Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana yang tidak ada habisnya, baik karena manusia maupun karena
kejadian alam merupakan sumber stressor yang dapat mengakibatkan terjadinya
berbagai masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik yang ringan sampai yang berat.
Masalah kesehatan jiwa yang ringan berupa masalah psikososial seperti kecemasan,
psikosomatis dapat terjadi pada orang yang mengalami bencana. Bahkan keadaan
lebih berat seperti depresi dan psikosis dapat terjadi jika orang yang mengalami
masalah psikososial tidak ditangani dengan baik (Keliat, 2007).
Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia
lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik dapat
mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengam ansietas
yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Sedangkan
harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan
resiko terjadi harga diri rendah (Rusniati 2008).
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self
evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat di ekspresikan secara
langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata).
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat,
baik fisik maupun psikologi salah satunya di dukung oleh konsep
diri yang baik dan stabil. Konsep diri adalah hal-hal yang berkaitan dengan
ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh
individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu
dalam membina hubungan interpersonal. Meskipun konsep diri tidak langsung ada,
begitu individu di lahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan individu, konsep diri akan terbentuk karena
pengaruh ligkungannya. selain itu konsep diri juga akan di pelajari oleh individu
melalui kontak dan pengalaman

1
dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut.
Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan
penilaian persepsinya terhadap pengalaman akan situasi tertentu.
Gambaran penilaian tentang konsep diri dapat di ketahui melalui rentang
respon dari adaptif sampai dengan maladaptif. Konsep diri itu sendiri
terdiri dari beberapa bagian, yaitu: gambaran diri (body Image), ideal diri,
harga diri, peran dan identitas (Rusniati, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa di
komunitas ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Dari penyusunan makalah ini diharapkan penulis dapat mengetahui dan
memahami tentang konsep bagaimana penanganan pasien dengan gangguan jiwa
pada suatu komunitas.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui konsep gangguan jiwa
2. Untuk mengetahui pelaksanaan metode penanganan pasien dengan gangguan
jiwa di komunitas
3. Untuk memahami bagaimana asuhan keperawatan komunitas pada gangguan
jiwa

1.4 Manfaat
Setelah penulisan makalah ini, diharapkan penulis :
1. Mampu mengetahui konsep gangguan jiwa
2. Mampu mengetahui pelaksanaan metode penanganan pasien dengan gangguan
jiwa di komunitas
3. Mampu memahami bagaimana asuhan keperawatan komunitas pada gangguan
jiwa

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Jiwa


2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).
Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan
keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998).
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras,
agama, maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh
kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang
salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwadisebabkan
oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena
kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan
merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa tidak
mendapat pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).

2.1.2 Penyebab Gangguan Jiwa


Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada
unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya di badan (somatogenik), lingkungan
sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis1994). Biasanya tidak
terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dariberbagai
unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu
timbulah gangguan badan ataupun jiwa.

2.1.3 Macam-Macam Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala psikologik dari
unsur psikis (Maramis, 1994). Macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim, 1998):
Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan
gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan

3
somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan
onset masa kanak dan remaja.
1. Skizofrenia.
Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia merupakan suatu bentuk
psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun
demikian pengetahuan kita tentang penyebab dan patogenisanya sangat kurang
(Maramis, 1994). Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan
realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini
bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan.
Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati
biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak ”cacat” (Ingram et al.,1995).
2. Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, 1998). Depresi juga dapat
diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).Depresi adalah
suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan.Dapat berupa
serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam
(Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood
mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan
kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak
berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada
bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan
perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya
kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan
seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda

4
depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita suasana perasaan (mood)
yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktifitas (Depkes, 1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress
kehidupan danabnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa
penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang
mulai pulih (Atkinson, 2000).
3. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami
oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang
dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa
khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik
(Rawlins 1993).Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau
tidak dikenali.Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan
sampai tingkat berat.Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon
kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasn ringan, sedang,
berat dan kecemasan panik.
4. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala gangguan kepribadian (psikopatia)
dan nerosa berbentuk hampir sama pada orang dengan intelegensi tinggi atau
rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa dan gangguan
intelegensi sebagaian besar tidak tergantung pada satu dengan yang lain atau
tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: paranoid, afektif atau
siklotemik, skizoid, axplosif, anankastik atau obsesif-konpulsif, histerik, astenik,
antisosial, pasif agresif, dan kepribadian inadequate. (Maslim,1998).
5. Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa psikotik atau non-psikotik yang disebabkan
oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan
otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak
atau diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar
mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang
menyebabkannya. Bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang

5
terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan
penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik
lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu
daripada pembagian akut dan menahun.
6. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologi yang diikuti gangguan fungsi badaniah
(Maramis, 1994). Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang
dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan
dengan apa yang dinamakan neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi
faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
7. Retardasi Mental
Merupakan terhenti atau tidak lengkapnya perkembangan jiwa terutama
ditandai oleh terjadinya gangguan keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim,1998).
8. Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja.
Anak dengan gangguan perilaku ini ditunjukkan dengan perilaku yang
tidak sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau norma masyarakat (Maramis,
1994). Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan masalah dalam
asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau
mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling
mempengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat
kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Pada
gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibat-
kan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi
perilaku pada anak. Maka dengan demikian gangguan perilaku dapat dicegah.

2.1.4 Pencegahan Kekambuhan Gangguan Jiwa


Pencegahan kekambuhan adalah dengan mencegah terjadinya peristiwa
timbulnya kembali gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan (Stiart,
2001). Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada

6
tahun I, dan 79% pada tahun ke-II (Yosep, 2006). Kekambuhan biasa terjadi karena
adanya kejadian buruk sebelum mereka kambuh (Wiramis harja, 2007). Empat
faktor penyebab kekambuhan dan yang memerlukan perawatan, menurut Sullinger
(1988) adalah sebagai berikut :
1. Klien: ketidakteraturan mengkonsumsi obat mempunyai kecenderungan untuk
kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25%-50% klien yang
pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
2. Dokter (pemberi resep): pengguanaan obat yang teratur dapat mengurangi
kambuh, namun penggunaan obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan
efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial
seperti gerakan yang tidak terkontrol.
3. Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang, maka perawat puskesmas tetap
bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.
4. Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan
ekspresi emosi tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan
dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga ekspresi emosi
tinggi dan 17% dari keluarga ekspresi emosi keluarga rendah. Selain itu, klien
juga mudah dipengaruhi oleh stress menyenangkan (naik pangkat, menikah)
maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga,
klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terapi bisanya:
mengumpulkan anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan
perasaan. Memberi kesempatan menambah ilmu dan wawasan kepada klien
ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarga,
adalah sebagai berikut :
1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)
2. Tidak nafsu makan
3. Sukar konsentrasi
4. Sulit tidur
5. Tidak ada minat
6. Depresi dan menarik diri

7
Setelah klien kembali ke keluarga, sebaiknya klien melakukan perawatan
lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa.
Perawat komunitas yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai
“ruangan perawatan”. Perawat, klien dan keluarga bekerjasama untuk membantu
proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat
kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan dan after care di puskesmas.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan
“perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan
yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia
jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat
kembali (kambuh). Peran serta keluarga meningkatkan kemampuan keluarga
merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari
berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai
hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi”
pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai,
keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982). Individu menguji
coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi
individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan
individu untuk berperan di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu
sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat
mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu
penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan mempengaruhi
perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab
kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku
klien di rumah (Sullinger, 1988). Klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan
akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada
tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama
di rumah atau di masyarakat.

2.2 Dukungan sosial keluarga


2.2.1 Pengertian Dukungan Sosial Keluarga

8
Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang
diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang
tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan
perubahan perilaku ada 3, yaitu : (1) dukungan material adalah menyediakan
fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah untuk memberiakan contoh nyata
keberhasilan seseorang dalam melaksanakan diet dan latihan, dan (3) dukungan
emosional atau semangat adalah member pujian atas keberhasilan proses latihan.
Menurut Friedman (1998), dukungan sosial keluarga adalah sikap, tindakan
dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga
memenadang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
Friedman dalam Sudiharto (2007), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga
antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan
kebutuhan psikososial, saling mengasuh memberikan kasih sayang serta menerima
dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan sosial keluarga adalah bagian
integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari dukungan sosial keluarga adalah
meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam
kehidupan.
Studi tentang dukungan sosial keluarga telah mengkonseptualisasi
dukungan sosial sebagai koping keluarga. Menurut Sheridan dan Radmacher
(1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999), keluarga memiliki dukungan, yaitu :
dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif.

2.2.2 Jenis Dukungan Sosial Keluarga


Kaplan (1976) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga
memiliki 4 jenis dukungan, yaitu :
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan.Bentuk dukungan ini membuat individu
memiliki perasaan nyaman, yakin, diperlukan dan dicintai oleh sumber
dukungan sosial, sehingga dapat menghadapi masalah dengan lebih baik.
2. Dukungan Penghargaan

9
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif
untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan
individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, contohnya
dengan membandingkannya dengan orang lain yang lebih buruk keadaannya.
3. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang
memberi pinjaman uang kepada orang itu.Bentuk dukungan ini dapat
mengurangi beban individu karena individu dapat langsung memecahkan
masalahnya yang berhubungan dengan materi.
4. Dukungan Informatif
Dukungan informatif mencakup memberikan nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-
saran atau umpan balik. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu
untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

2.2.3 Sumber Dukungan Sosial Keluarga


Menurut Root & Dooley (1985) dalam Kuncoro (2002) ada 2 sumber
dukungan sosial keluarga yaitu natural dan artifisial. Dukungan sosial keluarga
yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupan secara
spontan dengan orang yang berada di sekitarnya. Dukungan sosial keluarga ini
bersifat formal sedangkan dukungan sosial keluarga artifisial adalah dukungan yang
dirancang dalam kebutuhan primer seseorang misalnya dukungan keluarga akibat
bencana alam melalui berbagai sumbangan sehingga sumber dukungan sosial
keluarga natural mempunyai berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan
dukungan sosial keluarga artifisial.
Perbedaan terletak pada keberadaan sumber dukungan sosial keluarga
natural bersifat apa adanya tanpa di buat-buat sehingga mudah diperoleh dan
bersifat spontan, Sumber dukungan sosial keluarga yang natural mempunyai
kesesuaian dengan nama yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan,
sumber dukungan sosial keluarga natural berakar dari hubungan yang berakar lama,
sumber dukungan natural mempunyai keragaman dalam penyampaian dukungan,
mulai dari pemberian barang yang nyata, menemui seseorang dengan

10
menyampaikan salam, sumber dukungan sosial keluarga natural terbatas dari beban
dan label psikologis.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Dukungan sosial keluarga


Sarafino (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi apakah seseorang akan menerima dukungan sosial keluarga atau
tidak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
1. Faktor dari penerima dukungan (recipient)
Seseorang tidak akan menerima dukungan sosial dari orang lain jika ia tidak suka
bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa
ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk
memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, atau
merasa bahwa ia seharusnya mandiri dan tidak mengganggu orang lain, atau
merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa
dia harus meminta pertolongan.
2. Faktor dari pemberi dukungan (providers)
Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan sosial kepada orang lain
ketika ia sendiri tidak memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, atau
tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif
terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan
dukungan darinya.
Menurut Friedman (1998), faktor yang mempengaruhi dukungan sosial
keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini
meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang
tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil
mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih
otoritas atau otokrasi.Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah
mempunyai tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada
orang tua dengan kelas sosial bawah.

2.2.5 Indikator Dukungan Sosial Keluarga


Indikator rendahnya dukungan sosial keluarga diantaranya:

11
1. Keluarga belum dapat memantau penderita gangguan jiwa dalam pemberian obat
sesuai dengan anjuran petugas kesehatan.
2. Keluarga belum bisa menjaga kebersihan diri penderita gangguan jiwa.
3. Keluarga belum bisa memenuhi kebutuhan KDM penderita di sebabkan adanya
kegiatan lain.
4. Keluarga masih melakukan pengasingan pada penderita gangguan jiwa.
5. Keluarga masih merasa malu dengan adanya penderita gangguan jiwa di
rumahnya karena dianggap aib keluarga.
6. Keluarga juga tidak mempunyai kreativitas dalam cara pemberian obat pada
penderita gangguan jiwa.
7. Keluarga tidak dapat berkomunikasi baik dengan penderita gangguan jiwa.
8. Keluarga belum mampu memberikan informasi dan motivasi pada penderita
gangguan jiwa.
9. Keluarga masih beranggapan bahwa penderita gangguan jiwa tidak dapat di
sembuhkan lagi.

2.2.6 Indikator Pencegahan Kekambuhan pada Penderita Gangguan Jiwa


Indikator pencegahan kekambuhan penderita gangguan jiwa di Puskesmas
adalah sebagai berikut :
1. Tidak terjadinya prilaku penyimpangan penderita seperti perilaku kekerasan
2. Tidak terjadinya prilaku penyimpangan pada penderita seperti Histeris
3. Tidak Terjadi prilaku penyimpangan seperti tidak mau minum obat, tidak mau
makan, tidak mau minum, tidak mau tidur, tidak mau keluar rumah, tidak mau
bicara, tidak mau mandi.
4. Tidak terjadinya prilaku seperti bicara sendiri
5. Tidak terjadinya prilaku ketawa sendiri, bicara gaur, berdiam diri, BAB dan
BAK sembarangan.

2.2.7 Fungsi Keluarga Dalam Memberikan Dukungan


Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga
memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:
1. Dukungan informasional

12
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator (penyebar) informasi
tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang
dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini
adalah menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
2. Dukungan penilaian
Keluarga sebagai bimbingan umpan balik, yaitu dengan membimbing
dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas
anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian
3. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit,
diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.
4. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari
dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi,
adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku ke
dalam 3 domain (ranah), meskipun ranah tersebut tidak mempunyai batasan yang
jelas dan tegas tetapi pembagian tersebut dilakukan untuk tujuan suatu pendidikan
adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain (ranah) perilaku
tersebut, yang terdiri dari ranah kognitif (coognitif domain) dan ranah afektif
(affective domain) dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam
perkembangan selanjutnya dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan,
ketiga domain ini diukur dari pengetahuan (Knowledge), Sikap dan tanggapan
(attitude), praktek dan tindakan (Practice).
Penderita gangguan jiwa tidak mungkin mampu mengatasi masalah
kejiwaanya sendiri. Individu tersebut membutuhkan peran orang lain di sekitarnya,
khususnya keluarganya. Peran keluarga dalam kesembuhan dan kekambuhan
penderita gangguan jiwa sangat penting, karena keluargalah orang yang paling

13
dekat dengan penderita gangguan jiwa.Pencegahan kekambuhan atau
mempertahankan penderita gangguan jiwa di lingkungan keluarga dapat terlaksana
dengan persiapan pulang yang adekuat serta mobilisasi fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada di masyarakat khususnya peran serta keluarga. (Sarafino, 2006)

2.3 Konsep Dasar Community Mental Healthy Nursing


2.3.1 Pengertian
Keperawatan kesehatan jiwa komunitas adalah pelayanan keperawatan yang
komprehensif , holistik, dan paripurna yang berfokus pada masyarakat yang sehat
jiwa , rentan terhadap stress (resiko gangguan jiwa) dan dalam tahap pemulihan
serta pencegahan kekambuhan (gangguan jiwa).
Pelayanan keperawatan komprehensif adalah pelayanan yang berfokuskan
pada pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat jiwa, pencegahan
sekunder pada masyarakat yang mengalami masalah psikososial (resiko gangguan
jiwa) dan pencegahan tersier pasien gangguan jiwa dengan proses pemulihan.
Pelayanan keperawatan holistik adalah pelayanan menyeluruh pada semua
aspek kehidupan manusia yaitu aspek bio-psiko-sosio-cultural dan spiritual.
1. Aspek (bio-fisik)
Dikaitkan dengan masalah kesehatan fisik seperti kehilangan orang tubuh yag
dialami anggota masyarakat akibat bencana yang memerlukan pelayanan dala
rangka adaptasi mereka terhadap kondisi fisiknya. Demikian pula dengan
penyakit fisik lain baik yang akut,kronis maupun terminal yang memberi
dampak pada kesehatan jiwa.
2. Aspek psikologis
Dikaitkan dengan berbagai masalah psikologis yang dialami masyarakat seperti
ketakutan, trauma, kecemasan maupun kondisi lebih berat yang memerlukakan
pelayanan agar mereka dapat beradaptasi dengan situasi tersebut.
3. Aspek social
Dikaitkan dengan kehilangan suami/istri/anak, keluarga dekat, pekerjaan, tempat
tinggal, dan harta benda yang memerlukan pelayanan dari berbagai sektor terkait
agar mampu mempertahankan kehidupan sosial yg memuaskan.
4. Aspek cultural

14
Dikaitkan dengan tolong menolong yang dapat digunakan sebagai sistem
pendukung sosial dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ditemukan.
5. Aspek spiritual
Dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat yang dapat diperdayakan
sebagai potensi masyarakat dalam mengatasi berbagai konflik dan masalah
kesehatan yang terjadi.
Pelayanan keperawatan paripurna adalah pelayanan pada semua jenjang
pelayanan yaitu dari pelayanan kesehatan jiwa spesialis , pelayanan kesehatan jiwa
integratif dan pelayanan kesehatan jiwa yang bersumber daya masyarakat.
Perberdayaan seluruh potensi dan sumber daya yang ada dimasyarakat diupayakan
agar terwujud masyarakat yang mandiri dalam memelihara kesehatannya.

2.3.2 Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa


Prinsip-prinsip keperawatan kesehatan jiwa adalah sebagai berikut :
1. Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara
perawat dengan klien).
2. Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
3. Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam
keperawatan jiwa).
4. Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam
keperawatan jiwa).
5. Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis
dalam keperawatan jiwa).
6. Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial
budaya dalam keperawatan jiwa).
7. Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan
dalam keperawatan jiwa).
8. Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika
dalam keperawatan jiwa).
9. Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses
keperawatan: dengan standar- standar perawatan).

15
10. Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards
(aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar
professional).
2.3.3 Jenis – jenis CMHN
1. Basic Course (BC) CMHN
Sasaran : perawat keswamas (puskesmas)
Kegiatan : perawat diberikan pelatihan cara memberikan asuhan keperawatan
(7Dx Keperawatan) pada klien dan keluarga pasien gangguan jiwa
dirumah.
2. Intermediate Course (IC) CMHN
Sasaran : Kader Keswa dan Perawat Keswa (Puskesmas
Kegiatan :
a. Membentuk desa siaga sehat jiwa
b. Merekrut dan melatih kader keswa untuk skreening ggn jiwa di masyarakat,
masalah psikososial dan sehat jiwa.
c. Melatih perawat keswa mengintervensi klien dengan masalah psikososial dan
mengembangkan rehabilitasi pasien gangguan jiwa.
3. Advance Course (AC) CMHN
Sasaran : individu, keluarga, staf puskesmas, kelompok formal dan informal
serta masyarakat luas
Kegiatan :
a. Manajemen keperawatan kesehatan jiwa
b. Kerjasama Lintas sektoral
1) Psycoanalytical (Freud, Erickson).
Menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang apabila
ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau
insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego)
untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber
ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of
Behavioral). Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah
adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya
ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu

16
secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata,
dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada
fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang
membekas pada masa dewasa. Proses terapi pada model ini adalah
menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk
memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan
ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam
bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali
traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang
memerlukan keahlian dan latihan yang khusus. Dengan cara demikian,
klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan
therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian
mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap
bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah
disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan
kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan
komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
2) Interpersonal ( Sullivan, peplau).
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety).
Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat
berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini
perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak
diterima oleh orang sekitarnya. Proses terapi menurut konsep ini adalh
Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien),
Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan
yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang
lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati. Peran perawat dalam
terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-
apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat
berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship

17
(perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang
dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang
mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.
3) Social ( Caplan, Szasz).
Seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku
apabila faktor social dan faktor lingkungan yang memicu munculnya stress
pada seseorang (social and environmental factors create stress, which
cause anxiety and symptom). Prinsip proses terapi yang sangat penting
dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social
support (pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien
harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di
masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri.
Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti
suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4) Existensial ( Ellis, Rogers).
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa
terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya.
Individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya. Membenci diri sendiri
dan mengalami gangguan dalam Body imagenya. Prinsip proses terapi-nya
adalah : mengupayakan individu agar bergaul dengan orang lain,
memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat
dianggap sebagai panutan (experience in relationship), memperluas
kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan
kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk
menerima jati dirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang
perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control
behavior). Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan berperan serta
memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan
mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas
kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien
melalui feedback, kritik, saran atau reward & punishment.

18
5) Supportive Therapy ( Wermon, Rockland).
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial
dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah
seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya
mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri,
perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah
seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak
mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut
terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut
muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah
yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu. Prinsip
proses terapinya adalah menguatkan respon coping adaptif, individu
diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada
pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan
masalahnya. Perawat harus membantu individu dalam melakukan
identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist
berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk
menyiapkan coping klien yang adaptif.
6) Medica (Meyer, Kraeplin).
Menurut konsep ini gangguan jiwa muncul akibat multifactor yang
kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan sosial. Sehingga
focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic,
terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan
dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur
diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian
terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan
menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.

2.3.4 Peran dan Fungsi Perawatan Kesehatan Jiwa Komunitas


Keperawatan kesehatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mendukung pada fungsi
yang terintegrasi sehingga sanggup mengembangkan diri secara wajar dan dapat

19
melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjelaskan tugasnya sehari-hari
sebagaimana mestinya. Dalam mengembangkan upaya pelayanan keperawatan
jiwa, perawat sangat penting untuk mengetahui dan meyakini akan peran dan
fungsinya, serta memahami beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan jiwa.
Center for Mental Health Services secara resmi mengakui keperawatan
kesehatan jiwa sebagai salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat
jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik,, teori kepribadian,
dan perilaku manusia untuk mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yang
mendasari praktik keperawatan.
1. Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
3. Berperan serta dalam pengelolaan kasus
4. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit
mental - penyuluhan dan konseling
5. Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
6. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan

2.3.5 Kompetensi perawat kesehatan jiwa komunitas (competent of caring)


1. Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.
3. Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi,
koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
4. Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk
menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk
pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.
5. Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan
penyakit jiwa dengan masalah fisik.

20
7. Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.

2.3.6 Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas


Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif adalah pelayanan keperawatan
jiwa yang diberikan pada masyarakat pasca bencana dan konflik, dengan kondisi
masyarakat yang sangat beragam dalam rentang sehat – sakit yang memerlukan
pelayanan keperawatan pada tingkat pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang komprehensif mencakup 3 tingkat
pencegahan yaitu pencegaha primer , sekunder, dan tersier.
1. Pencegahan Primer
Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan kesehatan
dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mencegah
terjadinya gangguan jiwa , mempertahankan dan meningkatkan kesehtan jiwa.
Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan
jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut.
Aktivitas pada pencegahan primer adalah program pendidikan kesehatan ,
program stimulasi perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa ,
manajemen stress, persiapan menjadi orang tua. Beberapa kegiatan yang
dilakukan adalah :
a. Memberikan pendidikan kesehatan pada orangtua antara lain :
1) Pendidikan menjadi orangtua
2) Pendidikan tentang perkembangan anak sesuai dengan usia.
3) Memantau dan menstimulasi perkembangan
4) Mensosialisasikan anak dengan lingkungan
b. Pendidikan kesehatan mengatasi stress
1) Stress pekerjaan
2) Stress perkawinan
3) Stress sekolah
4) Stress pasca bencana

21
c. Program dukungan sosial diberikan pada anak yatim piatu , individu yang
kehilangan pasangan , pekerjaan, kehilangan rumah/ tempat tinggal , yang
semuanya ini mungkin terjadi akibat bencana. Beberapa kegiatan yang
dilakukan adalah :
1) Memberikan informasi tentang cara mengatasi kehilangan
2) Menggerakkan dukungan masyarakat seperti menjadi orangtua asuh bagi
anak yatim piatu.
3) Melatih keterampilan sesuai dengan keahlian masing-masing untuk
mendapatkan pekerjaan
4) Mendapatkan dukungan pemerintah dan LSM untuk memperoleh tempat
tinggal.
d. Program pencegahan penyalahgunaan obat. Penyalahgunaan obat sering
digunakan sebagai koping untuk mengtasi masalah. Kegiatan yang
dilakukan:
1) Pendidikan kesehatan melatih koping positif untuk mengatasi stress
2) Latihan asertif yaitu mengungkapkan keinginan dan perasaan tanpa
menyakiti orang lain.
3) Latihan afirmasi dengan menguatkan aspek-aspek positif yang ada pada
diri seseorang.
e. Program pencegahan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu cara
penyelesaian masalah oleh individu yang mengalami keputus asaan. Oleh
karena itu perlu dilakukan program :
1) Memberikan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
tanda-tanda bunuh diri.
2) Menyediakan lingkungan yang aman untuk mencegah bunuh diri.
3) Melatih keterampilan koping yang adaptif.
2. Pencegahan Sekunder
Fokus pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan penanganan
dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah
menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota
masyarakat yang beresiko atau memperlihatkan tanda-tanda masalah dan
gangguan jiwa. Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah :

22
a. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh informasi dari
berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan dan penemuan langsung.
b. Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah sebagai berikut :
1) Melakukan pengkajian 2menit untuk memperoleh data fokus pada semua
pasien yang berobat kepukesmas dengan keluhan fisik.
2) Jika ditemukan tanda-tanda yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi
maka lanjutkan pengkajian dengan menggunakan pengkajian keperawatan
kesehatan jiwa.
3) Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa (di
tempat– tempat umum)
4) Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang ditemukan sesuai
dengan standar pendelegasian program pengobatan (bekerja sama dengan
dokter) dan memonitor efek samping pemberian obat, gejala, dan
kepatuhan pasien minum obat.
5) Bekerja sama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat lain yang
dibutuhkan pasien untuk mengatasi gangguan fisik yang dialami (jika ada
gangguan fisik yang memerlukan pengobatan).
6) Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan keluarga agar
melaporkan segera kepada perawat jika ditemukan adanya tanda-tanda
yang tidak biasa, dan menginformasikan jadwal tindak lanjut.
7) Menangani kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien ditempat yang
aman, melakukan pengawasan ketat, menguatkan koping, dan melakukan
rujukan jika mengancam keselamatan jiwa.
8) Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan untuk
membantu pemulihan pasien seperti terapi aktivitas kelompok , terapi
keluarga dan terapi lingkungan.
9) Memfasilitasi self-help group (kelompok pasien, kelompok keluarga, atau
kelompok masyarakat pemerhati) berupa kegiatan kelompok yang
mebahas masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara
penyelesaiannya.
10) Menyediakan hotline service untuk intervensikrisis yaitu pelayanan
dalam 24 pukul melalu telepon berupa pelayan konseling.

23
11) Melakukan tindakkan lanjut (follow-up) dan rujukan kasus.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah pelayanan keperawatan yang berfokus pada
peningkatkan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada pasien
gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan atau ketidak-
mampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat
mengalami gangguan jiwa pada tahap pemulihan. Aktifitas pada pencegahan
tersier meliputi :
a. Program dukungan sosial dengan menggerakan sumber-sumber di
masyarakat seperti : sumber pendidikan, dukungan masyarakat (tetangga,
teman dekat, tokoh masyarakat), dan pelayan terdekat yang terjangkau
masyarakat. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
1) Pendidikan kesehatan tentang perilaku dan sikap masyarakat terhadap
penerima pasien gangguan jiwa.
2) Penjelasan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam
penanganan pasien yang melayani kekambuhan.
b. Program rehabilitas untuk memberdayakan pasien dan keluarga hingga
mandiri berfokus pada kekuatan dan kemampuan pasien dan keluarga dengan
cara :
1) Meningkatkan kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan
menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat
2) Mengembangkan sistem pendukung dengan memberdayakan keluarga dan
masyarakat.
3) Menyediakan pelatihan dan kemampuan dan potensi yang perlu
dikembangkan oleh pasien, keluarga dan masyarakat agar pasien produktif
kembali.
4) Membantu pasien dan keluarga merencanakan dan mengambil keputusan
untuk dirinya.
c. Program sosialisasi
1) Membuat tempat pertemuan untuk sosialisasi.
2) Mengembangkan keterampilan hidup (aktifitas hidup sehari-hari
[ADL],mengelola rumah tangga, mengembangkan hobi

24
3) Program rekreasi seperti nonton bersama, jalan santai, pergi rekreasi.
4) Kegiatan sosial dan keagamaan (arisan, pengajian, majelis taklim, kegiatan
adat)
4. Program mencegah stigma. Stigma merupaka anggapan yang keliru dalam
masyarakat terhadap gangguan jiwa, oleh karena itu, perlu diberikan program
mencegah stigma untuk menghindari isolasi dan deskriminasi terhadap pasien
gangguan jiwa. Beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu :
a. Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan
jiwa dan gangguan jiwa, serta tentang sikap dan tindakan menghargai pasien
gangguan jiwa.
b. Melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat, atau yang berpengaruh
dalam rangka mensosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.

2.3.7 Jenis gangguan jiwa yang ditangani pada (anak, remaja dan lansia)
1. Jenis gangguan jiwa yang ditangani pada Anak
Berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 2007, persentase gangguan jiwa
mencapai 11,6 % dari sekitar 19 juta penduduk yang berusia di atas 15 tahun.
Hal ini menjadikan masalah kesehatan jiwa sebagai prioritas bagi Kementerian
Kesehatan karena merupakan tantangan yang besar dengan kompleksitas tinggi
di berbagai lapisan dan aspek kehidupan. Anak-anak dapat menderita gangguan
jiwa, sebagai berikut :
a. Gangguan kecemasan : Anak dengan gangguan kecemasan menanggapi hal-
hal tertentu atau situasi dengan rasa takut dan ketakutan, serta dengan tanda
fisik kecemasan (gugup), seperti detak jantung yang cepat dan berkeringat.
b. Gangguan perilaku : Anak dengan gangguan ini cenderung menentang aturan
dan sering mengganggu di lingkungan terstruktur, seperti sekolah.
c. Gangguan perkembangan : Anak dengan gangguan ini memiliki masalah
dalam memahami dunia di sekitar mereka.
d. Gangguan makan : Gangguan makan dapat melibatkan emosi dan sikap, serta
perilaku tidak biasa, terkait dengan kondisi tubuh bahkan makanan.
e. Gangguan Eliminasi : Gangguan ini mempengaruhi perilaku yang terkait
dengan pembuangan limbah tubuh (feses dan urin).

25
f. Gangguan Afektif : Gangguan ini melibatkan perasaan sedih terus menerus
bahkan berubahnya suasana hati dengan cepat.
g. Skizofrenia : gangguan serius melibatkan persepsi terdistorsi dan pikiran.
h. Gangguan Tic : Gangguan ini menyebabkan seseorang melakukan aktifitas
yang sama serta berulang, gerakan tiba-tiba dan tak terkendali serta sering.
Beberapa penyakit, seperti gangguan kecemasan, gangguan makan,
gangguan afektif, dan skizofrenia, dapat terjadi pada orang dewasa maupun
anak-anak. Sedangkan gangguan perilaku dan gangguan perkembangan,
gangguan eliminasi, gangguan belajar dan komunikasi dimulai pada masa
kanak-kanak saja, meskipun dapat berlanjut terus sampai dewasa. Dalam kasus
yang jarang terjadi, gangguan tic dapat terjadi pada orang dewasa. Tetapi hal
yang tidak biasa bagi seorang anak memiliki lebih dari satu gangguan.
2. Jenis Gangguan jiwa yang ditangani pada Remaja
a. Gangguan Cemas
Cemas (ansietas) adalah perasaan gelisah yang dihubungkan dengan
suatu antisipasi terhadap bahaya, ini berbeda dengan rasa takut, yang
merupakan bentuk respon emosional terhadap bahaya yang obyektif,
walaupun manifestasifisiologik yang ditimbulkannya sama cemas merupakan
suatu bentuk pengalamanan yang umum, tapi dapat ditemui dalam bentuk
yang berbeda pada gangguan psikiatrik dan gangguan medis Diagnosis
mengenai cemas ditegakkanapabila gejala cemas mendominasi dan
menyebabkan distres (rasa tertekan) atau gangguan yang nyata.
b. Gangguan Depresi
Dalam perkembangan normal, remaja mempunyai kecenderungan
mengalami depresi, oleh karena itu sangatlah penting untuk membedakan
secara jelas dan hati-hati antara depresi yang disebabkan oleh gejolak mood
yang normal pada remaja (adolescent turmoil) dengan depresi patologik.
Akibat sulitnya membedakan antara kedua kondisi diatas, membuat depresi
pada remaja sering tidak terdiagnosis, bila tidak ditangani dengan baik,
gangguan psikiatrik pada remaja sering kali akan berlanjut sampai
masa dewasa. Menurut Carlson, seperti yang dikutip oleh shafii membagi
depresi pada remaja menjadi tipe primer dan sekunder.

26
1) Tipe primer : bila tidak ada gangguan psikiatrik sebelumnya
2) Tipe sekunder : bila gangguan yang sekarang mempunyai hubungan
dengan gangguan psikiatrik sebelumnya. Pada gangguan depresi yang
sekunder biasanya lebih kacau, lebih agresif, mempunyai lebih banyak
kelelahan sometik, dan lebih sering terlihat mudah tersinggung, putus asa,
mempunyai ide bunuh diri, problem tidur, penurunan prestasi sekolah,
harga diri yang rendah , dan tidak patuh.
c. Gangguan somatoform ( Psikosomatik )
Gangguan ini lebih dikenal di masyarakat umum sebagai gangguan
psikosomatik . Ciri uatama dari gangguan somatoform adalah adanya keluhan
gejala fisik yang berulang, yang disertai dengan dengan permintaan
pemeriksaan medis : meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif
dan juga telah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik
yang menjadi dasar keluhannya. Pasien biasanya menolak adanya
kemungkinan penyebab psikologis, walaupun ditemukan gejala ansietas dan
depresi yang nyata.
d. Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah suatu kondisi terdapatnya gangguan yang berat
dalam kemampuan menilai realitas, yang bukan karena retardasi mental atau
gangguan penyalahgunaan NAPZA. Terdapat gejala yaitu waham ,
halusinasi,
perilaku yang sangat kacau , pembicaraan yang inkoheren ( kacau ) , tingkah
laku agitatif dan disorientasi yang termasuk gangguan psikotik antara lain :
1) Skizofrenia
2) Gangguan mood / afektif yang disertai dengan gejala psikotik
3) Gangguan waham
4) Gangguan mental organik gejala psikotik (ditandai adanya delirium,
demensia). Skizofrenia pada masa kanak dan remaja didefinisikan sama
dengan skizofrenia pada masa dewasa, dengan gejala psikotik yang khas,
seperti adanya defisit pada fungsi adaptasi, waham, halusinasi, asosiasi
yang melonggar atau inkoherensi ( isi pikir yang kacau), katatonia, afek
yang tumpul atau tidak dapat diraba-rabakan.

27
e. Gangguan penyalahgunaan NAPZA (narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat
Adikif lainnya )
Penyalahgunaan Napza di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
semakin meningkat. Faktor risiko yang dapat diidentifikasi pada remaja
penyalahgunaan NAPZA :
1) Konflik keluarga yang berat
2) Kesulitan Akademik
3) Adanya komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain, seperti gangguan
tingkah laku dan depresi.
4) Penyalahgunaan NAPZA oleh orang tua dan teman
5) Impulsivitas
6) Merokok pada usia terlalu muda
3. Jenis Gangguan Jiwa yang ditangani pada Lansia
a. Skizofernia
Skizofrenia Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa
yang berat dan gawat yang dapat dialami manusia sejak muda dan dapat
berlanjut menjadi kronis dan lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia
(lansia) karena menyangkut perubahan pada segi fisik, psikologis dan sosial-
budaya. Skizofrenia pada lansia angka prevalensinya sekitar 1% dari
kelompok lanjut usia (lansia) (Dep.Kes.1992).
Gangguan skizofrenia pada lanjut usia (lansia) ditandai oleh gangguan
pada alam pikiran sehingga pasien memiliki pikiran yang kacau. Hal tersebut
juga menyebabkan gangguan emosi sehingga emosi menjadi labil misalnya
cemas, bingung, mudah marah, mudah salah faham dan sebagainya. Terjadi
juga gangguan perilaku, yang disertai halusinasi, waham dan gangguan
kemampuan dalam menilai realita, sehingga penderita menjadi tak tahu
waktu, tempat maupun orang. Ganguan skizofrenia berawal dengan keluhan
halusinasi dan waham kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya
sendiri diucapkan dengan nada keras, atau mendengar dua orang atau lebih
memperbincangkan diri si penderita sehingga ia merasa menjadi orang ketiga.
b. Parafrenia

28
Parafrenia merupakan gangguan jiwa gawat yang pertama timbul pada
(lansia), (misalnya pada waktu menopause pada wanita). Gangguan ini sering
dianggap sebagai kondisi diantara Skizofrenia paranoid di satu pihak dan
gangguan depresif di pihak lain. Lebih sering terjadi pada wanita dengan
kepribadian pramorbidnya (keadaan sebelum sakit) dengan ciri-ciri paranoid
(curiga, bermusuhan) dan skizoid (aneh, bizar). Mereka biasanya tidak
menikah atau hidup perkawinan dan sexual yang kurang bahagia, jika punya
sedikit itupun sulit mengasuhnya sehingga anaknyapun tak bahagia dan
biasanya secara khronik terdapat gangguan pendengaran. Umumnya banyak
terjadi pada wanita dari kelas sosial rendah atau lebih rendah.
c. Gangguan Jiwa Afektif
Gangguan jiwa afektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
adanya gangguan emosi (afektif) sehingga segala perilaku diwarnai oleh
ketergangguan keadan emosi. Gangguan afektif ini antara lain:
1) Gangguan Afektif tipe Depresif
2) Gangguan Afektif tipe Manik
d. Neurosis
Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lansia. Sering
sukar untuk mengenali gangguan ini pada lansia karena disangka sebagai
gejala ketuaan. Hampir separuhnya merupakan gangguan yang ada sejak
masa mudanya, sedangkan separuhnya lagi adalah gangguan yang
didapatkannya pada masa memasuki lansia. Gangguan neurosis pada lansia
berhubungan erat dengan masalah psikososial dalam memasuki tahap lansia.
Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya
tilikan (insight) serta daya menilai realitasnya yang baik. Kepribadiannya
tetap utuh, secara kualitas perilaku orang neurosis tetap baik, namun secara
kuantitas perilakunya menjadi irrasional. Secara umum gangguan neurosis
dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Neurosis cemas dan panic
2) Neurosis obsesif kompulsif
3) Neurosis fobik
4) Neurosis histerik (konversi)

29
5) Gangguan somatoform
6) Hipokondriasis

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keperawatan Jiwa adalah pelayan keperawatan 30aladaptive30 didasarkan
pada ilmu perilaku, Ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus
kehidupan dengan respon psiko-sosial yang 30aladaptive yang disebabkan oleh
gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi
keperawatan jiwa (komunikasi terapetik dan dan terapi modalitas keperawatan
kesehatan jiwa) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan,
mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa. Klien,
(individu, keluarga, kelompok komunitas).
Keperawatan kesehatan jiwa merupakan proses interpersonal yang berupaya
untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mendukung pada fungsi
yang terintegrasi sehingga sanggup mengembangkan diri secara wajar dan dapat
melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjelaskan tugasnya sehari-hari
sebagaimana mestinya, Dalam mengembangkan upaya pelayanan keperawatan
jiwa, perawat sangat penting untuk mengetahui dan meyakini akan peran dan
fungsinya, serta memahami beberapa konsep dasar yangf berhubungan denga
asuhan keperawatan jiwa.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya akan lebih baik dari sekarang dan kami juga berharap pengetahuan
tentang trend dan isu keperawatan jiwa dalam komunitas terus di kembangkan dan

30
diterapkan dalam bidang keperawatan dalam menangani klien terutama pada pasien
dengan gangguan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN


Basic. Jakarta: EGC.
Makalah Keperawatanku, Community Mental Health Nursing. Post 14 Maret 2012.
Diambil pada tanggal 21 Juni 2014, dari
alamathttp://makalahkeperawatanku.blogspot.com/2012/03/community-
mental-health-nursing.html

31

Anda mungkin juga menyukai