Anda di halaman 1dari 14

Gejala Klinis Infeksi Virus Rubivirus sebagai Penyebab Campak Jerman

Dwiki Widyanugraha
Nur Amira Amalina Mohammad Zulkifli
Yohanna Inge
Linda Gunawan
Riska Mustamu
Glorya
Kelompok C3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Infeksi dan imunitas merupakan dua hal yang saling berkaitan dan menggambarkan
tentang fisiologi kekebalan tubuh pada saat terinfeksi mikroorganisme, seperti bakteri, virus, dan
parasit. Sistem kekebalan tubuh pun merupakan faktor penting dalam memerangi
mikroorganisme apabila terinfeksi sumber penyakit (mikroorganisme).1

Rubella merupakan togavirus dengan untai tunggal RNA pada intinya. Vaksin rubella
dari virus hidup yang dilemahkan dan disahkan pada tahun 1969. Bahaya terbesar virus rubella
adalah infeksi saat kehamilan, yang dapat mengakibatkan sindroma rubella congenital
(Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi baru lahir. Sebelumnya adanya vaksin, ribuan
kasus CRS dilaporkan hanya 2 kasus CRS pada setiap tahunnya. CRS merupakan bentuk
kegagalan dalam melakukan imunisasi pada wanita yang merencanakan hamil.2

Makalah ini disususn untuk mendeskripsiskan penyakit rubella, mulai dari penyebab,
proses terjadinya, menegakkan diagnosis, penatalaksanaa, pencegahan, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan penyakit rubella. Isi dari makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai masalah rubella, penanganan dan pencegahannya sehingga kita mampu menegenali
gejala-gejala yang timbul dan mamapu memeberikan tindakan penatalaksaaan yang terhadap
penyakit rubella.
Pemeriksaan Penunjang

USG Prenatal

Temuan biasanya berupa mikrosefali, kista subependimal di nucleus kaudatus, daerah


striotalamik dan focus ekhogenik di basal ganglia.2

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penting untuk konfirmasi pada kasus-kasus infeksi subklinik


dan klinik. Meskipun isolasi virus dapat dilakukan lewat sekresi nasofaring, hanya sedikit saja
laboratorium yang menyediakan pelayanan ini dan isolasi rubella biasanya memakan waktu 4-6
minggu. Test serologi hanya membuktikan adanya infeksi baru atau respon imunitas. Pada
kebanyakan kasus, antibody rubella membuktikan adanya reaksi imunitas dari infeksi sistemik
meskipun ditemukan re-infeksi pada masa kehamilan. Sebaliknya konversi serologi yang
menggunakan pasangan spesimen penderita pada fase akut dan penyembuhan menunjukkan
adanya infeksi baru. Tes inhibisi hemaglutinasi rubella yang menjadi strandart tes serologi oleh
laboratorium klinik telah digantikan oleh tes aglutinasi dan enzim immunoassay komersil yang
lebih murah dan mudah.3

Pada kebanyakan kasus, IgG spesifik rubella baik yang disebabkan oleh infeksi alami
atau imuniasasi akan menetap pada tubuh penderita selama hidupnya. Hampir seluruhnya dari
95% penderita setelah diiminisasikan oleh vaksin RA27/3 memeperlihatkan adanya antibodi oleh
enzim immunoassay setelah serokonversi selama 18 tahun. Pada infeksi baru rubella, konfirmasi
menunjukkan adanya antibodi IgM spesifik rubella yang muncul dengan cepat dan memuncak 1-
1.5 minggu setelah dimulai. IgM dapat dideteksi selama sebulan atau lebih tergantung dari
sensitifitas assay.2

Tinjauan terbaru di Amerika Utara pada tahun 2002 melaporkan adanya 19 kasus rubella
congenital di antara 1300 kasus wanita yang mempunyai antibody rubella tetapi diduga berat
terinfeksi kembali pada saat hamil. Penyebab kasus-kasus tersebut tidak jelas tetapi kesalahan
laboratorium pada tes antibody, tidak adanya antibodi IgG yang melindungi, timbulnya antigen
dari virus yang berbeda dan rendahnya imunitas maternal subklinik dapat menjadi penjelasan
yang potensial bagi penyebab kasus rubella congenital diatas.1
IgM spesifik rubella pada darah fetus yang diperoleh lewat kordosentesis mengindikasi
adanya infeksi intrauterina pada trimester kedua. Seroreaktifitas fetus dapat dilihat sedini
mungkin pada minggu ke 19 gestasi. Penelitian pada kasus 93 yang dilaporkan memeperlihatkan
95% kesesuaian antara hasil serologi fetus dan neonatal pada funipunktur yang dilakukan lebih
dari 2 minggu setelah infeksi klinik dan 22 minggu setelah gestasi dengan menggunakan deteksi
IgM spesifik rubella. Namun, waktu yang optimal untuk mendeteksi infeksi intrauterine dengan
menggunakan sistem ini tidak menentu. Meskipun reaksi imunitas fetus berkembang selama
minggu ke-20 sampai minggu ke-24 masa gestasi, sedikitnya satu negative palsu ditemukan
sehubungan dengan infeksi subsekuen congenital ketika tes serologi dilakukan pada minggu ke-
20. RT-PCR (reverse transcriptase-nested polymerase chain reaction amplication) yang
mendeteksi RNA virus telah “sampling” vilus korion yang biasanya digunakan untuk
mendiagnosis infeksi intrauterina rubella pada trimester pertama. Meskipun penelitian
retrospektif melaporkan adanya 85% kesesuaian antara biakan virus dan RT-PCR, kedua metode
diatas dapat mendeteksi kasus-kasus yang tidak terditeksi oleh metode alternative lainnya.
Hibridisasi dengn klon, prob DNA komplemen rubella dengan label radioaktif lebih sensitive
dalam mendeteksi infeksi pada trimester pertama dibandingkan dengan “sampling” vilus korion
meskipun false negated dapat terjadi pada kedua metode yang digunakan.4

Working diagnosis

Rubela secara umum dikenal dengan nama Campak Jerman (German Measles) atau
campak 3 hari (3-day measles) dan mempunyai tampilan relative nonspesifik. Gambaran klinis
rubella sulit untuk dibedakan dari penyakit virus lainnya seperti mononucleosis infeksiosa,
infeksi echovirus, dan infeksi coxsackie-virus, walaupun arthritis lebih dominan pada rubella.
Diagnosis klinik dapat dibuat dengan yakni hanya selama epidemic rubella. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan isolasi virus dari sekresi nasofaring atau dengan kenaikan antibody empat kali
lipat dari serum akut sampai konvalensen. Darah, urine, dan CSS juga dapat menghasilkan virus,
terutama pada bayi dengan infeksi congenital. Gejala berupa demam dengan kelemahan ringan,
sakit kepala, mialgia, pilek poliartritis (25% dari kasus dewasa), limfadenopati (posterior
cervical, postauricular), eritema palatum dsb. Tenggorokan terjadi pada kasus yang disebut
forchheimers sign, ruam makulopapaular merah jambu dengan diameter 1-4 mm pada muka,
leher, kepala, dada, ekstremitas yang timbul dengan cepat (2-3 hari untuk setiap area).
Komplikasi jarang terjadi pada rubella. Bila didapatkan hanya gejala arthritis, dan yang lebih
jarang lagi gejala trombositopenia dan encephalitis. Komplikasi yang sering terjadi yaitu pada
kehamilan yang disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS).2

Differential diagnosis

Penyakit yang memberikan gejala klinis dan eksantema yang menyerupai rubela adalah:
a. Penyakit virus: campak, sitomegalovirus (CMV), varicella, virus herpes simpleks (HSV),
roseola infantum, eritema mononukleosis infeksiosa dan pityriasis rosea. b. Penyakit bakteri:
scarlet fever (Skarlatina) c. Erupsi obat: ampisilin, penisilin, asam salisilat, barbiturat, INH,
fenotiazin dan diuretik tiazid. Bercak erupsi rubela yang berkonfluensi sulit dibedakan dari
morbili, kecuali bila ditemukan bercak koplik yang karakteristik untuk morbili. Erupsi rubela
cepat menghilang sedangkan erupsi morbili menetap lebih lama. Bila terjadi kemerahan difus
dan tampak bercak-bercak berwarna lebih gelap diatasnya, perlu dibedakan dari scarlet fever.
Tidak seperti scarlet fever, pada rubella daerah perioral terkena. Erupsi pada infeksi
mononukleosis dapat menyerupai rubela derajat berat, namun penyakit itu dimulai dengan
difteroid atau Plaut-Vincent-like tonsilitis, demam lebih tinggi, pembesaran kelenjar getah
bening umum serta pembesaran hepar dan limpa. Pada sifilis stadium dua ditemukan juga
eksantema yang menyerupai rubella, disertai pembesaran kelenjar getah bening umum, kadang-
kadang perlu pemeriksaan serologik untuk sifilis. Erupsi obat menyerupai rubela yang dapat
disertai pembesaran kelenjar getah bening disebabkan terutama oleh senyawa hidantoin. Pada
kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan hemogram dan serologik.4

Sedangkan perbedaan tanda dan gejala pada ibu menderita rubella dengan
sitomegalovirus, varicella, virus herpes simpleks (HSV). Pada rubella memiliki tanda dan gejala
pada ibu berupa penyakit ringan (ruam kulit, artralagia, limfadenopati difus) sedangkan pada
sitomegalovirus berupa penyakit ringan, sindrom menyerupai mononucleosis infeksiosa,
hepatitis namun jarang. Pada varicella zoster berupa cacar air, pneumonitis dan meningitis,
sedangkan pada HSV pada primer episode pertama berupa penyakit sistemik, demam,artalagia,
lesi genitalia terasa nyeri dan adenofati. Pada infeksi berulang pada CMV berupa lesi genitalia
yang terasa nyeri (gelembung berisi air dan ulkus).3

Etiologi
Rubela merupakan suatu virus RNA positive-sense untai tunggal dengan selubung
glikolipid, merupakan anggota famili togavirus. Walaupun virus ini hanya bersifat patogen pada
manusia, virus dapat dengan mudah ditanam pada berbagai sistem biakan jarigan. Replikasi dari
virus ini berada pada beberapa organ lewat hantaran cairan tubuh dan aliran darah. Virus masuk
ke dalam sel dengan menempel pada permukaan luar sel, lalu menembus sel menggunakan
protein yang berada pada envelope virus. Capsid dan genom virus kemudian masuk ke dalam
plasma sel. Replikasi dari virus belum diketahui secara pasti, sehingga mempersulit dunia
pengetahuan dalam menangani dan mengobati kasus rubella. Rubella virus berukuran 70 nm.
Virus rubella merupakan virus RNA, yang bersifat poten, infeksius, dan teratogenik, yang
menyebabkan sindrom kongenital rubella di seluruh dunia.1

Epidemiologi

Manusia merupakan satu-satunya tuan rumah alamiah dari virus rubella. Penularan virus
melalui inhalasi droplet yang berasal dari saluran nafas penderita. Paparan sekali-sekali terhadap
penderita relatif kurang efektif untuk menularkan penyakit, dan secara umum dibutuhkan kontak
jangka panjang. Pada populasi yang tidak divaksinasi, penyakit terjadi pada usia 5-14 tahun.
Pada populasi yang divaksinasi, penyakit ini terjadi lebih sering pada remaja dan dewasa muda
(terutama pada institusi yang besar, seperti universitas dan rumah sakit). Personil perawatan
kesehatan harus diskrining antibodi rubela dan diimunisasi jika statusnya seronegatif. Penularan
maksimum rubela pascalahir tampak 2 hari sebelum dan 5-7 hari sesudah onset ruam yang khas.
Masa inkubasi untuk rubela pascalahir berkisar dari 14-21 hari, tetapi paling sering 16-18 hari.
Bayi dengan rubela kongenital dapat melepaskan virus melalui sekresi nasofaring sejak 13 hari
sebelum sampai dengan 21 hari setelah timbulya ruam dan urine selama lebih dari 1 tahun
sesudah lahir dan dapat menularkan virus pada kontak yang rentan.2

Dalam masa ini penyakit dapat ditularkan penderita kepada orang lain. Pasien dengan
infeksi atipikal atau subklinik dapat menyebarkan virus. Walaupun secara umum diangggap
sebagai penyakit anak, rubella tidak terlalu menular, dan sering kali anak-anak terhindar dari
penyakit. Antibodi transplasental bersifat protektif selama usia 6 bulan pertama. Pada populasi
tertutup, angka infeksi mendekati 100%, dan 50-60% di antara anggota keluarga yang rentan.
Kasus subklinis melebihi kasus yang tampak secara klinis dengan ratio 2:1. Rubella biasanya
terjadi pada musim semi, dengan epidemik pada negara-negara industri. Epidemik yang luas
terjadi dalam siklus setiap 6-9 tahun pada populasi yang tidak divaksinasi, namun imunisasi
masal dapat mengurangi siklis tersebut pada banyak negara. Tidak tersedia data tentang
karakteristik penyakit ini di daerah tropis dan daerah penduduk yang jarang. Infeksi memberikan
imunitas seumur hidup. Survei menunjukkan bahwa 10-20% dewasa muda rentan terhadap
rubella.4

Patofisiologi

Rubella adalah suatu penyakit pernafasan yang berkembang 2 sampai 3 minggu setelah
terinfeksi oleh virus toga dengan untaian tunggal RNA. Infeksi virus umumnya ditemukan pada
nasofaringeal dan saluran nafas atas pernafasan 1 minggu sebelum berkembangnya gejala
penyakit. Timbulnya penyakit ditandai oleh munculnya ruam makulopapular merah jambu pada
muka, leher, kepala, dada, dan ekstremitas dalam waktu 3 hari. Beberapa gejala lain yang dapat
ditemukan adalah limfadenopati postaurikular dan suboksipital, demam, dan sakit pada
persendian. Dua puluh lima sampai 50% dari seluruh infeksi rubella umumnya adalah infeksi
subklinis. Sebaliknya, ruam pada kulit yang dijumpai pada penderita rubella dapat juga
disebabkan oleh adenovirus, enterovirus, dan infeksi oleh virus pernafasan lainnya. Tes
laboratorium dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis.2

Pada tahun 1944, Gregg seorang oftalmologis berkebangsaan Australia mengasosiasikan


penyakit katarak pada anak-anak dengan epidemi rubella berlangsung menunjukkan adanya
sindroma congenital rubella. Mata, jantung, dan sistem syaraf mudah terpengaruh pada saat
kelahiran. Masalah oftalmologi yang paling sering diderita adalah katarak, glaucoma,
mikroptalamia, dan koriorentinitis. Manifestasi penyakit jantung termasuk stenosis pada saluran
nafas perifer, patent duktus arteriosus (PDA), dan kerusakan pada sekat (septal).
Keterbelakangan mental, mikrosefali, dan yang jarang terjadi ensefalitis adalah efek penyakit
rubella pada sistem syaraf. Gangguan pendengaran (tuli) merupakan konsekuensi penyakit
rubella yang paling sering terjadi.1

Efek langsung rubella adalah menurunnya replikasi sel yang berakibat terhambatnya
pertumbuhan sel yang terganggunya proses diferensiasi sel pada waktu embryogenesis. Reaksi
inflamasi terhadap infeksi atau reaksi autoimunitas mengakibatkan kerusakan jaringan dan
proses ini dapat menyebabkan miokarditis, pneumonitis, pembesaran hati dan limpa
(hepatosplenomegali), dan stenosi vaskuker. Manifestasi infeksi akhir yang dialami oleh sekitar
20% penderita, seperti endokrinopati (insuli dependent diabetes, tiroid abnormal,
hipoadrenalisme), gangguan pendengaran atau kerusakan ocular dan panensefalitis rubella
progresif yang jarang terjadi, berkembang pada usia 10-20 tahun. Penelitian membuktikan bahwa
infeksi fetus pada trimester pertama dapat mengakibatkan kerusakan multisystem congenital pada
50-80% kasus.3

Ini merupakan akibat ketidakmampuan dari plasenta yang berfungsi sebagai barier, dalam
menahan infeksi untuk masuk ke dalam janin, dimana pada janin tidak terdapat sistem
pertahanan dan respons imun untuk membunuh virus selama kehamilan. Lesi yang paling awal
terjadi dapat ditemukan di dalam plasenta, dimana infeksi terdapat dalam tahap maternal
viraemic phase. Namun virus rubella yang diekskresi dari cervix pada saat 6 hari setelah adanya
ruam kemerahan, tidak menutup kemungkinan bahwa virus dapat bermultiplikasi pada saluran
genital, sehingga infeksi ascending dari genital tidak dapat dikesampingkan. Virus rubella
dicurigai masuk ke dalam janin melalui korion, diaman terdapat perubahan pada sel epitel dan
endotel dari pembuluh darah apat ditemukan 10 hari setelah terjadinya ruam kemerahan pada ibu
berupa nekrosis sel. Sel endotel yang rusak akan dimasukan ke dalam lumen dan ditransport ke
dalam sistem janin dala bentuk “emboli virus”. Karena ketidakmampuan janin dalam merespons
terhadap infeksi, maka janin dapat mengalami infeksi rubella, karena itu gejala inflamasi pada
janin tidak terlihat. Anomali yang terjadi dapat terlihat pertama kali saat terjadi kontraksi pada
trimester pertama, dengan adanya anomali dan kerusakan sel pada jantung, lensa mata, telinga
dalam, gigi, dan otot lurik. Selain itu dapat juga mengenai hati, miokardium, dan organ korti
yang berasal dari kerusakan pada sel endotel, yang mengakibatkan pendarahan dalam pembuluh
darah kecil dan neksrosis pada waktu yang lama. Virus juga dapat mengakibatkan nekrosis
jaringan melalui protein spesifik yang mengakibatkan berkurangnya frekuensi mitosis dari sel
yang terinfeksi. Jika terjadi pada saat tahap organogenesis pada janin, maka organ tersebut akan
mengalami pengurangan sel dalam organ tersebut dan menjadi defek pertumbuhan. Walaupun
mekanisme dari teratogenik belum dapat diketahui, namun dapat dikatakan bahwa virus rubella
dapat mengakibatkan retardasi pada sel dan gangguan pada kehidupan sel.4

Resiko Kepada Janin


Jika rubella mengenai ibu hamil pada trimester pertama, maka dapat mengakibatkan
abortus spontan, janin yang lahir dengan malformasi buruk, ataupun janin dengan kerusakan
minim sampai janin sehat yang kemudian akan berkahir pada kematian janin. Jika rubella
menginfeksi pada 10 minggu pertama kehamilan, maka defek yang terjadi insidennya mencapai
90%. Jika terinfeksi pada 8 minggu pertama, maka 20% kasus akan terjadi abortus spontan.
Kelainan jantung dan mata merupakan akibat dari infeksi masa kehamilan saat fase kritis
organogenesis, dalam 8 minggu pertama kehamilan, diaman terjdi retinipati dan defek
pendengaran lebih sering terjadi pada kehamilan usia 16 minggu. Organogenesis selesai pada
minggu ke 12 dalam kehamilandan pada janin yang lebih dewasa dapat membatasi dan melawan
infeksi. Tuli dan retinopati meupakan anomali yang timbul pada infeksi post-trimester pertama.5

Infeksi pada trimester II pada 25% kasus dapat berakibat hilangnya pendengaran (tuli)
dan keterbelakangan mental sedangkan infeksi pada trimester ketiga umumnya tidak
mengakibatkan kerusakan struktural. Tidak adanya manifestasi klinis rubella pada waktu lahir
tidak meniadakan kemungkinan adanya kerusakan subklinis atau kerusakan lanjutan. Sehingga
anak dari wanita yang terinfeksi rubella pada masa hamil perlu dipantau dalam jangka panjang
untuk melihat adanya sekuele.6

Gambaran klinis

Fase prodromal rubela (gejala kataral ringan) hilang tanpa diketahui. Tanda khas rubela
adalah limfadenopati retroaurikular, servikal posterior, dan oksipital posterior yang disertai
dengan ruam eritematosa, makulopapular, tersebar. Ruam mulai pada wajah dan menyebar ke
tubuh; ruam ini berlangsung 3 hari. Enantema yang terdiri dari bintik berwarna merah mawar
pada palatum mole dapat muncul sebelum ruaam. Tanda lain adalah faringitis ringan,
konjungtivitis, anoreksia, nyeri kepala, malaise, dan demam ringan. Poliartritis (biasanya pada
tangan) dapat terjadi, terutama pada perempuan yang lebih tua, tetapi biasanya sembuh tanda
sekuele. Dapat terjadi parestesia dan tendonitis. Jumlah leukosit biasanya normal atau rendah,
dan trombositopenia jarang terjadi.1

Gejala klinis pada sindrom kongenital rubella bergantung pada kelainan organ yang dialami oleh
bayi yang terinfeksi rubella pada saat kehamilan, diantaranya adalah:

 Lesi Mata
o Katarak kongenital yang disebabkan infeksi rubella bisa bilateral maupun
unilateral. Mata bayi yang baru lahir mungkin terlihat normal pada saat kelahiran
dan beberapa hari kemudian, katarak disebabkan karena microphtalmia dan
miopia.
o Glaukoma kongenital juga dapat terjadi walaupun tidak terlihat pada awal
kelahiran dan timbul pada minggu-minggu awal kehidupan.
o Hal yang sering paling terjadi adalah penggmpalan pigmen retina yang disebut
“salt-and-pepper retinopathy” bukanlah suatu renitis, karena bukan merupakan
inflamasi retina tetapi salah satu contoh perubahan pertumbuhan.3
 Lesi jantung
o Dukturs Arteriosus merupakan akibat paling sering infeksi rubella maternal pada
organ jantung yang dapat dilakukan pembedahan.4
 Ketulian
o Hilangnya pendengaran dapat terjadi pada infeksi usia sebelum 10 minggu.
Telinga bagian dalam juga rentan mengalami kerusakan. Kehilangan pendengaran
bersifat sensorineural, bilateral maupun unilateral, sedang sampai buruk.2
 Infeksi Rubella pada SSP
o Manifestasi dari infeksi rubella yang paling buruk jika infeksi mengenai sistem
saraf pusat dari bayi. Gejala dapat berupa retardasi mental yang mengenai semua
aspek pertumbuhan. Selain itu bayi juga bisa memiliki intelejensi yang normal,
namun defek terhadap gerakan motorik seperti spastic diplegia.
o Sindrom kongenital rubella juga dapat berupa autisme.1
 Kejanggalan pada sistem endokrin
o Insulin-dependent diabetes melitus ( IDDM)
o Disfungsi kelenjar tiroid didapatkan pada 5% pasien, dengan gejala hipertiroid,
hipotiroid, dan tiroiditis karena sistem autoimun abnormal.
o Dicurigai terdapat defisiensi growth hormone pada bayi yang menyebabkan
tumbuh-kembang anak terganggu.4

Komplikasi

 Trombositopenia
 Otitis media
 Ensefalitis pasca infeksi

Pada 1:6000 kasus terjadi ensefalitis 1-6 hari setelah timbul ruam. Angka kematian
sekitar 20% namun sekuele jarang terjadi. Mekanisme komplikasi belum diketahui dengan pasti.
Pada awal kehamilan perlu dicari data antibodi terhadap rubella. Infeksi fetus selama trimester
pertama mengakibatkan rubella infeksi fetus selama trimester pertama mengakibatkan rubella
congenital pada 80% kasus. Bila wanita hamil dicurigai mengalami infeksi rubella, segera
diperiksa kadar antiibodi rubella. Bila hasil positif, maka tidak perlu khawatir. Namun bila hasil
pemeriksaan negative, perlu pemantauan klinis dan serologi lebih lanjut. Konfirmasi rubella pada
seorang ibu hamil pemikiran kearah absorsi terapetik. Alternatif ini dipertimbangkan dengan
hati-hati sesuai dengan pribadi, agama/kepercayaan seseorang, hokum serta faktor lainnya.2

Sindroma rubella congenital (congenital rubella syndrome/CRS) komplikasi yang paling


berat adalah sindroma rubella congenital (CRS). Frekuensi CRS adalah 50% bila infeksi rubella
terjadi selama 12 minggu pertama kehamilan dan 25% bila infeksi terjadi antara 13-24 minggu
kehamilan. Karakteristik sindroma ini secara umum adalah: tuli, katarak congenital dan petent
ductus arteriosus.3

Ada 4 mekanisme yang mengakibatkan malformasi setelah terjadinya infeksi intrauterine:


pertama, Infeksi persisten pada jaringan fetus mengakibatkan proses mitosis dan mengahambat
multiplikasi sel, sehingga pertumbuhan organ terganggu. Kedua, vaskulopati pembuluh darah
fetus mengakibatkan proliferasi fibromuskular dinding arteri yang menghalangi aliran darah ke
jaringan yang sedang bertumbuh. Ketiga, nekrosis jaringan. Keempat, peningkatan terjadinya
kerusakan kromosom.1

Penatalaksanaan

Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan
cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup
rubella yang dilemahkan dapat memberikan kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur
hidup. Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil.
Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan
setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan
dapat beresiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang. Tidak ada preparat kimiawi
atau antibiotik yang dapat mencegah rubella pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar
rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus sebaiknya ibu diterangkan tentang resiko
dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari
infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis
dibuat secara tepat. Pada wanita hamil, terutama pada awal kehamilan dan juga sampai
melahirkan, harus melakukan tindakan prevensi terhadap penularan rubella tanpa memandang
riwayat penyakit selama masa anak atau riwayat imunisasi aktif. Jika wanita hamil dengan
riwayat imun yang tidak diketahui terhadap rubella, maka uji antibodi harus segera dilaksanakan
dan dilakukan imunisasi pasif dengan GIS, 20-30 mL instramuskular. Imunisasi aktif pada
wanita hamil tidak dianjurkan. Selain itu, kaitan janin yang mendapat vaksin rubella dengan
timbulnya malformasi kongenital tetap harus dimonitor dan melakukan upaya untuk
menghindari pemajanan terhadap rubella.2

Tidak ada terapi antivirus yang tersedia untuk rubella, umumnya pengobatan
simptomatik. Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) dilaporkan efektif in vitro dalam
menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakan. Namun upaya ini tidak
berhasil pada janin, karena amantadin tidak dianjurkan pada masa kehamilan. Interferon dan
isoprinosin digunakan dengan hasil yang terbatas. Namun bila batuk/pilek bisa diberi obat
batuk/pilek, bila demam diberi obat turun panas. Bila disertai diare, sebaiknya diberi obat diare
untuk mengatasinya. Beri asupan gizi yang baik pada anak, beri air minum yang banyak untuk
mencegah dehidrasi, beri vitamin tuk mengembalikan daya tahan tubuh. Bisa ditambahkan
dengan memberi air 'kelapa ijo' untuk kesembuhan ruamnya. Istirahat/diisolasi di rumah, untuk
jaga kondisi tubuh dan menghindari penularan ke anak yang lain. Mengolesi ruam kulit dengan
bedak cair/dingin (bedak bubuk biasanya malah membuat kulit jadi kering sehingga smakin
gatal). Selain itu evaluasi neurologis, cardialogis, oftalmologik, tes audiologik, complete blood
count, radiografi tulang, dan aspirasi CSS juga dilakukan untuk mengetahui apakah adanya
defek pada organ bayi dan mengetahui tingkat kerusakan organ.4

Prognosis

Prognosis pada kasus sindroma kongenital rubella bergantung pada malformasi yang
terjadi. Secara keseluruhan, mortalitas neonatus dengan rubella sekitar 6%, namun lebih tinggi
jika ada purpura trombositopenik, penyakit jantung kongenital, katarak kongenital, atau
ensefalitis. Orang tua dan keluarga juga haru mendapatkan support emosional dan petunjuk
dalam menghadapi kasus ini dalam komunitas dan organisasi.6

Pencegahan

Vaksin rubella telah tersedia di Amerika Serikat sejak tahun 1969. Vaksinasi
memeberikan serokonversi dengan imunitas jangka panjang pada 95% kasus infeksi. Ruam-
ruam, artropati, dan limfadenopati merupakan komplikasi terbatas yang jarang pada vkasinasi.
Keluhan saraf perieral transien umumnya jarang terjadi.5

Pada tahun 1994. Komite Praktek Imunisasi (the Committee on Immunization Practices)
merevisi rekomendasi umumnya dan menganjurkan agar semua anak-anak mendapatkan vaksin
MMR (Measles-Mumps-Rubella) pada usia 12-15 bulan dan ulangan vaksinasi pada usia 12-15
tahun. Wanita usia subur yang tidak mempunyai antibody IgG rubella juga dianjurkan untuk
menerima imunisasi , dengan syarat mereka tidak hamil pada saat menerima vaksin dan tidak
akan hamil sekurangnya selama 3 bulan setelah menerima imunisasi. Kegagalan vaksin primer
merupakan sebab yang jarang terjadi pada kasus rubella dan sindroma rubella congenital.
(CRS/Congenital Rubella Syndrome). Imunokompromisasi subklinik vaksin dan gangguan pada
imunisasi aktif yang disebabkan oleh transfusi darah atau terapi immunoglobulin (tidak termasuk
RhoGAM) yang baru dilakukab menggambarkan sebab-sebab klinik kegagalan vaksin.2

Vaksinasi rubella tidak dianjurkan pada saat hamil berdasarkan teori kerusakan fetus.
Risiko sindroma rubella congenital yang disebabkan oleh vaksinasi 3 bulan setelah konsepsi
biasanya sangat kecil. Oleh sebab itu, vaksinasi rubella yang kurang teliti tidak menjadi indikasi
terminasi kehamilan. CDC menyatakan bahwa pasien dan dokternya bersama-sama membuat
penentuan akhir mengenai kelanjutan kehamilan. Penyaringan laboratorium yang rutin untuk
kehamilan dan antibody rubella tidak penting dilakukan sebelum member vaksin. Dokter harus
dengan rutin menawarkan vaksin rubella setiap kali berhadapan dengan wanita yang mempunyai
potensial mudah terkena rubella dan tidak mempunyai kontraindikasi terhadap vaksinasi. Kontra
indikasi vaksinasi rubella yaitu pada pendrerita hamil, immunodefisiensi atau
immunocomprimise kecuali pada penderita HIV, penderita dengan riwayat pemberian
immunoglobulin kurang dari 3 bulan. Seperti yang telah diuraikan diatas, pada kebanyakan
kasus, kegagalan vaksinasi merupakan sebab menetapnya penyakit rubella dan sindroma rubella
congenital di Amerika Serikat. Daerah padat penduduk dan daerah-daerah yang sempit dan
tertutup mempercepat penularan pada individu yang mudah terjangkit penyakit rubella. Faktor-
faktor epidemiologi penting lainnya seperti faktor social, politik, ekonomi, etika, dan agama
yang mempengaruhi kesuksesan nasional dalam memebrantas rubella.1

CDC mengajarkan beberapa strategi berikut dalam membantu pencegahan dan


pengawasan rubella: pertama, peningkatan vaksinasi pada anak-anak. Kedua, penalaksanaan
hukum yang meminta agar murid-murid sekolah mendapat dua dosis vaksin MMR. Ketiga,
mendorong dokter untuk menggunakan kesempatan untuk memberi vaksin pada individu yang
mudah terkena rubella termasuk wanita usia melahirkan yang menghadiri keluarga berencana
dan klinik aborsi. Keempat, mengadopsi pesyaratan vaksinasi pada penerimaan masuk mahasiwa
di universitas. Kelima memulai program pencegahan dan pengawasan rubella di semua fasilitas
lembaga permasyarakatan. Keenam, mendorong orang-orang yang terlibat dalam kelompok
agama untuk merima vaksinasi. Selanjutnya, menargetkan program vaksinasi khusus dengan
sasaran remaja yang mempunyai kemungkinana besar tidak divaksinasi dan mereka yang
berhubungan kontak dengan penderita yang terinfeksi rubella yang berasal dari negara-negara
yang tidak rutin memberikan vaksinasi terhadap rubella.7

Imunoglobulin harus digunakan pada wanita hamil, non-imun yang terpajan rubella yang
menolak untuk melakukan aborsi walaupun infeksi telah terjadi. Serologi menentukan status
imun wanita hamil yang terpajan. Imunisasi aktif dengan vaksin hidup yang dilemahkan
mencegah rubela. Pascavaksinasi, virus dilepaskan dari nasofaring selama beberapa minggu,
tetapi tidak dengan mudah menular. Di Amerika Serikat, vaksinasi diindikasi untuk semua anak
(diberikan pada usia 12-15 bulan), untuk semua anak prapubertas non-imun, dan untuk semua
perempuan pascapubertas yang non-imun, dan untuk semua perempuan pascapubertas yang non-
imun dan tidak akan menjadi hamil dalam waktu 3 bulan. Regimen ini telah mengurangi insiden
rubela dan sindrom rubella congenital, terutama dengan mencegah epidemi rubela. Di negara
lain, hanya perempuan pubertas yang diimunisasi. Kebijakan ini tidak mencegah wabah rubela,
tetapi dapat mengurangi persentase wanita hamil non-imun.8

Walaupun sangat dilemahkan dan tidak disertai dengan cedera janin, virus vaksin telah
ditemukan dari janin, Karenanya, vaksin rubella dikontraindikasikan pada wanita hamil.
Penggunaan vaksin yang tidak sengaja pada kelompok ini bukan merupakan indikasi untuk
aborsi. Vaksinasi dikontraindikasikan pada pasien dengan keadaan imunodefisiensi, keadaan
imunosupresi, hipersensitivitas vaksin, atau demam akut pada pasien yang telah mendapat
immunoglobulin dalam 3 bulan terakhir. Demam, limfadenopati, ruam, artralgia, dan arthritis
(artralagia dan arthritis terjadi terutama pada anak perempuan yang lebih tua dan wanita dewasa)
dapat terjadi sesudah vaksinasi.9

Kesimpulan

Daftar Pustaka

1. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatric Nelson. Ed. 4. Jakarta: EGC; 2010.h.490-91.
2. Daili SF, Makes WIB, Ibrahim F, Pohan HT, Wibowo N. Pencegahan dan penatalaksanaan
infeksi torch pada kehamilan. Jakarta: Balai penerbit fk ui; 2006.h.16-25.
3. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar kuliah obstetric. Jakarta: EGC;
2007.h.642.
4. Norwitz E, Schorge J. At a glance obstetri dan ginekologi. Ed. 2. Jakarta: Erlangga;
2008.h.86-7.
5. Zukerman AJ. Principles and practice of clinical virology. United Kingdom: John Wiley &
Sons Ltd; 2009.h.561-84.
6. Shmaefsky BR. Rubella dan rubeola. New York: Infobase Publishing, 2009.h.50-61.
7. Banatvala J, Peckham C. Rubella virus. Amsterdam: Elsevier B.V., 2007.h.1-4.
8. George HAD, James HL. Vaccines: Preventing disease & protecting health. Washington:
Pan American Health Organiation, 2004.h.56-60.
9. Sachdeva A, Dutta AK, Jain MP, Yadav SP, Goyal RK. Advance in pediatrics. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd., 2012.h.158.

Anda mungkin juga menyukai