.

Pelaporan Usaha Untuk Pengukuhan PKP


- Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.
- Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha
berbeda dengan tempat tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha
dilakukan.
- Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.
- Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai
dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto
telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa
pajak berikutnya.

Tempat Pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu


a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Millk Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha Milik

15
Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidakgo public, dl KPP PMA kecuali yang
telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan permohonan
diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP BUMN/
BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat:
f. Untuk WP BUMN/BUMD. PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau
cabang.

Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP


a. Fungsi NPWP
- Sarana dalam administrasi perpajakan:
- Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya;
- Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan; Setiap WP hanya diberikan satu NPWP
b. Fungsi Pengukuhan PKP
- Pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PKP di bidang PPN dan
PPn BM.
- Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.

Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan


KPP dapat menerbitkan NPWP dan Pengukuhan PKP secara jabatan, apabila WP tidak
mernenuhi kewajiban mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat
Jenderal Pajak temyata WP mernenuhi syarat untuk memperoleh NPWP atau PKP.

Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP


Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, sehingga dapat merugikan
pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dlbayar dan paling tinggi 4 (empat) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. Pidana tersebut di atas ditambah 1 (satu)
kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana

16
di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajlb Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dlpidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi
atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak4 (empat) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

17
BAB III
PENDAFTARAN NPWP

Pengertian NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam admimistrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Pengertian Wajib Pajak


Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-unclringan perpajakan.

Orang Pribadi yang wajib memiliki NPWP


a. Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
b. Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang
memperoleh penghasilan dlatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun adalah:


 Wajib Pajak sendiri Rp. 15.840.000.-
 Wajib Pajak kawin Rp. 17.160.000,-
 Wajib Pajak kawin & Memiliki 1 tanggungan : Rp. 18.480.000,-
 Wajib Pajak kawin & Memiliki 2 tanggungan : Rp. 19.800.000,-
 Wajib Pajak kawin & Memiliki 3 tanggungan : Rp. 21.120.000,-

Misalnya, Fattah (statusnya sendiri) karyawan di PT A memiliki penghasilan setiap


bulannya Rp 2 juta atau setahun Rp 24 juta, dengan demikian Budi wajib memiliki
NPWP

Tata cara pendaftaran NPWP


Pendaftaran NPWP dapat dilakukan dengan membuka situs Direktorat Jenderal Pajak.
Langkah-langkahnya adalah:
- Cari situs Direktorat Jenderal Pajak di Internet dengan alamat www.pajak.go.id.
- Selanjutnya anda memilih menu e-reg (electronic registration).
- Pilih menu "buat account baru" dan isilah kolom sesuai yang diminta ;
- Setelah itu anda akan masuk ke menu "Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang
- Pribadi". Isilah sesuai dengan KartuTanda Penduduk (KTP) yang anda miliki.
- Anda akan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Sementara yang

18
berlaku selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran dilakukan. Cetak SKT
Sementara tersebut sebagai bukti anda sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
- Tanda tangani formulir registrasi, kemudian dapat dikirimkan/disampaikan
langsung bersama SKT Sementara ke Kantor Pelayanan Pajak seperti yang
tertera pada SKT Sementara tersebut. Setelah itu Wajib Pajak akan menerima
kartu NPWP dan SKT asli.

Pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan dengan cara langsung mendatangi Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dari Wajib Pajak serta
mendatangi Pojok Pajak yang terdapat di tempat keramaian (mall, gedung
perkantoran).

Syarat pendaftaran NPWP Orang Pribadi


Cukup hanya mengisi formulir pendaftaran dan menunjukkan KartuTanda Penduduk
(KTP), atau paspor bagi orang asing

Biaya Pembuatan NPWP


Pembuatan NPWP dan semua pelayanan dl Kantor Pelayanan Pajak tanpa dipungut
biaya atau gratis.

Manfaat NPWP
a. Kemudahan Pengurusan Administrasi, dalam:
1. Pengajuan Kredit Bank;
2. Pembuatan Rekening Koran di Bank;
3. Pengajuan SIUP/TDP;
4. Pembayaran Pajak Final (PPh Final, PPN dan BPHTB, dll);
5. Pembuatan Paspor;
6. Mengikuti lelang di instansi Pemerintah, BUMN dan BUMD.
b. Kemudahan pelayanan perpajakan:
1. Pengembalian pajak
2. Pengurangan pembayaran pajak
3. Penyetoran dan pelaporan pajak

Penghapusan NPWP

NPWP dapat dihapuskan, hanya apabila Wajib Pajak tersebut sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Misalnya Wajib Pajak meninggal dunia dan tidak meninggalkan

19
warisan atau meninggalkan warisan tetapi sudah terbagi habis kepada ahli warisnya.
Contoh lainnya adalah Wajib Pajak tidak lagi memperoleh penghasilan atau memperoleh
penghasilan tetapi di bawah PTKP

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dan atas
perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedlkit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling
banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Tata Cara Pendaftaran dan Pemberlan NPWP serta Pelaporan dan Pengukuhan
PKP

Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung
atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan
dan Konsultasi Pajak (KP2KP) setempat dengan melampirkan:
1. Untuk WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas: KTP
bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing;
2. Untuk WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas: KTP
bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing.
3. Untuk WP Badan:
a. Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukkan dan
kantor pusat bagi BUT (Bentuk Usaha Tetap);
b. KTP bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing sebagai
penanggungjawab
c. NPWP pimpinan/penanggung jawab Badan,
4. Untuk Bendahara sebagai Pemungut/ Pemotong:
a. KTP bendahara;
b. Surat penunjukan sebagai bendahara.
5. Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemotong/pemung
a. Perjanjian kerja sama sebagai Joint Operation;
b. NPWP masing-masing anggota joint operation:
c. KTP bagi penduduk Indonesia atau paspor bagi orang asing sebagai
penanggung jawab Joint Operation.
6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita
kawin harus melampirkan surat keterangan terdaftar Kantor Pusat/ domisili/suami.
7. Untuk WP Orang pribadi dan WP Badan yang melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, persyaratan tambahan yang diminta
antara lain SIUP dan keterangan domisili dari pengelola gedung/kelurahan.

20
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ini harus melalui pembuktian alamat dari WP
tersebut.
Khusus Wanita kawin dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sebagai
sarana untuk memenuhl hak dan kewajiban perpajakan atas namanya sendiri,
dengan persyaratan sesuai dengan kondisi dari wanita tersebut (butir 1 atau 2).
Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat
kuasa khusus.

Pendaftaran NPWP dan PKP Melalui Elektronik [Electronic Registration]


Pendaftaran NPWP dan PKP oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan secara elektronik
yaitu melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.
go.id. Wajib Pajak cukup memasukan data-data pribadi (KTP/SIM/Paspor) untuk dapat
memperoleh NPWP. Berikut langkah-langkah untuk mendapatkan NPWP melalui
internet:
- Cari situs Direktorat Jenderal Pajak di Internet dengan alamat www.pajak.go.id;
- Selanjutnya anda memilih menu e-reg [electronic registration);
- Pilih menu "buat account baru"dan isilah kolom sesuai yang diminta;
- Setelah itu anda akan masuk ke menu "Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang
Pribadi". Isilah sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang anda miliki;
- Anda akan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Sementara yang
berlaku selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran dilakukan. Cetak SKT
Sementara tersebut beserta Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai
bukti anda sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
- Tanda tangani formulir registrasi, kemudian dapat dikirimkan/disampaikan
langsung bersama SKT Sementara serta persyaratan lainnya ke Kantor Pelayanan
Pajak seperti yang tertera pada SKT Sementara tersebut. Setelah itu Anda akan
menerima kartu NPWP dan SKT asli.

Wajib Pajak Pindah


Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha. WP agar
melaporkan diri ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi:


- Yang pindah tempat tinggal, melampirkan surat keterangan pernyataan pindah
tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya Lurah atau
Kepala Desa bagi penduduk Indonesia atau fotokopl paspor ditambah surat
pernyataan tempat tinggal/domisili yang baru dari yang bersangkutan bagi orang
asing (bentuk formulir ditentukan Direktorat Jenderal Pajak). Dalam hal WP yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, persyaratan tersebut
21
dapat berupa surat keterangan dari pimpinan instansi atau perusahaan.
- Yang pindah tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. melampirkan
surat pernyataan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru
dari WP.
b. Wajib Pajak Badan:
- Pindah tempat kedudukan, melampirkan surat pernyataan tempat kedudukan
yang baru dari salah seorang pengurus yang aktif.
- Pindah tempat kegiatan usaha, melampirkan surat pernyataan tempat kegiatan
usaha baru dari salah seorang pengurus yang aktif.

Penghapusan NPWP dan Persyaratannya

Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal dlajukan permohonan penghapusan NPWP


oleh:
a. WP dan/atau ahli warisnya karena WP sudah tidak memenuhi persyaratan
subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Misalnya:
- WP meninggal dan tidak meninggalkan harta warisan, diisyaratkan adanya
fotokopi akte kematian atau surat keterangan kematian dari instansi yang
berwenang;
- WP meninggal dan meninggalkan warisan. Apabila selesai dibagi kepada ahli
warisnya, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut
dibagi oleh ahli warisnya.
- WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP,
disyaratkan surat pernyataan dan keterangan dari instansi yang berwenang.
b. Wanita kawin yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa
membuat perjanjian pemisahan harta serta suaminya telah terdaftar sebagai
WP, disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
c. WP Badan dalam rangka likuidasi atau telah dibubarkan secara resrni, disyaratkan
adanya akte pembubaran;
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya
sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen
yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat
digolongkan sebagai WP
Permohonan penghapusan NPWP hanya dapat setujui apabila utang pajak telah
dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil
pemeriksaan diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin
ditagih lagi antara lain karena:

22
a. WP orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan
tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak dapat ditemukan atau;
b. WP tidak mempunyai harta kekayaan.
Permohonan penghapusan NPWP WP harus dlberikan keputusan oleh Direktorat
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk WP orang pribadi atau 12
(dua belas) bulan untuk WP badan, sejak tanggal permohonan WP diterima secara
lengkap.
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan atau 12 (dua belas) bulan tersebut telah lewat,
maka permohonan penghapusan NPWP WP dianggap dikabulkan dan harus dlterbitkan
surat keputusan penghapusan NPWP oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka
paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut.

Pencabutan Pengukuhan PKP

a. PKP pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;


b. PKP lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP.
Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan PKP dilakukan melalui proses
pemeriksaan dan memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
tanggal permohonan WP diterima secara lengkap.
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah lewat, maka permohonan
penghapusan PKP oleh WP dianggap dikabulkan dan harus diterbitkan surat keputusan
mengnai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya jangka waktu tersebut.

23
BAB IV

SURAT PEMBERITAHUAN

Pengertian Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk
melaporkan penghltungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan
objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesual dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan.
Terdapat dua macam SPT yaitu:
a. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
b. SPTTahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.

Pengisian dan Penyampaian SPT


- Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar. lengkap, dan
jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat
lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
- Wajib Pajakyang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang
diizinkan.

Fungsi SPT

a. Wajib Pajak PPh


Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
- pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
- penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
- harta dan kewajiban;
- pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa
Pajak.

24
b. Pengusaha Kena Pajak
Sebagai sarana untukmelaporkan dan mempertanggung-jawabkan penghitungan
jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; - pembayaran atau
pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendlri oleh Pengusaha Kena Pajak
dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

c. Pemotong/ Pemungut Pajak


Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkan.

Tempat Pengambilan SPT


Setiap WP harus mengambil sendiri formulir SPT di Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan IKP2KP). Kantor Wilayah
DJP. Kantor Pusat DJP. atau dapat diunduh di laman Ditjen Pajak: http://www.paiak.
go.id atau mencetak/ menggandakan/ fotokopi dengan bentuk dan isi yang sama
dengan aslinya.

SPT wajib diisi secara benar, lengkap, jelas dan harus ditandatangani. Dalam hal SPT
diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus dilampiri surat kuasa khusus.
Untuk Wajib Pajak Badan. SPT harus ditandatangani oleh pengurus direksi.

Penyampaian SPT

a. Penyampaian SPT oleh WP dapat dilakukan;


- Secara langsung ke KPP/KP2KP atau tempat lain yang ditentukan (Drop Box.
Pojok Pajak. Mobil Pajak Keliling);
- Melalui pos dengan pengiriman surat atau;
- Dengan cara lain yaitu melalui perusahaan jasa ekspedlsi atau jasa kurir dengan
bukti pengiriman surat atau e-Filing melalui penyedia jasa aplikasi atau ASP
(.Application Service Provider).
Bukti penerimaan SPT untuk yang disampaikan:
- secara langsung adalah tanda penerimaan su i-Filing melalui ASP adalah bukti
penerimaan elektronik;
- Pos dengan bukti pengiriman surat adalah bukti pengiriman surat dan;
Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan adalah tanda penerimaan
surat.
25
b. Batas waktu penyampaian:
- SPT Masa, paling lama dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak, kecuali untuk
SPT Masa PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai yaitu secara mingguan paling lama pada hari kerja
terakhir minggu berikutnya, dan SPT Masa PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM yang
dipungut oleh Bendahara paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Untuk WP dengan kriteria tertentu yang melaporkan beberapa Masa Pajak
dalam satu SPT Masa, paling lama 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak
terakhir.
- SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga)
bulan setelah akhirTahun Pajak, sedangkan untuk SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak.

Penyampaian SPT Melalui Elektronik (e-SPT)


Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-Filling)
melalui perusahaan ASP yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-Filling), wajib
menyampaikan induk Surat Pemberitahuan yang memuat tangan basah dan Surat
Setoran Pajak (bila ada) serta bukti penerimaan secara elektronik ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar melalui Kantor Pos secara tercatat atau
disampaikan langsung, paling lama 14 (empat belas) dan sejak tanggal penyampalan
Surat Pemberitahuan secara elektronik. Penyampaian Surat Pemberitahuan secara
elektronik dapat dilakukan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari
seminggu. Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari libur. dianggap
disampaikan tepat waktu.

Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan

Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan karena
luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan,
atau sebab lalnnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan
memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan. Wajib Pajak dapat
memperpanjang penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan
pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak. Pemberitahuan

26
perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus disertai dengan
penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat
Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang,
dan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian berakhir.

Batas waktu penyampaian SPT.

Batas waktu penyampaian SPT pada pasal 3 ayat 3 UU KUP diatur sbb :
 SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
 SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir Tahun
Pajak; atau
 SPT Tahunan PPh WP Badan, paling lama 4 bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Batas Waktu Penyetoran & Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)


SPT Masa :

Batas Waktu
Batas Waktu
No Jenis SPT Masa Penyampaian
Penyetoran/Pembayaran
SPT Terakhir

1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang


dipotong oleh Pemotong PPh

2. PPh Pasal 15 yang dipotong


oleh Pemotong PPh

3. PPh Pasal 22 atas


penyerahan bahan bakar
minyak, gas, dan pelumas
kepada penyalur/agen atau tanggal 10 (sepuluh) bulan 20 (dua puluh)
industri yang dipungut oleh berikutnya hari
Wajib Pajak badan yang setelah Masa Pajak berakhir setelah Masa
bergerak dalam bidang Pajak berakhir
produksi bahan bakar minyak,
gas, dan pelumas

4. PPh pasal 22 yang


pemungutannya dilakukan
oleh Wajib Pajak badan
tertentu sebagai Pemungut
Pajak

27
5. PPh Pasal 21 yang dipotong
oleh Pemotong PPh

6. PPh Pasal 23 yang dipotong


oleh Pemotong PPh

7. PPh Pasal 26 yang dipotong


oleh Pemotong PPh

8. PPh Pasal 4 ayat (2) yang


harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya
9. PPh Pasal 15 yang harus
setelah Masa Pajak berakhir
dibayar sendiri

10. PPh Pasal 25

11. PPN atau PPN dan PPnBM


yang terutang dalam satu
Masa Pajak
Akhir bulan
12. PPN atau PPN dan PPnBM
Akhir bulan berikutnya berikutnya
yang pemungutannya
setelah Masa Pajak berakhir setelah Masa
dilakukan oleh Pemungut
Pajak berakhir
PPN selain Bendahara
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk

13. PPh Pasal 22, PPN atau PPN bersamaan dengan saat -
dan PPnBM atas impor pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan,
PPh Pasal 22, PPN atau
PPN dan PPnBM atas impor
harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean
impor

14. PPh Pasal 22, PPN atau PPN 1 (satu) hari kerja setelah secara mingguan
dan PPnBM atas impor yang dilakukan pemungutan paling lama pada
dipungut oleh Direktorat pajak hari kerja terakhir
Jenderal Bea dan Cukai minggu

28
berikutnya

15. PPh Pasal 22 yang dipungut pada hari yang sama


oleh bendahara dengan pelaksanaan
pembayaran atas
penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja Negara
atau belanja Daerah,
14 (empat belas)
dengan menggunakan Surat
hari
Setoran Pajak atas nama
setelah Masa
rekanan dan ditandatangani
Pajak berakhir
oleh bendahara

16. PPN atau PPN dan PPnBM tanggal 7 (tujuh) bulan


yang pemungutannya berikutnya setelah Masa
dilakukan oleh Bendahara Pajak berakhir
Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk

17. PPh Pasal 25 bagi Wajib paling lama pada akhir


Pajak dengan kriteria tertentu Masa Pajak terakhir
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b)
Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa Masa
20 (dua puluh)
Pajak dalam satu Surat
hari
Pemberitahuan Masa
setelah
18. Pembayaran masa selain PPh sesuai dengan batas waktu
berakhirnya
Pasal 25 bagi Wajib Pajak untuk masing-masing jenis
Masa Pajak
dengan kriteria tertentu pajak
terakhir
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b)
Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa masa
pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa

29
SPT Tahunan :

Yang Batas Waktu


Jenis Batas Waktu
No Menyampaikan Penyampaian SPT
Pajak Pembayaran
SPT Terakhir

1. SPT Wajib Pajak 3 (tiga) bulan setelah


PPh orang pribadi sebelum Surat akhir Tahun Pajak
Tahunan Pemberitahuan Pajak
Wajib Pajak Penghasilan disampaikan 4 (empat) bulan setelah
badan akhir Tahun Pajak

Keterangan :
 Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau
penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk hari yang
diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

SPT dianggap Tidak Disampaikan.


Dalam Pasal 3 ayat 7 UU KUP dinyatakan bahwa, SPT dianggap tidak disampaikan
apabila:
a. SPT tidak ditandatangani;
b. SPT tidak dilampiri keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan Per. Menkeu;
c. SPT lebih bayar disampaikan telah lewat 3 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan WP telah ditegur secara tertulis; atau
d. SPT disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan / menerbitkan SKP.
Apabila SPT dianggap tidak disampaikan, Dirjen Pajak wajib memberitahukan
kepada WP (Pasal 3 ayat 7a UU KUP). SPT tersebut selanjutnya dianggap sebagai
data perpajakan.
Mengenai dokumen yang harus dilampirkan pada SPT dalam PMK No.
181/PMK.03/2007 tentang “Bentuk dan Isi SPT, serta Tata Cara Pengambilan,
Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian SPT” dinyatakan bahwa :
a. SPT terdiri dari SPT Induk dan Lampiran, merupakan satu kesatuan yg tidak
terpisahkan;

30
b. SPT harus dilampiri dgn keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan UU Pajak;
Ketentuan mengenai dokumen yg harus dilampirkan dlm SPT diatur dgn Peraturan
DJP; Dalam UU KUP yang pasti harus dilampirkan dalam SPT adalah sbb:
a. SPT Tahunan PPh WP yg wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dgn
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yg
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. {Ps. 4 ayat (4)}.
b. Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan
pada SPT, SPT dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga SPT dianggap
tidak disampaikan. {Pasal 4 ayat (4b) UU KUP}
c. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi
dan menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada
SPT. (Pasal 4 angka 3 UU KUP)

Sanksi Tidak atau Terlambat Menyampaikan SPT


Sanksi bagi WP yang tidak menyampaikan SPT, dapat berupa sanksi administrasi
ataupun sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat berupa denda sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 UU KUP atau berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat
3 UU KUP. Sanksi pidana dapat berupa kurungan atas tindak pidana kealpaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU KUP ataupun penjara atas tindak pidana
kesengajaan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP.

1. Surat Teguran atas SPT yang tidak disampaikan.


Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu yang ditentukan atau batas
waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dapat diterbitkan Surat
Teguran (Pasal 3 ayat 5a UU KUP). Penerbitan Surat Teguran, disamping
merupakan bentuk pembinaan terhadap WP, juga merupakan syarat bagi
dikenainya WP yang bersangkutan dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 1 huruf b dan Pasal 13 ayat 3 UU
KUP.

2. Sanksi administrasi berupa denda.

SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu
yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda :
a. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100.000,-;
b. SPT Tahunan PPh badan Rp 1.000.000,-;
c. SPT Masa PPN Rp 500.000,-;
d. SPT Masa Lainnya Rp 100.000,-.

31
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tersebut tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang
tidak
tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan
Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yaitu Wajib Pajak yang dalam keadaan antara lain :
kerusuhan massal, kebakaran, ledakan bom atau aksi terorisme, perang
antarsuku atau kegagalan sistem komputer administrasl penerimaan negara
atau perpajakan.

3. Sanksi administrasi berupa kenaikan.


Sanksi administrasi berupa kenaikan dapat dikenakan melaui penerbitan SKP
KB apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktunya dan setelah ditegur
secara tertulis, tetap tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran (Pasal 13 ayat 1 huruf b UU KUP). Dari Jumlah pajak
dalam SKP KB yang diterbitkan ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 UU KUP.

4. Sanksi pidana kurungan.


Pidana kurungan dalam Pasal 38 UU KUP dikenakan terhadap setiap orang yang
karena kealpaannya tidak menyampaian SPT.
Pasal 38 UU KUP tersebut berbunyi:” Setiap orang yang karena kealpaannya: a.
tidak menyampaikan SPT; atau b. menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yg isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang
yg tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yg
tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 bulan atau

32
paling lama 1 tahun.”
Yang dimaksud dengan perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13A adalah “WP yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh WP dan WP tersebut wajib melunasi
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 200 % dari jumlah pajak yg kurang dibayar yang
ditetapkan melalui penerbitan SKP KB”.

5. Sanksi pidana penjara.


Pasal 39 ayat 1 huruf c dan d UU KUP menyatakan ”Setiap orang yang dengan
sengaja: c. tidak menyampaikan SPT; d. menyampaikan SPT dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, terkena sanksi pidana
antara 6 bulan s/d 6 tahun dan denda antara 2 s/d 4 kali.

Hak WP berkaitan dengan penyampaian SPT.


Berkaitan dengan kewajiban melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak,
objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan melalui SPT, WP
mempunyai hak-hak sbb :
1. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
2. Membetulkan SPT
3. Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT

a. Memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT.


Hak WP untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 4 UU KUP yg berbunyi: “WP dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dgn cara lain kepada Dirjen
Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PMK”.
Ketentuan sebelumnya melalui prosedur permohonan. Hak ini diperlukan
apabila WP baik Orang Pribadi maupun Badan ternyata tidak dapat
menyampaikan SPT dalam jangka waktunya karena luasnya kegiatan usaha dan
masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya
sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan

33
kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan. Hak memperpanjang
jangkawaktu penyampaian SPT Tahunan ini berguna bagi WP untuk
menghindari sanksi administrasi karena melakukan pelanggaran terlambat
menyampaikan SPT Tahunan.

Dalam PMK No. 181/PMK.03/2007 hal ini diatur sbb :


 Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan dalam bentuk
formulir kertas (hardcopy) atau dalam bentuk data elektronik (dari aplikasi
yang dibuat oleh Dirjen Pajak);
 Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan
disampaikan ke KPP, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
berakhir, dengan dilampiri :
 penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang
batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
 laporan keuangan sementara; dan
 SSP sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang.
 Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh WP
atau Kuasa WP.
 Cara penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT sama dengan cara
penyampaian SPT dan diberikan tanda penerimaan surat atau Bukti
Penerimaan Elektronik.
 Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yg tidak memenuhi syarat,
bukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT, dan Dirjen Pajak wajib
memberitahukannya kepada WP ybs.

Akibat administratif penundaan penyampaian SPT Tahunan.


Pasal 19 ayat 3 UU KUP menyebutkan“Dalam hal WP diperbolehkan menunda
penyampaian SPT Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak
yang sebenarnya terutang, atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya
batas waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan
pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Contoh : PT ABC setelah menyampaikan pemberitahuan tertulis menunda
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2008 (Tahun
Takwim) sampai dengan tanggal 30 Juni 2009 dengan perhitungan sementara

34
pajak terutang sebesar Rp100juta dan kredit pajak Rp80juta. Kekurangan pajak
(PPh Pasal 29) sebesar Rp20juta dilunasi pada tanggal 25 April 2009. PT ABC
menyampaikan SPT sesungguhnya pada tanggal 30 Juni 2009 dengan jumlah
pajak yang terutang sebesar Rp120juta. Kekurangan pembayaran dilunasi
tanggal 28 Juni 2004.
Dari kasus ini PT ABC dikenakan bunga selama 2 bulan (1 Mei 2009 s/d 28 Juni
2009) atau sebesar : 2% x 2 x Rp.20.000.000,00 = Rp.800.000,00

b. Membetulkan SPT.
Pembetulan SPT merupakan hak WP dalam hal terdapat kekeliruan pengisian
SPT yang sudah disampaikan, dengan syarat belum dilakukan pemeriksaan.
Pembetulan dilakukan antara lain untuk menghindari sanksi administrasi berupa
bunga karena pemeriksaan pajak. Kekeliruan pengisian SPT bisa juga
disebabkan karena kekeliruan kompensasi kerugian sebagai akibat
diterbitkannya SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali.

Ketentuan mengenai Pembetulan SPT.


Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen
Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. (Pasal 8 ayat 1 UU KUP)
Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan
rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua)
tahun sebelum daluwarsa penetapan. (Pasal 8 ayat 1a UU KUP)
Pernyataan tertulis dalam Pembetulan SPT dilakukan dengan cara memberi
tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa
WP yang bersangkutan membetulkan SPT (PP Nomor 80 Tahun 2007);
Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada
saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak (SP3) disampaikan kepada WP,
wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari WP.
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah 5 tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak.

Sanksi Administratif akibat Pembetulan SPT Tahunan.


Pasal 8 ayat 2 UU KUP menyebutkan ”Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT
Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya

35
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.”

Sanksi Administrasi akibat Pembetulan SPT Masa.


Pasal 8 ayat 2a UU KUP menyatakan ”Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT
Masa yg mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.”
Contoh : PT ABC membetulkan sendiri SPT Masa PPN Masa Januari 2008 pada
tanggal 20 November 2008, semula menyatakan jumlah Pajak Keluaran yg harus
dipungut sendiri sebesar Rp.100juta dan kredit pajak Rp.80juta, dibetulkan
menjadi jumlah Pajak Keluaran yg seharusnya dipungut sebesar Rp.130juta dan
kredit pajak tetap. Kekurangan pembayar an pajak Rp.30juta dibayar pada
tanggal 18 November 2008.
Akibatnya PT ABC dikenai bunga 10 bulan (16 Februari 2008 s/d 18 Nopember
2008) atau sebesar :
2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp.6.000.000,00

Pembetulan SPT karena Kompensasi Kerugian.


Pasal 8 ayat 6 UU KUP menyatakan bahwa:”WP dapat membetulkan SPT
Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal WP menerima SKP, SK Keberatan,
SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun
Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan
rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam
SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
setelah menerima SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Dirjen belum melakukan tindakan
pemeriksaan.”
Penjelasan atas ketentuan tersebut dinyatakan dalam PP Nomor 80 Tahun 2007,
sebagai berikut :
 Pembetulan harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima
SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali;
 Jangka waktu 3 bulan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan dihitung

36
sejak stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung,
jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya SKP, SK
Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali oleh WP;
 Dalam hal WP tidak membetulkan SPT Tahunan dimaksud, Dirjen Pajak
memperhitungkan rugi fiskal menurut SKP, SK Keberatan, SK Pembetulan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan SKP;

Apabila WP tidak membetulkan SPT Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sebagaimana dimaksud, Dirjen Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian
dalam SPT Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan SKP,
SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
Kembali.

Contoh : PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang menyatakan:


Penghasilan Neto sebesar Rp.200.000.000,00,
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan
PPh tahun 2007sebesar Rp.150.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 50.000.000,00
Terhadap SPT Tahunan PPh thn 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tgl 6
Januari 2010 diterbit kan SKP yang menyatakan rugi Rp.70.000.000,-.
Berdasarkan SKP tersebut Dirjen Pajak akan mengubah perhitungan
Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sbb:
Penghasilan Neto sebesar Rp.200.000.000,00,
Rugi menurut SKP tahun 2007 sebesar Rp. 70.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp.130.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari SPT yang semula Rp.50juta
(Rp.200juta – Rp.150juta) setelah pembetulan menjadi Rp.130juta (Rp.200juta –
Rp.70juta)

c. Mengungkapkan Keidakbenaran Pengisian SPT.


Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT adalah hak WP, untuk
menghindar dari kemungkinan dikenai sanksi/hukuman pidana pajak.

 Mengungkapkan Ketidakbenaran Pengisian SPT karena Kealpaan.


Pasal 8 ayat 3 menyatakan bahwa:”Walaupun telah dilakukan tindakan
pemeriksa an, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya
ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,

37
terhadap ketidak benaran perbuatan WP tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta
sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen)
dari jumlah pajak yang kurang dibayar”.
Ketentuan ini dijelaskan oleh PP No. 80 Tahun 2007 sbb :
a. Ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 adalah “Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak
menyampaikan SPT; atau b. menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang
pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling
sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau
paling lama 1 (satu) tahun.”
b. Pernyataan tertulis harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri dengan
1. Penghitungan kekurangan pembayaran pajak yg benar, dgn format
SPT;
2. SSP bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak; dan
3. SSP bukti pembayaran sanksi administrasi denda sebesar 150
%.
c. Terhadap WP yg telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya
dan sekaligus melunasi kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasinya tidak akan dilakukan penyidikan,
sepanjang tidak ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan tersebut
d. Apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan
tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum kesempatan untuk
membetulkan sendiri sudah tertutup bagi WP yang bersangkutan.

 Mengungkapkan kesalahan pengisian SPT setelah dilakukan


pemeriksaan.
Pasal 8 ayat 4 UU KUP menyatakan bahwa:”Walaupun Dirjen Pajak telah
melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan
SKP, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan

38
tersendiri tentang ketidak benaran pengisian SPT yang telah disampaikan
sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih
besar;
3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.”
Mengenai sanksinya diatur dalam Pasal 8 ayat 5 yang menyatakan
bahwa:”Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima
puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh WP
sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.” PP Nomor 80 Tahun
2007 menjelaskan lebih lanjut Pasal 8 ayat (4) UU KUP sbb :
1. Laporan tersendiri dimaksud harus ditandatangani oleh WP dan dilampiri
dengan :
 Penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya dalam format SPT;
 SSP bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
 SSP bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 50 %.
2. Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian
SPT, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan dari hasil pemeriksaan diterbitkan
SKP dgn mempertimbangkan laporan tersendiri tsb. Beserta pelunasan
pajak yang telah dibayar.
3. Dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa
pengungkapan ketidak benaran pengisian SPT yang dilakukan oleh WP
ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, SKP diterbitkan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.
4. Apabila hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti dgn penerbitan SKP
KB, SSP bukti pelunasan pajak dan pelunasan sanksi tidak dihitung
sebagai kredit pajak.
5. Pelunasan pajak yang kurang dibayar dan sanksi administrasi
berupa kenaikan di atas dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas
surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan berdasarkan permohonan WP.

39
BAB V
PEMBAYARAN PAJAK

Pembayaran pajak terutang adalah kewajiban yang melekat pada diri setiap WP yang
bertanggungjawab terhadap pembayarannya ke Kas Negara, baik sebagai pemikul
beban pajak maupun sebagai pemotong atau pemungut pajak.
Setelah diketahui adanya pajak terutang (objek pajak) dan pihak yang bertanggung
jawab terhadap pembayarannya ke Kas Negara (subjek pajak), kewajiban berikutnya
adalah pembayaran dan penyetoran pajak. Kewajiban membayar pajak yang terutang
dinyatakan dalam Pasal 10 ayat 1 UU KUP yang berbunyi: “WP wajib membayar atau
menyetor pajak yang terutang dengan meng gunakan SSP ke kas negara melalui
tempat pembayaran yg diatur dengan atau berdasarkan PMK”. Sarana yang dipakai
untuk pembayaran dan penyetoran pajak adalah SSP. SSP adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau cara
lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi, dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara {NTPN}. (Pasal 10 ayat 1a UU
KUP).

Surat Setoran Pajak


- Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara
- Tempat Pembayaran yang ada saat ini adalah
1. Kantor Pos
2. Bank BUMN atau BUMD (mis : Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Jabar)
3. Bank-bank yang ditunjuk DJPBN (mis : BCA, BII, Lippo Bank dsb)
3. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

Jenis SSP
1. SSP Standar
- Bentuk, ukuran dan isi yang ditetapkan
- WP dapat mengadakan sendiri SSP standar sepanjang bentuk, ukuran dan
isinya sesuai
- Dibuat dalam rangkap lima,
 lbr ke-1 untuk Arsip WP

40
 lbr ke-2 untuk KPP melalui KPPN
 lbr ke-3 untuk dilaporkan WP ke KPP
 lbr ke-4 arsip kantor penerima pembayaran
 lbr ke-5 arsip Wajib Pungut atau pihak lain
- Digunakan untuk pembayaran semua jenis pajak, kecuali PBB dan BPHTB
2. SSP Khusus
- Dicetak oleh kantor penerima pembayaran dengan mesin transaksi yang isinya
sesuai dengan yang ditetapkan DJP dan fungsinya sama dengan SSP standar
- Dicetak khusus oleh kantor penerima pembayaran yang telah mengadakan
kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dengan DJP
- SSP Khusus dicetak :
 Pada saat pembayaran sebanyak 2 lembar yang berfungsi sama dengan
lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP standar
 Terpisah 1 lembar, fungsi sama dengan lembar ke-2 SSP standar untuk
diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan (DNP)
- Hanya dapat digunakan oleh WP yang memiliki NPWP

Jatuh Tempo Pembayaran


- Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis
pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak.
- Batas waktu pembayaran unluk kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT
Tahunan paling lama sebelum SPT disampaikan.
Jenis Pajak Batas Akhir Pembayaran
PPh Ps. 29 Sebelum dilakukan pelaporan SPT Tahunan PPh
PPh Ps. 21 Tahunan tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir
PPh Ps. 25 tanggal 15 bulan takwim berikutnya
PPN/PPnBM Sebelum dilakukan pelaporan SPT Masa PPN
PPh Ps. 21 Masa tanggal 10 bulan takwim berikutnya
PPh Ps. 23/26 tanggal 10 bulan takwim berikutnya
PPh Ps. 22, PPN & PPnBM atas impor bersamaan dg saat pembayaran bea masuk
jika bea masuk bebas, saat penyelesaian dok. Impor
PPh Ps. 22, PPN & PPnBM atas impor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan
yang pemungutannya oleh DJBC
PPh Ps. 22 Bendaharawan pada hari yang sama dengan pembayaran atas penyerahan
barang yang dibiayai APBN
SSP diisi oleh & atas nama rekanan, ttd Bendaharawan
PPN & PPnBM yang pemungutannya tanggal 7 bulan takwim berikutnya
oleh Bendaharawan Pemerintah
PPN dari penyerahan gula pasir & tepung harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum penebusan DO
terigu oleh BULOG

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran
pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Termasuk hari libur nasional adalah

41
hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Mengangsur dan Menunda Pembayaran Pajak


- Dasar hukum : Pasal 9 ayat (4) UU KUP Jo. KMK No. 541/KMK.04/2000
- Direktur Jenderal Pajak atas permohonan WP dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan
pembayaran STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding paling lama 12 bulan, yang
pelaksanaannya ditetapkan dengan Kep Dirjen Pajak
- Cara Mengajukan Permohonan :
1. Diajukan secara tertulis menggunakan form yang tersedia di KPP paling lambat
15 hari sebelum jatuh tempo pembayaran
2. Satu permohonan untuk setiap STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/SK
Keberatan, Putusan Banding/PPh Ps. 29
3. Disertai alasan dan jumlah pajak yang dimohonkan untuk diangsur atau ditunda
dilampiri bukti-bukti yang menguatkan
- Keputusan mengangsur atau menunda pembayaran pajak diberikan oleh Kepala
KPP dalam waktu 19 hari sejak permohonan diterima, apabila lewat, maka
permohonan dianggap diterima.
- Jangka Waktu Angsuran/Penundaan :
1. Paling lama 12 bulan untuk STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK
Keberatan, Putusan Banding
2. Paling lama 3 bulan sejak batas akhir penyampaian SPT Tahunan untuk
kekurangan PPh Pasal 29
- Sanksi Administrasi Yang Berhubungan Dengan Pembayaran Pajak :
1. Sanksi administrasi terlambat membayar pajak ( Pasal 9 ayat (2a) KUP)
Apabila pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
bulan.
Contoh: Pembayaran masa PPh Pasal 21 Tahun 2008 sejumlah Rp. 10juta per
bulan. Pembayaran Masa Pajak Mei Tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008
dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan STP
dengan sanksi bunga 1 bulan (15 Juni s/d 18 Juni) atau sebesar : 1x 2% x
Rp.10.000.000,00 = Rp.200.000,00
2. Sanksi administrasi kurang/tidak membayar pajak (Pasal 19 ayat (1) KUP)

42
Apabila atas pajak yang terutang menurut SKPKB, atau SKPKBT, dan
tambahan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan SK Pembetulan, SK
Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak
atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 bulan
Contoh Kasus:
SKP diterbitkan tanggal 10 Okt 2009 dengan jumlah pajak Rp. 1.000.000,00,
jatuh tempo 9 Nop 2009, baru dibayar Rp. 600.000,00 tgl 1 Nop 2009. Sampai
dengan tanggal jatuh tempo 9 Nop 2009 sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh
WP. Pd tgl 18 Nop 2009 diterbitkan STP dg perhitungan :
Pajak terutang Rp. 1.000.000,00
Dibayar pada waktunya Rp. 600.000,00
Kurang dibayar Rp. 400.000,00
Bunga dihitung 1 bulan = 1x2%xRp. 400.000,00 = Rp. 8.000,00
3. Sanksi administrasi mengangsur/menunda pembayaran (Ps. 19 ayat (2) KUP)
Dalam hal WP diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
juga dikenakan bunga sebesar 2% sebulan, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 bulan.
Contoh Kasus :
a. WP menerima SKP KB sebesar Rp.1.120.000,00 yang diterbitkan pada
tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari
2009. WP tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak
dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp.224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran
dihitung sbb :
1. angsuran ke-1 : 2% x Rp.1.120.000,00 = Rp.22.400,00
2. angsuran ke-2 : 2% x Rp. 896.000,00 = Rp.17.920,00
3. angsuran ke-3 : 2% x Rp. 672.000,00 = Rp.13.440,00
4. angsuran ke-4 : 2% x Rp. 448.000,00 = Rp. 8.960,00
5. angsuran ke-5 : 2% x Rp. 224.000,00 = Rp. 4.480,00.
b. WP sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda
pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
c. Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran SKP KB
tersebut adalah sebesar : 5 x 2% x Rp.1.120.000,00 = Rp112.000,00
4. Sanksi Pidana terhadap WP yg tidak memenuhi Kewajiban Penyetoran Pajak.

43
(Pasal 39 ayat (1) hurif i UU KUP)
Yang termasuk dalam tindak pidana di bidang perpajakan berkaitan dengan
kewajiban pembayaran atau penyetoran pajak adalah apabila WP tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut dengan ancaman pidana
penjara, dan hukuman itu dilipat duakan apabila terjadi pengulangan dalam
waktu 1 tahun setelah selesai menjalani pidana yang pertama dijatuhkan.

44
BAB VI
PEMERIKSAAN PAJAK

Hak melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak oleh Undang-undang


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan hanya diberikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Karena ini adalah salah satu fungsi pengawasan terhadap pemenuhan
kewajiban perpajakan WP dan bersifat terbatas. Artinya harus sesuai dengan tujuan
pemeriksaan, namun tidak terbatas pada objek yang diperiksa yang mana setiap Wajib
Pajak tidak luput dari kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan.

Pengertian Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian keglatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dllaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib
Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi
satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-
tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap
Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut
pajak atau pemotong pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri
kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan
kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha
sebenarnya dari Wajib Pajak.

Tujuan Pemeriksaan

1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:


a. SPT lebih bayar termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
pajak;
b. SPT Rugi;
c. SPT tidak atau terlambat (melampaul jangka waktu yang ditetapkan dalam
SuratTeguran) disampalkan;
d. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuldasi, pembubaran,
atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
e. Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
(risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP
45
yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

2. Tujuan lain, yaitu:


a. Pemberian NPWP secara jabatan;
b. Penghapusan NPWP;
c. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pencabutan PKP;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN
i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan
dan/atau;
k. Pemenuhan permintaari informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda

Hak Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan dengan jenls Pemeriksaan Lapangan. Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis
sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan
dan tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabiia
susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
5. Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
6. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan;
7. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam
hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak
dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
8. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh
Pemeriksa Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksaan;

46
9. Mengajukan pengaduan apabiia kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak lain
yang tidak berhak.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan
dan tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabiia
susunan Pemeriksa Pajak mengalami pergantian;
4. Menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
5. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan;
6. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam
hal terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak
dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
7. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh
Pemeriksa Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksaan.
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan
Lapangan, Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada WP pada waktu
Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksaan Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara
tertulis sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan;
3. Meminta kepada Pemerlksaan Pajak untuk memberlkan penjelasan tentang alasan
dan tujuan Pemeriksaan;
4. Meminta kepada Pemeriksaan Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
terdapat perubahan susunanTim Pemeriksa Pajak dan atau;
5. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh
Pemeriksa Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksa.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor,
Wajib Pajak berhak:
1. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada WP pada waktu
Pemeriksaan;
2. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan

47
dan tujuan Pemeriksaan;
3. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila
terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak dan/ atau;
4. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh
Pemeriksa Pajak melalui pengisian formulir Kuesioner Pemeriksa.

Kewajiban Wajib Pajak Dalam Pemeriksaan

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau
objek yang terutang pajak;
2. Memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola
secara elektronik;
3. Memberi kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan,
barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan
untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi
petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP,
atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksaan Pajak;
4. Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
a. Menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya WP apabila dalam
mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/
atau keahlian khusus;
b. Memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang
bergerak dan/atau tidak bergerak; dan /atau
c. Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan
dalam hal jumlah buku, cacatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit
untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak;
5. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan; dan
6. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu
yang ditentukan;
48
2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola
secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak;
3. Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
4. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan;
5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik; dan
6. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan


Lapangan, Wajib Pajak wajib:
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan
dengan tujuan Pemeriksaan;
2. Memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola
secara elektronik;
3. Memberi kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan peyimpan
buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain, dan/atau barang yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta
meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
4. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib
Pajak wajib:
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
tujuan Pemeriksaan; dan atau
2. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Adapun hal-hal yang perlu untuk diketahui adalah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Pajak dapat dilakukan Kelompok Pemeriksa.


2. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di Kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib
Pajak (Pemeriksaan Lapangan) meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
3. Apabila WP tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk memasuki tempat
atau ruangan tertentu dan menolak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan,
maka pemeriksa pajak berwenang melakukan penyegelan.

49
BAB VII
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib


Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan. meml sendiri, dan
melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, seningga penentuan besamya pajak yang terutang dipercayakan
pada WP sendiri melalui Surat Pemberitahuan disampaikannya.
Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu
yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengison SPT atau karena ditemukannya
data fiskal yang tidak dilaporkan oleh WP.

Pengertian Penetapan.
Kewajiban membayar pajak yang terutang dilakukan oleh WP tanpa menggantungkan
pada adanya SKP. Pajak yang dihitung, diperhitungkan dan dibayar sendiri tersebut
kemudian dilaporkan dengan menggunakan SPT. Apabila SPT telah disampaikan (telah
diterima bukti penerimaan SPT) maka kewajiban perpajakan yang dilaporkan dalam
SPT tersebut telah dianggap benar, sesuai dengan bunyi Pasal 12 ayat 2 UU KUP yg
berbunyi ”Jumlah Pajak yang terutang menurut SPT yg disampaikan oleh WP adalah
jumlah pajak yg terutang sesuai dengan ketentuan per-UU-an Pajak”.
Misalkan PT ABC adalah WP Badan yg melakukan kegiatan usaha perdagangan
barang-barang elektronik. PT ABC melaporkan seluruh penghasilan yg diperoleh tahun
2008 dan kredit pajaknya dalam SPT Tahunan PPh badan Tahun 2008, dengan
perincian sbb:
Penghasilan Neto Rp. 1.000.000.000,-
PPh terutang Rp. 282.500.000,-
Kredit Pajak Rp. 202.500.000,-
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,-
PPh terutang sebesar Rp.282.500.000,00 hasil perhitungan WP adalah jumlah pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sedangkan kredit pajak sebesar Rp.202.500.000,00 dan PPh yg kurang dibayar
sebesar Rp.80.000.000,00 yang telah dilunasi adalah pembayaran pajak oleh WP
tanpa didahului dengan SKP, yaitu melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga dan
dibayar sendiri.

Pengertian Ketetapan.
Dalam self assessment system, beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak
yang terutang dalam SPT adalah tidak benar berada pada pihak fiskus (Dirjen Pajak),

50
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yg bunyinya “Apabila Dirjen
Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yg terutang menurut SPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang
terutang.”
Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh dapat berasal dari pemeriksaan atau
adanya keterangan lain. Maka apabila dari bukti tersebut ternyata jumlah pajak yang
terutang menurut WP sebagaimana dilaporkan dalam SPT tidak benar, maka Dirjen
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang dengan menerbitkan SKP.
Contoh : PT ABC adalah WP Badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
barang-barang elektronik. PT ABC melaporkan seluruh penghasilan tahun
2008 dan kredit pajaknya dalam SPT Tahunan PPh badan
Penghasilan Neto Rp. 1.000.000.000,-
PPh terutang Rp. 282.500.000,-
Kredit Pajak Rp. 202.500.000,-
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,-
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan PT
XYZ dalam SPT PPh Tahun 2008 tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata
melebihi yang sebenarnya sehingga PPh terutang kurang dilaporkan, maka Dirjen
Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu dengan menerbitkan SKP.
Tabel Sanksi Administrasi
No Pasal Masalah Sanksi Ket.
Denda
1. 7 (1) SPT Terlambat disampaikan :
1. Masa
a. PPN Rp 500.000 Per SPT
b. Lainnya Rp 100.000 Per SPT
2. Tahunan
a. Orang Pribadi Rp 100.000 Per SPT
b. Badan Rp Per SPT
1.000.000
2. 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum 150% Dari jumlah pajak yang
disidik kurang dibayar
3. 14 (4) a. Pengusaha kena PPN tidak 2% \
PKP > Dari DPP
b. Pengusaha tidak PKP buat 2% /
faktur pajak
c. PKP tidak buat faktur atau 2%
faktur tidak lengkap
Bunga
1. 8 (2) Pembetulan SPT dalam 2 tahun 2% Per bulan, dari jumlah
pajak yang kurang dibayar
2. 9 (2a) Keterlambatan pembayaran 2% Per bulan, dari jumlah
pajak masa dan tahunan pajak terutang

51
3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak 2% Per bulan, dari jumlah
dalam SKPKB kurang dibayar, max 24
bulan
4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat 48% Dari jumlah paak yang
waktu 10 tahun karena adanya tidak mau atau kurang
tindak pidana dibayar.
5. 14 (3) a. PPh tahunn berjalan 2% Per bulan, dari jumlah
tidak/kurang bayar pajak tidak/kurang dibayr,
max 24 bulan
b. SPT kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah
pajak tidak/kurang dibayr,
max 24 bulan
6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan setelah 48% Dari jumlah pajak yang
lewat wkatu 10 tahun karena tidak atau kurang dibayar
adanya tindak pidana
7. 19 (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK 2% Per bulan, atas jumlah
Keberatan, Putusan Banding pajak yang tidak atau
yang menyebabkan kurang bayar kurang dibayar
terlambat dibayar
8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2% Per bulan, bagian dari
bulan dihitung penuh 1
bulan
9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat 2% Atas kekurangan
penundaan SPT pembayaran pajak
Kenaikan
1. 8 (5) Pengungkapan ketidak benaran 50% Dari pajak yang kurang
SPT setelah lewat 2 tahun dibayar
sebelum terbitnya SKP
2. 13 (3) Apabila: SPT tidak disampaikan
sebagaimana disebut dalam
surat teguran, PPN/PPnBM yang
tidak seharusnya
dikompensasikan atau tidak tarif
0%, tidak terpenuhinya Pasal 28
dan 29
a. PPh yang tidak atau kurang 50% Dari PPh yang
dibayar tidak/kurang dibayar
b. tidak/kurang dipotong/ 100% Dari PPh yang
dipungut/ disetorkan tidak/kurang
dipotong/dipungut
c. PPN/PPnBM tidak atau kurang 100% Dari PPN/PPnBM yang
dibayar tidak atau kurang dibayar
3. 15 (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% Dari jumlah kekurangan
pajak tersebut

Fungsi Surat Ketetapan Pajak


Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai:
a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata
atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan

52
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak,
d. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar,
e. Sarana untuk memberltahukan jumlah pajak yang terutang.

Jenis-jenis Ketetapan Pajak


a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak. besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Contoh :
Contoh : PT XYZ adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan barang-
barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim)
pada tgl 30 April 2009, dengan perincian sbb:

Penghasilan Kena Pajak Rp.1.000.000.000,-


PPh terutang Rp. 282.500.000,
Kredit Pajak Rp. 202.500.000,-
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,-
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut telah dibayar tgl 29 April 2009.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak
seharusnya adalah Rp.1.100.000.000,- sehingga PPh terutang seharusnya adalah
Rp.312.500.000,00 dan seandainya SKP KB diterbitkan tanggal 10 Oktober 2009,
maka rincian SKP KB adalah sbb :
Jumlah Pokok Pajak Rp.312.500.000,-
Jumlah Kredit Pajak Rp.282.500.000,-
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp. 30.000.000,-
Sanksi administrasi (bunga 10 bulan / 1/1 s/d 10/10) Rp. 6.000.000,-
Jumlah pajak yang masih harus Dibayar Rp. 36.000.000,-

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Contoh penerbitan SKP KBP
Terhadap SPT PPh Pasal 23 Masa Desember 2008 a/n PT FGH telah dilakukan
pemeriksaan dan diterbitkan SKP KB tanggal 10 Oktober 2009 dengan perincian
sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp.100.000.000,00
Jumlah Kredit Pajak Rp. 90.000.000,00

53
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp. 10.000.000,00
Sanksi adm. bunga Pasal 13 (2) Rp. 2.000.000,00
Jumlah yang masih harus dibayar Rp. 12.000.000,00
Pada bulan Mei 2010 ditemukan data baru berupa objek PPh Pasal 23 yang belum
dipotong oleh PT FGH dan seharusnya dilaporkan dalam SPT Masa Desember
2008 dengan jumlah pokok pajak Rp.20juta. Sehingga seharusnya jumlah pokok
pajak pada Masa Des’08 adalah Rp.120juta. Misalkan setelah dilakukan
pemeriksaan diterbitkan SKP.KBT tanggal 25 Mei
2010, maka rincian SKP.KBT adalah sbb:
Jumlah Pajak Rp.120.000.000,00
Jumlah Pajak yang telah ditetapkan Rp.100.000.000,00
Tambahan Jumlah Pajak Rp. 20.000.000,00
Besarnya sanksi administrasi (100%) Rp. 20.000.000,00
Tambahan jumlah pajak yang masihharus dibayar Rp. 40.000.000,00

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPlB)


Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak
seharusnya terutang.
Contoh : PT XYZ adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan barang-
barang elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim)
pada tgl 30 April 2009, dengan perincian sbb:
Penghasilan Kena Pajak Rp.1.000.000.000,00
PPh terutang Rp. 282.500.000,00
Kredit Pajak (Rp. 202.500.000,00)
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2009. Apabila berdasarkan
hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak seharusnya adalah
Rp.900.000.000,00 sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp.252.500.000,00,
maka Dirjen Pajak menerbitkan SKPLB dengan rincian sbb:
Pajak Yang Terutang Rp.252.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak (Rp.282.500.000,00)
Jumlah Kelebihan Pembayaran Pajak (Rp. 30.000.000,00)

d. Sural Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


Adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Contoh : PT JKL adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha industri garmen
menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2008 (tahun takwim) pada tgl 30

54
April 2009 yang menyatakan rugi, dengan perincian sbb:
Rugi Neto Rp.1.000.000.000,00
PPh terutang Rp. --
Kredit Pajak Rp. --
Pajak yang kurang/(lebih) dibayar Rp. Nihil
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata rugi neto seharusnya adalah
Rp.400.000.000,00 dan PPh terutang tetap nihil. Karena berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak ada PPh terutang dan tidak ada kredit pajak maka selanjutnya
Dirjen Pajak menerbitkan SKP Nihil.

Surat Tagihan Pajak


Surat Tagihan Pajak (STP) diterbitkan dalam hal:
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
- Dari hasll penelltian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
- WP dikenakan sanksi administrasi denda dan/atau bunga;
- Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetap<
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
- Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap, selain:
a. identitas pembeli (Nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak) atau
b. identitas pembeli (Nama, alamat. dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak) serta nama dan tandatangan (Nama,
jabatan dan tandatangan yang berhak menandatangani faktur pajak) dalam
hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
- Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
- Pengusaha Kena Pajakyang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
Pajak Masukan
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.

Daluwarsa Penetapan Pajak

Daluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun
Pajak.

55
BAB VIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pengertian:
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak ( restitusi) dapat terjadi apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang atau telah dllakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang,
dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Dalam hal jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada
jumlah pajak yang terutang :
- Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atau
berdomisili.
- Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:
- Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada : pajak
yang terutang;
- Pajak Pertambahan Nilai. apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdap..' ing dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai. jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara
jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau;
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
- SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 12 ( dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
- Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi, Direktur
Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan. maka permohonan dianggap
dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan
setelah jangka waktu berakhlr. Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

56
Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
Pajak yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh WP yang
bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau
pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar
daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
- Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk orang pribadi yang belum
memiliki NPWP) dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur
Jenderal Pajak melalui KPP tempatWP terdaftar atau berdomisili, apabila terjadi
kesalahan pembayaran pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang. Sural
permohonan harus melampirkan:
a. Asli bukti pembayaran pajak;
b. Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
- WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat
WP yang dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat
Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan dengan catatan PPh dan PPN
serta PPnBM yang dipotong atau dipungut belum dikredltkan atau dlbiayakan.
Suiat permohonan harus melampirkan;
a. Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
b. Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
c. Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang.
- WP yang melakukan pemotong atau pemungutan dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP
yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan
pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukannya dan pihak yang
dipotong atau dipungut adalah:
 orang pribadi yang belum memiliki NPWP;
 subjek pajak luar negeri; atau
 terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau
pemungutan kecuali WP yang melakukan pemotongan atau
pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena
pembubaran usaha.

57
Surat permohonan harus melampirkan:
a. Asli bukti pembayaran pajak;
b. Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
c. Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang; dan
d. Surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada WP yang melakukan
pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
pemungutan.
- Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan
pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WP dlterima secara lengkap dan
menerbitkan SKPLB bila hasil penelitian tersebut terdapat pajak yang seharusnya
tidak terutang.
Apabila hasil penelitian tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terhutang, maka
Direktur Jenderal Pajak harus memberitahu secara tertulis kepada Wajib Pajak.

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak


Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar darlpada jumlah pajak yang terutang aiau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan
Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak Kriteria tertentu :
1. WP dengan kriteria tertentu dapat mengajukan restitusi dan Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Sural Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
2. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat
keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
untuk Wajib Pajak tertentu.
3. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah WP yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dengan syarat:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
2. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa untuk Masa Pajak Januari
sampai dengan Desember yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak
untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut. Untuk SPT Masa yang
terambat tersebut harus telah disampaikan tidak lewat dan batas waktu
penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak (keadaan pada
tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh)

58
kecuali telah memperoleri izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewatu batas akhir
pelunasan.
c. Laporan Keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas
keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama
(tiga) tahun berturut-turut. Laporan audit disusun dalam bentuk panjang (long form
report) dan rnenyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiscal bagi Wajib SPT
Tahunan PPh. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaduit oleh
Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam
pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik
d. Tidak pernah dipidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahn
4. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktorat Jenderal
Pajak menetapkan WP Patuh paling lama tanggal 20 Januari dan berlaku untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun kalender setelah melakukan penelitian terhadap
pemenuhan persyaratan yang ditentukan sebagai WP Patuh.
5. Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Kepala KPP
melakukan penelitian atas :
 Kelengkapan SPT dan lampiran-lampiran
 kebenaran penulisan dan penghitunganPajak
 Kebenaran Kredlt Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam
sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak atau konfirmasi dengan menggunakan
surat;
 Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP: dan
 Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT
perubahan alamat.

dan menerbiikan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak


paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
Apabila setelah lewat Jangka waktu tersebut dan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Keleblhan Pajak belum diterbitkan, Kepala KPP harus menebitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setclah jangka waktu tersebut berakhir.
Dalam hal hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar. lampiran SPT tidak
lengkap. pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang
tercantum dalam SPT atau dengan pembcritahuan perubahan alamat sehingga

59
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan,
maka Kepala KPP harus memberitahu secara tertulis kepada WP
6. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak dapat
diterbitkan kepada WP Patuh apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai
WP Patuh:
a. Terhadap WP lersebut dllakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
b. WP terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu Jenis pajak tertentu 2 (dua)
Masa Pajak berturut-turut.
c. WP terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga)
Masa Pajak tidak berturut-turut dalam 1 (satu) tahun kalender;
d. WP terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih 3 (tiga) Masa Pajak secara
berturut-turut dan terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu
penyampaianSPT Masa Masa Pajak berikutnya; atau
e. WP terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
Kepada WP Patuh yang tidak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak tetsebut. akan diberitahu secara tertulls.
7. WP Patuh yang tidak menghendaki diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak harus membuat pernyataan tertulis bersamaan
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak yang Memenuhi


Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat dlberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh kurang dari Rp
1.800.000.000.00 (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya
kurang dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak 0,5% (setengah
persen) dari jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
tersebut,-
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT
Tahunan PPh paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan Jumlah
lebih bayarnya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan Jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling
banyak Rp 400.000.0O0.00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya

60
paling banyak Rp 28.000.000,00 (dua puluh delapan juta rupiah).
e. Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian atas :
a. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
b. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
c. Kebenaran pembayaran pajak yanq lelah dilakukan oleh WP; dan
d. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau dalam SPT
perubahan alamat.
dan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan paling lama 3 (tiga)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
Dalam hal hasil penelltian meny ik lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap,
pembayaran pajak tidak benar. atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam
SPT atau dengan pemberitahuan perubahan alamat sehingga Surat Keputusan
Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan. maka Kepala KPP harus memberitahu
secaratertulis kepada WP.

61
BAB IX
SENGKETA PAJAK

Pengertian
Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara WP atau
Penanggung Pajak dg pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak
berdasarkan per-UUan perpajakan.
1. Penyelesaian sengketa pajak di DJP (KPP), melalui :
 Pembetulan Ketetapan Pajak (Pasal 16 KUP)
 Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Pasal 36 (1)a KUP)
 Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak (Pasal 36 (1)b KUP)
 Keberatan (Pasal 25 KUP)
2. Penyelesaian di Pengadilan Pajak, melalui :
 Banding
 Gugatan
3. Penyelesaian di Mahkamah Agung, melalui Peninjauan Kembali (PK)

1. Pembetulan Ketetapan Pajak


Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak
mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. dapat dIbetulkan oleh
Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau ats permohonan Wajib Pajak.
Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak. terbatas pada kesalahan atau kekeliruan a.l:
a. Kesalahan tulis antara lain : kesalahan yang dapat berupa penulisan nama,
alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa atauTahun Pajak
dan tanggal jatuh tempo;
b. Kesalahan h'rtung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan
atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan; atau
c. Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma Penghitungan
Penghasllan Neto. penerapan sanksi administrasi. Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.

Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan, antara lain:
 Surat ketetapan pajakyang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
 Surat Tagihan Pajak (STP);
 Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
 Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;

62
 Surat Keputusan Pembetulan;
 Surat Keputusan Keberatan;
 Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
 Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak
benar.

Tata Cara Pembetulan Ketetapan Pajak

Permohonan pembetulan oleh WP harus disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak


yang menerbitkan surat keietapan pajak, Surat Tagihan Pajak (STP), atau surat keputusan
lain yang terkait dengan bldang perpajakan yang diajukan pembetulan. dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. 1 (satu) permohonan diajukan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak. STP, atau
surat keputusan lain yang terkait dengan bidang perpajakan;
b. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai
alasan yang mendukung permohonannya; dan
c. Surat permohonan ditandatangani oleh WP dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan WP. surat permohonan tersebut harus dilampiri
surat kuasa khusus.
Direktur Jenderal Pajak dalam Jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohonan pembetulan diterima, harus memberikan keputusan. Apabila jangka
waktu tersebut telah lewat Oirektur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan.
maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dlkabulkan dan paling lama 1
(satu) bulan sejak berakhir jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut Direktorat Jenderal
Pajak wajib menerbitkan surat keputusan pembetulan tersebut.

2. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi


a. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat
mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda. dan/ atau
kenaikan yang tercantum dalam STP, SKPKB atau SKPKBT, dikenakan karena adanya
kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi
ketentuan:
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, SKPKB atau SKPKBT;
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan
alasan yang mendukung permohonannya;
c. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan
Pajak tempat WP terdaftar;
d. WP telah melunasi pajak yang terutang; dan

63
e. Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat
permohonan ditandatangani oleh bukan WP, surat permohonan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;
Permohonan WP dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan permohonan kedua
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim.
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan WP dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan
WP. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh WP dianggap
dikabulkan dan harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang
diajukan.
Keputusan yang diterbitkan Dlrektur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan
sebagian atau seluruhnya. atau menolak permohonan WP. WP dapat meminta
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi
dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.
b. Direktur Jenderal Pajak secara jabaiannya dapat mengurangkan atau
menghapuskan sanksi administrasi dalam STP yang diterbitkan sebagai akibat dari:
a. diterbitkan surat ketetapan pajak karena Pengusaha Kena Pajak tidak
membuat faktur pajak: dan
b. diterbitkan SKPKB atau SKPKBT, serta Surat Keputusan Pembetulan. Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa
bunga 2% (dua persen) perbulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal
diterbitkannya STP, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dllakukan apabila Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak
yang tidak benar atau Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali, yang mengaklbatkan pajak yang masih harus dibayar
berkurang atau dibatalkan.

3. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak


Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat:
a. Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau STP yang tidak
benar; dan/atau

64
b. Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan
yang penerbitannya tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan
atau tanpa dllakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP.
Untuk SKPKB atau SKPKBT tersebut harus yang tidak diajukan keberatan, diajukan
keberatan tetapi telah dicabut oleh WP atau diajukan keberatan tetapi tidak
dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan.
Permohonan pengurangan atau pembatalan tersebut harus memenuhi ketentuan:
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, atau surat ketetapan pajak termasuk
surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir
hasil pemeriksaan;
b. Diajukan secara tertulls dalam bahasa Indonesia
c. Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut penghitungan
WP disertai dengan alasan yang mendukung permohonannya;
d. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
tempat WP terdaftar;
e. Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan WP. surat permohonan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus.
Permohonan WP dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan permohonan kedua
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 ttlga) bulan sejak tanggal keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim. kecuali untuk
permohonan pembatalan surat fcetetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau
pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.
Direklur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan WP dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal dlterimanya permohonan WP.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi
suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh WP dianggap dikabulkan dan harus
menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan.
Keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan WP. WP dapat meminta secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk
menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.

4. Keberatan
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu

65
ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya aiau atas pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:


a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang BayarTambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.

Ketentuan Pengajuan Keberatan

Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di tempat WP


terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui:
a. Penyampaian secara langsung, termasuk disampaikan ke Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja KPP tempat WP
terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Penyampaian surat
keberatan diberikan tanda penerlmaan surat;
b. Pos dengan bukti penglriman surat;
c. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat atau e-
Filing melalui ASP {Application Service Provider). Penyampaian surat keberatan
dengan e-Filing melalui ASP. diberikan bukti penerimaan elektronik.
Tanda penerlmaan surat, bukti pengiriman surat dan bukti penerimaan elektronik
menjadi bukti penerimaan keberatan.

Surat keberatan harus memenuhi persyaratan:


a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. Wajib menyebutkan jumlah pajakyang terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-
alasan yang menjadi dasar penghitungan;
c. 1 (satu) keberatan harus diajukan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak jenis pajak,1
(satu) pemotongan pajak. atau 1 (satu) pemungutan pajak;
d. WP telah melunasi pajak yang hams dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui WP dalarn pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
e. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan
pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak
ketiga kecuali WP dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapai
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan WP (force majeur); dan
f. Surat keberatan ditandatangani oleh WP. dan dalam hal surat keberatan

66
ditandatangani oleh bukan WP, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus. Dalam hal WP memperbaiki surat keberatan yang telah
disampaikan, maka tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan
tanggal surat keberatan diterima.

Untuk keperluan pengajuan keberatan, WP dapat meminta Direktur Jenderal Pajak untuk
memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau
penghitungan rugi, dan Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan yang
dlminta tersebut dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat
permintaan WP diterima. Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal
Pajak tersebut tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat
keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan. dan hal inl wajib diberitahukan secara tertulis kepada WP.

Penyelesaian Keberatan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima, hams memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat dan Direktorat
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap diterima dan wajib diterbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan
keberatan WP.
Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak terhutang.

Proses Penyelesaian Keberatan

a. Direktorat Jenderal Pajak meminta keterangan, data, dan/atau informasi


tambahan dari WP;
b. WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk
melengkapi dan/atau memperjelas surat keberatan yang telah disampaikan
baik atas kehendak WP yang bersangkutan maupun dalam rangka memenuhi
permintaan Direktur Jenderal Pajak;
c. Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat
dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.

5. Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, WP

67
dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak, dengan syarat:
a. Tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan alasan yang jelas;
b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima;
c. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan;
d. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
Putusan Pengadilan Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Imbalan Bunga
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditoiak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak
mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan
dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus
dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan,
dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi
utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Daiam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut- Di samping itu, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen).

6. Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada Peradilan
Pajak terhadap:
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
2. Keputusan pencegahan daiam rangka penagihan pajak;
3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan daiam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau
4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang daiam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur daiam
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Jangka waktu

1. Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
2. Gugatan terhadap angka 2,3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal

68
diterima Keputusan yang digugat.

7. Peninjauan Kembali

Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak.
maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Mengapa Wajib Pajak mengajukan Peninjauan Kembali


1. Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
2. Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
3. Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut;
4. Ada suatu baglan dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya;
5. Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
beriaku.

Jangka Waktu Peninjauan Kembali

1. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam


angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahulnya kebohongan atau
tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
2. Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam
angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh
Pengadilan Pajak.

69
BAB X
PENAGIHAN PAJAK

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak. apabila jumlah
pajak yang terutang berdasarkan Surat Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKB) dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah
pajak harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Peraturan perundang-undangan perpajakan menetapkan SKPKBT dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
yang menyebabkan jumlah pajak harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka
waktu 1(satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, kecuali untuk WP usaha kecil dan WP di
daereah tertentu dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, jangka waktu
pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan.
Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB), Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), serta
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterima oleh WP.
Dalam hal WP keberatan atas SKPKB atau SKPKBT , jangka waktu pelunasan pajak
untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak
yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Dalam hal WP mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan


dengan SKPKB atau SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Penanggung Pajak
Yang disebut sebagai Penanggung Pajak adalah Orang atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban wajib pajak. Untuk subjek pajak Orang Pribadi, penanggung pajaknya adalah
subjek pajak itu sendiri; untuk wajib pajak badan, penanggung pajaknya adalah
pengurus dimana pengurus bertanggung jawab secara renteng kecuali apabila dapat
membuktikan atau meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam

70
kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut.

Tindakan Penagihan Pajak


Apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi,
akan dilakukan tindakan penagihan sebagai berikut:
a. Surat Teguran
1. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang
masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak
mengajukan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan
Surat Teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pengajuan
keberatan.
2. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
haris dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan. dan WP mengajukan
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB
atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pengajuan banding
3. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih
dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan mengajukan
permohonan banding atas keputusan keberatan sehubungan dengan SKPKB
atau SKPKBT, kepada WP disampaikan Sural teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan
Putusan Banding.
4. Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan;
5. Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT
setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir oleh WP, kepada WP disampaikan Surat Teguran
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan
tersebut.dan
6. Dalam rangka Penagihan Pajak atas utang Bumi dan Bangunan dan/atau Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang tercantum dalam STPPBB,
SKBKB, SKBKBT, STB atau Surat Keputusan Pembetulan. Surat Keputusan
Keberatan, atau Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, kepada WP disampaikan Surat teguran setelah 7 (tujuh) hari
sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.

71
Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan secara langsung, melalui pos atau
melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

b. Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat Teguran tidak
dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak.
c. Surat Sita
Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Juru Sita Pajak tidak dllunasi, Juru sita Pajak dapat melakukan tindakan penyitaan.
dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebesar
Rp 100,000.00 (seratus ribu rupiah).
d. Lelang
Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan
penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman
lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan
1(satu) kali dan untuk barang tldak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan
secara lelang melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita,
dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang.
Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka
akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam
surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
Catatan :
Batang dengan nilai paling banyak Rp.20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.

Hak Wajib Pajak/Penanggung Pajak

Wajib Pajak/Penanggung Pajak berhak:


a. Meminta Jurusita Pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak;
b. Menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan;
c. Menentukan urutan barang yang akan dllelang;
d. Sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan
terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya
pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP
yang bersangkutan;
e. Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang.

72
Kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak

a. Membantu Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya:


 memperbolehkan Jurusita Pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat
tinggal WP/ Penanggung Pajak;
 memberlkan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
b. Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan.

Daluwarsa Penagihan
a. Hak untuk melakukan penagihan pajak. termasuk bunga. denda, kenaikan, dan
biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak penerbitan Surat Taglhan Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar. Surat
Ketetapan Kurang Bayar Tambahan. dan Surat Keputusan Pembetulan. Surat
Keputusan Keberatan. Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan kembali
b. Daluwarsa penagihan pajak tersebut tertangguh apabila :
1. Diterbitkannya Surat Paksa;
2. adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak
langsung;
3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan karerta Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima)
tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pendapatan
negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.;
4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

73
BAB XI
PEMBUKUAN/PENCATATAN

Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan infbrmasi keuangan yang mellputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pencatatan
Pencatatan yaitu pengumpulan data yang dikumpulkan secara teratur lentang peredaran
atau penerimaan bruto dan/atau penghasllan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai
pajak yang bersifat final.
Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
a. Wajib Pajak (WP) Badan;
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas,
kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus Juta rupiah).
Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat
memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.

Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan


a. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha sebenarnya;
b. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c. Diselenggarakan dengan prinsip laat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
d. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
74
e. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas eatatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan
a. Pencatatan harus menggambarkan antara lain:
 Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang
diterima dan/atau diperoleh:
 Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final.
b. Bagi WP yang mempunyai leblh dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha,
pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis
usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan.
c. Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang pribadi harus
menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban.
Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Adalah untuk mempermudah:
a. Pengisian SPT;
b. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
c. Penghitungan PPN dan PPnBM;
d. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil
kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata Uang Selain Rupiah


Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah:
1. Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib Pajak yang
beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan Penanaman
Modal Asing;
2. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang beroperasi
berdasarkan kontrak dengan Pemerintah Rl sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan Perundang-undangan Pertambangan selain pertambangan
minyak dan gas bumi;
3. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi;
4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau menurut Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang terkait;
5. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya balk sebagian maupun seluruhnya dl

75
bursa efek luar negeri:
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata
uang Dollar Amerikat Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif
Pemyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
7. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu
perusahaan anak (subsidiary company) yang dlmiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan
induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Tata Cara Pengajuan Penyelenggaraan Pembukuan Dalam Bahasa Asing Dan Mata
Uang Selain Ruplah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu mendapat Izin tertulis dari
Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP dalam rangka
Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
a. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai;
b. Sejak tanggal pendirlan bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas
permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara
lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum
memberikan keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala
Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian izin untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uangan Dollar Amerika Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak
pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3
(tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi WP yang sudah menyelenggarakan sejak
pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai
(bagi WP yang belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
WP yang teiah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan

76
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat namun
merencanakan untuk tldak memanfaatkan izin tersebut wajlb menyampaikan
pemberltahuan pembatalan secara tertulis ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana
tercantum dalam surat izin belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima
oleh KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai. Apabila penyelenggaraan pembukuan
tersebut sudah dimulai, maka wajlb mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis
ke KPP paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut
dimulai.
Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang telah
memberitahukan ke KPP untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut akan
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata
Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wllayah paling lama 3 (tiga)
bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia
dan satuan mata uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wllayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas
permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wllayah belum memberikan keputusan, maka
permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan permohonan tersebut tidak
diperbolehkan lagi menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris
dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin
tersebut dicabut.

Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen


Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dlkelola secara elektronik atau
secara program on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan
Wajlb Pajak badan.

Perubahan Tahun Buku Dan Metode Pembukuan

Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

77
BAB XII
PIDANA PERPAJAKAN

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan Wajib Pajak (WP), sepanjang
menyangkut pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi,
sedangkan yang menyangkut tindakpidanadibidang perpajakan dikenakan sanksi pidana.

Sanksi Pidana Bidang Perpajakan


a. Setiap orang yang karena kealpaannya:
 tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau
 menyampaikan SPT, tetapi islnya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang Isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut
merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit 1
(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

b. Setiap orang yang dengan sengaja:


 tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
 menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
 tidak menyampaikan SPT; atau
 menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
atau
 menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau
 memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya; atau
 tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
 tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan
yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line
di Indonesia; atau
 tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan

78
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan,
dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur sebagaimana butir
b.
c. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
d. Setiap orang yang dengan sengaja:
 menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi
yang sebenarnya; atau
 menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur
pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran
pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/ atau bukti setoran pajak.
e. Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak,
yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Daluwarsa Tindak Pidana Perpajakan


Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh
tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun
Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

79
Delik Aduan dan Sanksinya

Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan WP yang menyangkut masalah
perpajakan.
Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat diancam
sanksi pidana sebagai berikut:
1. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan masalah
perpajakan Wajib Pajak antara lain: Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan
Iain-Iain yang dllaporkan oleh Wajib Pajak, data yang diperoteh dalam rangka
pelaksanaan pemeriksaan, dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga
yang bersifat rahasia, dan dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah).
2. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban merahasiakan masalah perpajakan
Wajib Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).

Keterlibatan dan Sanksi Pihak Ketiga


 Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi
keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah).
 Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) yang bunyinya: "Setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) (yaitu "Dalam hal pihak-pihak yaitu
bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak
ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan
pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang
80
perpajakan terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan,
penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban
merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan
ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan"), dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat
dan pihak lain yaitu memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
 Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta
oleh Direktur Jenderal Pajak dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10
(sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000.00 (delapan ratus juta
rupiah).
 Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan
sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan . yang menganjurkan atau
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

81
BAB XIII
PENYIDIKAN

Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang


dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpuikan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
1. Penyidik
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Wewenang Penyidik
a. menerima, mencari, mengumpuikan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan
atau laporan tersebut menjadl lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpuikan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan atau dokumen yang dlbawa sebagaimana dimaksud
pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana

82
di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan peundang- undangan.

Penyidik Pajak tidak berwenang melakukan penahanan dan penangkapan

3. Penghentian Penyidikan

Penyidikan dihentikan dalam hal:


a. tidak terdapat cukup bukti ;
b. peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. peristiwanya telah daluwarsa;
d. tersangkanya meninggal dunia;
e. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan,
Jaksa Agung clapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permintaan, sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke
pengadilan.

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan setelah


Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak
seharusnya dikembalikan.

83
SINGKATAN-SINGKATAN

Dibawah ini ada beberapa singkatan yang telah biasa digunakan dalam kegiatan
sehari-hari di perpajakan :
- BKP : Barang Kena Pajak
- BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
- DJP : Direktorat Jenderal Pajak
- Dirjen Pajak : Direktur Jenderal Pajak
- JKP : Jasa Kena Pajak
- KPP : Kantor Pelayanan Pajak
- KP2KP : Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
- NOP : Nomor Objek Pajak
- NJOP : Nilai Jual Objek Pajak
- NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak
- PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
- PKP : Pengusaha Kena Pajak
- PPKP : Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
- PPN : Pajak Pertambahan Nilai
- PPn BM : Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- PPh : Pajak Penghasilan
- PTKP : Penghasilan Tidak Kena Pajak
- SKP : Surat Ketetapan Pajak
- SKPKB : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
- SKPKBT : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
- SKPLB : Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
- SKPN : Surat Ketetapan Pajak Nihil
- SPT : Surat Pemberitahuan
- SPOP : Surat Pemberitahuan Objek Pajak
- SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
- SSP : Surat Setoran Pajak
- STP : Surat Tagihan Pajak
- WP : Wajib Pajak

84
DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 Nomor 46, TLN RI Nomor
3262 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 (LN RI Tahun 2007 Nomor 85, TLN RI Nomor 4740);
2. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 545/KMK.04/2000 jo. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 123/PMK.03/2006 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Direktorat
Jenderal Pajak;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP 161/PJ/2001 tentang Jangka Waktu
Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir
Surat Setoran Pajak ;
7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2010 tentang Kebijakan
Penagihan Pajak;
8. Kamus Besar Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1989;
9. Brotodiharjo, R. Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Adika,
Bandung.
10. Soemitro, Rochmat, Asas dan Dasar Perpajakan 3, Bandung, Eresco, 1991;
11. Mardiasmo, 2009, Perpajakan Edisi 7, Andi Offset, Yogyakarta;
12. Bertens K., Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005;
13. Direktorat Jenderal Pajak, Leaflet Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Indonesia;
14. Direktorat Jenderal Pajak, http://www.pajak.go.id Situs Resmi Direktorat Jenderal
Pajak.

85
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1 (UU No. 28 Tahun 2007)

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :


1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang ini.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun kalender.
9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak,
atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas
jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda.

86
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan
pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi
dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah
dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus
sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,
dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat
Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan
penghitungannya.

31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang
terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
Bunga.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau
terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan
yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang
diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan
dari badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga
yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara
langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara
langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

Penjelasan Pasal 1
Cukup jelas.

87
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 2 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
a. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2);
dan/atau
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak
secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib
Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya
apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib
Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi
atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan diterima secara lengkap.

Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau
diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah
karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.

88
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas
namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya
diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk
menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal
berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak
yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi
Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah
beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena
Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan
kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai
tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa
pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri
dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh
Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat
untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib
Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan
kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005,
kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha
untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan
dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu
pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta
pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)

89
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.

Pasal 2A (UU No. 28 Tahun 2007)

Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

Penjelasan Pasal 2A
Cukup jelas.

Pasal 3 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani
serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau
tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan
stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama,
yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di
tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga)
bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak.
(3a) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat
Pemberitahuan Masa.
(3b) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3c) Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara
pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak
yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan
pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dapat diterbitkan Surat Teguran.
(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara
yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
a. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (6);
c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara
tertulis; atau
d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau

90
menerbitkan surat ketetapan pajak.
(7a) Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur
Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.
(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan
tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. harta dan kewajiban; dan/atau
d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau
badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam
bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk
pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang
harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap
Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan
disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat
mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak
untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat
Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi
Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan
penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)

91
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak
sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa
tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak
sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk
Masa Pajak yang bersangkutan.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha
dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak
dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara
elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1
(satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu
ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang
ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan menyebutkan
besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu)
Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan
jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan
ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan
Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan
mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan,
dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah
penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi
Wajib Pajak orang pribadi.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus
dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan
Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau
kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur
keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan,
tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan
dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap
sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah melewati 3 (tiga)
tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur
secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data
perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)

92
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak
Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib
Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak,
tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 4 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan
menandatanganinya.
(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan.
(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang
diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib
Pajak.
(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.
(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan
usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan
laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT
A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing,
bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian
kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan
Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

Pasal 5 (UU No. 6 Tahun 1983)

Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan
tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus

93
diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau
dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut
telah lengkap.

Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi
informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya,
misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan
cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).

Pasal 7 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk
kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 8 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih
bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa
penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya

94
ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran
perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima
puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam
laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai
keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan
tersendiri dimaksud disampaikan.
(6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak
menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima
surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih
berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah
pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai,
atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat
penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari
jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah jumlah hari dalam bulan kalender
yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud
dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni
sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan
penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan
sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar
150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan
penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada
Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan
pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih
diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun

95
atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan
dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah
pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut,
proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan
harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan
tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat
ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan
rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat
ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu
3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas
kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga)
bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat
Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda
dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Untuk Jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar Rp150.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 50.000.000,00
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada
tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan
Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto Rp200.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 Rp 70.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp130.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00
(Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 -
Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp300.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar Rp200.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp100.000.000,00
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada
tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan
Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto Rp300.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 Rp250.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp100.000.000,00
(Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 -
Rp250.000.000,00).

Pasal 9 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat

96
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal
jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya
cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran
masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2008. Apabila pada tanggal
15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan
sebagai berikut :
1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih
harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo
pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada
Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

Pasal 10 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila
telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

97
(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda
pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan
menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan
dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.

Pasal 11 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal
17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga
dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak,
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan
paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1),
atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah
memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan
saat dilakukan pengembalian kelebihan.
(4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak
menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali
kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun
cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak
tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian
kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan :
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak
tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B,
dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
d. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan

98
Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
dihitung sejak tanggal penerbitan;
e. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur
bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.

BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

Pasal 12 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang
terutang.

Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk
kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak
lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat
(2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat
ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang
terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan
dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 13 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal-hal sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam

99
Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut,
tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
(5) Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu
tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(6) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut
adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi
faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut
dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru
diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib
Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang
membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib
Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki
data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu,
terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak
juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beriktikad baik untuk
menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal
di luar kemampuannya (force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada
saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal

100
Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari
Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal
Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau
peredaran tidak jelas;
2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
atau
3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen
atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak
menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan
tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari
bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya
Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00
dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu.
Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka
sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Rp100.000.000,00
2. Pajak yang terutang (30% x Rp100.000.000,00) Rp 30.000.000,00
3. Kredit pajak Rp 10.000.000.00 (-)
4. Pajak yang kurang dibayar Rp 20.000.000,00
5. Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp20.000.000,00) Rp 9.600.000,00 (+)
6. Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp 29.600.000,00
Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan
merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak
Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak
dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan
dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap
dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Ayat (5)
Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, untuk menentukan
kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,
harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun.
Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh
penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana
oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadilan tersebut menunjukkan

101
adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai pajak.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 13A (UU No. 28 Tahun 2007)

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Penjelasan Pasal 13A


Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi
Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak dikenai sanksi pidana
apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200%
(dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Pasal 14 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara
lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya, selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.
(2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
surat ketetapan pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
(4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau
huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
(5) Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan
Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 14

102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga
dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan
karena:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau
b. penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis
dan/atau salah hitung.
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap
tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18
September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut :
-
Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
(Rp100.000.000,00-Rp40.000.000,00)
= Rp60.000.000,00
- Bunga = 3 x 2% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp63.600.000,00

2. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi tahun 2008 yang disampaikan
pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan
Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan = Rp1.000.000,00
- Bunga = 3 x 2%x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp1.060.000,00
Ayat (4)
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur
pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu,
dikenai sanksi yang sama.
Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat
Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 15 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%
(empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak

103
pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah
ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih
rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat
ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu
dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal
surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan
pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum
didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal
ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru
termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh
Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan
untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu
penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau
memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat
menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah
pajak yang terutang.
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada
waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa
sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00,
sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan
Rp5.000.000.00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus
tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang
tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut
tergolong data yang semula belum terungkap.
2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang
disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada
saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk
dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2.
Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan
bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum
terungkap.
3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas
pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut
sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya,
seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya

104
tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan
barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut
oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar.
Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan
yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut
merupakan data yang semula belum terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang
semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang
dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 16 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat
ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan
pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga
apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.
Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak,
kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan
adalah sebagai berikut:
a. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Surat Tagihan Pajak;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
d. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
e. Surat Keputusan Pembetulan;
f. Surat Keputusan Keberatan;
g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
h. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
i. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat
dari:
a. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor
surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;

105
b. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau
perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
c. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu
kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan
penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan,
tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan
kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan
dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 17 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
(2) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau
data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang
telah ditetapkan.

Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika
terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung
dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak
disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 17A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
(2) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

106
Penjelasan Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi
dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 17B (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut
berakhir.
(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan
penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak
pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Penjelasan Pasal 17B


Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang
telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat
pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau
anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap
permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain
itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak
diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.

107
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 17C (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan,
dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh
izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan
pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak apabila:
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak
berturut-turut;
c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak
dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
d. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Penjelasan Pasal 17C


Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan
cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran
kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai
dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak
lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak
yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak

108
Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi
berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp80.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut:
- Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
- Kredit Pajak:
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00 (+)
Rp150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak Rp 80.000.000,00 (-)
- Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 70.000.000,00 (-)
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% Rp 30.000.000,00 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 60.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai
- Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp60.000.000,00
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Keluaran Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu Pajak Masukan Rp150.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut:
- Pajak Keluaran Rp100.000.000,00
- Kredit Pajak:
- Pajak Masukan Rp150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000.00 (-)
- Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000,00 (-)
Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000,00
Sanksi administrasi kenaikan 100% Rp 10.000.000,00 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 20.000.000,00
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 17D (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak adalah:

109
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha
dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).

Penjelasan Pasal 17D


Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Pasal 17E (UU No. 28 Tahun 2007)

Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam
daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai
yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 17E


Cukup jelas.

BAB IV
PENAGIHAN PAJAK

Pasal 18 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak.
(2) Dihapus.

Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dihapus.

Pasal 19 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang

110
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau
kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan
tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata
penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah
pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya
kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6
November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp6.000.000,00. Pada
tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp 6.000.000,00 (-)
Kurang dibayar = Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp 80.000,00
b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak
membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan
Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00
Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan = Rp10.000.000,00
Kurang dibayar = Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) = Rp 200.000,00

Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan
mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada
tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut
diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang
tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai
berikut:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp 896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp 672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp 448.000,00 = Rp 8.960,00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00.
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak
sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.
Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00 = Rp112.000,00.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 20 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu

111
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat
Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan
apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan
atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau
sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran
pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap
Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran
yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 21 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi
administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak
dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan
yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran
atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5
(lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu
atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)

112
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 22 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak
tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak
diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan
Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang
tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal
seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu,
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang
diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan
tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal
penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak
dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal 23 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Dihapus.
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal
25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai
dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
(3) Dihapus.

Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.

113
Ayat (3)
Dihapus.

Pasal 24 (UU No. 28 Tahun 2007)

Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak
dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau
kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi
sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan
secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.

BAB V
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 25 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak
dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib
Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasaannya.
(3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak
yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat
(3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk
menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat,
atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti
penerimaan surat keberatan.
(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau
pemotongan atau pemungutan pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(8) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak
tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau
pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan
terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.

114
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-
masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua)
buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan
dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat
keberatan beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena
keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih
dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi
terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir
hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan
merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi
sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan
demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya
dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima
surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta
dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu
pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan
permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak
melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah
melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas
koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi
administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar
50% x (Rp750.000.000,00 - Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup jelas.

115
Pasal 26 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian,
menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama
diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas
keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh
suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak
mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara
jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun
telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk
memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam
rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat
membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 26A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur
tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
(3) Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap
dapat diselesaikan.
(4) Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses
keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan
belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

Penjelasan Pasal 26A


Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam
penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib
Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

116
Pasal 27 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan
salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(4) Dihapus.
(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak
wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang
diterbitkan.
(5) Dihapus.
(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang
terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi
dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan
undang-undang.

Penjelasan Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang
diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar
pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan
Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:

117
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00. Wajib Pajak telah
melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas
koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya
pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 -
Rp200.000.000,00) = Rp250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 27A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil,
dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung
sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan
surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali.
(1a) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang
dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung
sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan
surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi
berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
(3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 27A


Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan
Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.

Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan atas surat
ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama
jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan
Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan
berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak

118
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.

BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 28 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di
Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan
oleh Menteri Keuangan.
(5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak.
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan
biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh
Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
(9) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(10) Dihapus.
(11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib
Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
(12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun
sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya
dalam penerapan:
a. stelsel pengakuan penghasilan;
b. tahun buku;
c. metode penilaian persediaan; atau
d. metode penyusutan dan amortisasi.

119
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada
waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan
kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase
tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai
dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya
yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara
tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar
secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya
transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan
pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau
jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang,
jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap
penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan
kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas
harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai
maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian
dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang
dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun
sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau
akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode
pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku
yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin
timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi
perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan
penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan
dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau straight line method. Jika
dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode
penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu
kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan
alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib
Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun kalender.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun
Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
Ayat (7)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar
berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan
tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar,
pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor,
jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

120
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia,
misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan
menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi
peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-
mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan
bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil
pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10
(sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan
surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line
harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat (12)
Cukup jelas.

Pasal 29 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(2) Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi
dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen
lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan
guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
(3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena
pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib
Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan
oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Penjelasan Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang
melakukan pemeriksaan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan
Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau
seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain
sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.

121
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan
dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
b. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
f. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
k. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa
harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai
pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung
jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta
berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini
disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan
data secara elektronik (electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang
diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk
mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang,
dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman
dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib
Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
b. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
c. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
d. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
Keterangan lisan misalnya:
a. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
b. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
c. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga
pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh
Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.

Pasal 29A (UU No. 28 Tahun 2007)

122
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan
pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah
diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B;
atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

Penjelasan Pasal 29A


Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa
efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor.
Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga
Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup
singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh
Akuntan Publik.

Pasal 30 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
ayat (3) huruf b.
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam
Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola
secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi
pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik
dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak
yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh
pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau mengamankan buku, catatan,
dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk
tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan,
dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional
perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 31 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang,
jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib
Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
(3) Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak
kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)

123
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan,
dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir
hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu
yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.

BAB VII
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 32 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
Wajib Pajak diwakili dalam hal:
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang
mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas
pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak
bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
yang terutang tersebut.
(3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak
dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-
nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
menjalankan perusahaan.

Penjelasan Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam
likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena
mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara
pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan
dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai
pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang
memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil

124
keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak
dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya
dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam
pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas
atau pengendali.

Pasal 33 (UU No. 28 Tahun 2007)

Dihapus.

Penjelasan Pasal 33
Dihapus.

Pasal 34 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada
pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
keuangan negara.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan
dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim
sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis
kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama
tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan
keterangan yang diminta.

Penjelasan Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula
untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang
perpajakan.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
a. penerimaan pajak secara nasional;
b. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
c. penerimaan pajak per jenis pajak;
d. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
e. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;

125
f. register permohonan Wajib Pajak;
g. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
h. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan
kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat
diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak
yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas
dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang
berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin
pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai
perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya
terbatas pada tersangka yang bersangkutan.

Pasal 35 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau
bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak
tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
(2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk
keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban
merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan
tertulis dari Menteri Keuangan.
(3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur
Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak
ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan
atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara
bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti
tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 35A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
(2) Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak
berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(2).

Penjelasan Pasal 35A


Ayat (1)

126
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan
sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan
informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan
atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi
mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada
Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal
Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya
suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan
memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.

Pasal 36 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak
benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan
tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh
Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
(1c) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
(1d) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
dikabulkan.
(1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1c).
(2) Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena
ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami
peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah
ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan
unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib
Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas
kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang
dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan
akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.

127
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Cukup jelas.
Ayat (1e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 36A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai
dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen
Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada
Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(4) Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau
menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan perubahannya.
(5) Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya
didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Penjelasan Pasal 36A


Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam
melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja
menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan
kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan
pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan
perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana,
pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak
melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut
kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak
tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok,
dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.

Pasal 36B (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal
Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

128
Penjelasan Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 36C (UU No. 28 Tahun 2007)

Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Penjelasan Pasal 36C


Cukup jelas.

Pasal 36D (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 36D


Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37 (UU No. 16 Tahun 2000)

Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu undang-undang
memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk
mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan,
sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.

Pasal 37A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun
Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling
lambat tangal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa
bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (Perpu No. 5 Tahun 2008)
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi
atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan
tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat
Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Penjelasan Pasal 37A


Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

129
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 38 (UU No. 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang karena kealpaannya:


a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Penjelasan Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan
administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan
Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi
melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban
perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan
kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 39 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:


a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar,
atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung
sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi
atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Penjelasan Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi
yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri,
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

130
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi
tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau
seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar
sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik
tersendiri.

Pasal 39A (UU No. 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang dengan sengaja:


a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti
setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Penjelasan Pasal 39A


Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan
ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan
sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti
pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif
dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan
tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.

Pasal 40 (UU No. 6 Tahun 1983)

Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat
terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang
bersangkutan.

Penjelasan Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, dari sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna
memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan
dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, selama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 41 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Penjelasan Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan
supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan
terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai,
tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti
yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut,

131
pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi
yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat
yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.

Pasal 41A (UU No. 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah).

Penjelasan Pasal 41A


Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu
adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.

Pasal 41B (UU No. 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh
lima juta rupiah).

Penjelasan Pasal 41B


Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.

Pasal 41C (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)
bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10
(sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan
kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Penjelasan Pasal 41C


Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 42 (UU No. 9 Tahun 1994)

Dihapus.

Penjelasan Pasal 42
Cukup jelas.

132
Pasal 43 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari
Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau
yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penjelasan Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib
Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak
lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan,
atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

BAB IX
PENYIDIKAN

Pasal 43A (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan
pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal
Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk
melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
(3) Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
(4) Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 43A


Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan
dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 44 (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran
perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain,
serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat

133
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(4) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat
meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

Penjelasan Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik
tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat
dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat
berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 44A (UU No. 9 Tahun 1994)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka
meninggal dunia.

Penjelasan Pasal 44A


Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa,
maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan.

Pasal 44B (UU No. 28 Tahun 2007)

(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang
tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Penjelasan Pasal 44B


Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45 (UU No. 6 Tahun 1983)

Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
yang berakhir sebelum saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

134
Penjelasan Pasal 45
Meskipun Undang-Undang Perpajakan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya Undang-Undang ini, untuk
menampung penyelesaian penetapan pajak-pajak terutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya
Undang-Undang ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
lama, maka Undang-Undang ini menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai
dengan tanggal 31 Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima tahun tersebut disesuaikan dengan daluwarsa
penagihan pajak.

Pasal 46 (UU No. 6 Tahun 1983)

Dengan berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Penjelasan Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47 (UU No. 9 Tahun 1994)

Dihapus.

Penjelasan Pasal 47
Ketentuan pasal ini dihapus, karena secara substantif merupakan materi dari Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan dan telah diatur dalam Undang-Undang tersebut.

Pasal 47A (UU No. 16 Tahun 2000)

Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan
ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2000.

Penjelasan Pasal 47A


Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang
belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1994.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 48 (UU No. 6 Tahun 1983)

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah
dicantumkan dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian lebih
mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-Undang ini dan tata cara yang diperlukan.

Pasal 49 (UU No. 6 Tahun 1983)

Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku pula bagi Undang-Undang perpajakan lainnya kecuali apabila
ditentukan lain.

Penjelasan Pasal 49
Cukup jelas.

Catatan :

1. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan tahun 1994 dan sebelumnya, diberlakukan ketentuan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebelum dilakukan
perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang

135
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

2. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000,
diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan
perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
(sesuai dengan bunyi Pasal 47A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

3. Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang
belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

4. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

5. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.


(sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan).

136
RANGKUMAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

UU No.8 UU No.36
Tahun 928/KMK.04/1993 361/KMK.04/1998 564/KMK.03/2004 137/PMK.03/2005 Tahun
1983 2008

Untuk diri Wajib Rp Rp


Rp 1.728.000 Rp 2.880.000 Rp 12.000.000 Rp 13.200.000
Pajak (WP) 960.000 15.840.000

Tambahan untuk Rp Rp
Rp 864.000 Rp 1.440.000 Rp 1.200.000 Rp 1.200.000
WP kawin 480.000 1.320.000

Tambahan untuk
seorang isteri yang
Rp Rp
penghasilannya Rp 1.728.000 Rp 2.880.000 Rp 12.000.000 Rp 13.200.000
960.000 15.840.000
digabung dengan
penghasilan suami

Tambahan untuk
keluarga sedarah
dan semenda
Rp Rp
dalam garis Rp 864.000 Rp 1.440.000 Rp 1.200.000 Rp 1.200.000
480.000 1.320.000
keturunan lurus
paling banyak 3
orang

Berlaku
Berlaku
sejak
Berlaku sejak Berlaku sejak Berlaku sejak Berlaku sejak sejak
1
1 Januari 1994 1 Januari 1999 1 Januari 2005 1 Januari 2006 1 Januari
Januari
2009
1984

137
FORM PENDAFTARAN NPWP OP

138
SURAT SETORAN PAJAK

139
FORM SPT TAHUNAN 1770 SS

140
FORM BUKTI PEMOTONGAN PPH 21 A1

141
BIOGRAFI PENULIS

Nama : Raden Muhammad Romadhon, SE


Alamat : Perum Taman Tukmudal Indah Blok FB 66 No. 2,
Sumber, Cirebon
Pekerjaan : PNS di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian
Keuangan RI sebagai Operator Console di KPP
Pratama Kuningan
Riwayat Pendidikan Formal:
1. SD Negeri Wonoenggal
2. SLTP Negeri 1 Grabag
3. SMA Negeri 8 Purworejo
4. Sekolah Tinggi Akuntasi Negara
5. STIE Cirebon

Riwayat Pendidikan Non Formal dan Pendidikan Kedinasan :


1. Pelatihan Instruktur Brevet IAI, Surakarta Jawa Tengah (2011)
2. Pelatihan Konselor (Bimbingan Konseling), Cirebon (2010)
3. Pendidikan dan Latihan Keuangan di Pusdiklat Pajak. (2005-sekarang)

Riwayat Pekerjaan :
1. Seksi Penagihan KPP Cirebon ( 2005-2006)
2. Operator Console Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Cirebon (2006-2007)
3. Operator Console Seksi Pengolahan Data dan Informasi KPP Pratama Kuningan
(2007-sekarang)

Riwayat Mengajar :
1. Dosen di LP3I Bussiness College Cirebon (2009-sekarang)
2. Dosen di STEI Al-Ishlah Bobos, Cirebon (2011-sekarang)
3. Instruktur Brevet LM FE Unswagati (2010-sekarang)

142

Anda mungkin juga menyukai