Anda di halaman 1dari 14

2.

1 PENGANTAR
Kita bisa mengelompokkan pengeluaran masyarakat menjadi pengeluaran untuk kepuasan
material dan kepuasan spiritual. Aspek spiritual dan material dari masyarakat adil d- makmur
dibahas melalui tinggi/ rendahnya pendapatan masyarakat (nasional). Baik aspek material dan
spiritual maupun aspek adil – makmur, keduanya akan dilukiskan oleh tingkat pendapatan
(pengeluaran) yang diperoleh masyarakat, sehingga pembahasan tereduksi menjadi hanya
masyarakat adil makmur.

2.2 TUJUAN MASYARAKAT MAKMUR


Pertumbuhan Ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat ada keluarga yang kaya dan keluarga yang miskin.
Dalam hal ini, keluarga yang kaya tersebut dikatakan sebagai keluarga yang makmur
sedangkan keluarga yang miskin dikatakan kurang makmur. Kalau demikian halnya, mungkin
dapat dibenarkan kalau kita mengatakan bahwa ukuran untuk kemakmuran adalah tingkat
pendapatan keluarga tersebut, atau dengan kata lain, tingkat pendapatan nasional per kapita.
Namun salah satu tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah agar pendapatan
nasional (total maupun per kapita) tumbuh untuk memperoleh tingkat kemakmuran
(pendapatan nasional) yang lebih tinggi. Kalau demikian halnya, ukuran mengenai
kemakmuran dapat dikatakan sebagai tingkat pertumbuhan ekonomi (tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional).

Elemen pertumbuhan Ekonomi


Ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, di
antaranya:
1. Akumulasi Modal
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan
kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari.
Pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku meningkatkan stok
modal fisik satu negara (yakni, nilai riil “neto” atas seluruh barang modal produktif
secara fisik) dan hal itu jelas memungkinkan terjadinya peningkatan output di masa-
masa mendatang. Investasi produktif yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi
dengan berbagai investasi penunjang yang disebut investasi “infrastruktur” ekonomi
dan sosial.

1
Di samping investasi yang bersifat langsung, banyak cara yang bersifat tidak langsung
untuk menginvestasikan dana dalam berbagai jenis sumber daya. Contohnya seperti
pembangunan sistem irigasi ataupun pemakaian pupuk buatan. Investasi dalam
pembinaan sumber daya manusia dapat meningkatkan kualitas modal manusia,
sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka
produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia.
Dengan pemberian pendidikan formal dan informal serta pelatihan bagi guru akan dapat
meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia. Logika konsep investasi dalam
pembinaan sumber daya manusia dan penciptaan modal manusia ini jelas dapat
dianalogikan dengan peningkatan kualitas dan produktivitas sember daya tanah melalui
investasi strategis.
Segala bentuk kegiatan tersebut merupakan bentuk investasi yang menjurus ke
akumulasi modal. Akumulasi modal dapat menambah sumber daya baru atau
meningkatkan kualitas sumber daya yang sudah ada. Satu hal penting yang harus
dipahami yaitu bahwasanya untuk mencapai maksud investasi tersebut selalu dituntut
adanya pertukaran antara konsumsi sekarang dan konsumsi mendatang. Artinya, pihak-
pihak pelaku investasi harus bersedia mengorbankan atau mengurangi konsumsi
mereka pada saat sekarang ini demi memperoleh konsumsi yang lebih baik di kemudian
hari.
2. Pertumbuhan Penduduk Dan Angkatan Kerja
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah
satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya
benar, karena kita masih mempertanyakan apakah begitu cepatnya pertumbuhan
penawaran angkatan kerja sehingga terjadi kelebihan tenaga kerja benar-benar
memberikan dapat positif atau negatif terhadap pembangunan ekonominya. Sebenarnya
hal itu sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian yang
bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan angkatan
kerja tersebut.
3. Kemajuan Teknologi
Bagi kebanyakan ekonom kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan
ekonomi yang paling penting. Dalam pengertian paling sederhana, kemajuan teknologi
terjadi karena ditemukannya cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam
menangani pekerjaan tradisional. Ada tiga jenis kemajuan teknologi, yaitu kemajuan

2
teknologi yang bersifat netral, kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja dan
kemajuan teknologi yang hemat modal.
Kemajuan teknologi yang bersifat netral (netral technological process) terjadi apabila
teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi
dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama.
Kemajuan teknologi dapat berlangsung sedemikian rupa sehingga menghemat
pemakaian modal atau tenaga kerja (artinya, penggunaan teknologi tersebut
memungkinkan kita memperoleh output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga
kerja atau modal yang sama). Sebagian besar kemajuan teknologi pada abad ke-20
adalah teknologi yang hemat tenaga kerja. Jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam
berbagai kegiatan produksi cenderung semakin sedikit. Sedangkan kemajuan teknologi
yang hemat modal merupakan fenomena yang relatif langka. Jenis kemajuan teknologi
ini sangat diperlukan oleh negara dunia ketiga yang berlimpah tenaga kerja tetapi
langka modal. Pengembangan teknik produksi di negara-negara berkembang yang
murah, efisien, dan padat karya (hemat modal) – atau teknologi tepat guna – merupakan
salah satu unsur terpenting dalam strategi pembangunan jangka panjang yang
berorientasi kepada perluasan penyediaan lapangan kerja.
Kemajuan teknologi dapat juga meningkatkan modal atau tenaga kerja. Kemajuan
teknologi yang meningkatkan tenaga kerja terjadi apabila penerapan teknologi tersebut
dapat meningkatkan mutu atau keterampilan tenaga kerja secara umum. Demikian pula
halnya dengan kemajuan teknologi yang meningkatkan modal terjadi jika penggunaan
teknologi memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang ada dengan lebih
produktif.

Pertumbuhan Ekonomi (Kurva Kemungkinan Produksi)


Interaksi antara akumulasi modal dan pertumbuhan penduduk dapat dipelajari melalui kurva
kemungkinan produksi guna memahami peningkatan potensi total output dari satu
perekonomian. Pada tingkat penguasaan teknologi tertentu dan julah sumber daya manusia dan
modal fisik yang tertentu pula, kurva kemungkinan produksi memperlihatkan jumlah output
maksimum yang bisa dicapai berupa kombinasi dua jenis komoditi.
Jika kita andaikan teknologi produksi sama sekali tidak mengalami perubahan,
kuantitas sumber daya manusia dan fisik akan meningkat dua kali lipat sebagai hasil dari
investasi pada peningkatan kualitas sumber daya atau investasi pada pengadaan sumber daya
yang baru, seperti menambah luas tanah, modal atau tenaga kerja. Pada kurva di bawah terlihat
3
peningkatan kualitas sumber daya sampai dua kali lipat akan menggeser kurva kemungkinan
produksi keluar secara sejajar, dari P-P ke P’-P’. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
perekonomian atau negara yang bersangkutan sekarang dapat memproduksi lebih banyak radio
dan beras.

Satu hal yang perlu dicatat yaitu penambahan sumber daya belum tentu akan
meningkatkan output. Hal itu bukan merupakan satu keniscayaan atau kepastian yang baku
sehingga menjadi satu hukum ekonomi, seperti telah dibuktikan oleh negara-negara
berkembang yang pertumbuhan ekonominya relatif rendah. Selain itu, pertumbuhan sumber
daya ternyata tidak selalu merupakan syarat mutlak bagi adanya pertumbuhan ekonomi jangka
pendek, mengingat pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara lebih baik ternyata juga
dapat meningkatkan output, seperti terlihat pada pergeseran titi X ke X’. Meskipun demikian,
dalam jangka panjang, peningkatan kualitas sumber daya yang ada serta investasi baru yang
memperbanyak kuantitas sumber daya jelas merupakan syarat mutlak untuk mempercepat
pertumbuhan output nasional.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Sejalan dengan pendapat kebanyakan ekonom bahwa kemajuan teknologi merupakan sumber
pertumbuhan yang paling penting, Presiden Soekarno pada sekitar tahun 1960 menyarankan
agar bangsa Indonesia loncat jauh (frog jump) dalam pemilihan teknologi. Artinya adalah
bahwa kita sebaiknya memakai teknologi yang paling mutakhir, tidak perlu lagi memakai
teknologi yang sudah usang di negara maju, maka jumlah produksi nasional akan meloncat
jauh dan mungkin akan mampu mendekati produksi nasional negara-negara maju. Sehubungan
dengan hal ini Indonesia tidak diperkenankan impor barang modal bekas dan hanya diizinkan
untuk impor mesin terbaru dan paling canggih untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

4
Akibat dari kebijakan teknologi pada bidang produksi dan pemasaran barang dan jasa di
Indonesia diperoleh tingkat pertumbuhan Pendapatan Nasional rata-rata per tahun seperti pada
tabel berikut.
Periode Persen/ tahun Tahun Persen/ Tahun Persen
(tahun) Tahun
1953 – 1959 3,2 1993 6,46 2000 4,8
1960 – 1965 2,0 1994 7,34 ..... ....
1965 – 1971 6,0 1995 8,2 2004 5,0
1971 – 1977 7,9 1996 7,8 2005 5,7
...... 1997 4,7 2006 5,5
1991 6,91 1998 -13,3 2007 6,3
1992 6,43 1999 0,3

2.3 TUJUAN MASYARAKAT ADIL


Distribusi Pendapatan
Apabila kita memiliki tetangga di mana salah satu tetangga menyekolahkan semua anaknya,
baik perempuan maupun laki-laki, sedangkan ada tetangga yang lain hanya menyekolahkan
anak laki-lakinya saja dan membiarkan anak perempuannya tidak bersekolah. Tentu kita dapat
mengatakan bahwa keluarga pertama lebih adil dibandingkan dengan keluarga kedua. Kalu
demikian halnya, maka kita dapat mengatakan bahwa keadilan diukur melalui bagaimana
kekayaan (pendapatan) didistribusikan di antara yang berhak. Makin merata pembagiannya
makin adil dan sebaliknya.

Mengukur Masyarakat Adil


Para ekonom berusaha mengukur tingkat keadilan pembagian pendapatan nasional satu negara
dengan menghitung Rasio Gini dan Rasio Kuznets.
Rasio Gini
Perangkat yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat keadilan/ketimpangan
pendapatan relatif di satu negara adalah Rasio GIni. Rasio ini juga dikenal dengan nama rasio
konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) atau sederhananya disebut koefisien Gini (Gini
coefficient) , mengambil nama dari ahli statistik Italia pada tahun 1912.
Rasio ini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan
sempurna) sampai satu (ketimpangan sempurna). Pada praktiknya, koefisien Gini untuk

5
negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50 – 0.70 sedangkan untuk
negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata, angkanya berkisar dari 0.20 –
0.35. Gini rasio antara 0.36 – 0.49 menunjukkan pembagian pendapatan dengan keadilan yang
sedang.
Rasio Kuznets
Rasio ini adalah jumlah pendapatan dari 40% individu (rumah tangga) termiskin dengan jumlah
pendapatan dari 20% individu (rumah tangga) terkaya. Rasio ini diberi nama sesuai dengan
nama penganjurnya, yaitu penerima Nobel Simon Kuznets. Cara menghitungnya adalah
pertama-tama kita harus mempunya pendapatan (per tahun) dari semua individu (rumah
tangga) di Indonesia. Lalu, atur pendapatan per rumah tangga tersebut dari yang paling rendah
sampai paling tinggi. Kemudian dihitung 40% dari seluruh jumlah rumah tangga di Indonesia
yang termiskin dan berapa jumlah pendapatan mereka. Selanjutnya kita mencari 20% dari
seluruh rumah tangga yang terkaya dan hitung jumlah pendapatan mereka.
Sebenarnya tidak ada kriteria yang pasti berapa rasio Kuznets untuk dapat dikatakan distribusi
pendapatan sangat timpang, atau sedang, dan relatif baik. Sebagai pegangan mungkin dapat
dikatakan bahwa nilai rasio Kuznets dari 0.20 – 0.33 menunjukkan pembagian yang sangat
timpang, 0.34 – 0.40 menunjukkan distribusi pendapatan yang sedang, dan di atas
menunjukkan distribusi yang relatif baik.

Pencapaian Masyarakat Adil di Indonesia


Pemerintah Indonesia telah berusaha memperbaiki keadilan pembagian pendapatan
nasionalnya dengan menjalankan berbagai kebijaksanaan ekonomi. Sesungguhnya setiap
kebijaksanaan ekonomi pemerintah bersifat memperparah ketimpangan atau bersifat
mengurangi ketimpangan. Dibawa ini disajikan beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat
memperbaiki dan memperburuk kesenjangan distribusi pendapatan nasional.
1. Undang-undang pokok agraria tahun 1960.
dalam undang-undang ini ditentukan batas maksimum pemilikan tanah sawah atau
tanah tegalan atau gabungan dari keduanya. Maksud dari pembatasan ini adalah supaya
tidak terjadi ketimpangan yang mencolok dalam hal pemilikan tanah.
2. Pajak penghasilan untuk perorangan dan untuk badan.
Paja ini selalu bersifat progresif, yakni maki besar pendapatan seseorang maka makin
tinggi persentase pajaknya. Dengan sifat pajak seperti ini, diharapkan distribusi
pendapatan antar perorangan menjadi lebih merata.

6
3. Berbagai kebijaksanaan kredit perbankan yang bersifat memihak pada rakyat kecil,
seperti misalnya KIK (Kredit Investasi Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen),
dan lain-lain.
4. Berbagai program pengeluaran pemerintah yang lebih memihak pada mereka yang
berpenghasilan rendah, seperti membangun dam, waduk dan saluran irigasi untuk para
petani dan sebagainya.
5. Berbagai kebijaksanaan jaring pengaman sosial yang bersifat khusus untuk memerangi
kemiskinan, misalnya beras untuk orang miskin (raskin), jaminan kesehatan untuk
orang miskin (jamkesmas), dan sebagainya.

Seluruh kebijakan ini ditujukan untuk pemerataan pendapatan dalam masyarakat terutama
bagi kaum miskin. Namun sayang sekali bawa kebijaksanaan pemerintah yang tujuannya
untuk orang miskin sebagian, dan malah sebagian besar dinikmati oleh golongan yang lebih
kaya yang tidak dimaksudkan dalam program tersebut.
Selain kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan nasional, pemerintah juga
melaksanakan kebijaksanaan yang mengutamakan orang kaya, atau membuat modal
menjadi lebih murah dari semestinya dan membuat tenaga kerja relatif mahal, sehingga
kaum pengusaha dan investor lebih memilih teknologi yang padat modal, memerlukan
lebih sedikit tenaga kerja yang muaranya memperburuk pendapatan nasional. Di antara
kebijaksanaan yang ternyata lebih memihak pada kaum kaya dan/atau menyebabkan harga
modal relatif lebih mura, antara lain.
1. Undang -Undang Penanaman Modal Asing, memberi fasilitas pada investor asing untuk
menanamkan modalnya dalam negeri
2. Undang - Undang Penanaman modal Dalam Negeri, yang menyediakan fasilitas kredit
kepada investor besar dalam negeri untuk lebih aktif dalam pembangunan ekonomi.
3. Kredit dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang memberikan fasilitas kredit
dengan bung yang relatif rendah atau malah tanpa bunga kepada bank nasional yang
mengalami kesulitan likuiditas.
4. Tingkat bunga kredit yang relatif lebih rendah untuk investasi jangka panjang
dibandingkan dengan tingkat bunga untuk kredit konsumtif.
5. Pembebasan bea masuk bagi investor yang memasukkan barang modal dari luar negeri.
6. Nilai rupiah yang dibuat terlalu mahal oleh pemerintah terhadap mata uang asing
sehingga pemerintah berkali-kali melaksanakan kebijakan devaluasi nilai rupiah.

7
Dengan mengingat kekuatan-kekuatan yang memperkecil dan memperbesar ketimpangan
pembagian pendapatan di atas , maka diperoleh ukuran distribusi pendapatan nasional yang
diukur dengan Rasio Gini dan Rasio Kuznets.

Tahun Gini Rasio Tahun Gini Rasio Tahun Gini Rasio


1965 0.35 1986 0.33 1997 0.37
1970 0.35 1987 0.32 2002 0.33
1976 0.34 1990 0.32 2003 0.32
1978 0.40 1993 0.34 2004 0.32
1980 0.34 1994 0.34 2005 0.36
1981 0.33 1995 0.35 2006 0.33
1984 0.33 1996 0.36 2007 0.37

Kelompok penduduk 2002 2003 2004 2005 2006 2007


1) 40% Termiskin 20.92 20.57 20.80 18.81 19.75 19.10
2) 40% menengah 38.89 37.10 37.13 36.40 38.10 36.11
3) 20% Terkaya 42.19 42.23 42.07 44.78 42.15 44.79
Rasio Kuznets (3) : (1) 2,07 2.06 2.03 2.38 2.13 2.35
0.450 0.49 0.49 0.42 0.47 0.43

2.4 Cara Mencapai Masyarakat Adil Makmur


Ada dua cara untuk mencapai masyarakat adil-makmur yakni:
a. Makmur dan Adil (Growth and Equity)
b. Makmur dengan Adil (Growth with Equity)
2.4.1 Mayarakat Makmur dan Adil
Cara untuk mengukur masyarakat adil makmur yang diutarakan pada seksi terdahulu
adalah dengan cara terpisah antara masyarakat makmur dan masyarakat adil. Dalam litertur
ekonomi pembangunan cara yang demikian ini dikenal dengan istilah tujuan pembangunan
makmur dan adil (growth and equity objectives). Dalam cara ini, semula dikejar kemakmuran
(tingkatkan pendapatan nasional secara maksimum), setelah kue nasionalnya besar baru dikejar
keadilan (diadakan pembagian pendapatan nasional yang lebih adil, tidak terlalu timpang).
Cara ini adalah cara yang biasa diterapkan oleh negara-negara maju. Pertumbuhan pendapatan

8
nasionalnya dikejar agar terjadi penggunaan sumber produksi yang efisien (penerapan teori
ekonomi tradisional). Kemudian melalui berbagai kebijaksanaan fiscal dikejar pemerataan.
Tujuan pemerataan ini diusahakan melalui sistem pajak yang progresif (pajak penghasilan,
pajak kekayaan, dan pajak/pungutan lainnya) disertai dengan sistem kesejahteraan (bantuan)
sosial yang massif untuk penduduk yang kurang beruntung dalam proses pembangunan
ekonomi. Sistem kesejahteraan sosialnya terlihat dari pos pengeluaran anggaran belanja
negaranya, sangat memihak kepada kaum miskin seperti misalnya untuk pendidikan,
kesehatan, bantuan untuk orang tua, ibu, anak, penggangur, pembayaran transfer secara
langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa untuk publik. Karena kebijaksanaan
sosialnya yang massif ini kebanyakan negara yang sebelumnya dikenal sebagai negara
kapitalis, kemudian (dewasa ini) dikenal sebagai negara kesejahteraan (welfare states),seperti
misalnya Inggris, negara-negara Eropa barat, Kanada, Amerika Serikat, dan sebagainya. Cara
pencapainnya tujuan seperti ini biasanya dianggap berhasil untuk negara-negara maju karena
sistem pajaknya diberlakukan dengan tegas, dan demikian juga sistem bantuan sosialnya. Jika
ada yang melanggar sistem pajak dan sistem bantuan sosialnya, tidaklah sebanyak negara-
negara sedang berkembang. Sistem yang terpisah ini tidak cocok untuk negara berkembang.
Pencapaian tujuan pembangunan di negara maju biasanya ditandai dengan tingkat
pertumbuhan yang sedang (sekitar 3-5% per tahun) dengan tingkat ketimpangan yang kecil
(Gini rasio kurang dari 0,20).
2.4.2 Masyarakat Makmur dengan Adil
Cara kedua yang dikenal dalam literatur ekonomi pembangunan adalah cara gabungan,
masyarakat makmur berkeadilan dimana kemakmuran dan keadilan dikejar dalam waktu
bersamaan. Cara pencapaian ini dikenal dengan istilah tujuan makmur dengan adil (growth
with equity obectives). Dasar logika dari pendekatan ini adalah bahwa pembangunan ekonomi
terdiri dari serangkaian proyek pembangunan. Dalam mengimplementasikan setiap proyek
mestinya tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi (penggunaan sumber produksi
secara efisien), melainkan sekaligus mempertimbangkan bagaimana pembagian (distribusi)
keuntungan dari proyek tersebut.
Cara pencapaian yang kedua ini telah banyak diperdebatkan di Indonesia pada tahun
1976. Banyak dari menteri kabinet waktu itu lebih menghendaki cara pencapaian yang pertama
(pertumbuhan dan pemerataan), yakni bsarkan dahulu kue nasionalnya baru kemudian dibagi-
bagi. Namun, barangkali sebagian disebabkan oleh tekanan luar negeri, terutama Bank Dunia
(Indonesia peminjam besar dari Bank Dunia), pendekatan yang kedua terpaksa disetujui dan
diterapkan mulai pada Pelita III melalui delapan jalur pemerataan. Sejak Pelita Tiga (1979)
9
tujuan pemerataan ditempatkan di atas tujuan pertumbuhan. Setelah tahun 1979 tingkat
pertumbuhan pendapatan nasional tidak secara nyata berbeda dari periode sebelumnya.
Demikian juga halnya dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan nasional. Diukur
dengan rasio Gini, distribusi pendapatan menunjukkan dengan baik ketimpangan yang sedang
baik sebelum maupun sesudah delapan jalur pemerataan dikenalkan dan diterapkan.
2.5 Manusia (Masyarakat) Indonesia Seutuhnya
Dalam hal ini masyarakat adil makmur, material dan spiritual dan tujuan ini bukanlah
tujuan yang terpisah, masyarakat makmur dahulu kemudian masyarakat adil dan pemenuhan
kebutuhan material dahulu, kemudian setelah itu baru kebutuhan spiritual. Dengan kata lain
tujuan pembangunan ekonomi tersebut merupakan satu kesatuan bulat yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Tujuan tesebut dapat juga dikatakan untuk membangun
masyarakat Indonesia seutuhnya.
2.5.1 Tujuan Inti Pembangunan1)
Tujuan pembangunan dalam arti seluas-luasnya adalah membangun manusia
(masyarakat) Indonesia seutuhnya ini berarti sebagai satu proses yang berkesinambungan atas
satu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang ‘lebih baik’ atau ‘lebih
manusiawi’. Menurut para ahli (Profesor Gaulet dan tokoh-tokoh lainnya) paling tidak ada tiga
komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis
untuk memahami kehidupan yang ‘lebih baik’ atau ‘lebih manusiawi’. Ketiga nilai inti tersebut
adalah kecukupan, harga diri, dan kebebasan yang merupakan tujuan pokok dan harus digapai
oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan.
Kecukupan (sustenance), yang dimaksud dengan kecukupan disini bukan hanya
menyangkut makanan, melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan dasar
manusia secara fisik. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan
keamanan. Fungsi dasar dari setiap kegiatan ekonomi, pada hakikatnya, adalah untuk
menyediakan sebanyak mungkin masyarakat yang dilengkapi perangkat dan bekal untuk
menghindari segala kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh kekurangan
pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. Atas dasar itulah, kita bisa menyatakan
bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas
kehidupan. Setiap orang harus ‘memiliki kecukupan untuk meninkatkan dirinya’. Dengan
demikian, kenaikan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, perluasan
lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang harus ada (necessary
conditions) bagi pembangunan.

10
Harga diri (self-esteem):Menjadi manusia seutuhnya. Komponen universal yang kedua
dari kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju,
untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar
sesuatu, dan seterusnya. Semuanya ini dirangkum dalam satu istilah harga diri, atau
kepribadian, atau identitas. Banyak bangsa yang tiba-tiba saja merasa dirinya kecil atau tidak
berarti hanya karena mereka tidak memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi setinggi bangsa
lain. Selanjutnya, yang dianggap hebat adalah yang memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi
modern, sehingga masyarakat negara-negara berkembang berlomba-lomba mengejarnya dan
tanpa disadari mereka telah kehilangan jati dirinya.
Seandainya saja penghargaan terhadap diri mereka tidak hanya dinilai atau didasarkan
pada prestasi-prestasi materil, maka mereka pasti tidak merasa miskin atau sengsara, terlepas
dari seperti apa kondisi ekonomi mereka. Sebaliknya jika kesejahteraan ekonomi terlanjut
diyakini sebagai syarat mutlak untuk mencapai kehidupan yang serba lebih baik, maka mereka
yang ‘terbelakang’ selamanya akan merasa sengsara dan tidak berharga. Dewasa ini, negara-
negara berkembang tengah giat mengupayakan pembangunan untuk meraih kembali harga diri
yang sempat tercampakkan akibat adanya atribut ‘keterbelakangan’. Pembangunan ini harus
diabsahkan sebagai satu tujuan karena hal itu merupakan kunci untuk meraih sesuatu yang
sangat penting, dan itu bukanlah kekayaan melainkan penghargaan.
Nilai universal yang ketiga dan terakhir adalah konsep kemerdekaan (kebebasan)
manusia, yang disini diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga
tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Sekali saja kita
terjebak dan semakin lama kita akan terjerat semakin dalam. Sekali saja kita menjadi budak
materi, maka sederet kecenderungan negative mulai dari sikap acuh tak acuh terhadap
lingkungan sekitar, sikap mementingkan diri sendiri kalau perlu dengan mengorbankan
kepentingan orang lain, dan seterusnya, akan meracuni diri kita.
Jika kita memiliki kebebasan, itu berarti untuk selamanya kita mampu berpikir jernih
dan menilai segala sesuatu atas dasar keyakinan, pikiran sehat, dan hati nurani kita sendiri.
Kebebasan juga meliputi kemampuan individual atau masyarakat untuk memilih satu atau
sebagian dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Dengan adanya kebebasan, kita tidak
semata-mata dipilih, melainkan kitalah yang akan memilih. Konsep kebebasan manusia juga
melingkupi segenap komponen yang terkandung di dalam konsep kebebasan politik, termasuk
juga keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik, dan
pemerataan kesempatan.

11
2.5.2 Indeks Pembangunan Manusia1)
Di atas telah dikemukakan bahwa terdapat tiga nilai menuju kehidupan yang ‘lebih
baik’ atau lebih manusiawi’, yakni kecukupan, harga diri, dan kebebasan yang merupakan
tujuan pokok dan harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan.
Program Pembangunan PBB (UNDP) telah berusaha menyusun alat pengukuran holistis atas
tingkat kehidupan manusia yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM = Human
Development Index, HDI). Indeks ini dapat dipergunakan untuk menganalisis status
pembangunan sosial ekonomi secara sistematis dan komprehensif baik untuk negara maju
maupun negara berkembang. IPM mencoba memeringkat semua negara dari skala nol (tingkat
pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang
tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir pembangunan: masa hidup (longevity),
yang diukur dengan usia harapan hidup, pengetahuan (knowledge), yang diukur dengan
kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dan rata-rata tahun
bersekolah (sepertiga), serta standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan
pendapatan riil per kapita, disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity atau
PPP) dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi
asumsi utilitas marjinal yang semakin menurun dari pendapatan.
Salah satu keuntungan terbesar dari IPM adalah indeks ini mengungkapkan bahwa satu
negara dapat berbuat jauh lebih baik pada tingkat pendapatan yang rendah, dan bahwa kenaikan
pendapatan yang besar dapat berperan relative kecil dalam pembangunan manusia. Selanjutnya
IPM menunjukkan dengan jelas bahwa kesenjangan dalam pendapatan lebih besar daripada
kesenjangan dalam indikator pembangunan yang lain, paling tidak dalam indikator kesehatan
dan pendidikan. IPM juga mengingatkan kita bahwa pembangunan, yang kita maksudkan
adalah pembangunan manusia dalam arti luas, bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang
lebih tinggi. Kesehatan dan pendidikan bukan hanya input fungsi produksi (seperti dalam
perannya sebagai komponen modal manusia) namun juga merupakan tujuan pembangunan
yang fundamental. Kita tidak akan berpendapat bahwa negara yang mempunyai penduduk
berpendapatan tinggi namun tidak terdidik dan mempunyai masalah kesehatan yang berat
sehingga usia harapan hidupnya lebih singkat daripada negara yang lain di seluruh dunia, telah
mencapai tingkatan pembangunan yang lebih tinggi daripada negara berpendapatan rendah
namun usia harapan hidup dan kemampuan baca tulisnya tinggi. Indikator kesenjangan
pembangunan dan pemeringkatan yang baik harus memasukkan variable kesehatan dan
pendidikan dalam pengukuran kesejahteraan yang tertimbang dan bukan hanya melihat tingkat

12
pendapatannya saja; dan IPM merupakan peringkat yang sangat bermanfaat untuk mengukur
indikator ini.

KESIMPULAN
Dari sejak Indonesia berdiri/merdeka, tujuan pembangunannya atau pembentukan
negara sudah jelas, yakni masyarakat adil-makmur. Namun, pada saat Indonesia merdeka
terdapat semacam pandangan umum atau konsesus bahwa pertumbuhan ekonomi seakan-akan
merupakan satu-satunya tujuan pembangunan. Pandangan ini berlanjut terus bahkan sampai
sekarang ini. Mungkin sebagian karena pandangan tersebut, pembangunan ekonomi di seluruh
dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga berkembang dengan pesat sampai dekade
1960an disebut sebagai masa keemasan pertumbuhan. Pada waktu itu tingkat pendapatan
nasional dianggap sebagai satu-satunya faktor penentu kesejahteraan masyarakat. Kalau
demikian halnya, yakni masyarakat adil-makmur, bisa dipisahkan menjadi masyarakat makmur
dan masyarakat adil, maka pada masa pemerintahan Soekarno tingkat pertumbuhan
penghasilan nasional di Indonesia sangat rendah, sedangkan pada masa pemerintahan Suharto
tingkat pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi (kira-kira 7% setahun). Pada masa setelah
Suharto, pertumbuhan pendapatan nasional memang lebih rendah dibandingkan pada masa
Suharto, namun cukup tinggi. Hanya pada saat krisis pertumbuhan pendapatan nasional negatif,
namun saat ini, saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat,
pertumbuhan ekonomi masih tetap menunjukkan angka positif.
Walaupun pertumbuhan pendapatan nasional merupakan perhatian utama, tingkat
pemerataan ekonomi (keadilan) yang ditunjukkan oleh rasio Gini tidaklah terlalu buruk sejak
pemerintahan Suharto sampai sekarang. Pada masa pemerintahan Sukarno tidak diperoleh data
mengenai Gini rasio. Keadilan pembagian pendapatan nasional di Indonesia sejak tahun 1965
menunjukkan ketimpangan yang sedang (malah mendekati pembagian yang merata) seperti
yang ditunjukkan oleh Gini rasio sekitar 0,35. Hal ini, barangkali pada masa Suharto, karena
uang kenaikan harga minyak bumi yang dialami pada waktu itu dinikmati paling banyak oleh
sektor pendidikan (SD impres, wajib belajar), kesehatan (puskesmas, program keluarga
berencana), para petani (kredit bimas, pembangunan irigasi), dan para pengusaha kecil (kredit
investasi kecil, kredit modal kerja permanen). Kemudian pada masa setelah Suharto (masa
reformasi), keadaan yang demikian ini rupanya harus diteruskan, meskipun dalam bentuk yang
berbeda. Oleh karena itu, tingkat ketimpangan pembagian pemdapatan nasional masih tercatat

13
dengan ketimpangan sedang, malah mendekati merata, apalagi tekanan pada masa reformasi
dan sesudahnya adalah ekonomi kerakyatan.
Kalau tujuan pembangunan bukanlah terpisah antara masyarakat adil dan masyarakat
makmur, melainkan masyarakat adil-makmur, material dan spiritual, atau pembangunan
masyarakat (manusia) Indonesia seutuhnya, maka kinerja pembangunan yang lebih tepat
adalah indeks pembangunan manusia (HDI). Saying sekali hanya ada satu angka HDI, yakni
untuk tahun 1999, yang menunjukkan bahwa pembangunan saat itu telah menunjukkan
pembangunan manusia Indonesia yang sedang (koefisien HDI sebesar 0,677). Tahun itu adalah
akhir pemerintahaan Suharto. Dapat diduga bahwa setelah tahun 1999 sampai sekarang
kebijaksanaan pemerintah terhadap kedilan sosial (pembangunan manusia Indonesia) tidaklah
mengendur. Misalnya, sektor pendidikan dengan memantapkan wajib belajar, anggaran 20%
APBN untuk sektor pendidikan, jaminan kesehatan untuk masyarakat, Bantuan Tunai
Langsung untuk orang miskin. Program-program tersebut dan sejenisnya bersifat memperbaiki
indeks pembangunan manusia, sehingga oleh karenanya pembangunan manusia Indonesia
dapat dikatakan berada pada tingkat menengah.
Kalau kita perhatikan angka-angka diatas dan kesimpulan yang mengikutinya, kita
perlu hati-hati, karena kita selalu bekerja dengan angka rata-rata. Walaupun tingkat
perumbuhan pendapatan nasional cukup tinggi (rata-ratanya) dan angka Gini yang cukup
menggembirakan ini tidaklah berarti bahwa di Indonesia tidak ada orang yang berada di bawah
garis kemiskinan. Masih tetap ada dan jumlahnya pun tidak kecil. Ini rupanya merupakan
tantangan di masa depan, sesuai dengan tujuan pembangunan Millenium.
Di samping itu, sementara indeks Gini dan indeks HDI menunjukkan hal yang tidak
mengecewakan, maka tingkat pertumbuhan ekonomi rupanya naik turun. Kalau ini ditekankan
di masa depan, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional mempunyai pengaruh yang sangat
kecil terhadap HDI (karena dalam perhitungan HDI, indeks pendapatan memakai log). Oleh
karena itu, penekanan pada peningkatan pendapatan per kapita di masa depan, katakanlah agar
segera mencapai PPP$20.000 per tahun sehingga Indonesia termasuk negara dengan
pendapatan sedang, tampaknya tidak akan menjelekkan pencapaian HDI.

14

Anda mungkin juga menyukai