Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

BLOK INTEGUMEN DAN MUSKULOSKELETAL


SKENARIO 2

KELOMPOK B-5

INDRA GUNAWAN G0017104


IRFAN BARI G0017106
JOSAFAT PONDANG G0017110
KAYYIS HAWARI G0017114
FELISHIA HANANTO G0017072
FINDA IKA WIDYA G0017074
FIRYAL EQWA YANAYIR G0017076
FITRIANA HERAWATI G0017078
FLORESYA G0017080
FRIDA NUR ROHMATIN G0017082
GALIH KENYA G0017084

TUTOR :
Dr. DIAH KURNIA MIRAWATI, dr.,Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2018
LAPORAN TUTORIAL
BLOK INTEGUMEN DAN MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 2

KELOMPOK B-5

INDRA GUNAWAN G0017104


IRFAN BARI G0017106
JOSAFAT PONDANG G0017110
KAYYIS HAWARI G0017114
FELISHIA HANANTO G0017072
FINDA IKA WIDYA G0017074
FIRYAL EQWA YANAYIR G0017076
FITRIANA HERAWATI G0017078
FLORESYA G0017080
FRIDA NUR ROHMATIN G0017082
GALIH KENYA G0017084

TUTOR :
BULAN KAKANITA HERMASARI, dr.,MMedEd.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 2
Ruam kemerahan di punggung, dada dan perut
Seorang pasien laki-laki usia 22 tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan ruam-ruam kemerahan di punggung, dada dan perut sejak 2 minggu
yang lalu. Kadang terasa gatal. Awalnya muncul 1 ruam kemerahan yang
paling besar di dada kiri, beberapa hari kemudian muncul ruam-ruam
kemerahan dengan ukuran lebih kecil di punggung, dada, dan perut.
Beberapa ruam bersisik. Pasien belum pernah melakukan hubungan seksual.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ujud kelainan kulit plakat eritem yang
berbatas tegas, multipel, yang satu di dada kiri berdiameter 4 cm yang
lainnya berdiameter 1-2 cm, berbentuk lonjong, beberapa dengan skuama
kolaret, distribusi simetris. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang, dokter
memberikan terapi berupa obat oles dan obat minum.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario
Dalam skenario ini, kami mengklarifikasi istilah-istilah berikut ini:
1. Skuama kolaret
Kondisi dimana kulit nampak bersisik dan terdapat bekas benjolan
yang meletus.
2. Plakat eritem
Lesi peninggian dan kemerahan

B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


Masalah yang terdapat pada skenario ini adalah:

3
1. Bagaimana mekanisme kemerahan dan gatak pada kulit?
2. Mengapa ruam bisa menyebar pada kulit?
3. Mengapa ada ruam yang bersisik dan tidak?
4. Bagaimana hubungan antara riwayat hubungan seksual pasien dengan
kasus?
5. A. Berdasarkan UKK pada kasus, apa saja penyakitnya?
B. Apa saja ciri-cirinya?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang kulit? Dan apa kemungkinan
diagnosisnya?
7. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana pityriasis rosea?
8. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana dermatitis seboroik?
9. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana psoriasis vulgaris?

C. Langkah III : Menganalisis Permasalahan dalam Bentuk Pertanyaan dan


Membuat Jawaban Sementara
1. Mekanisme Kemerahan dan Gatal pada kulit

Mekanisme gatal

Seperti yang kita ketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik
(mekanik) dapat memicu terjadi pruritus atau gatal. Stimulasi terhadap ujung saraf
bebas yang terletak di dekat junction dermoepidermal bertanggung jawab untuk
sensasi ini. Sinaps terjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia grisea),
bersinaps dengan neuron kedua yang menyebrang ke tengah, lalu menuju traktus
spinotalamikus konlateral hingga berakhir di thalamus. Dari thalamus, terdapat
neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke pusat persepsi di korteks
serebri. Saraf yang menghantarkan sensasi gatal merupakan saraf yang sama
seperti yang digunakan untuk menghantarkan rangsang nyeri. Ini merupakan
serabut saraf tipe C-tak termielinasi.

4
Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi gatal dan
nyeri ketika dilakukan blockade terhadap penghantaran saraf nyeri dalam
prosedur anastesi. 80% serabut saraf tipe C adalah nosireseptor polimodal
(merespons stimulus mekanik, panas, dan kimiawi); sedangkan 20% sisanya
merupakan nosireseptor mekano-intensif, yang tidak dirangsang oleh stimulus
mekanik namun oleh stimulus kimiawi. Dari 20 % serabut saraf ini, 15% tidak
merangsang gatal (disebut dengan histamine negative), sedangkan hanya 5 %
yang histamine positif dan merangsang gatal. Dengan demikian, histamine adalah
pruritogen yang paling banyak dipelajari saat ini.

Mekanisme Kemerahan

Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi. Proses


inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis besar
imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun bawaan/ nonspesifik dan sistem
imun didapat/spesifik. Nonspesifik akan menyerang semua antigen yang masuk,
sedangkan non spesifik merupakan pertahanan selanjutnya yang memilih-milih
antigen yang masuk. Ketiga antigen masuk kedalam tubuh, maka spesialis-
spesialis fagositik (makrofag dan neutrofil ) akan memfagosit antigen tersebut.

Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamine oleh sel


mast di daerah jaringan yang rusak. Histamin yang dilepaskan ini membuat
pembuluh darah bervasodilatasi untuk meningkatkan aliran darah pada daerah
yang terinfeksi. Selain itu, histamine juga membuat permeabilitas kapiler
meningkat sehingga protein plasma yang seharusnya tetap berada di dalam
pembuluh darah akan mudah keluar ke jaringan. Hal ini yang menyebabkan kulit
berwarna kemerahan

2. Mengapa Ruam bisa menyebar?

 Ruam dapat menyebar melalui kontak langsung, jika penyebab ruam


adalah bakteri dan parasit, ruam dapat menyebar melalui kontak langsung
dari ruam pertama
 Jika penyebabnya adalah virus, dapat menyebar dari dalam tubuh

5
3. Mengapa ada ruam yang bersisik dan tidak?
Sisik dalam UKK bisa dikatakan sebagai skuama. Hal ini disebabkan karena
terlepasnya stratum korneum. Skuama sendiri merupakan lesi sekunder yang
terjadi akibat perubahan pada efloresensi primer. Hal ini terjadi akibat adanya
garukan/gosokan.

4. Bagaimana hubungan anatara keluhan pasien dengan riwayat pasien yang


belum pernah berhubungan seksual?
Untuk menegakkan diagnosis kerja apabila pada diagnosis banding terdapat
penyakit terkait hubungan seksual yang menunjukkan manifestasi klinis yang
sama, misal pada kasus tersebut terdapat penyakit genitalia yang menunjukkan
ujud kelainan kulit ataupun manifestasi klinis lainnya yang sama dengan beberapa
penyakit lainnya yang bukan terkai genitalia.

5. Berdasarkan UKK pada kasus, apa saja penyakitnya?

- Tinea Korporis
- Psoriasis Vulgaris
- Parapsoriasis
- Pitriasis Rorea
- Dermatitis Seboroik
- Eritrasma
- Eritroderma
- Dermatitis Numularis
b. Bagaimana ciri-cirinya?
- Tinea korporis
a. lesi berbentuk bulat atau lonjong
b. berbatas tegas
c. biasanya terdapat skuama dan eritema
d. kadang-kadang terdapat vesikel atau papul di tepi
e. Bagian tengahnya terlihat seperti sudah sembuh sementara bagian
pinggirnya aktif , sering disebut sentral healing yang memberikan
gambaran seperti cincin
6
f. jarang menyebar luas pada tubuh
- Psoriasis vulgaris
a. gatal ringan
b. predileksi : kulit kepala, perbatasan kulit kepala-wajah, ekstremitas
ekstensor (siku dan lutut), lumbosacral
c. plak erimatosa dengan skuama di atasnya, berbatas tegas
d. skuama berlapis , kasar, putih seperti mika, dan transparan
e. besar lesi bervariasi dan lenticular hingga plakat
f. fenomena tetesan lilin : skuama berubah menjadi warna putih
setelah digores dengan menggunakan tepi kaca objek (seperti lilin
digores)
g. fenomena Auspitz : titik-titik serum/pendarahan setelah pengerokan
perlahan dengan tepi kaca objek gelas
h. Fenomena kobner : kelainan yang sama dengan psoriasis, muncul
di tempat dengan riwayat trauma sebelumnya
i. pitting nail
- Parapsoriasis
a. Parapsoriasis Gutata : makulopapul , skuama berwarna keabu-
abuan, tidak merespon pada terapi antipsoriatik, lesi muncul pada
badan, terjadi pada umum berapa saja dan jenis kelamin apa saja.
b. Parapsoriasis Likenoid : erite, skuama, papul likenoid, terutama
pada badan dan cenderung bergabung membentuk retiform
appearance, erupsi lebih menyeluruh bisa sampai leher dan lengan,
tidak terdapat pruritus.
c. Parapsoriasis en plaque : lesinya lebih besar disbanding
parapsoriasis yang lain, lesinya rata dan mungkin berhubungan
dengan poikiloderma di tempat lain, plak mencakup warna mereah
kekuningan hingga kecoklatan dengan skuama yang berbatas tegas,
terjadi terutama pada badan, gluteus , dan paha.
- Pitriasis Rosea
a. gatal ringan
b. ruam eritem dan skuama kolaret

7
c. Herald Patch : lesi pertama di badan, oval, soliter, diameter sekitar
3 cm, disertai eritema dengan skuama halus di tepi
d. lesi berikutnya muncul dalam 4-10 hari, timbul sejajar kosta
(seperti pohon cemara terbalik)
- Dermatitis Seboroik
a. Eritema dan skuama berminyak, agak kekuningan, batas tidak jelas
(difus)
b. bentuk ringan : skuama halus-kasar, bercak eritema di kepala,
sering pula disebut pitriasis sika (ketombe atau dandruff)
c. Pitriasis steatoides : bentuk skuama berminyak
d. rambut mudah rontok
e. bentuk berat : bercak berskuama, berminyak, eksudasi, dan krusta
tebal
f. sangat berat : krusta kotor menutupi seluruh kepala, bau tidak
sedap. Pada bayi disebut cradle cap
g. daerah predileksi yang lain : supra-orbita, liang telinga luar, lipatan
nasobial, sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae
h. eritroderma, Leiner disease
- Eritrasma
a. kulit kering yang berwarna merah muda sampai merah
b. ireguler, berbatas tegas
c. skuama halus
d. sering terjadi di daerah lipatan-lipatan tubuh
e. timbul rasa gatal yang bersifat ringan
- Eritroderma
a. merahnya sekujur tubuh
b. bisa terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan
c. disertai skuama
- Dermatitis numularis
a. munculnya bercak kemerahan pada kulit banyak dan berkelompok
b. skuama tidak kolaret
c. lebih lonjong

8
d. tidak sentral healing
e. predileksi di tungkai
f. gatal dan terasa terbakar dari ringan hingga berat
g. terkadang dapat mengeluarkan cairan yang dapat berubah menjadi
keras dan bersisik

6. Apa saja pemeriksaan penunjang kulit? Dan apa kemungkinan


diagnosisnya?
Pemeriksaan penunjang diagnosis dalam bidang dermatologi antara lain :
Pemeriksaan KOH 10-20% untuk mengetahui spora, hifa atau pseudohifa
Sampel : kerokan kulit, rambut (dicabut), kerokan kuku atau apusan dari
discar pada dinding vagina
Cara pengambilan sampel :
Sampel diambil dari kerokan skuama diambil dari bagian tepi lesi
yang lebih eritem dan berskuama pada kasus dermatofitosis, atau
psudomembran (membran berarna putih) pada kasus kandidiasis
kutis. Selanjutnya hasil kerokan dioleskan/langsung diletakkan di
atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup.
Discar pada dinding lateral vagina diusap dengan lidi kapas steril,
selanjutnya dioleskan pada gelas obyek.
Cara pemeriksaan :
Teteskan KOH 20% 1 tetes, pada bagian tepi gelas penutup dan biarkan
cairan KOH menyebar ke seluruh permukaan sampel yang ditutup.
Tunggu 5-10 menit (kulit), 15-30 menit (rambut), 1-2 hari (kuku)
Lihat di bawah mikroskop, apakah tampak hifa, atau spora dengan
psedohifa
Pemeriksaan BTA dengan pengecatan Ziehl-Nelson
Sampel: kerokan kulit dengan irisan, diambil dari daerah cuping telinga
kanan dan kiri, dan dari lesi kulit yang mengalami anestesi.
Cara pengambilan sampel :
Bersihkan dengan kapas alkohol

9
Pencet dengan ibu jari dan jari telunjuk sampai pucat, agar tidak keluar
darah,
dilakukan irisan/sayat dengan skalpel sepanjang 2-3 mm, dalam 1-2mm,
dan buat kerokan memutar 3600 hingga terbawa cairan dan sedikit
jaringan.
oleskan ke gelas obyek
pengecatan dengan larutan Ziehl Neelsen
BTA terlihat sebagai batang, merah (solid/utuh, fragmen/terpecah menjadi
beberapa bagian, granuler/ butiran)
Pemeriksaan dengan pengecatan Gram untuk mengetahui bakteri atau
jamur
Sampel: cairan eksudat, vesikel, bula atau pustul, ulkus, uretra, vagina
Cara :
jika vesikel/bula atau pustul belum pecah, dilakukan insisi sedikit pada
atap lesi, selanjutnya cairan diambil dengan scalpel secara halus/pelan
ulkus: ambil dengan lidi kapas, oleskan ke gelas obyek
uretra: diplirit/dengan lidi kapas, oleskan ke gelas obyek
vagina/cervix: ambil discar/sekret dengan lidi kapas, oleskan ke gelas
obyek
lakukan pengecatan dengan larutan Gram A, B, C dan D
Hasil pemeriksaan :
staphylococcus : bulat, biru ungu, bergerombol seperti anggur
stretococcus : bulat, biru ungu, berderet
gonococcus : biji kopi berpasangan, merah (gram negatif)
Pemeriksaan Tzank (dengan pengecatan Giemsa)
Sampel: cairan vesikel atau bula
Cara :
pilih lesi yang masih baru/ intact,
dilakukan insisi kecil tepi/dinding lesi, selanjutnya
dilakukan kerokan pada dasar vesikel atau bula.
oleskan ke gelas obyek
fiksasi dengan alkohol 70% sampai kering

10
cat dengan Giemsa selama 20 menit
cuci dengan air mengalir, keringkan, periksa dengan mikroskop
Apabila hasil pemeriksaan ditemukan sel akantolisis menunjukkan lesi
pemfigus, dan pada infeksi virus akan ditemukan sel berinti banyak dan
besar (multinucleated giant cell)
Pemeriksaan dengan Lampu Wood, yaitu sinar dengan panjang gelombang
320-400 nm (365 nm) (berwarna ungu).
Pemeriksaan ini untuk mengetahui fluoresensi dari berbagai kuman
patogen, seperti pada infeksi: Microsporum sp. (kuning orange), P. ovale
(kuning kehijauan), eritrasma: C. minutissimun (kuning kemerahan).
Pemeriksaan ini juga untuk mengetahui kedalaman pigmentasi pada
melasma, apabila pada penyinaran dengan lampu Woods batas pigmentasi
terlihat lebih jelas daripada pemeriksaan langsung, memperlihatkan
pigmentasi epidermal, dan sebaliknya pada pigmentasi dermal, hasil
pemeriksaan lampu Wood akan tampak mengabur.
Pemeriksaan darah, urin, atau feces rutin, kimia darah (fungsi hati, fungsi
ginjal, glukosa darah), serologi (infeksi herpes simpleks, sifilis, HIV),
biologi molekuler (PCR (polymerazed chain reaction) DNA tuberkulosis
kulit).
Tes tempel (Patch test) untuk mengetahui atau membuktikan alergen
kontak pada pasien dermatitis kontak alergi, dermatitis fotokontak alergi,
atau alergen udara dan makanan pada pasien dermatitis atopik. Prinsip :
untuk mengetahui alergen yang terlibat pada reaksi hipersensitivitas tipe
IV (reaksi alergi tipe lambat).
Syarat :
bebas kortikosteroid sistemik maksimal 20mg/hari selama 1 minggu,
kondisi kulit yang akan ditempeli bebas dermatitis
bebas rambut tebal, kosmetik dan salep
Area tes : punggung, lengan atas bagian lateral
Biopsi kulit untuk mengetahui jenis atau proses patologi penyakit.

11
7. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana pityriasis rosea?
Etiologi dan patofisiologi:
Banyak hipotesis telah dipostulasikan tentang penyebab pasti PR,
memberatkan kedua agen infektif seperti virus, bakteri, spirochetes, dan etiologi
noninfeksi seperti atopi dan autoimunitas.
Ada berbagai faktor yang telah menunjuk ke arah etiologi infeksi untuk
kondisi ini seperti variasi musiman, adanya prodrome, pengelompokan keluarga
dalam beberapa kasus dan adanya patch herald (yang mungkin berkorelasi dengan
titik inokulasi organisme) diikuti oleh sekunder letusan erupsi dan jarang. Namun,
meskipun upaya berulang, tidak ada bukti yang pasti untuk agen infeksi tunggal
untuk gangguan ini. Pencarian untuk agen ini menyebabkan evaluasi sejumlah
organisme dalam gangguan ini seperti cytomegalovirus (CMV), virus Epstein-
Barr, parvovirus B19, picornavirus, influenza dan virus parainfluenza, Legionella
spp., Mycoplasma spp., Dan Chlamydia spp. infeksi; Namun, ada bukti bahwa PR
tidak terkait dengan mereka.
Ada beberapa laporan yang mengevaluasi peran streptokokus dalam PR
berdasarkan premis bahwa PR biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan
atas. Sharma dkk . menemukan peningkatan titer ASLO pada 37,7% pasien
mereka dan efek terapeutik positif eritromisin dalam pengobatan PR, sehingga
menunjukkan keterlibatan streptokokus dalam PR. Namun, Parija dan Thappa
dalam studi 20 kasus dan kontrol menemukan bahwa Protein C-reaktif negatif
pada semua pasien, titer ASLO dibesarkan hanya pada dua pasien, streptococcus
hemolyticus dapat diisolasi pada swab tenggorokan hanya pada dua pasien, dan
hasilnya tidak signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan kontrol,
sehingga menyanggah peran streptococcus. dalam PR.
Baru-baru ini, ada semakin banyak bukti yang menunjukkan peran virus
herpes manusia (HHV) dalam PR. Pada tahun 1997, Drago dkk . pertama
menyarankan peran HHV 7 dalam etiologi PR dengan mendeteksi HHV 7 dalam
sel mononuklear darah perifer dan plasma pasien dengan PR dan tidak dalam
kontrol, sehingga menunjukkan hubungan sebab-akibat yang mungkin. Namun
penelitian selanjutnya tidak menemukan hubungan antara HHV 7 dan PR.

12
Yasukawa dkk . menunjukkan hubungan kausal dari HHV 6 dan PR. Watanabe
dkk . melakukan polymerase chain reaction (PCR) bersarang untuk mendeteksi
DNA HHV 6, HHV 7, dan CMV pada 14 pasien PR dan menemukan bahwa HHV
7 DNA hadir dalam kulit lesi (93%), kulit nonlesional (86%), saliva (100% ), sel
darah mononuklear perifer (83%), dan serum (100%) sampel, sedangkan HHV 6
DNA terdeteksi pada kulit lesi (86%), kulit nonlesional (79%), saliva (80%), sel
mononuklear darah perifer (83%), dan serum (88%) sampel. Sebaliknya, CMV
DNA tidak terdeteksi pada jaringan-jaringan ini. Sampel kontrol dari 12
sukarelawan sehat dan 10 pasien psoriasis menunjukkan kepekaan langka baik
untuk HHV 7 atau HHV 6 DNA di kulit atau serum. Hasilnya menunjukkan
bahwa HHV 6 dan 7 keduanya bertanggung jawab untuk infeksi aktif sistemik
dalam kasus PR, dan CMV tidak memiliki peran. Penulis juga mendalilkan bahwa
sejak virus terdeteksi dalam air liur, pasien mengalami reaktivasi daripada infeksi
primer karena kelenjar saliva bertindak sebagai reservoir hanya pada individu
yang terinfeksi sebelumnya. Selain itu, tingkat rendah dari virus ini pada kulit
lesional menyebabkan hipotesis bahwa virus-virus ini tidak menginfeksi sel-sel
kulit secara langsung, dan PR sebenarnya merupakan hasil dari respon reaktif
terhadap replikasi virus sistemik. Penulis juga mendalilkan bahwa studi negatif
sebelumnya mungkin karena mereka tidak menggunakan PCR bersarang dan /
atau DNA diekstraksi dari jaringan parafin tertanam-formalin-tetap. Studi lain
oleh Drago et al . menemukan partikel mirip virus herpes pada kulit PR lesi,
sehingga lebih jauh mendukung peran HHV 6 dan 7 dalam patogenesis PR.
Broccolo et al . lebih lanjut memberikan bukti tambahan dengan mengembangkan
PCR real-time kuantitatif terkalibrasi dan mendeteksi HHV 6 dan 7 sel bebas
dalam 16 dan 39% pasien, dengan hasil negatif pada kontrol yang sehat dan
pasien dengan penyakit inflamasi lainnya. Mereka juga menyarankan seperti studi
sebelumnya bahwa penyakit ini adalah hasil dari reaktivasi daripada infeksi
primer. Studi-studi ini juga menunjukkan fakta bahwa reaktivasi HHV 7 dapat
menyebabkan reaktivasi HHV 6 namun sebaliknya tidak benar. Peran HHV 8 juga
telah diteliti dengan hasil positif dan hasil negatif.

13
Mengingat studi di atas, HHV 6 dan 7 adalah agen etiologi yang paling
mungkin untuk PR dan studi lebih lanjut harus ditargetkan untuk menetapkan
peran pasti mereka.
Pemeriksaan penunjang dan tatalaksana:
Kebanyakan pasien tidak memerlukan pengobatan karena sifatnya yang
asimptomatik. Penatalaksanaan pada pasien yang datang berobat pertama kali:
a. Tenangkan pasien bahwa ia tidak memiliki penyakit sistemik dalam tubuhnya,
penyakit ini tidak menular, dan biasanya tidak akan berulang kembali.
b. Colloidal bath 1 bungkus bubur gandum Aveeno dituangkan ke dalam bak
mandi atau ember besar yang berisi 6-8 inci air yang hangatnya suam-suam kuku.
Pasien diminta untuk mandi selama 10-15 menit setiap harinya. Hindari sabun dan
air panas sebisanya untuk mengurangi rasa gatal yang ada.
c. Lotion kocok putih non-alkohol atau Calamine lotion digunakan 2 kali sehari
pada lesi kulit.
d. Antihistamin jika ada keluhan gatal.
e. Terapi UVB dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan suberitem,
sebanyak 1-2 kali seminggu. Gejala klinis yang berat akan berkurang namun tidak
akan berpengaruh terhadap rasa gatal dan lamanya sakit.
Kunjungan berikutnya:
a. Jika kulitnya menjadi terlalu kering karena Colloidal bath dari lotionnya,
hentikan pemakaian lotion atau diganti dengan krim atau salep hidrokortison 1%,
gunakan 2 kali sehari pada daerah yang kering.
b. Teruskan fototerapi.
Jika disertai dengan gatal hebat:
a. Selain obat-obat di atas diberikan pula prednison 5 mg. Diberikan 4 kali 1 tablet
selama 3 hari, kemudian 3 kali 1 tablet selama 4 hari, kemudian 2 tablet setiap
pagi selama 1-2 minggu, sampai gatalnya menghilang.
b. Eritromisin 250 mg, diberikan 2 kali sehari selama 2 minggu, telah dicoba
oleh beberapa penulis.
Dari suatu penelitian diketahui eritromisin dosis 250 mg yang diberikan 4 kali
sehari pada orang dewasa dan dosis 25-40 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis untuk
anak-anak, dalam waktu 2 minggu semua gejala klinis yang nampak sebelumnya
telah hilang.
Dapson yang diberikan per oral bekerja efektif pada 1 pasien dengan pitiriasis
vesicular berat, dimulai dengan dosis 100 mg sebanyak 2 kali sehari. Steroid
sistemik seperti triamcinolone 20-40 mg i.m. atau prednison 15-40 mg p.o.
mungkin dapat mengurangi penyebaran ruam yang meluas dengan cepat atau
pada kasus yang berat.
Karena HHV-6 dan HHV-7 diduga berperan dalam timbulnya pitiriasis
rosea, pengobatan dengan antivirus herpes mungkin memberikan manfaat. Akan

14
tetapi asiklovir yang merupakan drug of choice untuk virus herpes simpleks tidak
efektif terhadap HHV-6 dan HHV-7. Gancyclovirlah yang efektif HHV-6 dan
HHV-7, namun harganya mahal dan efek sampingnya juga banyak. Oleh sebab itu
untuk saat ini, pengobatan dengan antivirus herpes yang ada tidak dibenarkan.
Sejauh ini penyembuhan dengan agen antiviral tidak memberikan dampak apa-
apa.
Asam salisilat 1% dalam parafin putih lunak atau obat salep emulsi dapat
mengurangi pembentukan skuama. Untuk kulit yang kering dan iritasi, emollient
dapat disarankan kepada pasien.
Fototerapi dapat bermanfaat pada kasus-kasus yang lama penyembuhannya. 5
Fototerapi UVB dapat mempercepat hilangnya erupsi kulit yang ada.10 Satu-
satunya efek samping dari terapi ini ialah kulit yang terasa sedikit perih dan
kekeringan pada kulit. Namun risiko terjadinya hiperpigmentasi postinfeksi dapat
meningkat dengan terapi ini.
Edukasi pasien:
-Pasien biasanya khawatir akan berapa lama bercak di kulitnya akan hilang dan
apakah penyakitnya bersifat menular. Mereka harus ditenangkan hatinya dengan
meyakinkan bahwa pitiriasis rosea akan sembuh dengan sendirinya dan tidak
bersifat menular.
-Pasien sebaiknya diminta untuk datang kembali apabila ruam masih tetap ada
setelah 3 bulan lebih dari re-evaluasi dan akan bijaksana jika dipikirkan adanya
diagnosa lain.

8. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata


laksana dermatitis seboroik?
Etiologi dan patofisiologi:
Meskipun banyak teori yang ada, penyebab dermatitis seboroik masih
belum diketahui secara pasti. Namun ada tiga faktor yang berkaitan dengan
munculnya dermatitis seboroik, yaitu aktivitas kelenjar sebaseus, peran
mikroorganisme, dan kerentanan individu
a. Aktivitas Kelenjar Sebaseus (Seborrhea)
Kelenjar sebaseus terbentuk pada minggu ke-13 sampai minggu ke-16 dari
kehamilan. Kelenjar sebaseus menempel pada folikel rambut, mensekresikan
sebum ke kanal folikel dan ke permukaan kulit. Kelenjar sebaseus berhubungan
dengan folikel rambut di seluruh tubuh, hanya pada telapak tangan dan telapak
kaki yang tidak memiliki folikel rambut dimana kelenjar sebaseus sama sekali
tidak ada.
Kelenjar sebaseus yang terbesar dan paling padat keberadaannya ada di
wajah dan kult kepala.Rambut yang berhubungan dengan kelenjar sebaseus yang
ukurannya besar, sering memiliki ukuran yang kecil. Terkadang pada daerah
tersebut, tidak disebut dengan folikel rambut, tapi disebut dengan folikel sebaseus.
Kelenjar sebaseus mensekresikan lipid dengan cara mengalami proses disintegrasi

15
sel, sebuah proses yang dikenal dengan holokrin. Aktivitas metabolik sel dalam
kelenjar sebaseus bergantung status differensiasi.
Sel bagian luar terdiri atas sel membran basal, ukuran kecil, berinti dan
tidak mengandung lipid. Lapisan ini mengandung sel yang terus membelah
mengisi kelenjar sebagai sel yang dilepaskan pada proses ekskresi lipid. Selama
sel ini bergerak ke bagian tengah kelenjar, sel mulai menghasilkan lipid dan
membesar mengandung banyak lipid sehingga inti dan struktur sel lain hancur. Sel
ini mendekati duktus sebaseus, sehingga sel akan mengalami desintegrasi dan
melepaskan isi.
Sebum adalah cairan kuning yang terdiri dari trigliserid, asam lemak, wax
ester, sterol ester, kolesterol dan squalene. Saat disekresi, komposisi sebum terdiri
dari trigliserid dan ester yang dipecah menjadi digliserid, monogliserid dan asam
lemak bebas oleh mikroba komensal kulit dan enzim lipase. Sebum manusia
mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh, dengan kandungan asam lemak
tidak jenuh yang lebih tinggi. Belum diketahui secara pasti apa fungsi sebum,
namun diduga sebum mengurangi kehilangan air dari permukaan kulit sehingga
kulit tetap halus dan lembut.
Sebum juga punya efek ringan bakterisidal dan fungistatik. Hormon
androgen, khususnya dihidrotestoteron menstimulai aktivitas kelenjar sebaseus.
Kelenjar sebaseus manusia mengandung 5α- reductase, 3α- dan 17α-
hydroxysteroid dehydrogenase,yang merubah androgen yang lebih lemah menjadi
dihydrotestosteron,yang akan mengikatkan dirinya pada reseptor spesifik di
kelenjar sebaseus kemudian meningkatkan sekresinya.
Kelenjar sebaseus mempunyai reseptor dehidroepiandrosteron sulfas
(DHEAS) yang juga berperan dalam aktivitas kelenjar sebaseus. Level DHEAS
tinggi pada bayi baru lahir, rendah pada anak usia 2-4 tahun dan mulai tinggi pada
saat ekskresi sebum mulai meningkat.
Seborrhea merupakan faktor predisposisi dermatitis seboroik,namun tidak
selalu didapatkan peningkatan produksi sebum pada semua pasien. Dermatitits
seboroik lebih sering terjadi pada kulit dengan kelenjar sebaseus aktif dan
berhubungan dengan produksi sebum.Insiden dermatitis seboroik juga tinggi pada
bayi baru lahir karena kelenjar sebaseusyang aktif yang dipengaruhi oleh hormon
androgen maternal, dan jumlah sebum menurun sampai pubertas.

b. Efek Mikroba
Unna dan Sabouraud, adalah yang pertama menggambarkan penyakit
dermatitis seboroik melibatkan bakteri, jamur, atau keduanya.Hipotesis ini kurang
didukung, meskipun bakteri dan jamur dapat diisolasi dalam jumlah besar dari
situs kulit yang terkena.
Malassezia merupakan jamur yang bersifat lipofilik, dan jarang ditemukan
pada manusia.Peranan malassezia sebagai faktor etiologi dermatitis seboroik
masih diperdebatkan.Dermatitis seboroik hanya terjadi pada daerah yang banyak
lipid sebaseusnya, lipid sebaseus merupakan sumber makanan
malassezia.Malassezia bersifat komensalpada bagian tubuh yang banyak
lipid.Lipid sebaseus tidak dapat berdiri sendiri karena mereka saling berkaitan
dalam menyebabkan dermatitis seboroik (Schwartz, 2007;Fitzpatrick, 2010).

c. Kerentanan Individu
16
Kerentanan atau sensitivitas individu berhubungan dengan respon pejamu
abnormal dan tidak berhubungan dengan Malassezia.Kerentanan pada pasien
dermatitis seboroik disebabkan 12 berbedanya kemampuan sawar kulit untuk
mrncegah asamlemak untuk penetrasi.Asam oleat yang merupakan komponen
utama dari asam lemak sebum manusia dapat menstimulasi deskuamasi mirip
dandruff. Penetrasi bahan dari sekresikelenjarsebaseus pada stratum korneum
akan menurunkan fungsi dari sawar kulit, dan akan menyebabkan inflamasi serta
squama pada kulit kepala. Hasil metabolit ini dapat menembus stratum korneum
karena berat molekulnya yang cukup rendah(<1-2kDa) dan larut dalam lemak.

Pemeriksaan penunjang, dan tata laksana:


Terapi dermatitis seboroik bertujuan menghilangkan sisik dan krusta,
penghambatan kolonisasi jamur, pengendalian infeksi sekunder, dan pengurangan
eritema serta gatal. Pasien dewasa harus diberitahu tentang sifat kronis penyakit
dan memahami bahwa terapi bekerja dengan caramengendalikan penyakit dan
bukan dengan mengobati. Prognosis dermatitis seboroik infantil sangat baik
karena kondisinya yang jinak dan self-limited.
1. Bayi Pengobatan terdiri dari langkah-langkah berikut: penghapusan
krusta dengan 3 sampai 5 % asam salisilat dalam minyak zaitun atau air,
kompres minyak zaitun hangat, pemakaian glukokortikosteroid-potensi
rendah (misalnya 1 % hidrokortison) dalam bentuk krim atau lotion selama
beberapa hari, antijamur topikal seperti imidazoles dalam sampo bayi yang
lembut.
2. Dewasa Karena penyakit dermatitis seboroikbersifat kronis, dianjurkan
menggunakan terapi yang ringan dan hati-hati.Obat anti-inflamasi dan jika
diperlukan agen antimikroba atau antijamur harus digunakan.
a. Kulit Kepala Sering keramas dengan shampoo yang mengandung 1-2,5%
selenium sulfida, imidazoles (misalnya 2% ketokonazole), pyrithione seng,
benzoil peroksida, asam salisilat, atau deterjen dianjurkan. Krusta (Remah)
atau sisik dapat hilang oleh pemakaian semalam glukokortikosteroid atau
asam salisilat dalam air atau bila perlu dipakai dengan caradressing
(dibungkus). Tincture, agen beralkohol, tonik rambut, dan produk sejenis
biasanya memperburuk peradangan dan harus dihindari
b. Wajah Dan Leher Pasien harus menghindari kontak dengan agen
berminyak dan mengurangi atau menghilangkan penggunaan
sabun.Glukokortikosteroid potensi rendah (1% hidrokortison biasanya
cukup) sangat membantu di awal perjalanan penyakit.Pemakaian jangka
panjang yang tidak terkontrol akan menyebabkan efek samping seperti
dermatitis steroid, fenomena reboundsteroid, steroid rosacea, dan perioral
dermatitis.
Di bawah ini adalah tabel yang berisi berbagai pilihan pengobatan yang
dapat digunakan pada kasus dermatitis seboroik. Pilihan pengobatan utama

17
dengan bukti kesahihan terbaik (A) adalah golongan obat antijamur, diikuti
dengan kortikosteroid dan beberapa alternatif pilihan obat lainnya.
PENUNJANG:
-Laboratorium Serologi Antibodi
-Histopatologi
Dermatitis seboroik akut dan sub-akut, didapatkan sebaran infiltrat limfosit
dan histiosit perivaskuler superfisial, spongiosis ringan sampai sedang,
hiperplasia epidermis psoriasiform ringan, folikuler plugging dengan
orthokeratosis dan parakeratosis, skuama yang 1,5,16 mengandung neutrofil
pada ujung ostia folikuler. Dermatitis seboroik kronis ditandai dengan
dilatasi kapiler dan vena pada pleksus superfisial ditambah 1 dengan
gambaran seperti pada DS akut/sub-akut. Lesi DS kronis, secara klinis dan
histopatologi berbentuk psoriasiform dan sering sulit dibedakan dengan
psoriasis. Lesi DS kadang mirip dengan bentuk lesi psoriasis yang tidak
khas, namun lesi psoriasis ini akan bertahan dalam beberapa tahun yang
pada akhirnya akan membentuk lesi psoriasis yang khas. Tanda diagnostik
yang paling penting dari DS adalah shoulder 1,14 parakeratosis.
Acrosyringia dan acroinfundibulum 1 bisa diisi oleh corneocyte-casts.
Kasus DS ringan pada stratum korneum didapatkan parakeratosis fokal
dengan predileksi pada ostia folikuler, gambaran ini dikenal sebagai
shoulder parakeratosis, eksositosis fokal dari limfosit. Pada dermis tampak
sebaran infiltrat sel-sel mononuklear. Pada pasien HIV, epidermis
mengandung keratinosit yang mengalami apoptosis dan infiltrat di 5,12,1
bagian atas dermis biasanya terdiri dari sel plasma.

9. Bagaimana etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata


laksana psoriasis vulgaris?
Etiologi dan patofisiologi:
Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat
gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit
yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks
diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal,
sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis
sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di
dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam
jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis
dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai
dengan adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi kulit dengan
18
peningkatan kadar IFN-γ, tumor necrosing factor-α (TNF- α), IL-2 dan IL-
18.Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam
mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+,
yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen
(sel dendritik dermal).Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang
berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi
epidermal.
Tata laksana dan pemeriksaaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan histopatologi biasanya jarang
dilakukan pada psoriasis, namun dapat dilakukan untuk membantu pada kasus
yang sulit dibedakan.
Pada awal lesi psoriasis pustular, epidermis biasanya hanya menunjukkan
gambaran akantosis yang sedikit. Pada lesi yang persisten dan lebih lama, terdapat
gambaran hipeplasia psoriasiform. Netrofil bermigrasi dari pembuluh darah yang
berdilatasi pada dermis bagian atas ke dalam epidermis dan akan beragregasi di
bawah stratum korneum dan di atas lapisan Malpighian untuk membentuk pustula
spongiform Kogoj.
Pemeriksaan laboratorium psoriasis biasanya memberikan hasil yang tidak
spesifik, namun pada kasus berat seperti psoriasis pustular generalisata dan
eritroderma, dapat ditemukan keseimbangan nitrogen yang negatif ditujukkan
oleh penurunan kadar albumin serum.
Pasien psoriasis bisa memiliki perubahan profil lipid yang ditunjukkan
dengan peningkatan kadar HDL 15% lebih tinggi, dan rasio kolesterol-trigliserid
dengan kadar LDL 19% lebih tinggi dari normal. Konsentrasi apolipoprotein-A1
di plasma juga bisanya 11% lebih tinggi.
Pada sekitar 50% pasien psoriasis, kadar asam urat serum dapat meningkat
dan biasanya dihubungkan dengan luasnya lesi dan keaktifan dari penyakit.
Terdapat risiko kemungkinan artritis gout, namun kadan asam urat serum
biasanya kembali normal setelah mendapatkan terapi.
Pemeriksaan penanda inflamasi dapat meningkat, seperti kadar protein c-
reaktif, α2-macroglobulin, dan kadar pengendapan eritrosit. Peningkatan kadar

19
IgA serum dan IgA kompleks imun juga dapat ditemukan, dimana pasien dengan
IgA kompleks imun yang meningkat memiliki prognosis yang lebih buruk.
Teknik immunostaining, flouresence-activated cell sorting dari suspensi sel
terdisosiasi, dan pemeriksaan gen reseptor sel-T dapat menjadi pemeriksaan yang
sangat penting dalam menjelaskan patogenesis psoriasis dan dalam
mengategorikan respon dari terapi psoriasis, namun secara umum
tidak diperlukan untuk diagnosis maupun tatalaksana psoriasis.
Penatalaksanaan
Terdapat banyak variasi pengobatan psoriasis, tergantung dari lokasi lesi,
luasnya lesi, dan beratnya penyakit, lamanya menderita penyakit dan usia
penderita. Pada pengobatan awal sebaiknya diberikan obat topikal, tetapi bila
hasilnya tidak memuaskan dapat dipertimbangkan pengobatan sistemik, atau
diberikan kombinasi dari keduanya. Terapi dengan menggunakan pengobatan
topikal merupakan pilihan untuk penderita dengan psoriasis plak yang terbatas
atau mengenai kurang dari 20% luas permukaan tubuh.
Terapi topikal digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan agen
topikal lainnya atau dengan fototerapi. Terapi topikal yang dapat diberikan seperti
Anthralin dengan konsentrasi 0,05-0,1% untuk pengobatan psoriasis bentuk plakat
yang kronis atau psoriasis gutata yang bekerja sebagai antiinflamasi dan
menghambat proliferasi keratinosit. Efek sampingnya adalah bersifat iritasi dan
mewarnai kulit dan pakaian. Preparat tar seperti liquor carbonis detergent 2-5%
dalam bentuk salep dipakai untuk pengobatan psoriasis yang kronis. Diduga
mempunyai efek yang menghambat proliferasi keratinosit. Efeknya akan
meningkat bila dikombinasi dengan asam salisilat 2-5%. Dapat diberikan dalam
jangka lama tanpa iritasi. Kortikosteroid topikal biasanya dipakai yang
mempunyai potensi sedang sampai kuat, untuk pengobatan lesi psoriasis yang
soliter. Mempunyai efek anti inflamasi dan anti mitosis.
Pengobatan sistemik atau oral dapat diberikan kortikosteroid terutama bila
sudah terjadi eritroderma atau psoriasis pustulosa generalisata. Dosis setara
dengan 40-60 mg prednison per hari, dan kemudian diturunkan perlahan-lahan.
Methotrexate sebagai agen anti-neoplastik, juga berguna dalam pengobatan
inflamasi termasuk psoriasis. Methotrexate menampilkan efek anti psoriasis

20
dengan menginduksi apoptosis keratinosit yang berproliferasi dan menghambat
jalur T17 serta ekspresi IL-17, IL-23A, dan interferon-γ. Methotrexate yang
bekerja menghambat sintesis DNA ini juga bekerja dengan menekan kemotaktik
terhadap sel netrofil yang dapat diberikan untuk pengobatan psoriasis pustulosa
generalisata, eritrodermi psoriatik, dan artritis psoriatik. Dosis yang diberikan
adalah 10-12 mg per minggu, atau 5 mg tiap 12 jam selama periode 36 jam dalam
seminggu. Efek samping dapat berupa gangguan fungsi hati, ginjal, sistem
hemopoetik, ulkus peptikum, dan lain-lain. Siklosporin yaitu imunosupresor
bekerja menghambat aktivasi dan proliferasi sel T. Selain itu juga dapat
menghambat pertumbuhan sel keratinosit. Dosis yang dianjurkan adalah 2-5
mg/kg BB, namun memerlukan waktu yang cukup lama, dapat sampai 3-6 bulan.
Obat ini bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik.

D. Langkah IV : menginvetarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

Definisi dan
mekanisme

Etiologi Pityriasis Rosea

Ruam Manifestasi
Dermatitis
Kemerahan penyakit pada
Seboroik
kasus

Pemeriksaan
Psoriasis Vulgaris
penunjang

Tata laksana

21
E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Menjelaskan definisi dan mekanisme ruam kemerahan.
2. Menjelaskan etiologi ruam kemerahan.
3. Menjelaskan manifestasi penyakit pada kasus.
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang ruam kemerahan.
5. Menjelaskan tata laksana ruam kemerahan.
6. Menjelaskan etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana pityriasis rosea
7. Menjelaskan etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana dermatitis seboroik.
8. Menjelaskan etiologi, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan tata
laksana psoriasis vulgaris.

F. Langkah VI : mengumpulkan informasi baru


Pengumpulan informasi telah di lakuan oleh masing- masing anggota
kelompok kami dengan menggunakan sumber refernsi ilmiah seperti jurnal,
buku,review dan artikel ilmiah yangberkaitan dengan skenario ini.

G. Langkah VII : Melaporkan , membahas dan menata kembali informasi yang


baru di peroleh.

KESIMPULAN
Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi. Proses
inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis besar
imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun bawaan/ nonspesifik dan sistem
imun didapat/spesifik. Ruam dapat menyebar melalui kontak langsung, jika
penyebab ruam adalah bakteri dan parasit, ruam dapat menyebar melalui kontak
langsung dari ruam pertama. Jika penyebabnya adalah virus, dapat menyebar dari
dalam tubuh. Pada kasus, dari ukk yang telah didapatkan, pasien mengalami
dermatitis eritoskuamosa. Dermatitis eritoskuamosa banyak jenisnya, seperti
pityriasis rosea, psoriasis vulgaris, dan dermatitis seboroik.

22
SARAN
Alhamdulillah kami sudah menyelesaikan kegiatan tutorial skenario
ketiga. Namun tutorial pada kali ini, kami rasakan kurang efektif karena ada
beberapa orang yang tidak bisa hadir disebabkan sakit. Ditambah lagi, kami hanya
mendapat sesi terbimbing sekali.
Saran yang diberikan adalah Mahasiswa diharapkan lebih maksimal lagi
dalam menyampaikan pendapat, karena ada beberapa yang belum maksimal
dalam menyampaikan pendapat. Harapan ke depannya, semoga Mahasiswa bisa
mendapat ilmu baru yang bermanfaat untuk ke kedepannya.

23
DAFTAR PUSTAKA
Champion RH. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Ertthroderma . In:
Champion RH eds. Rook‟s, Textbook Of Dermatology,Washington ; Blackwell
Scientific Publications. 1992.

Djuanda, Adhi. 2010.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.


Jakarta : FKUI.

Fadila, Milani N. 2014. Hubungan antara Dermatitis Seboroik dengan


Kualitas Hidup Pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung. Lampung: Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung

Gudjonsson, J. E., & Elder, J. T. (2011). Psoriasis. In L. A. Goldsmith, S.


I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, D. J. Leffel, & K. Wolff, Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine, 8th Ed, 2V (Vol. 1, pp. 197-231). New York:
McGraw-Hill.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37071/Chapter%20
II.pdf;jsessionid=E592F1D9BBB3113F2BD6C89CA834F1B4?sequence=4,
diakses tanggal 29 oktober 2018

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4966395/ diakses pada 23


Oktober 2018

24

Anda mungkin juga menyukai