Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN MULTI KASUS

AMPUTASI PENIS

Disusun oleh:
dr. Arley Sadra Telussa

Pembimbing
Prof. DR. dr. Soetojo, SpU (K)

BAGIAN/SMF UROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSU DR SOETOMO SURABAYA
2013
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I)

Program Studi Urologi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo

Surabaya

JUDUL:

AMPUTASI PENIS

Oleh:

dr. Arley Sadra Telussa

Pembimbing

Prof. DR. dr. Soetojo, SpU (K)


DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ........................................................................................................ i


Daftar Isi ...................................................................................................................... ii
Abstrak ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................... 3
I.2 Anatomi Penis ..................................................................................... 3
I.3 Patofisiologi Trauma Penis .................................................................... 11
I.4 Diagnosis ....................................................................................................... 14
I.5 Manajemen Amputasi Penis ........................................................................ .. 15
BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................... 22
III.1 Kasus Pertama .................................................................................. 22
III.2 Kasus Kedua ............................................................................................. 24
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................. 28
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 36
ABSTRACT

Objective: to present a case of self genital amputation/penetrating penile trauma grade IV according
to American Association for the Surgery of Trauma (AAST) classification in schizophrenic patient and
review the relevant literature
Methods: A case report.
First case:
Male, 42 years old, a schizophenic patient, was diagnosed with self genital amputation/penetrating
penile trauma grade IV according to American Association for the Surgery of Trauma (AAST)
classification. From penile exploration we found 2 cm long partial rupture of urethra pars pendulare;
circular vulnus scizuum at the shaft of the penis as deep as tunica albuginea and vulnus scizuum at
the base of the penis. Twelve hours after the event we performed macrosurgical end-to-end
approximation and urethroplasty with the involvement of Psychiatric Department for addressing
patient mental status postoperatively.
Second case:
Male, 7 years old, had a penile amputation upon circumcision. From penile exploration we found
penile amputation at sulcus coronarius (AAST grade V) and the penile stump was not pack properly.
Fourty five minutes after the event we performed macrosurgical urethroplasty and microsurgical
replantation of dorsalis penis artery, vein, and nerve.
Result: From the first case we obtained very good cosmetic and functional results with no micturition
impairment. From the second case, penile stump became necrotik and we had to performed
debridement and necrotomy to remove the penile stump.
Conclusion: Penile amputation is an uncommon condition that requires immediate surgical
replantation. Routine standardized procedures for dealing with this medical condition has not been
establish yet. A macrovascular technique is recommended, as it can be performed in any general
hospital with an acceptable result.

Key Words: Amputation; Penis; Schizophrenia; Circumcision


BAB I
PENDAHULUAN

Sebesar 10% pasien yang masuk ke unit gawat darurat adalah pasien trauma pada traktus

genitourinaria. Banyak dari kasus-kasus tersebut sulit dan membutuhkan kemampuan diagnostik

yang baik untuk menanganinya.1Dari jumlah tersebut, satu-pertiga sampai dua-pertiga adalah

berhubungan dengan trauma pada genitalia eksterna. Trauma genitourinaria paling banyak

disebabkan oleh trauma tumpul (80%) dan 20% disebabkan oleh trauma tajam. Trauma pada traktus

genitourinaria dapat ditemukan pada semua kelompok umur, dengan frekuensi paling sering pada

laki-laki berumur antara 15 sampai 40 tahun. Tetapi 5% dari seluruh pasien adalah berumur kurang

dari 10 tahun. Terdapat beberapa olahraga populer yang meningkatkan resiko untuk terjadi trauma

tumpul dan/atau trauma tajam pada genitalia externa, seperti bersepeda off road, berkuda, dan

balap motor.2Gigitan hewan atau manusia adalah penyebab trauma tajam genitalia yang jarang, dan

berhubungan dengan resiko tinggi terjadinya infeksi. Keterlibatan Pasteurella multocida tercatat

sebesar 50% dari seluruh infeksi karena gigitan anjing, sedangkan Escherichia coli, Streptococcus

viridan dan Staphilococcus aureus memiliki angka yang lebih rendah.3Untuk kelompok pediatri, anak-

anak umur 4 sampai 7 tahun memiliki frekuensi trauma genitourinaria terbesar (36,8%), diikuti anak-

anak umur 8 sampai 11 tahun (20,6%). Organ yang paling sering terkena trauma genitourinaria

adalah genitalia eksterna perempuan (37,7%), penis (21,6%) dan testis (12%). 4Selain kelompok resiko

tersebut, trauma pada genitalia eksterna yang parah dapat ditemukan pada mutilasi terhadap diri

sendiri pada pasien-pasien psikotik dan transeksual. 2


Amputasi penis adalah suatu kasus yang jarang ditemukan. 1Amputasi penis dapat ditemui

pada pasien yang melakukan emaskulasi diri sendiri pada individu-individu psikotik yang

melakukannya sebagai respon terhadap halusinasi yang dialaminya. 5Selain itu, amputasi penis juga

merupakan komplikasi dari tindakan sirkumsisi. 6 Sirkumsisi adalah suatu prosedur pembedahan yang

umum dilakukan. Tetapi, karena sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang tidak

berpengalaman di rumah, rumah sakit maupun sirkumsisi massal dengan jumlah pasien yang banyak

yang dilakukan dalam waktu yang singkat maka angka komplikasi sirkumsisi cukup besar. 7,8,9Pada
amputasi penis yang merupakan komplikasi tindakan sirkumsisi, bagian dari penis yang teramputasi

adalah kulit penis dan/atau bagian dari glans penis. 5Seri laporan kasus terbesar mengenai

pembedahan replantasi penis pada literatur urologi adalah serial kasus amputasi penis pada tahun

1970an, dimana kurang lebih 100 pria di Thailand mengalami amputasi penis oleh istri mereka

menggunakan pisau dapur ketika pria-pria tersebut tidur dikarenakan pria-pria tersebut

berselingkuh.10Enam puluh sampai delapan puluh persen pasien amputasi penis menunjukkan gejala

psikotik saat kejadian, dengan 51% berada pada status schizophrenik yang dekompensasi.Kelompok

lain adalah individu-individu dengan kelainan karakter parah atau pada beberapa kasus mengalami

masalah identitas gender. Ada beberapa individu yang pada serangan psikotik pertama akan

berusaha mengamputasi penis atau bagian tubuh yang lain dibawah pengaruh halusinasi yang

memerintahkan individu tersebut untuk mengamputasi seluruh genitalia nya. 2


Rekonstruksi uretra dan reanastomosis dari korpora dengan menggunakan pembedahan

mikro untuk memperbaiki pembuluh darah dorasal penis dan persyarafannya memiliki hasil yang

cukup baik. Jika fasilitas pembedahan mikro tidak tersedia, anastomosis secara makroskopis dari

uretra dan korpora dapat dilakukan dengan hasil yang cukup baik dan kemampuan erektil yang cukup

baik. Komplikasi–komplikasi seperti striktur uretra, hilangnya jaringan kulit, dan abnormalitas sensori

lebih rendah pada repair secara mikrovaskular. Sensasi penis normal kembali pada 0% sampai 10%

pasien setelah dilakukan replantasi secara makroskopis, dan 80% sensasi penis kembali normal pada

tindakan replantasi secara mikroskopis. 5Tindakan tambahan setelah dilakukan replantasi penis

adalah penggunaan oksigen hiperbarik untuk mempercepat proses penyembuhan. 5,8Karena luasnya

spektrum trauma pada traktus genitourinari khususnya trauma amputasi penis,maka membutuhkan

manajemen khusus untuk penanganan pasien tersebut dan sangatlah penting bagi ahli urologi untuk

menguasai manajemen dari trauma ini.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Penis


Penis terdiri dari 3 korpora erektil: dua korpora kavernosa dan satu korpora spongiosum.

Korpora cavernosa yang terletak di bagian distal mengandung jaringan erektil yang dibungkus oleh

tunika albugiea (Gambar II.1). Pada batang penis, terdapat hubungan yang bebas diantara

keduakorpora kavernosa melalui septum midline yang inkomplit. Septum ini menjadi komplit pada

ujung penis dan hilum penis, dimana korpora kavernosa menjadi mandiri dan membentuk krura yang

terpisah.11
Badan erektil penis diselubungi oleh deep penile fascia (fasia Buck’s), superficial penile fascia

(fasia Dartos), dan kulit. Fasia Buck’s adalah lapisan tebal yang langsung menyelubungi dan

menempel secara longgar terhadap ketiga korpora. Di sebelah superior dari corpora kavernosa

terdapat vena dorsalis profundus, arteri dorsalis, nervus dorsalis yang berada pada fasia Buck’s diatas

tunika albuginea. Di sebelah ventral, fasia Buck’s terbagi untuk menyelubungi korpus spongiosum.

Konsolidasi dari fasia ini di sebelah lateral korpus spongiosum memfiksasi truktur ini pada tunica

albuginea. Di sebelah distal, fasia Buck’s menempel pada permukaan bawah dari glans penis pada

korona glandis. Setelah melewati basis dari glans penis, fasia ini meluas sampai perineum. 11
Fasia Dartos penis terdiri dari jaringan areolar yang memisahkan dua lapisan preputial fold

dan berlanjut ke sebeah proksimal di bawah kulit penis, melekat secara longgar pada kulit dan fasia

Buck’s. Fasia Dartos mengandung arteri-arteri, vena-vena, dan nervus superfisial penis. Pada basis

penis, fasia ini menyatu dengan tunika Dartos dari skrotum dan meluas sampai ke perineum, dimana

fasia ini akan berlanjut menjadi fasia perineum superfisialis. Kulit penis di sebelah distal melekat

pada glans penis pada korona glandis dan melipat untuk membentuk prepusium yang menutupi

glans. Sisi dalam dari prepusium adalah konfluen dengan kulit yang menyelubungi glans penis yang

berlanjut menjadi membrana mukosa dari uretra di meatus eksterna. Kulit yang menyelubungi penis

sangat tipis dan mobile karena berada di atas fasia Dartos. 11


Tunika albuginea secara primer terdiri dari kolagen dan jaringan fibroelastik, yang menuju

lapisan sirkular longitudinal di bagian dalam dan luar yang menyelubungi hampir semua korpus
(Gambar II.2). Korpora kavernosa dipenuhi dengan jaringan erektil yang terdiri dengan arteri-arteri,

sinusoid-sinusoid yang berisi sel-sel endotelial, vena, nervus, dan trabeculae yang berasal dari tunika

albuginea. Diantara jaringan ini dan tunika albuginea, terdapat lapisan sangat tipis dari jaringan

areolar yang mengandung sejumlah pembuluh darah. 11

Gambar II.1 Lapisan-lapisan penis11

Di sebelah proksimal, ligamentum suspensarium penis terletak pada basis penis (Gambar

II.3).bagian luar dari ligamentum tersebut berlanjut menjadi bagian bawah dari linea alba dan

terbagi menjadi lamina-lamina yang menyelingkupi penis. Bagian dalam dari ligamentum

suspensarium melekat pada bagian anterior dari symphisis pubis (Gambar II.3). 11

Gambar II.2 Tunika Albuginea11


Gambar II.3 Potongan sagital dari genitalia eksterna pria11

Korpus spongiosum berada pada bagian ventral pada cekungan diantara kedua korpora

cavernosa. Tunika albuginea yang menyelubungi korpus spongiosum lebih tipis dari pada yang

menyelubungi korpora kavernosa dan pada korpus spongiosum, jaringan erektil lebih sedikit. Uretra

berjalan sepanjang penis didalam korpus spongiosum. Korpus spongiosum sebelah distal

membentuk jaringan erektil yang bernama glans penis, yang menutup seluruh ujung korpora

cavernosa. Meatus uretra berada di sebelah ventral dari ujung glans penis dengan aksis panjang

berada pada arah vertikal. Tepi dari glans penis yang berbatasan dengan shaft penis bernama corona,

dengan sulkus coronarius berada di proksimalnya. Frenulum adalah lipatan kulit yang menempel

pada bagian paling ventral dari glans penis, dimana korona membentuk “V”. 11
Pembagian uretra sebagai berikut: (1) glandularis, (2) pendularis / penile, (3) bulbousa, (4)

membranosa, dan (5) prostatika (Gambar II.4). Uretra pars glandularis dilapisi oleh epitel squamous

kompleks. Pada uretra pars pendularis, epitelium yang melapisi adalah secara primer adalah

stratified atau pseudo stratified columnar dengan disertai area epitel stratified squamous. Pada

bulbus penis, uretra melebar dan berada lebih dekat pada bagian dorsal dari corpus spongiosum.

Uretra pars bulbosa dilapisi oleh epitel stratified atau pseudo stratified columnar, yang akan berlanjut

ke arah proksimal menjadi uretra pars membranasea. Pada area ini terjadi perubahan bertahap

menjadi epitel transisional yang melapisi uretra pars prostatika. Kelenjar periuretra (kelenjar Littre’s)
berada pada uretra pars pendulare dan bulbosa pada permukaan dorsalnya. Sering kali terdapat

lacuna magna pada dorsal dari fossa navicularis. Duktus kelenjar bulbouretra (kelenjar Cowper’s)

berada pada uretra pars bulbosa. 11


Suplai darah superfisial untuk kulit penis dan dartos berasal dari bagian inferior kanan dan

kiri arteri pudenda ekterna (Gambar II.5). pembuluh darah ini berasal dari cabang pertama arteri

femoralis dan menyilang sisi medial atas dari femoral triangle yang akan bercabang menjadi dua.

Cabang-cabang ini berjalan ke arah dorsolateral dan ventrolateral didalam fasia dartos pada shaf

penis dengan kolateralisasi ke arah midline. Drainase vena superfisial penis disediakan oleh sejumlah

vena yang berjalan di dalam fasia dartos pada sisi dorso lateral penis. Vena-vena ini bersatu pada

basis penis yang membentuk vena dorsalis superfisialis, yang akan bermuara pada vena saphena

kiri.11

Gambar II.4 Pembagian uretra11


Gambar II.5 Pembuluh darah superfisial penis11
Suplai darah ke struktur dalam dari penis berasal dari arteri penis kommunis yang

merupakan terusan dari arteri perieal. Arteri penis komunis berjalan pada batas medial ramus pubis

inferior sebelum bercabang menjadi cabang terminal dekat dengan bulbus uretra. Terkadang satu

atau lebih pembuluh darah terminal penis berasal dari arteri pudenda aksesorius yang berasal dari

pelvis, paling banyak berasal dari arteri obturator atau arteri pudenda interna sebelum masuk

foramen sciatica magna. Arteri pudenda asesorius berjalan sepanjang bagian bawah buli-buli dan

permukaan anterolateral dari prostat untuk mencapai bagian dalam dari penis. 11

Gambar II.6 Pembuluh darah produndus penis11

Cabang pertama dari arteri penis kommunis adalah arteri bulbourethralis, yang menembus

membran perineal untuk mencapai bulbus penis. Ini dapat juga muncul sebagai cabang dari arteri

dorsalis penis atau arteri cavernosa. Arteri uretralis, yang mungkin muncul sebagai cabang terpisah

dari arteri penis kummunis, berjalan didalam corpus spongiosum di sisi ventrolateral dari urethra dan

berakhir di glans penis. Arteri dorsalis penis adalah terusan dari arteri penis kommunis dan umumnya
memiliki arah yang konstan. Arteri ini berjalan sepanjang bagian dorsum penis diantara vena dorsalis

profunda disebelah medial dan nervus dorsalis penis di sebelah lateal. Arteri ini membentuk 3-10

cabang sirkumfleksa yang berjalan bersama vena sirkumfleksa mengelilingi permukaan lateral dari

korpus penis. Bagian proksimal dari arteri sirkumfleksa dapat berkontribusi kepada suplai darah

menuju korpus spngiosum dan uretra. Terkadang, cabang dari arteri doralis penis menembus tunika

albuginea untuk memberikan suplai darah ke jaringan erektil. Arteri dorsalis penis berakhir pada

glans penis, yang berkontribusi pada suplai darah ganda ke korpus spongiosum, yang penting pada

pembedahan rekonstruksi uretra. Cabang terakhir dari arteri penis kommunis adalah arteri

kavernosa. Arteri ini masuk ke korpus kavernosa pada hillum dan berjalan sepanjang shaft penis,

memberikan suplai darah ke banyak arteri helicine yang menyediakan suplai darah ke apparatus

erektil dari penis. Arteri cavernosa dapat berasal dari arteri pudenda aksesorius, dan variasi dapat

terjadi pada sejumlah arteri dan konfigurasinya.. dapat terjadi komunikasi antara arteri cavernosa

pada midline sebelum masuk ke korpus penis atau sebuah cabang dapat masuk ke korpus pada sisi

yang berlawanan. Terkadang sebuah arteri akan bercabang pada shaf penis untuk mensuplai darah

ke kedua sisi (Gambar II.7). 11

Gambar II.7 Pembuluh darah dorsal penis11


Vena yang berasal dari glans penis membentuk pleksus retrocoronal yang bermuara pada

tiga sampai lima vena besar yang menuju vena dorsalis profunda, yang berada di dalam fasia Buck’s

disebelah superior tengah dari korpus penis. Vena dorsalis profunda di sebelah proksimal melewati

ligamentum suspensarium dan kemudian dibalik symphisis pubis untuk bergabung dengan pleksus

prostatika (pleksus Santorini). Sepanjang shaft penis, vena dorsalis menerima drainase darah dari

jaringan erektil. Vena emisaria muncul dari jaringan vena subtunika mengikuti arah perpendikular

atau oblik menuju tunika albuginea. Vena-vena ini muncul dari permukaan lateral atau dorsal dari

korpora kavernosa dan menuju vena sirkumfleksa atau langsung menuju vena dorsalis profunda.

Vena sircumfleksa berada pada dua-pertiga sebelah distal dari penis. Vena-vena ini berasal dari

korpus spongiosum dan berjalan transversal pada sisi lateral dari korpora, melewati dibawah arteri

dorsalis dan nervus dorsalis menuju vena dorsalis profunda. 11


Vena-vena emisaria pada sepertiga proksimal dari korpora bergabung untuk membentuk

beberapa trunkus vena pada permukaan dorsomedial dari masing-masing krus penis. Vena-vena ini

berkonsolidasi menjadi satu atau lebih vena cavernosa pada masing-masing sisi, membentuk arteri

cavernosa profunda dan medial dan nervus pada hilum penis. Vena-vena ini menuju pleksus

prostatikus atau berjalan ke lateral diantara bulbus penis dan krus penis sekitar 2-3 cm sebelum

bergabung dengan vena pudenda interna. Tiga atau empat vena-vena crural kecil muncul dari

permukaan dorsolateral dari masing-masing krus dan menuju ke vena pudenda interna ipsilateral.

Vena pudenda interna berjalan bersama dengan arteri pudenda interna dan nervus pudendus

didalam kanal Alcock’s dan menuju vena iliaka interna. 11


Nervus pudendus menyediakan persyarafan somatik motorik dan sensorik untuk penis

(Gambar II.8). Nervus ini memasuki perineum bersama arteri dan vena pudenda interna melalui

foramen sciatica minor pada sisi posterior dari fossa ischiorectal. Bersama-sama berjalan melalui

kanalis Alcock’s ke batas posterior dari membran perineum. Pada tiap sisi nervus dorsalis muncul

sebagai cabang pertama dari nervus pudendus di dalam kanalis Alcock’s. Di sebelah distal nervus-

nervus ini berlanjut menuju bagian dorsal dari korpora. Fascicles multipel menyebar keluar dari
nervus dorsalis sepanjang shaft peni, memberikan suplai persyarafan untuk permukaan tunika

albuginea, kulit dan glans penis. 11

Gambar II.8 Nervus pudendus11

II.2 Patofisiologi Trauma Penis


Trauma tajam genitalia externa sering berhubungan dengan injuri yang kompleks kepada

organ lain. Pada anak-anak, trauma tajam pada genitalia externa sering terlihat pada kasus laserasi

kulit genitalia setelah terjatuh ke atas benda tajam. Pada semua kasus trauma tajam, status imunisasi

tetanus pasien harus jelas. Booster imunisasi tetanus direkomendasikan pada pasien dengan riwayat

imunisasi tetanus terakhir lebih dari 10 tahun sebelum kejadian. Karena booster tetanus tidak

memproteksi pada saat trauma, tidak diperlukan pemberian tetanus toxoid pada kasus trauma akut.

Hal ini berlawanan dengan rekomendasi World Health Organization yang menyatakan bahwa booster

tetanus toxoid sebaiknya diberikan pada pasien luka terbuka bila imunisasi tetanus trakhir pasien

lebih dari 5 tahun sebelum kejadian. Tetanus imunoglobulin hanya diberikan pada pasien trauma

tang sebelumnya belum menerima imunisasi tetanus. 2


Meningkatnya kekerasan domestik diseluruh dunia juga meningkatkan angka trauma tusuk

atau trauma tembak pada traktus genitourinarius. Luas injuri pada trauma tembak berhubungan

dengan kaliber dan kecepatan tembak dari peluru. Luka tembak diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Trauma penetrasi dengan peluru velositas rendah, sering proyektil masih berada pada

jaringan, menghasilkan luka yang kecil dengan tepi yang kasar.

2. Luka tembak perforasi, sering terlihat pada peluru dengan velositas rendah sampai tinggi.

Pada kasus ini, peluru menembus jaringan dengan luka masuk yang kecil dan luka keluar yang

besar.

3. Luka tembak avulsi adalah luka serius yang disebabkan oleh peluru dengan velositas tinggi,

dengan luka masuk yang sesuai ukuran kaliber tetapi meninggalkan defek jaringan yang besar

pada luka keluar.2

Walaupun kasus gigitan hewan adalah kasus yang umum, gigitan hewan atau manusia adalah

penyebab trauma tajam genitalia yang sangat jarang, dan berhubungan dengan resiko tinggi

terjadinya infeksi.Gigitan hewan terutama pada kelamin laki-laki adalah jarang dengan 60%-70%

adalah anak laki-laki berumur dibawah 15 tahun. Kurang lebih 30% luka gigitan hewan sudah

menunjukkan tanda-tanda infeksi pada 48 jam pertama setelah gigitan. Bakteri yang umum terlibat

pada kasus gigitan anjing adalah Pasteurella multocida, tercatat sebesar 50% dari seluruh infeksi

karena gigitan anjing, sedangkan Escherichia coli, Streptococcus viridan dan Staphilococcus aureus

memiliki angka yang lebih rendah. Pada kasus gigitan hewan, kemungkinan infeksi rabies harus selalu

dipikirkan. Pada kasus gigitan hewan domestik dengan kemungkinan infeksi rabies, vaksinasi harus

diberikan untuk mencegah infeksi yang mengancam nyawa. Angka kematian karena rabies di seluruh

dunia diperirakan sekitar 55.000 pada tahun 2004. Paling banyak di daerah pedesaan di Afrika dan

Asia. Selain vaksinasi, manajemen lokal pada luka adalah penting. Vaksinasi dengan human rabies

immunoglobulin dan vaksin human diploid cell direkomendasikan. 2


Amputasi penis adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan

sirkumsisi.sirkumsisi adalah suatu prosedur pembedahan yang umum dilakukan. Tetapi, karena

sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang tidak berpengalaman di rumah, rumah sakit

maupun sirkumsisi massal dengan jumlah pasien yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang

singkat maka angka komplikasi sirkumsisi cukup besar. 7,8,9Rate komplikasi pada tindakan sirkumsisi
pada bayi baru lahir sebesar 0,2% sampai 3%. Perdarahan dan infeksi adalah komplikasi ringan yang

paling sering dilaporkan. Komplikasi sirkumsisi yang paling serius adalah injuri pada urethra atau

teramputasinya glans penis atau sebagian atau seluruh bagian dari shaf penis. Parsial amputasi dari

glans penis dilaporkan pada teknik sirkumsisi menggunakan teknik guilotine dimana kulit preputium

ditarik dan di klem disebelah distal dari ujung glans dan dieksisi diantara glans dan klem tersebut.

Dengan teknik ini, amputasi penis dapat terjadi jika operator secara tidak sengaja menempatkan

klem di glans penis.8Pernyataan dan rekomendasi EAU tahun 2012 mengenai tindakan sirkumsisi

dapat dilihat pada Tabel II.1.

Tabel II.1 Pernyataan dan rekomendasi EAU tahun 2012 mengenai tindakan sirkumsisi 12

Pernyataan
 Sirkumsisi adalah tindakan yang umum dilakukan
 Rate komplikasi berbeda-beda pada setiap negara
 Kebanyakan kompliasi karena sirkumsisi adalah komplikasi minor dan
mudah diterapi
Rekomendasi GR
 Sirkumsisi, pada semua umur, harus dilakuka n oleh profesional yang A
berpengalaman dengan menggunakan analgesia yang tepat dan kondisi
yang steril A
 Komplikasi yang berat dari tindakan sirkumsisi membutuhkan pembedahan
rekonstruksi dan harus dirujuk pada pusat Urologi
GR = grade of recommendation

Trauma karena gigitan manusia pada genitalia eksterna memiliki kemungkinan infeksi yang

lebih luas dengan resiko infeksi menular seksual tambahan, seperti syphilis, hepatitis, HIV, herpes,

actinomycosis, atau tuberculosis.2


Seri laporan kasus terbesar mengenai pembedahan replantasi penis pada literatur urologi

adalah serial kasus amputasi penis pada tahun 1970an, dimana kurang lebih 100 pria di Thailand

mengalami amputasi penis oleh istri mereka menggunakan pisau dapur ketika pria-pria tersebut tidur

dikarenakan pria-pria tersebut berselingkuh. Delapan belas pasien ini dilakukan replantasi penis. 10

II.3 Diagnosis
Diagnosis trauma tajam khususnya amputasi penis dapat terlihat jelas dari pemeriksaan fisik.

Dari anamnesa harus diketahui tentang tipe trauma, berapa lama trauma tersebut telah berlangsung
dan alat penyebab amputasi penis tersebut. Adanya darah pada meatus urethra mengindikasikan

bahwa ada trauma pada uretra. Tetapi, ketiadaan darah pada meatus tidak serta-merta

menghilangkan kemungkinan terjadi trauma pada uretra. Pada trauma tembus yang disebabkan oleh

tembakan, kaliber peluru dan dapat membantu menentukan luas dan jalur kerusakan. Retrograde

urethrography, dan sistoskopi, mungkin dapat berguna, tetapi ahli urologi harus waspada untuk

kemungkinan urethrogram yang negatif palsu karena adanya bekuan darah yang mencegah adanya

ekstravasasi. Skala trauma tajam penis menurut American Association for the Surgery of Trauma

dapat dilihat pada Tabel II.2.13

Tabel II.2 Skala trauma organ untuk trauma penis menurut American Association for the Surgery of

Trauma (AAST). 13

Grading AAST Trauma penis


I Laserasi kutaneus atau kontusio
II Laserasi sedalam fasia Buck’s (cavernosum) tanpa hilangnya jaringan
III Avulsi kutaneus, laserasi sampai glans atau meatus, atau defek uretra atau

IV cavernosa <2cm
V Penektomi parsial; atau defek uretra atau cavernosa >2cm
Penektomi total

Perhatian awal yang juga harus diberikan adalah mengenai preservasi bagian penis yang

teramputasi. Sebaiknya diketahui berapa lama penis telah teramputasi, dan teknik penempatan

bagian penis tang teramputasi. Hipotermia memperpanjang waktu survival semua jaringan. Respon

terhadap hipotermia pada jaringan penis belum dipelajari, tetapi penis dapat sukses direplantasi

setelah 18 jam setelah kejadian, yaitu sesuai waktu hipotermik ischemia. 2

II.4 Manajemen Amputasi Penis


Pada saat datang, pasien amputasi penis harus dilakukan stabilisasi keadaan umum dengan

resusitasi cairan yang agresif, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, dan tranfusi darah jika terjadi

kehilangan darah yang ekstensif. Pasien sebisa mungkin di bawa pada pusat medis yang dapat

melakukan pembedahan mikrovaskuler, karena pembedahan mikrovaskular memiliki hasil yang lebih

baik.14,15,16Manajemen akut dari amputasi penis melibatkan resusitasi pasien dimana keadaan umum

pasien mungkin menurun dikarenakan kehilangan darah dan persiapan untuk reimplantasi penis jika
bagian penis yang teramputasi didapatkan dan tidak mengalami kerusakan parah. Tindakan

reimplantasi harus dipertimbangkan pada semua pasien dan harus dilakukan dalam 24 jam pertama

setelah kejadian amputasi penis. Jika amputasi terjadi pada saat episode psikotik, konsultasi

dukungan psikiatri sangat dibutuhkan. 12


Menurut guidelines European Association of Urology tahun 2013 mengenai trauma tajam

penis, direkomendasikan dilakukan eksplorasi secara pembedahan dan debridemen jaringan

nekrotik. Bahkan pada trauma tajam penis yang terbatas, penjahitan primer dari jaringan yang rusak

dapat menghasilkan penyembuhan yang baik karena banyaknya suplai darah penis. Karena elastisitas

dari kulit penis cukup baik, hilangnya kulit dalam jumlah sedang biasanya dapat teratasi dengan baik,

walaupun pada trauma yang luas dan kehilangan jaringan kulit yang luas memerlukan manajemen

yang lebih sulit. Jaringan yang digunakan untuk rekonstruksi pasca trauma harus memiliki

kemampuan menutup yang baik dan cocok digunakan untuk rekonstruksi. Teknik split thickness skin

grafing menyediakan kemampuan menutup yang baik dan durabilitasnya baik tetapi teknik ini lebih

mudah terjadi kontraksi, sehingga penggunaannya pada batang penis harus seminimal mungkin.

McAnich et al. merekomendasikan penggunaan ketebalan skin graf setidaknya 0,015 inchi (0,4 mm)

dengan tujuan untuk mengurangi resiko kontraksi. Full thickness skin grafyang digunakan pada

batang penis memberikan kemungkinan kontraksi yang lebih kecil, kosmetik yang lebih baik, dan

lebih resisten pada trauma hubungan seksual. Donor dapat diambil dari perut, pantat, paha maupun

axilla, dengan dipilih berdasarkan pilhan ahli urologi dan tipe trauma. 12
Bagian penis yang teramputasi harus dicuci dengan cairan saline steril, dibungkus dengan

kasa yang dibasahi cairan salin, diletakkan pada kantong steril dan kantong tersebut direndam dalam

air es. Penis tidak boleh bersentuhan langsung dengan es. Bebat tekan atau torniquet harus

diletakkan pada penis yang teramputasi untuk mencegah kehilangan darah masif. Reimplantasi dapat

dicapai dengan cara non-pembedahan mikro, tetapi teknik ini memberikan rate striktur uretra yang

lebih tinggi dan kehilangan sensasi. Hasil yang terbaik dihasilkan dengan teknik reimplantasi dengan

pembedahan mikro. Pertama korpora cavernosa dan urethra di sejajarjan dan diperbaiki, kemudian

arteri dorsalis penis, vena dorsalis penis dan nervus dorsalis dengan menggunakan mikroskop. Arteri
cavernosa umumnya terlalu kecil untuk dilakukan anastomose. Fasia dan kulit ditutup lapis demi

lapis, dan dipasang kateter uretra dan kateter suprapubis. Jika bagian penis yang teramputasi tidak

dapat ditemukan, atau tidak dapat dilakukan reimplantasi, maka ujung penis yang teramputasi

ditutup seperti tindakan penektomi parsial. Rekonstruksi lebih lanjut dapat dilakukan untuk

memperpanjang penis dengan teknik pembagian ligamentum suspensarium dan v-y plasty,

pembentukan pseudo-glans dengan split thickness skin grafing. 12


Prosedur pebedahan rekonstruksi besar yaitu phaloplasty (baik dengan arteri radialis atau

arteri pubis) terkadang dibutuhkan pada trauma yang menyisakan sedikit jaringan penis atau stump

penis yang tidak berfungsi. 12


Untuk melakukan tindakan replantasi, pertama dilakukan kontrol vaskular pada basis dari

tepi potongan sebelah proksimal dari corpora (Gambar II.9). tergantung dari hebat perdarahan,

kompresi lokal secara manual dengan kasa atau torniquet dengan penrose drain mungkin

dibutuhkan. Setelah perdarahan terkontrol, tunika albuginea dari korpora kavernosa kemudian di

reaproksimasi dengan jahitan terputus menggunakan polyglactin (vicryl) 3-0 dengan tiga atau empat

jahitan melewati septum mediana untuk stabilisasi. Arteri-arteri cavernosa tidak perlu dilakukan

reanastomosis karena sulit dan tidak meningkatkan outcome. Tepi proksimal dan distal urethra

kemudian di mobilisasi menjauhi korpora dan kemudian dispatulasi. Kemudian urethra

direanastomose diatas kateter foley terbuat dari silikon dengan ukuran 16Fr dengan jahitan terputus

menggunakanpolydioxanone (maxon atau PDS) berukuran 5-0 satu lapis. Kemudian dilakukan diversi

urin melalui suprapubik untuk penyembuhan urethra (Gambar II.10).14


Gambar II.9 Kontrol vaskular pada basis dari tepi potongan sebelah proksimal dari corpora dan

spatulasi dari urethra. 14

Gambar II.10 Reanastomosis korpora, septum mediana, dan urethra 14


Jika penis telah dilakukan stabilisasi, reanastomosis secara mikrovaskular dapat dilakukan.

Pertama, vena dorsalis profunda direanastomosis dengan menggunakan nylon atau polypropylene

(prolene) berukuran 11-0. Anastomosis ini harus paten untuk mencegah edema korporeal,

pembengkakan dan edema lanjutan. Kedua, paling tidak satu, lebih baik keduanya, arteri dorsalis

penis dilakukan reaproksimasi secara end-to-end dengan cara yang sama seperti pada vena, yang

akan dengan segera mengembalikan aliran darah ke jaringan subkutaneus dan mencegah nekrosis

kulit postoperatif (Gambar II.11). Aliran darah pada arteri dorsalis diperiksa dengan Doppler sebelum

pasien meninggalkan ruang operasi. Terakhir, sebanyak mungkin serat syaraf diidentifikasi kemudian

dilakukan reaproksimasi dengan nylon atau polypropylene pada epineurum, sehingga memudahkan

fasikulus serabut syaraf terjadi penyembuhan sekunder. 14

Gambar II.11 Penyambungan mikrovaskular dari pembuluh dara dorsal penis 14


Berdasarkan dari tingkatan kulit penis yang teramputasi, tepi kulit direaproksimasi dengan

jahitan terputus menggunakan benang chromik 4-0 atau split thickness skin graf diletakkan diatas

kulit yang hilang. Jika kedua cara tersebut tidak dapat dilakukan, tindakan terakhir adalah dengan

menanam penis pada terowongan subcutaneus di skrotum (modified Cecil technique), yang

membutuhkan pembedahan rekonstruksi kedua. Sangat penting bahwa anastomose vaskular harus

ditutup untuk mencegah thrombosis pembuluh darah yang mengakibatkan kegagalan replantasi.

Yang terakhir, penis dibungkus dengan pembungkus yang longgar dan diberi splint eksternal yang

memudahkan drainase vena dan limfatik (Gambar II.12). 14

Gambar II.12 penyambungan kembali penis yang komplit

Jika pasien tidak memiliki akses menuju pusat kesehatan dengan kemampuan pembedahan

mirovaskular, dapat dilakukan pembedahan dengan teknik makrovaskular. Teknik ini sub obtimal,

tetapi ini merupakan pilihan yang lebih baik dari pada tidak melakukan tindakan penyambungan

kembali dan hanya melakukan penile stump. Seringkali vena dorsalis dapat dilakukan reanastomosis,

beserta kulit penis dan glans penis. Jika replantasi penis tidak dapat dilakukan, maka penile stump

dapat ditutup seperti pada tindakan penektomi parsial elektif. Tindakan free forearm phalloplasty

dapat dilakukan kemudian menurut permintaan pasien. 14Telah disepakati bahwa teknik pembedahan

mikrosurgical memiliki hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan teknik nonmikrosurgical dalam

kasus amputasi penis. Metode mikroskopis menyedakan sirkulasi yang lebih baik untuk

penyembuhan luka dan menurunkan resiko komplikasi. Tetapi, teknik mikrosurgical membutuhkan
alat, instrumen dan pelatihan yang yang tidak banyak tersedia. Razzaghi dkk melaporkan bahwa

teknik pembedahan makrovaskular juga memiliki hasil kosmetik dan fungsi yang cukup

baik.17Naraysingh dkk melaporkan keberhasilan tindakan replantasi penis pada laki-laki kelainan

mental berumur 24 tahun menggunakan kaca pembesar loupe dengan pembesaran 4,5x dalam

mengembalikan fungsi erektil penis tanpa kehilangan jaringan dan dalam follow up selama 20 tahun

tidak terdapat komplikasi.18


Pada amputasi penis yang terjadi karena komplikasi tindakan sirkumsisi dengan teknik

guilotine, level amputasi sangat penting dalam manajemen terapi. Jika amputasi penis berada pada

shaf penis, direkomendasikan dilakukan replantasi dengan teknik mikrovaskular; walaupun terdapat

beberapa laporan kasus yang sukses melakukan tindakan replantasi dengan menggunakan teknik

makrosurgical. .jika terjadi amputasi glans penis parsial, jaringan yang tereksisi harus dipreservasi

dan segera dilakukan penjahitan dan tindakan memperbaiki dengan teknik mikroskopis tidak

dibutuhkan. Jika tindakan pembedahan dilakukan dalam 8 jam setelah kejadian, penis sembuh

dengan baik pada sebagian besar kasus. Tindakan anastomotic urethroplasty umumnya tidak tepat

jika dilakukan di glans penis karena eksisi dan reanastomosis pada uretra di bagian glans penis akan

mengakibatkan pemendekan uretra setidaknya 1 cm, yang mana cukup dapat mengakibatkan

terjadinya chordee.8
Manajemen postoperatif harus meliputi setidaknya 2 hari bedrest dan antibiotik spektrum

luas selama 2 hari postoperatif. Setelah 2 minggu stent urethral, catheter foley dapat dilepas setelah

dilakukan retrograde urethrogram pericateter atau voiding cystourethrogram memastikan telah

terjadi anastomosis, kemudian kateter suprapubis dapar dilepas setelah beberapa hari berkemih

secara normal. Selain manajemen pembedahan, Departemen Psikiatri harus terlibat dalam

perawatan pasien postoperatif. Pada kasus mutilasi genital oleh pasien sendiri, pasien biasanya

bersikap irasional sehingga status mental pasien harus dikendalikan. Juga terdapat rate bunuh diri

yang lebih tinggi pada pasien mutilasi genital dan pasien seperti ini harus dimonitor secara ketat oleh

Departemen Psikiatri.14
Oksigen memerankan peran yang penting dalam proses fisiologis penyembuhan luka. Terapi

oksigen hiperbarik dapat meningkatkan tekanan oksigen di jaringan yang dapat membantu dalam

proses penyembuhan. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi dimana pasien bernapas dengan udara

yang mengandung oksigen 100% pada lingkungan yang bertekanan paling tidak 1,4 atmosfer.

Tindakan skin graf dan flaps yang terganggu proses penyembuhannya dapat diterapi dengan terapi

oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik juga meningkatkan angiogenesis dan menstimulasi

proses proliferasi dari fibroblast, meningkatkan sirkulasi dan tingkat oksigen di jaringan untuk

mendapatkan penyembuhan luka yang lebih baik. 8


BAB III
LAPORAN KASUS

III.1 Kasus pertama:


Laki-laki 42 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat RSUD. Dr. Soetomo dengan trauma

penis, tentamen suicide dan intoksikasi bayclin (cairan pembersih). pasien mengiris batang penis dan

tangan dengan menggunakan pisau serta meminum bayclin 12 jam sebelum masuk Instalasi Rawat

Darurat RSUD. Dr. Soetomo karena merasa mendapat bisikan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah

pasien mengiris batang penis dan tangan serta meminum bayclin, pasien dibawa ke RS Islam

Kalianget Sumenep. Di RS Islam Kalianget Sumenep dilakukan bilas lambung dan jahit luka di tangan

serta dipasang kateter kemudian dirujuk ke Instalasi Rawat Darurat RSUD. Dr. Soetomo. Pasien sejak

ditinggal istrinya (4 tahun sebelum masuk Rumah Sakit) sering merasa ketakutan dan merasa mau

dibunuh serta sering mendapat bisikan-bisikan gaib.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang baik dengan tekanan darah 110/80

mmHg, Nadi 88 kali per menit, nafas 20 kali per menit dan suhu rektal 37 °C. Dari pemeriksaan status

lokalis regio antebrachii kanan didapatkan vulnus scissum ukuran panjang 5 cm terjahit. Dari

pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan pasien telah tersirkumsisi, terpasang kateter urin

berukuran 16 Fr dengan produksi urin 300 cc per 4 jam berwarna kuning jernih. Didapatkan vulnus

schissum melingkar di penis bagian proksimal dengan kesan korpora cavernosa yang intak, serta

didapatkan uretra dan kateter terekspos (Gambar III.1).


Dari pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 10,9 g/dL leukosit 17,1 x

103/uL, trombosit 271 x 103 /uL, hematokrit 31,5%. Fungsi ginjal BUN 10,7 mg/dL dan serum

kreatinin 1 mg/dL. Kadar gula darah acak 115 mg/dL. Dari pemeriksaan serum elektrolit didapatkan

Natrium 136 mEq/L dan Kalium 4,7 mEq/L. Dari pemeriksaan urialisis didapatkan berat jenis urin

lebih dari 1,030, pH urine 5,5, protein urin +3, sedimen eritrosit 5-10 per lapangan pandang. Hasil

pemeriksaan fungsi hati dan faal hemostasis dalam batas normal.Pemeriksaan radiologi foto thorak

dalam batas normal.


Hasil konsultasi antar departemen didapatkan: dari Departemen Psikiatri didiagmosa dengan

skizophrenia paranoid dan tentamen suicide; dan dari Departemen Penyakit Dalam didiagnosa
dengan intoksikasi bayclin. Dari Departemen Psikiatri dilakukan psikoedukasi dan terapi oral dengan

stellazine 5 mg dua kali sehari. Dari Departemen Penyakit Dalam dilakukan terapi suportif, diet tinggi

kalori tinggi protein, dan hindari kumbah lambung. Dari Departemen Urologi didiagnosa dengan

trauma tajam penis grade IV dengan diagnosa sekunder tentamen suicide, vulnus scissum regio

antebrachii kanan, skizophrenia paranoid, dan intoksikasi bayclin.


Pada penderita ini dilakukan repair penis dan uretroplasty. Setelah dipasang kateter silikon

berukuran 16 Fr dilakukan eksplorasi penis (Gambar III.2). Didapatkan ruptur parsial uretra pars

pendulare. Pada bagian dorsal penis didapatkan vulnus di dua tempat pada pangkal penis : 2 cm dan

vulnus schisum pada shaft penis sirkumferensial sedalam tunika albuguinea. Dilakukan jahit urethra

dg PDS 6.0. Dilakukan jahit corpus cavernosum. Dilakukan tes ereksi, tidak didapatkan kebocoran dari

corpus cavernosum. Dilakukan jahit vulnus scissum di bagian dorsal penis (Gambar III.3). Dilakukan

bebat luka operasi. Pada evaluasi 1 minggu setelah operasi tidak didapatkan keluhan miksi dan

keluhan ereksi. Bebat luka dilepas hari ke 4 paska operasi. Kateter dilepas hari ke 10 paska operasi.

Gambar III.1 Pemeriksaan fisik penis saat pertama datang ke IRD RSUD. Dr Soetomo
Gambar III.2 Eksplorasi penis

Gambar III.3 Pasca dilakukan repair penis dan urethroplasty

III.2 Kasus Kedua:


Laki-laki berumur 7 tahun datang ke Instalasi Rawat Darurat RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

dengan keluhan penis terpotong. Penis terpotong secara tidak sengaja oleh petugas paramedis ketika

melakukan tindakan sirkumsisi dengan teknik guillotine menggunakan alat kauter 45 menit sebelum

masuk rumah sakit. Ujung penis yang terpotong tidak diletakkan pada cairan salin dan terbungkus

dengan kantong es steril.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak baik, dengan status

generalis dalam batas normal. Dari pemeriksaan status urologis tidak didapatkan nyeri pinggang,

massa di pinggang maupun nyeri ketok pinggang. Dari pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan

penis teramputasi 0,5 cm sebelah proksimal dari sulkus koronarius. Terdapat tanda-tanda luka bakar

pada ujung luka. Terdapat perdarahan aktif dari corpora cavernosa dan vasa dorsalis penis (Gambar

III.4). Dari pemeriksaan amputat penis didapatkan amputat berwarna merah, tampak glans penis,

sulcus coronarius, dan preputium, belum tampak nekrotik, tampak luka bakar di tepi potongan

(Gambar III.5).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,1 g/dl; leukosit darah 7.900 /ul; dan

trombosit darah 382 x 10 3 /uL; gula darah acak 119 mg/dl; BUN 8,1 mg/dl; kreatinin serum 0,37

mg/dl; albumin darah 4,43;g/dl. Pemeriksaan faal hemostatasis dan serum elektrolit dalam batas

normal. Dari pemeriksaan foto polos dada tidak didapatkan kelainan.


Pada saat operasi ditemukan amputasi penis sampai dengan sulkus koronarius, kulit penis

tampak luka bakar, tampak tepi corpus cavernosa luka bakar, arteri dan vena dorsalis penis tampak

viabel. Pada pemeriksaan amputat penis didapatkan adanya punctum distal arteri dan vena dorsalis

penis; corpora kavernosa dan spongiosum. Dilakukan nekrotomi, debridemen dan freshening tepi

luka operasi. Dilakukan pembebasan korpora cavernosa dari spongiosum, dilakukan end to end

anastomosa uretra dengan spatulasi proksimal dan distal, pasang kateter Foley silikon dengan ukuran

8 Fr kemudian dilakukan penjahitan urethra dengan benang PDS 6.0 jahitan terputus. Dilakukan

penjahitan tunika albuginea dari korpus cavernosa dengan benang vicryl 4.0 jahitan terputus

(Gambar III.6). Kemudian dilakukan end to end anastomosis arteri, vena, dan nervus dorsalis penis

dengan teknik mikroreplantasi (Gambar III.7). Dilakukan evaluasi patensi arteri dan vena dorsalis dan

didapatkan arteri dan vena dorsalis penis paten. Kemudian dilakukan penjahitan kulit (Gambar III.8).
Paska operasi dilakukan heparinisasi dengan heparin 1000 IU perjam selama 6 jam pertama,

injeksi cefriaxon 2x500 mg, injeksi antrain 3x500 mg, drip pentoxifilin 3x0,5 ampul, drip complamin

3x0,5 ampul. Dilakukan penghangatan dengan lampu kurang lebih 30cm dari permukaan penis. Saat

diruangan dilakukan terapi oksigen hiperbarik 6 kali. Evaluasi 10 hari paska operasi didapatkan
sebagian amputat nekrotik. Glans penis proksimal dekat sulkus koronarius tampak viabel sedangkan

glans penis sebelah distal tampak nekrotik. Evaluasi 13 hari paska operasi didapatkan seluruh

amputat nekrotik. Tujuh hari paska evaluasi kedua dilakukan debridemen dan nekrotomi amputat

penis yang nekrotik. Dilakukan jahit korpus kavernosa dan meatus uretra dengan mukosa sekitar.

Gambar III.4 Genitalia eksterna

Gambar III.5 Amputat penis


Gambar III.6 End to end anastomosis urethra

Gambar III.7 Anastomosis arteri, vena, dan nervus dorsalis penis dengan teknik
mikrosurgery

Gambar III.8 Paska operasi replantasi penis


BAB IV
PEMBAHASAN

Amputasi penis adalah suatu kasus yang jarang ditemukan. 1 Amputasi penis dapat ditemui

pada pasien yang melakukan emaskulasi diri sendiri pada individu-individu psikotik yang

melakukannya sebagai respon terhadap halusinasi yang dialaminya. 5 Selain itu, amputasi penis juga

merupakan komplikasi dari tindakan sirkumsisi. Seri laporan kasus terbesar mengenai pembedahan

replantasi penis pada literatur urologi adalah serial kasus amputasi penis pada tahun 1970an, dimana

kurang lebih 100 pria di Thailand mengalami amputasi penis oleh istri mereka menggunakan pisau

dapur ketika pria-pria tersebut tidur dikarenakan pria-pria tersebut berselingkuh. 10 Enam puluh

sampai delapan puluh persen pasien amputasi penis menunjukkan gejala psikotik saat kejadian,

dengan 51% berada pada status schizophrenik yang dekompensasi. Kelompok lain adalah individu-

individu dengan kelainan karakter parah atau pada beberapa kasus mengalami masalah identitas

gender. Ada beberapa individu yang pada serangan psikotik pertama akan berusaha mengamputasi

penis atau bagian tubuh yang lain dibawah pengaruh halusinasi yang memerintahkan individu

tersebut untuk mengamputasi seluruh genitalia nya. 2Pada pasien pertama, amputasi penis dilakukan

oleh pasien sendiri setelah pasien mendapatkan bisikan-bisikan (halusinasi) yang mengancam diri

penderita. Dari wawancara psikiatri didapatkan pasienstres setelah bercerai dengan istrinya.

Penderita merasa ketakutan dan mendapatkan bisikan untuk mengakhiri hidup penderita dengan

cara meminum cairan pembersih, memotong urat nadi tangan kirinya dan memotong penisnya.

Schizophrenia merupakan kelainan psikiatri yang serius yang membutuhkan terapi jangka panjang.

Skizophrenia tanpa terapi yang memadai dapat mengakibatkan komplikasi yang serius dan

mengancam nyawa. Yusuf et al melaporkan pasien dengan skizophrenia yang melakuka mutilasi penis

sendiri dikarenakan halusinasi perintah. 19 Faktor resiko yang berhubungan dengan mutilasi penis

pada penderita skizophrenia adalah ketiadaan figur pria yang kompeten di keluarga, figur ibu yang

terlalu mengontrol dan berperilaku masochistic pada putranya, pria berperilaku kewanita-wanitaan,

ketidakpercayaan diri, konflik seksual yang tidak terpecahkan, kegelisahan dan perasaan
bersalah.20Pada pasien kedua, penis terpotong secara tidak sengaja oleh petugas paramedis ketika

melakukan tindakan sirkumsisi dengan teknik guillotine menggunakan alat kauter 45 menit sebelum

masuk rumah sakit. Amputasi penis adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan

sirkumsisi. sirkumsisi adalah suatu prosedur pembedahan yang umum dilakukan. Tetapi, karena

sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang tidak berpengalaman di rumah, rumah sakit

maupun sirkumsisi massal dengan jumlah pasien yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang

singkat maka angka komplikasi sirkumsisi cukup besar. 7,8,9 Komplikasi sirkumsisi yang paling serius

adalah injuri pada urethra atau teramputasinya glans penis atau sebagian atau seluruh bagian dari

shaf penis. Parsial amputasi dari glans penis dilaporkan pada teknik sirkumsisi menggunakan teknik

guilotine dimana kulit preputium ditarik dan di klem disebelah distal dari ujung glans dan dieksisi

diantara glans dan klem tersebut. Dengan teknik ini, amputasi penis dapat terjadi jika operator

secara tidak sengaja menempatkan klem di glans penis. 8


Diagnosis trauma tajam khususnya amputasi penis dapat terlihat jelas dari pemeriksaan fisik.

Dari anamnesa harus diketahui tentang tipe trauma, berapa lama trauma tersebut telah berlangsung

dan alat penyebab amputasi penis tersebut. 13pada penderita pertama dari anamnesa didapatkan

bahwa penderita mengiris batang penis dan tangan dengan menggunakan pisau serta meminum

bayclin 12 jam sebelum masuk Instalasi Rawat Darurat RSUD. Dr. Soetomo karena merasa mendapat

bisikan untuk mengakhiri hidupnya. Penderita merupakan rujukan dari RS Islam Kalianget Sumenep.

Di RS Islam Kalianget Sumenep dilakukan bilas lambung dan jahit luka di tangan serta dipasang

kateter. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vulnus schissum melingkar di penis bagian proksimal

dengan kesan korpora cavernosa yang intak, serta didapatkan uretra dan kateter terekspos. Penderita

pada kasus pertama mengalami trauma penis derajat IV menurut skala trauma organ untuk trauma

penis menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST) dimana terjadi penektomi

parsial; atau defek uretra atau defek cavernosa lebih dari 2 cm. Pada pasien ini didapatkan ruptur

parsial uretra pars pendulare. Pada bagian dorsal penis didapatkan vulnus di dua tempat pada

pangkal penis : 2 cm dan vulnus schisum pada shaft penis sirkumferensial sedalam tunika albuguinea.
Pada kasus kedua, dari pemeriksaan genitalia eksterna didapatkan penis teramputasi 0,5 cm sebelah

proksimal dari sulkus koronarius. Terdapat tanda-tanda luka bakar pada ujung luka. Terdapat

perdarahan aktif dari corpora cavernosa dan vasa dorsalis penis. Dari pemeriksaan amputat penis

didapatkan amputat berwarna merah, tampak glans penis, sulcus coronarius, dan preputium, belum

tampak nekrotik, tampak luka bakar di tepi potongan. Pada kasus kedua penderita mengalami

trauma penis derajat V menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST)dimana

terjadi penektomi total.13Pada kasus kedua, amputat penis tidak dipreservasi dengan baik. Bagian

penis yang teramputasi harus dicuci dengan cairan saline steril, dibungkus dengan kasa yang dibasahi

cairan salin, diletakkan pada kantong steril dan kantong tersebut direndam dalam air es. Penis tidak

boleh bersentuhan langsung dengan es. 12


Manajemen akut dari amputasi penis melibatkan resusitasi pasien dimana keadaan umum

pasien mungkin menurun dikarenakan kehilangan darah dan persiapan untuk re-implantasi penis jika

bagian penis yang teramputasi didapatkan dan tidak mengalami kerusakan parah. Tindakan re-

implantasi harus dipertimbangkan pada semua pasien dan harus dilakukan dalam 24 jam pertama

setelah kejadian amputasi penis. Jika amputasi terjadi pada pasien psikosa dan pada saat episode

psikotik, konsultasi dukungan psikiatri sangat dibutuhkan. 12 pada pasien pertama tidak didapatkan

penurunan keadaan umum penderita yang dikarenakan kehilangan darah yang berat. Dari

pemeriksaan fisik penderita didapatkan keadaan umum yang baik dengan tekanan darah 110/80

mmHg, Nadi 88 kali per menit, nafas 20 kali per menit dan suhu rektal 37 °C. Dari pemeriksaan

genitalia eksterna didapatkan pasien telah tersirkumsisi, terpasang kateter urin berukuran 16 Fr

dengan produksi urin 300 cc per 4 jam berwarna kuning jernih. Dari pemeriksaan laboratorium

menunjukkan kadar hemoglobin 10,9 g/dL leukosit 17,1 x 10 3/uL, trombosit 271 x 103 /uL,

hematokrit 31,5%. Fungsi ginjal BUN 10,7 mg/dL dan serum kreatinin 1 mg/dL. Kadar gula darah acak

115 mg/dL. Dukungan psikiatri pada pasien ini juga telah didapatkan. Dari Departemen Psikiatri,

pasien ini didiagmosa dengan skizophrenia paranoid dan tentamen suicide dan dilakukan

psikoedukasi dan terapi oral dengan stellazine 5 mg dua kali sehari. Post operasi pasien dirawat di
bangsal psikiatri untuk pendampingan psikiatri yang lebih baik.Pada kasus kedua, pada pemeriksaan

fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak baik, dengan status generalis dalam batas normal.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,1 g/dl; leukosit darah 7.900 /ul; dan trombosit

darah 382 x 103 /uL; gula darah acak 119 mg/dl; BUN 8,1 mg/dl; kreatinin serum 0,37 mg/dl; albumin

darah 4,43;g/dl. Pemeriksaan faal hemostatasis dan serum elektrolit dalam batas normal.
Menurut guidelines European Association of Urology tahun 2013 mengenai trauma tajam

penis, direkomendasikan dilakukan eksplorasi secara pembedahan dan debridemen jaringan

nekrotik. Bahkan pada trauma tajam penis yang terbatas, penjahitan primer dari jaringan yang rusak

dapat menghasilkan penyembuhan yang baik karena banyaknya suplai darah penis. Karena elastisitas

dari kulit penis cukup baik, hilangnya kulit dalam jumlah sedang biasanya dapat teratasi dengan baik,

walaupun pada trauma yang luas dan kehilangan jaringan kulit yang luas memerlukan manajemen

yang lebih sulit. 12Pada kasus pertama dilakukan repair penis dan uretroplasty. Setelah dipasang

kateter silikon berukuran 16 Fr dilakukan eksplorasi penis. Didapatkan ruptur parsial uretra pars

pendulare. Pada bagian dorsal penis didapatkan vulnus di dua tempat pada pangkal penis : 2 cm dan

vulnus schisum pada shaft penis sirkumferensial sedalam tunika albuguinea. Dilakukan jahit urethra

dg PDS 6.0. Dilakukan jahit corpus cavernosum. Dilakukan tes ereksi, tidak didapatkan kebocoran dari

corpus cavernosum. Dilakukan jahit vulnus scissum di bagian dorsal penis. Dilakukan bebat luka

operasi. Pada evaluasi 1 minggu setelah operasi tidak didapatkan keluhan miksi dan keluhan ereksi.

Bebat luka dilepas hari ke 4 paska operasi. Kateter dilepas hari ke 10 paska operasi. Pada kasus

kedua, intraoperatif ditemukan amputasi penis sampai dengan sulkus koronarius, kulit penis tampak

luka bakar, tampak tepi corpus cavernosa luka bakar, arteri dan vena dorsalis penis tampak viabel.

Pada pemeriksaan amputat penis didapatkan adanya punctum distal arteri dan vena dorsalis penis;

corpora kavernosa dan spongiosum. Dilakukan nekrotomi, debridemen dan freshening tepi luka

operasi. Dilakukan pembebasan korpora cavernosa dari spongiosum, dilakukan end to end

anastomosa uretra dengan spatulasi proksimal dan distal, pasang kateter Foley silikon dengan ukuran

8 Fr kemudian dilakukan penjahitan urethra dengan benang PDS 6.0 jahitan terputus. Dilakukan
penjahitan tunika albuginea dari korpus cavernosa dengan benang vicryl 4.0 jahitan terputus.

Kemudian dilakukan end to end anastomosis arteri, vena, dan nervus dorsalis penis dengan teknik

mikroreplantasi. Dilakukan evaluasi patensi arteri dan vena dorsalis dan didapatkan arteri dan vena

dorsalis penis paten. Kemudian dilakukan penjahitan kulit. Pada amputasi penis yang terjadi karena

komplikasi tindakan sirkumsisi dengan teknik guilotine, level amputasi sangat penting dalam

manajemen terapi. Jika amputasi penis berada pada shaf penis, direkomendasikan dilakukan

replantasi dengan teknik mikrovaskular; walaupun terdapat beberapa laporan kasus yang sukses

melakukan tindakan replantasi dengan menggunakan teknik makrosurgical. .jika terjadi amputasi

glans penis parsial, jaringan yang tereksisi harus dipreservasi dan segera dilakukan penjahitan dan

tindakan memperbaiki dengan teknik mikroskopis tidak dibutuhkan. Jika tindakan pembedahan

dilakukan dalam 8 jam setelah kejadian, penis sembuh dengan baik pada sebagian besar kasus.

Tindakan anastomotic urethroplasty umumnya tidak tepat jika dilakukan di glans penis karena eksisi

dan reanastomosis pada uretra di bagian glans penis akan mengakibatkan pemendekan uretra

setidaknya 1 cm, yang mana cukup dapat mengakibatkan terjadinya chordee. 8Pada kasus kedua,

paska operasi dilakukan heparinisasi dengan heparin 1000 IU perjam selama 6 jam pertama, injeksi

cefriaxon 2x500 mg, injeksi antrain 3x500 mg, drip pentoxifilin 3x0,5 ampul, drip complamin 3x0,5

ampul. Dilakukan penghangatan dengan lampu kurang lebih 30cm dari permukaan penis. Saat

diruangan dilakukan terapi oksigen hiperbarik 6 kali. Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi dimana

pasien bernapas dengan udara yang mengandung oksigen 100% pada lingkungan yang bertekanan

paling tidak 1,4 atmosfer. Tindakan skin graf dan flaps yang terganggu proses penyembuhannya

dapat diterapi dengan terapi oksigen hiperbarik. Oksigen memerankan peran yang penting dalam

proses fisiologis penyembuhan luka. Terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan tekanan oksigen

di jaringan yang dapat membantu dalam proses penyembuhan. Terapi oksigen hiperbarik juga

meningkatkan angiogenesis dan menstimulasi proses proliferasi dari fibroblast, meningkatkan

sirkulasi dan tingkat oksigen di jaringan untuk mendapatkan penyembuhan luka yang lebih

baik.8Manajemen postoperatif harus meliputi setidaknya 2 hari bedrest dan antibiotik spektrum luas
selama 2 hari postoperatif. Setelah 2 minggu stent urethral, catheter foley dapat dilepas setelah

dilakukan retrograde urethrogram pericateter atau voiding cystourethrogram memastikan telah

terjadi anastomosis, kemudian kateter suprapubis dapar dilepas setelah beberapa hari berkemih

secara normal.14 Pada kasus kedua, evaluasi 10 hari paska operasi didapatkan sebagian amputat

nekrotik. Glans penis proksimal dekat sulkus koronarius tampak viabel sedangkan glans penis

sebelah distal tampak nekrotik. Evaluasi 13 hari paska operasi didapatkan seluruh amputat nekrotik.

Tujuh hari paska evaluasi kedua dilakukan debridemen dan nekrotomi amputat penis yang nekrotik.

Dilakukan jahit korpus kavernosa dan meatus uretra dengan mukosa sekitar.
BAB V
KESIMPULAN

Amputasi penis adalah suatu kasus di bidang Urologi yang cukup jarang didapatkan.

Amputasi penis dapat ditemui pada pasien yang melakukan emaskulasi diri sendiri pada individu-

individu psikotik yang melakukannya sebagai respon terhadap halusinasi yang dialaminya. Selain itu,

amputasi penis juga merupakan komplikasi dari tindakan sirkumsisi.sirkumsisi adalah suatu prosedur

pembedahan yang umum dilakukan. Tetapi, karena sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis

yang tidak berpengalaman di rumah, rumah sakit maupun sirkumsisi massal dengan jumlah pasien

yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang singkat maka angka komplikasi sirkumsisi cukup besar.

Enam puluh sampai delapan puluh persen pasien amputasi penis menunjukkan gejala psikotik saat

kejadian, dengan 51% berada pada status schizophrenik yang dekompensasi. Kelompok lain adalah

individu-individu dengan kelainan karakter parah atau pada beberapa kasus mengalami masalah

identitas gender. Ada beberapa individu yang pada serangan psikotik pertama akan berusaha

mengamputasi penis atau bagian tubuh yang lain dibawah pengaruh halusinasi yang memerintahkan

individu tersebut untuk mengamputasi seluruh genitalianya.


Diagnosis amputasi penis dapat terlihat jelas dari pemeriksaan fisik. Dari anamnesa harus

diketahui tentang tipe trauma, berapa lama trauma tersebut telah berlangsung dan alat penyebab

amputasi penis tersebut. Adanya darah pada meatus urethra mengindikasikan bahwa ada trauma

pada uretra. Tetapi, ketiadaan darah pada meatus tidak serta-merta menghilangkan kemungkinan

terjadi trauma pada uretra.


Menurut skala trauma organ untuk trauma penis menurut American Association for the

Surgery of Trauma (AAST), amputasi penis dibagi menjadi 5 derajat dimana derajat 1 adalah laserasi

kutaneus atau kontusio; derajat 2 adalah laserasi sedalam fasia Buck’s (cavernosum) tanpa hilangnya

jaringan; derajat 3 adalah avulsi kutaneus, laserasi sampai glans atau meatus, atau defek uretra atau

cavernosa kurang dari 2cm,; derajat 4 adalah penektomi parsial, atau defek uretra atau cavernosa

lebih dari 2cm; dan derajat 5 adalah penektomi total.


Manajemen akut dari amputasi penis melibatkan resusitasi pasien dimana keadaan umum

pasien mungkin menurun dikarenakan kehilangan darah dan persiapan untuk re-implantasi penis jika
bagian penis yang teramputasi didapatkan dan tidak mengalami kerusakan parah. Tindakan re-

implantasi harus dipertimbangkan pada semua pasien dan harus dilakukan dalam 24 jam pertama

setelah kejadian amputasi penis. Jika amputasi terjadi pada saat episode psikotik, konsultasi

dukungan psikiatri sangat dibutuhkan Menurut guidelines European Association of Urology tahun

2013 mengenai trauma tajam penis, direkomendasikan dilakukan eksplorasi secara pembedahan dan

debridemen jaringan nekrotik. Bahkan pada trauma tajam penis yang terbatas, penjahitan primer

dari jaringan yang rusak dapat menghasilkan penyembuhan yang baik karena banyaknya suplai darah

penis. Karena elastisitas dari kulit penis cukup baik, hilangnya kulit dalam jumlah sedang biasanya

dapat teratasi dengan baik, walaupun pada trauma yang luas dan kehilangan jaringan kulit yang luas

memerlukan manajemen yang lebih sulit. McAnich et al. merekomendasikan penggunaan ketebalan

skin graf setidaknya 0,015 inchi (0,4 mm) dengan tujuan untuk mengurangi resiko kontraksi. Full

thickness yang digunakan pada batang penis memberikan kemungkinan kontraksi yang lebih kecil,

kosmetik yang lebih baik, dan lebih resisten pada trauma hubungan seksual. Donor dapat diambil

dari perut, pantat, paha maupun axilla, dengan dipilih berdasarkan pilhan ahli urologi dan tipe

trauma. Karena luasnya spektrum trauma pada traktus genitourinari khususnya trauma amputasi

penis, maka membutuhkan manajemen khusus untuk penanganan pasien tersebut dan sangatlah

penting bagi ahli urologi untuk menguasai manajemen dari trauma ini. Prosedur rutin yang

terstandarisasi untuk menangani kondisi ini belum ada. Teknik pembedahan makrovaskular

direkomendasikan, karena teknik ini dapat dilakukan di semua rumah sakit dengan hasil yang cukup

baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. McAninch JW. Injuries to the Genitourinary Tract. In: Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s

General Urology, 17th ed. McGraw Hill;2008. P.278-296

2. Jordan GH. Management of Penile Amputation. In: Hohenfellner M; Santucci R.

Emergencies in Urology. Berlin: Springer-Verlag; 2007. P.270-274

3. Santucci RA, Bartley JM. Urologic Trauma Guidelines: a 21st Century Update. MedscapeCME

2010; 7: 510-519

4. Tasian GE, Bagga HS et al. Pediatric Genitourinary Injuries in the United States from 2002 to

2010. The Journal of Urology 2013; 189: 288-294

5. Morey AF, Dugi DD. Genital and Lower Urinary Tract Trauma. In: Wein, Alan et al. Campbell-

Walsh Urology Tenth Edition. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2012. P. 2507-2520

6. The Royal Australian College of Physician Paediatrics and Child Health Division. Circumcision

of Infant Males. September 2010

7. Sahin C, Toraman AR, Kalkan M. Complications of Circumcision, Our Experiences Over the

Last 15 Years. Eur J Gen Med 2011: 8(3): 176-181

8. Faydaci G, Ugur K et al. Amputation of Glans Penis: a Rare Circumcision Complication and

Succesful Management with Primary Anastomosis and Hyperbaric Oxygen Therapy. Korean J

Urol 2011; 52:147-149

9. Cuckow, Peter M. Circumcision. In: Stringer MD, Oldham KT, Mouriquand PD. Pediatric

Surgery and Urology. Ambridge University Press 2006. p.664-674

10. Ferguson GG, Brandes SB, Louis S. The Epidemic of Penile Amputation in Thailand in the

1970’s. The Journal of Urology 2008; 179(4)312-313

11. Angermeier, Kenneth. Surgical Anatomy of the Penis. In: Novick AC, Jones JS et al. Operative

Urology at the Cleveland Clinic. Humana Press 2006. P.377-384


12. Summertom DJ, Djakovic N et al. Guidelines on Urological Trauma. In: Summertom DJ,

Djakovic N et al. European Association of Urology Guidelines 2013 Edition. European

Association of Urology 2013. P. 66-71

13. Jabren GW, Hellstrom WJ. Trauma to the External Genitalia. In: Wessells H, McAninch JW.

Urological Emergencies A Practical Guide. Humana Press 2005. P.71-94

14. Ferguson GG, Brandes SB. Reconstruction for Genital Trauma. In: Montague D, Gill I,

Angermeier K, Ross JH. Textbook of Reconstructive Urologic Surgery. Informa Healthcare

2008. P. 657-667

15. Bhatt YC, Vyas KA, Srivastava RK, Panse NS. Microneurovascular Reimplantation in a Case of

Total Penile Amputation. Indian J Plast Surg 2008; 41(2):206-210

16. Yueh Wei C. Microsurgical Replantation of an Amputated Penis. CC Medical Journal 2011;

7(4): 67-71

17. Razzaghi MR, Rezaei A et al. Successful Macrosurgical Reimplantation of an Amputated Penis.

Urol J 2009; 6:306-314

18. Naraynsingh V, Harnarayan P, Hariharan S. Successful Penile Replantation using Loupe

Magnification. Int Urol Nephrol 2010;

19. Yusuf AJ, Bello A, Abubakar ML, Mbibu NH. Genital Self-Mutilation in Schizophrenic Patients.

A Report of Two Cases. African Journal of Urology 2009; 15(3):189-191

20. Chand PK, Kumar CN, Murthy P. Major Self-Mutilations: Castration and Enucleation. German

Journal of Psichiatry2010; 13(4):164-170

Anda mungkin juga menyukai