Anda di halaman 1dari 6

© M.

Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

1. Bagaimana mekanisme menggigil pada kasus?


Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium dapat menyebabkan timbulnya
gejalademam disertai menggigil. Periodisitas demam pada malaria berhubungan dengan
waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk aliran darah
(sporulasi). Respon yang terjadi bila organisme penginfeksi telah menyebar di dalam darah,
yaitu pengeluaran suatu bahan kimia oleh makrofag yang disebut pirogen endogen (TNF alfa
dan IL-1).

Pirogen endogen ini menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara kimia lokal
yang dapat menaikan termostat hipotalamus yang mengatur suhu tubuh. Setelah terjadi
peningkatan titik patokan hipotalamus, terjadi inisiasi respon dingin, dimana hipotalamus
mendeteksi suhu tubuh di bawah normal, sehingga memicu mekanisme respon dingin untuk
meningkatkan suhu. Respon dingin tersebut berupa menggigil dengan tujuan agar produksi
panas meningkat dan vasokonstriksi kulit untuk segera mengurangi pengeluaran panas.

2. Pemeriksaan Penunjang:
Hb 7 gr/dl, RBC 3,5 jt, WBC 11.000/mm3, Trombosit 200.000/mm3
Bagaimana interpretasi dan meknisme abnormal pada pemeriksaan penunjang?
 Hb 9 gr/dl  anemia
 RBC 4,5jt anemia
Price (2009) menyebutkan faktor penyebab anemia diantaranya karena:
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan tidak mengandung parasit
terjadi di dalam limpa (faktor autoimun memegang peranan).
b. Reduced survival time, karena eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak
dapat hidup.
c. Diseritropoeiesis (gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis
dalam sumsum tulang) retikulosit tidak dilepaskan dalam peredaran perifer.

 WBC 11.000/mm3 leukositosis (normal 5000-10000/mm3)


Mekanisme leukositosis menurut Price (2013):
© M. Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

Manusia → digigit nyamuk Anopheles ♀ → sporozoit (setelah 45 menit) → menuju sel


hati(sebagian kecil mati di darah) → di sel parenkim hati terjadi fase aseksual (Skizogoni
Eksoeritrosit)→merozoit →lolos dari filtrasi & fagositosis di limpa → ke sirkulasi darah
→menyerang RBC →terbentuk eritrosit parasit (EP) →bereplikasi scr aseksual (Skizogoni
Eritrosit)→tropozoit (stadium cincin) → skizon (stadium matur) → permukaannya
menonjol & membentuk knob dgn HRP-1 (Histidin Rich Protein – 1) → morogoni →
mengaktivasi makrofag→ menskresikan TNF α → aktivasi leukosit (mengerahkan dan
mengaktivasi neutrofil & monosit)→ leukosit >> → leukositosis.

 Trombosit: 200.000/mm3 normal (150.000-400.000 sel/ul darah)

3. Bagaimana penegakkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang pada kasus?


Berikut adalah alur penegakkan diagnosis menurut Haryanto (2009) dalam IPDL:
Anamnesis
Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-pegal.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:
1. Riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
2. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3. Riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;
5. Riwayat mendapat transfusi darah.
Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 ºC aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, konjungtiva
pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black Water
Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).
© M. Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan
darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut.
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis
pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis.
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk
menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b) Spesies dan stadium Plasmodium;
c) Kepadatan parasit:
1) Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan
pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2) Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit)
atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh :
Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit 8.000/uL maka
hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000 parasit/uL. Jika dijumpai 50 parasit
per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit 4.500.000/uL maka hitung parasit =
4.500.000/1000 X 50 = 225.000 parasit/uL.
© M. Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan
di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis.
Hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih dahulu
membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam kemasan RDT untuk menjamin
akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan oleh Program Pengendalian Malaria adalah
yang dapat mengidentifikasi P. falcifarum dan non P. Falcifarum.
3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini penting untuk
membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk
identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang
mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria
karena dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous.
4. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan
adalah:
a. Pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. Penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah); dan
d. Urinalisis.
© M. Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

4. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus?


Menurut Parmet S. et al dalam repository.usu.ac.id (2012), gejala klinis malaria pada
umumnya muncul 9-14 hari setelah gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Gejala yang dapat
muncul termasuk menggigil yang tiba-tiba, demam yang bersifat intermiten, keringat, kelelahan,
sakit kepala, kejang, dan delirium. Roe & Pasvol dalam repository.usu.ac.id (2012) pula
mengatakan bahwa waktu inkubasi malaria tergantung pada lingkungan. Kondisi yang optimal
dapat menyebabkan manifestasi gejala klinis dalam 7 hari saja. Walaupun begitu, terdapat
beberapa kasus tertentu yang gejala klinis hanya muncul setelah 20 tahun, dan ini berlaku terutama
pada infeksi Plasmodium malariae.
Gejala klinis yang paling sering ditemui pada malaria adalah demam. Pada infeksi awal,
malaria bisa bermanifestasi sebagai malaise, sakit kepala, muntah, atau diare. Demam pada
awalnya mungkin berkesinambungan atau erratic, dan classical tertian atau quartan fever hanya
muncul setelah beberapa hari. Suhu tubuh selalu mencapai 41°C dan diikuti oleh menggigil dan
keringat dingin. (Finch, R.G. et al dalam repository.usu.ac.id, 2012).
© M. Imam Mulia
04011181320034 / PDU B 2013

Harijanto, Paul N. 2009. Malaria. Dalam Sudoyo, Aru W. dkk. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Price, Syliva, dan Wilson, Lorainne. 2013. Patofisiologi. (VI). EGC, Jakarta.
Repository.usu.ac.id. 2012. Bab 2. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21562/4/
Chapter %20II.pdf, diunduh pada 15 Agustus 2016)

Anda mungkin juga menyukai