Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penduduk lanjut usia (lansia) merupakan bagian dari anggota keluarga dan
anggota masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan
peningkatan usia harapan hidup. Data sensus penduduk jumlah populasi lanjut
usia 60 tahun keatas di dunia terus bertambah, pada tahun 1950 sebanyak 13 juta
(4 % dari total populasi), tahun 2000 sebanyak 16 juta (7, 2% dari total populasi)
dan terus bertambah berkisar 8 juta setiap tahunnya,diperkirakan pada tahun 2025
menjadi 41, 5 juta (13, 6% dari total populasi) dan pada tahun 2050 sebanyak 79,
6 juta (23, 7% dari total populasi) (U.S Census Bureau, 2002).

Proses menua tidak dapat dihindari dari kehidupan. Indonesia saat ini
termasuk lima besar di dunia terbanyak jumlah penduduk lanjut usia (lansia),
yaitu mencapai 18,04 juta jiwa pada 2010 atau mencapai 9,6 persen (Republika,
2012). Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 24 juta jiwa atau
hampir 10 persen jumlah penduduk (Kompas, 2012). Adapun di Kabupaten
Sleman jumlah penduduk pra lansia (45-59 tahun) sejumlah 53.146 jiwa dan
penduduk lansia (>60 tahun) ada 55.967 jiwa, dari total penduduk sebanyak
1.090.567 jiwa (Dinkes, 2011). Jumlah penduduk lansia yang tinggi perlu
mendapat perhatian serius di bidang kesehatan karena lansia rentan terhadap
penyakit.

Keberadaan lansia yang semakin meningkat akan menimbulkan berbagai


macam masalah yang muncul seperti masalah fisik, psikologis, dan sosial akibat
proses degeneratif yang muncul dengan seiring bertambahnya usia, sehingga akan
menjadi tantangan bagi lansia dan lingkunganya. Semua orang akan mengalami
masa tua atau lanjut usia yang secara alami tidak dapat dihindarkan. The National
Od Peoples Welfore Council mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan
umum pada lanjut usia ada 12 macam yakni depresi mental, gangguan
pendengaran, bronkitis kronis, gangguan pada tungkai/sikap berjalan, gangguan
pada sendi panggul, anemia, demensia, gangguan penglihatan, kecemasan,
dekompensasi kordis, diabetes mellitus, osteomalasia dan hipoteriodisme serta
gangguan defekasi (Nugroho, 2008).

Perubahan pada lansia ini salah satunya adalah terjadi perubahan psikologi
seperti terjadinya depresi. Depresi ini merupakan gangguan mental yang sering
diderita para lanjut usia Sejumlah studi melaporkan data yang menunjukkan
bahwa depresi pada orang lanjut usia dapat berkaitan dengan status ekonomi yang
rendah, kematian pasangan, penyakit fisik yang juga sedang ada, serta isolasi
sosial. Studi lain menunjukkan angka lanjut usia kurang terdiagnosa dan tidak
diobati, terutama mungkin oleh dokter umum. Tidak dikenalinya depresi pada
orang lanjut usia 4 dapat terjadi karena gangguan lebih sering muncul dengan
keluhan somatik pada kelompok usia yang sudah tua dibanding dengan kelompok
usia yang lebih muda. Lebih jauh lagi, diskriminasi terhadap usia dapat
mempengaruhi dan membuat mereka lebih menerima gejala depresif sebagai hal
yang normal.

Pada pasien lanjut usia (Kaplan & Sadock, 2010). menerima gejala
depresif sebagai hal yang normal pada pasien lanjut usia (Kaplan & Sadock,
2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Octaviana di Panti Sosial Tresna
Werdha Mulia Dharma Kab. Raya, Kalimantan Barat tahun 2012 terdapat depresi
yaitu 10 orang (38,46) dari 26 orang lasia yaitu, Normal 61,54%, Ringan 38,46%,
Berat 0. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari, 2011.

Bahwa prevalensi dipanti Werdha Magelang yang mengalami depresi


38,5% dari 52 orang lansia yaitu 26,9 % depresi ringan, 9,6 % depresi sedang dan
1,9 % depresi berat). Hasil penelitian Sari, 2012 tingkat depresi lansia di Panti
Sosial Werdha Budhi Mulia 01 dan 03 Jakarta Timur sebesar 40,6%, depresi
ringan 25,9% dan depresi berat 14,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Marta,
2012 depresi pada lansia di Panti Werdha Sosial Tresna Budi Mulia 4, Jakarta
Selatan 41,3% dar 26 orang. Hasil dari data diatas membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran depresi pada lansia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Depresi

2.1.1. Definisi Depresi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).

Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat


disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik
neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP
(terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002).

Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang


ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari
seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan,
2010).

2.1.2. Jenis- jenis Depresi


Penggolongan depresi dapat dibedakan (Wilkinson,1995:18 - 26):

1. Menurut gejalanya

 Depresi neurotic

Depresi neurotik biasanya terjadi setelah mengalami peristiwa yang


menyedihkan tetapi yang jauh lebih berat daripada biasanya. Penderitanya
seringkali dipenuhi trauma emosional yang mendahului penyakit misalnya
kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, milik berharga, atau seorang kekasih.
Orang yang menderita depresi neurotik bisa merasa gelisah, cemas dan sekaligus
merasa depresi. Mereka menderita hipokondria atau ketakutan yang abnormal
seperti agrofobia tetapi mereka tidak menderita delusi atau halusinasi.

 Depresi psikotik

Secara tegas istilah 'psikotik' harus dipakai untuk penyakit depresi yang
berkaitan dengan delusi dan halusinasi atau keduanya.

 Psikosis depresi manik

Depresi manik biasanya merupakan penyakit yang kambuh kembali disertai


gangguan suasana hati yang berat. Orang yang mengalami gangguan ini
menunjukkan gabungan depresi dan rasa cemas tetapi kadang-kadang hal ini dapat
diganti dengan perasaan gembira, gairah, dan aktivitas secara berlebihan
gambaran ini disebut 'mania'.

 Pemisahan diantara keduanya

Para dokter membedakan antara depresi neurotik dan psikotik tidak hanya
berdasarkan gejala lain yang ada dan seberapa terganggunya perilaku orang
tersebut.

2. Menurut Penyebabnya

 Depresi reaktif

Pada depresi reaktif, gejalanya diperkirakan akibat stres luar seperti


kehilangan seseorang atau kehilangan pekerjaan.

 Depresi endogenus

Pada depresi endogenous, gejalanya terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor


lain.

 Depresi primer dan sekunder


Tujuan penggolongan ini adalah untuk memisahkan depresi yang disebabkan
penyakit fisik atau psiatrik atau kecanduan obat atau alkohol (depresi 'sekunder')
dengan depresi yang tidak mempunyai penyebab-penyebab ini (depresi 'primer').
Penggolongan ini lebih banyak digunakan untuk penelitian tujuan perawatan.

3. Menurut arah penyakit


 Depresi tersembunyi

Diagnosa depresi tersembunyi (atau atipikal) kadang-kadang dibuat bilamana


depresi dianggap mendasari gangguan fisik dan mental yang tidak dapat
diterangkan, misalnya rasa sakit yang lama tanpa sebab yang nyata atau
hipokondria atau sebaliknya perilaku yang tidak dapat diterangkan seperti wanita
lanjut usia yang suka mengutil.

 Berduka

Proses kesedihan itu wajar dan merupakan reaksi yang diperlukan terhadap
suatu kehilangan. Proses ini membuat orang yang kehilangan itu mampu
menerima kenyataan tersebut, mengalami rasa sakit akibat kesedihan yang
menimpa, menderita putusnya hubungan dengan orang yang dicintai dan
penyesuaian kembali.

 Depresi pascalahir

Banyak wanita kadang-kadang mengalami periode gangguan emosional


dalam 10 hari pertama setelah melahirkan bayi ketika emosi mereka masih labil
dan mereka merasa sedih dan suka menangis. Seringkali hal itu berlangsung
selama satu atau dua hari kemudian berlalu.

 Depresi dan manula


Usia tua merupakan saat meningkatnya kerentanan terhadap depresi. Namun,
kadang-kadang depresi pada manula ditutupi oleh penyakit fisik dan cacat tubuh
seperti penglihatan atau pendengaran yang terganggu. Oleh karena itu, sangatlah
penting untuk mengingat kemungkinan terjadinya penyakit depresi pada orang
tua.

2.1.3. Etiologi Depresi

Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan


dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.

a. Faktor Biologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin


biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan
cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.

Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan


epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien
bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran
mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi
(Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal
tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson,
adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin,
seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan,
2010).

Disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis


neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter amin
biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik
sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormone pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling
banyak diteliti (Landefeld et al, 2004).

Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental


pada pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada
sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).

Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan
marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan
organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh system limbik.
Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi
CRH (Landefeld, 2004).

Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen
berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin
seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan
antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2002).

Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat


mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel
di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius
(Lesler, 2001).

Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur tentang


penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di dalam
otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-
an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).

b. Faktor Genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko diantara


anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Davies, 1999).

Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan


secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.

c. Faktor Psikososial

Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah


kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010).

Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan


mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan.
Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi,
kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi
diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010)
Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri,
kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial,
kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 1999).

Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan


dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang,
teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan,2010).

Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang


menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010).
Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung
lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi (hardywinoto, 1999).

Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada


individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan
paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif)
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).

Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan


bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi (Kaplan, 2010).

Dalam upaya untuk mengerti depresi, SigmudFreud sebagaimana dikutip


Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara kehilangan objek dan
melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi
diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud
percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk
melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita
atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda
dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan
orang yang berkabung tidak demikian. Kegagalan yang berulang. Dalam
percobaan binatang yang dipapari kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara
berulang-ulang, binatang akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk
menghindari. Disini terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada
manusia yang menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip
(Kaplan,2010).

Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,


menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)

2.1.4. Faktor Pencetus


Ada empat sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan (Sundeen,Stuart,1998:260):

 Kehilangan keterikatan, yang nyata atau yang dibayangkan,


termasuk kehilangan cinta, seseorang, fungsi fisik, kedudukan, atau
harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka persepsi pasien merupakan hal yang sangat
penting.
 Peristiwa besar dalam kehidupan sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
 Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
perkembangan depresi, terutama pada wanita.
 Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai
penyakit fisik, seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan
keseimbangan metabolik, dapat mencetuskan gangguan alam
perasaan.

2.1.5. Gambaran Klinis

Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses normal
dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya dengan
mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan.Bagaimanapun,lansia cenderung
menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya,banyak
diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan
biasanya sulit untuk didiagnosa (Evans, 2000).

Perubahan Fisik
Penurunan nafsu makan.
Gangguan tidur.
Kelelahan dan kurang energy
Agitasi.
Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab
fisik.

Perubahan Pikiran
Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan
konsentrasi dan sulit mengungat informasi.
Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
Kurang percaya diri.
Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi
ataupun delusi.
Adanya pikiran untuk bunuh diri.

Perubahan Perasaan
Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan
melakukan hubungan suami istri.
Merasa bersalah, tak berdaya.
Tidak adanya perasaan.
Merasa sedih.
Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.

Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari


Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.
Menghindari membuat keputusan.
Menunda pekerjaan rumah.
Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.

Tanda dan gejala depresi lainnya :


 Gangguan alam perasaan pervasive
 Kesedihan,kehilangan semangat
 Menangis
 Ansietas,serangan panic
 Murung
 Iritabilitas
 Pernyataan merasa sedih,
“blue”,tertekan,rendah,atau susah” dan perasaan
bahwa tidak ada satupun yang menyenangkan
 paranoia
 Gangguan persepsi diri,lingkungan,masa depan
 Menarik diri dari aktivitas-aktivitas biasa
 Penurunan gairah seks
 Ketidakmampuan mengekspresikan kesenangan
 Perasaan tidak berharga
 Ketakutan yang tidak beralasan
 Pendekatan diri kembali pada kegagalan kecil
 Delusi
 Halusinasi(durasi singkat)
 Kritik yang ditujukan pada diri sendiri dan orang
lain
 Pasif
 Vegetative
 Penigkatan atau penurunan gerakan tubuh
 Mondar-mandir,meremas-remas tangan,menarik
atau mengusap rambut,tubuh,ataupun pakaian
 Sulit tidur,terus terjaga,terbangun dini hari
 Penurunan atau terkadang penigkatan nafsu makan
 Penurunan atau terkadang peningkatan berat badan
 Keletihan
 Terpaku pada kesehatan fisik,terutama ketakutan
terhadap kanker
 Ketidakmampuan berkonsentrasi,berpikir
jernih,atau membuat keputusan
 Bicara lambat,berhenti sejenak sebelum
menjawab,penurunan jumlah bicara,bicara rendah
atau monoton
 Berpikir tentang kematian
 Bunuh diri atau upaya bunuh diri
 Konstipasi
 Takikardia

2.1.6. Derajat Depresi dan Penegakan Diagnosis

Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III
(Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada ICD
10 (International Classification Diagnostic10).Gangguan depresi dibedakan dalam
depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta
dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang (Maslim,2000).

Gejala Utama :

• Perasaan depresif
• Hilangnya minat dan semangat
• Mudah lelah dan tenaga hilang

Gejala Lain

• Konsentrasi dan perhatian menurun


• Harga diri dan kepercayaan diri menurun
• Perasaan bersalah dan tidak berguna
• Pesimis terhadap masa depan
• Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
• Gangguan tidur
• Gangguan nafsu makan
• Menurunnya libido
Tingkat Gejala Gejala Fungsi Keterangan
Depresi Umum Lain
Ringan 2 2 Baik -

Sedang 2 3-4 Terganggu Nampak


distress
Berat 3 >4 Sangat Sangat
terganggu distress
Table.1 Penggolongan Depresi Menurut ICD-10 (Soejono
dkk,2007)

2.1.7. Pengelolaan Depresi Pada Usia Lanjut (FKUI,2000:60 - 76)

1. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada usia lanjut :

a. Obat-obatan

Beberapa jenis obat seperti digoksin, L-dopa, steroid, penyekat beta dan anti
hipertensi lainnya, pemberian benzodiazepin jangka panjang, fenobarbiton, dan
pemakaian neuroleptik jangka lama dapat mengakibatkan depresi.

b. Neurobiologik

Perubahan neuroendokrinologik seperti hormon, neurotransmiter (serotonin,


dopamin, dll) menyebabkan usia lanjut rentan terhadap depresi. Depresi pada usia
lanjut dapat diakibatkan oleh proses neurodegeneratif, misalnya depresi sebagai
gejala dari demensia.

c. Psikososial

 Kepribadian pasien sebelum sakit turut berperan dalam manifestasi gejala


depresi, misalnya orang yang pencemas semasa mudanya ketika
mengalami depresi di usia lanjut memperlihatkan gambaran depresi
neurotik yang menyolok.
 Dukungan sosial yang buruk, kapasitas membina keakraban yang lemah
juga berperan dalam terjadinya depresi.
 Berbagai peristiwa kehidupan seperti kematian pasangan, problem
keuangan yang berat, pindah rumah, peringatan peristiwa sedih, anak yang
cacat menanjak dewasa, dan sebagainya lebih sering terjadi pada pasien-
pasien usia lanjut dengan depresi dibandingkan dengan usia lanjut yang
sehat.

2.1.8. Penatalaksanaan Depresi Pada usia Lanjut

1. Terapi fisik

a. Obat

Secara umum, semua obat antidepresan sama efektivitasnya. Pemilihan jenis


antidepresan ditentukan oleh pengalaman klinikus dan pengenalan terhadap
berbagai jenis antidepresan. Biasanya pengobatan dimulai dengan dosis separuh
dosis dewasa, lalu dinaikkan perlahan-lahan sampai ada perbaikan gejala.
Antidepresan trisiklik Yang bersifat sedatif : Amitriptilin dan Dotipin , Sedikit
bersifat sedatif : Imipramin, Nortriptilin dan Protriptilin , Antidepresan yang lebih
baru Bersifat sedatif : Trasodon dan bersifat Kurang sedatif : Maprotilin dan
Flukfosamin.

b. Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, berniat bunuh diri
atau retardasi hebat maka ECT merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman.
ECT diberikan 1- 2 kali seminggu pada pasien rawat nginap, unilateral untuk
mengurangi confusion/memory problem.Terapi ECT diberikan sampai ada
perbaikan mood (sekitar 5 - 10 kali), dilanjutkan dengan anti depresan untuk
mencegah kekambuhan.

2. Terapi Psikologik
a. Psikoterapi

Psikoterapi individual maupun kelompok paling efektif jika dilakukan


bersama-sama dengan pemberian antidepresan. Baik pendekatan psikodinamik
maupun kognitif behavioursama keberhasilannya. Meskipun mekanisme
psikoterapi tidak sepenuhnya dimengerti, namun kecocokan antara pasien dan
terapis dalam proses terapeutik akan meredakan gejala dan membuat pasien lebih
nyaman, lebih mampu mengatasi persoalannya serta lebih percaya diri.

b. Terapi kognitif

Terapi kognitif - perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu
negatif (persepsi diri, masa depan, dunia, diri tak berguna, tak mampu dan
sebagainya) ke arah pola pikir yang netral atau positif. Ternyata pasien usia lanjut
dengan depresi dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan
secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-latihan, tugas-tugas dan aktivitas
tertentu terapi kognitif bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir.

c. Terapi keluarga

Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan penyakit depresi,


sehingga dukungan terhadap keluarga pasien sangat penting. Proses penuaan
mengubah dinamika keluarga, ada perubahan posisi dari dominan menjadi
dependen pada orang usia lanjut. Tujuan terapi terhadap keluarga pasien yang
depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa, mengubah dan
memperbaiki sikap / struktur dalam keluarga yang menghambat proses
penyembuhan pasien.

d. Penanganan Ansietas (Relaksasi)

Teknik yang umum dipergunakan adalah program relaksasi progresif baik


secara langsung dengan instruktur (psikolog atau terapis okupasional) atau
melalui tape recorder.Teknik ini dapat dilakukan dalam praktek umum sehari-hari.
Untuk menguasai teknik ini diperlukan kursus singkat terapi relaksasi.
e. terapi tertawa

terapi tertawa dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat


memberikan pemijatan halus di kelenjar-kelenjar didalam tubuh, menurunkan
kortisol dalam darah serta mengembalikan hormon secukupnya. Sistem
neurotransmitter serotonin dan norepinefrin normalnya menimbulkan dorongan
bagi area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa nyaman seseorang,
menciptakan rasa bahagia, nafsu makan baik dan keseimbangan psikomotor. Hal
ini lah yang mendukung bahwa kekurangan serotonin dapat menimbulkan depresi.

Prosedur terapi tertawa :

Teknik Tawa Yoga, misalnya :

(1) Tawa Bersemangat : Dalam tawa bersemangat, orang tertawa sambil


mengangkat tangan keatas dan tertawa penuh semangat. Peserta tidak terus -
menerus mengangkat tangan ke atas selama tawa bersemangat, angkat tangan
keatas selama beberapa saat lalu turunkan dan angkat lagi. Diakhir tawa semangat,
koordinator mulai tepuk tangan dan mendaraskan Ho-Ha Ha-Ha-Ha sebanyak 5-6
kali.

(2) Tawa Singa : Tawa ini diambil dari dari postur yoga yang disebut simba
mudra (postur singga). Dalam postur singa, lidah dijulurkan keluar sepenuhnya
dan mulut dibuka lebar-lebar. Dengan mata terbuka lebar, peserta mengacungkan
tangan seperti cakar singa dan mengaum seperti singga, lalu tertawa dari perut.
Tawa singa merupakan latihan yang sangat baik untuk otot – otot wajah, lidah dan
kerongkongan. Latihan ini menyingkirkan rasa takut atau malu bagus untuk
memperkuat kerongkongan. Tawa singa memperbaiki pasokan darah ke kelenjar
tiroid.

(3) Tawa Bersenandung : Dalam jenis tawa ini, bibir dikatupkan dan peserta
berusaha tertawa saat mengeluarkan suara senandung hmmmmmm…. Yang
bergema diseluruh kepala. Peserta dapat terus saling pandang, sambil membuat
beberapa gerakan yang saling merangsang tawa. Mereka bisa saling berjabat
tangan atau melakukan gerakan apa pun yang bersifat main-main. Beberapa orang
juga menyebutkanya tawa burung dara.

(4) Tawa Bertahap : Tawa ini dilakukan pada akhir sesi. Semua peserta di minta
untuk mendekat ke koordinator. Tawa bertahap di mulai dengan tersenyum dan
melihat sekeliling, saling pandang. Secara perlahan dn bertahap intensitas tawa
semakin ditingkatkan dan kemudian para peserta secara bertahap mulai tertawa
penuh semangat. Tawa ini sangat menyenangkan dan mudah menular.

Teknik Tawa Bermain-Main, misalya :

(1) Tawa Satu Meter : Tawa ini bersifat main-main dan meniru cara kita
mengukur panjang satu meter. Tawa ini dilakukan dengan menggerakkan satu
tangan sepanjang bentangan lengan kita yang lain (seperti gerakan merentangkan
busur untuk melepaskan anak panah).

(2) Tawa Milk Shake : Tawa milk shake adalah variasi tawa baru, dimana para
peserta diminta berpura-pura memegang gelas yang berisi susu atau kopi dan
sesuai aba-aba koordinator, susu dituang dari gelas yang satu ke gelas yang lain
sambil mendaraskan.

(3) Tawa Bantahan : Tawa ini merupakan jenis tawa yang bersifat bersaing antar
dua kelompok yang dipisahkan oleh sebuah jarak. Kedua kelompok saling
pandang dan mulai tertawa dengan menudingkan jari telunjuk mereka kepada para
anggota kelompok lain.

(4) Tawa Ponsel : Jenis tawa ini juga dikenal dengan tawa HP, tawa ini sangat
menyenangkan dan bersifat main-main. Para peseerta berura-pura memegang HP
dan mencoba tertawa, sambil membuat berbagai gerakan dan berkeliling untuk
bertemu dengan orang-orang yang berbeda dan tertawa seolah-olah mereka
sungguh-sungguh menikmatinya.
(5) Tawa Ayunan : Jenis tawa ini menarik karena mengandung banyak siakp
main-main. Semua peserta bergerak kebelakang sejauh dua meter untuk
memperluas lingkaran

Teknik Tawa Berdasarkan Nilai, misalnya :

(1) Tawa Sapaan : Tawa sapaan ini dilakukan ddengan cara para peserta saling
mendekat dan menyapa satu sama lain dengan gerakan tertentu, sambil tertawa
dengan nada menengah dan tetap menjaga kontak mata ketika bergerak keliling
dan berrtemu dengan orang yang berbeda. Orang bisa berjabat tangan dan
memandang mata orang yang disapa sambil tertawa pelan.

(2) Tawa Penghargaan : Ini adalah tawa berdasarkan nilai dimana koordinator
mengingatkan para peserta mengenai betapa pentingnya menghargai orang lain.
Dalam tawa jenis ini. Ujung jari telunjuk dihubungkan dengan ujung ibu jari
sehingga di gerakkan ke depan dan ke belakang dengan cepat sambil memandang
peserta lain dan tertawa denngan sangat lembut, seolah-olah anda memberikan
penghargaan kepada sesama anggota kelompok.tawa ini diikuti dengan
pendarasan Ho Ho Ha Ha Ha dan tepuk tangan.

(3) Tawa Memaafkan/ Meminta Maaf : Tawa ini adalah tawa berdasarkan nilai
dimana tawa ini memiliki pesan yaitu jika anda bertengkar dengan seseorang,
anda harus minta maaf. Dalam tawa memaafkan peserta memegang kedua cuping
telinga, dengan menyilangkan lengan dan kemudian berlutut lalu tertawa.

MODEL BARU SESI TERAPI TERTAWA

Ada 15 langkah model baru sesi terapi tertawa : Lama : 20-30 menit (maksimum)
setiap putaran tawa berlangsung selama 30-40 detik, diikuti dengan tepuk tangan
dan latihan ho ho ha ha ha.
f. terapi musik

Penelitian ini menggunakan lagu keroncong dengan suara yang dibuat tidak
terlalu keras sehingga tidak mengganngu kenyamanan responden. Sesuai
mekanisme yang dijelaskan oleh Atwater diatas, gelombang alfa tercipta pada
korteks cerebri melalui hubungan kortikal dengan thalamus. Gelombang ini
merupakan hasil dari osilasi umpan balik spontan dalam sistem talamokortikal
(Guyton & Hall, 2006). Perubahan gelombang otak menjadi gelombang otak alfa
akan menyebabkan peningkatan serotonin. Serotonin adalah suatu
neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap peristiwa lapar dan perubahan
mood. Serotonin dalam tubuh kemudian diubah menjadi hormon melatonin yang
memiliki efek regulasi terhadap relaksasi tubuh yang pada akhirnya depresi yang
dirasakan oleh responden dapat menurun sebagai akibat dari perubahan mood.

7. Dukungan Keluarga dalam Kaitannya dengan Depresi Pada Lansia

Keluarga memainkan suatu peranan yang signifikan dalam kehidupan pada


hampir semua orang lanjut usia (lansia). Ketika keluarga tidak menjadi bagian
kehidupan seseorang yang telah lansia, umumnya menyebabkan orang tersebut
tidak mempunyai tempat tinggal, atau ada masalah-masalah yang telah
berlangsung lama dan keterasingan. Sebaliknya, kepercayaan yang umum, ketika
orang lansia akan membutuhkan bantuan keluarga menyediakan sekurang-
kurangnya 80% dukungan / bantuan. Dibandingkan dengan "kenyamanan di hari
tua", keluarga saat ini menyediakan kepedulian yang lebih luas selama periode
waktu yang lama (Schmall, Pratt, 1993).

Walaupun anak yang telah dewasa adalah suatu sumber utama yang memberi
bantuan terhadap orangtua yang lansia, beberapa trend demografi dan sosial
mempunyai akibat / impak yang signifikan pada kemampuan anggota keluarga
dalam menyediakan dukungan. Hal ini tidak berarti bahwa keluarga bertanggung
jawab atas timbulnya depresi pada seseorang namun sudah jelas bahwa banyak
masalah depresi berkisar di seputar kesulitan dalam cara anggota keluarga saling
berkomunikasi dan saling berhubungan.

2.2. Dukungan Sosial

2.2.1. Pengertian

Batasan dukungan sosial adalah sebagai jumlah kontak dengan orang lain,
yang dapat dipertahankan seseorang dalam jaringan sosial, atau luas pergaulan
yang dimiliki dan dipertahankan seseorang dalam jaringan sosial. Definisi lainnya
lebih menekankan aspek psikologik, yaitu perasaan menjadi bagian atau
terhitungnya individu dalam jaringan sosial atau rasa puas individu atas hubungan
yang dipertahankan dengan orang lain dalam jaringan sosial (Kaplan, 2010).

Menurut Ismanto, (1999), dukungan sosial adalah persepsi seseorang bahwa


dirinya disenangi, dihargai, dan menjadi bagian dari masyarakat.

2.2.1 Jenis- jenis Dukungan sosial

Menurut House sebagaimana dikutip oleh Smet (1994) ada empat jenis
dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dukungan informasional.

a. Dukungan Emosional

Dukungan ini meliputi ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap


seseorang misalnya umpan balik dan penegasan (Smet, 1994).

Pada saat stress, orang akan menderita secara emosional dan dapat
mengalami depresi, kesedihan, ataupun kecemasan. Pada saat seperti ini, teman
atau keluarga dapat memberikan dukungan emosional dengan meyakinkan orang
tersebut bahwa dia adalah orang yang berharga yang sangat diperhatikan oleh
lingkungannya. Kehangatan dan kepedulian yang diberikan oleh orang lain, akan
memungkinkan orang yang mengalami stres, menghadapinya lebih tenang
(Taylor, 1995).

b. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan yang umumnya diberikan melalui ungkapan
penghormatan (penghargaan) akan hal – hal yang positif yang dimiliki seseorang,
dukungan untuk maju atau persetujuan atas gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain, orang – orang yang kurang
mampu atau yang lebih buruk keadaanya (menambah penghargaan diri) (Smet,
1994).

Adanya penghargaan diri dihubungkan dengan keberhasilan seseoorang saat


menghadapi keadaan tertentu, misalnya saat dimana harus mengambil keputusan,
reaksi ketika menerima bantuan dan coping pada saat terjadi peristiwa buruk
dalam hidupnya. Kemungkinan yang penting dari mekanisme ini adalah perasaan
diterima dan dihargai oleh orang lain (Wills, 1985).

c. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental meliputi penyediaan dukungan material seperti


pelayanan, bantuan finansial atau barang (Taylor, 1995). Hubungan antara
dukungan instrumentral dan kesehatan dapat diterangkan dengan jelas melalui
satu pengertian yaitu seseorang mempunyai kebutuhan instrumental tertentu dan
orang lain dapat menolongnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Wills, 1985).

d. Dukungan Informatif

Dukungan informatif ini mencakup pemberian nasihat-nasihat, petunjuk,


saran, atau umpan balik (Smet, 1994). Keluarga atau teman dapat memberikan
dukungan informatif dengan memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan
untuk menghadapi masalah.

2.3. Dukungan sosial dan depresi pada lansia

Depresi pada lanjut usia dapat terjadi simptom yang kompleks yang
disebabkan oleh gangguan fisik maupun kognitif dan stresor dari luar Dukungan
sosial sangat dibutuhkan para lanjut usia dalam menyesuaikan diri menghadapi
stresor psikososial terutama stresor yang berhubungan dengan kehilangan. Dari
populasi lanjut usia, sekitar 60-80%, diperkirakan dalam kondisi tidak berdaya
dan membutuhkan pertolongan keluarga,untuk keperluan sehari – hari yang
bermakna. Hampir semua populasi lanjut usia lebih membutuhkan dukungan
emosional daripada finansial (Osterweill dkk, 2000).

Dukungan sosial yang kurang sering dihubungkan dengan sindroma depresi.


Pattern menyebutkan bahwa subjek yang dilaporkan tidak mempunyai seseorang
untuk menceritakan masalah atau perasaan pribadinya, tidak mempunyai
seseorang untuk meminta pertolongan dalamm kondisi kritis, tidak ada seseorang
untuk diminta nasihat dalam mengambil keputusan penting, dan tidak ada
seseorang dalam hidup mereka yang membuat mereka merasa dicintai dan
diperhatikan ternyata lebih mudah menderita depresi (Pattern, 2002).

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN DEPRESI

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA NY. S

DENGAN DEPRESI DI SUB UNIT PERLINDUNGAN SOSIAL

TRESNA WERDHA SUKMA RAHARJA

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Klien
1. Nama : Ny. S
2. Umur : 75 tahun
3. Alamat : Palembang
4. Pendidikan : SPR
5. Jenis Kelamin : Perempuan
6. Suku : Jawa
7. Agama : Islam
8. Status Perkawinan : Menikah (Janda)
9. Tanggal Pengkajian : 01 April 2015

2. Status Kesehatan Saat ini

a. Nutrisi : Klien makan 3x sehari dengan menu seadanya,


nafsu makan
baik, porsi makan habis
b. Cairan dan elektrolit : Klien minum ± 3 – 4 gelas perhari (± 1000 cc)
c. Eliminasi : Klien BAB 1-2 x sehari dengan konsistensi feces
padat lunak,
warna feces kuning kecoklatan.
Klien BAK 3-4 x sehari, warna urine kuning jernih
(±1000cc)
d. Aktivitas : Klien mengalami kesulitan dalam bersosialisasi
dengan orang
lain karena klien tidak merasa nyaman dengan
kehadiran orang lain, sering marah sendiri ,
tidak memperdulikan orang lain, merasa sedih dan
menangis sendiri, Merasa terganggu dengan
kegiatan sekitar.

3. Riwayat Kesehatan Dahulu

a. Nutrisi : Klien makan 3x sehari dengan menu seadanya,


nafsu makan
baik, porsi makan habis
b. Cairan dan elektrolit : Klien minum ± 3 – 4 gelas perhari (± 1000 cc)
c. Eliminasi : Klien BAB 1-2 x sehari dengan konsistensi feces
padat lunak,
warna feces kuning kecoklatan.
Klien BAK 3-4 x sehari, warna urine kuning jernih
(±1000cc)
d. Aktivitas : Klien mampu bersosialisasi dengan baik di
lingkungan sekitar
dan memiliki teman untuk berbagi cerita.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan suaminya tidak memilki riwayat penyakit apapun.

5. Pemeriksaan Tanda-tanda Vital

1. Tekanan darah : 130/80 mmHg


2. Nadi : 70 kali/menit
3. Suhu : 36.0 oC
4. Respirasi : 16 kali/menit
5. Berat badan : 52kg

6. Pemeriksaan Fisik

. TINJAUAN SISTEM
Jelaskan tentang kondisi sistem-sistem dibawah ini yang terdapat pada klien
 Keadaan umum : Keadaan klien secara umum baik , namun terlihat
menyimpan
kesedihan.
 integumen
1. Turgor : elastis (-) / penurunan elastisitas kulit
2. Warna Kulit : Sawo matang
3. Penyakit kulit : Tidak ditemukan adanya penyakit kulit
4. Kebersihan : Ditemukan adanya Hiperpigmentasi pada
Kulit
terutama pada wajah dan Ekstremitas
 Kepala
1. Bentuk : Simetris
2. Warna Rambut : Hitam, Keputih – putihan
3. Kebersihan : Cukup bersih tidak terdapat ketombe
4. Ekspresi Wajah : Terlihat klien menyimpan kesedihan

 Mata

1. Bentuk : Simetris , terdapat lingkaran hitam di


bawah mata
2. Penglihatan : Terdapat gangguan melihat jarak jauh
3. Pupil : Isokor
4. Sklera : Ikterik (-)
5. Konjugtiva : Anemis (+)

 Telinga

1. Bentuk : Simetris
2. Pendengaran : Pendengaran cukup baik
3. Kebersihan : Cukup bersih, tidak terdapat serumen
berlebihan

 Hidung
1. Bentuk : Simetris
2. Penciuman :Tidak terdapat gangguan penciuman, dapat
membedakan bau

 Mulut dan tenggorokan

1. Gigi : Jumlah gigi tidak lengakap


2. Bibir : Mukosa mulut lembab
3. Kebersihan : Cukup bersih

 Leher

1. Bentuk : Simetris
2. Gerakan : Gerakan klien terbts dikarnakan penurunan
tonus otot
3. Kebersihan : Cukup bersih, tidak ditemukan adanya
distensi vena
jugularis.

 Sistem pernafasan

1. Bentuk dada : Simetris


2. Frekuensi pernapasan : 26x/menit
3. Suara napas : Vesikuler, tidak terdenagr ronchi
dan weezing
4. Perkusi : Terdengar resonance
5. Auskultasi : Terdengar vesikular
 Sistem kardiovaskuler

1. Frekuensi Nadi : 70x/menit


2. Irama Jantung : Tidak terdapat abnormalisasi bunyi
jantung
3. Oedema perifer : Tidak ditemukan adanya Oedema Perifer

 Abdomen
1. Bentuk : Simetris
2. Keadaan : Lemas – datar
3. Nyeri : Nyeri (-) pada abdomen
4. Bising Usus : Bising usus normal, 12x/mnt
5. Hati : Tidak terasa adanya pembesaran hati

 Sistem perkemihan :

BAK 3-4 x sehari, warna urine kuning jernih (±1000cc)

 Sistem muskuloskeletal :

Kedua kaki Ibu S tampak sejajar dan sama besar dan panjang. Tidak
tampak adanya kifosis dan scoliosis. Kemampuan mengubah posisi baik,
kekuatan otot tangan pada saat meremas agak lemah

 Sistem saraf

1. Aktivitas motorik : Aktivitas motorik klien lambat


2. Nervus I (Olfactorius) : Ibu M dapat membedakan bau dari minyak
kayu putih
dan minyak wangi/parfum.
3. Nervus II (Opticus) : Ibu M sudah tidak dapat melihat jauh
tulisan, orang
dan benda-benda yang kecil, tapi Ibu M
tidak
menggunakan bantuan kacamata.
4. Nervus III, IV, V (Oculomotoris, Trochlearis, Abdusen)
5. Nervus V (Trigeminus) : Sensasi sensorik kulit wajah klien baik,
dapat
merasakan goresan kapas pada pipi kanan.
6. Nervus VII (Facialis) : Ibu M dapat, menggerakan alis dan
mengerutkan dahi
7. Nervus VIII (Vestibulococlear) : Fungsi keseimbangan baik
8. Nervus IX, X (Glasopharingeus, Vagus) : Reflek menelan baik
9. Nervus XI (Accesorius) : Ibu M dapat menggerakkan
kedua bahunya
dan menggerakkan kepalanya
10. Nervus XII : Ibu S dapat berbicara dengan jelas dan
lidah berfungsi
baik
11. Tonus otot : Tonus otot klien menurun seiring dengan
pertambahan
usia

 Sistem endokrin : Tidak mempunyai penyakit gula dan gondok


 Extremitas

1. Atas : Aktivitas atau pergerakan klien mengalami


penurunan dikarenakan adanya penurunan tonus
otot

2.Bawah : Aktivitas atau pergerakan klien Mengalami


penurunan dikarenakan Penurunan tonus otot

7. Pengkajian Psikososial & Spiritual

1. Psikososial

Klien hanya berdiam dan sering menyendiri dan tidak mau berkumpul dengan
orang lain disekitarnya dan klien jarang berkomunikasi dengan klien lainnya
walaupun duduk bersampingan. Klien mengatakan tidak dapat bersosialisasi
dengan baik, ia merasa kurang semangat, klien mengatakan ia sudah putus asa
menjalani hidup ia merasa sulit mengungkapkan apa yang dirasakan, malas
bicara, dan lebih suka menyendiri setelah ditinggal suami.

2. Identifikasi masalah emosional


 apakah klien mengalami susah tidur? Ya
 apakah klien merasa gelisah? Ya
 apakah klien sering murung atau menangis sendiri? Ya
 apakah klien sering was-was atau khawatir? Tidak

Penjelasan pertanyaan diatas :


 Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari 11 kali dalam 1 bulan? Ya
 Ada masalah atau banyak pikiran? Ya
 Ada gangguan atau masalah dengan keluarga lain? Tidak
 Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter? Tidak
 Cenderung mengurung diri? Ya

2. Spiritual

Ny. S beragama Islam, dan mengatakan kurang menjalankan ibadah sholat lima
waktu,ia hanya menjalankan sholat 3 waktu. Selain itu jarang mengikuti pengajian
minggguan yang diadakan di panti.

8. Pengkajian Fungsional Klien

1. Katz index

No. Kegiatan Mandiri Bantuan Bantuan


Sebagian Penuh
1. Mandi 
2. Berpakaian 
3. Ke Kamar Kecil 
4. Berpindah Tempat 
5. BAK/BAB 
6. Makan/Minum 

Ny. S dapat beraktivitas secara mandiri tanpa pengawasan, pengarahan, atau


bantuan aktif dari orang lain.

2. Barthel index

No. Kegiatan Dengan Mandiri


Bantuan
1. Makan 0 10
2. Minum 0 10
3. Berpindah dari kursi roda ke tempat
0 15
tidur/sebaliknya
4. Personal toilet (cuci muka, gosok gigi,
0 5
menyisir rambut)
5. Keluar masuk toilet (menyeka tubuh,
0 10
menyiram, mencuci baju)
6. Mandi 0 15
7. Jalan-jalan di permukaan datar 0 5
8. Naik turun tangga 0 10
9. Memakai baju 0 10
10. Kontrol BAK 0 10
11. Kontrol BAB 0 10
12. Olahraga / latihan 0 10
13. Rekreasi / pemanfaatan waktu luang 0 10
Jumlah 0 130

Kesimpulan:

Jumlah skor 130 = mandiri

9. Pengkajian Status Mental

Short Portable Mental Status Questioner (SPSMQ)

Benar Salah No. Pertanyaan


 1. Tanggal berapa hari ini?
 2. Hari apa sekarang?
 3. Apa nama tempat ini?
 4. Dimana alamat anda?
5. Berapa umur anda?
 6. Kapan anda lahir?
 7. Siapa presiden Indonesia sekarang?
 8. Siapa presiden Indonesia sebelumnya?
 9. Siapa nama ibu anda?
 10. Kurangi 3 dari 20 & tetap pengurangan 3 dari setiap
angka baru, semua secara berurutan
10 Jumlah

Total Skor:

Salah : 6 Benar: 4

Hasil:

Salah 0-3 : fungsi intelektual utuh

Salah 4-5 : kerusakan intelektual ringan

Salah 6-8 : kerusakan intelektual sedang

10. Pengkajian Aspek Kognitif Dari Fungsi Mental

No. Aspek Kognitif Nilai Mhs Nilai Klien Kriteria


1. Orientasi 5 1 Menyebutkan dengan benar

 Tahun
 Musim
 Tanggal
 Hari
 Bulan

2. Orientasi 5 5 Menyebutkan dengan benar


 Negara Indonesia
 Propinsi Sumsel
 Kota Palembang
 Panti
 wisma

3. Registrasi 3 3 Pemeriksa mengatakan nama 3


objek selama 1 detik kemudian
klien mengulang nama objek
tersebut

 Objek gelas
 Objek piring
 Objek sendok

4. Perhatian &5 1 Minta klien untuk memulai dari


Kalkulasi angka 100 kemudian dikurangi
7 sampai 5 tahap

 100
 93
 86
 79
 72

5. Mengingat 5 0 Minta klien untuk menyebutkan


atau mengulang ketiga objek
pada no.3

 Objek gelas
 Objek piring
 Objek sendok
6. Bahasa 9 5 Tunjukkan pada klien suatu
benda (2 objek) tanyakan
namanya!

 Objek tas
 Objek selimut

Minta klien untuk mengulang


kata berikut:

 Tak ada jika


 Dan atau
 Tetapi

(bila benar nilai 1)

Minta klien untuk mengikuti


perintah berikut:

 Ambil kertas di tangan


anda
 Lipat dua
 Taruh di lantai

Perintahkan pada klien untuk


hal berikut (bila aktifitas sesuai
perintah nilai 1)

 Tutup mata anda

Perintahkan pada klien menilai


satu kalimat dan menyalin
gambar:

 Tulis satu kalimat


 Menyalin gambar

Total Nilai 15

Interpretasi hasil :

24-30 : tidak ada gangguan kognitif

13-23 : gangguan kognitif sedang

0-17 gangguan kognitif berat


11. Pengkajian Keseimbangan Untuk Klien Lanjut Usia

No. Pengkajian Keseimbangan Skor

 Perubahan posisi atau gerakan keseimbangan

1. Keseimbangan saat bangun ke kursi 1

2. Keseimbangan saat duduk ke kursi 1

3. Menahan dorngan pada sternum (pemeriksaan 1


mendorong sternum perlahan-lahan sebanyak 3
kali)
4. Mata tertutup 0
5. Perputaran leher 0
6. Membungkuk 1
 Komponen Gaya Berjalan atau Gerakan
1. Klien berjalan ketempat yang ditentukan 1
2. Ketinggian langkah kaki 0
3. Kontinuitas langkah kaki kesimetrisan langkah 1
4. Kesimetrisan langkah 1
5. Penyimpangan jalur pada saat terbalik 1

Jumlah skor 8

Interpestasi hasil :

0-5 : resiko jatuh rendah

6-10 : resiko jatuh sedang

11-15 : resiko jatuh tinggi


ANALISA DATA

No. Data Kemungkinan Penyebab Masalah


1. DS: Gangguan alam
 Klien mengatakan perasaan : koping
Proses menua
putus asa tidak individu
berdaya, tidak maladaptive
berharga, ia merasa
kurang semangat. Perasaan kehilangan
 klien mengatakan ia (cucu meninggal dunia)
sudah putus asa
menjalani hidup, ia
Sedih kronis
merasa sulit
mengungkapkan apa
yang dirasakan, malas
bicara, dan lebih suka
menyendiri setelah
ditinggal suami.

DO:

 Klien tampak sedih


 Klien tampak
menangis
 klien sering melamun
 Klien sering
menyendiri
 Kontak mata dengan
pengkaji berkurang
 sering
mengungkapkan kata
menyalahkan diri
sendiri.

2. DS: proses menua Gangguan pola tidur


Klien mengatakan :

 tidur kira-kira 5 jam


mengalami stressor
sehari yaitu dari
(kehilangan cucu)
20.00-01.00
 susah tidur pada
malam hari
 tidurnya tidak pulas Koping maladaptive
dan sering terbangun
pukul 01.00 dini hari
 saat terbangun, Ny. S Gangguan Alam perasaan
teringat saat kematian
cucunya sehingga
Ny.S tidak dapat tidur
Gangguan pola
kembali sampai pagi
tidur/istirahat
 tidak pernah dan sulit
untuk tidur siang
 sering merasa malas
karena kurang tidur

DO :

 terdapat lingkaran
hitam di bawah mata
Ny. S
 wajah tampak lesu
dan kelelahan
 saat menjawab
pertanyaan pengkaji,
klien tampak tidak
konsentrasi
 sering tidak ada
kontak mata dengan
pengkaji

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan alam perasaan b.d koping individu maladaptive Ny.S Di Panti Sosial
Tresna Werdha Sukma Raharja.

2. Gangguan pola tidur b.d depresi Ny. S Di Panti Sosial Tresna Werdha Sukma
Raharja.

D. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN

Rencana Keperawatan
Nama : Ny.S
Umur :75 Tahun
Tgl N Diagnosa Perencanaan Rasionalisasi
o. Keperawatan Tujuan Kriteria Intervensi
d hasil
x
1. Gangguan 1. Bantu untuk 1. Membangu
20 1 Setelah di kriteria
alam memahami n motivasi
Mei perasaan b.d lakukan hasil : bahwa klien pada lansia.
koping - Klien dapat
2013 tindaka
individu menunjuk mengatasi
maladaptive keperawatan keputusasaan
Ny.S Di kan tanda
1x24 jam nya.
Panti Sosial – tanda 2. Kaji dan 2. Individu
Tresna lansia tidak
percaya kerahkan lebih
Werdha terjadi sumber- percaya diri
Sukma kepada
gangguan sumber
Raharja. perawat. internal
alam - Klien individu.
perasaan: 3. Kaji dan 3. Lansia
mampu
manfaatkan tidak
depresi mengguna merasa
sumber-
kan sumber sendiri
koping ekstemal
individu
adaptif
4. Kaji sistem
yang baik. pendukung 4. Meningkat
keyakinan kan nilai
spiritual
5. Diskusikan lansia
tentang obat 5. Klien dapat
menggunak
an obat
dengan
benar dan
tepat Untuk
memberi
pemahama
n kepada
lansia
tentang
obat

Gangguan pola - Klien 1. Bersama 1. Untuk


20 2 Setelah klien
tidur b.d mengident mengetahui
Mei diberikan mengidentifika apa saja
depresi Ny. S ifikasi si gangguan
Di Panti Sosial teknik – pola tidur penyebab
2013 asuhan
Tresna Werdha teknik gangguan
keperawatan 2. Diskusikan pola tidur
Sukma Raharja untuk cara-cara
2 x 24 jam pada pasien
memperm utuk 2. Mempermu
diharapkan memenuhi dah pasien
udah
kebutuhan untuk
pasien bisa tidur. tidur memperole
tidur nyenyak - Klien 3. Anjurkan h
pasien untuk kebutuhan
menjelask
memilih cara tidur yang
an factor yang sesuai baik
– factor dengan 3. Cara-cara
penghamb kebutuhanny yang sesuai
a dapat
at atau 4. Berikan mempermu
pencegah lingkungan dah pasien
tidur. yang nyaman 4. Agar pasien
untuk dapat
- Klien
meningkatka kualitas
melaporka n tidur. tidur yang
n baik
keseimba
ngan yang
optimal
antara
aktivitas
dan
istirahat
- Klien
mengungk
apkan rasa
segar

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


Implementasi dan Evaluasi
No Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
Keperawatan
1 Tanggal : 20 Mei 2013 Tanggal : 20 Mei Ns.Yunita
2013 Indriani
Jam : 09.00 WIB
Jam :14.00
1) Bantu untuk
memahami bahwa WIB
klien dapat mengatasi
keputusasaannya. S : klien mampu
2) Kaji dan kerahkan
sumber-sumber mengungkapkan
internal individu. perasaan
(Bantu
O : Klien sudah
mengidentifikasi
sumber-sumber menunjukkan
harapan (misal: tanda
hubungan antar
– tanda
sesama, keyakinan,
hal-hal untuk percaya kepada
diselesaikan). perawat
3) Kaji dan manfaatkan
A : Masalah
sumber-sumber
ekstemal individu teratasi sebagian
(orang-orang terdekat,
P:
tim pelayanan
kesehatan, kelompok  Periksa TTV
pendukung, agama klien
yang dianut)  Kaji dan
4) Kaji sistem pendukung kerahkan
keyakinan (nilai, sumber-sumber
pengalaman masa lalu,
internal individu.
aktivitas keagamaan,
kepercayaan agama)  Kaji dan
5) Diskusikan tentang manfaatkan
obat (Bantu sumber-sumber
menggunakan obat ekstemal
dengan prinsip 5 benar individu
(benar pasien, obat,  Kaji sistem
dosis, cara, waktu), pendukung
Anjurkan keyakinan
membicarakan efek
dan efek samping
yang dirasakan)
2 Tanggal : 03 Agustus Tanggal : 03 Ns.
2015 Agustus 2015 Yunita
Jam :14.45 Indriani
Jam : 09.45 WIB WIB

1) Mengidentifikasi S : Klien
penyebab gangguan
mengatakan masih
pola tidur pada klien
2) Diskusikan cara-cara belum bisa tidur
utuk memenuhi lelap
kebutuhan
O : Lingkaran
tidur dengan klien
3) Anjurkan pasien untuk hitam dibawah
memilih cara yang mata klien sudah
sesuai dengan sedikit hilang
kebutuhannya
4) Berikan lingkungan A: Masalah
yang nyaman bagi teratasi sebagian
klien untuk
P:
meningkatkan tidur.
 Diskusikan cara-
cara utuk
memenuhi
kebutuhan
tidur dengan
klien
 Anjurkan pasien
untuk memilih
cara yang sesuai
dengan
kebutuhannya
 Berikan
lingkungan yang
nyaman bagi
klien untuk
meningkatkan
tidur.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Menurut penelitian yang dilakukan Christianto Mikhaline, Rita Hafizah,


dan Ariyani Pradana Dewi, : 2015 tentang Pengaruh Terapi Tertawa
Terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lanjut Usia

Penurunan skor depresi pada lansia dalam penelitian ini bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat konsentrasi dan fokus responden
selama mengikuti terapi di setiap tahap terapi tertawa (Iting, Pasaribu &
Kasra, 2012). Menurut (Moh Sholeh dalam Iting dkk, 2012) menyatakan bahwa
seorang yang mempunyai pandangan negatif tentang dirinya, dunia, dan masa
depan, tidak akan mudah keluar dari situasi penuh tekanan yang membuatnya
depresi. Hasil dari penelitian ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan
Iting, Pasaribu & Kasra (2012), yang menyatakan hasil dari terapi tertawa efektif
menurunkan gejala depresi pada lansia hal ini diketahui berdasarkan analisa
kuantitatif yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada
skor gejala depresi pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa,
maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara skor depresi
sebelum dan skor depresi sesudah dilakukan terapi Tertawa yang berarti bahwa
ada pengaruh terapi Tertawa terhadap skor depresi pada lansia di panti Graha
Werdha Marie Joseph Kota Pontianak, dengan kata lain bahwa terapi Terawa
adalah pilihan pengobatan yang berguna dan hemat biaya untuk menurunkan
gejala serta skor depresi pada lansia. Tertawa dalam 5-10 menit dapat
merangsang pengeluaran endorphine dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami
tubuh dan juga mentaninin. Ketiga zat ini merupakan zat baik untuk otak sehingga
kita bisa merasa lebih senang. Adapun manfaat paling penting di dalam tertawa
adalah bahwa tertawa bisa mengendalikan kesehatan mental seseorang (Astuti,
2011). Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Dr. Lee Berk,
seorang imunolog dari Loma Linda University di California USA pada tahun
2008 bahwa tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu
efinefrin dan kortisol, yang bisa mengalangi proses penyembuhan penyakit baik
fisik maupun mental, menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal
Geriatrics dan Gerontology International, para peneliti menemukan terapi tawa
bisa mengatasi depresi pada individu (Kataria dalam Iting dkk, 2012). Terapi
tertawa (laughter therapy) mampu menghambat sekresi Adenocorticotropic
Hormon (ACTH) dan kortisol (Simanungkalit dalam Yani., 2014). Terapi
tertawa (laughter therapy) mengakibatkan detak jantung menjadi lebih cepat,
tekanan darah meningkat dan kadar oksigen dalam darah akan bertambah akibat
nafas bertambah cepat, menurunkan sekresi ACTH dan kadar kortisol dalam
darah, sekresi ACTH yang menurun akan merangsang peningkatan produksi
serotonin dan endorfin otak yang mengakibatkan perasaan yang nyaman rileks,
dan senang (Kataria dalam Yani., 2014). Rasa bahagia yang ditimbulkan dari
terapi tertawa (laughter therapy) mampu menjadi persepsi dari pengalaman
sensasi yang menyenangkan. Sensasi ini disimpan di dalam sistem syaraf dan
mampu menimbulkan mekanisme koping yang positif. Mekanisme koping yang
positif mampu menjadikan impuls yang positif pula, sehingga menjadi koping
yang adaptif dan dapat menurunkan depresi pada lansia (Yani, 2014).

4.2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ira Alvionita : 2014 Pengaruh
Terapi Tertawa Terhadap Depresi Pada Lansia

Hasil analisis menunjukkan tidak adanya perbedaan skor depresi pada saat
pre-test pada kedua kelompok, sedangkan pada saat post-test terdapat perbedaan
nilai signifikansi yaitu 0,003 (p < 0,05) dengan nilai Z yaitu -3,004 (Z tabel > Z
hitung) yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak, artinya bahwa terapi tertawa
dapat mempengaruhi tingkat depresi pada lansia di Dusun Jomegatan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan dari terapi tertawa terhadap depresi pada lansia. Hal ini

didukung oleh penelitian Nurgraheni (2007) yang meneliti tentang “Pengaruh


Terapi Tertawa Tehadap Depresi Pada Usia Lanjut Di Wirosaban, RW XIV
Surosutan, Umbulharjo, Yogyakarta” dan penelitian Hae-Jin., et al. (2011)
dengan judul “Effects of Laughter Therapy on Depression, Cognition and Sleep
Among The Community-Dwelling Elderly” Depresi merupakan masalah
kesehatan jiwa yang sering terjadi pada lansia. Gejala yang sering muncul adalah
sering mengalami gangguan tidur atau sering terbangun sangat pagi yang bukan
merupakan kebiasaannya sehari-hari, sering merasa lelah, capek, lemas, mudah
terjadi marah, dan daya konsentrasi berkurang. Menurut Ibrahim faktor sosial
seperti kehilangan kerabat dekat, kehilangan pekerjaan, serta kehilangan
pendapatan dapat menjadi pemicu depresi pada lansia. Hal ini terjadi pda lansia
yang tinggal di dusun Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul yang merupakan
tidak memiliki pekerjaan, janda / duda dan kehilangan pendapatan. Keadaan
seperti itu meyebabkan lansia sulit tidur, hilangnya semangat, kegelisahan, dan
produktifitas menurun sehingga timbul gejala-gejala depresi Terapi relaksasi yang
dikemukakan oleh Gilliland, James dan Bowman pada tahun 1994 yang dapat
digunakan untuk mengurangi depresi. Relaksasi ini bermanfaat untuk merilekskan
seluruh otot-otot tubuh, menumbuhkan rasa nyaman dan membangun atau
memperbaiki

perasaan dan kondisi kejiwaan dari lansia. Menurut Setyoadi dan Kushariyadi
terapi tertawa merupakan salah satu terapi relaksasi yang berguna untuk
memperlancar peredaran darah, sehingga bisa menghilangkan stress. Tehnik
terapi tertawa inilah yang dipilih menjadi intervensi yang diberikan kepada
kelompok perlakuan pada penelitian ini.

Menurut Purwanto, terapi tertawa dapat memunculkan respon relaksasi sehingga


dapat memberikan pemijatan halus di kelenjar-kelenjar didalam tubuh,
menurunkan kortisol dalam darah serta mengembalikan hormon secukupnya.
Sistem neurotransmitter serotonin dan norepinefrin normalnya menimbulkan
dorongan bagi area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa nyaman seseorang,
menciptakan rasa bahagia, nafsu makan baik dan keseimbangan psikomotor. Hal
ini lah yang mendukung bahwa kekurangan serotonin dapat menimbulkan depresi.
4.3 Menurut penelitian yang dilakukan oleh sri eko porbowinoto dan
kartinah : 2011, Pengaruh Terapi Musik Terhadap Perubahan Tingkat
Depresi Pada Lansia

Pemberian musik keroncong dapat mempengaruhi gelombang otak menuju


gelombang otak yang diinginkan. Prinsip pemberian terapi musik keroncong
adalah dengan memberikan suara yang berbeda tempo irama lagu, dan dapat
mempengaruhi telinga dan otak kemudian akan menangkap selisih dari perbedaan
frekuensi tersebut kemudian mengikutinya sebagai gelombang otak. Mekanisme
ini disebut dengan FFR (Frequency Following Response) dan terjadi di dalam
otak, tepatnya di dua superior olivary nuclei. FFR didefinisikan sebagai
penyesuaian frekuensi gelombang otak oleh karena respon dari stimulus auditori
dan mendorong perubahan gelombang otak secara keseluruhan serta tingkat
kesadaran (Atwater, 2009). Penelitian ini menggunakan lagu keroncong dengan
suara yang dibuat tidak terlalu keras sehingga tidak mengganngu kenyamanan
responden. Sesuai mekanisme yang dijelaskan oleh Atwater diatas, gelombang
alfa tercipta pada korteks cerebri melalui hubungan kortikal dengan thalamus.
Gelombang ini merupakan hasil dari osilasi umpan balik spontan dalam sistem
talamokortikal (Guyton & Hall, 2006). Perubahan gelombang otak menjadi
gelombang otak alfa akan menyebabkan peningkatan serotonin. Serotonin adalah
suatu neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap peristiwa lapar dan
perubahan mood. Serotonin dalam tubuh kemudian diubah menjadi hormon
melatonin yang memiliki efek regulasi terhadap relaksasi tubuh yang pada
akhirnya depresi yang dirasakan oleh responden dapat menurun sebagai akibat
dari perubahan mood. Hormon melatonin diproduksi secara alami dalam tubuh
apabila matahari sudah mulai tenggelam (mendekati senja). Namun, hormon
melatonin ini produksinya secara alami dalam tubuh juga semakin menurun
seiring dengan bertambahnya usia (Guyton & Hall, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R.Y.2014.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jilid 2.Jakarta : TIM

Stanley, Mickey.2006.Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC

Azizah, L.M.2011.Keperawatan Lanjut Usia.Yogyakarta : Graha Ilmu

Nugroho, Wahjudi.2000.Keperawatan Gerontik Edisi Ke-2.Jakarta : EGC

Watson, Ronger.2003.Perawatan Lansia Edisi Ke-3.Jakarta : EGC

Mikhaline, C. (2015). Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap Penurunan Skor


Depresi Pada Lanjut Usia (Lansia) Di Panti Graha Werdha Marie Joseph Kota
Pontianak. ProNers, 3(1).

Lilik Ma’rifatul Azizah, M. (2014). Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap


Penurunan Tingkat Depresi Lanjut Usia. Jurnal Keperawatan Bina Sehat, 10(2).

PURBOWINOTO, S. E. (2011). Pengaruh Terapi Musik terhadap Perubahan


Tingkat Depresi pada Lansia di PSTM Unit Budi Luhur Kasongan Bantul
Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Anda mungkin juga menyukai