Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SENI BUDAYA

Nama: Rio Nanda M.A


Kelas: XI TB
Macam Macam Tari Tradisional
Di Nusantara

Tari Bines
Tari Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Gayo Lues. Tarian ini
muncul dan berkembang di Aceh Tengah namun kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut
sejarah tarian ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama Syech Saman dalam rangka
berdakwah.Tari ini ditarikan oleh para wanita dengan cara duduk berjajar sambil
menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan. Para penari
melakukan gerakan dengan perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan
akhirnya berhenti seketika secara serentak.

Tari ini juga merupakan bagian dari Tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari
tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan
dengan menaruhnya di atas kepala perempuan yang menari.

Sejarah Tari Bines


Menurut sejarahnya, tari Bines bermula dari 3 cerita rakyat yang berkembang di daerah
Gayo, antara lain:
1. Cerita Rakyat “Ni Malelang Ode”
2. Cerita rakyat “Ibu yang kehilangan putra satu-satunya”
3. Cerita Rakyat Tentang ” Gajah Putih ”
Didong
Didong adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang memadukan unsur tari, vokal,
dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Salah seorang seniman
yang peduli pada kesenian ini adalah Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih
digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah (Aceh).

Sejarah
Kabupaten Bener Meriah merupakan Kabupaten termuda dalam wilayah
Provinsi Aceh, yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah,
Berdasarkan undang- undang No. 41 tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003
tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh. Diresmikan
oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Januari 2004 yang merupakan pemekaran
dari Kabupaten Aceh Tengah, dengan batas-batas :
1.Sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Bireuen.
2.Sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Tengah.
3.Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur.
4.Sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Tengah
Tari Badui
Tari Badui termasuk dalam tarian folklasik atau tari rakyat yang berasal dari Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Tari Badui merupakan tari religi, konon dibawa oleh seseorang dari
daerah Arab. Setelah mengalami modifikasi dan diselaraskan dengan tradisi dan
kebudayaan Yogyakarta, maka dikenalah tari badui ini sebagai tari rakyat Sleman.

Tentang Tari Badui


Tari Badui merupakan tari rakyat yang berasal dari Kabupaten Sleman, Provinsi DI
Yogyakarta. Tari Badui menggambarkan prajurit yang sedang melakukan peperangan atau
menggambarkan prajurit yang melakukan latihan perang. Seni tari Badui ini masih eksis di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Seperti yang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat di
padukuhan Malangrejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman dengan membentuk
Paguyuban Tari dan Shalawat Badui.

Sejarah
Seni Tari Badui ini konon kabarnya dibawa oleh orang Indonesia yang telah lama tinggal di
Arab Saudi. Selama tinggal di Arab, orang tersebut banyak melihat kesenian badui dan
kesenian Suhanul Muslim yaitu kesenian orang / Bangsa Arab Qurais.
Setelah orang tersebut kembali ke Indonesia, kesenian Badui tersebut kemudian
dikembangkan di desanya. Tema dan bentuk kesenian masih sama dengan kesenian di
Negara Arab tadi, namun ada bagian-bagian yang telah dimodifikasi serta diselaraskan
dengan kebudayaan masyarakat Sleman terutama syair lagu pengiringnya.
Legong
Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak
yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan
pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang
luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian
mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang
mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar
Pagulingan.
Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.Konon idenya
diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi
melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika
sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan
gamelan lengkap.
Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum
mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua
penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa
tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi
dengan kipas.
Tari Gambyong
Gambyong merupakan salah satu bentuk tarian Jawa klasik yang berasal-mula dari wilayah
Surakarta dan biasanya dibawakan untuk pertunjukan atau menyambut tamu. Gambyong
bukanlah satu tarian saja melainkan terdiri dari bermacam-macam koreografi, yang paling
dikenal adalah Tari Gambyong Pareanom (dengan beberapa variasi) dan Tari Gambyong
Pangkur (dengan beberapa variasi). Meskipun banyak macamnya, tarian ini memiliki dasar
gerakan yang sama, yaitu gerakan tarian tayub/tlèdhèk. Pada dasarnya, gambyong dicipta
untuk penari tunggal, namun sekarang lebih sering dibawakan oleh beberapa penari
dengan menambahkan unsur blocking panggung sehingga melibatkan garis dan gerak yang
serba besar

Sejarah
Serat Centhini, kitab yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820) dan
Pakubuwana V (1820-1823), telah menyebut adanya gambyong sebagai tarian tlèdhèk.
Selanjutnya, salah seorang penata tari pada masa pemerintaha Pakubuwana IX (1861-1893)
bernama K.R.M.T. Wreksadiningrat menggarap tarian rakyat ini agar pantas dipertunjukkan
di kalangan para bangsawan atau priyayi[3]. Tarian rakyat yang telah diperhalus ini menjadi
populer dan menurut Nyi Bei Mardusari, seniwati yang juga selir Sri Mangkunegara VII
(1916-1944), gambyong biasa ditampilkan pada masa itu di hadapan para tamu di
lingkungan Istana Mangkunegaran.
Perubahan penting terjadi ketika pada tahun 1950, Nyi Bei Mintoraras, seorang pelatih tari
dari Istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegara VIII, membuat versi gambyong yang
"dibakukan", yang dikenal sebagai Gambyong Pareanom. Koreografi ini dipertunjukkan
pertama kali pada upacara pernikahan Gusti Nurul, saudara perempuan MN VIII, di tahun
1951. Tarian ini disukai oleh masyarakat sehingga memunculkan versi-versi lain yang
dikembangkan untuk konsumsi masyarakat luas.
Tari Likok Pulo
Tari Likok Pulo adalah sebuah tarian tradisional yang berasal dari Aceh, Indonesia. "Likok"
berarti gerak tari, sementara "Pulo" berarti pulau. Pulo di sini merujuk pada sebuah pulau
kecil di ujung utara Pulau Sumatera yang juga disebut Pulau Breuh, atau Pulau Beras.[1]
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang ulama tua berasal dari Arab
yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh. Tari ini diadakan sesudah menanam padi
atau sesudah panen padi, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika
tarian dipertandingkan dapat berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan
dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar, atau bahu membahu.
Seorang pemain utama yang disebut cèh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang
penabuh rapa'i berada di belakang atau sisi kiri dan kanan pemain. Sedangkan gerak tari
hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan, dan kepala. Gerakan tari
pada prinsipnya ialah gerakan oleh tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan
dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, ke samping kiri atau kanan, ke atas,
dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.
Tari Piring
Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu
seni tari tradisional di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat.
Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Piring-piring
tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa terlepas dari
genggaman tangan. Tari Piring merupakan sebuah simbol masyarakat Minangkabau. Di
dalam tari piring gerak dasarnya terdiri daripada langkah-langkah Silat Minangkabau atau
Silek.

Sejarah
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada
dewa-dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan
dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring
sembari melangkah dengan gerakan yang dinamis.
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan
sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa.. Akan tetapi, tari tersebut digunakan
sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara
keramaian.
Tari Payung
Tari payung adalah tarian yang melambangkan kasih sayang.[1]Tarian ini dilakukan dengan
menggunakan payung sebagai instrument pelengkap.[2]Tarian yang berasal dari
Minangkabau, Sumatera Barat ini biasanya dilakukan oleh 3-4 orang penari yang dilakukan
secara berpasangan antara pria dan wanita.[1]Tarian ini mencerminkan pergaulan muda-
mudi, sehingga penggunaan payung ini betujuan untuk melindungi mereka dari hal-hal
negatif.Tarian ini biasa dibawakan pada saat pembukaan suatu acara pesta,pameran atau
bentuk kegiatan lainnya.

Makna Properti
Makna dari tari ini adalah wujud perlindungan dan kasih sayang seorang kekasih kepada
pasangannya atau suami kepada istrinya dalam membina kehidupan rumah tangga agar
selalu bahagia dan sentosa.Bentuk perlindungan ini tidak diartikan melalui gerakan para
penari pria dan wanita, karena gerakan ini telah dimodifikasi sesuai dengan perkembangan
zaman.Tapi, makna tarian ini dilambangkan dengan properti yang digunakan berupa
payung untuk pria dan selendang untuk wanita.Payung dilambangkan sebagai bentuk
perlindungan pria sebagai pilar utama dalam keluarga.Si penari pria akan melindungi kepala
penari wanita.Sedangkan, selendang khas Padang dilambangkan sebagai ikatan cinta suci
yang kuat dan penuh akan kesetiaan dari seorang wanita serta kesiapannya dalam
membangun rumah tangga.
Sanghyang
Sanghyang adalah salah satu jenis teater tradisi di Bali yang disuguhkan dalam bentuk tari
yang bersifat religius dan secara khusus berfungsi sebagai tarian penolak bala atau wabah
penyakit . Sampai saat ini, Tari Sanghyang tidak diadakan sekadar sebagai sebuah tontonan.
Tari Sanghyang merupakan tari kerauhan (kesurupan) karena kemasukan hyang, roh,
bidadari kahyangan, dan binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi
hutan, monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya).
Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya, yaitu
dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat dengan alam gaib.Tarian ini
dibawakan oleh penari putri maupun putra dengan iringan paduan suara pria dan wanita
yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di daerah Sukawati-Gianyar, tari ini juga
diiringi dengan Gamelan Palegongan.Di dalam Tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu
asap/api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).

Anda mungkin juga menyukai