Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Menurut Price dan Wilson (1995) Hemodialisa adalah suatu proses dimana solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membrane berpori dari kompartemen cairn menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang
digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma kelarutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati
membrane semipermeabel (alatdialisis) kedalam dialisat (Tisher& Wilcox, 1997).
Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan
kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997). Hemodialisa memerlukan sebuah mesin
dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang
digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar
dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka
dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan
(NKF, 2006). Pasien hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya.
Dalam pelaksanaan hemodialisa sangatlah banyak komplikasi dan kemungkinan yang terjadi,
sehingga diperlukan asuhan keperawatan untuk membantu pasien menjalani hemodialisa dengan
komplikasi yang minimal.
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya.
Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpusahkan dalam lingkungan keluarga.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).
Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses
pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat,
serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995).
Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam
kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki
tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling
membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995).Pada klien gagal
ginjal kronik, salah satu tindakan untuk mempertahankan

1
1.2 RumusanMasalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa itu hemodialisis?
2. Apa tujuan hemodialisis?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien hemodialsis?
4. Apa itu dukungan keluaga?
5. Bagaimana pengaruh dukungan keluarga pada pasien hemodialisis?

1.3 TujuanMasalah
1. Untuk mengetahui apa itu hemodialysis
2. Untuk mengetahui tujuan hemodialysis
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien hemodialysis
4. Untuk mengetahui bagaimana pentingnya dukungan keluarga
5. Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga pada pasien hemodialysis

1.4 ManfaatPenulisan
1. Memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengetahui apa itu hemodialysis
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hemodialysis
3. Memberikan sedikit gambaran dari penatalaksanaan pasien hemodialysis
4. Memberikan sedikit gambaran dari beberapa fakta – fakta tentang pentingnya dukungan
dari keluarga pada pasien hemodialysis
5. Sebagai bahan masukan pada pembaca

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hemodialisa


Hemodialisa adalah metode pencucian darah dengan membuang cairan berlebih dan zat-zat
yang berbahaya bagi tubuh melalui alat dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak.
Gagal ginjal dapat dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dimana fungsi ginjal terganggu untuk
sementara waktu sehingga hemodialisa dilakukan hanya hingga fungsi ginjal membaik dan gagal
ginjal kronis dimana fungsi ginjal rusak secara permanen akibatnya hemodialisa harus dilakukan
seumur hidupnya.
Proses pembersihan darah dari akumulasi hasil metabolisme tubuh seperti ureum dan zat
beracun lainnya. Hemodialisis diindikasikan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat.
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan zat-
zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses
penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesindialisis.
Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah’.
Hemodialisa berasal dari kata hemo=darah,dan dialisa=pemisahan atau filtrasi. Pada
prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci
yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini dapat dilalui
oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya
air atau zat, bahan melalui membran semi permeabel ( Pardede, 1996 ).
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi
permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses
difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).

3
2.2 Tujuan Terapy Hemodialisa
Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi membersihkan darah kita dari cairan berlebih,
zat-zat sisa yang berbahaya dan elektrolit berlebih. Ginjal juga berfungsi menghasilkan hormone
yang penting dalam proses metabolism tubuh dan merangsang pembentuk sel darah merah. Jika
ginjal ini rusak maka bisa dibayangkan bahayanya bagi tubuh kita bahkan bisa menyebabkan
kematian akibat menumpuknya cairan dan zat berbahaya dalam tubuh, karena itulah hemodialisa
harus dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut.
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.

2.3 Proses Kerja Hemodialisa


Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut :
a. Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan kadar di dalam darah dan
di dalam dialisat. Semakian tinggi perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan
yang dipindahkan ke dalam dialisat.
b. Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan terlarut karena perbedaan tekanan
hidrostatis dalam darah dan dialisat.
c. Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu perbedaan
osmolaritas darah dan dialisat ( Lumenta, 1996 ).
Pertama kita harus mempersiapkan pembuluh darah sebagai akses masuknya selang dari alat
dialysis. Pembuluh darah yang digunakan ada dua yaitu arteri sebagai akses keluarnya darah
kotor ke dalam mesin dan vena sebagai jalan masuknya darah bersih dari mesin ke dalam tubuh.
Melalui jarum maka selang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Biasanya anda akan
diberikan bius local untuk mengurangi nyerinya. Pembuluh darah yang digunakan biasanya yang
berukuran besar misalnya di daerah pangkal paha, daerah lengan dll. Pembuluh darah ini akan
digunakan secara bergantian untuk mencegah mengerasnya pembuluh darah yang akhirnya nanti
tidak bisa digunakan kembali.
Daerah yang dipilih biasanya pembuluh darah di lengan bawah. Dengan cimino, anda hanya
perlu menggunakan satu akses setiap kali melakukan hemodialisa hanya saja anda perlu
menunggu 2-6 minggu hingga luka operasi sembuh dan cimino bisa digunakan. Cimino ini bisa

4
bertahan selama 3 tahun untuk kemudian harus dicari pembuluh darah yang lain. Setelah akses
didapatkan, maka proses hemodialisa akan dilakukan. Hemodialisa dilakukan dengan alat yang
disebut dialyzer. Mesin akan memompa darah kita keluar dari tubuh secara sedikit demi sedikit
untuk kemudian dicuci dalam dialyzer ini.
Dialyzer merupakan alat seperti filter dengan ribuan serat halus yang akan menyaring semua
zat berbahaya, cairan dan elektrolit berlebih. Di dalam dialyzer terdapat cairan khusus yang
disebut dialysate yang mengandung cairan dan formula khusus yang berfungsi menyerap zat
yang tidak perlu dan menambahkan zat atau mineral atau elektrolit yang kurang. Komposisi
dialysate dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan cairan dan darah anda saat melakukan
hemodialisa. Karena itulah setiap kali akan melakukan hemodialisa anda akan melalui
pemeriksaan darah terlebih dahulu dulu untuk melihat komposisi elektrolit dan berbagai
komponen kimia darah dalam tubuh saat itu.
Setelah selesai disaring, maka darah yang sudah bersih akan dipompa kembali ke dalam
tubuh. Proses ini akan diulang berkali-kali hingga seluruh darah berhasil disaring. Berapa lama
proses hemodialisa berlangsung? Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 – 12 jam dalam
seminggu untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena ini waktu yang cukup panjang,
maka biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan dalam seminggu selama 3-5 jam setiap
kali hemodialisa.
Pada hemodialisis darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan diedarkan dalam sebuah
mesin di luar tubuh, sehingga cara ini memerlukan jalan keluar-masuk aliran darah. Untuk itu
dibuat jalur buatan di antara pembuluh arteri dan vena atau disebut fistula arteriovenosa melalui
pembedahan. Lalu dengan selang darah dari fistula, darah dialirkan dan dipompa ke dalam mesin
dialisis.Untuk mencegah pembekuandarah selama proses pencucian, maka diberikan obat anti
beku yaitu Heparin.
Sebenarnya proses pencucian darah dilakukan oleh tabung di luar mesin yang
bernama dialiser. Di dalam dialiser, terjadi proses pencucian, mirip dengan yang berlangsung di
dalam ginjal. Pada dialiser terdapat 2 kompartemen serta sebuah selaput di tengahnya. Mesin
digunakan sebagai pencatat dan pengontrol aliran darah, suhu, dan tekanan.
Aliran darah masuk ke salah satu kompartemen dialiser. Pada kompartemen lainnya
dialirkan dialisat, yaitu suatu cairan yang memiliki komposisi kimia menyerupai cairan tubuh
normal. Kedua kompartemen dipisahkan oleh selaput semipermeabel yang mencegah dialisat
mengalir secara berlawanan arah. Zat-zat sampah, zat racun, dan air yang ada dalam darah dapat
berpindah melalui selaput semipermeabel menuju dialisat. Itu karena, selama penyaringan darah,
terjadi peristiwa difusi dan ultrafiltrasi. Ukuran molekul sel-sel dan protein darah lebih besar dari

5
zat sampah dan racun, sehingga tidak ikut menembus selaput semipermeabel. Darah yang telah
tersaring menjadi bersih dan dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialisat yang menjadi
kotor karena mengandung zat racun dan sampah, lalu dialirkan keluar ke penampungan dialisat.
Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu zat dalam campuran, dari bagian pekat ke
bagian yang lebih encer. Difusi dapat terjadi bila ada perbedaan kadar zat terlarut dalam darah
dan dalam dialisat. Dialisat berisi komponen seperti larutan garam dan glukosa yang dibutuhkan
tubuh. Jika tubuh kekurangan zat tersebut saat proses hemodialisis, maka difusi zat-zat tersebut
akan terjadi dari dialisat ke darah.
Ultrafiltrasi merupakan proses berpindahnya air dan zat terlarut karena perbedaan tekanan
hidrostatis dalam darah dan dialisat. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialisat memaksa air
melewati selaput semipermeabel. Air mempunyai molekul sangat kecil sehingga pergerakan air
melewati selaput diikuti juga oleh zat sampah dengan molekul kecil.
Kedua peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan. Setelah proses penyaringan dalam
dialiser selesai, maka akan didapatkan darah yang bersih. Darah itu kemudian akan dialirkan
kembali ke dalam tubuh.
Rata-rata tiap orang memerlukan waktu 9 hingga 12 jam dalam seminggu untuk menyaring
seluruh darah dalam tubuh. Tapi biasanya akan dibagi menjadi tiga kali pertemuan selama
seminggu, jadi 3 - 5 jam tiap penyaringan. Tapi hal ini tergantung juga pada tingkat kerusakan
ginjalnya.

2.4 Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya.
Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses


pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih saying antara anggota keluarga, antar kerabat,
serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis (Soetjiningsih, 1995).
Hubungan kasih sayang dalam kelaurga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam
kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak dituntut agar memiliki
tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling
membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 1995).

6
Pola keluarga tradisional pada saat ini dimana suami sebagai pencaria nafkah, sedangkan
istri yang mengurus rumah tangga dan anak- anak, sudah banyak berubah. Pada saat ini banyak
istri yang bekerja, disamping bertujuan untuk membantu perekonomian keluarga juga untuk
mengembangkan kariernya. Hal ini akan menyebabkan tanggung jawab istri menjadi sangat
berat baik fisik maupun mental, tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan cara suami ikut
membantu dengan penuh kesadaran untuk ikut serta mengatasi tugas istri (Soetjiningsih, 1995).

2.5 Fungsi dukungan keluarga


Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa
fungsi dukungan yaitu:
1. Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang
dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya
suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus
pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan
pemberian informasi.
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan
langsung seperti pemberian uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk ini dapat
mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang behubungan
dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah
yang dianggap dapat dikontrol.
2. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi
pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya
memberikan support, penghargaan, perhatian.
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberiaan informasi, saran atau umpan balik tentang
situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk
mengenali dan mengatasi masalah dengan mudah.
3. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan
penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari
kelelahan.

7
4. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu
penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang
diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan
didengarkan.
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan
dicintai oleh keluarga sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan baik. Dukungan ini
sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
5. Sumber dukungan keluarga
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga
sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak
digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu
siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat
berupa dukungan sosial kelurga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari
saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998).

2.6 Manfaat Dukungan Keluarga


Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan,
sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan.
Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat
keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek penyangga
(dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama
(dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.
Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan
kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial
yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari
sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi (Ryan dan Austin
dalam Friedman, 1998).

2.7 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga


Menurut Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman (1998), ada bukti kuat dari hasil
penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif

8
menggambarkan pengalaman- pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari
keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar.
Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan
atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih
tua.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi
orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan
tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan
adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau
otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan,
afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah.

2.8 Faktor Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisa


Depresi sering kali menghantui pasien yang tengah menjalani proses cuci darah atau
hemodialisa. Dukungan dari keluarga dan orang terdekat diperlukan untuk menumbuhkan
semangat pasien dalam menjalani pengobatan.
Penderita penyakit apapun, apalagi yang sudah masuk dalam tahap lanjut, umumnya
diliputi kemarahan dan depresi karena memikirkan kesakitan yang dideritanya. Karena itu,
selain faktor penanganan medis dengan peralatan memadai yang digunakan para dokter,
dukungan keluarga dan orang-orang terdekat sangat diperlukan dalam perawatan pasien. Begitu
juga dengan pasien yang harus menjalani cuci darah atau dikenal dengan istilah medis
hemodialisa. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah yang didasarkan pada pertukaran
ion-ion dan partikel cairan darah melalui suatu membran dengan menggunakan fungsi ginjal
buatan (alat dialisa) untuk mengeluarkan sampah dan racun hasil dari metabolisme tubuh.
Tindakan hemodialisa ini dilakukan untuk menolong seseorang yang fungsi ginjalnya menurun
hingga di bawah 15 persen.
Penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan pasien bergantung pada tindakan hemodialisa.
Kenyataan tersebut sangat memengaruhi kesehatan fisik dan psikis pasien. Spesialis penyakit
dalam dari RSPremier Jatinegara dr JF Mukidjam SpPD mengatakan, keluarga berperan penting
dalam mendukung pasien hemodialisa.”Karena keberhasilan tindakan hemodialisa secara
langsung dipengaruhi oleh kualitas tenaga medis, peralatan medis yang memadai, dan kondisi
pasien sendiri,”tuturnya dalam acara Gathering Pasien Hemodialisa di Auditorium RS Premier
Jatinegara, Jakarta. Saat ini, ungkap dia, tidak sedikit pasien hemodialisa bahkan keluarganya

9
yang kemudian membatasi komunikasi dengan orang lain saat mengetahui dirinya atau anggota
keluarganya harus menjalani hemodialisa dan berusaha menanggung bebannya sendiri. Padahal,
terjadinya komplikasi pada saat dilakukannya tindakan hemodialisa semakin besar ketika pasien
mengalami penurunan kondisi fisik dan psikis.
Klien yang sedang menjalankan terapy hemodialisa yang tidak memiliki dukungan
keluarga yang adekuat akan mengalami tekanan yang sangat drastis pada psikisnya, dia akan
merasa sangat terpukul, cenderung menutup diri, selalu ada ketidak efektifan koping
emosionalnya, klien yang sedang menjalankan terapi akan sangat lelah, kesakitan, dan putusnya
asa juga harapan yang sebenarnya dapat sangat membantu dari kelangsungan terapi ini. Selain
itu klien yang sedang menjalankan terapi akan mengganggap dirinya sebagai beban bagi
keluarganya. Pemekiran yang mereka punya tentang kondisi dirinya sendiri sangatlah berat,
selain itu klien yang sedang menjalangkan terapi pun akan memikirkan bagaimana proses
finansial ekonomi keluarganya untuk membiayai segala proses terapi yang sedang klien
jalankan.
Kondisi-kondisi seperti itulah yang akan menghambat terapy hemodialisa, karena
ketidakadaan kemauan dari klienya sendiri, ataupun sesungguhnya klien ingin sepenuhnya
mengikuti prosedur terapi hemodialisa ini, namun klien mengalami hambatan selama menjalan
kan terapi, bisa terpicu karena hal-hal yang tadi yang bisa membuat klien depresi, stress,
mengurung diri, keputus-asaan, tidak ada harapan, rasa percaya diri yang rendah, emosional
yang labil, atau tidak adanya dukungan keluarga yang sebernarnya sangat diharapkan oleh klien
untuk bisa membantu memberikan dorongan seperti motivasi, semangat, doa, ataupun secara
financial.
Namun pada beberapa kasus didapati data bahwa klien yang mengalami penyakit
keganasan, yang sedangkan menjalankan terapi hemodialisa, juga mendapatkan dukungan
sangat penuh dari rekan-rekannya, terutama keluarga. Klien akan sangat kooperatif dalam
menjalankan prosedur terapi hemodialisa ini, kencederungan klien untuk hidup akan sangat
jauh lebih baik, klien dapat menerima kondisi dirinya dengan sadar, klien akan terlihat lebih
tenang, damai, dan klien akan sangat memperhatikan kondisi dirinya.

10
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Setelah penulis mencari jurnal mengenai hubungan dukungan keluarga terhadapan ketaatan
dalam menjalankan terapi hemodialisa. Maka sebagai langkah terakhir dalam penyusunan
laporan makalah ini, dapat diambil beberapa kesimpulan dan memberikan saran yang sekiranya
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi yang lainya.

Setelah melihat dari tinjauan teori juga beberapa jurnal yang kami baca, pada beberapa
kasus didapati data bahwa klien yang mengalami penyakit keganasan, yang sedangkan
menjalankan terapi hemodialisa, juga mendapatkan dukungan sangat penuh dari rekan-
rekannya, terutama keluarga. Klien akan sangat kooperatif dalam menjalankan prosedur terapi
hemodialisa ini, kencederungan klien untuk hidup akan sangat jauh lebih baik, klien dapat
menerima kondisi dirinya dengan sadar, klien akan terlihat lebih tenang, damai, dan klien akan
sangat memperhatikan kondisi dirinya.

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya.
Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

Klien yang sedang menjalankan terapy hemodialisa yang tidak memiliki dukungan
keluarga yang adekuat akan mengalami tekanan yang sangat drastis pada psikisnya, dia akan
merasa sangat terpukul, cenderung menutup diri, selalu ada ketidak efektifan koping
emosionalnya, klien yang sedang menjalankan terapi akan sangat lelah, kesakitan, dan putusnya
asa juga harapan yang sebenarnya dapat sangat membantu dari kelangsungan terapi ini. Selain
itu klien yang sedang menjalankan terapi akan mengganggap dirinya sebagai beban bagi
keluarganya. Pemekiran yang mereka punya tentang kondisi dirinya sendiri sangatlah berat,
selain itu klien yang sedang menjalangkan terapi pun akan memikirkan bagaimana proses
finansial ekonomi keluarganya untuk membiayai segala proses terapi yang sedang klien
jalankan.

11
LAMPIRAN

LAMPIRAN

e-journaAUil Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MENJALANI


TERAPI HEMODIALISA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK DI RUANGAN
DAHLIA DAN MELATI RSUP PROF. Dr. R. D KANDOU MANADO

Anggreini Rostanti Jeavery Bawotong Franly Onibala Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan Universitas Sam Ratulangi

Abstarc : Compliance is a term used to describe the behavior of the patient in performing
hemodialysis therapy in accordance with the specified time. Research Purpose: Unknown factors
related to compliance in undergoing hemodialysis therapy in Chronic Kidney Disease at Dahlia
lounge room and Bed Hospital Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Methods: the design of this
research is analytic survey with Result : show there were 36 repondents (18,7%) submissive in
therapy to have good family support in getting p = 0,000, education on adherence in
hemodialysis therapy obedient background is high school with the number of 21 respondents
(26,9%) with p = 0,193, undergoing hemodyalisis duration is 1 who had undergone hemodyalisis
therapy with the number respondent 21 (31,3%) to p = 0,581. Conclusion: there is a relationship
between compliance with family support, education level, and duration of hemodialysis in
undergoing hemodialysis therapy. Recommendation: Expected for relevant agencies to better
provide information for patients with chronic kidney disease on the impact of family support,
education level, and duration of hemodialysis on adherence menajalni hemodialysis therapy in a
timely manner and to maintain the health status of patients with chronic kidney disease.

Keyword : compliance undergoing hemodialysis therapy, family support, education level and
duration of hemodialysis, chronic kidney disease.

12
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016

Abtrak : Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam
melakukan terapi hemodialisa sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tujuan Diketahui faktor-
faktor yang berhubungan dengan kepatuhan menjalani terapi hemodialisa pada penderita
penyakit ginjal kronik di Ruang Dahlia dan Melati RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado.
Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu purposive sampling dengan jumlah 67
sampel. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 36 responden (18,7%) patuh dalam menjalani
terapi dengan memiliki dukungan keluarga baik didapatkan nilai p = 0,000, pendidikan terhadap
kepatuhan dalam menjalani terapi hemodialisa yang patuh adalah berlatar belakang pendidikan
SMA dengan jumlah responden 18 (26,9%) dengan p =0,193, lama hemodialisa terhadap
kepatuhan yang patuh adalah 1 tahun yang telah menjalani terapi hemodialisa dengan jumlah 21
responden (31,3%) dengan p = 0,581 . Kesimpulan ini menunjukkan ada hubungan antara
dukungan keluarga, tingkat pendidikan dan lamanya menjalani hemodialisa terhadap kepatuhan
dengan dalam menjalani terapi hemodialisa. Saran Diharapkan bagi instansi terkait untuk dapat
lebih memberikan informasi bagi penderita penyakit ginjal kronik tentang dampak dari
dukungan keluarga, tingkat pendidikan dan lamnyamenjalani hemodialisa terhadap kepatuhan
dalam menajalni terapi hemodialisis dengan tepat waktu dan dapat mempertahankan status
kesehatan penderita penyakit ginjal kronik.

13
Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016 2

PENDAHULUAN

Gagal ginjal merupakan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kekambuhan)
maupun secara kronis (menahun). Gagal ginjal akut bila penurunan fungsi ginjal berlangsung
secara tiba-tiba, tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya segera dapat diatasi.
Gagal ginjal kronik gejala yang muncul secara bertahap, biasanya tidak menimbulkan gejala
awal yang jelas, sehingga penurunan fungsi ginjal tersebut sering dirasakan, tahu-tahu sudah
pada tahap parah dan sulit diobati. Gagal ginjal kronik atau penyakit tahap akhir adalah
penyimpangan progresif, ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit mengalami kegagalan, yang
mengakibatkan uremia (Alam Syamsir dan Hadibroto Iwan, 2007). Penyakit ginjal kronik
merupakan penyakit tahap akhir yang sangat progresif dan irreversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi uremia (Smeltzer. C, Suzanne, 2002 dalam Padali, 2012).

Menurut Worl Healt Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang
mengalami penyakit gagal ginjal kronik (Ratnawati, 2014). Berdasarkan data dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevelensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar
0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi dari kelompok umur
lainnya. Prevelensi gagal ginjal kronik (GGK) di Sulawesi Utara sebesar 0,4% dimana lebih
tinggi dari prevalensi nasional. Berdasarkan data yang dirilis PT. Askes pada tahun 2010 jumlah
pasien gagal ginjal ialah 17.507 orang. Kemudian meningkat lagi sekitar lima ribu lebih pada
tahun 2011 dengan jumlah pasti sebesar 23.261 pasien. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan
yakni 24.141 pasien, bertambah hanya 880 orang. Menurut Yayasan Peduli Ginjal (Yagudi), saat
ini di Indonesia terdapat 40.000 penderita gagal ginjal kronik (GGK). Namun dari jumlah
tersebut, hanya sekitar 3.000 penderita yang biasa menikmati pelayanan cuci darah atau
hemodialisa. Sisanya, hanya bisa pasrah menjalani hidupnya, karena pada dasarnya penderita
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa tidak bisa sembuh. Untuk menjalani terapi
hemodialisa seseorang membutuhkan dukungan dari keluarga. Baik dukungan secara emosional,

14
dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Seseorang yang mendapatkan dukungan dari
keluarga akan menjalani hemodialisa dengan penuh semangat.

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam
perawatan hemodialisa. Hemodialisa adalah suatu alternative terapi bagi penderita gagal ginjal
kronik yang membutuhkan biaya besar. Penderita tidak bisa melakukannya sendiri, mengatar
kepusat hemodialisa dan melakukan control ke dokter. Dukungan keluarga sangat berpengaruh
pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa, tanpa adanya dukungan dari kelurga mustahil
program terapi hemodialisa dapat berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan (Sunarni,
2009).

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat
mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya
(Notoatmodjo, 2010).

Seseorang dengan hemodialisa jangka panjang sering merasa khawatir akan kondisi
sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya. Hemodialisa yang
cukup panjang sering menghilangkan semangat hidup seseorang sehingga mempengaruhi
kepatuhan seseorang dalam menjalani terapi hemodialisa (Brunner & Suddart, 2002 dalam Sari
K. Lita, 2009). Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah
pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki nada yang cenderung menipulatif atau
otoriter dimana penyelenggara perawatan kesehatan atau pendidik dianggap sebagai tokoh yang
berwenang dan konsumen dianggap bersikap patuh. Istilah itu sebelum diterima baik dalam
dunia keperawatan, mungkin karena adanya falsafah yang mengatakan bahwa klien berhak untuk
membuat keputusan perawatan kesehatannya sendiri dan tidak perlu mengikuti rangkaian
tindakan yang telah ditentukan oleh profesional perawatan kesehatan.

Kepatuhan sebagai akhir dari tujuan itu sendiri, berbeda dengan faktor motivasi yang
dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan (Susan, 2002). Ejournal Keperawatan

15
(e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional. Penelitian ini


dilaksanakan di Ruangan Dahlia dan Melati RSUP.Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang
didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri
atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoadmojo, 2010). Besar populasi <
1000, maka sampel di ambil 20-30% dari populasi (Setiadi,2013). Jumlah sampel yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah 67 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria inklusi: Responden yang telah menjalani terapi hemodialisa. Kriteria eksklusi:
Pasien penyakit ginjal kronik mengalami penurunan kesadaran saat pengambilan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Presentase


Laki-laki 37 52.2%
Perempuan 30 44.8%
Total 67 100%
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki
dengan jumlah 37 responden (55,2%) dan sisanya berjenis kelamin perempuan berjumlah 30
responden (44,8%)

16
Table 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur Banyak Persentase


45-52 27 40.3%
53-60 40 50.7%
Total 67 100%
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Sebagaian pasien yang menjalani terapi hemodialisa
yang paling banyak adalah usia 53-60 tahun dengan 40 responden (59,7%) sedangkan usia 45-52
tahun dengan jumlah responden 27 (40,3%)

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan Banyak Persentase


SD 11 16.4%
SMP 10 14.9%
SMA 27 40.3%
SARJANA 19 28.4%
Total 67 100%
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Sebagian pasien yang menjalani terapi hemodialisa
tingkat pendidikan terakhirnya yang paling banyak adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)
berjumlah 27 responden (40,3%), Sarjana berjumlah 19 responden (28,4%), Sekolah Dasar (SD)
11 responden (16,4%) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 10 responden (14,9%).

17
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Hemodialisa

Lama Hemodialisa Banyak Presentase


1 Tahun 36 47.8%
2 Tahun 11 16.4%
3 Tahun 6 9.0%
4 Tahun 9 13.4%
5 Tahun 9 13.4%
Total 67 100%
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Responden dengan lama menjalani hemodialisa yang
paling banyak adalah 1 tahun 32 responden (47,8%), 2 tahun 11 reponden (16,4%), 3 tahun 6
responden (9,0%), 4 tahun 9 responden (13,4%) dan 5 tahun 9 responden (13,4%).

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan

Kepatuhan Banyak Persentase


Patuh 42 37.3%
Tidak Patuh 25 62.7%
Total 67 100%
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Tabel diatas menunjukkan bahwa 25 responden
(37,3%) tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisa dan 42 responden (62,7%) patuh dalam
menjalani terapi hemodialisa.

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga

Dukungan Keluarga Banyak Persentase


Kurang 24 35.8%
Baik 43 64.2%
Total 67 100%

18
Sumber : Data Primer (diolah tahun 2016) Tabel diatas menunjukkan bahwa 24 responden
(35,8%) memiliki dukungan keluarga yang kurang dan 43 responden (64,2%) memiliki
dukungan keluarga baik

Analisis Faktor – Faktor Kepatuhan dalam Menjalani Terapi Hemodialisa pada Penyakit
Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa Dahlia dan Ruang Hemodialisa Melati RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado

Tabel diatas menunjukkan bahwa diantara 67 responden penyakit ginjal kronik yang
patuh dalam menjalani terapi hemodialisa terdapat 36 responden (18,7%) yang memiliki
dukungan keluarga baik. Sedangkan yang tidak patuh dalam menjalani terapi hemodialisa
terdapat 6 responden (25%) yang memiliki dukungan keluarga kurang. Berdasarkan hasil uji
statistik lebih lanjut dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan
dalam menjalani terapi hemodialisa dengan dukungan keluarga pada penyakit ginjal kronik di
Ruang Hemodialisa Dahlia dan Ruang Hemodialisa Melati RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado (p = 0,000).

Hasil analisis pendidikan terhadap kepatuhan dalam menjalani terapi hemodialisa yang
patuh adalah berlatar belakang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jumlah
responden 18 (26,9%) dengan p – value 0,193. Dan hasil analisis lama hemodialisa terhadap
kepatuhan yang patuh adalah 1 tahun yang telah menajalani terapi hemodialisa dengan jumlah
21 responden (31,3%) dengan p – value 0,581.

19
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Ruang Dahlia dan Melati RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut

1. Dukungan keluarga terhadap pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa yang lebih banyak pada dukungan keluarga baik yaitu 43 responden
(64,2%).
2. Tingkat pendidikan terhadap pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa yang patuh yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) 18 responden (26,9%).
3. Lamanya menjalani hemodialisa terhadap pasien penyakit ginjal kronik yang patuh dalam
menjalani terapi hemodialisa kurang dari atau sama dengan 4 tahun yaitu 42 responden
(61,2%).
4. Kepatuhan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa lebih banyak
pada kategori patuh yaitu 42 responden (62,7%).
5. Ada hubungan antara dukungan keluarga, tingkat pendidikan dan lamanya menjalani
hemodialisa dengan kepatuhan yang menjalani terapi hemodialisa pada pasien penyakit
ginjal kronik di Ruang Dahlia dan Melati RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

20
e-journal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016

DAFTAR PUSTAKA

1. Alam S & Hadibroto I. (2007). Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Brunner
& Suddart. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
2. Carroll L. E (2006). The Stages Of Chronic Kidney Disease And The Estimated
Glomerular Filtration Rate. The Journal of Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 4
Nomor 2, Agustus 2016 5 Lancaster General Hospital (Diakses 10 Juli 2016).
3. Daryani. T, (2011). Faktor - faktor yang mempengaruhi keputusan inisiasi dialysis
pasien gagal ginjal tahap akhir di di RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO
KLATEN. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,. (Diunduh12 Maret
2016). F r i e d m a n , M . M . ( 2 0 1 0 ) . Keperawatan keluarga: Teoridan Praktek.
Jakarta: EGC. Fritiwi H. D, (2010).
4. Tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga pasien hemodialisa mengenai gagal
ginjal kronik DI KLINIK RASYIDA MEDAN (Diakses 09 Maret 2016).
5. Grenyen S. F, (1999). The Biopsychosocial Impact of End-Stage Renal Disease : The
Experience of Dialysis Patients and Their Partners. Journal of Advanced Nursing
(Diakses 10 Juli 2016).
6. Handayani T. (2012). Asuhan keperawatan pada Tn.S dengan gagal ginjal kronik yang
mengalami hipoglikemia di ruangan hemodialisa RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA (Diakses 12 Maret 2016)
7. Harwood. (2005). The Advance Practice NurseNephrologist Care Model: Effect On
Patient Out Comes and Hemodialysis Unit Team Satisfaction, Canada: International
Society For Hemodialysis.
8. Kammerer. J., Garry G., Hartigan M., Carter B., Erlich L., (2007), Adherence in
Patients On Dialysis : Stategies for Succes, Nephrology Nursing Journal : Sept-Okt
2007, Vol 34, No.5, 479-485.

21
9. (Diakses 25 Juli 2016). Mudzakkir & Masruroh. (2009). Panduan Lengkap Kebidanan &
Keperawatan.Yogyakarta.
10. Merkid Press Mutoharoh I. (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan mekanisme
koping klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT (RSUP) FATMAWATI JAKARTA
11. (Diakses 01 Maret 2016) Nekada Y D. Cornelia. (2012). Hubungan antara dukungan
keluarga dengan kepatuhan pada pasien gagal ginjal dalam menjalani hemodialisa DI
RSUP DR. SOERADJI TIRTINEGORO KLATEN
12. (Diakses 28 Februari 2016) Nursalam. (2006). Sistem Perkemihan. Jakarta:
SalembaMedika. Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
13. Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Padali. (2012). Buku ajar : Keperawatan Medikal Bedah, Yogyakarta :
14. Nuha Medika Pranandari R (2015). Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di Unit
Hemodialisa RSUD Wates Kulon PROGO. Jurnal Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta (Diakses 2 Juli 2016).
15. Price & Sylvia. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penvakit. Jakarta: EGC. Price
S & Wilson L. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :
EGC Ratnawati, Widyastuti. (2014). Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan
indeks massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di RSUD ARIFIN ACHAMAD
PROVINSI RIAU
16. ( Diakses 10 Februari 2016). Riset Kesehatan Dasar. (2013). Laporan Nasional
Riskesdas 2013. (Diunduh 23 Februari 2016). Sari. (2009). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan pada klien gagal ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisa di ruangan hemodialisa RSUP FATMAWATI
JAKARTA TAHUN 2009 (Diakses 01 Maret 2016)

22

Anda mungkin juga menyukai