A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma
(benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh
pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek
percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price &
Wilson, 1995).
Secara umum cedera kepala dapat diklasifikasikan menurut nilai skala glasgow, sebagai
berikut :
1. Ringan(GCS 13-15)
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3. Berat (GCS 3 – 8)
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial,
dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai
kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera
fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi
dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang
otak, atau dua-duanya.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebungungan
3. Iritabel
4. Pucat
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema
4. Herniasi
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rotgen Foto
2. CT Scan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1.Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisiK
3. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik)
5. Sistem saraf :
a. Kesadaran à GCS.
b. Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu,
anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
6. Sistem pencernaan
7. Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan
intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual dan muntah.
C. Intevensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan
gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau
kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
• Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi
dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
• Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan
pengisapan lendir.
• Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
• Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
• Pemberian oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran
tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
• Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
• Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau
hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur
(peningkatan lendir atau suction, perkusi).
• tekanan pada vena leher.
• pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
• Bila akan memiringkan, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus
bersamaan).
• Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
• Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
• Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan
edema serebral.
• Monitor intake dan out put.
• Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
• Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak
menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh bersih, tidak ada iritasi pada kulit,
buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
• Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK
dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
• Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
• Perawatan kateter bila terpasang.
• Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan perdarahan, mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai
dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji intake dan out put.
• Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan
out put urine.
• Berikan cairan intra vena sesuai program.
c. Berdasarkan morfologi
1) Fraktur tengkorak
Kranium : linear/ stelatum ; depresi/ nondepresi ; terbuka/ tertutup
Basis : dengan/ tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan tanpa kelumpuhan nervus VII
2) Lesi intrakranial
Fokal : epidural, subdural, intracerebral
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
3 Anatomi Fisisologi
a. Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1) Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari :
a) Kubah tengkorak
kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari atas dan dari
sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura tengkorak.
Dari depan ke belakang terdapat berturut-turut sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan
sebuah tulang belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak terdapat sepasang tulang
pelipis. Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula membentuk dasar tengkorak (lihat gambar
1)
b) Dasar Tengkorak
bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak depan, lekuk
tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak depan
dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang halus untuk memberi jalan kepada
serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut dinamakan lempeng
ayakan yang merupakan atap bagi rongga hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian tengah
adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah daripada dasar lekuk
tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah lagi daripada lekuk tengkorak
tengah (lihat gambar 1).
2) Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang lekuk mata
dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas. Dinding belakang lekuk mata juga
dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan kecil). Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang langitan,
tulang lapisan dan tulang air mata. Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf
penglihat maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah yang terletak antara
tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang
air mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air mata yang disambung ke
arah bawah oleh tetesan air mata yang bermuara di dalam rongga hidung (lihat gambar 1).
b. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
1) kulit
2) jaringan penyambung (connective tissue)
3) galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.
4) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American College of Surgeons 1997)
c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar adalah
tempat lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang
bagi batang otak bawah dan serebelum, (American College of Surgeons 1997)
d. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura
meter, arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura meter terdapat
lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah
pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri, (American College of Surgeons 1997)
e. Sistem Saraf Pusat (SSP)
Yang disebut sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang tertutup di dalam
tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen) pelindung, serta rongga yang berisi cairan
(lihat gambar 2).
1) Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu : serebrum, batang otak, dan
serebelum.
a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital, temporalis.
Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari masing-masing fungsi lobus :
(1) Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang, psikologi, lobus
frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk bahasa (lihat gambar 3)
(2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas kulit) dan peran
asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif dan intelektual (lihat gambar 3).
(3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan (lihat gambar 3).
(4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat bicara, pusat
memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra penghidu (lihat gambar
3).
b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-masing struktur
mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai unit untuk menjalankan
saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur spinal (lihat gambar 2)
(1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons. Bagian
ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri dari bagian bagian kolikuli superior dan
kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus serebri. kolikuli superior berperan dalam
refleks penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikuli inferior berperan
dalam reflek pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus
serebri terdiri dari berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari serebelum.
(2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa jembatan serabut-
serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum, serta menghubungkan mesensefalon di
sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang
penting pada jaras kortikoserebelaris yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian
bawah pons berperan dalam pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan fasialis (lihat
gambar 2)
(3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula ini merupakan
pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor, pernapasan,bersin,batuk,menelan,
pengeluaran air liur dan muntah.
c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang
menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian posterior serebrum.
Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan
dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli
superior berhubungan dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media menghubungkan kedua
hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior berisi serabut-serabut traktus spinosere
belaris dorsalis dan berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di
bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan
memperluas gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.
2) Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan
memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf spinalis berada
diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah ujung tempat medula spinalis
berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis terletak interneuron, serabut sensori, asenden,
serabut motorik desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder (volunter) dan motor
neurons otonom utama. Area sentral medula spinalis merupakan massa abu-abu yang mengandung
badan sel saraf dan neuron internunsial (lihat gambar 2)
f. Sistem Saraf Tepi (SST)
Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari saraf kranial bervariasi, yaitu
sensori motorik dan gabungan dari kedua saraf. Saraf motorik dipersarafi oleh beberapa
percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf kranial adalah :
aktorius) : Sifatnya sensorik mensarafi hidung membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari aroma rongga
hidung ke otak.
ptikus) : Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke otak
Okulomotorius) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata) / sebagai
pembuka bola mata.
rochlear) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar bola mata
igeminus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) bertanggung jawab untuk pengunyah.
bdusen) : Sifatnya motorik, sebagai pemutar bola mata ke arah luar
Fasial) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik), sebagai mimik wajah dan menghantarkan rasa pengecap,
asam, asin dan manis.
(Vestibulokokhlearis) : Sifatnya sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua bagian sensoris yaitu auditori dan
vestibular yang berperan sebagai penterjemah.
losofharyngeal) : Berperan dalam menelan dan respons sensori terhadap rasa pahit di lidah.
gus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) mensarafi faring, laring dan platum
sesoris) : Sifatnya motorik, saraf ini bekerja sama dengan vagus untuk memberi informasi ke otot laring dan
faring.
Hipoglosal) : Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.
Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang mengenai otak
dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi
otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang
tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan
indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg
dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin
tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
4. Etiologi
Menurut Corwin, (2001) penyebab dari cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, jatuh dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau
pisau.
Kecelakaan ; jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada
saat olah raga, anak dengan ketergantungan, dan dapat terjadi pada anak yang cedera akibat
kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2001).
5. Patofisiologi
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat
ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat
gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ;
epiduralatau subdural hematoma).
Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan
(deselerasi). Trauma dapat primer atau sekunder.
Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian. Sedangkan trauma
sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya
tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang
tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga
menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak seperti
kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya bisa koma.
Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.
Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan
perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat
dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio atau
laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada besarnya
kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya
lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.
Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan
robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan dilatasi
dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak ruang
disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka waktu 24 – 72
jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi, fraktur
basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang). Perubahan oksigenisasi akibat trauma
otak dapat dilihat pada bagan berikut :
Gangguan oksigenisasi
Gangguan metabolisme
Edema jaringan otak
6. Komplikasi
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknyaleptomeningen dan terjadi pada 2
– 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos,kemosis,dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru.
Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa.
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu).
ABCDE
a) Airway
Membebaskan jalan nafas dengan memasang intubasi endotrakheal
b) Breathing
Diberikan ventilasi oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah
c) Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana
medulla oblongata sudah mengalami gangguan. Respon buka mata, respon motorik, respon verbal,
reaksi cahaya pupil, reflek okulosefalik, reflek okulovestibuler.
d) Drugs dan Fluids
Pemberian obat-obatan kalau perlu cairan infus sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang yaitu
monitol, steroid, furosemid, balbiturat, anti konvulsan.
e) Elektro Cardio Graphy
CT-Scan semua penderita, Ventrikulografi udara, angiogram.
4) Sirkulasi
Gejala : Hipotensi (syok)
Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera, vaokontriksi perifer umum dengan
kehilangan nadi, kulit putih dan dingin.
Takikardi (syok/ ansietas/ nyeri)
Disritmia (syok) pembentukan edema jaringan
Tanda : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardi yang diselingi dengan bradikardi, disritmia).
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. Menangis,
ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
6) Eliminasi
Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi
Tanda : Pengeluaran urine menurun atau tak ada selama fase darurat.
Diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi.
Penurunan bising usus/ tak ada
7) Makanan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : Gangguan menelan, (batuk, air liur keluar, disfagia)
Edema jaringan umum
Anoreksia, mual/muntah
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, bingung, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya yangdiplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Kesemutan.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma
Perubahan status mental orientasi kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah,
perubahan pupil (respons terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
Wajah tidak simetris
Gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese
quadreplegia, postur (dekortikasi desebrasi). Kejang sangat sensitive terhadap sentuhan dan
gerakan kehilangan sensasi sebagai posisi tubuh.
Perubahan orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks tendon dalam pada cedera extremitas.
9) Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa
beristirahat, merintih.
10) Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : fraktur/ dislokasi
Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna.
Tanda battle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase)
dari telinga/ hidung serebrospinal (CSS).
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang kekuatan secara umum mengalami paralisis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
11) Interaksi Sosial.
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartia, anomia.
12) Pernapasan
Gejala : Serak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan menelan sekresi
oral, sianosis, indikasi cedera inhalasi.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. Menangis,
ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
b. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Tucker, et al (1998), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan
diagnosa adalah :
1) pemeriksaan sinar X tulang tengkorak
2) pemeriksaan sinar X servikal
3) CT Scan
4) MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
5) Punksi lumbal, pengambilan contoh CSS
6) Pneumoensefalogram
7) Sistogram
8) GDA (Gas Darah Arteri)
9) EEG (Elektro Ensefalo Grafi)
10) EKG (Elektro Kardio Grafi)
Menurut Doenges, (1999), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan media
adalah :
1) CT Scan
2) MRI (Magnetic Reaconance Imaging)
3) Angiografi
4) BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
5) PET (Posttarn Emission Tomography)
6) GDA (Gas Darah Arteri)
2 Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, (1999), diagnosa yang muncul pada cedera kepala adalah :
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral
Pengertian : Suatu keadaaan dimana seseorang individu mengalami penurunan suplai nutrisi dan
oksigen pada tingkat seluler oleh karena penurunan suplai darah arteri, (Carpenito 2000).
Berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh (hemoragi, hematoma).
Tujuan :
1) mempertahankan tingkat kesadaran/perbaikan kognisi dan fungsi motorik/ sensorik.
2) Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana Keperawatan :
1) Pantau/ catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya
GCS)
Rasional :
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran adan potensi peningkatan TIK dan
bermanfaaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan susunan saraf
pusat (SSP).
2) Pantau tekanan darah
Rasional :
Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktuasi
tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi cerebral
lokal atau menyebar (menyeluruh)
3) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksinya
terhadap cahaya.
4) Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda lapang pandang
menyempit dan ke dalam persepsi.
Rasional :
Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,mempunyai
konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi.
5) Pertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau pada posisi netral. Sokong dengan gulungan
handuk kecil atau bantal kecil
Rasional :
Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah
vena,yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
6) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak
sesuai lainnya
Rasional :
Petunjuk non verbal mengidentifikasi adanya peningkatan TIK atau menandakan adanya nyeri
ketika pasien yang tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.
7) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, protein serum dan albumin.
Rasional :
Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan menunjukkan kebutuhan intervensi/ perubahan program
terapi.
b. Diagnosa II : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
Tujuan :
Mempertahankan pola pernafasan normal/ efektif, bebas sianosis, dengan AGD dalam batas
normal.
Intervensi :
1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional :
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau
menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat, periode apnoe dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2) Catat kompetensi refleks vagal/ menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas
sendiri.
Rasional :
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan nafas.
3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
Rasional :
Untuk memudahkan ekspansi paru/ ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungknan lidah
jatuh yang menyumbat jalan nafas.
4) Lakukan pengisapan lendir dengan ekstra hati-hati selama 10 – 15 detik, catat sifat, warna dan
kekeruhan dari sekret.
Rasional :
Persiapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan nafasnya sendiri.
5) Kolaborasi rontgen thoraks ulang.
Rasional :
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.
c. Diagnosa III : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
Intervensi :
1) Kaji respons sensori terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan catat
perubahan yang terjadi.
Rasional :
Informasi yang dapat dari pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat kegawatan dan
kerusakan otak.
2) Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak sesuai, agitasi,
halusinasi.
Rasional :
Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya setiap emosi yang labil, frustasi, apatis
dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan dari trauma kepala.
3) Bicara dengan suara yang lembut dan pelan.
Rasional :
Pasien mungkin mengalami keterbatasaan perhatian/ pemahaman selama fase akut dan
penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
4) Berikan keamanan pasien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bentuk latihan jalan dan
lindungi cedera kepala.
Rasional :
Gangguan persepsi sensori dan buruknya kesimbangan dapat meningkatkan resiko pada pasien.
d. Diagnosa IV : Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.
Tujuan :
Mempertahankan/ melakukan kembali orientasi mental dan realita biasanya.
Intervensi :
1) Kaji rentang perhatian, kebingunagn dan catat tingkah laku ansietas pasien.
Rasional :
Rentang/ perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang menyebabkan
potensi terhadap terjadinya ansietas mempengaruhi proses pikir pasien.
2) Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-pikiran yang
tidak masuk akal.
Rasional :
Pasien mungkin tidak menyadari adanya trauma secara total (amnesia) dari perluasan trauma dan
karena itu pasien perlu dihadapkan pada kenyataan terhadap terjadinya trauma pada dirinya.
3) Jelaskan pentingnya melakukan pemeriksaan neurologis secara berulang dan teratur.
Rasional :
Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratus untuk mencegah/ membatasi komplikasi
yang mungkin terjadi dan tidak menimbulkan suatu hal yang serius pada pasien dapat membantu
menurunkan ansietas.
4) Pertahankan harapan realitas dari kemampuan pasien untuk mengontrol tingkah lakunya sendiri,
memahami dan mengingat informasi yang ada.
Rasional :
Mempertahankan harapan dari kemampuan untuk meningkatkan dan melanjutkan sampai pada
tingkat fungsi lebih tinggi untuk mempertahankan harapan dan meningkatkan aktivitas rehabilitas
kontinu.
5) Kurangi stimulus yang merangsang kritik yang negatif, argumentasi.
Rasional :
Menurunkan resiko terjadinya respon pertengkaran dan penolakan.
e. Diagnosa V : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/ kognitif.
Tujuan :
Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagan tubuh yang sakit.
Intervensi :
1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
Rasional :
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2) Kaji derajat immobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
Rasional :
Pasien mampu mandiri (nilai 0), memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal (nilai 1),
memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan/pengajaran (niali 2), memerlukan
bantuan/peralatan yang terus-menerus dan alat khusus (nilai 3), tergantung secara total pada
pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko
yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut dihubungkan dengan immobilisasi.
3) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
Rasional :
Perubahan posisi yang teratur menyebabklan penyebaran terhadap gerak badan dan meningkatkan
sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
4) Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien berada dalam kursi
roda.
Rasional :
Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal dan mencegah/
menurunkan resiko kerusakan kulit di daerah kogsigis.
3) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka garis jahitan daerah alat yang
dipasang invasi (terpasang infus dan sebagainya)
Rasional :
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
4) Berikan perawatan perineal.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri/ infeksi yang merambah naik.
5) Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
Rasional :
Therapy profilaktik dapat digunakan untuk pasien mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS
atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
g. Diagnosa VII : defisit keperawatan diri berhubungan dengan keterbatasan imobilisasi fisik.
Tujuan :
Tujuan keperawatan diri terpenuhi.
Intervensi :
1) Kaji derajat ketidakmampuan klien dalam hal perawatan diri
Rasional :
Mengetahui sejauh mana keterbatasan kemampuan individual.
2) Berikan bantuan dengan aktivitas perawatan diri yang diperlukan
Rasional :
Memenuhi kebutuhan akan perawatan diri.
3) Anjurkan kepada keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas perawatan diri yang diperlukan
klien
Rasional :
Membantu memenuhi kegiatan aktivitas perawatan diri klien.
4) Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri tetapi berikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional : Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun
bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi adalah sangat penting bagi pasien
untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan
meningkatkan pemulihan.
5) Berikan umpan balik yang positif untuk semua usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong
pasien untuk berusaha secara kontinu.
Menurut Suriadi & Yuliani, (2001), diagnosa yang muncul pada cedera kepala adalah :
a. Resiko tidak bersihnya jalan nafas dan tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan gagal
nafas.
Intervensi: kaji ABC, pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret, kaji status
pernafasan (kedalaman), berikan oksigen sesuai program, kaji tanda-tanda vital.
b. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema. cerebral dan peningkatan
tekanan intra kranial.
Intervensi: tinggikan posisi kepala 15-30 derajat, hindari hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial seperti membalikkan posisi dari samping ke samping, monitor status neurologi, tingkat
kesadaran dan refleks.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Intervensi: bantu dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, berikan makanan via parentral sesuai
indikasi, libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan mual-muntah.
Intervensi: kaji intake dan output, kaji tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit, membran mukosa),
berikan cairan intravena sesuai program.
e. Resiko injury berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
Intervensi: kaji status neurologis, perubahan kesadaran, refleks pupil, kaji tingkat kesadaran
dengan GCS, monitor tanda-tanda vital, berikan analgetik sesuai program.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Intervensi: kaji skala nyeri, mengatur posisi yang nyaman menurut klien, pemberian obat
analgetik, lakukan distraksi dan relaksasi.
g. Resiko integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Intervensi: pertahankan posisi yang sesuai, rubah posisi tiap 2 jam sekali, kaji area kulit adanya
lecet, lakukan latihan pergerakan (ROM).
ASUHAN KEPERAWATAN CKR(CIDERA KEPALA RINGAN)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. E
DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN ( C K R )
DI RUANG CAMAR RSUD BANJARBARU
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Pendidikan :
Pekerjaan : petani
Suku/ bangsa : banjar/indonesia
Agama : Islam
Status marietal : kawin
Bahasa yang digunakan : banjar
Alamat : jl. Indra sari RT. 2 Martapura
Diagnosis medis : Cedera kepala ringan
Tanggal MRS : 14 agustus 2006
Tanggal pengkajian : 14 agustus 2006
B. RIWAYAT PENYAKIT
1. keluhan utama
Saat masuk ruma sakit klioen mengeluh pusing, mual, muntah,.saat pengkajian klien hanya mengeluh
pusing
2. riwayat penyakit sekarang
Jam 8 malam klien kecelakaan ditabrak sepeda motor saat menyebrang. Ditabrak dari samping, terguling
kepala terbentur aspal, klien mengalami muntah 2 kali, tapi klien tidak pingsan.
3. riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengataan klien pernah mengalami jatuh ringan dan luka lecet.
4. riwayat penyakit keluarga
keluarga klien tidak pernah mengalami kejadian tang dialami klien.
C. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
1. keadaan umum
klien terlihat lemah, kesadaran compos mentis.
Glasgow Coma Scale : 4 – 5 – 6
- Eye : 4 (membuka mata spontan)
- Verbal : 5 (orientasi baik)
- Motorik : 6 (mengikuti perintah)
2. tanda-tanda vital
suhu : 36,3 C
tekanan darah : 120/80 mmHg
nadi : 100 x/mnt
respirasi : 24 x/mnt
3. kepala dan leher
bentu kepala simetris, tidak terdapat oedema di wajah, tidak ada ketombe, tidak ada kotoran pada kulit
kepala, pertumbuhan rambut merata, nyri tekan pada bagian oksipital. Dan 6 jhitan dibagian kepala,
keadan rambut bergelombang, warna rambut putih (uban). Leher tidak terdapat benjolan, tidak terdapat
lesi, tidak terdapat nyeri tekan.
ANALISA DATA
Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan luka sekunder terhadap luka kecelakaan ditandai
dengan:
- klien mengatakan merasa nyeri pada luka di daerah kepala
- klien terlihat menangis
- klien terlihat agak kaku dalam bergerak dan enggan berubah posisi
Setelah tindakan keperawatan dilakukan,nyeri berkurang dalam waktu 24 jam, dengan kriteria :
- nyeri hilang (skala 0)
- klien tenang
- klien mampu mengubah posisi secara mandiri
2.
Setelah diberikan tindakan keperawatan, intoleransi aktivitas klien teratasi, dengan kriteria :
o Rentang gerak dalam batas normal.
o Klien mampu beraktivitas ringan (secara bertahap) di tempat tidur.
o Setelah melakukan aktivitas tanda vital dalam batas normal.
2. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi dan bantu melakukan rentang gerak sendi pasif maupun aktif.
3. Kaji respon klien terhadap aktivitas, tanda vital, keluhan saat dan setelah aktivitas.
4. Tingkatkan sikap dapat melakukan sungguh-sungguh untuk memberikan suasana positif untuk
mendorong peningkatan aktivitas, status mobilisasi dan berikan penghargaan berhubungan dengan
kemajuan yang dicapai klien.
Setelah tindakan keperawatan dilakukan nutrisi kurang dati kebutuhan tidak terjadi dengan kriteria:
- menu makanan yang disediakan habis
- tiodak terjadi penurunan berat badan
- nafsu makan baik
1. Diskusikan penyebab anoreksia
2. pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan selama 1 jam sebeluim dan sesudah
makan
3. atur makanan dengan kalori dan protein tinggi
o.
1. dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat membantu
memperbaiki kepatuhan terapeutik
2. cairan lebih pada lambung dapat menurunkan nafsumakan dan masukan
3. meniongkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah kalori dan protein tinggi
Untuk mengetahui adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial secara dini, dengan kriteria:
- klien memahami perlunya pemeriksaan tanda-tanda vital selama perawatan
- klien mau melaporkan dengan segera bila gejala subjektif bertambah berat
1. memberi istirahat baring tanpa bantal
2. memonitor tanda-tanda vital
3. menganjurkan klien untuk melapor kepda perawat bila keluhan bertambah
1. untuk mengurangi tekanan pada kepala
2. untuk mengidentifikasi dan memonitor keadaan klien
3. untuk mengeahui secara cepat keluhan klien
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN.
2.
2.
VS:-
O : klien tidak terjadi peningkatan TIK
A : masalah tidak terjadi
P:-
I : monitor tanda-tanda vital
E : penigkatan TIK tidak terjadi
•
2.
VS:-
O : klien tidak terjadi peningkatan TIK
A : masalah tidak terjadi
P:-
I : monitor tanda-tanda vital
E : penigkatan TIK tidak terjadi
•