Anda di halaman 1dari 41

TIM BANTUAN MEDIS 110

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, September 2017

LAPORAN KASUS MAGANG


APPENDICITIS

OLEH:
1. Rahmawati S.
2. Fadhillah Rufaidah
3. Heldi Jafar Yansari
PEMBIMBING
1. Raswinda, S.Ked
2. Muh. Iqbal Djamaluddin
3. Ainil Maksura, S.Ked

DIBAWAKAN DALAM RANGKA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ANGGOTA II


TIM BANTUAN MEDIS 110 FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang tersebut namanya di bawah ini :


1. Rahmawati S.
2. Fadhillah Rufaidah
3. Heldi Jafar Yansari
Benar telah menyelesaikan laporan kasus magang dengan judul “ASMA BRONKIAL
EKSASERBASI AKUT “ dan telah mendiskusikannya dengan pembimbing kami.

Makassar, April 2015


Mengetahui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2 Pembimbing 3

Raswinda, S.Ked Muh.Iqbal Djamuluddin Ainil Maksura,S.Ked


TBM-110……………. TBM-110……………. TBM-110…………….

Departemen Pendidikan dan Pelatihan


Tim Bantuan Medis 110
Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia

Koordinator,

Muh.Iqbal Djamuluddin
TBM-110…………….

2
LEMBAR PERSETUJUAN

Yang tersebut namanya di bawah ini :


1. Rahmawati S.
2. Fadhillah Rufaidah
3. Heldi Jafar Yansari
Benar telah mempresentasikan laporan kasus magang dengan judul “ASMA
BRONKIAL EKSASERBASI AKUT “ pada :

Hari / tanggal : April 2015


Pukul :
Tempat :
Jumlah Audience :

Mengetahui,

Dept. Diklat, Narasumber,

…………………. ..…………………
NRA : NRA :

LAPORAN KASUS

3
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Agama : Islam
Umur : 23 tahun
Alamat : BTN Ranggung Permai
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Makassar
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Tanggal masuk : 17 september 2017

II. SUBJEKTIF

A. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah

Anamnesis Terpimpin :

Dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya, nyeri
dirasakan pada ulu hati lalu, berpindah ke perut kanan bawah.

Riwayat trauma tidak ada.

Riwayat demam ada, terus menerus, sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat mual ada.

Riwayat muntah ada.

Riwayat nyeri pada perut kanan bawah ketika batuk.

Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada.

B. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Sakit sedang / gizi cukup / composmentis

Status Vitalis

Tekanan Darah: 120 / 80 mmHg

4
Nadi : 80 x / menit

Pernafasan : 20 x / menit

Suhu : 37.9oC

Kepala
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)

Bibir : tidak ada sianosis

Gusi : perdarahan (-)

Mata

pupil bulat, isokor, θ2,5mm/2,5mm, RC +/+

Leher

Kelenjar getah bening :tidak terdapat pembesaran

DVS : R-2 cmH20

Deviasi trakea : tidak ada

Tidak didapatkan massa tumor


Tidak ada nyeri tekan.
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan

Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), fremitus raba kiri=kanan

Perkusi : sonor R=L

Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler Kiri = Kanan

Bunyi tambahan: ronkhi - / -, Wheezing - / -

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

5
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis (S)

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1 / S2 reguler,murmur (-)

Abdomen (Status Lokalis) :

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar.
Darm

Contour (-), Darm Steifung (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan menurun

Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (+) pada titik Mc Burney (+),

Rovsing Sign (+), Blumberg Sign (+), Psoas sign (+) Obturator

Sign (+)

Hepar / Lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani, Nyeri Ketok pada titik Mc Burney(+).

Rectal Touche :

Spincter mencekik, mukosa licin, ampula kosong, Massa tumor (-). Nyeri tekan
pada arah jam 10.

Handschoen: Feces (-) darah (-) lendir (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah rutin
- Urin rutin
- USG

Skor Labeda, Kalesaran dan Alvarado

6
Skor Alvarado

Gejala Klinik Value

Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 0

7
Mual/muntah 1

Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Leukositosis 2

Shift to the left 1

JUMLAH 9

D. RESUME
Perempuan, 17 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah, dialami sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pada ulu
hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Riwayat demam ada, terus menerus,
sejak 2 hari yang lalu. Riwayat mual ada. Riwayat muntah ada. Riwayat nyeri ada
ketika batuk.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, nyeri tekan ada pada titik Mc Burney , Rovsing
Sign dan Blumberg Sign ada, Psoas sign dan Obturator sign ada. Nyeri Ketok
pada titik Mc Burney ada
Pemeriksaan lab, menunjukkan tanda-tanda leukositosis. Hasil pemeriksaan USG,
menunjukkan gambaran appendisitis akut. Berdasarkan skor Kalesaran, Labeda
dan Alvarado, diindikasikan pasien ini untuk dilakukan tindakan operasi.

E. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Akut

F. RENCANA TINDAKAN
Appendectomy

H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam

8
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

I. ANALISA KASUS
????

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu
berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix
ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada

9
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid.
Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada
dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

10
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2

2.2 INSIDENSI

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang
dari satu tahun.2

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti
measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat
pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor
carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6

11
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta
gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 2
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,
muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri
yang khas ke RLQ. 2,6,7
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan
suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.

12
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis,
khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang
berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan
penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di
punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter
atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran
infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi
retensi urine.

13
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi
abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.6

2.4 MANIFESTASI KLINIS


2.4.1 Gejala Klinis
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. 12,13 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12
jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ.
Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai
contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri
1,2,3,7,8
suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat
hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien
dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah

14
disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala
Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul
sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi
Appendix. 2,3
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.5

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2


Gejala Klinik Value
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.2
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik
Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat
konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi

15
dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur
Appendix.6
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu
tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga
Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi,
hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala
muntah, demam, dan nyeri.7

2.4.2 Tanda Klinis

Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan


gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak
retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga
nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan,
karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut
akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6

Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut7

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di

16
antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat
menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.6
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien
dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal
dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 7

 Obturator sign

17
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam
posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya
perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak
retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign7

Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign

18
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.5.1 Laboratorium2,3,6,7
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada
keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan.
Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada Appendicitis tanpa
komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara
6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥
11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.

19
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran
kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra
atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

2.5.2.Ultrasonografi1,2,6,7
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila
tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal,
yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran
5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian
dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau
massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan USG,
pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk
mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul
harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat
menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar
78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak
dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.
Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan
karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak lemak.
USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada ujung Appendix,
letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila
Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.

20
Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6

2.5.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7


Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan
temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk
menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan
operasi segera saat ada indikasi klinis.

21
Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata
dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix


(panah) dengan appendicolith1

Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendicitis5

USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada Evaluasi pasien pada


pasien Appendicitis pasien Appendicitis

22
Keuntungan Aman Lebih akurat
Relatif murah Lebih baik dalam
Dapat menyingkirkan mengidentifikasi
penyakit pelvis pada Appendix normal,
wanita phlegmon dan abscess
Lebih baik pada anak-
anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Secara teknik tidak Radiasi ionisasi
adekuat dalam menilai gas Kontras
Nyeri

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut
di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama
seperti Appendicitis acuta. 2,6
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. Diagnosis banding Appendicitis tergantung
dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari
yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien. 2,6
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut
self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual,
dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil
pemeriksaan laboratorium biasanya normal.
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis
acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena

23
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2
tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur
2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa
berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila
tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi
pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
4. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

2.7 KOMPLIKASI

2.7.1. Perforasi
2.7.2. Peritonitis
2.7.3. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang
terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang
kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa
Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima
tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum
telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.6

24
2.7.3.1. Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga
terbentuk massa periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan
sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang,
dinding Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain,
peritoneum parietale dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba
membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum
selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses
melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau
tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar
istirahat (bedrest).8
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. 8

25
2.7.3.2. Manifestasi Klinis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian
disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik Appendicitis akut biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan menetap dan
diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada
keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif.7

2.7.3.3. Pemeriksaan Fisik


Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu axillar dan rektal
sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendicitis infiltrat atau adanya
Appendicular abscess terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.8
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas. Defence muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing.
Pada Appendicitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri. 8
Jika sudah terbentuk abscess yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan
cepat membendung daerah Appendix maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan
selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abscess) juga pada
palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat

26
diraba. Jika Appendix intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT(Rectal Toucher)
sebagai massa yang hangat.7
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat Appendicitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada Appendicitis pelvika. 8
Pada Appendicitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak Appendix.8

2.7.3.4. Diagnosis
Riwayat klasik Appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di
region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abscess
Appendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun
penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma Caecum, penyakit
Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan
kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog
seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adnexitis dan Kista Ovarium terpuntir .
Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas.7
Tumor Caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum
jelek, anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop
dan benzidin test. Pada anak-anak tumor Caecum yang sering adalah sarcoma dari
kelenjar mesenterium. Pada Appendicitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan
nyeri yang tidak begitu hebat disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan
waktu serangan dapat timbul panas badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri
tekan dan rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang teraba massa.7
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas
terdapat tanda-tanda peritonitis;

27
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak
tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan
hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6

2.7.3.5. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya
dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix tidak dapat
mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi
abscess yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi lebih
terfiksasi, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abscess yang dapat mudah didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran
pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta
generalisata. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien
dewasa dengan massa periappendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa

28
periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
Appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk
abscess Appendix. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit. 7
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih
kontroversial. Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-anak,
kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan
cairan intravena, dan pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif berlangsung
selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu direncanakan untuk dilakukan Appendectomy
elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk mencegah kemungkinan risiko rekurensi
dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian komplikasi setelah operasi dengan
penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila dibandingkan dengan terapi
pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury), abses intrabdominal,
infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada appendicular
infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif merupakan metode yang aman dan
efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif
terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar
(extensive).2
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi
abscess, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy
direncanakan pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan.
Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan Appendectomy.2
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD
(Primary Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic
Appendectomy). PLD ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit,
makanan oral dapat diberikan 2-3 hari setelah PLD, penurunan panas badan pasien

29
menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD, antibiotik intravena dapat dilepas 4-5 hari
setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15 hari. PLD ini tidak terbukti terdapat
komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan bila dilanjutkan dengan LA,
komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi usus.2
Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan atau
gejala apapun, dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single
dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

Teknik operasi Appendectomy 1,2,6,:


a. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit:
Horizontal Oblique

30
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:
a. Pararectal/ Paramedian
Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M.
rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu
penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi
hernia cicatricalis.

31
sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.

ditarik ke medial

2 lapis

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting


Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke
medial bawah.

Keterangan gambar:

32
Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua
mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis
externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral
bawah.

Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah
dengan seratnya ke arah lateral.
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

Keterangan gambar:
Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak
terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus
dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di
antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras
akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf.
4. Peritoneum dibuka.

33
Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.
Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di
bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah
pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama
pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang
lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk


mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan
klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke
jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

Keterangan gambar:

34
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem
Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium
seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas
mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak
diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih
kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum).
Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat
dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk
rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).

7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:

35
a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke
dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh,
dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).
10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat
berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan
menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari
Appendicitis acuta.1

36
Gambar 3.10. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy 1
2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI 1
1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena
benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah
Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli
retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

2.10 PROGNOSIS 2
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada
tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan

37
plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum
terjadi perforasi.

BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap
individu. Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Faktor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya
Appendicitis meliputi faktor obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen adalah
penyebab utama pada Appendicitis acuta.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik pada
kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign, Blumberg’s

38
sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare, nyeri pada daerah
cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis, nyeri
pada pemeriksaan rectal toucher.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan
laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding
Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut, penyakit
urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s enteritis,
perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu urethra,
peritonitis primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta kelainan–kelainan
ginekologi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis,
Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial pyemia dengan
Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta
meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau
septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah,
pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta.
Appendicular infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (Appendiceal mass) yang lebih sering dijumpai pada pasien
berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik
dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya Appendicitis
acuta. Dimulai dari acute focal Appendicitis  acute suppurative Appendicitis 
gangrenous Appendicitis (tahap pertama dari Appendicitis yang mengalami
komplikasi)  dapat terjadi 3 kemungkinan:
o perforated Appendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang
atau rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama
kelamaan akan mengecil dan menghilang)

39
o Appendicitis kronis, merupakan serangan ulang Appendicitis yang telah
sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat
Appendicitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan di RLQ.
Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor Caecum,
limfoma maligna intra abdomen, Appendicitis tuberkulosa, amoeboma, Crohn’s
disease, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun torsi kista
ovarium.
Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif (konservatif)
yang diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian), tetapi apabila
massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa
harus segera dibuka dan dilakukan drainase.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume
2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

41

Anda mungkin juga menyukai