Pendahuluan
Bunuh diri, yang meliputi ide bunuh diri aktif dan pasif, usaha bunuh diri
dan tindakan bunuh diri, merupakan komorbiditas psikiatri yang relatif sering
terjadi pada pasien epilepsi (Barraclough, 1987; Nilsson et al., 1997; Rafnsson et
al., 2001; Christensen et al., 2007). Pasien epilepsi dengan ide bunuh diri yang
terjadi saat ini dan / atau masa lalu dan / atau riwayat upaya bunuh diri masih
kurang diakui dan tidak diobati. Suatu peringatan dari FDA di Amerika Serikat
berhubungan dengan peningkatan risiko bunuh diri, sejak itu mulai terdapat
beberapa minat pada permasalahan tersebut. Hubungan antara epilepsi dan bunuh
diri merupakan perihal yang kompleks dan bersifat multifaktorial. Tujuan artikel
dan epilepsi yang berhubungan dengan peningkatan risiko bunuh diri pada pasien
epilepsi dan mengetahui strategi praktis yang dapat digunakan di klinik Neurologi
Data Epidemiologi
tindakan bunuh diri lebih tinggi pada pasien epilepsi daripada populasi umum.
pasien epilepsi menyatakan bahwa bunuh diri terjadi pada sekitar rata-rata 11,5%
dari semua kematian yang dilaporkan (Jones et al., 2003). Faktanya, keseluruhan
rasio mortalitas standar yang dihasilkan dari tindakan bunuh diri setelah diagnosis
epilepsi telah ditemukan berkisar 3,5-5,0 (Nilsson et al., 1997; Rafnsson et al.,
2001). Pada studi berbasis populasi Denmark, rasio mortalitas standar tindakan
bunuh diri pada pasien epilepsi adalah 2,0 (95% CI = 1,7-2,3) setelah
faktor (Christensen et al., 2007). Risiko tersebut meningkat 32 kali lipat dengan
adanya komorbiditas gangguan mood dan meningkat 12 kali lipat dengan adanya
Upaya bunuh diri juga secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien
dengan epilepsi. Pada studi cross-sectional, Jones et al. (2003) menemukan bahwa
prevalensi usaha bunuh diri terjadi sekitar 20,8% dari 139 pasien rawat jalan di
lima pusat epilepsi tingkat tersier di Amerika Serikat. Pada penelitian yang lebih
baru dengan 208 pasien epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan, upaya
bunuh diri dalam 4 minggu terakhir terjadi pada 4,6% pasien, sementara upaya
Ide bunuh diri merupakan kejadian yang relatif sering terjadi pasien
epilepsi. Pada studi berbasis populasi di Kanada, riwayat hidup dengan ide bunuh
diri ditemukan terjadi pada 25% pasien epilepsi, dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang hanya terjadi sebanyak 12,2% (Tellez-Zenteno et al., 2007). Pada
studi pasien dengan epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan, ide bunuh
diri pada bulan sebelumnya terjadi sekitar 18,5%, sementara riwayat hidup dengan
Ketika identifikasi waktu saat pasien epilepsi memiliki ide bunuh diri
merupakan perihal yang esensial, hal tersebut lebih penting bahwa dokter
mengenali pasien dengan riwayat usaha bunuh diri karena merupakan prediktor
terkuat dari tindakan bunuh diri di masa depan. Sebagai contoh, Harris dan
Barraclough (1989) menemukan bahwa pasien epilepsi yang mencoba bunuh diri
memiliki peningkatan risiko 38.4% untuk melakukan bunuh diri dikemudian hari
populasi di Swedia, usaha bunuh diri sebelumnya telah diidentifikasi terjadi pada
46,2% pasien dengan epilepsi yang akhirnya melakukan tindakan bunuh diri (Rafn
ssonetal., 2001). Peningkatan risiko untuk melakukan tindakan bunuh diri setelah
yang potensial meliputi: (i) variabel yang berhubungan dengan epilepsi; (ii)
riwayat psikiatri pribadi dan keluarga (terutama gangguan mood dan / atau bunuh
umum yang terjadi pada bunuh diri (dan / atau gangguan psikiatri yang
epilepsi, yang diidentifikasi pada studi berbasis populasi baru-baru ini, di mana
tidak hanya pasien epilepsi yang berisiko lebih tinggi mengalami bunuh diri,
tetapi pasien dengan riwayat upaya bunuh diri telah ditemukan memiliki risiko
Dua studi berbasis populasi telah menunjukkan adanya hubungan dua arah
terdapat risiko terjadinya epilepsi lima kali lipat lebih tinggi pada individu yang
pernah berusaha bunuh diri sebelum terjadi gangguan kejang (Hesdorffer et al.,
2006). Risiko ini tidak tergantung pada riwayat gangguan depresi mayor dan
penyalahgunaan alkohol. Studi kedua terdiri dari studi kohort longitudinal yang
insidensi atau incidence rate ratio (IRR) dan rasio prevalensi bunuh diri selama 3
tahun sebelum dan setelah timbulnya epilepsi pada 3.773 subyek penelitian
dengan epilepsi (berusia 10 hingga 60 tahun) dan 14.025 kontrol yang disesuaikan
berdasarkan tahun kelahiran, jenis kelamin, praktik umum, dan tahun catatan
medis sebelum tanggal indeks onset eksim dan operasi akut. IRR dari bunuh diri
sebelum diagnosis epilepsi lebih tinggi selama 3 tahun sebelumnya (IRR, 3.1-4.5)
dan 1 tahun setelah diagnosis epilepsi (IRR, 5.3) dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Rasio prevalensi usaha bunuh diri meningkat sebelum (rasio prevalensi,
2.6 - 5.2) dan setelah onset epilepsi (rasio prevalensi 2.4-5.6). Berdasarkan
catatan, IRR psikosis, depresi, dan kecemasan juga meningkat secara signifikan
pada 3 tahun sebelumnya (IRR, 1.5 - 15.7) dan setelah diagnosis epilepsi (IRR,
2.2 - 10.9) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Demikian pula, tiga penelitian
memiliki risiko dua hingga tujuh kali lipat lebih tinggi mengalami epilepsi
(Hesdorffer et al., 2000, 2006; Adelow et al., 2012). Selain itu, terjadinya migrain
dengan aura (tetapi bukan migrain tanpa aura), depresi berat, dan bunuh diri
meningkatkan risiko kejang yang tidak terprovokasi lebih dari enam kali lipat
Hubungan dua arah antara epilepsi dan bunuh diri (dan / atau terkait
neurobiologi umum yang mendasari kondisi tersebut (untuk tinjauan rinci lihat
Kanner, 2006, 2012; Hecimovic et al., 2011). Kondisi tersebut termasuk gangguan
bunuh diri telah dikenal dengan baik dan ditinjau kembali pada Bab 11 buku ini.
Memang, monoamin 5HT dan NE telah diketahui memainkan peran patogenik
yang fundamental pada gangguan mood dan gangguan kecemasan serta bunuh
diri. Pada epilepsi, 5HT, NE, dan GABA ditemukan memiliki efek penghambatan
hewan epilepsi yang dilakukan pada tikus, mencit, kelinci, kucing, dan monyet
rhesus (untuk ulasan lihat Kanner, 2006, 2012; Jobe et al., 2006). Pada manusia,
penurunan aktivitas serotonergik pada pasien dengan epilepsi lobus temporal dan
pengikatan reseptor 5HT 1A. Contohnya, pada pasien epilepsi lobus temporal,
amigdala, girus cingulata, dan nukleus raphe (Toczek et al., 2003; Theodore et al.,
struktur yang sama dari pasien dengan gangguan depresi mayor (Sargent et al.,
berlebihan dan penurunan GABAergic juga diketahui terjadi pada gangguan mood
dan bunuh diri. Sequeira dkk. melakukan analisis ekspresi gen pada 17 area otak
kortikal dan subkortikal dari 26 subjek penelitian laki-laki yang melakukan bunuh
diri dan 13 kontrol dengan dan tanpa depresi berat dan kontrol (Sequeira et al.,
2009). Sampel otak independen dari 34 subjek penelitian manusia dan penelitian
pada hewan digunakan untuk mengontrol potensi efek pembaur potensial
jumlah perubahan bunuh diri yang paling tinggi teridentifikasi pada korteks
kortisol serum yang tinggi telah dibuktikan untuk waktu yang lama pada
gangguan depresi mayor dan bunuh diri serta pada model hewan epilepsi dan pada
manusia dengan epilepsi lobus temporal (lihat Kanner, 2012 untuk tinjauan secara
arus elektrik amigdala pada tikus Wistar non-epilepsi betina berumur 10-13
minggu. Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberi infus air, tikus
yang diobati dengan steroid memerlukan jumlah stimulasi yang lebih rendah
secara signifikan untuk mencapai keadaan sadar penuh (45,2 dibandingkan 86,5, p
<0,01). Demikian juga, peran patogenik hiperaktivitas aksis HPA terhadap bunuh
diri telah dinyatakan dalam penelitian yang dimulai pada tahun 1960-an, yang
melaporkan bahwa terdaapat kadar kortisol serum yang tinggi pada pasien yang
melakukan tindakan bunuh diri (Bunney dan Fawcett, 1965). Selain itu, pada
lebih sering (36% dibandingkan 11%) pada pasien dengan usaha bunuh diri
(Jokinen dan Nordström, 2009). Pada sebuah penelitian prospektif yang diikuti 76
pasien rawat inap yang depresi selama lebih dari 5 tahun, non-supresi untuk uji
supresi deksametason lebih sering terjadi pada pasien yang melakukan tindakan
bunuh diri (Coryell, 1990). Temuan tersebut juga telah dilaporkan oleh peneliti
Gagasan bunuh diri post iktal telah diteliti pada satu studi pasien dengan
epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan (Kanner et al., 2004). Di antara
100 pasien berturut-turut, 13% mengalami ide bunuh diri setelah lebih dari 50%
kejang, dengan durasi rata-rata 24 jam. Pasien tersebut secara signifikan lebih
mungkin memiliki riwayat bipolar atau gangguan depresi mayor dan juga rawat
inap psikiatri. Perilaku bunuh diri juga telah dilaporkan dalam konteks episode
psikotik post iktal. Pada studi pasien dengan epilepsi lobus temporal, Kanemoto et
al. melaporkan bahwa usaha bunuh diri lebih sering terjadi selama episode
psikotik post-ikal (7%) daripada selama psikosis interiktal akut (2%) atau
risiko bunuh diri 6 hingga 25 kali lipat (Currie et al., 1971; Robertson, 1997;
Fukuchi et al., 2002); Namun, tidak semua penelitian mendukung temuan tersebut
pasien epilepsi memiliki risiko dua kali lipat untuk melakukan bunuh diri. (RR =
1,99; 95% CI: 1,71 - 2,32) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Christensen et
al., 2007). Namun, risiko meningkat hampir 14 kali lipat ketika terdapat
komorbiditas gangguan psikiatri, khususnya, gangguan mood (32 kali lipat) dan
menemukan bahwa risiko bunuh diri terbesar terjadi selama 6 bulan pertama
setelah diagnosis epilepsi (RR 5,4; 95% CI: 4,4 - 8,3) dan bahkan lebih tinggi
ketika terdapat komorbiditas gangguan psikiatri (RR = 29,2 ; 95% CI: 16,4 - 51,9)
selama periode awal. Demikian pula, pada sebuah studi di Swedia melaporkan
bunuh diri sembilan kali lipat dan peningkatan 10 kali lipat untuk pasien yang
juga menggunakan obat antipsikotik (Nilsson et al., 2002). Pada studi yang
dilakukan oleh Jones et al. (2003), risiko tertinggi usaha bunuh diri berhubungan
dengan riwayat episode depresi mayor (OR, 5,9; 95% CI: 2,4-14,3) dan episode
mania (OR, 12,6; 95% CI: 1,3 - 125,9 ). Demikian juga, riwayat gangguan mood
bunuh diri.
Proses Iatrogenik
(remisi dan de novo) gangguan psikiatri. Sementara pasien epilepsi dengan kejang
psikiatri, remisi kejang epilepsi secara mendadak pada pasien yang sebelumnya
dan levetirasetam (Brent et al., 1987; Trimble et al., 2000; Mula et al., 2003; Mula
dan Sander, 2007). Insidensi fenomena bunuh diri terkait dengan obat antiepilepsi
yang spesifik belum dipelajari secara sistematis atau dengan baik. Bahkan, hanya
satu studi yang dapat ditemukan; yang menunjukkan bahwa 0,7% dari pasien yang
menggunakan levetirasetam melaporkan ide bunuh diri (Mula dan Sander, 2007).
Pada penelitian observasional lain dengan 224 pasien yang berturut-turut diobati
dengan levetirasetam, obat tersebut dihentikan pada empat (1,8%) pasien karena
terjadinya episode depresi berat, dengan ide bunuh diri. Keempat pasien tersebut
memiliki riwayat gangguan depresi sebelumnya (AM Kanner, MD, data yang
psikiatri di masa lalu dan / atau keluarga. Dengan demikian, terjadinya efek
psikiatri rekuren yang mendasari tanpa efek nyata dari obat antiepilepsi, atau
memanifestasikan gejala psikiatri pada individu yang rentan akibat genetik atau
predisposisi historis terhadap terjadinya gangguan psikiatri. Selain itu, jika gejala
psikiatri mengikuti remisi kejang yang terkait dengan penambahan obat anti
epilepsi, gejala psikiatri bukanlah merupakan ekspresi dari toksisitas obat anti
epilepsi.
hubungan antara bunuh diri dan obat anti epilepsi, yang didasarkan pada hasil
meta-analisis yang termasuk data dari 199 penelitian klinis acak dari 11 obat anti
kali lipat risiko bunuh diri dengan paparan obat anti epilepsi. Bunuh diri terjadi
pada 4,3 per 1.000 pasien yang diobati dengan obat antiepileps, dibandingkan
dengan 2,2 per 1.000 pasien pada kelompok kontrol. Dari semua bunuh diri yang
dilaporkan, ide bunuh diri menyumbang sekitar 67,6%, persiapan tindakan bunuh
diri sekitar 2,8%, usaha bunuh diri 26,8%, dan telah melakukakan tindakan bunuh
diri 2,8%. Obat antiepilepsi berhubungan dengan risiko yang lebih besar untuk
terjadinya bunuh diri dengan epilepsi (OR, 3,53; 95% CI: 1,28-12,12)
dibandingkan gangguan psikiatri (OR, 1,51; 95% CI: 0,95-2,45) atau gangguan
lain (OR, 1,87; 95% CI : 0,81–4,76). Namun, validitas hasil meta-analisis baru-
baru ini dipertanyakan karena masalah metodologis (Hesdorffer & Kanner, 2009).
(1) Penilaian bunuh diri didasarkan pada laporan pasien secara "spontan" dan
(2) FDA mengaitkan peningkatan risiko bunuh diri dengan semua obat
antiepilepsi, terlepas dari fakta bahwa signifikansi statistik ditemukan hanya pada
menyatakan risiko karena melibatkan semua obat anti epilepsi berasal dari
(3) Sebagian besar penelitian epilepsi (92%) termasuk pasien dengan terapi
tambahan (dibandingkan dengan 14% dari penelitian psikiatri dan 15% dari
penelitian medis lainnya). Tidak jelas apakah tingkat bunuh diri yang lebih tinggi
penelitian epilepsi secara potensial disebabkan oleh rendahnya risiko bunuh diri
bersifat protektif terhadap bunuh diri dan merupakan obat pembanding yang
(4) Perilaku bunuh diri lebih banyak terjadi di geografi tertentu. Misalnya, rasio
odd dari bunuh diri adalah 1,38 (95% CI: 0,9-2,13) pada penelitian di Amerika
Utara dan 4,53 (95% CI: 1,86-13,18) pada penelitian di tempat lain. Perbedaan
pengumpulan data.
Selain itu, sejak adanya publikasi peringatan FDA, delapan studi kohort
epilepsi dan bunuh diri pada pasien epilepsi atau pasien yang di antaranya
(Gibbons et al., 2009; Andersohn dkk., 2010; Arana dkk., 2010; Gibbons dkk.,
2010; Olesen dkk., 2010; Patorno dkk., 2010; Redden dkk., 2011, VanCott et al.,
2010). Tinjauan dari studi tersebut menunjukkan hasil yang kontradiktif, yang
kegagalan untuk menyesuaikan perilaku bunuh diri di masa lalu (Andersohn et al.,
2010; Olesen et al., 2010), atau mengakui bunuh diri di masa lalu tetapi selama
periode waktu yang tidak ditentukan (VanCott et al., 2010) atau eksklusi subyek
penelitian dengan riwayat bunuh diri di masa lalu atau riwayat keluarga bunuh diri
sebelum mengikuti penelitian (Arana et al., 2010; Patorno et al., 2010). Karena
usaha bunuh diri cenderung terjadi secara berulang (antara 14% dan 17% setelah 1
tahun dan lebih dari 30% selama 10 tahun) (Owens et al., 2002), hal tersebut
dengan riwayat usaha bunuh diri, di mana obat anti epilepsi yang bersifat
psikotropik positif cenderung diresepkan dan obat anti epilepsi dengan sifat
negatif dapat dihindari pada pasien tersebut. Jelas, kegagalan untuk menyesuaikan
perilaku bunuh diri sebelumnya akan menyebabkan bias dari temuan penelitian
semacam itu.
sangat hati-hati. Bahkan, untuk menentukan apakah obat anti epilepsi spesifik
dapat meningkatkan atau menurunkan risiko bunuh diri, maka perlu dilakukan
penelitian di mana data bunuh diri dikumpulkan secara sistematis dan prospektif.
topiramat, zonisamid, dan vigabatrin) dapat meningkatkan risiko bunuh diri dalam
gangguan psikiatri.
Operasi Pada Epilepsi
kontrol kejang setelah dua hingga tiga obat antiepilepsi diberikan pada dosis
optimal. Lobektomi temporal merupakan jenis prosedur bedah yang paling sering
dilakukan, terdiri dari 75% dari semua jenis operasi pada orang dewasa dan
hingga setengah dari pasien, terutama jika pasien menjadi bebas kejang, bunuh
diri telah menjadi komplikasi dari episode depresi paska-operasi yang berat,
terhitung sekitar 24% dari semua kematian, apakah atau tidak tercapai bebas
kejang (Pompili et al., 2006). Studi masa depan dengan jumlah subyek penelitian
psikiatri yang terkait dengan peningkatan risiko bunuh diri. Namun, mereka harus
mengidentifikasi pasien epilepsi dengan risiko bunuh diri yang meningkat dengan
melakukan skrining untuk tiga risiko paling sering yang dikaitkan dengan bunuh
diri: (i) riwayat gangguan mood dan kecemasan saat ini atau sebelumnya; (ii)
riwayat psikiatri keluarga dengan gangguan mood, terutama perilaku bunuh diri;
depresi mayor, khususnya untuk orang dengan epilepsi (Gilliam et al., 2006).
menunjukkan episode depresi utama dengan spesifisitas 90% dan sensitivitas 80%
Instrumen dengan penilaian terhadap diri sendiri yang memiliki tujuh item
penilaian membutuhkan waktu 3 menit untuk dikerjakan; jika skor lebih dari 10
dengan dua instrumen. Yang pertama adalah Modul Bunuh Diri dari Mini
tersebut memiliki enam pertanyaan, yang dijawab dengan YA atau TIDAK dan
memberikan informasi tentang setiap usaha bunuh diri, ide bunuh diri aktif dan
pasif, dan rencana tindakan bunuh diri. Instrumen kedua adalah Columbia-
Pernyataan Penutup
Bunuh diri merupakan komorbiditas yang relatif sering terjadi pada pasien
keluarga sebelumnya atau saat ini menjadi faktor risiko yang paling penting.
Sejauh mana obat anti epilepsi dapat menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri
belum diketahui, dan penilaian tersebut akan membutuhkan penelitian masa depan
yang baik secara metodologis. Meskipun demikian, harus diberikan perhatian saat
meresepkan obat anti epilepsi tertentu pada pasien epilepsi dengan riwayat