Anda di halaman 1dari 16

KONSEP DASAR BENCANA

A. Paradigma Penanganan Bencana


Berbagai pandangan tentang bencana berkembang dari waktu ke waktu, terkait
dengan tingkat pemahaman terhadap kejadian bencana, yaitu:
1. Pandangan Konvensional
Pandangan ini menganggap bahwa bencana merupakan takdir dari Tuhan
Yang Maha Esa. Bencana dianggap sebagai takdir (musibah atau kecelakaan).
Karena dianggap sebagai takdir berupa musibah/kecelakaan, menurut pandangan
ini bencana tidak dapat diprediksi karena tidak menentu datangnya dan tidak dapat
dihindari serta dapat dikendalikan. Menurut pandangan ini pula, masyarakat
adalah korban yang berhak menerima bantuan dari pihak luar.
2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Pandangan ini mengemukakan tentang bencana berdasarkan ilmu pengetahuan
alam yang menganggap bahwa bencana sebagai unsur lingkungan fisik yang
membahayakan kehidupan manusia. Bencana dipandang sebagai kekuatan alam
yang luar biasa. Dalam periode ini mulai dipahami bahwa bencana merupakan
proses geofisik, geologi dan hydro-meterology. Dari aspek ilmu pengetahuan
alam, pandangan ini memang berkembang dan menganggap semua bencana
adalah peristiwa alamiah yang tidak memperhitungkan manusia sebagai penyebab
terjadinya bencana.
3. Pandangan Ilmu Terapan
Perkembangan ilmu alam murni mulai bervariasi dengan berkembangnya
ilmu-ilmu terapan. Pandangan ilmu terapan melihat bencana didasarkan pada
besarnya ketahanan atau tingkat kerusakan akibat bencana. Pandangan ini
melatarbelakangi oleh ilmu-ilmu teknik sipil bangunan/konstruksi. Pengkajian
bencana lebih ditujukan pada upaya untuk meningkatkan kekuatan fisik struktur
bangunan untuk memperkecil kerusakan.
4. Pandangan Progresif
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga berkembang
sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap bencana sebagai bagian
yang biasa dan selalu terjadi dalam pembangunan. Artinya, bencana merupakan
masalah yang tidak pernah berhenti dalam proses pembangunan. Peran pemerintah
dan masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali bencana itu sendiri.
5. Pandangan Ilmu Sosial
Pandangan ini memfokuskan pada sisi manusianya, bagaimana sikap dan
kesiapan masyarakat menghadapi bahaya. Ancaman bahaya adalah fenomena
alam, akan tetapi bahaya itu tidak akan berubah menjadi bencana jika manusianya
siap atau tanggap. Besarnya bencana tergantung pada perbedaan tingkat
kerentanan masyarakat menghadapi bahaya atau ancaman bencana.
6. Pandangan Holistik
Pendekatan ini menekankan pada adanya bahaya, kerentanan dan risiko serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko. Gejala alam dapat
menjadi bahaya, jika mengancam manusia dan harta benda. Bahaya jika bertemu
dengan kerentanan dan ketidakmampuan masyarakat akan menjadi risiko bencana.
Risiko bencana akan berubah menjadi bencana, jika ada pemicu kejadian.
Selain berkembang pandangan tentang bencana, juga berkembang paradigma
tentang tindakan/cara untuk menanggulangi bencana, yakni:
1) Paradigma Bantuan Darurat
Paradigma ini berkaitan dengan pandangan konvensional yang menyatakan
bahwa bencana itu takdir ilahi sehingga masyarakat dipandang sebagai korban
dan penerima bantuan. Paradigma ini memfokuskan pada saat kejadian bencana
melalui pemberian bantuan darurat (relief) berupa evakuasi/pertolongan korban,
bantuan pangan, penampungan, dan layanan kesehatan. Tujuan utamanya adalah
untuk meringankan penderitaan korban, mencegah meluasnya kerusakan dan
segera mempercepat pemulihan.
2) Paradigma Mitigasi
Paradigma ini memfokuskan pada pengenalan daerah rawan ancaman bencana
dan pola perilaku individu.masyarakat yang rentan terhadap bencana. Tujuan
utama mitigasi terhadap ancaman bencana dilakukan antara lain melalui
pembuatan struktur bangunan, sedangkan mitigasi terhadap pola perilaku yang
rentan dilakukan antara lain melalui relokasi permukiman, peraturan-peraturan
bangunan dan penataan ruang.
3) Paradigma Pembangunan
Paradigma ini memfokuskan pada faktor penyebab dan proses terjadinya
kerentanan masyarakat terhadap bencana. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat di berbagai aspek non-struktural
misalnya pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, pemilikan lahan,
akses terhadap modal, dan inovasi teknologi.
4) Paradigma Pengurangan Risiko
Paradigma ini memfokuskan pada analisis risiko bencana, ancaman,
kerentanan dan kemampuan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dalam rangka mengelola dan mengurangi risiko dan
Zaman berkembang terus, pemikiran dan imajinasi manusia juga berkembang
sehingga lahirlah pandangan progresif yang menganggap bencana sebagai
bagian yang biasa dan selalu terjadi dalam pembangunan. Artinya, bencana
merupakan masalah yang tidak pernah berhenti dalam proses pembangunan.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam manajemen bencana adalah mengenali
bencana itu sendiri.
Sedangkan untuk pergeseran pardigma, terdapat empat hal fundamental yang
berubah atas paradigma awal dalam penanggulangan bencana, diantaranya:

a) Dari Tanggap Darurat menjadi Kesiapsiagaan.


Tanggap darurat sampai hari ini memang penting dilakukan dan
memang dibutuhkan oleh masyarakat terdampak bencana. Tidak cukup
berhenti di sini semata. Ada bencana, ada proses pertolongan, kemudian
selesai. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana menyiapkan
masyarakat untuk lebih cerdas dalam menghadapi bencana, mengurangi
dampak risiko yang akan dahapinya, serta mengelola pengetahuan menjadi
kesadaran kolektif di dalam masyarakat sehingga tahan dan tangguh dalam
mengahadapi bencana yang menimpa. Jadi, bukan hanya tanggap darurat
tetapi juga keseluruhan manajemen risiko dan pembangunan.
b) Dari Sentralistik menjadi Otonomi Daerah
Pemerintah menyadari bahwa kejadian bencana haruslah direspon
secara cepat dan tepat. Penanganan selama ini yang semuanya diurus oleh
pemerintah pusat, maka banyak terjadi keterlambatan dalam memberikan
pertolongan dan bantuan. Di sinilah muncul paradigma baru , yakni
penanganan bencana bisa dilaksanakan melalui pemerintah daerah yang
bersifat otonom.
c) Dari Pemerintah Sentris menjadi Partisipatori
Kemampuan pemerintah tidaklah cukup besar, untuk menggelontorkan
anggarannya guna membantu begitu banyak korban bencana yang terjadi
hampir secara bersamaan dan berkesinambungan. Oleh karenanya, peran
serta masyarakat lokal, nasional, maupun internasional dibutuhkan guna
membantu memulihkan korban bencana tersebut. Inilah yang disebut
dengan pergeseran paradigma dari pemerintah sentris menjadi partisipatori.
Karena dengan adanya demokratisasi serta otonomi daerah penanggulangan
bencana menjadi tanggungjawab pemerintah bersama dengan masyarakat.
d) Dari Kemurahan menjadi Hak Dasar
Awalnya, pemerintah menyangka bahwa membantu korban bencana
adalah sebuah kemurahan hati semata. Padahal ini adalah anggapan salah,
sedangkan yang benar adalah bahwa membantu korban bencana itu
memang karena hal itu merupakan hak dasar dari setiap warga negara
Indonesia. Maka, tak salah jika disebutkan bahwa perlindungan merupakan
bagian dari hak dasar, dan pengurangan risiko adalah bagian dari
pembangunan.

B. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk
meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan
analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini,
penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut Nurjanah (2012:42) sebagai Proses dinamis
tentang bekerjanya fungsi-fungsi manajemen bencana seperti planning, organizing,
actuating, dan controling. Cara kerjanya meliputi pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan tanggap darurat dan pemulihan.
Manajemen bencana menurut (University British Columbia) ialah proses
pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common value) untuk
mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana dan
menghadapi baik bencana potensial maupun akual.
Adapun tujuan manajemen bencana secara umum adalah sebagai berikut:
1. Mencegah membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup;
2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan
korban;
3. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke
daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni
dan aman
4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi,
air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi
dan sosial daerah yang terkena bencana;
5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut;
6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
Secara umum manajemen bencana dapat dikelompokkan menjadi 3 tahapan
dengan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan mulai dari pra bencana, pada saat
tanggap darurat, dan pasca bencana.

Sumber :UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

1. Tahap Pra Bencana (mencangkup Kegiatan pencegahan, mitigasi,kesiapsiagaan,


dan peringatan dini).
a. Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika mungkin
dengan meniadakan bahaya). Misalnya : Melarang pembakaran hutan dalam
perladangan, Melarang penambangan batu di daerah yang curam, dan
melarang membuang sampah sembarangan.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui:
a) pelaksanaan penataan ruang;
b) pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan
c) penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern (UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat 2
tentang Penanggulangan Bencana).
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Beberapa bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat dilakukan antara lain:
1) Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana;
2) Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;
3) Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar;
4) Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat;
5) Penyiapan lokasi evakuasi;
6) Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tentang
tanggap darurat bencana; dan
7) Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan
pemulihan prasarana dan sarana.
d. Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau Upaya untuk memberikan tanda
peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian
peringatan dini harus : Menjangkau masyarakat (accesible), Segera
(immediate), Tegas tidak membingungkan (coherent), Bersifat resmi
(official).
2. Tahap saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan bantuan darurat dan
pengungsian
a. Tanggap Darurat (response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Beberapa aktivitas yang
dilakukan pada tahapan tanggap darurat antara lain: a) pengkajianyang dan
tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumberdaya; b) penentuan status
keadaan darurat bencana; c) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena
bencana; d) pemenuhan kebutuhan dasar; e) perlindungan terhadap kelompok
rentan; dan f) pemulihan dengan segera prasaran dan sarana vital ( UU Nomor
24 Tahun 2007 Pasal 48 tentang Penaanggulangan Bencana).
b. Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar berupa : Pangan, Sandang, Tempat tinggal
sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih
3. Tahap pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery)
Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi. Beberapa kegiatan yang terkait dengan
pemulihan adalah
a) perbaikan lingkungan daerah bencana;
b) perbaikan prasarana dan sarana umum;
c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d) pemulihan sosial psikologis;
e) pelayanan kesehatan;
f) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g) pemulihan sosial ekonomi budaya, dan
h) pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: perbaikan
lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum,
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial
psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban,
pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-
langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk
membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan
sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan
partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas
program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan masyarakat
kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Dan yang
terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit dalam
mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita harapan dapat terselamatkan
dengan cepat dan tepat dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan
dengan secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan
pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas
pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada
kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen
bencana. Yang tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi
kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana.

C. Manejemen Kedaruratan
Situasi/kondisi kehidupan atau kesejahteraan individu manusia atau
masyarakat akan terancam, apabila tidak dilakukan tindakan yang tepat dan segera,
sekaligus menuntut tanggapan dan cara penanganan yang luar biasa (diluar prosedur
rutin/standar). Manajemen kedaruratan adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanggulangan kedaruratan, pada menjelang, saat dan segera
setelah terjadi keadaan darurat.
Manajemen kedaruratan ini mencakup :
- siaga darurat
- tanggap darurat,
- pemulihan darurat,

1. Kegiatan Tanggap Darurat


- Manajemen dan Koordinasi
- Perlindungan, Penerimaan dan Pendataan
- Pangan dan Nutrisi
- Logistik dan Transportasi
- Penampungan Sementara
- Air Bersih
- Sanitasi Lingkungan
- Pelayanan Kesehatan
- Pelayanan Masyarakat
- Pendidikan

2. Manajemen & Koordinasi


Manajemen Tanggap Darurat diperlukan 3 C:
- Command (komando)
- Control (pengendalian)
- Coordination (kordinasi)
Bentuk kegiatan:
- Mendirikan POSKO
- Membuat Tim Reaksi Cepat
Kegiatan ini merupakan tugas: BAKORNAS, SATKORLAK dan SATLAK

3. Perlindungan & Pendataan


Kegiatan ini meliputi :
- Evakuasi korban yg masih hidup dan meninggal
- Memberikan pertolongan dan perlindungan bagi korban selamat
- Menerima dan memberikan tempat penampungan sementara
- Mendata dan mencatat agar memudahkan dalam pengurusan pelayanan
- Tugas ini dilakukan oleh Pemda (Dinas Kependudukan)

4. Pangan
- Pada tahap awal yg diberikan adalah makanan siap santap, karena tidak
dapat memasak.
- Pendirian dapur umum
- Pemberian jatah hidup per keluarga, apabila sudah didata dan
mendapatkan tempat penampungan
- Jenis pangan disesuaikan dengan makanan pokok setempat
- Standar Departemen Sosial 400 g dan Rp 3000,- (per orang per hari)

5. Logistik & Transportasi


- Pengumpulan, pengadaan, penyimpanan dan penyaluran bantuan logistik
sangat diperlukan pada tanggap darurat.
- Diperlukan gudang dan sarana transportasi
- Perbaikan prasarana jalan dan jembatan, pelabuhan dan bandara sangat
vital.
- Dukungan transportasi sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan bakar
minyak (BBM).
- Dikoordinasikan oleh Departemen Perhubungan

6. Penampungan Sementara
- Penampungan sementara ditempatkan pada bangunan gedung yg aman:
sekolah, kantor, stadion, gudang, dsb.
- Jika tidak memungkinkan dapat ditempatkan di lapangan atau tempat
terbuka, dengan mendirikan tenda-tenda.
- Pada pengungsian yg cukup lama dibuat hunian semi permanen (huntara)
yang berupa barak yang berisi beberapa keluarga.
- Pekerjaan ini dilakukan oleh Dinas Permukiman atau PU.

7. Sanitasi
- Penyediaan sarana MCK disesuaikan dgn kebiasaan pengungsi di daerah
asal.
- Sarana MCK tsb harus mudah dipakai dan dapat dipelihara oleh warga.
- Harus diperhitungkan rasio jumlah MCK terhadap jumlah pengungsi.
- Pengelolaan sampah diatur pengumpulan dan pembuangannya.
- Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Kebersihan / PU

8. Kesehatan dan Nutrisi


- Setiap korban bencana mendapat perawatan kesehatan secara gratis di
puskesmas dan RS rujukan
- Pemerintah menyediakan tenaga medis, peralatan kesehatan dan obat-
obatan.
- Di samping itu dilakukan pula imunisasi dan vaksinasi guna mencegah
timbulnya penyakit.
- Kegiatan ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan.

9. Pelayanan Masyarakat
Dalam penampungan sementara perlu disediakan tempat umum untuk
memberikan pelayanan, antara lain:
- Media (radio, televisi)
- Komunikasi (telepon, SSB)
- Informasi (keluarga, penyuluhan, sosialisasi, pertemuan warga)

Peran LSM sangat diperlukan untuk pelayanan masyarakat.

10. Pendidikan
- Pada tahap tanggap darurat, proses belajar mengajar bagi para siswa harus
tetap berjalan.
- Lokal tempat belajar dapat menggunakan bangunan yg ada, sekolah
terdekat dan tenda-tenda darurat.
- Keperluan untuk proses belajar (buku pelajaran, alat tulis dan keperluan
lain) harus disediakan.
- Pelaksanaan kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan setempat.
D. Manajemen Risiko Bencana
Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001), Manajemen
Risiko Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi secara sistematis dan analisis
bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures), terkait dengan
pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi), persiapan, respon darurat dan
pemulihan. Manajemen dalam bantuan bencana merupakan hal-hal yang penting bagi
Manajemen puncak yang meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), kepemimpinan (directing), pengorganisasian (coordinating) dan
pengendalian (controlling).
Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya:
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa
yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan negara.
2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
3. Mempercepat pemulihan.
4. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.

Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan seluruh


kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus Manajemen
Risiko Bencana yang bertujuan antara lain:

1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang


2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
E. Manajemen Bencana Di Indonesia
Pemerintah Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan bencana
dengan membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas). Tugas Bakornas adalah
merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan serta
memberikan standard dan pengarahan terhadap upaya penanggulangan bencana.
Bakornas menangani kordinasi upaya bantuan dan penyelamatan darurat (emergency
rilief and rescue) bekerjasama dengan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat,
Menteri Sosial, Menteri Perhubungan, Militer, pemda serta institusi swasta.
Manajemen Risiko Bencana di Indonesia pada tingkat nasional ditangani oleh
Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS) atau The National Management Agency.
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) merupakan
wadah koordinasi antar departemen di tingkat pusat. Organisasi ini di bentuk
berdasarkan Perpres No. 83 Tahun 2005, yang dipimpin oleh Wakil Presiden selaku
Ketua, yang berada di bawah serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Penaggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tingkat
nasional, sedangkan pada tingkat propinsi disebut Satuan Koordinasi Pelaksana
Pengungsi (Satkorlak PBP).
Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang dipimpin oleh
Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan bencana di
wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah mengkoordinasikan upaya
penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
Bakornas PBP. Penanganan bencana pada tingkat kabupaten atau kotamadya
dilakukan oleh Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk pelasksanaan di lapangan
ditangani oleh Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan Pelaksana Pengungsi (Satkorlak
PBP). Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang dipimpin oleh
Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan bencana di
wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah mengkoordinasikan upaya
penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
Bakornas PBP.
Penanganan bencana pada tingkat kabupaten atau kotamadya dilakukan oleh
Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk pelasksanaan di lapangan ditangani oleh
Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak
PB) merupakan organisasi di tingkat Kabupaten / kotamadya yang dipimpin oleh
Bupati atau Walikota, yang bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan
bencana di wilayahnya dengan tetap memperhatikan kebijakan dan arahan tehnis dari
Bakornas PB, di samping menyelenggarakan pencatatan yang dilakukan oleh dinas-
dinas terkait dan secara periodik melaporkan serta mempertanggungjawabkan
kegiatannya kepada Bakornas melalui Satkorlak PBP.
Lahirnya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan
pelaksana yang sudah dipersiapkan, diharapkan response terhadap situasi bencana
akan menjadi lebih cepat sehingga manajemen risiko bencana menjadi lebih efektif.
Pengelolaan manajemen risiko bencana yang efektif memerlukan kombinasi empat
konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh, terpadu dan kesiapan masyarakat.
Pendekatan terpadu pengelolaan bencana secara efektif memerlukan kerjasama aktif
dari berbagai pihak terkait. Artinya, semua organisasi dengan tugasnya masingmasing
bekerjasama dalam mengelola bencana. Masyarakat yang terdiri dari masing-masing
individu diharapkan selalu waspada terhadap bahaya bencana dan tahu bagaimana
cara melindungi dirinya, keluarga rumah, dan harta bendanya dari bahaya bencana.
Bila masing-masing dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya
bencana, tentu dapat mengurangi ancaman bahaya bencana. Hal yang perlu
diperhatikan adalah fokus response pada aktivitas preparedness, migitation, response
dan recovery dapat dilakukan dengan baik, sehingga dampak peristiwa bencana akan
lebih dapat diminimalkan.

F. Siklus Manajemen Bencana

1. Manajemen bencana mempunyai tujuan:


(1) Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,
(2) menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap
korban bencana, dan
(3) mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan gambaran
bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena
bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana
berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah
bencana terjadi.
2. Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:
a) Pencegahan dan mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya bencana (jika mungkin dengan meniadakan
bahaya). Sedangkan mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana
Ada 2 bentuk mitigasi :
- Mitigasi struktural (membuat check dam, bendungan, tanggul
sungai, dll.)
- Mitigasi non struktural (peraturan,tata ruang, pelatihan)
Misalnya :
- Melarang pembakaran hutan dalam perladangan
- Melarang penambangan batu di daerah yang curam.

b) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. (UU No 24 Tahun 2007, Bab I
Ketentuan Umum, angka 7) (PP No 21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 angka 4).
Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a
dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam
menghadapi kejadian bencana. (UU No 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat (1)
Kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
- penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan
bencana;
- pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini;
- penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar;
- pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang
mekanisme tanggap darurat;
- penyiapan lokasi evakuasi;
- penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana; dan
- penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk
pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. (UU No 24 Tahun 2007
Pasal 47 ayat (2)
c) Tanggapan Darurat adalah upaya yang dilakukan segera pada saat
kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian.
d) Pemulihan yaitu mengembalikan masyarakat ke kondisi normal bisa
dilakukan dengan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
- Rehabilitasi yaitu proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang
terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana
pada keadaan semula.
- Rekonstruksi yaitu upaya yang dilakukan adalah memperbaiki
prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar
puskesmas, dll).

Anda mungkin juga menyukai