SKRIPSI
MASTUTY HANDOYO
H 34066079
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
1
RINGKASAN
2
hari. Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya
langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif. (2) Debitur yang
tidak lancar dalam mengembalikan pembiayaan tingkat pendidikannya hampir
merata pada semua tingkat pendidikan kecuali Perguruan Tinggi, sebagian besar
memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta dan lama usaha satu hingga 10 tahun. Jumlah
pembiayaan yang diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan
< 150 hari. Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola
penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan adalah tingkat pendidikan dan
pengalaman usaha. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman
usaha debitur maka semakin besar pula peluang pengembalian pembiayaan secara
lancar.
Pihak KBMT WU diharapkan lebih berhati-hati dalam memberikan
pembiayaan kepada UMKM agribisnis khususnnya terkait dengan tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha calon debitur. Tindakan ini memberikan
pengertian bukan berarti menolak pembiayaan pada nasabah dengan tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha yang rendah, namun dengan melakukan
beberapa langkah positif diantaranya dengan meningkatkan pembinaan usaha dan
monitoring prestasi pembiayaan kepada nasabah tersebut.
3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN SYARIAH
UNTUK UMKM AGRIBISNIS PADA KBMT
WIHDATUL UMMAH KOTA BOGOR
MASTUTY HANDOYO
H 34066079
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
4
Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian
Pembiyaaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada KBMT
Wihdatul Ummah Kota Bogor
Nama : Mastuty Handoyo
NIM : H 34066079
Disetujui,
Pembimbing
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
5
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul ”Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan Syariah untuk UMKM
Agribisnis pada KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor” adalah karya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
3
RIWAYAT HIDUP
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah sholallohu alaihi
wassalam sebagai panutan terbaik dalam hidup.
Skripsi ini mengambil topik mengenai ”Faktor-faktor yamg Mempengaruhi
Tingkat Pengembalian Pembiayaan Syariah untuk UMKM Agribisnis pada
KBMT Wihdatul Ummah Kota Bogor”. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pengelolaan penyaluran pembiayaan dan karakteristik debitur
berdasarkan tingkat pengembalian pembiayaan. Selain itu juga menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan oleh UMKM
agribisnis pada KBMT WU .
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Semoga apa
yang penulis sampaikan pada skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan KBMT Wihdatul Ummah khususnya agar dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan jangka pendek maupun jangka
panjang.
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis
6
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ vi
I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 7
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8
2.1 Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) .............. 8
2.2 Definisi Agribisnis ...................................................................... 9
2.3 Definisi Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT) ................. 10
2.3.1 Definisi Koperasi ............................................................ 10
2.3.2 Definisi Baitul Maal wat Tamwil (BMT) ....................... 10
2.4 Produk-Produk Pembiayaan KBMT .......................................... 12
2.4.1 Pembiayaan Berprinsip Bagi Hasil (Profit and Loss
Sharing, Revenue Sharing) ............................................. 12
2.4.2 Pembiayaan Berprinsip Jual Beli (Bai’)............................ 15
2.4.3 Pembiayaan Berprinsip Sewa (Ijaroh) .............................. 15
2.4.4 Pembiayaan Berprinsip Jasa ............................................. 16
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit .......... 18
III KERANGKA PEMIKIRAN............................................................... 20
3.1 Kerangka Teoritis ....................................................................... 20
3.1.1 Pengertian Pembiayaan .................................................... 20
3.1.2 Prinsip Penilaian Pembiayaan .......................................... 22
3.1.3 Penggolongan Pembiayaan .............................................. 22
3.1.4 Strategi Penghindaran dan Penanganan Pembiayaan
Bermasalah ....................................................................... 23
3.2 Kerangka Operasional ................................................................ 25
3.3 Hipotesis Penelitian .................................................................... 29
IV METODE PENELITIAN .................................................................. 30
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 30
4.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 30
4.3 Populasi dan Sampel.................................................................... 30
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 31
4.5 Definisi Operasional ................................................................... 34
V GAMBARAN UMUM KBMT WIHDATUL UMMAH .................. 35
5.1 Sejarah Pendirian dan Wilayah Kerja KBMT Wihdatul Ummah 35
5.2 Visi dan Misi KBMT Wihdatul Ummah .................................... 35
5.3 Struktur Organisasi KBMT Wihdatul Ummah ........................... 36
5.4 Produk-produk Pembiayaan KBMT Wihdatul Ummah ............. 43
7
5.5 Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah ............................ 46
5.6 Kualitas Aktiva Produktif KBMT Wihdatul Ummah ................. 47
5.7 Pengelolaan KBMT Wihdatul Ummahdalam Mendukung
Keberhasilan Penyaluran Pembiayaan ........................................ 49
2.4.1 Prosedur Penyaluran Pembiayaan ..................................... 49
2.4.1 Pengelolaan Pembiayaan Bermasalah pada KBMT
Wihdatul Ummah ............................................................ 53
VI KARAKTERISTIK RESPONDEN BERDASARKAN TINGKAT
PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN ............................................... 57
6.1 Perbandingan Karakteristik Personal Responden ........................ 57
6.2 Perbandingan Karakteristik Usaha Responden .......................... 58
6.3 Perbandingan Karakteristik Pembiayaan Responden ................. 60
8
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
9
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
11
I PENDAHULUAN
Tabel 1. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai PDB Usaha Kecil,
Menengah dan Besar Per Sektor Ekonomi Tahun 2007
Skala Usaha
Pengangkutan dan
7 Komunikasi 3.355.709 29,92 150.065 24,21 79.097 45,88
Keuangan, Persewaan,
8 Jasa Perusahaan 531.427 17,03 246.978 46,89 171.532 36,09
12
Indonesia. Sementara itu skala usaha besar hanya mampu menyerap 3,3 juta
tenaga kerja atau hanya 3,82 persen. Hal ini berarti UMKM berperan besar dalam
penyediaan lapangan kerja sehingga berpeluang menekan tingkat kemiskinan di
Indonesia.
Selain itu juga diketahui bahwa antara skala usaha kecil maupun skala
usaha menengah memiliki tiga sektor yang sama dalam mendominasi penyerapan
tenaga kerja. Pertama yaitu sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
kemudian sektor kedua yaitu industri pengolahan dan yang ketiga yaitu sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Menurut Gumbira (2004), sektor agribisnis
terdiri atas subsektor pangan, hortikultura, kehutanan, perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Sistem agribisnis merupakan rangkaian dari subsistem hulu
meliputi kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana poduksi, subsistem usahatani
(on farm) meliputi kegiatan produksi, dan subsistem hilir (off farm) meliputi
pengolahan (agroindustri) dan pemasaran (perdagangan). Jika melihat pada
definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketiga sektor yang mendominasi
UMKM merupakan bagian dari sistem agribisnis.
Eksistensi UMKM yang telah teruji oleh gejolak ekonomi yang pernah
melanda negara ini membuat pihak perbankan berlomba-lomba melakukan
ekspansi pembiayaan pada UMKM. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada
tahun 2008 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, total kredit yang telah
disalurkan oleh perbankan meningkat 28 persen menjadi Rp 122.872,1 miliar.
Kelompok sektor pertanian dan sektor industri pengolahan mengalami
peningkatan dimana masing-masing meningkat sebesar Rp 1.197,4 miliar dan Rp
6.796,9 miliar sedangkan kelompok sektor perdagangan menurun sebesar Rp
9.588,3 miliar. Meskipun total penyaluran pembiayaan bagi UMKM terus
mengalami peningkatan namun kondisi ini kenyataannya belum dirasakan secara
merata oleh UMKM di Indonesia. Hal ini karena tidak didukung oleh adanya
perbaikan kinerja penyaluran kredit, akibatnya UMKM masih menghadapai
masalah keterbatasan modal. UMKM masih kesulitan dalam mengakses sumber
permodalan usaha pada lembaga perbankan (unbankable), umumnya terkait
dengan rendahnya kemampuan mengembalikan pinjaman sehingga perbankan
harus berhati-hati dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan.
13
Tabel 2. Jumlah Penyaluran Kredit oleh Perbankan untuk UMKM Per Sektor
Ekonomi Tahun 2006 - 2008
Jumlah Kredit (Miliar Rp)
Sektor Perekonomian
2006 2007 2008
Pertanian, Peternakan, Kehutanan &
1.453,2 2.478,5 3.675,9
Perikanan
Pertambangan 340,2 216,9 283,8
Industri Pengolahan 4.205,2 1.221,6 8.018,5
Listrik, Gas dan Air 1.238,2 -1.196,71 483,4
Konstruksi 2.416,7 3.127,9 5.462,4
Perdagangan, restoran dan hotel 20.467,1 28.320,2 18.731,9
Pengangkutan dan komunikasi 124,9 595,2 1.431,4
Jasa Dunia Usaha 3.143,9 7.345,3 10.579,6
Jasa Sosial 728,9 649,9 1.013,5
Lain-lain 23.899,4 53.419,4 73.191,8
Toatal Kredit 58.017,6 96.178,2 122.872,1
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Kota Bogor jika dilihat dari aspek pasarnya berada pada lokasi yang
strategis, yaitu selain berdekatan dengan Ibukota Jakarta juga berdekatan dengan
Kawan Bodetabek (Kawasan Andalan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi)
yang merupakan kawasan unggulan sektor industri dan manufaktur berorientasi
ekspor dan ramah lingkungan, Kawan Bopuncur (Kawasan Andalan Bogor,
Puncak dan Cianjur) yang merupakan kawasan unggulan sektor agribisnis dan
agrowisata, serta Kawan Sukabumi dan sekitarnya yang merupakan kawasan
unggulan sektor wisata, agbibisnis dan kelautan. Melihat potensi agribisnis Kota
Bogor maka keterbatasan modal yang menjadi permasalahan umum pada UMKM
harus segera dihindari. UMKM agribisnis mulai dari hulu hingga hilir harus
didukung oleh lembaga keuangan dengan prosedur pembiayaan yang tidak sulit.
Salah satu lembaga keuangan yang dapat dijadikan alternatif adalah Baitul
Maal wat Tamwil (BMT) karena segmen pembiayaannya hanya difokuskan untuk
UMKM. Menurut kategori Bank Indonesia, BMT termasuk dalam Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yang berwujud non bank. LKMS yang
berwujud bank diantaranya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), sedangkan
yang berwujud non bank diantaranya Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren),
1
Tanda negatif berarti jumlah akumulasi angsuran kredit pada periode tersebut lebih besar
daripada akumulasi pelimpahan kredit.
14
Koperasi Syariah (Kopsyah), Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), dan Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM)2.
Sebagai lembaga intermediasi keuangan, BMT seperti halnya lembaga
perbankan yang lain dalam menyalurkan dananya akan menghadapi resiko
pembiayaan. Berdasarkan penelitan, 80 persen resiko pembiayaan yang terkait
aset portofolio bank-bank Islam dunia disebabkan oleh kegagalan debitur
membayar pembiayaan (Khan dalam Iqbal, 2006). Untuk itulah BMT dituntut
memiliki kinerja memadai khususnya dalam menangani resiko pembiayaan.
2
Drs. Bambang Ismawan, MS (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_7.htm),
tanggal 10 Oktober 2008
15
10.000.000
8.000.000 7.921.707
(ribu rupiah)
Nilai Kredit
6.000.000 5.769.080 6.051.380
4.000.000
3.422.312 3.364.888
2.000.000
0
2004 2005 2006 2007 2008 Tahun
Dropping
120%
Tingkat Pengembalian
16
Pada umumnya penyaluran pembiayaan yang semakin tinggi akan
memberikan peluang resiko pembiayaan yang semakin tinggi pula, namun jika
membandingkan antara Gambar 1 dengan Gambar 2 terlihat bahwa tidak
selamanya hal tersebut terjadi. Dropping (penyaluran pembiayaan) KBMT WU
pada tahun 2007 hingga 2008 yang terus mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnnya justru menunjukkan tingkat penunggakan yang semakin menurun.
Hal ini menarik untuk diteliti mengingat fenomena tersebut berbeda pada kondisi
umumnya. KBMT WU tentunya perlu mempertahankan kondisi ini dan
meningkatkan prestasinya untuk terus menekan tingkat tunggakan hingga pada
nilai terendah. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan
kebijakan yang memperhatikan kebutuhan dengan metode yang sesuai.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
ini yaitu:
1) Bagaimana pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan
penyaluran pembiayaan?
2) Bagaimana perbandingan karakteristik debitur UMKM agribisnis berdasarkan
tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU?
3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat pengembalian pembiayaan
bagi UMKM agribisnis pada KBMT WU?
17
dan pertimbangan dalam strategi dan kebijakan penyaluran pembiayaan untuk
meningkatkan keberhasilan pembiayaan pada sektor UMKM agribisnis.
2) Bagi dunia pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan terkait dengan lembaga keuangan mikro syariah dalam menyalurkan
pembiayaan.
18
II TINJAUAN PUSTAKA
19
warga negara Indonesia, berdiri sendiri dan bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi
baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar. Usaha menengah
dapat berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum,
dan atau badan usaha yang berbadan hukum.
2.2. Agribisnis
Agribisnis merupakan kegiatan yang menyangkut manufaktur dan
distribusi dari sarana produksi pertanian. Kegiatan yang dilakukan adalah
usahatani, serta penyimpanan, pengolahan, dan distribusi dari produk pertanian
dan produk-produk lain yang dihasilkan dari produk pertanian (Drillon, 1974).
Definisi tersebut memberikan suatu konsep kegiatan pertanian yang utuh dan
komprehensif untuk dapat menelaah dan menjawab berbagai masalah, tantangan,
dan kendala yang dihadapi pembangunan pertanian. Konsep tersebut sekaligus
dapat menilai keberhasilan pembangunan pertanian serta pengaruhnya terhadap
pembangunan nasional secara lebih tepat.
20
2.3. Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT)
KBMT yang merupakan gabungan dari istilah Koperasi dan istilah Baitul
Maal wat Tamwil dapat diuraikan menurut istilahnya masing-masing yang
selanjutnya akan diketahui alasan munculnya istilah KBMT.
2.3.1. Koperasi
Koperasi Indonesia menurut Undang-undang Republik Indonesia No 25
Tahun 1992 tentang perkoperasian dalam Sitio dan Tamba (2001) adalah badan
usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi, dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Koperasi berdasarkan jenis kegiatannya terdiri atas (Raharjo, 1999):
a) Koperasi Konsumsi, yaitu koperasi yang menyediakan kebutuhan sehari-hari
bagi para anggotanya.
b) Koperasi Produksi, yaitu koperasi yang anggotanya mampu menghasilkan
barang dengan tujuan melancarkan dan meningkatkan hasil produksi anggota.
c) Koperasi Kredit atau Simpan Pinjam (KSP), yaitu koperasi yang kegiatannya
meminjamkan uang atau kredit dengan bunga ringan. Dana yang dipinjamkan
berasal dari simpanan para anggotanya.
d) Koperasi Jasa, yaitu koperasi yang kegiatannya berupa pelayanan jasa bagi
anggota dan masyarakat seperti koperasi angkutan, dan koperasi asuransi.
e) Koperasi Serba Usaha (KSU), yaitu koperasi yang mempunyai berbagai fungsi
dimana kegiatannya meliputi beberapa jenis koperasi. Koperasi Unit Desa
(KUD) merupakan salah satu contoh koperasi serba usaha dimana kegiatannya
meliputi pelayanan kredit, penyediaan dan penyaluran sarana pertanian serta
kebutuhan sehari-hari, mengolah dan memasarkan hasil panen serta
melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya.
21
sama seperti yang dilakukan pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil
Zakat (BAZ) milik pemerintah. Fungsi tersebut meliputi upaya pengumpulan dana
zakat, infaq, sodhaqoh (ZIS), wakaf dan sumber dana-dana sosial yang lain. Baitul
Tamwil sebagai lembaga bisnis harus dapat berjalan sesuai prinsip bisnis yang
efektif dan efisien dimana terbatas pada bisnis yang dihalalkan (Ridwan, 2006).
BMT awalnya berkembang sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) dan tidak memiliki badan hukum resmi, oleh karenanya diperlukan sebuah
legalitas. Mengingat ruang lingkup usaha BMT yang dapat berkembang ke sektor
keuangan maupun sektor riil, maka badan hukum yang paling mungkin untuk
BMT adalah koperasi, dimana ruang lingkup usahanya bisa seperti Koperasi Serba
Usaha (KSU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Oleh karenanya mulailah
dikenal istilah Koperasi Baitul Maal wat Tamwil (KBMT). Pemilihan badan
hukum koperasi ini diperkuat dengan PP No. 9 Tahun 1995 pasal 2 ayat 1 yang
membolehkan penerapan sistem bagi hasil pada koperasi. Adanya legalitas
tersebut diharapkan dapat melindungi kepentingan masyarakat dan menjamin
keamanan pengelola BMT dalam menjalankan kegiatannya serta dapat memenuhi
tujuan memberdayakan masyarakat luas, sehingga kepemilikan kolektif BMT
sebagaimana konsep koperasi akan mengenai sasaran (Widodo et al. (1999)).
22
BMT sebagai KSM dan sebagai koperasi (KBMT) dalam landasan
operasional yang berlandaskan syariah Islam tentu memiliki perbedaan dengan
koperasi konvensional (Tabel 3). Begitu pula jika KBMT dibandingkan dengan
bank, maka perbedaannya adalah KBMT selain berciri khas prinsip koperasi juga
hanya diperbolehkan menarik dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat
dengan syarat menjadi anggota atau calon anggota terlebih dahulu, sedangkan
bank tidak mensyaratkan hal tersebut.
23
daya baik yang berwujud maupun yang tak berwujud. Semua modal usaha yang
ada disatukan untuk proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap
pemilik modal atau dana baik dari pihak nasabah maupun bank berhak turut serta
dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Model musyarakah yang sering dilaksanakan pada KBMT dalam bentuk:
a) Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya digunakan untuk membiayai proyek-proyek dimana
KBMT dan anggota bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek. Setelah proyek selesai, anggota mengembalikan dana sebesar pokok
investasi KBMT ditambah dengan bagi hasil sesuai dengan nisbah dan
pendapatan atau keuntungan proyek.
b) Modal Ventura
Pada lembaga khusus yang diizinkan melakukan kegiatan usaha investasi pada
perusahaan atau proyek khusus, musyarakah sering diterapkan sebagai model
modal ventura. Penanaman modal dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan
setelah selesai jangka waktunya, KBMT dapat menarik investasinya secara
sekaligus atau bertahap sesuai dengan tahapan hasil usaha.
2) Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment)
Secara spesifik terdapat skim bagi hasil yang populer dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama
usaha dimana pihak pertama sebagai shahibul maal menyediakan seluruh modal
sedangkan pihak yang lain sebagai pengelola atau mudharib 3 menyediakan
seluruh ketrampilan, tenaga dan waktu. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi seratus persen modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib,
sehingga dalam manajemen proyek tidak mensyaratkan wakil dari shahibul maal
atau bank, dengan kata lain tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha
nasabah, kecuali melakukan pengawasan atas usaha tersebut.
Perjanjian dalam menentukan nisbah keuntungan skim musyarakah dan
mudharabah harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Nisbah keuntungan harus
dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan
dalam nilai nominal rupiah tertentu dan bukan berdasarkan porsi setoran modal.
3
Al Qur’an Surat Al Muzammil, ayat 20 dan Surat Al Jum’ah ayat 10
24
Jadi, nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, misalnya 50 : 50,
70 : 30, 60 : 40, atau bahkan 99 : 1. Tetapi nisbah tidak boleh 100 : 0, karena para
ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah dan musyarakah tidak sah
apabila menguntungkan salah satu pihak saja. Selanjutnya penetapan nisbah yang
telah disepakati tersebut memiliki ketentuan, apabila bisnis yang dijalankan
mendapat keuntungan maka kedua belah pihak mendapat bagian berdasarkan
nisbah yang disepakati. Akan tetapi berbeda halnya apabila terjadi kerugian,
selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian pihak mudharib maka
nisbah yang disepakati tidak berlaku karena kerugian tersebut harus dibagi
berdasarkan porsi modal masing-masing dan bukan berdasarkan nisbah. Hal ini
dikarenakan kedua belah pihak memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menanggung kerugian financial tersebut dan disinilah letak keadilan prinsip bagi
hasil. Namun jika kerugian disebabkan oleh kelalaian atau kecurangan mudharib
maka mudharib yang berkewajiban menanggung kerugian tersebut dan wajib
mengembalikan dana modal kepada KBMT sebesar 100 persen (Ridwan, 2006).
Seperti yang telah diuraikan maka secara garis besar perbedaan sistem bagi hasil
dibandingkan pada sistem bunga pada bank atau koperasi konvensional dapat
dilihat pada Tabel 4.
25
24.2. Pembiayaan Berprinsip Jual Beli (Bai’)
Produk ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang
tidak dapat dimasukkan ke dalam akad bagi hasil. Misalnya untuk pemenuhan
kebutuhan barang-barang konsumtif. Akad jual beli yang biasa digunakan adalah:
a) Bai’ Al Murabahah
Skim ini untuk membantu pembeli dalam pengadaan objek tertentu dimana
pembeli tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melakukan
pembayaran secara tunai. Dalam prakteknya bank akan melakukan transaksi
pembelian atas barang yang diinginkan kepada suplier, kemudian bank akan
menjualnya kembali kepada pembeli dengan harga yang disesuaikan yakni
harga beli ditambah margin (ribh) yang disepakati.
b) Bai’ As Salam
Akad pembelian dimana barang diserahkan kemudian hari tetapi
pembayarannya dilakukan di muka. Kebanyakan ulama Islam mengharuskan
pembayaran Salam dilakukan di tempat kontrak. Hal ini dimaksudkan agar
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli tidak dijadikan sebagai hutang
penjual.
c) Bai’ Al Istishna’
Akad penjualan antara pembeli dengan pembuat barang dimana pembuat
barang menerima pesanan dari pembeli. Produsen kemudian memproduksi
barang melalui orang lain (men-subkontrakkan) sesuai dengan spesifikasi
yang telah ditetapkan oleh pemesan. Setelah barang jadi, barang dijual kepada
pembeli akhir dengan harga dan cara pembayaran yang telah disepakati.
26
karena terjadi perpindahan kepemilikan barang yang disewakan, transaksi ini
sering disebut sewa beli.
27
d) Ar Rahn (Mortgage)
Produk ini berupa akad untuk menahan salah satu harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijaminkan
harus bernilai ekonomis sehingga KBMT memiliki kepastian pembayaran.
Dalam terminologi ekonomi modern, ar rahn dikenal dengan sebutan gadai.
e) Al qard
Produk untuk tolong menolong bukan untuk kepentingan komersial, sumber
dananya berasal dari penyisihan modal KBMT dan dari zakat, infaq, sedekah.
28
semakin lancar pengembalian kreditnya. Kemudian semakin sering pengusaha
mengambil kredit maka akan semakin tidak lancar pengembalian kreditnya. Hal
ini karena semakin sering mengambil kredit akan meningkatkan pengalaman
dalam peminjaman dan lebih berani mengambil resiko menunggak.
Robert H. Behrens dalam Dewi (2001) menyebutkan faktor-faktor
penyebab pembiayaan bermasalah pada UMKM diantaranya:
a) Adversity. Perubahan pada siklus usaha (business cycle) di luar kontrol bank
dan nasabah seperti bencana alam, sakit dan kematian.
b) Missmanagement. Ketidakmampuan nasabah dalam mengelola kegiatan
usahanya dan menjaga kondisi keuangan dengan cara-cara kegiatan usaha
yang sehat dari hari ke hari.
c) Frand atau tidak jujur. Ketidakjujuran debitur dalam memberikan informasi
dan laporan-laporan tentang kegiatan usahanya, posisi keuangan, hutang-
piutang, persediaan dan lain-lain.
Tim Universitas Brawijaya (Unibraw) dalam Prasetyo (1996) melakukan
penelitian dan menunjukkan bahwa penyebab lemahnya pengembalian kredit oleh
petani dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: a) Prosedur yang berbelit; b)
Penyimpangan penggunaan kredit; c) Tidak adanya hukuman atas keterlambatan
pengembalian kredit; d) Kurangnya perangsang pengembalian; e) Adanya
permintaan kredit fiktif; f) Rendahnya efektivitas penagihan oleh petugas kredit.
Renggani (1998) melakukan penelitian berjudul analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengembalian kredit studi kasus pada BMT Ulil Albab,
Kabupaten Bogor. Dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Regresi
Linier Berganda menunjukkan bahwa jumlah pinjaman, biaya transportasi,
borrowing cost, jangka waktu realisasi pembiayaan dan intensitas hubungan
dengan pengurus berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian kredit.
Semakin besar jumlah pinjaman, biaya transportasi, dan borrowing cost
menyebabkan tingkat pengembalian kredit akan semakin rendah. Jangka waktu
realisasi pembiayaan yang semakin lama juga menyebabkan pengembalian kredit
semakin lambat karena nasabah menjadi enggan untuk mengembalikannya,
sedangkan faktor intensitas hubungan dengan pengurus yang diukur dengan
banyaknya pengurus BMT yang dikenal ternyata menunjukkan bahwa semakin
29
banyak pengurus yang dikenal justru membuat tingkat pengembalian kredit
semakin rendah. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap
tingkat pengembalian kredit yaitu jumlah selisih pendapatan dan pengeluaran
keluarga, tingkat pendidikan nasabah dan jenis penggunaan pembiayaan. Semakin
besar pendapatan bersih keluarga dan semakin tinggi tingkat pendidikan nasabah
maka tingkat pengembalian kredit akan semakin tinggi. Penggunaan kredit
berpengaruh positif untuk penggunaan kegiatan produktif, bukan konsumtif.
Kuntjoro (1983) dalam penelitiannya berjudul identifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi pembayaran kembali kredit Bimas padi studi kasus di
Kabupaten Subang, Jawa Barat menggunakan analisis diskriminan dan regresi
untuk menyimpulkan besarnya peranan dan pengaruh dari masing-masing faktor.
Hasil analisa regresi menunjukkan bahwa faktor yang berperan positif terhadap
pembayaran kembali kredit Bimas padi adalah lama petani mengikuti program
Bimas padi, nisbah penerimaan total produksi padi dengan jumlah pinjaman kredit
yang diterima, tagihan langsung kepada petani dan tambahan penerimaan padi
dengan status bagi hasil. Sedangkan faktor yang berperan negatif adalah
pengeluaran konsumsi keluarga dan nisbah jumlah kredit dengan penerimaan
tunai keluarga. Hasil analisa diskriminan menunjukkan bahwa selain ke enam
faktor kriteria di atas tidak mencirikan tanggung jawab petani dalam pembayaran
kembali kredit Bimas padi.
Penelitian ini dilakukan di KBMT Wihdatul Ummah yang sebelumnya
telah diteliti oleh Kurnia (2007) untuk mengetahui indikator apa saja yang
mempengaruhi tingkat pengembalian kredit antara kredit kelompok dan kredit
perorangan pada nasabah secara umum. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, beberapa indikator yang digunakan oleh Kurnia yaitu sosial capital
(hubungan antar anggota, jarak antar rumah anggota, kepercayaan, status
keanggotaan, jumlah pertemuan, jarak antara rumah dengan KBMT WU),
caracter, capital dan collateral. Maka pada penelitian ini mencoba menganalisis
faktor-faktor lain yang belum dianalisis oleh Kurnia dan diduga mempengaruhi
tingkat pengembalian kredit/ pembiayaan pada lembaga keuangan tersebut. Selain
itu penulis khusus meneliti debitur perorangan pada UMKM agribisnis yang masa
angsurannya selesai pada tahun 2008.
30
III KERANGKA PEMIKIRAN
31
masyarakat (default trust) kepada bank tersebut, akibat selanjutnya adalah
terjadinya rush (penarikan besar-besaran secara serempak) atas semua hutang/
kewajiban lancar oleh nasabah/ anggota. Prinsip penilaian kredit menurut
Dendawijaya (2003) yang dikenal dengan 5 C yaitu sebagai berikut:
1) Character, yaitu keadaan watak dan sifat dasar dari calon nasabah, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usahanya. Hal ini dapat dilihat
dari kejujuran, ketulusan, kepatuhan akan janji, kecakapan dalam mengelola
usahanya dan yang terpenting adalah willingness to pay atau kemampuan
untuk membayar kembali kredit yang didapatkan. Adapun beberapa petunjuk
bagi bank untuk mengetahui karakter nasabah adalah: a) Mengenal dari dekat;
b) Mengumpulkan keterangan mengenai aktivitas calon debitur dalam
perbankan; c) Mengumpulkan keterangan dan minta pendapat dari rekan-
rekannya, pegawai dan saingannya mengenai reputasi, kebiasaan pribadi,
pergaulan sosial dan lain-lain.
2) Capacity, penilaian terhadap calon nasabah dalam hal kemampuan memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian pinjaman atau aqad
pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kemampuan nasabah dalam manajemen
maupun keahlian dalam bidang usahanya. Beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh bank adalah: a) Angka-angka hasil produksi; b) Angka-
angka penjualan dan pembelian; c) Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini
dan proyeksinya; d) Data-data finansial di waktu-waktu yang lalu, yang
tercermin dalam laporan keuangan perusahaan, sehingga akan dapat diukur
kemampuan perusahaan calon penerima kredit untuk melaksanakan rencana
kerjanya di waktu yang akan datang dalam hubungannya dengan penggunaan
kredit tersebut.
3) Capital, yaitu dana yang dimiliki oleh calon nasabah dalam menjalankan
usahanya untuk mengetahui permodalan, sumber-sumber dana dan
penggunaannya.
4) Condition of economy, hal ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi yang
dapat mempengaruhi maju mundurnya usaha calon nasabah.
5) Colleteral, berarti jaminan. Ini menunjukkan besarnya aktiva yang akan
diikatkan sebagai jaminan atas kredit yang diberikan oleh bank. Untuk itu
32
bank harus: a) Meneliti mengenai pemilikan jaminan tersebut; b) Mengukur
stabilitas daripada nilainya; c) Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan
uang dalam waktu relatif singkat tanpa terlalu mengurangi nilainya; d)
Memperhatikan pengikatan barang yang benar-benar menjamin kepentingan
bank, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
33
a) Pinjaman belum jatuh tempo
Terdapat tunggakan bagi hasil atau margin yang telah melampaui tiga
bulan tetapi belum melampaui enam bulan.
b) Pembiayaan telah jatuh tempo dan belum dibayar, tetapi belum melampaui
tiga bulan.
3) Pembiayaan Diragukan (collectibilitas III)
Pembiayaan digolongkan kedalam pembiayaan diragukan jika pembiayaan
tersebut tidak memenuhi kriteria kurang lancar, tetapi berdasarkan penilaian
dapat disimpulkan bahwa:
a) Pembiayaan masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurang-
kurangnya 75 persen dari total hutangnya termasuk bagi hasil dan margin.
b) Pembiayaan tidak dapat diselamatkan, tetapi jaminannya sekurang-
kurangnya bernilai 100 persen dari total hutangnya termasuk bagi hasil
atau margin.
4) Pembiayaan Macet (collectibilitas IV)
Pembiayaan digolongkan macet, jika:
a) Tidak memenuhi kriteria kurang lancar dan diragukan.
b) Memenuhi kriteria diragukan tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak
digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan
pembiayaan.
c) Pembiayaan tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan
Negeri atau telah diajukan penggantian ganti rugi kepada perusahaan
asuransi kredit bagi pembiayaan yang diasuransikan jaminannya).
34
1) Penetapan Kriteria Portofolio Kolektibilitas Para Nasabah, untuk dapat
menentukan daftar kelompok nasabah yang masuk dalam kelompok
pembiayaan bermasalah. Pembiayaan bermasalah terdiri dari pembiayaan
kurang lancar, pembiayaan diragukan dan pembiayaan macet.
2) Pembinaan dan Penagihan Intensif, berdasarkan daftar kelompok pembiayaan
bermasalah, dilakukan pembinaan dan penagihan yang intensif terhadap
masing-masing nasabah tersebut. Berupa kunjungan langsung ke lokasi usaha
nasabah atau ke rumahnya. Pembinaan ini dimaksudkan agar nasabah dapat
memenuhi kewajibannya kepada KBMT dengan lancar dan baik. Apabila
terdapat masalah yang mengganggu kewajibannya maka pembinaan diarahkan
kepada perbaikan dan solusi yang dianggap dapat mengatasi nasabah
memenuhi kewajibannya. Selama dilakukan pembinaan intensif oleh seorang
konsultan, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) kemungkinan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana
kesepakatan di dalam akad
b) Kemungkinan pengembalian dengan penjadwalan ulang pembiayaan
c) Kemungkinan pengembalian dengan cara restrukturisasi
d) Kemungkinan pengalihan kewajiban kepada pihak keluarga yang lain atau
distatuskan gharim, kemudian kewajiban ditanggungkan oleh amil zakat
e) Kemungkinan penyitaan agunan
f) Kemungkinan meminta jaminan tambahan baik berupa agunan maupun
kafalah bin nafs (jaminan personal)
g) Kemungkinan mengambil langkah atau tindakan hukum
3) Penjadwalan ulang, merupakan metode penyelesaian antara atau jalan
sementara penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan
penjadwalan ulang angsuran atau memberi perpanjangan waktu angsuran dan
jatuh tempo. Ini dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi usaha dan
analisa ulang sehingga dapat diketahui seberapa besar kemampuan riil dari
nasabah dalam pola pengembalian pembiayaan. Langkah ini dilakukan kepada
nasabah yang operasi usahanya kurang menguntungkan disebabkan oleh
faktor di luar nasabah dan usaha tersebut masih berpeluang menguntungkan di
masa mendatang.
35
4) Restrukturisasi, merupakan metode penyelesaian antara atau jalan keluar
sementara penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan
evaluasi dan pengubahan akad pembiayaan, jangka waktu, sistem anggsuran,
besarnya agunan, besarnya nisbah bagi hasil, besarnya marjin, bahkan bila
perlu ada penambahan plafond melalui pembaharuan akad. Langkah ini
dilakukan kepada nasabah yang sulit mengembalikan pembiayaan dan
berdasarkan hasil evaluasi usaha dan kondisi nasabah tidak mampu memenuhi
kewajiban seseuai dengan akad yang telah disepakati di awal.
5) Penyitaan agunan, merupakan metode penyelesain pembiayaan bermasalah
dengan cara barang atau harta yang dijadikan jaminan disita oleh KBMT yang
kemudian dilelang atau dijual untuk dapat dijadikan aset lancar. Proses
penyitaan harus memperhatikan aspek hukum yang berlaku. Langkah ini akan
36
Secara terinci mengenai pengaruh yang diduga berasal dari ketiga
karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Karakteristik Personal
Tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif dalam kelancaran
pengembalian pembiayaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan nasabah maka
diperkirakan akan lebih baik pengetahuannya akan pentingnya pengembalian
pembiayaan secara lancar.
2) Karakteristik Usaha
Pengalaman usaha diduga berpengaruh positif terhadap keberhasilan
pengembalian pembiayaan karena pengalaman usaha yang semakin lama dapat
meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam mengelola usaha sehingga
mendukung keberhasilan usaha yang digeluti. Keberhasilan usaha tersebut dapat
menjamin perolehan pendapatan atau keuntungan sebagai sumber biaya hidup dan
memberikan peluang kemampuan pengembalian pembiayaan secara lancar.
Omzet akan berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan pengembalian
pembiayaan. Faktor ini menggambarkan kemampuan pengembalian pembiayaan,
dimana pengusaha yang memiliki omzet tinggi akan berpeluang lebih besar untuk
mengembalikan pembiayaan sesuai jadwal yang ditetapkan lembaga keuangan.
3) Karakteristik Pembiayaan
Jumlah pembiayaan yang diterima debitur diduga berpengaruh negatif
dengan keberhasilan pengembalian pembiayaan. Semakin besar jumlah
pembiayaan yang diterima, mengharuskan debitur mengangsur setiap bulannya
dengan jumlah yang besar, sehingga memungkinkan nasabah sulit untuk
memenuhi kewajibannya secara lancar.
Jangka waktu pembiayaan diduga berbanding lurus dengan tingkat
pengembalian pembiayaan. Semakin lama jangka waktu pembiayaan maka akan
memperkecil angsuran yang harus ditanggung nasabah.
Frekuensi pembiayaan mengindikasikan bahwa, semakin sering menjadi
debitur pembiayaan pada KBMT, maka nasabah akan lebih memahami bagaimana
pola pembiayaan yang diambil dan bagaimana menggunakannya. Selain itu,
seringnya menjadi debitur menunjukkan kredibilitas nasabah tersebut tidak
diragukan lagi dalam memenuhi angsuran pembiayaan sehingga pihak KBMT
37
juga tidak ragu dalam memberikan pembiayaan kembali. Frekuensi pembiayaan
akan berbanding lurus dengan keberhasilan pengembalian pembiayaan.
Pola tagihan pembiayaan diduga menentukan keberhasilan pengembalian
pembiayaan. Jika tagihan dilakukan secara langsung oleh pengurus KBMT diduga
memiliki peluang pengembalian pembiayaan dengan lancar dibanding dengan
tagihan secara tidak langsung. Hal ini karena tagihan langsung lebih memudahkan
dan meringankan nasabah adalah hal waktu dan biaya.
Penggunaan pembiayaan diduga menentukan keberhasilan pengembalian
pembiayaan. Jika pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif maka diduga
memiliki peluang pengembalian pembiayaan dengan lancar dibanding dengan
penggunaan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif. Hal ini karena kegiatan
produktif memungkinkan memberikan laba sedangkan kegiatan konsumtif akan
menghabiskan biaya tanpa memberikan laba. Demikian pula jika pembiayaan
yang diterima nasabah digunakan untuk kegiatan produktif sekaligus konsumtif
maka diduga memiliki peluang pengembalian lancar karena memungkinkan
kegiatan konsumtifnya dapat dibayar dari laba kegiatan produktifnya.
Kerangka pemikiran operasional yang telah diuraikan di atas dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
38
Penyaluran pembiayaan bagi UMKM agribisnis
mempunyai resiko pengembalian pembiayaan tidak lancar
Faktor-faktor yang
Pengelolaan
mempengaruhi tingkat
penyaluran
pengembalian pembiayaan
pembiayaan
Tingkat pendidikan
Omzet usaha
Pengalaman usaha
Jumlah pembiayaan
Jangka waktu
Umpan
pembiayaan
balik Frekuensi pembiayaan
Pola tagihan
Jenis penggunaan
pembiayaan
Analisis Analisis
Kuantitatif
Deskriptif
(Regresi Logistik)
39
3.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka pemikiran, maka hipotesis yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Variabel tingkat pendidikan nasabah, omzet usaha debitur, pengalaman usaha
debitur, jangka waktu pembiayaan, frekuensi pembiayaan, pola tagihan
langsung, penggunaan pembiayaan untuk kegiatan produktif serta penggunaan
pembiayaan untuk kegiatan produktif sekaligus konsumtif berpengaruh positif
terhadap tingkat pengembalian pembiayaan.
2. Variabel jumlah pembiayaan yang diperoleh debitur, pola tagihan tidak
langsung, jenis penggunaan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif
berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian pembiayaan.
40
IV METODE PENELITIAN
41
terdiri atas nasabah dengan pembiayaan kurang lancar (kolektibilitas II),
pembiayaan diragukan (kolektibilitas III), dan pembiayaan macet (kolektibilitas
IV). Dari 84 debitur UMKM agribisnis diperoleh data 57 orang masuk dalam
Strata I, dan 27 orang masuk dalam Strata II. Tahap selanjutnya, menentukan
jumlah subsampel tiap strata dengan perhitungan sebagai berikut (Nazir, 1988):
Ni
ni = x n
N
Keterangan:
N = Jumlah satuan elementer dalam populasi
Ni = Jumlah satuan elementer dalam stata ke-i
n = Jumlah sampel keseluruhan
ni = Jumlah subsampel pada strata ke-i
Berdasarkan perhitungan di atas, dari 30 sampel yang digunakan maka
terdapat 20 responden untuk Strata I dan terdapat 10 responden untuk Strata II.
42
prediktor berskala metrik (kontinyu) atau kategorik terhadap variabel respon yang
berskala kategorik. Begitu pula menurut Hosmer dan Lemeshow (1989) metode
regresi logistik adalah metode analisis statistika yang menggambarkan hubungan
antara peubah respon yang bersifat kategori dengan satu atau lebih peubah bebas.
1) Estimasi Model Regresi Logistik
Pada model logit yang digunakan dalam penelitian ini, mengambil nilai 1
dan 0 untuk nilai variabel dependen/ respon (Y), yaitu sebagai berikut:
Y = 1 ; untuk pembiayaan lancar
Y = 0 ; untuk pembiayaan tidak lancar
Estimasi model regresi logistik menurut Sharma (1996):
p
Li = ln = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7Dp + β8 X8
p −1
Keterangan:
Li = Variabel respon, dimana:
p : peluang terjadinya Y = 1
p-1 : peluang terjadinya Y = 0
β0 = Konstanta atau intersep model garis regresi
βi = Koefisien variabel prediktor ke i (i = 1...8)
X1 = Tingkat pendidikan nasabah (tahun)
X2 = Omzet usaha (rupiah/bulan)
X3 = Pengalaman usaha (tahun)
X4 = Jumlah pembiayaan (rupiah)
X5 = Jangka waktu pembiayaan (hari)
X6 = Frekuensi pembiayaan (kali); 0 = nasabah telah meminjam lebih dari 1 kali
dan 1 = nasabah baru pertama kali meminjam
X7 = Pola penagihan; 0 = penagihan secara langsung dan 1 = penagihan secara
tidak langsung
X8 = Penggunaan pembiayaan; terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan
konsumtif, serta kegiatan produktif dan konsumtif
2) Uji Kelayakan Model
Pengujian terhadap kelayakan model menggunakan statistik G yang
merupakan nisbah kemungkinan maksimum untuk mengetahui peran variabel-
43
variabel prediktor dalam model secara simultan/ bersama-sama. Rumus uji G:
L
G = −2 ln 0
Lk
Keterangan: L0 = fungsi kemungkinan maksimum tanpa peubah penjelas
Lk = fungsi kemungkinan maksimum dengan peubah penjelas
Hipotesis: H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0
H1 : paling sedikit ada satu nilai βi ≠ 0, i = 1,2,....,n
Kriteria uji yang digunakan adalah:
≤ x 2 p.a , Terima H0
G=
> x 2 p.a , Tolak H0
Jika nilai G > X2p(α) atau p-value dari statistik G lebih kecil dari taraf nyata
(α = 0,05) maka keputusannya adalah menolak H0, artinya setidak-tidaknya ada
satu variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap variabel respon.
3) Uji Signifikansi Variabel Prediktor
Pengujian terhadap signifikansi masing-masing variabel prediktor
dilakukan dengan uji Wald (W), dengan statistik uji sebagai berikut:
)
β
W= )
SE(βk )
)
dimana: β = penduga β
) )
SE (β) = penduga galat baku (standard error) dari β
βk = Koefisien variabel prediktor ke-k
Hipotesis: H0 : βk = 0
H1 : βk ≠ 0 dengan k = 1,2,....,n
Statistik uji-Wald mengikuti sebaran normal (Z), dengan kriteria uji:
≤ Z a / 2 , Terima H0
W=
> Z a / 2 , Tolak H0
Jika nilai W > Z a / 2 atau two tailed p-value dari statistik W lebih kecil dari
taraf nyata (α = 0,05) maka keputusannya adalah menolak H0, artinya variabel
prediktor ke-k tersebut berpengaruh secara nyata terhadap variabel respon.
44
4.6. Definisi Operasional
1) Pembiayaan lancar yaitu apabila pelunasan pembiayaan tidak mengalami
penunggakan dari waktu yang disepakati antara KBMT WU dengan debitur.
2) Pembiayaan tidak lancar yaitu apabila pelunasan pembiayaan telah
mengalami penunggakan melampaui batas waktu yang disepakati antara
KBMT dengan debitur.
3) Tingkat pendidikan nasabah yaitu tingkat pendidikan formal yang pernah
dijalani oleh debitur, diukur dalam satuan tahun (tidak sekolah = 0, kelas 1 SD
= 1, kelas 2 SD = 2 dan seterusnya hingga tamat S1 = 16)
4) Omzet usaha yaitu jumlah penerimaan kotor rata-rata perbulan dari hasil
usaha debitur pada periode Januari – Desember 2008. Diukur dalam satuan
ribu rupiah.
5) Pengalaman usaha yaitu lama usaha yang digeluti debitur, diukur dalam
satuan tahun.
6) Jumlah pembiayaan adalah besarnya realisasi pembiayaan yang diterima
nasabah dalam satu kali transaksi dimana masa angsurannya selesai pada
tahun 2008. Diukur dalam satuan ribu rupiah.
7) Jangka waktu pembiayaan yaitu lama pengembalian atau pelunasan
pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian, diukur dalam satuan hari.
8) Frekuensi pembiayaan yaitu berapa kali debitur telah memperoleh
pembiayaan di KBMT WU.
9) Pola tagihan menerangkan apakah pengurus KBMT WU melakukan
penagihan pembiayaan secara langsung dengan mendatangi tempat debitur
responden atau dilakukan secara tidak langsung dimana debitur responden
mendatangi KBMT WU.
10) Penggunaan pembiayaan menerangkan apakah pembiayaan digunakan untuk
kegiatan produktif, kegiatan konsumtif atau kedua kegiatan tersebut sekaligus.
Kegiatan produktif adalah kegiatan usaha yang dapat menghasilkan laba.
Apabila pembiayaan digunakan untuk membiayai suatu kegiatan dan habis
begitu saja misalnya untuk biaya pengobatan, biaya pendidikan, dan lain-lain,
dikatakan bahwa pembiayaan digunakan untuk kegiatan konsumtif.
45
V GAMBARAN UMUM KBMT WIHDATUL UMMAH
Baitul Maal wat Tamwil Wihdatul Ummah (BMT WU) didirikan oleh
yayasan PERAMU (Pemberdayaan Masyarakat Mustadha’afiin) pada tanggal 1
November 1994. Pada awal pembentukkannya BMT WU belum memiliki badan
hukum, baru pada tanggal 28 Juli 1998 BMT WU mendapat legalitas sebagai
koperasi yang terdaftar pada Kantor Wilayah Departemen Koperasi dan PPK
Proponsi Jawa Barat dengan No. 822/BH/KWK 10/VII.1998. Pendirian KBMT
WU dilatarbelakangi harapan untuk memberikan pembiayaan kepada masyarakat
yang membutuhkan dana sehingga dapat meningkatkan kualitas, kuantitas dan
produktivitas usaha. Secara sinergis juga diharapkan dapat membebaskan umat,
pedagang atau pengusaha kecil dari cengkraman rentenir, kesempatan kerja
meningkat dan menuju perbaikan ekonomi umat sesuai dengan prinsip Islam.
KBMT WU berkantor di Jalan Raya Gunung Batu No. 1 A Kotamadya
Bogor. Wilayah kerjanya dikelompokan dalam wilayah inti dan wilayah sekitar
inti. Wilayah inti yaitu wilayah dengan radius 2 km dari lokasi kantor dengan
batas wilayah meliputi Pasar Merdeka, Jl. Merdeka, Jl. Mayor Oking, Paledang,
Jl. Nyi Raja Permas, Jl. Dewi Sartika, Ps. Anyar, Panaragan, Kebon Kalapa, Pasar
Gunung Batu, Ciomas, Pagelaran, Sindang Barang sedangkan wilayah sekitar inti
yaitu wilayah dengan radius 2 km dari batas luar wilayah inti atau maksimal 4 km
dari lokasi kantor KBMT WU meliputi Kecamatan Tanah Sareal, Kecamatan
Bogor Utara, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan
Ciomas, Kecamatan Ciampea, Kecamatan Darmaga, dan Taman Sari.
46
1) Menjadi koperasi yang sehat dan mandiri
2) Menjadi mitra terpercaya dan pilihan utama dalam bermuamalah
3) Memberikan kontribusi nyata untuk terciptanya ekonomi Islam
4) Memiliki sistem dan tata kerja yang unggul dengan sumber daya insani yang
profesional serta menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah.
5) Membangun kesadaran dan posisi tawar urami, khususnya anggota
6) Memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder
7) Mengembangkan dan meningkatkan skala urami, khususnya anggota
KBMT WU selain mengemban misi di atas, juga memiliki tujuan usaha
yang ingin dicapai dalam jangka panjang. Tujuan-tujuan tersebut adalah:
1) Meningkatkan dan mengembangkan ekonomi umat, khususnya pengusaha
kecil informal.
2) Meningkatkan produktivitas usaha dengan memberikan pembiayaan bagi
pengusaha kecil yang membutuhkan dana.
3) Membebaskan umat atau pelaku usaha dari cengkraman bunga atau rente.
4) Meningkatkan kuantitas dan kualitas usaha, sehingga dapat menambah
kesempatan kerja dan pendapatan.
5) Menghimpun dana umat yang selama ini tidak mau menyimpan uangnya di
bank-bank atau lembaga keuangan yang masih menggunakan sistem bunga.
47
Musyawarah Rapat Anggota
Manajer
48
akad apakah melanggar koridor atau tidak, sedangkan dewan pengawas
manajemen hanya sebatas menajemennya saja.
c) Ketua
Fungsi utama:
Melakukan kontrol atau pengawasan secara keseluruhan atas aktivitas lembaga
dalam rangka menjaga kekayaan BMT dan memberikan arahan dalam upaya
meningkatkan dan mengembangkan kualitas BMT.
Tanggung Jawab:
1) Bertanggungjawab atas aktivitas BMT dan melaporkan perkembangan unit
BMT kepada seluruh anggota melalui mekanisme rapat yang disepakati.
2) Terseleksinya calon karyawan sesuai dengan formasi yang dibutuhkan dan
mengeluarkan surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian karyawan.
3) Terkendalinya aktivitas simpan pinjam di BMT.
4) Terjaganya kondisi kerja yang aman dan nyaman di BMT.
5) Terbukanya kerjasama dengan pihak luar untuk mengembangkan usaha BMT.
6) Menjaga BMT agar aktivitasnya senantiasa sesuai dengan visi dan misi.
7) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia BMT.
d) Sekretaris
Fungsi Utama:
Melakukan pengelolaan administrasi yang berkaitan dengan badan pengurus.
Tanggung jawab:
1) Mengadministrasikan seluruh berkas yang menyangkut keanggotaan BMT.
2) Mengadministrasikan semua surat-surat masuk dan keluar, khususnya yang
berkaitan dengan badan pengurus.
3) Merencanakan rapat rutin koordinasi dan evaluasi kegiatan pengurus.
4) Mendistribusikan setiap hasil rapat pengurus atau anggota kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
e) Bendahara
Fungsi Utama:
Melakukan pengelolaan keuangan BMT secara keseluruhan.
Ketua, sekretaris dan bendahara berdasarkan Gambar 9 dalam struktur organisasi
berperan sebagai pengurus koperasi.
49
Tanggung Jawab:
1) Mengeluarkan laporan keuangan BMT kepada pihak yang berkepentingan.
2) Memberikan laporan perkembangan simpanan pokok dan wajib anggota.
f) Manajer
Fungsi Utama:
Merencanakan, mengkoordinasi, dan mengendalikan seluruh aktivitas lembaga
yang meliputi penghimpunan dana dari pihak ketiga dan penyaluran dana yang
merupakan kegiatan utama lembaga serta kegiatan yang secara langsung
berhubungan dengan aktivitas utama tersebut dalam upaya mencari target.
Tanggung Jawab:
1) Tersusunnya sasaran, rencana jangka pendek, jangka panjang, serta proyeksi
(finansial dan non finansial) tahunan.
2) Tercapainya target yang telah ditetapkan secara keseluruhan.
3) Terselenggaranya penilaian prestasi kerja karyawan.
4) Tercapainya lingkup kerja yang nyaman untuk semua pekerja yang
berorientasi pada pencapaian target.
5) Terjalinnya kerjasama dengan pihak lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
lembaga.
6) Terjaganya keamanan dana-dana masyarakat yang dihimpun dan pembiayaan
yang diberikan serta seluruh aktiva BMT.
7) Menjaga BMT agar aktivitasnya senantiasa sesuai dengan visi dan misinya.
g) Kepala Bagian Operasional
Fungsi Utama:
Merencanakan, mengarahkan, mengontrol serta mengevaluasi seluruh rangkaian
aktivitas di bidang operasional baik yang berhubungan dengan pihak internal
maupun eksternal yang dapat meningkatkan profesionalisme BMT khususnya
dalam pelayanan terhadap mitra maupun anggota BMT.
Tanggung Jawab:
1) Terselenggaranya pelayanan yang memuaskan (service excellent) kepada
mitra atau anggota BMT.
2) Terevaluasi dan terseleksinya seluruh permasalahan yang ada dalam
operasional BMT.
50
3) Terbitnya laporan keuangan, laporan perkembangan pembiayaan dan laporan
penghimpunan dana masyarakat secara lengkap, akurat dan sah baik harian,
bulanan atau periode yang ditentukan.
4) Terarsipkannya surat masuk dan surat keluar serta hasil rapat manajemen dan
rapat operasional.
5) Terselenggaranya seluruh aktivitas rumah tangga BMT yang mendukung
aktivitas BMT.
6) Terselenggaranya absensi kehadiran karyawan dan dokumentasi hasil
penilaian seluruh karyawan.
h) Teller
Fungsi Utama:
Merencanakan dan melaksanakan segala sesuatu transaksi yang sifatnya tunai.
Tanggung Jawab:
1) Terseleksinya laporan kas harian.
2) Terjaganya keamanan kas.
3) Tersedianya laporan cash flow pada akhir bulan untuk keperluan evaluasi.
i) Jasa Nasabah
Fungsi Utama:
Memberikan pelayanan prima kepada mitra berhubungan dengan produk funding
yang dimiliki oleh BMT dalam hal ini tabungan, deposito serta produk
pembiayaan.
Tangung Jawab:
1) Pelayanan terhadap pembukaan dan penutupan rekening tabungan dan
deposito serta mutasinya.
2) Pengarsipan tabungan dan deposito.
3) Pelayanan informasi pembiayaan.
4) Pelayanan terhadap pengajuan pembiayaan.
5) Pelaporan tentang perkembangan dana masyarakat dan pembiayaan.
j) ADMP (Administrasi Pembiayaan)
Fungsi Utama:
Mengelola administrasi pembiayaan mulai dari pencairan hingga pelunasan.
51
Tanggung Jawab:
1) Penyiapan administrasi pencairan pembiayaan (dropping).
2) Pengarsipan seluruh berkas pembiayaan.
3) Pengarsipan jaminan pembiayaan.
4) Penerimaan angsuran dan pelunasan pembiayaan.
5) Penyiapan kupon dan kontrol terhadap kupon.
6) Pembuatan laporan pembiayaan sesuai dengan periode laporan.
7) Membuat surat teguran dan peringatan mitra yang akan dan telah jatuh tempo.
k) Pembukuan
Fungsi Utama:
Mengelola administrasi keuangan hingga pelaporan keuangan.
Tanggung Jawab:
1) Pembuatan laporan keuangan.
2) Pengarsipan laporan keuangan dan berkas-berkas yang berkaitan secara
langsung dengan keuangan.
3) Menyiapkan laporan-laporan untuk keperluan analisis keuangan lembaga.
l) Kepala Bagian Marketing
Fungsi Utama:
Merencanakan, mengarahkan serta mengevaluasi target financing dan funding
serta memastikan strategi yang digunakan sudah tepat dalam upaya pencapaian
sasaran, termasuk dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah.
Tanggung Jawab:
1) Tercapainya target marketing baik funding maupun financing.
2) Terselenggaranya rapat marketing dan terselesaikannya permasalahan di
tingkat marketing.
3) Menilai dan mengevaluasi kinerja bagian marketing.
4) Melakukan penilaian terhadap potensi pasar dan pengembangan pasar.
m) Account Officer (AO)
Fungsi Utama:
Melayani pengajuan pembiayaan, melalui analisis kelayakan serta memberikan
rekomendasi atas pengajuan pembiayaan sesuai atas pengajuan pembiayaan sesuai
dengan hasil analisis yang telah dilakukan.
52
Tanggung Jawab:
1) Memastikan seluruh pengajuan pembiayaan telah diproses sesuai dengan
proses yang sebenarnya.
2) Memastikan analisis pembiayaan telah dilakukan dengan tepat dan lengkap
sesuai dengan kebutuhan dan mempresentasikan dalam rapat komite.
3) Terselesaikannya pembiayaan bermasalah.
4) Melihat peluang dan potensi yang ada dalam upaya pengembangan pasar.
5) Melakukan penanganan angsuran pembiayaan yang dijemput ke lokasi pasar.
n) Collector
Fungsi Utama:
Menjemput setoran baik angsuran pembiayaan maupun setoran tabungan mitra.
Tanggung Jawab:
1) Memastikan angsuran yang harus dijemput ditagih sesuai dengan waktunya.
2) Memastikan tidak ada selisih dana antara yang dijemput dengan dana yang
disetor ke BMT.
o) Mitra
Mitra pada KBMT WU terdiri atas dua jenis yaitu mitra anggota dan mitra biasa.
(a) Mitra Biasa
Merupakan mitra yang statusnya bukan anggota koperasi, namun hanya
sebagai nasabah pada KBMT WU.
(b) Mitra Anggota
Merupakan mitra KBMT yang berasal dari mitra biasa yang telah
mendapatkan pelatihan dari KBMT WU dan bersedia menjadi anggota KBMT
WU. Proses yang harus dilewati oleh mitra ini adalah PCAG (Pelatihan Calon
Anggota) dan PAG (Pelatihan Anggota). KBMT WU memberikan tawaran
kepada mitra biasa yang dipandang berprestasi untuk mengikuti pelatihan
dalam rangka seleksi untuk menjadi anggota. Proses yang harus ditempuh
adalah sebagai berikut:
1) Pelatihan Tahap 1 (bulan Januari)
Pada pelatihan ini mitra diberikan materi mengenai koperasi dan KBMT
baik yang menyangkut anggaran dasar koperasi, hak dan kewajiban
anggota serta mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).
53
2) Pendalaman Materi 1
Pelatihan ini dilakukan pada bulan Februari, Maret, April dan Mei setiap 1
bulan sekali di KBMT WU selama 2 jam.
3) Pelatihan Tahap 2
Tujuan penelitian ini agar mitra dapat menghitung beban pokok penjualan,
pengaturan ekonomi rumah tangga, pembukuan sederhana, dan analisis
kebutuhan modal. Pelatihan ini dilakukan pada bulan Juni/ Juli.
4) Pendalaman Materi 2
Pendalaman materi dalam pelatihan 2 yang dilakukan pada bulan Juli,
Agustus, September, Oktober dan November setiap 1 bulan sekali di
KBMT WU selama 2 jam.
5) Penerimaan Anggota
Pelatihan yang diselenggarakan pada bulan Desember untuk menentukan
penerimaan anggota.
Perbedaan status mitra pada KBMT WU ini memberikan pertimbangan
yang berbeda terkait dengan pemberian pembiayaan. Pada kedua jenis mitra
tersebut KBMT WU memberlakukan prosedur yang sama sebelum realisasi
pembiayaan. Namun demikian KBMT WU lebih memprioritaskan mitra anggota,
selain karena prestasinya hingga dipercaya sebagai anggota juga karena mitra ini
telah mendapatkan pelatihan terkait dengan ilmu koperasi dan usaha sehingga
diharapkan berbanding lurus dengan prestasi pembiayaannya.
54
kehilangan atau kerusakan. Semua manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dalam penggunaan tersebut menjadi hak KBMT WU artinya
tidak ada sistem bagi hasil dari lembaga keuangan untuk nasabah. Balas
jasa yang diberikan oleh KBMT WU kepada mitra berupa bonus (bukan
bunga) dimana nilai bonus tergantung dari pendapatan KBMT WU. Pada
tahun 2008 dana Tamam yang berhasil dihimpun oleh KBMT WU sebesar
Rp 2.452.503.916,00.
b) Ta’awun (Tabungan untuk Tolong-Menolong)
Jenis tabungan ini hanya ditujukan untuk anggota. Penghimpunan
dananya bersumber dari modal yang dialokasikan secara khusus serta dari
dana zakat, infaq dan shadaqah.
2) Deposito
Merupakan produk funding dengan setoran minimal Rp 100.000,00
dan kelipatannya. Produk ini mengunakan prinsip bagi hasil dengan akad
mudharabah. Pada tahun 2008 dana deposito yang berhasil dihimpun oleh
KBMT WU sebesar Rp 1.365.800.000,00.
B. Produk Penyaluran Dana (Landing)
Secara garis besar bentuk penyaluran dana di KBMT WU terbagi dalam
tiga kategori yaitu sebagai berikut:
1) Pinjaman
Produk landing dalam bentuk pinjaman yaitu penyaluran dana kepada
masyarakat yang bersifat non bisnis. Produk tersebut berupa pinjaman
kebajikan yang terdiri atas:
a) Al qardh
Produk ini berupa pinjaman yang diberikan kepada mitra KBMT
dengan tujuan untuk kebajikan (tolong-menolong) seperti untuk membayar
uang sekolah, biaya berobat, dll. Dana untuk pinjaman ini diambil dari
penyisihan modal KBMT yang telah dihimpun dalam Ta’awun. Pada
produk ini KBMT tidak mengambil jasa atas dana yang dipinjamkan.
Besarnya pengembalian pinjaman oleh nasabah sama dengan besarnya
pokok pinjaman dan hanya membayar sejumlah uang administrasi.
55
b) Al Qardhul Hasan
Sasaran produk ini sama dengan al qardh, namun sumber pinjaman ini
berasal dari zakat, infaq dan sadhaqah yang dihimpun dalam Ta’awun,
oleh karenanya peminjam tidak diwajibkan mengembalikan pinjaman.
2) Pembiayaan (Financing)
Produk pembiayaan yaitu penyaluran dana kepada masyarakat untuk
kegiatan yang besifat bisnis. Jenis pembiayaan ini diantaranya:
a) Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jual Beli (Murabahah)
Produk pembiayaan jual beli di KBMT WU baru menerapkan satu
akad yaitu akad murabahah. Pembiayaan murabahah yaitu suatu
perjanjian bisnis jual beli antara KBMT dengan mitranya dimana dalam
melakukan akad kedua belah pihak mengetahui jenis barang, harga pokok
dan nilai keuntungan untuk KBMT.
b) Produk Bagi Hasil
(a) Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan ini berupa perjanjian kerjasama bisnis antara KBMT WU
sebagai pemodal dengan mitra (pelaksana usaha produktif) untuk
menjalankan suatu usaha dengan bagi hasil keuntungan. Dalam akad
ini KBMT WU tidak melibatkan wakilnya dalam pengelolaan usaha
kerjasama tersebut. Jika terjadi kerugian usaha yang bukan
dikarenakan kesalahan pengelolaan, maka KBMT WU akan
menanggung resiko atas modal dan pengelola menanggung kerugian
atas tenaga dan skill yang dicurahkan untuk usaha tersebut.
(b) Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan ini tidak jauh berbeda dengan mudharabah, bedanya
KBMT WU menempatkan wakilnya dalam pengelolaan usaha dan
pengelola usaha juga ikut menempatkan sejumlah uang dalam usaha
tersebut. Resiko kerugian usaha ditanggung bersama sesuai porsi modal.
3) Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Jasa
a) Al Ijarah
Produk ini berupa perjanjian pembiayaan sewa-menyewa antara
KBMT WU dengan mitra/ nasabah contohnya sewa menyewa ruko atau
56
kios. Praktek dari produk ini adalah KBMT WU membayar sewa secara
tunai dari produk yang akan disewakan oleh pemiliknya. KBMT WU
kemudian menyewakan kembali kepada mitranya dengan sistem
pembayaran secara angsuran dimana periode dan nilai angsurannya telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Nilai yang dibayarkan mitra kepada
KBMT WU terdiri dari harga pokok sewa KBMT WU pada pemilik
produk ditambah sejumlah jasa KBMT WU (Fee).
b) Al Hiwalah
Produk ini berupa penalangan hutang bisnis oleh KBMT WU kepada
mitra yang memiliki piutang terhadap orang lain. Produk pembiayaan ini
bertujuan membantu mitra yang memerlukan dana cepat sedangkan orang
yang berhutang kepadanya belum mampu membayarnya dalam waktu
dekat. Dalam produk ini KBMT WU mengambil jasa atas dana yang
digunakan untuk penalangan hutang bisnis.
Tabel 5. Tingkat Kesehatan KBMT Wihdatul Ummah Tahun 2007 dan 2008
2007 2008
Faktor Penilaian
Rasio (%) Skor Rasio (%) Skor
Modal (CAR) 8,3 5,7 7,5 3,8
Kualitas aktiva produktif
Rasio aktiva yang diklasifikasikan 4 25,0 2 25,0
Rasio cadangan penghapusan piutang 91 4,6 93 4,7
Rasio rentabilitas
ROA 1 4,8 2 5,0
BOPO 93 4,5 90 5,0
Manajemen 58 24,2 58 24,2
Likuiditas
1. Alat likuid 39 5,0 36 5,0
2. LDR 59 5,0 62 5,0
Total 78,8 77,6
57
Berdasarkan Tabel 5, tingkat kesehatan pada KBMT WU dikategorikan
cukup sehat dengan skor 77,6 pada tahun 2008 sedikit menurun dari tahun 2007
sebesar 78,8. Rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) KBMT WU pada tahun 2008
sebesar 7,5 persen, artinya rasio modal bank dibanding aktiva tertimbang menurut
resiko sebesar 7,5 persen. Menurut kategori perbankan CAR di atas empat persen
termasuk dalam kategori A. Tetapi penghimpunan dana pada tahun 2008 belum
tercapai CAR yang ideal karena untuk mencapai tingkat CAR yang ideal sebesar
12, 5 persen diperlukan tambahan modal Rp 179 juta.
Tingkat profit salah satunya dapat dilihat dari ROA (Return On Asset).
Pada tahun 2008 ROA KBMT WU sebesar dua persen. ROA tersebut
membandingkan laba yang didapatkan dengan seluruh sumber daya input atau
total aset yang dimiliki oleh KBMT WU. Jika semakin sedikit nilai ROA, maka
mencerminkan total aset yang dimiliki KBMT WU semakin besar.
LDR (Loan to Deposit Ratio) KBMT WU sebesar 62 persen. LDR ini
merupakan rasio total kredit yang diberikan oleh KBMT WU dibandingkan total
dana pihak ketiga yang dihimpun. Rasio ini menggambarkan kemampuan KBMT
WU membayar kembali kewajiban kepada para nasabah yang telah menanamkan
dananya dengan menarik kembali kredit-kredit yang diberikan kepada para
debiturnya. Semakin tinggi rasio ini maka semakin rendah kemampuan
likuiditasnya. Pada tahun 2008 rasio LDR sebesar 62 persen termasuk dalam
kategori likuid dan baik karena LDR dikatakan tidak baik jika rasionya melebihi
110 persen.
Nilai BOPO KBMT WU pada tahun 2008 sebesar 90 persen. Biaya
Operasional (BOPO) merupakan besarnya pengeluaran untuk membiayai kegiatan
operasionalnya. Nilai 90 persen menunjukkan biaya operasional di KBMT WU
sangat tinggi. Hal ini dapat mengurangi keuntungan yang dimiliki. Oleh karena itu
sebaiknya dikurangi dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen yang efektif.
58
1) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan jangka waktu angsuran
perhari/ minggu
a) 30 hari : lancar/ kolektibilitas I
b) 31-90 hari : kurang lancar/ kolektibilitas II
c) 90-120 hari : diragukan/kolektibilitas III
d) > 120 hari : macet/kolektibilitas IV
2) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan jangka waktu angsuran
perbulan
a) < 3 bulan : lancar/ kolektibilitas I
b) 3-6 bulan : kurang lancar/ kolektibilitas II
c) 6-9 bulan : diragukan/kolektibilitas III
d) > 9 bulan : macet/kolektibilitas IV
3) Terlambat dalam pembayaran pinjaman dengan angsuran berdasarkan jatuh
tempo
a) belum jatuh tempo : lancar/ kolektibilitas I
b) sudah jatuh tempo (> 3 bulan) : kurang lancar/ kolektibilitas II
c) sudah jatuh tempo (6 bulan) : diragukan/kolektibilitas III
d) sudah jatuh tempo (> 6 bulan) : macet/kolektibilitas IV
Klasifikasi tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU
berdasarkan kategori di atas dapat diketahui bahwa tingkat pengembalian
pembiayaan lancar pada tahun 2008 mencapai 97 persen meningkat dari tahun
2007 yang telah mencapai 93 persen (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa manajemen
KBMT WU telah berhasil mengurangi nilai tunggakan dari para debiturnya.
59
5.7. Pengelolaan KBMT Wihdatul Ummah dalam Mendukung Keberhasilan
Penyaluran Pembiayaan
Pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran
pembiayaan dilakukan dengan beberapa tindakan yaitu menetapkan prosedur
penyaluran pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan bermasalah.
5.7.1. Prosedur Penyaluran Pembiayaan
Prosedur ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya resiko tunggakan pada
pembiayaan yang akan disalurkan kepada calon debitur, prosedur tersebut sebagai
berikut:
1) Pengajuan Pembiayaan
Untuk memperoleh fasilitas pembiayaan maka tahap pertama mitra
mengajukan permohonan pembiayaan kepada KBMT WU. Mitra dapat
melakukan pengajuan pembiayaan dengan langsung datang ke KBMT, bagi mitra
lama atau yang sebelumnya pernah mengajukan pembiayaan bisa melakukan
pengajuan secara tidak langsung misalnya melalui telepon. Pengajuan pembiayaan
ditangani bagian Janas (Jasa Nasabah) dimana mitra pengaju diwawancara untuk
pengisian APP (Aplikasi Permohonan Pembiayaan). Informasi-informasi yang
terdapat pada APP menyangkut:
a) Identitas diri mitra pengaju
b) Tujuan penggunaan dana, jumlah yang diajukan, aqad pembiayaan, rencana
pembayaran, jaminan.
c) Pendekatan syarat BMT meliputi: lama usaha minimal satu tahun, plafond di
bawah BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), persetujuan istri/ suami,
angsuran dibayar dari modal kerja dan wilayah usaha berada pada wilayah
usaha BMT.
d) Gambaran aktiva keluarga
e) Profil keuangan rumah tangga
f) Profil usaha
g) Denah lokasi rumah dan lokasi usaha
Apabila pendekatan syarat BMT seperti di atas tidak terpenuhi maka Janas
dapat menyampaikan langsung penolakan pembiayaan kepada mitra pengaju.
Namun apabila ketentuan terpenuhi dan semua data telah lengkap dengan
melampirkan salinan identitas diri beserta kartu keluarga, maka Janas
60
mendistribusikan APP kepada Kepala Bagian Marketing dan untuk selanjutnya
kepala bagian marketing akan menunjuk AO (Account Officer) untuk memproses
pembiayaan yang diajukan tersebut.
2) Analisis Pengajuan Pembiayaan
Usulan pembiayaan kemudian diproses oleh AO dengan melakukan
investigasi. Langkah awal yang dilakukan adalah analisis data pada APP sebagai
bahan dalam melakukan survei usaha dan rumah yang biasa disebut dengan On
The Spot (OTS). Hal ini dilakukan untuk penyelidikan data yang ada pada APP
apakah sesuai dengan kondisi di lapangan. Kegiatan investigasi meliputi prinsip
penilaian 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition) yaitu:
(1) Character, penilaian ini meliputi analisis yuridis ke bagian administrasi
pembiayaan, selain itu AO dapat melakukan wawancara informal dengan
pihak-pihak yang berkaitan dengan calon peminjam seperti tetangga, rekan
usaha, supplier bahan baku, karyawan dan sebagainya untuk memperoleh
informasi tentang calon peminjam.
(2) Capacity, penilaian ini untuk menngetahui apakah usaha dari mitra layak/
tidak untuk mendapatkan pembiayaan. Informasi yang dibutuhkan untuk
penilaian kelayakan usaha adalah tahun pendirian usaha, cara
mempertahankan karyawan, lokasi usaha (bila tidak strategis bagaimana cara
mengatasinya), sumber dan cara memperoleh barang, jenis dan cara
mendapatkan konsumen, cara penjualan, faktor yang mempengaruhi harga,
sarana penunjang usaha, kemampuan mitra dalam melakukan usaha, serta
tingkat perputaran persediaan barang.
(3) Capital, kemampuan modal dinilai dengan pendekatan saving power yaitu
kemampuan mitra melakukan angsuran dengan plafond yang sesuai. Hal ini
dinilai dari laba bersih usaha setelah dikurangi dengan kebutuhan rumah
tangga sehingga akan diperoleh saving power. Rasio angsuran besarnya
maksimal 75 persen dari saving power
(4) Collateral, jaminan digunakan sebagai penguat apabila kepribadian mitra yang
bersangkutan meragukan. Penilaian terhadap jaminan meliputi jenis jaminan,
nama pemilik, persetujuan pemilik, tahun pembuatan, kondisi jaminan, nilai
taksasi sekarang dan saat jatuh tempo, dan proyeksi plafond maksimal adalah
61
80 persen dari nilai taksasi saat jatuh tempo, sehingga diperoleh kesimpulan
apakah jaminan memadai atau tidak. Batasan jaminan disesuaikan dengan
besarnya plafond, yaitu:
< 5 juta : jaminan dapat berupa harta lancar
5 – 10 juta : jaminan berupa BPKB
> 10 juta : jaminan berupa surat tanah, AJBT (akta jual beli tanah)
(5) Condition, penilaian condition didasarkan pada titik kritis yang dihadapi oleh
mitra baik dari sisi usaha, keluarga, maupun BMT.
(a) Usaha.
Pendekatan tentang faktor yan berpengaruh terhadap kinerja mitra dari segi
konsumen, supplier, karyawan, pesaing, kemampuan mitra dalam mengelola
usaha, serta situasi eksternal yang dapat memperburuk kondisi usahanya.
Apabila ada faktor-faktor tersebut maka harus diketahui bagamana cara
mengatasinya.
(b) Keluarga
Kesehatan, keharmonisan, pendidikan merupakan faktor yang dapat
berpengaruh bagi usaha mitra dari segi keluarga untuk itu harus diketahui cara
mengatasinya.
(c) BMT
Menyangkut faktor internal yang digunakan oleh BMT tentang penilaian
terhadap mitra dan bagaimana cara mengatasinya.
Hasil investigasi di atas selanjutnya diproses untuk menyusun MAP
(Memorandum Analisa Pembiayaan) yang di dalamnya terdapat informasi-
informasi berupa:
a) Profil keluarga dan profil usaha
b) Pengajuan
c) Analisis dan rekomendasi
Dalam bagian ini terdapat pendekatan syarat BMT, pendekatan karakter,
pendekatan kelayakan usaha, pendekatan jaminan, pendekatan saving
power, pendekatan titik-titik kritis, rekomendasi dari AO proses untuk
menentukan plafond dan jumlah angsuran.
62
d) Keputusan akhir rapat komite
Apabila terdapat kondisi yang tidak sesuai antara data pada APP dengan
hasil survei maka pembiayaan yang diajukan akan ditolak, namun jika
sesuai akan diproses lebih lanjut.
3) Persetujuan Komite Sirkuler BMT
Berkas MAP yang telah diproses oleh AO selanjutnya diajukan ke komite
sirkuler. Komite sirkuler terdiri dari pejabat 1 yaitu kepala bagian marketing dan
pejabat 2 yaitu manajer. Berkas MAP didistribusikan kepada komite 1 dan 2 untuk
dilakukan proses RTL (Rencana Tindak Lanjut), jika ada pertanyaan dari komite 1
atau 2 tentang hasil MAP maka akan dikembalikan kepada AO untuk dijawab.
Jika pembiayaan telah mendapat persetujuan dari komite maka AO melakukan
negosiasi dengan mitra mengenai besarnya plafond, jumlah angsuran dan cara
pembayaran. Apabila mitra menyetujui maka mitra menandatangani lembar
persetujuan negosiasi untuk selanjutnya dibuat Surat Persetujuan Pembiayaan
(SPP) dan semua berkas pembiayaan diserahkan ke bagian administrasi
pembiayaan untuk dimintakan tanda tangan komite pembiayaan.
4) Pengikatan Pembiayaan dan Dropping Dana
Setelah mendapat persetujuan dari komite pembiayaan, tahap selanjutnya bagian
administrasi pembiayaan mempersiapkan pengikatan pembiayaan (akad
pembiayaan). Sebelum dilakukan pengikatan, semua dokumen asli dan dokumen
jaminan harus telah diterima. Setelah dilakukan pengikatan pembiayaan, proses
dropping (pencairan) dana dapat dilakukan. Dropping dana dilakukan oleh Kepala
Bagian Operasional, apabila yang bersangkutan tidak ada maka diganti oleh
Kepala Bagian Marketing, apabila juga tidak ada maka dilakukan oleh
(administrasi pembiayaan) dan apabila tidak ada juga maka diganti oleh AO tetapi
bukan AO yang memproses pembiayaannya. Pada waktu dropping dibacakan
akad dan dilakukan verivikasi tanda tangan calon peminjam.
Secara ringkas tahap pembiayaan pada KBMT WU menurut bagian-bagian
yang menangani dapat dilihat pada gambar berikut:
63
Account Officer
Jasa Nasabah Kabag Marketing
Analisis Pengajuan
Pengajuan pembiayaan Menunjuk AO Pembiayaan berdasarkan 5
dengan mengisi APP C dan pemrosesan MAP
Komite Sirkuler
Rencana Tindak Lanjut (setuju/tidak)
64
bulan selanjutnya. Dalam kegiatan ini dievaluasi masalah-masalah yang
timbul dalam aktivitas pembiayaan yang bermasalah serta penentuan tindakan
penanganan yang tepat.
c) Evaluasi Semesteran
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi kegiatan yang telah
dilakukan selama enam bulan sebelumnya dan membuat perbaikan
perencanaan dalam enam bulam berikutnya dengan disesuaikan dengan hasil
evaluasi yang telah dilakukan untuk enam bulan sebelumnya.
Selain melakukan hal di atas, tindakan pencegahan pembiayaan
bermasalah yang juga dilakukan KBMT WU diantaranya:
a) Penyaringan mitra sesuai dengan tingkat kolektibilitas pembiayaan KBMT
WU dengan tujuan untuk mengetahui prestasi angsuran mitra.
b) Diversifikasi Pembiayaan. Diversifikasi pembiayaan pada KBMT WU
didasarkan atas jenis usaha, wilayah geografis, besarnya tingkat plafond yang
diajukan, pola pembayaran dan penagihan serta berdasarkan lama usaha mitra.
Berdasarkan jenis usaha terbagi atas sektor perdagangan, jasa, industri dan
lain-lain sedangkan berdasarkan wilayahnya KBMT WU mendiversifikasikan
wilayah yang terdiri atas wilayah inti dan sekitar inti. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan teknis penagihan dan evaluasi pembiayaan.
c) Memenuhi BMPK. Pembiayaan yang diberikan harus memenuhi plafond atau
persyaratan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kedit), untuk KBMT WU
BMPK sebesar 50 juta. Kebijakan ini berlaku sejak tahun 2003.
2) Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah
Penyebab pembiayaan bermasalah pada KBMT WU diklasifikasikan
dalam tiga kelompok yaitu:
a) Kondisi ekonomi, sosial dan politik global
Penyebab pembiayaan bermasalah pada kelompok ini adalah adanya
perubahan dalam kondisi ekonomi, politik, kebijakan pemerintah daerah, dan
sebagainya yang berpengaruh pada kelangsungan usaha nasabah.
b) BMT (internal)
Pembiayaan yang bermasalah kadang disebabkan oleh internal BMT yaitu
pada proses investigasi pengajuan, misalnya:
65
(a) Kesalahan dalam analisis nilai taksasi jaminan
(b) Terlalu mempercayai mitra PAG atau PCAG
(c) Analisis usaha yang tidak detail
(d) Penegasan barang jaminan yang kurang jelas
(e) Kesalahan penilaian atas rekomendasi orang yang bisa dipercaya sebagai
jaminan yang akan menanggung apabila pembiayaan macet.
c) Mitra
Penyebab pembiayaan bermasalah dari kelompok ketiga disebabkan oleh
mitra itu sendiri. Hal ini biasanya disebabkan oleh:
(a) Mitra kemalingan
(b) Mitra yang pindah tempat tinggal
(c) Kondisi keluarga mitra seperti konflik keluarga atau terdapat keluarga
yang sakit sehingga membutuhkan biaya pengobatan yang pada akhirnya
menghambat pembayaran angsuran.
(d) Mitra kesulitan untuk memperoleh barang dagangan karena kelangkaan
barang atau karena kondisi ekonomi negara yang tidak mendukung.
Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah terbagi atas dua bagian yang
didasarkan pada tingkat kolektibilitas debitur, yaitu dalam perhatian umum dan
dalam perhatian khusus.
a) Dalam perhatian umum
Debitur dengan kolektibilitas 2 (kurang lancar) mendapatkan penanganan
dalam perhatian umum. Pada kasus ini biasanya penanganannya dilakukan
oleh AO yang memproses pembiayaan dari yang bersangkutan. Tindakan yang
dilakukan adalah memonitoring usaha dari mitra dan adanya teguran dari
pihak BMT melalui AO yang memprosesnya.
b) Dalam perhatian khusus
Kolektibilitas 2 yang sudah membahayakan, kolektibilitas 3 dan kolektibilitas
4 masuk ke dalam penanganan khusus. Penanganannya dilakukan oleh AO
yang memproses pembiayaan dengan dibantu oleh bagian KAP, tetapi pada
akhirnya yang akan menangani adalah bagian KAP.
KBMT WU dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan aktivitas
penyaluran dananya terhadap publik penyimpan dana. Untuk itu kualitas
66
pembiayaan haruslah diperhatikan, karena hal ini berkaitan dengan
pembentukan kualitas aktiva produktif bagi KBMT WU. Peningkatan
pembiayaan bermasalah mewajibkan KBMT WU membentuk cadangan
penghapusan piutang yang diambil dari pendapatan atau laba yang diperoleh.
Peningkatan pembiayaan bermasalah NPF (Non Performing
Financing)menyembabkan peningkatan jumlah cadangan penghapusan
piutang sehingga mengurangi modal KBMT.
Sadar akan pentingnya hal tersebut maka KBMT WU berupaya untuk
dapat mengurangi jumlah pembiayaan bermasalah melalui berbagai cara
penyelamatan pembiayaan bermasalah. Teknik penyelesaian pembiayaan
bermasalah pada KBMT WU dilakukan dengan beberapa metode yaitu:
a) Resceduling
Pada penelitian ini KBMT WU memberikan kelonggaran kepada
mitranya untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo dengan jalan
menunda tanggal jatuh tempo tersebut. Dalam hal ini KBMT WU
menggunakan istilah pembaharuan yaitu menyusun jadwal baru untuk
angsuran setelah dilakukan analisis kelayakan usaha mitra. Besar dan lama
angsuran dipengaruhi oleh kondisi keuangan mitra.
b) Restructuring
KBMT WU melakukan langkah ini dengan memberikan tamabahan
jumlah pembiayaan kepada mitra apabila dirasa dengan penambahan jumlah
pembiayaan tersebut dapat memperbaiki usaha sehingga meningkatkan
prestasi angsuran.
c) Penyitaan jaminan
Penyitaan jaminan dilakukan apabila pembaharuan sudah tidak mungkin
lagi dilakukan. Jaminan yang disita adalah jaminan yang tercatat dalam MAP
(Memorandum Analisa Pembiayaan).
67
VI KARAKTERISTIK RESPONDEN BERDASARKAN TINGKAT
PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN
68
pendidikan seseorang maka pengetahuan dan wawasannya semakin bertambah
sehingga akan mendukung kemampuan mengelola usaha dengan baik.
69
kelompok ini memiliki proporsi tingkat pengembalian tidak lancar yang paling
besar (70%). Kelompok nasabah yang kedua adalah nasabah yang memiliki omzet
lebih dari Rp 8,3 hingga Rp 83,3 juta per bulan yang merupakan nasabah skala
usaha kecil. Kelompok ini merupakan kelompok yang memiliki proporsi tingkat
pengembalian pembiayaan yang paling baik dibanding kelompok lainnya yaitu
sebesar 60%. Kelompok yang ketiga adalah nasabah dengan skala usaha
menengah dengan omzet usaha lebih dari Rp 83,3 juta per bulan. Pada kelompok
ini hanya terdapat satu nasabah dan mampu mengembalikan pembiayaan dengan
lancar.
Tabel 8. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Omzet Usaha untuk
Setiap Tingkat Pengembalian
Pengembalian
Omzet Usaha Lancar Tidak Lancar Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
≤ 8,3 juta 7 35 7 70 14 47
> 8,3 juta – 83,3 juta 12 60 3 30 15 50
> 83,3 juta 1 5 0 0 1 3
Total 20 100 10 100 30 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
b) Pengalaman Usaha
Penyaluran pembiayaan bertujuan untuk membantu perkembangan usaha
nasabah, untuk itu pada KBMT WU diberlakukan syarat kepada calon nasabah
pembiayaan yaitu telah menjalankan usaha minimal selama 1 tahun. Ketentuan ini
bertujuan untuk melihat daya tahan usaha dan peluang perkembangan usaha
nasabah. Pada Tabel 9 terlihat bahwa kelompok nasabah yang memiliki tingkat
70
pengembalian pembiayaan paling baik adalah nasabah dengan pengalaman usaha
antara 11 tahun hingga 20 tahun dengan proporsi 40 persen. Kemudian dapat
dilihat bahwa kelompok nasabah dengan pengalaman usaha 1 tahun hingga 10
tahun memiliki proporsi pengembalian tidak lancar paling besar (70%)
dibandingkan kelompok nasabah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
pengalaman usaha yang belum matang memberikan peluang lebih besar untuk
pengembalian tidak lancar karena masih kurang baik dalam mengatur keuangan
usaha.
71
b) Jangka Waktu Pembiayaan
Jangka waktu pembiayaan merupakan waktu jatuh tempo seorang debitur
dalam membayar seluruh pembiayaan/ pinjaman yang diberikan termasuk
pembayaran balas jasanya (fee). Semakin panjang jangka waktu tersebut maka
beban debitur dalam membayar angsuran semakin longgar/ ringan. Umumnya
KBMT WU memberikan jangka waktu jatuh tempo pelunasan pembiayaan dalam
100 hari, 125 hari, 150 hari untuk pola angsuran harian dan 1 tahun; 1,5 tahun dan
2 tahun untuk pola angsuran pekanan atau bulanan. Pola angusuran pada nasabah
yang menjadi responden penelitian ini sebagian besar mempunyai pola angsuran
harian. Jangka waktu pembiayaan ditentukan berdasarkan kemampuan nasabah
dalam membayar besarnya angsuran setiap kali mengangsur.
Tabel 11. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Jangka Waktu
Pembiayaan untuk Setiap Tingkat Pengembalian
Pengembalian
Jangka Waktu
Pembiayaan Lancar Tidak Lancar Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
< 150 hari 7 35 6 60 13 43
150 - 300 hari 7 35 3 30 10 33
> 300 hari 6 30 1 10 7 23
Total 20 100 10 100 30 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
b) Frekuensi Pembiayaan
72
Pengalaman dalam mengambil pembiayaan akan memberikan
pengetahuan tambahan bagi seorang pengusaha karena semakin besar frekuensi
pembiayaan akan memberikan kemampuan yang lebih terarah dalam mengatur
arus kas perusahaan. Bagi pihak KBMT pengalaman pengambilan pembiayaan
akan menjadi informasi penting dalam melihat karakter seorang nasabah.
Frekuensi pembiayaan merupakan salah satu pertimbangan untuk
menentukan besarnya dropping pembiayaan yang akan diberikan kepada calon
nasabah. KBMT akan sangat mempertimbangkan pemberian pembiayaan kepada
nasabah yang pengalaman pembiayaan sebelumnya tidak baik. Hal ini berlaku
pada lembaga keuangan di seluruh Indonesia. Tingkat pengembalian pembiayaan
berdasarkan frekuensi pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 12.
73
Kenyataan bahwa debitur dengan pembiayaan lebih dari lima kali justru
paling banyak melakukan penunggakan perlu dicari penyebabnya. Berdasarkan
wawancara dengan responden, informasi yang didapatkan bahwa rentannya
stabilitas usaha yang dipengaruhi oleh tingkat persaingan dan kondisi
perekonomian nasional (fluktuasi biaya produksi) merupakan salah satu
penyebabnya. Pada awalnya para debitur tersebut stabil dalam usaha dan lancar
dalam memenuhi kewajiban pembiayaannya, namun karena ketidaksiapan dan
tidak adanya antisipasi terhadap permasalahan tersebut menyebabkan semakin
rendah pendapatan para debitur dan kesulitan membayar angsuran.
d) Pola Penagihan
Pola penagihan dalam penelitian ini dibedakan atas penagihan secara
langsung dan tidak langsung. Penagihan secara langsung artinya pihak collector
KBMT yang mendatangi ke tempat debitur, pola ini banyak dipilih oleh debitur
dengan persentase sebesar 87 persen. Hal ini karena debitur tidak perlu
mengeluarkan biaya transportasi, selain itu debitur yang sebagian besar
merupakan pedagang dan mempunyai pola tagihan harian tidak memungkinkan
untuk meninggalkan usahanya. Sedangkan pola tagihan tidak langsung dimana
debitur yang mendatangi KBMT memiliki persentase sebesar 13 persen. Mereka
yang memilih pola ini karena pertimbangan lokasi rumah yang dekat KBMT dan
memiliki pola pembayaran pekanan/ bulanan.
Tabel 13. Sebaran Jumlah dan Persentase Responden Menurut Pola Penagihan
untuk Setiap Tingkat Pengembalian
Pengembalian
Pola Penagihan Lancar Tidak Lancar Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Langsung 16 80 10 100 26 87
Tidak Langsung 4 20 0 4 13
Total 20 100 10 100 30 100
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
74
menggunakan pola penagihan secara langsung, hal ini karena keinginan untuk
mendapatkan kemudahan tidak diiringi dengan tanggung jawab terhadap
ketertiban dalam megembalikan pembiayaan.
e) Penggunaan Pembiayaan
Pembiayaan yang diterima oleh responden penelitian ini digunakan untuk
kegiatan produktif, konsumtif atau kedua kegiatan itu sekaligus (sebagian untuk
kegiatan produktif dan sebagian lagi untuk kegiatan konsumtif). Dari Tabel 14
terlihat bahwa pemberian pembiayaan untuk kegiatan produktif lebih banyak
dibanding untuk kegiatan lainnya yaitu sebesar 63 persen. Pada kelompok debitur
pengembalian lancar maupun tidak lancar, persentase terbesar terdapat pada
penggunaan kegiatan produktif, dengan nilai masing-masing 70 persen dan 50
persen. Penggunaan untuk kegiatan konsumtif yang dilakukan oleh responden
diantaranya untuk biaya pendidikan anak, renovasi rumah, dan berobat, sedangkan
kegiatan produktif yang dilakukan responden diantaranya untuk peningkatan
volume usaha.
75
VII FAKOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN
76
Tabel 15. Hasil Pengolahan Regresi Logistik Mengenai Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Pengembalian Pembiayaan pada KBMT WU
Variabel Independen Koefisien Nilai Z Nilai P Odds Ratio
Konstanta -16,6461 -1,88 0,060
Tingkat Pendidikan 0,663807 1,97 0,049 1,94
Omzet Usaha 0,0002080 1,24 0,214 1,00
Pengalaman Usaha 0,420853 1,97 0,049 1,52
Jumlah Pembiayaan -0,0004948 -0,97 0,334 1,00
Jangka Waktu Pembiayaan 0,0399534 1,60 0,109 1,04
Frekuensi Pembiayaan -4,83944 -1,36 0,173 0,01
Pola Penagihan 0,394811 0,08 0,936 1,48
Kegiatan Pembiayaan
Konsumtif -0,722283 -0,39 0,694 0,49
Produktif dan konsumtif 2,95312 0,94 0,346 19,17
Sumber: Data Primer, diolah (2009)
a) Tingkat Pendidikan
Koefisien variabel tingkat pendidikan dari hasil regresi logistik adalah
positif (0,663807), menunjukkan hubungan positif antara variabel tingkat
pendidikan dengan tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU.
77
Berdasarkan hasil wawancara, debitur dengan tingkat pendidikan rendah
didominasi oleh debitur skala usaha mikro. Sistem pengelolaan usahanya masih
sederhana dan memiliki omzet usaha yang relatif rendah sehingga berkorelasi
dengan kemampuan dalam penyediaan anggaran untuk angsuran pembiayaan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan memberikan peluang pengelolaan dan omzet
usaha semakin baik maka akan semakin mendukung kelancaran pengembalian
pembiayaan. Hal ini berarti KBMT WU perlu memberikan bimbingan usaha
kepada debitur dengan tingkat pendidikan yang masih rendah agar lebih baik
dalam mengelola usahanya. P-value statistik Z pada variabel ini sebesar 0,049 (P
< 0,05) sehingga cukup bukti untuk mengatakan bahwa tingkat pendidikan
berpengaruh nyata terhadap pengembalian pembiayaan pada KBMT WU.
b) Omzet Usaha
Koefisien variabel omzet usaha bernilai positif (0,000208) artinya terdapat
hubungan searah antara variabel omzet usaha dengan variabel respon tingkat
pengembalian pembiayaan. Semakin besar omzet usaha per bulan seorang
nasabah maka nasabah tersebut semakin lancar dalam pengembalian pembiayaan,
hal ini karena tersedianya anggaran untuk membayar angsuran. Berbeda dengan
responden beromzet rendah, tingkat pengembalian pembiayaan akan semakin
tidak lancar karena omzet usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sehingga tidak tersedia anggaran untuk mengangsur pembiayaan.
Nilai statistik Z variabel ini sebesar 1,24 dengan p-value sebesar 0,214
(P > 0,05) menyimpulkan bahwa variabel omzet usaha tidak berpengaruh nyata
terhadap tingkat pengembalian pembiayaan. Hasil analisis regresi ini jika
dikaitkan dengan hasil analisis deskriptif sebelumnya, meskipun terdapat
perbedaan sebaran omzet usaha responden dimana responden yang tidak lancar
memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta (70%) dan pengembalian lancar memiliki omzet
> 8,3 juta – 83,3 juta (60%) namun demikian diantara keduanya memiliki
perbedaan persentase yang tidak jauh atau tidak berbeda nyata.
c) Pengalaman Usaha
Koefisien variabel ini bernilai positif (0,420853), menunjukkan semakin
lama pengalaman usaha maka semakin lancar dalam mengembalikan pembiayaan.
78
Pengalaman usaha debitur mempengaruhi terhadap pengelolaan usaha. Semakin
lama pengalaman usaha maka semakin baik dalam mengelola usaha dan omzet
usaha yang dihasilkan relatif semakin besar sehingga debitur cenderung lebih
lancar mengembalikan pembiayaan. P-value yang lebih kecil dari 5 persen (P <
0,05) yaitu sebesar 0,049 menyimpulkan bahwa variabel ini berpengaruh nyata
terhadap tingkat pengembalian pembiayaan pada KBMT WU.
d) Jumlah Pembiayaan
Variabel jumlah pembiayaan memiliki koefisien negatif (-0,0004948) yang
berarti bahwa jumlah pembiayaan berpengaruh negatif terhadap kelancaran
pengembalian pembiayaan. Semakin besar jumlah pembiayaan/ pinjaman nasabah
maka akan semakin kecil peluang nasabah dalam mengembalikan pembiayaan
secara lancar. Variabel jumlah pembiayaan diketahui tidak berpengaruh nyata
terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value statistik Z dari
variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,334).
f) Frekuensi Pembiayaan
Variabel frekuensi pembiayaan merupakan variabel kategorik, dimana
bernilai 0 jika sudah lebih dari satu kali melakukan pembiayaan dan bernilai 1 jika
baru pertama kali melakukan pembiayaan. Hasil regresi logistik menunjukkan
79
bahwa nasabah yang baru pertama kali meminjam (bernilai 1) memiliki koefisien
negatif (-4,83944). Hal ini berarti bahwa nasabah yang baru melakukan
pembiayaan berbanding negatif dalam mendukung kelancaran pengembalian
pembiayaan, dengan kata lain nasabah yang semakin sering meminjam
mempunyai peluang lancar lebih besar. Nasabah yang sering melakukan
pembiayaan lebih berpengalaman dalam mengelola keuangan untuk mengangsur
pembiayaannya. Selain itu frekuensi pembiayaan dapat menunjukkan tingkat
kepercayaan KBMT WU dalam memberikan pembiayaan kepada debitur.
Semakin sering debitur mendapatkan pembiayaan berarti makin tinggi tingkat
kepercayaan KBMT WU terhadap debitur tersebut. Oleh karenanya debitur akan
semakin berusaha menjaga kepercayaan tersebut dengan mengembalikan
pembiayaan secara lancar.
Variabel ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian
pembiayaan pada KBMT WU karena P-value statistik Z pada variabel ini lebih
besar dari 5 persen (0,173). Odds rasio senilai 0,01 menunjukkan bahwa debitur
yang baru sekali melakukan pembiayaan mempunyai peluang pengembalian
pembiayaan 0,01 kali dibanding debitur yang sering melakukan pembiayaan.
g) Pola Penagihan
Variabel pola penagihan merupakan variabel kategori, dimana bernilai 0
jika pola penagihannya secara langsung dan bernilai 1 jika pola penagihannya
secara tidak langsung. Hasil regresi logistik menunjukkan pola penagihan tidak
langsung (bernilai 1) memiliki koefisien positif (0,394811) yang berarti bahwa
pola penagihan tidak langsung berbanding positif dalam mendukung kelancaran
pengembalian pembiayaan. Hasil analisis ini menunjukkan hal demikian karena
dalam penelitian ini semua responden yang pengembaliannya tidak lancar
merupakan debitur dengan pola tagihan secara langsung, sehingga analisis ini
menyatakan bahwa pola penagihan tidak langsung memberikan peluang besar
dalam pengembalian pembiayaan secara lancar. Selain itu dari hasil wawancara
juga diketahui bahwa debitur yang memilih pola angsurannya secara tidak
langsung (debitur datang ke KBMT WU) merupakan keinginan dari pihak debitur
sendiri. Hal ini berarti kesediaan debitur untuk membayar sendiri ke KBMT WU
juga menunjukkan keseriusannya dalam membayar angsuran pembiayaan.
80
Namun variabel ini tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
pengembalian pembiayaan pada KBMT WU dengan P-value statistik Z pada
variabel ini lebih besar dari 5 persen (0,936). Hal ini sesuai dengan hasil analisis
deskriptif sebelumnya bahwa baik yang pengembaliannya lancar maupun yang
tidak lancar merupakan debitur dengan pola tagihan secara langsung. Odds rasio
senilai 1,48 menunjukkan bahwa pola penagihan secara tidak langsung
mempunyai peluang pengembalian pembiayaan 1,48 kali dibanding debitur
dengan pola penagihan langsung.
h) Penggunaan Pembiayaan
Variabel penggunaan pembiayaan merupakan variabel kategori yang
terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan konsumtif, serta kegiatan produktif dan
konsumtif (penggunaan pada dua kegiatan sekaligus). Hasil regresi logistik
menunjukkan kegiatan konsumtif memiliki koefisien negatif (-0,722283) artinya
bahwa penggunaan pembiyaan untuk konsumtif berbanding negatif dalam
mendukung kelancaran pengembalian pembiayaan. Variabel ini tidak berpengaruh
nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value statistik Z
nilainya lebih besar dari 5 persen (0,694). Odds rasio sebesar 0,49 menunjukkan
pembiayaan untuk kegiatan konsumtif mempunyai peluang 0,49 kali dalam
mengembalikan pembiayaan secara lancar dibandingkan penggunaan kegiatan
produktif. Kemudian dilihat dari koefisien kegiatan produktif dan konsumtif
bertanda positif (2,95312), artinya pembiayaan yang sekaligus digunakan untuk
kedua kegiatan tersebut berbanding positif dalam mendukung kelancaran
pengembalian pembiayaan. Menurut wawancara dengan responden dikatakan
bahwa mereka masih dapat menutupi angsuran pembiayaan untuk konsumtif dari
laba yang dihasilkan pada kegiatan produktifnya. Variabel ini juga tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat pengembalian pembiayaan karena P-value
statistik Z nilainya lebih besar dari 5 persen (0,346). Odds rasio senilai 19,17
menunjukkan pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif dan konsumtif
mempunyai peluang 19,17 kali dalam mengembalikan pembiayaan secara lancar
dibandingkan penggunaan kegiatan produktif saja.
81
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu:
1. Pengelolaan KBMT WU dalam mendukung keberhasilan penyaluran
pembiayaan dilakukan dengan beberapa tindakan yaitu dengan menetapkan
kebijakan penyaluran pembiayaan dan pengelolaan pembiayaan bermasalah.
2. Karakteristik debitur yang menjadi responden dengan kategori pengembalian
lancar dan menunggak yaitu:
a) Debitur Responden dengan Tingkat Pengembalian Lancar.
(a) Karakteristik Personal: Sebagian besar tingkat pendidikannya SD
sampai SMP.
(b) Karakteristik Usaha: Sebagian besar memiliki omzet usaha > 8,3 juta
hingga 83,3 juta dan lama usaha 11 hingga 20 tahun.
(c) Karakteristik Pembiayaan: Sebagian besar jumlah pembiayaan yang
diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan > 150
hingga 300 hari (sebaran jangka waktu pembiayaan relatif berimbang
pada semua jangka waktu pembiayaan. Sebagian besar frekuensi
pembiayaan lebih dari lima kali, pola penagihannya langsung, dan
pembiayaan digunakan untuk kegiatan produktif.
b) Debitur responden dengan Tingkat Pengembalian Tidak Lancar
(a) Karakteristik Personal: Tingkat pendidikannya menyebar hampir
merata pada semua tingkat pendidikan kecuali Perguruan Tinggi.
(b) Karakteristik Usaha: Sebagian besar memiliki omzet usaha ≤ 8,3 juta
dan lama usaha satu hingga 10 tahun.
(c) Karakteristik Pembiayaan: Sebagian besar jumlah pembiayaan yang
diperoleh antara 1 juta hingga 5 juta, jangka waktu pembiayaan ≥ 150
Sebagian besar frekuensi pembiayaan lebih dari lima kali, pola
penagihannya langsung, dan pembiayaan digunakan untuk kegiatan
produktif.
82
3. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap tingkat pengembalian
pembiayaan adalah tingkat pendidikan dan pengalaman usaha. Tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha memiliki pengaruh positif dengan tingkat
pengembalian pembiayaan. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan dan
pengalaman usaha debitur maka peluang untuk mengembalikan pembiayaan
secara lancar semakin tinggi dan sebaliknya.
7.2. Saran
Pihak KBMT WU diharapkan lebih berhati-hati dalam memberikan
pembiayaan kepada UMKM agribisnis khususnnya terkait dengan tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha calon debitur. Tindakan ini memberikan
pengertian bukan berarti menolak pembiayaan pada nasabah dengan tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha yang rendah, namun dengan melakukan
beberapa langkah positif diantaranya dengan meningkatkan pembinaan usaha dan
monitoring prestasi pembiayaan kepada nasabah tersebut.
Dengan langkah tersebut diharapkan dapat menekan bahkan
menghilangkan kasus penunggakan (pengembalian tidak lancar) agar kinerja,
likuiditas dan profitabilitas KBMT menjadi lebih baik. Selain itu diharapkan bagi
penelitian selanjutnya untuk dapat menemukan solusi agar UMKM agribisnis
penerima pembiayaan dapat mengembalikan pembiayaannya dengan baik
sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara UMKM dengan KBMT.
83
DAFTAR PUSTAKA
[BI] Bank Indonesia Kantor Pusat. 1999. Buku Pedoman Operasional. Jakarta: BI
Kantor Pusat.
Dewi, A.W.S. 2001. Efektivitas Pembiayaan Usaha Kecil pada Baitul Maal Wat
Tamwil (Studi Kasus: KBMT Wahana Isan Mu’amalah, Kotamadya Bogor,
Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Firdaus, M dan Farid, M.A. 2008. Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih untuk
Manajemen dan Bisnis. IPB Press. Bogor.
Hidayati, E.N. 2003. Perilaku Pengusaha Kecil dan Menengah dalam Menggunakan
dan Mengembalikan Kredit (Kasus: Pegusaha Kecil dan Menengah
Pengambil Kredit Umum Pedesaan di BRI Unit Pasar Blok A Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Hosmer, D.W. dan Lemeshow, S. 1989. Applied Logistic Regression. New York:
John Wiley and Sons.
84
Kementrian Negara Koperasi dan UMKM Republik Indonesia. 2008. Indikator
Makro Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta.
Kurnia, W. 2007. Analisis Pengaruh Social Capital terhadap Repayment Rate pada
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus KBMT Wihdatul Ummah,
Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Mulyono, Sri. 1992. Statistika untuk Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI.
Ridwan, M. 2006. Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil (BMT).
Yogyakarta: Citra Media.
Simorangkir, O.P. 2004. Bank dan Non Bank di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Sitio. Arifin, Tamba. Halomoan. 2001. Koperasi Teori dan Praktik. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Srivastava. U.K, Shenoy. G.V, Sharma S.C. 1995. Teknik Kuantitatif untuk
Keputusan Manajemen. Jakarta: UI Press.
85
Supranto, J. 2004. Ekonometri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Data Karakteristik Responden
Keterangan:
a) Frekuensi Pembiayaan: 0 = nasabah telah meminjam lebih dari satu kali
1 = nasabah baru pertama kali meminjam
b) Pola Penagihan: 0 = penagihan secara langsung
1 = penagihan secara tidak langsung
88
Lampiran 2. Output Analisis Regresi Logistik
Binary Logistic Regression: Tingkat Peng versus Tingkat Pend; Omzet Usaha; ...
Response Information
Log-Likelihood = -7,318
Test that all slopes are zero: G = 23,556, DF = 9, P-Value = 0,005
Goodness-of-Fit Tests
Method Chi-Square DF P
Pearson 15,5950 20 0,741
Deviance 14,6351 20 0,797
Hosmer-Lemeshow 3,8591 8 0,870
Group
Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
1
Obs 0 1 0 2 2 3 3 3 3 3 20
Exp 0,1 0,3 0,8 1,6 2,4 2,8 3,0 3,0 3,0 3,0
0
Obs 3 2 3 1 1 0 0 0 0 0 10
Exp 2,9 2,7 2,2 1,4 0,6 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0
Total 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30
Measures of Association:
(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)
89