Anda di halaman 1dari 10

BUNG TOMO

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang pernah merasakan pahitnya melawan para penjajah
yang terjadi sebelum proklamasi dibacakan. Semenjak Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 maka secara hukum tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal
ini mengakibatkan Indonesia berada dalam keadaan vacum of power (tidak ada pemerintah yang
berkuasa) dan waktu itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya.

Bung Tomo merupakan suatu nama yang tidak bisa lupakan dari peristiwa-peristiwa
kepahlawanan 10 November di Surabaya, sulit dipashkan dengan semangat perjuangan tanah air,
Bung Tomo telah menyatu dengan sejarah perjuangan pembebasan tanah air dari cengkraman
tangan-tangan berdarah penjajah. Bung Tomo adalah manusia yang sangat cinta dengan tanah
air, baik sebelum revolusi fisik tahun 1945 maupun di dalam revolusi 45 dan sesudah tahun 45

Saat proklamasi kemerdekaan, radio adalah alat komunikasi yang sangat penting pada
saat itu. Penyiarnya adalah Sutomo atau yang biasa dikenal dengan sapaan Bung Tomo. Melalui
Radio Republik Indonesia, Bung Tomo mengumandangkan pidato-pidato tentang perjuangan
melalui siaran radio. Ia selalu memberi semangat kepada masyarakat dari Sabang sampai
Merauke. Saat kedatangan Inggris ke Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia membuat rakyat
Indonesia menjadi ketakutan. Pasukan sekutu yang didominasi serdadu Inggris tiba di Surabaya
di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby. Sebelum tiba, Bung Tomo sempat melakukan orasi di
radio. Kemudian Brigjen AWS Mallaby tewas ditembak pejuang dan membuat Inggris marah
sehingga mengeluarkan ultimatum kepada Surabaya. Penduduk Surabaya yang dipimpin oleh
Bung Tomo menentang dengan tegas akan hal tersebut. Bung Tomo mengangkat moral
penduduk Surabaya lewat radio, meneriakkan dengan lantang slogan-slogan "Merdeka atau
Mati".

Bagaimanakah jejak hidup Bung Tomo? Apa peran beliau pada pertempuran 10 November di
Surabaya? Hal tersebut akan dibahas dibawah ini
PEMBAHASAN

Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur. Sutomo lebih dikenal dengan
nama Bung Tomo oleh rakyat. Bung Tomo dibesarkan dalam keluarga kelas menengah, dan juga
keluarga yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pendidikan. Ayahnya bernama
Kartawan Tjiptowidjojo adalah seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten
di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Bung Tomo
mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro.
Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Bung Tomo tercatat sebagai
pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan
Komunikasi M Nuh. Beliau adalah tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di
Surabaya. Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah
penghabisan, mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945.

Jejak hidup :

- Tahun 1930 menjadi wartawan freelance Suara Umum Surabaya


- Anggota Staf Redaksi mingguan Pembela Rakyat di Surabaya
- Tahun 1933-1942 aktif pada kepanduan bangsa Indonesia di Surabaya. Dilantik sebagai
Pandu kelas I
- Pada tahun 1941 sebagai ketua “SPINDORA” singkatan dari sandiwara pemuda
Indonesia Raya
- Menjdai ketua Umum barisan pemberontak Rakyat Indonesia selama Revolusi fisik sejak
1945
- Tahun 1947-1948 anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia dengan pangkat
jendral mayor
- Tahun 1950 sampai 1959 menjadi ketua Umum Partai Rakyat Indonesia
- Pada tahun 1955 sampai 1956 menjadi Menteri Negara Sosial
- Dari tahun 1955 sampai 1959 menjadi anggota Parlemen republik Indonesia
Bung Tomo suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik. Pada saat
usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Bung tomo melakukan
berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah
resmi lulus.

Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI. Bung Tomo kemudian
bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Sutomo menegaskan bahwa filsafat
kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari
kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia
menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai
peringkat Pandu Garuda.

Bung Tomo memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas
pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa
Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939. Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang
sukses.Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial.Ketika ia terpilih
pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hamper tak
seorang pun yang mengenal dia.Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya
yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin
yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu
Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggeris yang mendarat untuk melucutkan senjata
tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa. Sutomo terutama sekali dikenang
karena seruan-seruan pembukaannya didalam siaran siaran radionya yang penuh dengan
emosi.Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1942-1945.
Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya
dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Bung Tomo Muda


Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai
pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di
Malang.
Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan
menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus
terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12
tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai
pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah
resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya
dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan
formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di
Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada
1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.
Bung Tomo memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja sebagai wartawan lepas
pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa
Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1942-1945.

Bung Tomo sejak awal dari hidupnya telah diterangi dan dibimbing oleh ajaran agama, maka dia
sangat sadar begitu pentingnya arti agama ditengah tengah hidup dalam situasi apapun jiwa yang
telah diterangi akan tetap jiwa yang penuh kesyukuran maut yang manapun akan menjemput dia
akan tetap Takbir membesarkan asma Allah.
Perjuangan Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyulut pro dan kontra tentang
pengakuan kedaulatan Indonesia. Sekutu tidak mengakui Indonesia sebagai Negara merdeka,
karena kedaulatan Indonesia sebelum pendudukan Jepang berada di tangan Belanda. Kekalahan
Jepang atas Sekutu pada 15 Agustus 1945 secara tidak langsung menyerahkan kedaulatan
Indonesia kepada negara-negara pemenang perang, salah satunya Belanda yang menjadi bagian
dari Sekutu (Abdul Wahid.2014:14). Pada 29 September 1945 Sekutu di bawah komando
AFNEI,(Allied Forces for Netherland East Indies) mendaratkan kapalnya di Tanjung Priok.
Tujuan kedatangan AFNEI adalah untuk melucuti tentara dan senjata Jepang. AFNEI tidak
datang ke Indonesia sendirian. Di dalam AFNEI terdapat NICA (Netherland Indische Civil
Administration) keberadaan NICA ini menumbuhkan kecurigaan bangsa Indonesia akan
keinginan kembali Belanda menguasai Indonesia.

Sejak kedatangan pasukan Sekutu secara berangsur-angsur tentara Jepang kembali ke negaranya
sehingga tinggallah bangsa Indonesia berhadapan dengan NICA. Akibat kedatangan pasukan
sekutu dan NICA seringkali menimbulkan keributan secara fisik yang mengganggu stabilitas
keamanan dan politik Indonesia. Terjadi beberapa kali pertempuran antara pejuang Indonesia dan
pasukan sekutu seperti peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa 12-15
Desember 1945 di Ambarawa, Bandung lautan api 24 Maret 1946, pertempuran secara fisik
berlanjut dengan perjuangan secara diplomasi yaitu perundingan Linggajati 25 Maret 1947.
Perundingan ini melemahkan posisi Indonesia karena belanda secara de facto hanya mengakui
Sumatra, Jawa, dan Madura (Abdul Wahid.2014:26). Posisi Indonesia yang semakin lemah
karena konsentrasi pemimpin Indonesia lebih terfokus pada perjuangan diplomasi, Hal ini
membuka peluang Belanda untuk melakukan penguasan terhadap kota-kota di Indonesia secara
militer, maka terjadilah peristiwa Agresi militer Belanda I dan Agresi militer Belanda II.

Agresi militer Belanda ini di tanggapi oleh bangsa Indonesia dengan perang gerilya dengan
membentuk kantong-kantong gerilya di kota-kota di Indonesia. Pada 25 Oktober 1945, Kerajaan
Inggris mendatangkan 6.000 personel,yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S. Mallaby
diperintahkan untuk mengambil alih Surabaya dari Jepang dan segera menemukan bahwa dirinya
sendiri beserta pasukannya telah terjebak dalam konflik dengan pasukan Republik Indonesia.
Tujuan yang utama dari pasukan Kerajaan Inggris di Surabaya adalah perampasan senjata dari
Pasukan Jepang, menjaga tawanan perang terdahulu, dan mengirimkan sisa pasukan Jepang
kembali ke Jepang. Sebagian dari pasukan Jepang menyerahkan senjata mereka, namun lebih
dari 20.000 pasukan Indonesia menolak untuk menyerahkan senjatanya (Asiah, Nur.2009:20).

Pada 26 Oktober 1945, Brigadir Jendral A.W.S Mallaby mencapai suatu persetujuan dengan Mr
Suryo, Gubernur Jawa Timur yang berisikan bahwa pihak Kerajaan Inggris tidak akan meminta
pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjatanya. Terjadi suatu selisih paham yang nyata antara
pasukan Kerajaan Inggris di Jakarta yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Philip Christison
dengan pasukan Kerajaan Inggris di Surabaya tentang persetujuan ini, suatu selisih paham yang
serius. Pada 30 Oktober 1945, sesaat setelah menghadiri acara di publik kota Surabaya, mobil
yang dikendarai Brigadir Jendral A.W.S Mallaby ditembak oleh pejuang sehingga menyebabkan
Brigadir Jendral A.W.S Mallaby tewas. Peristiwa tersebut memancing kemarahan dari Letnan
Jenderal Philip Christison yang dengan serta merta mengirim 24.000 pasukan tambahan dari
Divisi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal E. C. Mansergh, dilengkapi dengan 21 buah Tank M4
Sherman, 2 kapal penjelajah dan 3 kapal perusak untuk menaklukkan Surabaya. Pada 9
November 1945, dikeluarkan suatu ultimatum oleh pasukan kerajaan Inggris kepada Pasukan
Indonesia agar menyerahkan semua senjata mereka, atau Surabaya akan diserang dari daratan,
laut, dan udara.Rakyat Indonesia menilai ini sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa
mereka, dan menolak ultimatum tersebut. Maka pada 10 November 1945, sesuai dengan janjinya
pasukan Kerajaan Inggris menggempur Surabaya dari Tri Matra.

Penduduk Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo menentang dengan ganas walaupun harus
berjuang dengan ketiadaan persenjataan. Bung Tomo mengangkat moral penduduk Surabaya
lewat radio, meneriakkan dengan lantang slogan-slogan "Merdeka atau Mati". Pertempuran yang
sengit di dalam kota Surabaya terus terjadi selama 10 hari. Pada 20 November 1945, pasukan
Kerajaan Inggris merencanakan untuk menaklukkan Surabaya dengan lebih dari 2.000 peristiwa
penyerangan. Lebih dari 20.000 pasukan Indonesia telah terbunuh. Namun para pejuang juga
melakukan balasan dengan membumihanguskan kota Surabaya.

Pada 19 September 1945 sebuah insiden terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Sekelompok orang
Belanda memasang bendera mereka. Rakyat marah. Seorang Belanda tewas dan bendera merah-
putih-biru itu diturunkan. Bagian biru dirobek, tinggal merah-putih, yang langsung dikibarkan.

Di Jakarta, pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945. Para serdadu Belanda ikut
rombongan. Bendera Belanda berkibar di mana-mana. Saat itu, Bung Tomo masih berstatus
wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik
Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya pada saat itu.

Di Jakarta, Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri, tak memulai konfrontasi
bersenjata. Bung Tomo kembali ke Surabaya. "Kita (di Surabaya) telah memperoleh
kemerdekaan, sementara di ibukota rakyat Indonesia terpaksa harus hidup dalam ketakutan,"
katanya seperti dicatat sejarawan William H. Frederick dari Universitas Ohio, AS.

Pada bulan Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang sangat penting,
karena ia berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada
waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh pasukan Inggris yang mendarat untuk
melucutkan senjata tentara pendudukan Jepang dan membebaskan tawanan Eropa.
Pada 9 November dikeluarkannya ultimatum yang ditunjukkan kepada para staf Gubernur Soerjo
yang berbunyi, pertama, seluruh pemimpin rakyat Surabaya harus menyerahkan diri paling
lambat pukul 18.00 di hari itu dengan tangan di atas kepala. Kedua, seluruh senjata harus
diserahkan. Lalu, pembunuh Mallaby menyerahkan diri. Jika kedua hal tersebut diabaikan,
Sekutu bakal mulai menyerang pada pukul 06.00 keesokan harinya. Seperti ultimatum terdahulu,
pamflet berisi ultimatum disebar lewat udara. Jika tidak dipatuhi, pada 10 November mulai pukul
06.00, Inggris akan mulai menggempur
Pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di depan
corong radio membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara inggris dan NICA-
Belanda

Ledakan Ucapan Takbir

Dalam riwayat Revolusi Indonesia ucapan Allahu Akbar yang dikumandangkan oleh Bung
Tomo dari corong radio pejuang di Surabaya bulan November 1945 telah dapat menggetarkan
hati para pemuda, para santri dan para ulama sehingga walaupun sekutu dan Nica mempunyai
senjata mutakhir berupa meriam yang dilindungi pesawat bomber akhirnya pihak musuh terpaksa
harus menyerah

Bung Tomo menegaskan bahwa peristiwa peristiwa yang terjadi di Surabaya bukan persoalan
orang-orang Surabaya saja. Surabaya itu hancur kalau Semarang tidak bergerak kalau Bandung
tidak bergolak atau kota kota lainya baik di Sumatera maupun di Ambon tidak ikut berjuang

Bung Tomo juga mengemukakan jangan hendaknya membeli pemuda dengan uang. Pada masa
mulai bergejolak revolusi pemuda Surabaya menetapkan garis perjuangan tidak menentang orang
tua dan orang tua pun percaya kepada anak-anak muda dan justru karenanya maka orang-orang
tua dan tokoh-tokoh pada waktu itu dapat mengikuti gerakan anak-anak muda. Hanya dengan
persatuan dan kesatuan maka perjuangan kita akan dapat berhasil.

Bung Tomo menyampaikan pesan kepada anak buah untuk memelihara kedisiplinan jangan
berbuat sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri atau merusak nama baik bangsa

Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an,
namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir
masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya,
Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat
Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim
pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat
sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia
berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia
ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras.
Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di
dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-
angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan
keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam
pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap


dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.

Bung Tomo Pernah Dipenjara Pemerintah Orde Baru

Pada awalnya, Bung Tomo mendukung pemerintahan Soeharto karena tidak berhalauan
komunis. Namun di tahun 70-an,Bung Tomo mulai mengkritik pemerintah orde baru. Memang
sudah menjadi sifat Bung Tomo dalam mengkritik siapapun tanpa tedheng aling-aling alias
ceplas-ceplos tanpa sungkan, tanpa ewuh-pakewuh dengan beraninya mengkritik Bung Karno,
Seoharto, dan orang besar kala itu. Seperti disebut dalam buku “Menembus kabut gelap: Bung
Tomo menggugat : pemikiran, surat, dan artikel” … Oleh Sutomo (Bung Tomo), menjelang hari
Pahlawan 1972, Majalah Panji Masyarakat No 855 Tahun XIII memuat wawancara dengan Bung
Tomo dengan Judul Bung Tomo Menggugat: Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan
Semangat 10 November 1945 telah dikhianati”. Artikel ini berisi kritikan Bung Tomo kepada
Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang seolah-olah menganakemaskan etnis
Tionghoa. Bung Tomo juga kerap mengkritik adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di
Orde Baru. Empat tahun setelah putra keduanya, Bambang Sulistomo, ditahan dua tahun karena
diduga terlibat unjuk rasa pada peristiwa 15 Januar 1974 (yang dikenal dengan Malari) , giliran
Bung Tomo yang ditahan akibat diduga terlibat unjuk rasa mahasiswa yang menentang kebijakan
Orde Baru. Bersamanya ditahan juga Mahbub Junaedi dan Ismail Suny. Menurut Bambang,
“Sejak keluar dari penjara bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya
tetap satu, konsisten,”.
Bung Tomo Wafat
Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah
haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah
ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di
sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Kesimpulan
Mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban seluruh bangsa Indonesia,
untuk itu diharapkan seluruh bangsa ikut andil dalam usaha mempertahankan kemerdekaan kita
sebagai bangsa Indonesia harus menghargai segala bentuk perjuangan para pahlawan dengan
mempertahankannya dan mempelajari segala bentuk perjuangan sehingga kita dapat
mencontohnya.
Usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia dapat kita laksanakan dengan cara
belajar dengan giat, selalu mentaati peraturan sekolah maupuh hokum Negara, selalu bersikap
positif, menjaga nama baik ( diri sendiri, keluarga, orang lain ), menjalin hubungan baik dengan
Negara manapun, mencintai produk dalam negeri, dan juga harus membangun Indonesia di masa
yang mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Hamdy el gumanty.1982 Selamat Jalan Bung Tomo. Aksara Agung: Jakarta

http://heniprasetyorini.blogspot.com/2014/03/belajar-dari-bung-tomo.html

Fadilah, Fatmawati. 2015. Peranan Bung Tomo dalam Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya. Jember : Universitas Jember

Alvi, Dwiningrum. 2013.Peran PRRI dalam Pertempuran Surabaya tahun 1945. Surabaya
:VERLEDEN

Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai