Anda di halaman 1dari 17

BUNUH DIRI DAN EPILEPSI: SUATU HUBUNGAN YANG KOMPLEKS

Pendahuluan

Bunuh diri, yang meliputi ide bunuh diri aktif dan pasif, usaha bunuh diri

dan tindakan bunuh diri, merupakan komorbiditas psikiatri yang relatif sering

terjadi pada pasien epilepsi (Barraclough, 1987; Nilsson et al., 1997; Rafnsson et

al., 2001; Christensen et al., 2007). Pasien epilepsi dengan ide bunuh diri yang

terjadi saat ini dan / atau masa lalu dan / atau riwayat upaya bunuh diri masih

kurang diakui dan tidak diobati. Suatu peringatan dari FDA di Amerika Serikat

pada tahun 2008, menyatakan bahwa paparan obat antiepilepsi (OAE)

berhubungan dengan peningkatan risiko bunuh diri, sejak itu mulai terdapat

beberapa minat pada permasalahan tersebut. Hubungan antara epilepsi dan bunuh

diri merupakan perihal yang kompleks dan bersifat multifaktorial. Tujuan artikel

ini adalah untuk menganalisis variabel psikiatri, neuropsikobiologi, farmakologis,

dan epilepsi yang berhubungan dengan peningkatan risiko bunuh diri pada pasien

epilepsi dan mengetahui strategi praktis yang dapat digunakan di klinik Neurologi

untuk mengidentifikasi pasien tersebut.

Data Epidemiologi

Tindakan bunuh diri: Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa insidensi

tindakan bunuh diri lebih tinggi pada pasien epilepsi daripada populasi umum.

Sebuah tinjauan dari 21 penelitian yang menganalisis penyebab kematian pada

pasien epilepsi menyatakan bahwa bunuh diri terjadi pada sekitar rata-rata 11,5%
dari semua kematian yang dilaporkan (Jones et al., 2003). Faktanya, keseluruhan

rasio mortalitas standar yang dihasilkan dari tindakan bunuh diri setelah diagnosis

epilepsi telah ditemukan berkisar 3,5-5,0 (Nilsson et al., 1997; Rafnsson et al.,

2001). Pada studi berbasis populasi Denmark, rasio mortalitas standar tindakan

bunuh diri pada pasien epilepsi adalah 2,0 (95% CI = 1,7-2,3) setelah

mengeksklusi pasien dengan komorbiditas psikiatri dan menyesuaikan berbagai

faktor (Christensen et al., 2007). Risiko tersebut meningkat 32 kali lipat dengan

adanya komorbiditas gangguan mood dan meningkat 12 kali lipat dengan adanya

gangguan kecemasan dan skizofrenia. Rasio mortalitas standar 20,0 ditemukan

ketika termasuk semua diagnosis psikiatri diketahui (95% CI = 12,7 - 31,2).

Upaya bunuh diri juga secara signifikan lebih sering terjadi pada pasien

dengan epilepsi. Pada studi cross-sectional, Jones et al. (2003) menemukan bahwa

prevalensi usaha bunuh diri terjadi sekitar 20,8% dari 139 pasien rawat jalan di

lima pusat epilepsi tingkat tersier di Amerika Serikat. Pada penelitian yang lebih

baru dengan 208 pasien epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan, upaya

bunuh diri dalam 4 minggu terakhir terjadi pada 4,6% pasien, sementara upaya

bunuh diri diidentifikasi pada 21,1% pasien (Hesdorffer et al., 2013).

Ide bunuh diri merupakan kejadian yang relatif sering terjadi pasien

epilepsi. Pada studi berbasis populasi di Kanada, riwayat hidup dengan ide bunuh

diri ditemukan terjadi pada 25% pasien epilepsi, dibandingkan dengan kelompok

kontrol yang hanya terjadi sebanyak 12,2% (Tellez-Zenteno et al., 2007). Pada

studi pasien dengan epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan, ide bunuh
diri pada bulan sebelumnya terjadi sekitar 18,5%, sementara riwayat hidup dengan

ide bunuh diri dilaporkan sebesar 46,1%.

Ketika identifikasi waktu saat pasien epilepsi memiliki ide bunuh diri

merupakan perihal yang esensial, hal tersebut lebih penting bahwa dokter

mengenali pasien dengan riwayat usaha bunuh diri karena merupakan prediktor

terkuat dari tindakan bunuh diri di masa depan. Sebagai contoh, Harris dan

Barraclough (1989) menemukan bahwa pasien epilepsi yang mencoba bunuh diri

memiliki peningkatan risiko 38.4% untuk melakukan bunuh diri dikemudian hari

dibandingkan dengan populasi umum. Demikian pula, pada studi berbasis

populasi di Swedia, usaha bunuh diri sebelumnya telah diidentifikasi terjadi pada

46,2% pasien dengan epilepsi yang akhirnya melakukan tindakan bunuh diri (Rafn

ssonetal., 2001). Peningkatan risiko untuk melakukan tindakan bunuh diri setelah

onset epilepsi dapat menunjukkan adanya rekurensi premorbiditas bunuh diri,

tetapi hal tersebut belum pernah dipelajari.

Bunuh Diri dan Epilepsi: Suatu Hubungan yang Kompleks

Sebagaimana dinyatakan di atas, bunuh diri pada pasien epilpesi

merupakan hal bersifat yang kompleks dan multifaktorial. Mekanisme patogenik

yang potensial meliputi: (i) variabel yang berhubungan dengan epilepsi; (ii)

riwayat psikiatri pribadi dan keluarga (terutama gangguan mood dan / atau bunuh

diri); (iii) mekanisme iatrogenik; dan (iv) mekanisme patogenik neurobiologi

umum yang terjadi pada bunuh diri (dan / atau gangguan psikiatri yang

menyebabkan bunuh diri) dan epilepsi. Adanya mekanisme patogenik umum


seperti itu dapat menjelaskan adanya hubungan dua arah antara bunuh diri dan

epilepsi, yang diidentifikasi pada studi berbasis populasi baru-baru ini, di mana

tidak hanya pasien epilepsi yang berisiko lebih tinggi mengalami bunuh diri,

tetapi pasien dengan riwayat upaya bunuh diri telah ditemukan memiliki risiko

lebih besar mengalami epilepsi (Hesdorffer et al., 2006, 2012).

Hubungan Dua Arah antara Epilepsi dan Bunuh Diri

Dua studi berbasis populasi telah menunjukkan adanya hubungan dua arah

tersebut. Studi pertama yang dilakukan di Islandia mengidentifikasi bahwa

terdapat risiko terjadinya epilepsi lima kali lipat lebih tinggi pada individu yang

pernah berusaha bunuh diri sebelum terjadi gangguan kejang (Hesdorffer et al.,

2006). Risiko ini tidak tergantung pada riwayat gangguan depresi mayor dan

penyalahgunaan alkohol. Studi kedua terdiri dari studi kohort longitudinal yang

dilakukan di Inggris menggunakan Database Penelitian Praktik Umum

(Hesdorffer et al., 2012). Penelitian tersebut membandingkan rasio tingkat

insidensi atau incidence rate ratio (IRR) dan rasio prevalensi bunuh diri selama 3

tahun sebelum dan setelah timbulnya epilepsi pada 3.773 subyek penelitian

dengan epilepsi (berusia 10 hingga 60 tahun) dan 14.025 kontrol yang disesuaikan

berdasarkan tahun kelahiran, jenis kelamin, praktik umum, dan tahun catatan

medis sebelum tanggal indeks onset eksim dan operasi akut. IRR dari bunuh diri

sebelum diagnosis epilepsi lebih tinggi selama 3 tahun sebelumnya (IRR, 3.1-4.5)

dan 1 tahun setelah diagnosis epilepsi (IRR, 5.3) dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Rasio prevalensi usaha bunuh diri meningkat sebelum (rasio prevalensi,
2.6 - 5.2) dan setelah onset epilepsi (rasio prevalensi 2.4-5.6). Berdasarkan

catatan, IRR psikosis, depresi, dan kecemasan juga meningkat secara signifikan

pada 3 tahun sebelumnya (IRR, 1.5 - 15.7) dan setelah diagnosis epilepsi (IRR,

2.2 - 10.9) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Demikian pula, tiga penelitian

berbasis populasi lainnya menemukan bahwa orang dengan riwayat depresi

memiliki risiko dua hingga tujuh kali lipat lebih tinggi mengalami epilepsi

(Hesdorffer et al., 2000, 2006; Adelow et al., 2012). Selain itu, terjadinya migrain

dengan aura (tetapi bukan migrain tanpa aura), depresi berat, dan bunuh diri

meningkatkan risiko kejang yang tidak terprovokasi lebih dari enam kali lipat

(Hesdorffer et al., 2007).

Mekanisme Patogenik Umum

Hubungan dua arah antara epilepsi dan bunuh diri (dan / atau terkait

dengan komorbiditas psikiatri) tidak menyiratkan kausalitas. Sebaliknya hal

tersebut mungkin dapat dijelaskan oleh adanya mekanisme patogenik

neurobiologi umum yang mendasari kondisi tersebut (untuk tinjauan rinci lihat

Kanner, 2006, 2012; Hecimovic et al., 2011). Kondisi tersebut termasuk gangguan

beberapa neurotransmitter, khususnya serotonin (5HT), norepinefrin (NE),

glutamat (GTE), dan asam gamma-amino-butirat (GABA) serta gangguan aksis

hipotalamus-hipofisis-adrenal (HHA) yang selanjutnya dapat menyebabkan

sekresi abnormal dari beberapa neurotransmitter.

Peran patogenik dari neurotransmitter tersebut pada gangguan mood dan

bunuh diri telah dikenal dengan baik dan ditinjau kembali pada Bab 11 buku ini.
Memang, monoamin 5HT dan NE telah diketahui memainkan peran patogenik

yang fundamental pada gangguan mood dan gangguan kecemasan serta bunuh

diri. Pada epilepsi, 5HT, NE, dan GABA ditemukan memiliki efek penghambatan

hipereksitabilitas kortikal dan menghambat terjadinya kejang pada berbagai model

hewan epilepsi yang dilakukan pada tikus, mencit, kelinci, kucing, dan monyet

rhesus (untuk ulasan lihat Kanner, 2006, 2012; Jobe et al., 2006). Pada manusia,

penurunan aktivitas serotonergik pada pasien dengan epilepsi lobus temporal dan

epilepsi mioklonik juvenil juga telah diidentifikasi dengan studi neuroimaging

fungsional menggunakan positron emission tomography yang menargetkan

pengikatan reseptor 5HT 1A. Contohnya, pada pasien epilepsi lobus temporal,

suatu penurunan pengikatan reseptor diidentifikasi terjadi pada hippokampus,

amigdala, girus cingulata, dan nukleus raphe (Toczek et al., 2003; Theodore et al.,

2006). Berdasarkan catatan, penurunan ikatan 5HT 1A telah ditemukan pada

struktur yang sama dari pasien dengan gangguan depresi mayor (Sargent et al.,

2000; Hasler et al., 2007).

Glutamat adalah neurotransmitter eksitasi dan GABA merupakan

neurotransmitter inhibisi, keduanya bersifat “sangat baik”, yang memainkan peran

penting pada epileptogenesis. Demikian juga, aktivitas glutamatergik yang

berlebihan dan penurunan GABAergic juga diketahui terjadi pada gangguan mood

dan bunuh diri. Sequeira dkk. melakukan analisis ekspresi gen pada 17 area otak

kortikal dan subkortikal dari 26 subjek penelitian laki-laki yang melakukan bunuh

diri dan 13 kontrol dengan dan tanpa depresi berat dan kontrol (Sequeira et al.,

2009). Sampel otak independen dari 34 subjek penelitian manusia dan penelitian
pada hewan digunakan untuk mengontrol potensi efek pembaur potensial

komorbiditas dengan alkohol. Para peneliti tersebut menemukan adanya kelainan

pada gen yang berhubungan dengan glutamatergik dan GABAergic dengan

jumlah perubahan bunuh diri yang paling tinggi teridentifikasi pada korteks

prefrontal dan hippokampus.

Peran patogenik aksis HHA yang berlebihan menghasilkan konsentrasi

kortisol serum yang tinggi telah dibuktikan untuk waktu yang lama pada

gangguan depresi mayor dan bunuh diri serta pada model hewan epilepsi dan pada

manusia dengan epilepsi lobus temporal (lihat Kanner, 2012 untuk tinjauan secara

rinci). Kumar et al. melaporkan bahwa pemberian kortikosteron mempercepat

arus elektrik amigdala pada tikus Wistar non-epilepsi betina berumur 10-13

minggu. Jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberi infus air, tikus

yang diobati dengan steroid memerlukan jumlah stimulasi yang lebih rendah

secara signifikan untuk mencapai keadaan sadar penuh (45,2 dibandingkan 86,5, p

<0,01). Demikian juga, peran patogenik hiperaktivitas aksis HPA terhadap bunuh

diri telah dinyatakan dalam penelitian yang dimulai pada tahun 1960-an, yang

melaporkan bahwa terdaapat kadar kortisol serum yang tinggi pada pasien yang

melakukan tindakan bunuh diri (Bunney dan Fawcett, 1965). Selain itu, pada

sebuah penelitian terhadap 36 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan

gangguan mood, non-supresi terhadap deksametason diidentifikasi terjadi dua kali

lebih sering (36% dibandingkan 11%) pada pasien dengan usaha bunuh diri

(Jokinen dan Nordström, 2009). Pada sebuah penelitian prospektif yang diikuti 76

pasien rawat inap yang depresi selama lebih dari 5 tahun, non-supresi untuk uji
supresi deksametason lebih sering terjadi pada pasien yang melakukan tindakan

bunuh diri (Coryell, 1990). Temuan tersebut juga telah dilaporkan oleh peneliti

lainnya (Norman et al., 1990).

Faktor Risiko Terkait Epilepsi

Gagasan bunuh diri post iktal telah diteliti pada satu studi pasien dengan

epilepsi fokal yang resistan terhadap pengobatan (Kanner et al., 2004). Di antara

100 pasien berturut-turut, 13% mengalami ide bunuh diri setelah lebih dari 50%

kejang, dengan durasi rata-rata 24 jam. Pasien tersebut secara signifikan lebih

mungkin memiliki riwayat bipolar atau gangguan depresi mayor dan juga rawat

inap psikiatri. Perilaku bunuh diri juga telah dilaporkan dalam konteks episode

psikotik post iktal. Pada studi pasien dengan epilepsi lobus temporal, Kanemoto et

al. melaporkan bahwa usaha bunuh diri lebih sering terjadi selama episode

psikotik post-ikal (7%) daripada selama psikosis interiktal akut (2%) atau

kebingungan post-iktal (0%) (Kanemoto et al.,1999).

Tipe Sindrom Epilepsi

Epilepsi lobus temporal telah diketahui berhubungan dengan peningkatan

risiko bunuh diri 6 hingga 25 kali lipat (Currie et al., 1971; Robertson, 1997;

Fukuchi et al., 2002); Namun, tidak semua penelitian mendukung temuan tersebut

(Nilsson et al., 1997, 2002).


Faktor Risiko Psikiatri

Setelah mengendalikan komorbiditas status sosial ekonomi dan

komorbiditas psikiatri, studi berbasis populasi di Denmark menemukan bahwa

pasien epilepsi memiliki risiko dua kali lipat untuk melakukan bunuh diri. (RR =

1,99; 95% CI: 1,71 - 2,32) dibandingkan dengan kelompok kontrol (Christensen et

al., 2007). Namun, risiko meningkat hampir 14 kali lipat ketika terdapat

komorbiditas gangguan psikiatri, khususnya, gangguan mood (32 kali lipat) dan

gangguan kecemasan (12 kali lipat). Berdasarkan catatan, penelitian tersebut

menemukan bahwa risiko bunuh diri terbesar terjadi selama 6 bulan pertama

setelah diagnosis epilepsi (RR 5,4; 95% CI: 4,4 - 8,3) dan bahkan lebih tinggi

ketika terdapat komorbiditas gangguan psikiatri (RR = 29,2 ; 95% CI: 16,4 - 51,9)

selama periode awal. Demikian pula, pada sebuah studi di Swedia melaporkan

bahwa komorbiditas gangguan psikiatri berhubungan dengan peningkatan risiko

bunuh diri sembilan kali lipat dan peningkatan 10 kali lipat untuk pasien yang

juga menggunakan obat antipsikotik (Nilsson et al., 2002). Pada studi yang

dilakukan oleh Jones et al. (2003), risiko tertinggi usaha bunuh diri berhubungan

dengan riwayat episode depresi mayor (OR, 5,9; 95% CI: 2,4-14,3) dan episode

mania (OR, 12,6; 95% CI: 1,3 - 125,9 ). Demikian juga, riwayat gangguan mood

atau kecemasan secara signifikan diidentifikasi berhubungan dengan risiko ide

bunuh diri.
Proses Iatrogenik

Terdapat hubungan yang kompleks antara kontrol kejang dan kejadian

(remisi dan de novo) gangguan psikiatri. Sementara pasien epilepsi dengan kejang

yang tidak terkontrol secara baik dapat meningkatkan risiko komorbiditas

psikiatri, remisi kejang epilepsi secara mendadak pada pasien yang sebelumnya

memiliki kontrol epilepsi yang buruk berhubungan dengan peningkatan risiko de

novo atau kekambuhan terhadap gangguan mood, kecemasan, dan psikotik.

Fenomena tersebut dikenal sebagai psikopatologi alternatif atau "normalisasi

paksa" (Wolf, 1991). Fenomena tersebut telah dinyatakan berhubungan dengan

penggunaan beberapa obat antiepilesi dan terapi bedah epilepsi intraktabel.

Apakah Obat Antiepilepsi Meningkatkan Risiko Bunuh Diri?

Efek samping psikiatri, termasuk gejala depresi dan kecemasan,

dilaporkan terjadi pada penggunaan beberapa obat antiepilepsi, terutama

barbiturat (fenobarbital dan primidon), topiramat, tiagabin, zonisamid, vigabatrin,

dan levetirasetam (Brent et al., 1987; Trimble et al., 2000; Mula et al., 2003; Mula

dan Sander, 2007). Insidensi fenomena bunuh diri terkait dengan obat antiepilepsi

yang spesifik belum dipelajari secara sistematis atau dengan baik. Bahkan, hanya

satu studi yang dapat ditemukan; yang menunjukkan bahwa 0,7% dari pasien yang

menggunakan levetirasetam melaporkan ide bunuh diri (Mula dan Sander, 2007).

Pada penelitian observasional lain dengan 224 pasien yang berturut-turut diobati

dengan levetirasetam, obat tersebut dihentikan pada empat (1,8%) pasien karena

terjadinya episode depresi berat, dengan ide bunuh diri. Keempat pasien tersebut
memiliki riwayat gangguan depresi sebelumnya (AM Kanner, MD, data yang

tidak dipublikasikan, Desember, 2006).

Pada semua studi tersebut, efek samping psikiatri diidentifikasi pada

subset dari pasien epilepsi yang memiliki kecenderungan untuk terjadinya

komorbiditas psikiatri. Hal tersebut termasuk pasien dengan riwayat gangguan

psikiatri di masa lalu dan / atau keluarga. Dengan demikian, terjadinya efek

samping psikiatri dapat mencerminkan baik perjalanan alami dari penyakit

psikiatri rekuren yang mendasari tanpa efek nyata dari obat antiepilepsi, atau

dapat menunjukkan bahwa obat antiepilepsi dapat menurunkan ambang untuk

memanifestasikan gejala psikiatri pada individu yang rentan akibat genetik atau

predisposisi historis terhadap terjadinya gangguan psikiatri. Selain itu, jika gejala

psikiatri mengikuti remisi kejang yang terkait dengan penambahan obat anti

epilepsi, gejala psikiatri bukanlah merupakan ekspresi dari toksisitas obat anti

epilepsi.

Pada bulan Januari 2008, FDA mengeluarkan peringatan mengenai

hubungan antara bunuh diri dan obat anti epilepsi, yang didasarkan pada hasil

meta-analisis yang termasuk data dari 199 penelitian klinis acak dari 11 obat anti

epilepsi: karbamazepin, felbamat, gabapentin, lamotrigin, levetiracetam,

okscarbazepin, pregabalin, tiagabin, topiramat, valproat, dan zonisamid

(Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan, Food and Drug

Administration, Pusat Evaluasi dan Penelitian Obat, Kantor Ilmu Translasional,

Kantor Biostatistik, 2008). Meta-analisis mencakup sebanyak total 43.892 pasien

yang dirawat karena epilepsi, gangguan pasikiatri, dan gangguan lainnya,


terutama nyeri. FDA menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan signifikan 1,80

kali lipat risiko bunuh diri dengan paparan obat anti epilepsi. Bunuh diri terjadi

pada 4,3 per 1.000 pasien yang diobati dengan obat antiepileps, dibandingkan

dengan 2,2 per 1.000 pasien pada kelompok kontrol. Dari semua bunuh diri yang

dilaporkan, ide bunuh diri menyumbang sekitar 67,6%, persiapan tindakan bunuh

diri sekitar 2,8%, usaha bunuh diri 26,8%, dan telah melakukakan tindakan bunuh

diri 2,8%. Obat antiepilepsi berhubungan dengan risiko yang lebih besar untuk

terjadinya bunuh diri dengan epilepsi (OR, 3,53; 95% CI: 1,28-12,12)

dibandingkan gangguan psikiatri (OR, 1,51; 95% CI: 0,95-2,45) atau gangguan

lain (OR, 1,87; 95% CI : 0,81–4,76). Namun, validitas hasil meta-analisis baru-

baru ini dipertanyakan karena masalah metodologis (Hesdorffer & Kanner, 2009).

Hal tersebut termasuk:

(1) Penilaian bunuh diri didasarkan pada laporan pasien secara "spontan" dan

tidak dikumpulkan secara prospektif sistematis.

(2) FDA mengaitkan peningkatan risiko bunuh diri dengan semua obat

antiepilepsi, terlepas dari fakta bahwa signifikansi statistik ditemukan hanya pada

2 (yaitu, topiramat dan lamotrigin) dari 11 obat antiepilepsi yang diteliti.

Selanjutnya, dimasukkannya tiga penelitian tambahan tentang lamotrigin

mengakibatkan hilangnya signifikansi statistik terhadap obat antiepilepsi

lamotigrin. Dua obat antiepilepsi lainnya, asam valproat dan karbamazepin,

sebenarnya menghasilkan "efek perlindungan kecil”. Keputusan FDA untuk

menyatakan risiko karena melibatkan semua obat anti epilepsi berasal dari

kekhawatiran bahwa memilih obat antiepilepsi spesifik mungkin hanya mengubah


praktik peresepan, daripada menekankan risiko bunuh diri. Jelas, alasannya tidak

berdasarkan secara ilmiah.

(3) Sebagian besar penelitian epilepsi (92%) termasuk pasien dengan terapi

tambahan (dibandingkan dengan 14% dari penelitian psikiatri dan 15% dari

penelitian medis lainnya). Tidak jelas apakah tingkat bunuh diri yang lebih tinggi

pada penelitian epilepsi disebabkan oleh interaksi obat, mengingat tingginya

proporsi penelitian epilepsi yang dirancang dengan politerapi, atau apakah

penelitian epilepsi secara potensial disebabkan oleh rendahnya risiko bunuh diri

yang berhubungan dengan karbamazepin dan valproat - kedua obat tersebut

bersifat protektif terhadap bunuh diri dan merupakan obat pembanding yang

paling umum dalam penelitian tersebut.

(4) Perilaku bunuh diri lebih banyak terjadi di geografi tertentu. Misalnya, rasio

odd dari bunuh diri adalah 1,38 (95% CI: 0,9-2,13) pada penelitian di Amerika

Utara dan 4,53 (95% CI: 1,86-13,18) pada penelitian di tempat lain. Perbedaan

semacam itu sangat menunjukkan kesalahan metodologis yang serius pada

pengumpulan data.

Selain itu, sejak adanya publikasi peringatan FDA, delapan studi kohort

retrospektif dan studi kasus-kontrol, menggunakan metodologi studi

observasional, meneliti tentang hubungan potensial antara paparan obat anti

epilepsi dan bunuh diri pada pasien epilepsi atau pasien yang di antaranya

diresepkan obat anti epilepsi untuk pengobatan gangguan psikiatri primer.

(Gibbons et al., 2009; Andersohn dkk., 2010; Arana dkk., 2010; Gibbons dkk.,

2010; Olesen dkk., 2010; Patorno dkk., 2010; Redden dkk., 2011, VanCott et al.,
2010). Tinjauan dari studi tersebut menunjukkan hasil yang kontradiktif, yang

dikaitkan dengan masalah metodologis yang serius. Hal tersebut termasuk

kegagalan untuk menyesuaikan perilaku bunuh diri di masa lalu (Andersohn et al.,

2010; Olesen et al., 2010), atau mengakui bunuh diri di masa lalu tetapi selama

periode waktu yang tidak ditentukan (VanCott et al., 2010) atau eksklusi subyek

penelitian dengan riwayat bunuh diri di masa lalu atau riwayat keluarga bunuh diri

sebelum mengikuti penelitian (Arana et al., 2010; Patorno et al., 2010). Karena

usaha bunuh diri cenderung terjadi secara berulang (antara 14% dan 17% setelah 1

tahun dan lebih dari 30% selama 10 tahun) (Owens et al., 2002), hal tersebut

cenderung mempengaruhi pilihan dokter terhadap obat antiepilepsi pada pasien

dengan riwayat usaha bunuh diri, di mana obat anti epilepsi yang bersifat

psikotropik positif cenderung diresepkan dan obat anti epilepsi dengan sifat

negatif dapat dihindari pada pasien tersebut. Jelas, kegagalan untuk menyesuaikan

perilaku bunuh diri sebelumnya akan menyebabkan bias dari temuan penelitian

semacam itu.

Kesimpulannya, hasil meta-analisis FDA harus dipertimbangkan dengan

sangat hati-hati. Bahkan, untuk menentukan apakah obat anti epilepsi spesifik

dapat meningkatkan atau menurunkan risiko bunuh diri, maka perlu dilakukan

penelitian di mana data bunuh diri dikumpulkan secara sistematis dan prospektif.

Menurut pendapat penulis, beberapa obat anti epilepsi (barbiturat, levetirasetam,

topiramat, zonisamid, dan vigabatrin) dapat meningkatkan risiko bunuh diri dalam

subset pada pasien epilepsi yang memiliki kecenderungan untuk mengalami

gangguan psikiatri.
Operasi Pada Epilepsi

Pembedahan pada epilepsi telah menjadi pengobatan yang

direkomendasikan untuk pasien dengan epilepsi fokal yang gagal mengalami

kontrol kejang setelah dua hingga tiga obat antiepilepsi diberikan pada dosis

optimal. Lobektomi temporal merupakan jenis prosedur bedah yang paling sering

dilakukan, terdiri dari 75% dari semua jenis operasi pada orang dewasa dan

menghasilkan 50% remisi kejang. Sementara remisi komorbiditas gangguan mood

dan gangguan kecemasan sebelum pembedahan dapat ditemukan pada sepertiga

hingga setengah dari pasien, terutama jika pasien menjadi bebas kejang, bunuh

diri telah menjadi komplikasi dari episode depresi paska-operasi yang berat,

terhitung sekitar 24% dari semua kematian, apakah atau tidak tercapai bebas

kejang (Pompili et al., 2006). Studi masa depan dengan jumlah subyek penelitian

yang lebih besar diperlukan untuk memperjelas data tersebut.

Bagaimana Cara Mengidentifikasi Pasien yang Berisiko?

Dokter spesialis saraf tidak diharapkan untuk mengelola gangguan

psikiatri yang terkait dengan peningkatan risiko bunuh diri. Namun, mereka harus

mengidentifikasi pasien epilepsi dengan risiko bunuh diri yang meningkat dengan

melakukan skrining untuk tiga risiko paling sering yang dikaitkan dengan bunuh

diri: (i) riwayat gangguan mood dan kecemasan saat ini atau sebelumnya; (ii)

riwayat psikiatri keluarga dengan gangguan mood, terutama perilaku bunuh diri;

dan (iii) usaha bunuh diri di masa lalu.


Penggunaan instrumen skrining laporan diri sendiri yang bertujuan untuk

mengidentifikasi episode depresi mayor dan gangguan kecemasan secara umum

telah tersedia. Instrumen tersebut termasuk instrumen enam item, berdasarkan

penilaian diri sendiri yang disebut Neurological Disorders Depression Inventory

for Epilepsy (NDDI-E), yang dikembangkan untuk mengidentifikasi episode

depresi mayor, khususnya untuk orang dengan epilepsi (Gilliam et al., 2006).

NDDI-E membutuhkan waktu kurang dari 3 menit untuk diselesaikan; skor> 15

menunjukkan episode depresi utama dengan spesifisitas 90% dan sensitivitas 80%

dan berfungsi sebagai rujukan ke psikiater untuk evaluasi lebih lanjut.

Tidak ada instrumen dengan peniliain terhadap diri sendiri untuk

mengidentifikasi gejala gangguan kecemasan umum yang telah divalidasi untuk

pasien dengan epilepsi. Namun, Kuesioner Kesehatan Pasien, Generalized

Anxiety Disorder-7 (GAD-7), dapat sangat membantu (Kroenke et al., 2007).

Instrumen dengan penilaian terhadap diri sendiri yang memiliki tujuh item

penilaian membutuhkan waktu 3 menit untuk dikerjakan; jika skor lebih dari 10

menunjukkan adanya gangguan kecemasan umum.

Skrining bunuh diri di klinik Neurologi rawat jalan dapat dilakukan

dengan dua instrumen. Yang pertama adalah Modul Bunuh Diri dari Mini

International Neuropsychiatric Interview (MINI) (Sheehan et al., 1998). Modul

tersebut memiliki enam pertanyaan, yang dijawab dengan YA atau TIDAK dan

memberikan informasi tentang setiap usaha bunuh diri, ide bunuh diri aktif dan

pasif, dan rencana tindakan bunuh diri. Instrumen kedua adalah Columbia-

Suicide-Severity Rating Scale (C-SSRS), yang merupakan mitra prospektif dari


Penilainn FDA-Columbia Classification Algorithm for Suicide Assessment (C-

CASA). Klasifikasi C-CASA dilakukan pada semua penelitian psikiatri dan

obesitas (Posner et al., 2011).

Pernyataan Penutup

Bunuh diri merupakan komorbiditas yang relatif sering terjadi pada pasien

epilepsi, dan memiliki hubungan yang kompleks dengan epilepsi. Mekanisme

patogeniknya bersifat multipel, dengan riwayat psikiatri dan riwayat psikiatri

keluarga sebelumnya atau saat ini menjadi faktor risiko yang paling penting.

Sejauh mana obat anti epilepsi dapat menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri

belum diketahui, dan penilaian tersebut akan membutuhkan penelitian masa depan

yang baik secara metodologis. Meskipun demikian, harus diberikan perhatian saat

meresepkan obat anti epilepsi tertentu pada pasien epilepsi dengan riwayat

psikiatri dan / atau riwayat keluarga saat ini atau sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai