Anda di halaman 1dari 22

BAB 3

METODA GEOLISTRIK

3.1 Potensial pada medium homogen


Berdasarkan analogi pengukuran resistansi pada rangkaian listrik sederhana maka
kita dapat memberikan eksitasi arus pada suatu medium dan mengukur responsnya untuk
memperkirakan resistansi medium tersebut. Normalisasi resistansi terhadap parameter
geometri atau dimensi medium dan pengukuran akan menghasilkan nilai resistivitas
medium. Sebelum menguraikan konsep tersebut beserta implementasi praktisnya maka
perlu dibahas distribusi potensial akibat suatu eksitasi arus pada medium homogen.
Misal ditinjau suatu medium homogen (dengan ρ konstan) 3-D, maka arus I
(dalam Ampere) yang melalui suatu elemen luas dA adalah :

I = J ⋅ dA (3.1)
dimana J adalah vektor rapat arus (dalam Ampere/meter2) dan dA adalah vektor elemen
luas (dalam meter2). Hukum Ohm yang berlaku pada medium 3-D menghubungkan rapat
arus J (current density) dengan medan listrik E (dalam Volt/meter) melalui persamaan :

J = σE (3.2)
dimana σ adalah konduktivitas (dalam Siemens/meter). Dalam bentuk yang identik
dengan hukum Ohm untuk rangkaian listrik sederhana (V = R I) persamaan (3.2) dapat
dituliskan sebagai :

E = ρJ (3.3)

Mengingat medan listrik adalah gradien potensial listrik (E = − ∇ V) sehingga persamaan


(3.2) menjadi :

J = − σ ∇V (3.4)

Jika tidak ada sumber arus (current source) atau sumur arus (current sink) pada suatu
volume yang dilingkupi oleh permukaan A maka ∇ ⋅ J = 0 sehingga :

∇ ⋅ J = ∇ ⋅ ( σ ∇V ) = 0

∇σ ⋅ ∇V + σ ∇ 2 V = 0 (3.5)

Mengingat tidak ada variasi spasial konduktivitas maka dihasilkan persamaan Laplace
untuk potensial listrik :

∇2 V = 0 (3.6)

12
Potensial V akibat suatu sumber arus tunggal I pada medium homogen dengan ρ
konstan pada seluruh-ruang (whole-space) lebih sesuai jika dibahas dalam sistem
koordinat bola. Karena sifat simetri dari sistem yang ditinjau maka potensial hanya
merupakan fungsi dari jarak r atau V (r) sehingga persamaan Laplace dalam sistem
koordinat bola menjadi :

d ⎛ 2 dV ⎞
∇2 V = ⎜r ⎟ = 0 (3.7)
dr ⎝ dr ⎠

Integrasi dua kali berturut-turut terhadap persamaan (3.7) menghasilkan :

dV dV dV A
∫ r2
dr
dr = 0 ⎯
⎯→ r 2
dr
= A ⎯
⎯→
dr
= 2
r

A A
V = ∫ r 2
dr = − + B
r
(3.8)

dimana A dan B adalah konstanta. Dengan menerapkan syarat batas bahwa potensial
pada jarak tak-hingga berharga nol maka B = 0. Arus total yang melalui permukaan bola
dengan radius r dinyatakan oleh :

I = 4πr2 J (3.9)

dimana J adalah besaran skalar rapat arus. Dengan menggunakan persamaan (3.4) dan
(3.8) dan mengingat potensial hanya merupakan fungsi dari jarak maka diperoleh :

⎛ dV ⎞ A
I = 4πr2 ⎜ − σ ⎟ = − 4πr σ 2
2

⎝ dr ⎠ r


A = − (3.10)

Dengan demikian potensial listrik V sebagai fungsi jarak r akibat arus I pada medium
homogen dengan resistivitas ρ dinyatakan oleh persamaan berikut :


V (r ) = (3.11)
4πr

Berdasarkan persamaan tersebut permukaan ekuipotensial, yaitu permukaan dengan


potensial yang sama, membentuk permukaan bola konsentris dengan titik pusat terletak di
sumber arus. Dari titik tersebut arus listrik mengalir ke segala arah secara homogen dan
membentuk lintasan yang tegak lurus terhadap permukaan ekuipotensial (Gambar 3.1).
Jika sumber arus terletak di permukaan medium homogen yang membentuk medium
setengah-ruang (half-space) dengan setengah-ruang lainnya adalah udara maka
persamaan (3.11) menjadi :

13

V (r ) = (3.12)
2πr

dimana faktor 4π menjadi 2π sebagai akibat distribusi arus hanya terdapat pada setengah
ruang dengan resistivitas berhingga sementara resistivitas udara dianggap tak-hingga.
Dalam hal ini distribusi arus dan permukaan ekuipotensial diperlihatkan pada Gambar 3.2.

sumber arus
permukaan

medium homogen
resistivitas = ρ

arus

ekuipotensial

Gambar 3.1
Sumber arus tunggal C1 dalam medium homogen seluruh-ruang (whole-space), sementara
pasangan sumber arus C2 dianggap terletak di tak-hingga.

sumber arus
permukaan

medium homogen
resistivitas = ρ

arus

ekuipotensial

Gambar 3.2
Sumber arus tunggal C1 di permukaan medium homogen setengah-ruang (half-space),
sementara pasangan sumber arus C2 dianggap terletak di tak-hingga.

14
3.2 Potensial pada medium tak-homogen
Persamaan yang berlaku untuk medium homogen sebagaimana diuraikan pada sub-
bab sebelumnya akan digunakan dan dikembangkan untuk medium yang di dalamnya
terdapat resistivitas yang berbeda. Pada medium tak-homogen yang akan dibahas batas
antara resistivitas yang berbeda memiliki geometri sangat sederhana berupa garis lurus.
Beberapa syarat batas yang harus dipenuhi oleh potensial, rapat arus dan medan
listrik pada bidang batas medium dengan resistivitas yang berbeda (misal ρ1 dan ρ2)
diantaranya adalah sebagai berikut :
(a) Potensial listrik kontinyu pada bidang batas karena jika tidak maka akan terdapat
perbedaan potensial pada jarak yang sangat kecil (bidang batas) sehingga gradien
potensial sangat besar. Menurut hukum Ohm gradien potensial atau medan listrik yang
sangat besar berasosiasi dengan rapat arus yang sangat besar yang jelas tidak mungkin.
Oleha karena itu jika V1 adalah potensial pada medium 1 dan V2 adalah potensial
pada medium 2 maka pada bidang batas antara kedua medium :

V1 = V2 (3.13)

(b) Gradien potensial dalam arah tangensial kontinyu pada bidang batas. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari kontinuitas potensial. Jika sumbu - x menyatakan arah
tangensial dan sumbu - z menyatakan arah normal bidang batas maka :

∂V1 ∂V2
= (3.14)
∂x ∂x

(c) Medan listrik dalam arah tangensial kontinyu mengingat medan listrik adalah
gradien potensial listrik (E = − ∇ V) sehingga kontinuitas gradien potensial tersebut di
atas ekivalen dengan :

E x ,1 = E x , 2 (3.15)

(d) Rapat arus dalam arah tangensial tidak kontinyu karena menurut hukum Ohm
E = ρ J dan persamaan (3.15) menghasilkan :

ρ1 J x ,1 = ρ 2 J x , 2 (3.16)

(e) Rapat arus dalam arah normal kontinyu mengingat arus total melintasi bidang batas
harus kontinyu sehingga :

J z ,1 = J z , 2 (3.17)

(f) Medan listrik dalam arah normal tidak kontinyu karena J = σ E :

σ1 Ez ,1 = σ 2 Ez , 2 (3.18)

15
Konsekuensi dari kontinuitas rapat arus normal dan diskontinuitas rapat arus
tangensial pembelokan / pembiasan arah arus ketika melintasi bidang batas ρ1 dan ρ2.
Pembagian persamaan (3.16) oleh persamaan (3.17) menghasilkan :

J x ,1 J x, 2
ρ1 = ρ2 (3.19)
J z ,1 J z, 2

Sesuai dengan Gambar 3.3 maka :

tan θ 2 ρ
ρ1 tan θ1 = ρ 2 tan θ 2 ⎯
⎯→ = 1 (3.20)
tan θ1 ρ2

Berdasarkan persamaan (3.20) dan Gambar 3.3 tampak bahwa arus dibelokkan mendekati
garis normal jika melintasi batas medium menuju medium yang lebih resistif.

medium (1)

medium (2)

bidang batas

Gambar 3.3
Pembelokan / pembiasan arah arus ketika melintasi bidang batas ρ1 dan ρ2 untuk kasus
ρ1 < ρ2 .

Distorsi potensial akibat perubahan resistivitas medium secara sederhana dapat


diperkirakan dengan menerapkan konsep optik pada fenomena kelistrikan. Penerapan
konsep optik terbatas pada kasus-kasus yang sangat sederhana sehingga lebih ditujukan
untuk membangun ide mengenai konsep listrik kebumian. Analogi antara konsep listrik
dengan konsep optik didasarkan pada fakta bahwa rapat arus – sebagaimana intensitas
berkas cahaya – berkurang sesuai dengan jarak kuadrat. Arus tersebut melintasi bidang
batas (berupa permukaan datar) antara medium 1 dengan resistivitas ρ1 dan medium 2
dengan resistivitas ρ2.

16
Pada masalah optik suatu titik cahaya pada suatu medium dipisahkan dengan
medium lain oleh suatu cermin semi-transparan yang memiliki koefisien refleksi k dan
koefisien transmisi 1 – k. Intensitas cahaya di suatu titik pada medium 1 sebagian berasal
dari sumber cahaya utama dan sebagian lagi berasal dari bayangan sumber cahaya pada
cermin dengan intensitas yang merupakan hasil pemantulan oleh cermin tersebut.
Intensitas cahaya di suatu titik pada medium 2 hanya disebabkan oleh sumber cahaya yang
terletak pada medium 1 dengan intensitas yang berkurang sebagai akibat transmisi melalui
cermin semi-transparan (Gambar 3.4a).
Pada masalah listrik sumber cahaya diganti dengan sumber arus berupa titik dan
intesitasnya adalah potensial. Berdasarkan Gambar 3.4b potensial di titik P pada medium
1 dan di titik P´ pada medium 2 masing-masing adalah :

I ρ1 ⎛ 1 k ⎞
V = ⎜⎜ + ⎟⎟ (3.21)
4π ⎝ r1 r2 ⎠

I ρ2 ⎛1− k ⎞
V′ = ⎜⎜ ⎟⎟ (3.22)
4π ⎝ r3 ⎠

dimana potensial di P memperhitungkan adanya sumber arus bayangan C1´. Jika P dan
P´ berimpit dan terletak pada bidang batas maka r1 = r2 = r3 dan dengan menerapkan
syarat batas kontinuitas potensial pada bidang batas maka diperoleh :
ρ1 1− k ρ 2 − ρ1
= ⎯
⎯→ k = (3.23)
ρ2 1+ k ρ 2 + ρ1

dimana k adalah koefisien refleksi yang berharga antara –1 sampai +1 bergantung pada
resistivitas relatif antara kedua medium.

cahaya bayangan

cermin semi-transparan

(a) (b)

Gambar 3.4
Analogi antara konsep optik (a) dan konsep listrik (b).

17
Konsep optik kemudian diterapkan pada masalah kelistrikan yang lebih realistis
yaitu yang mendekati kondisi pengukuran geolistrik. Kita tinjau kasus dimana sumber arus
tunggal C1 terletak di permukaan setengah-ruang yang terdiri dari dua lapisan, lapisan
pertama dengan resistivitas ρ1 dan ketebalan z sedangkan lapisan ke dua dengan
resistivitas ρ2 dan ketebalan tak-hingga (Gambar 3.5). Jika tidak ada lapisan pertama
maka lapisan ke dua bersifat seperti medium setengah-ruang homogen.
Dalam hal ini bidang batas yang dapat berfungsi sebagai cermin adalah bidang
batas 1 antara udara dan lapisan pertama (di permukaan) dan bidang batas 2 antara lapisan
pertama dan lapisan ke dua (pada kedalaman z dari permukaan). Oleh karena itu terdapat
tak-hingga bayangan sumber arus C1 yang terletak di atas dan di bawahnya dengan jarak
terhadap C1 sebagai kelipatan dari z. Beberapa diantara bayangan tersebut adalah : C1´
merupakan bayangan C1 terhadap bidang batas 2, C1´´ adalah bayangan C1´ terhadap
bidang batas 1, C1´´´ adalah bayangan C1´´ terhadap bidang batas 2 dan seterusnya (lihat
Gambar 3.5).

udara

permukaan

Gambar 3.5
Pantulan / bayangan sumber arus C1 terhadap dua bidang batas horisontal.

Potensial di titik P1 yang berjarak r dari C1 merupakan efek dari semua sumber
arus masing-masing dengan koefisien refleksi pada setiap bidang batas. Potensial di P1
akibat C1 dan C1´ adalah seperti pada persamaan (3.21) :

18
I ρ1 ⎛1 k ⎞
V′ = ⎜⎜ + ⎟⎟ (3.24)
2π ⎝ r r1 ⎠

Efek dari C1´´ adalah :

I ρ1 ⎛ k × ka ⎞
V ′′ = ⎜⎜ ⎟⎟ (3.25)
2π ⎝ r1 ⎠

dimana k adalah koefisien refleksi dari lapisan pertama ke lapisan ke dua (persamaan
(3.23)) dan ka adalah koefisien refleksi bidang batas di permukaan. Mengingat resistivitas
udara ρa adalah tak hingga maka ka = 1 sehingga :

I ρ1 ⎛ 1 2k ⎞
V ′ + V ′′ = ⎜⎜ + ⎟⎟ (3.26)
2π ⎝r r1 ⎠

Karena C1´´´ adalah bayangan C1´´ maka efeknya identik dengan V´´ namun dikalikan
dengan koefisien refleksi k. Demikian pula dengan efek dari C1iv yang merupakan
bayangan dari C1´´´ terhadap bidang batas 1 sehingga harus dikalikan dengan koefisien
refleksi ka dan diperoleh :

I ρ1 ⎛ k × k k × k × ka ⎞
V ′′′ + V iv = ⎜⎜ + ⎟⎟
2π ⎝ r2 r2 ⎠
(3.27)
I ρ1 ⎛ 2 k 2 ⎞
= ⎜ ⎟
2 π ⎜⎝ r2 ⎟

Potensial total P1 dapat dinyatakan oleh deret tak-hingga dalam bentuk sebagai berikut :

I ρ1 ⎛ 1 2k 2k2 2km ⎞
V = ⎜ + + + L + + L ⎟ (3.28)
2π ⎜r ⎟
⎝ r1 r2 rm ⎠

dimana r1 = (r 2
+ (2 z ) 2 )1/2
, r2 = (r 2
+ (4 z ) 2 )
1/2
, rm = (r 2
+ (2 m z ) 2 )
1/2
.

Persamaan (3.28) dapat dituliskan dalam bentuk yang lebih kompak, yaitu :

I ρ1 ⎛⎜ 1 ∞
km ⎞

V = +2∑
2π ⎜ r
⎝ m =1 r + ( 2 m z )
2 2
( )
1/2 ⎟

I ρ1 ⎛ ∞
km ⎞
= ⎜1+ 2 ∑ ⎟
( )
(3.29)
2πr ⎜ m =1 1 + ( 2 m z / r )
2 1/2 ⎟
⎝ ⎠

19
Deret pada persamaan (3.29) tersebut di atas konvergen karena | k | < 1 sementara
denominator-nya meningkat secara indefinit. Jumlah suku yang harus diperhitungkan
dalam deret menentukan ketelitian perhitungan potensial. Suku pertama persamaan (3.29)
menyatakan potensial akibat lapisan pertama yang dianggap medium homogen dan disebut
sebagai potensial normal. Suku ke dua dalam bentuk deret tak-hingga menyatakan efek
adanya lapisan ke dua dan disebut sebagai potensial penggangu (disiturbing potential).

3.3 Konsep resistivitas semu dan pengukuran geolistrik


Potensial akibat sumber arus di permukaan medium setengah-ruang homogen
sebagaimana dinyatakan oleh persamaan (3.12) memungkinkan kita memperkirakan
resistivitas medium homogen berdarakan hasil pengukuran geolistrik sederhana (Gambar
3.6). Jika besarnya arus dan potensial dapat diukur maka resistivitas medium homogen
diketahui melalui persamaan :

V V
ρ = 2πr = K (3.30)
I I

dimana K adalah faktor geometri (dalam meter) yang merupakan fungsi kedudukan
elektroda arus dan elektroda potensial. Satuan V/I adalah Ohm dan satuan resitivitas
adalah Ohm.m sebagai telah dibahas sebelumnya. Elektroda arus adalah elektroda
dimana sumber arus dialirkan ke medium (umumnya diberi simbol C dari current)
sedangkan elektroda potensial adalah elektroda tempat potensial di ukur (umumnya diberi
simbol P dari potential).

I V
C2 P2

C1 P1

r
Gambar 3.6
Konsep pengukuran geolistrik menggunakan elektroda tunggal untuk arus dan potensial
(pasangan elektroda arus dan elektroda potensial dianggap di tak-hingga).

Pada pengukuran geolistrik yang sebenarnya medium tidak homogen dengan


distribusi resistivitas sembarang. Hasil pengukuran arus dan potensial yang kemudian
dikalikan dengan faktor geometri sebagaimana pada persamaan (3.30) menghasilkan
besaran yang disebut sebagai resistivitas semu (apparent resistivity) dan diberi simbol ρa.

20
Oleh karena itu secara umum setiap pengukuran menghasilkan resistivitas semu melalui
persamaan :
V
ρa = K (3.31)
I

Resistivitas semu dapat dikatakan sebagai resistivitas medium homogen ekivalen. Artinya
jika medium setengah-ruang tak-homogen digantikan oleh suatu medium homogen dengan
harga resistivitas ρa maka arus sebesar I akan menghasilkan potensial sebesar V pada
elektroda-elektroda dengan faktor geometri K. Meskipun resistivitas semu tidak
mencerminkan secara langsung resistivitas medium, distribusi harga resistivitas semu hasil
pengukuran mengandung informasi mengenai distribusi resistivitas medium.
Untuk mengetahui bagaimana resistivitas semu dapat memberikan gambaran
mengenai resistivitas medium, kita tinjau kembali potensial akibat sumber arus di
permukaan medium yang terdiri dari dua lapisan (persamaan (3.29)). Jika jarak antara
elektroda arus dan elektroda potensial cukup kecil relatif terhadap ketebalan lapisan
pertama maka suku yang mengandung deret tak-hingga mendekati nol karena
denominator-nya akan sangat besar untuk r << z. Besarnya potensial akan identik dengan
potensial medium homogen dengan resistivitas ρ1. Pada kasus ini perhitungan
menggunakan persamaan (3.31) akan menghasilkan resistivitas semu yang identik dengan
resistivitas sebenarnya dari lapisan pertama (ρa = ρ1).
Jika jarak antara elektroda arus dan elektroda potensial cukup besar relatif terhadap
ketebalan lapisan pertama maka (2 m z/r) << 1 dan dapat diabaikan. Hal tersebut
sebenarnya tidak berlaku untuk m besar, tetapi karena | k | < 1 maka nominator suku-
suku dengan m besar tetap dapat diabaikan. Deret pada persamaan (3.29) menjadi
penjumlahan km dimana Σ km = (1 – k)–1 – 1 sehingga :

I ρ1 ⎛ ⎞ I ρ1
( )

V = ⎜⎜ 1 + 2 ∑ k m ⎟⎟ = 1 + 2 ((1 − k ) −1 − 1)
2πr ⎝ m =1 ⎠ 2πr

I ρ1 ⎛ 1 + k ⎞ I ρ2
V = ⎜ ⎟ ⎯
⎯→ V = (3.32)
2πr ⎝ 1− k ⎠ 2πr

Dengan demikian potensial akan identik dengan potensial medium homogen dengan
resistivitas ρ2 dan perhitungan menggunakan persamaan (3.31) akan menghasilkan
resistivitas semu yang identik dengan resistivitas sebenarnya dari lapisan ke dua (ρa = ρ2).
Berdasarkan kedua hal tersebut di atas maka pengukuran geolistrik dilakukan
dengan jarak antar elektroda bervariasi mulai dari kecil ke besar. Resistivitas semu sebagai
fungsi jarak antar elektroda secara kualitatif memberikan informasi mengenai resistivitas
sebagai fungsi kedalaman (variasi vertikal) pada titik yang ditinjau. Distribusi resistivitas
secara lateral dapat diperkirakan dengan melakukan pengukuran pada titik-titik yang
tersebar pada bidang horisontal di permukaan bumi.

21
3.4 Konfigurasi elektroda
Konsep pengukuran geolistrik sebagaimana dijelaskan pada sub-bab di atas
menggunakan konfigurasi elektroda paling elementer, yaitu sumber arus tunggal dan
potensial diukur hanya pada satu titik. Pada kenyataannya pengiriman / injeksi arus harus
dilakukan menggunakan dua elektroda yang masing-masing dihubungkan ke kutub positif
(sebagai current source) dan kutub negatif sumber arus (sebagai current sink). Demikian
pula dengan pengukuran potensial yang pada dasarnya adalah pengukuran beda potensial,
yaitu potensial pada suatu titik relatif terhadap titik yang lain. Dengan demikian
pengukuran geolistrik selalu menggunakan dua elektroda arus (C1 dan C2) dan dua
elektroda potensial (P1 dan P2). Secara umum penempatan keempat elektroda tersebut di
permukaan tanah dapat sembarang sebagaimana Gambar 3.7.

P1 C2
C1 P2

Gambar 3.7
Penempatan elektroda arus dan elektroda potensial untuk pengukuran geolistrik.

Potensial pada elektroda P1 merupakan kontribusi sumber arus sebesar +I di


elektroda C1 dan sebesar –I di C2, demikian pula dengan potensial pada elektroda P2
sehingga dengan asumsi medium homogen diperoleh :

Iρ ⎛ 1 1 ⎞
V1 = ⎜⎜ − ⎟⎟ (3.33)
2π ⎝ C1 P1 C 2 P1 ⎠

Iρ ⎛ 1 1 ⎞
V2 = ⎜⎜ − ⎟⎟ (3.34)
2π ⎝ C1 P2 C 2 P2 ⎠

dimana Ci Pj adalah jarak antara elektroda Ci dan Pj. Beda potensial antara elektroda P1
dan P2 adalah :
Iρ ⎛ 1 1 1 1 ⎞
∆V = V1 − V2 = ⎜⎜ − − + ⎟⎟ (3.35)
2π ⎝ C1 P1 C 2 P1 C1 P2 C 2 P2 ⎠

22
Dengan susunan elektroda tersebut resistivtas medium dapat diperkirakan dari hasil
pengukuran menggunakan persamaan berikut :
−1
⎛ 1 1 1 1 ⎞ ∆V
ρ = 2 π ⎜⎜ − − + ⎟⎟ (3.36)
⎝ C1 P1 C 2 P1 C1 P2 C 2 P2 ⎠ I

Jika medium bukan merupakan medium homogen maka besaran yang diperoleh adalah
resistivitas semu sehingga persamaan tersebut menjadi :
−1
∆V ⎛ 1 1 1 1 ⎞
ρa = K K = 2 π ⎜⎜ − − + ⎟⎟ (3.37)
I ⎝ C1 P1 C 2 P1 C1 P2 C 2 P2 ⎠

dimana K adalah faktor geometri untuk susunan elektroda sembarang seperti pada
Gambar 3.7 di atas.
Perhitungan teoritis untuk menafsirkan (interpretasi) hasil pengukuran akan lebih
sederhana dan mudah jika posisi elektroda arus dan elektroda potensial (C1, C2, P1, P2)
berada pada suatu garis lurus dan simetri terhadap suatu titik tengah / titik pengukuran
dimana hasil pengukuran akan direpresentasikan. Dalam hal ini terdapat beberapa susunan
atau konfigurasi elektroda standar yang sudah cukup dikenal, beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut (Gambar 3.8) :

Pole-pole
Konfigurasi pole-pole merupakan konfigurasi elektroda elementer dimana terdapat satu
titik sumber arus dan satu titik ukur potensial. Untuk itu salah satu elektroda arus (C2) dan
elektroda potensial (P2) ditempatkan di tempat yang cukup jauh relatif terhadap C1 dan
P1 sehingga pengaruhnya dapat diabaikan. Pada dasarnya faktor geometri dinyatakan oleh
persamaan umum di atas namun untuk konfigurasi elektroda pole-pole faktor geometrinya
dapat disederhanakan menjadi :

K = 2πa (3.38)

dimana a adalah jarak antara C1 dan P1. Untuk memperoleh informasi mengenai
resistivitas pada kedalaman yang berbeda maka pengukuran dilakukan dengan
memvariasikan a. Keuntungan konfiguras pole-pole adalah operasi lapangan yang lebih
mudah, yaitu hanya perlu memindahkan elektroda C1 dan P1 saja. Namun konfigurasi
pole-pole sangat sensitif terhadap noise karena pengukuran melibatkan elektroda yang
saling berjauhan (C2 dan P2).

Pole-dipole
Konfigurasi ini mirip dengan konfigurasi pole-pole, yaitu sumber arus tunggal tetapi
pengukuran beda potensial dilakukan pada elektroda P1 dan P2 yang membentuk dipol
(saling berdekatan) dengan jarak a. Jarak antara C1 dan P1 divariasikan sebagai

23
kelipatan bilangan bulat (n) dari a. Faktor geometri konfigurasi elektroda pole-dipole
dinyatakan oleh :

K = 2 π n ( n + 1) a (3.39)

Konfigurasi pole-dipole tidak simetris karena posisi sumber arus C1 dapat berada di
sebelah kiri atau sebelah kanan dari dipol P1P2 dengan hasil yang berbeda. Oleh karena
itu konfigurasi pole-dipole umumnya digunakan untuk mengetahui adanya kontras
resistivitas secara lateral.

Dipole-dipole
Pada konfigurasi ini elektroda arus dan elektroda potensial masing-masing membentuk
dipol yang disebut sebagai dipol arus C1C2 dan dipol potensial P1P2 dengan jarak a.
Jarak antara kedua dipol divariasikan dan merupakan kelipatan bilangan bulat dari a.
Faktor geometri konfigurasi elektroda dipole-dipole adalah :

K = π n ( n + 1) ( n + 2) a (3.40)

Wenner
Konfigurasi ini diambil dari nama Frank Wenner yang mempelopori penggunaannya di
Amerika Serikat. Pada konfigurasi Wenner jarak antara keempat elektroda sama, yaitu a
dengan dipol potensial P1P2 berada di tengah-tengah antara C1 dan C2. Faktor geometri
konfigurasi elektroda Wenner sama dengan faktor geometri konfigurasi elektroda pole-
pole, yaitu : K = 2 π a . Kelemahan konfigurasi Wenner adalah dalam operasi di
lapangan keempat elektroda harus dipindahkan secara serentak untuk memperoleh hasil
pengukuran dengan a yang berbeda.

Schlumberger
Konfigurasi ini diambil dari nama Conrad Schlumberger yang merintis metoda geolistrik
pada tahun 1920-an. Pada konfigurasi Schlumberger sering digunakan penamaan
elektroda yang berbeda yaitu A dan B sebagai C1 dan C2, M dan N sebagai P1 dan
P2. Konfigurasi Schlumberger dimaksudkan untuk mengukur gradien potensial sehingga
jarak antar elektroda yang membentuk dipol potensial MN dibuat sangat kecil dan berada
di tengah-tengah antara A dan B. Faktor geometri konfigurasi elektroda Schlumberger
adalah :
⎛ a 2 − b2 ⎞ a2 ⎛ b2 ⎞
K = π ⎜⎜ ⎟⎟ = π ⎜⎜ 1 − 2 ⎟⎟ (3.41)
⎝ 2b ⎠ 2b ⎝ a ⎠

dimana a = AB/2 dan b = MN/2. Pengukuran dilakukan dengan AB berbeda-beda


dengan MN tetap. Agar asumsi pengukuran gradien potensial berlaku dengan jarak MN
berhingga maka MN/2 harus selalu dibuat lebih kecil dari 0.2 AB/2.

24
I ∆V
(a)
C2 P2

C1 P1
a
na

(b)
I ∆V
C2

C1 P1 P2
a a
na

(c) I ∆V

C1 C2 P1 P2
a a a
na

I
(d)

∆V

C1 P1 P2 C2

a a a
na na na

I
(e)

∆V

A M N B

2b
2a

Gambar 3.8
Konfigurasi elektroda (a) pole-pole, (b) pole-dipole, (c) dipole-dipole, (d) Wenner dan (e)
Schlumberger.

25
3.5 Teknik pengukuran geolistrik
Sesuai dengan konsep pengukuran geolistrik dan konfigurasi elektroda
sebagaimana telah dibahas, pengukuran geolistrik dapat dilakukan untuk tujuan yang
berbeda. Berdasarkan informasi yang ingin diperoleh dari pengukuran geolistrik dikenal
tiga teknik pengukuran yaitu mapping, sounding dan imaging. Mengingat padanan istilah-
istilah tersebut dalam bahasa Indonesia kurang menggambarkan maksud sebenarnya maka
pada pembahasan selanjutnya tetap digunakan istilah aslinya, kecuali teknik “imaging”
yang sering diterjemahkan menjadi teknik pencitraan.

Mapping
Tujuan mapping adalah untuk mengetahui variasi resistivitas secara lateral. Oleh
karena itu teknik mapping dilakukan menggunakan konfigurasi elektroda tertentu dengan
jarak antar elektroda tetap. Seluruh susunan elektroda dipindah mengikuti suatu lintasan.
Berdasarkan hal tersebut teknik mapping dikenal pula sebagai constant separation
traversing (CST) atau traversing dan kadang-kadang disebut pula sebagai teknik profiling.
Plot resistivitas semu sebagai fungsi posisi titik pengukuran dalam lintasan tersebut
secara kualitatif menggambarkan variasi lateral resistivitas bawah-permukaan. Data yang
diperoleh merepresentasikan variasi lateral pada kedalaman tertentu sesuai dengan jarak
antar elektroda yang digunakan, karena jarak antar elektroda berasosiasi dengan
kedalaman jangkauan / kedalaman investigasi tertentu. Untuk memperoleh informasi
yang lebih lengkap biasanya pengukuran juga dilakukan dengan beberapa jarak antar
elektroda yang berbeda.
Pada dasarnya semua konfigurasi elektroda dapat digunakan untuk mapping
meskipun setiap konfigurasi elektroda memiliki sensitivitas yang berbeda. Konfigurasi
pole-pole, pole-dipole dan dipole-dipole lebih banyak digunakan untuk mapping karena
relatif lebih sensitif terhadap variasi lateral. Mengingat jarak antar elektroda yang tetap
konfigurasi Wenner cukup praktis untuk mapping karena pemindahan posisi titik
pengukuran tidak memerlukan pemindahan seluruh elektroda. Konfigurasi Schlumberger
relatif jarang digunakan untuk mapping karena kurang sensitif terhadap variasi lateral,
namun ada teknik survey tertentu (head-on) yang menggunakannya untuk mapping.
Interpretasi data hasil mapping umumnya dilakukan secara kualitatif terhadap
kurva variasi resistivitas semu sebagai fungsi posisi titik pengukuran pada lintasan.
Interpretasi semi-kuantitatif dapat dilakukan melalui perhitungan kurva teoritis untuk
variasi lateral sederhana misalnya kontak vertikal atau dike vertikal menggunakan konsep
optik sebagaimana diuraikan sebelumnya. Gambar 3.9 memperlihatkan contoh kurva
resistivitas semu teoritis yang berasosiasi dengan kontak vertikal untuk beberapa
konfigurasi elektroda [untuk penjelasan lebih lengkap lihat Telford (1990)]. Jika
pengukuran dilakukan pada beberapa lintasan yang tersebar pada suatu daerah maka dapat
pula diplot peta kontur resitivitas semu yang juga menggambarkan secara kualitatif variasi
lateral resistivitas pada kedalaman tertentu.

26
Gambar 3.9
Kurva resistivitas semu teoritis
untuk mapping kontak vertikal
(Telford, 1990).

Sounding
Istilah sounding diambil dari vertical electrical sounding (VES) yaitu teknik
pengukuran geolistrik yang bertujuan untuk memperkirakan variasi resistivitas sebagai
fungsi dari kedalaman pada suatu titik pengukuran. Mengingat jarak antar elektroda
menentukan kedalaman investigasi maka pada teknik sounding pengukuran dilakukan
dengan jarak antar elektroda bervariasi. Konfigurasi elektroda yang digunakan umumnya
adalah konfigurasi Wenner atau Schlumberger.
Secara kualitatif variasi resistivitas terhadap kedalaman tercermin pada kurva
sounding, yaitu plot resistivitas semu sebagai fungsi dari a (Wenner) atau a = AB/2
(Schlumberger). Sebagaimana telah dibahas untuk sistem pengukuran elementer,
resistivitas semu pada a kecil mendekati harga resistivitas lapisan pertama (dekat
permukaan) sedangkan pada a cukup besar resistivitas semu mendekati harga resistivitas
lapisan terakhir (substratum). Variasi resistivitas semu diantara kedua harga asimtotik
tersebut menunjukkan adanya lapisan-lapisan lain diantara lapisan dekat permukaan
dengan lapisan substratum. Disamping interpretasi semi-kuantitatif menggunakan nilai
asimtotik, secara lebih kuantitatif dapat dilakukan perbandingan kurva sounding dengan
kurva standar / kurva teoritis baik secara manual maupun menggunakan komputer.
Gambar 3.10 memperlihatkan empat tipe kurva sounding (konfigurasi
Schlumberger, ρa vs. AB/2) sesuai dengan variasi resistivitas terhadap kedalaman untuk
kasus tiga lapisan : tipe H, tipe A, tipe K dan tipe Q. Untuk kasus empat lapisan atau lebih
kurva sounding merupakan gabungan antara beberapa tipe utama tersebut.

27
Gambar 3.10
Beberapa tipe kurva sounding yang menunjukkan secara kualitatif variasi resistivitas
sebagai fungsi kedalaman.

Imaging
Pemilihan konfigurasi elektroda dan teknik pengukuran geolistrik selain ditentukan
berdasarkan tujuan survey juga dibatasi oleh masalah-masalah teknis di lapangan. Dengan
menggunakan peralatan geolistrik digital yang dikontrol oleh mikroprosesor serta
dilengkapi dengan sistem multi-elektroda dan multi-core cable pengukuran geolistrik dapat
dilakukan secara efektif dan efisien. Untuk konfigurasi elektroda apapun pengukuran
mapping dengan jarak antar elektroda yang berbeda-beda dapat dilakukan secara cepat
sehingga informasi yang diperoleh adalah variasi resistivitas secara lateral maupun
vertikal. Teknik pencitraan ini dikenal pula dengan istilah teknik tomografi.
Secara horisontal data hasil pengukuran merepresentasikan kondisi di titik tengah
susunan elektroda, sedangkan secara vertikal data tersebut merepresentasikan kondisi di
bawah titik pengukuran pada kedalaman yang sesuai dengan jarak antar elektroda. Jika
pengukuran dilakukan pada suatu lintasan maka hasilnya membentuk penampang atau
profil 2-D yang menggambarkan variasi resistivitas semu baik secara lateral (dalam arah

28
lintasan) maupun vertikal dalam bentuk kontur. Gambar 3.11 menunjukkan contoh
(konfigurasi Wenner dan dipole-dipole) bagaimana data diukur dan hasilnya diplot pada
penampang resistivitas semu yang disebut sebagai pseudosection. Skala vertikal
dinyatakan dalam bilangan bulat n yang merupakan kelipatan jarak antar elektroda (a).
Untuk memberikan gambaran mengenai kedalaman secara kualitatif biasanya skala
tersebut dikonversikan menjadi kedalaman semu (pseudo-depth), yaitu hasil perkalian (n ×
a) dengan faktor skala yang besarnya antara 0.3 – 1.
Interpretasi data hasil teknik pencitraan dilakukan secara kualitatif terhadap
pseudosection terutama untuk memperkirakan adanya kontras resitivitas secara lateral.
Interpretasi kuantitatif hanya dapat dilakukan menggunakan pemodelan / simulasi
komputer.

(a)

(b)

Gambar 3.11
Teknik pengukuran dan presentasi data dalam bentuk citra 2-D menggunakan konfigurasi
elektroda (a) Wenner dan (b) dipole-dipole.

29
3.6 Sounding dengan konfigurasi Schlumberger
Teknik pengukuran geolistrik yang cukup poluler adalah sounding menggunakan
konfigurasi elektroda Schlumberger. Oleh karena itu beberapa aspek mengenai sounding
dengan konfigurasi Schlumberger akan dibahas secara khusus pada sub-bab ini. Beberapa
aspek tersebut diantaranya adalah sifat asimtotik kurva sounding Schlumberger pada
medium dua lapis, yang kemudian digunakan untuk interpretasi semi-kuantitatif sederhana.
Disamping itu akan dibahas interpretasi kuantitatif kurva sounding dengan metoda
pencocokan kurva (curve matching) dan aspek-aspek praktis pengukuran sounding
menggunakan konfigurasi Schlumberger.
Pada konfigurasi Schlumberger elektroda potensial MN dimaksudkan untuk
mengukur medan listrik yang merupakan gradien potensial. Pada medium homogen
medan listrik di titik tengah konfigurasi Schlumberger yang berjarak a dari dua sumber
arus adalah :

E = (3.42)
π a2

Jika pengukuran dilakukan bukan pada medium homogen maka resistivitas semu
konfigurasi Schlumberger dinyatakan oleh :

πa2 π a2 ⎛ ∂V ⎞
ρa = E ⎯
⎯→ ρ a = ⎜⎜ − ⎟⎟ (3.43)
I I ⎝ ∂ r ⎠

Persamaan (3.29) menyatakan potensial pada jarak r dari sumber arus tunggal sebesar I
pada medium yang terdiri dua lapisan. Pada kasus ini gradien potensial adalah :

∂V I ρ1 ⎛ ∞
km ⎞
⎜1+ 2 ⎟
= − ∑ (3.44)
∂r 2πr2 ⎜
⎝ (
m =1 1 + ( 2 m z / r ) 2 )
3 /2 ⎟

Gradien potensial di titik tengah konfigurasi Schlumberger yang berjarak a dari dua
elektroda arus adalah persamaan (3.44) yang dievaluasi pada r = a dan dikalikan dengan 2
untuk memperhitungkan dua sumber arus identik. Hasilnya disubstitusikan pada
persamaan (3.43) sehingga diperoleh :

⎛ ∞
km ⎞
ρ a = ρ1 ⎜ 1 + 2 ∑ ⎟ (3.45)

⎝ (
m =1 1 + ( 2 m z / a ) 2 )
3 /2 ⎟

Sifat asimtotik persamaan (3.29) untuk r << z dan r >> z juga berlaku pada persamaan
(3.45) untuk a << z dan a >> z. Hal ini mengingat deret tak-hingga pada persamaan (3.45)
mirip dengan deret tak-hingga pada persamaan (3.29). Dengan demikian kurva sounding
Schlumberger ρa(a) pada medium yang terdiri dua lapisan menunjukkan ρa = ρ1 jika
a << z dan ρa = ρ2 jika a >> z. Prinsip yang sama juga berlaku pada konfigurasi lainnya.

30
Interpretasi kualitatif kurva sounding Schlumberger dapat dilakukan berdasarkan
sifat asimtotik sebagaimana dibahas di atas. Interpretasi semi-kuantitatif sederhana
didasarkan pada sifat asimtotik kurva sounding Schlumberger untuk medium dua lapis
dimana lapisan substratum adalah lapisan sangat resistif atau isolator. Pada kasus tersebut
arus hanya akan mengalir pada lapisan pertama dan pada jarak a yang jauh lebih besar
dari ketebalan lapisan (z) rapat arus akan serba-sama / uniform. Arus total pada jarak a
dari sumber arus dapat dihitung melalui integrasi rapat arus yang melalui permukaan
ekuipotensial berbentuk cincin dengan jari-jari a dan ketebalan z :
2π z
I = ∫ J dA = ∫ ∫ J r dz dθ
0 0

I = 2πa z J (3.46)

Berdasarkan hukum Ohm medan listrik di titik tengah konfigurasi Schlumberger yang
berjarak a dari dua sumber arus adalah :

I ρ1
E = 2 ρ1 J ⎯
⎯→ E = (3.47)
πa z

Substitusi persamaan (3.47) ke persamaan (3.43) menghasilkan :

π a2 a
ρa = E ⎯
⎯→ ρ a = ρ1 (3.48)
I z

Kurva sounding adalah plot resistivitas semu ρa terhadap jarak antar elektroda a
(atau AB/2) masing-masing dalam skala logaritmik. Oleh karena itu persamaan (3.48)
lebih sesuai jika dituliskan sebagai :

a
log ρ a = log ρ1 + log (3.49)
z

Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya kurva sounding secara asimtotik mendekati harga
resistivitas lapisan pertama jika a << z. Harga resistivitas semu semakin meningkat sesuai
dengan meningkatnya a. Persamaan (3.49) dapat pula dituliskan sebagai berikut :

log ρ a = log a − log S1 (3.50)

dimana S1 = z/ρ1 adalah konduktansi longitudinal (atau sering disebut sebagai


konduktansi dengan satuan Siemens) yang mengkarakterisasi lapisan pertama. Segmen
kurva sounding dimana a >> z adalah garis lurus yang membentuk sudut 45O terhadap
sumbu horisontal. Pada kurva ini rasio antara jarak antar elektroda terhadap resistivitas
semu adalah konstan dan menunjukkan harga konduktansi :
a z
= = S1 (3.51)
ρa ρ1

31
Harga konduktansi lapisan pertama dapat pula diperkirakan dari perpotongan segmen
kurva sounding (yang membentuk sudut 45O terhadap sumbu horisontal) dengan sumbu
horisontal dimana ρa = 1 Ohm.m. Dengan asumsi bahwa resistivitas lapisan pertama
telah diketahui berdasarkan asimtot kurva sounding pada a << z maka ketebalan lapisan
pertama dapat dihitung menggunakan persamaan (3.51). Secara grafis ketebalan lapisan
pertama dapat diperkirakan dari titik belok kurva sounding sebelum membentuk sudut 45O
terhadap sumbu horisontal sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.12. Jika pada kurva
sounding tidak terdapat segmen kurva yang menunjukkan adanya batuan dasar resistif
maka harga konduktansi dan ketebalan yang diperoleh dari kurva sounding tersebut adalah
harga-harga minimum (Gambar 3.13).

Gambar 3.12
Interpretasi kurva sounding Schlumberger menggunakan harga-harga asimtotik untuk
kasus dua lapis (Telford, 1990).

Interpretasi semi-kuantitatif sederhana yang didasarkan pada sifat asimtotik kurva


sounding Schlumberger untuk medium dua lapis dapat dikembangkan untuk kasus yang
lebih umum. Tentu saja informasi yang diperoleh sangat terbatas sesuai dengan karakter
pendekatan atau reduksi banyak lapisan menjadi dua lapisan. Meskipun demikian sebagai
interpretasi awal hasil semi-kuantitatif tersebut memberikan informasi yang cukup
bermanfaat untuk mengetahui karakteristik medium secara global pada daerah
penyelidikan.
Berdasarkan proses geologi dapat diasumsikan bahwa formasi batuan (terutama
batuan sedimen dan batuan volkanik) selalu terbentuk di atas suatu batuan dasar
(basement) yang umumnya sangat resistif. Oleh karena itu formasi batuan yang relatif
lebih konduktif membentuk lapisan overburden yang dapat diasosiasikan sebagai lapisan

32
pertama pada kasus dua lapis. Batuan dasar resistif dapat dianggap sebagai substratum
isolator. Jika pada kurva sounding terdapat segmen yang membentuk sudut 45O terhadap
sumbu horisontal maka harga konduktansi total seluruh lapisan overburden dapat
diketahui. Sebenarnya besaran konduktansi merupakan satu-satunya informasi yang dapat
diperoleh dari pendekatan menggunakan sifat asimtotik. Sebagai besaran komposit, yaitu
hasil perkalian konduktivitas dengan ketebalan atau hasil bagi ketebalan dengan
resistivitas, terdapat tak-hingga kombinasi resistivitas dan ketebalan yang menghasilkan
konduktivitas yang sama. Oleh karena itu pada data geolistrik terdapat ambiguitas atau
ekivalensi yang berkaitan dengan konduktansi.
Meskipun demikian, jika resistivitas yang mewakili lapisan overburden dapat
dipilih secara “a priori” (diasumsikan) maka ketebalan total lapisan overburden tersebut
dapat dihitung menggunakan persamaan (3.51) atau secara grafis sebagaimana pada kasus
dua lapis. Ketebalan total lapisan overburden yang juga adalah kedalaman batuan dasar
resistif merupakan informasi awal yang cukup berguna pada penyelidikan geolistrik. Pada
kasus dimana pengukuran geolistrik dilakukan pada sejumlah titik sounding (pada suatu
lintasan atau pada suatu area tertentu) maka variasi kedalaman batuan dasar dapat
digambarkan dalam bentuk penampang atau dipetakan. Jika variasi konduktansi pada
daerah pengukuran dianggap berasosiasi dengan lapisan overburden dengan ketebalan
tetap maka variasi konduktasi tersebut dapat diasosiasikan sebagai variasi resistivitas.
Dengan demikian dapat dipetakan daerah-daerah resistif maupun daerah-daerah konduktif
pada daerah survey.

Gambar 3.13
Interpretasi kurva sounding Schlumberger menggunakan harga-harga asimtotik untuk
kasus dua lapis jika kurva sounding tak lengkap (Telford, 1990).

33

Anda mungkin juga menyukai