Anda di halaman 1dari 7

Nilai Normal Analisa Gas Darah

Hasil analisa gas darah dapat membantu dokter mendiagnosa berbagai penyakit atau menentukan
seberapa baik perawatan yang telah diterapkan, hasil akan akan didapat meliputi:

pH darah arteri, menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam darah. pH kurang dari 7,0 disebut asam, dan
lebih besar pH dari 7,0 disebut basa, atau alkali. Ketika pH darah menunjukkan bahwa darah lebih asam,
maka hal ini terjadi akibat kadar karbon dioksida yang lebih tinggi. Sebaliknya ketika pH darah tinggi yang
menunjukkan bahwa darah lebih basa, maka hal ini terjadi akibat kadar bikarbonat yang lebih tinggi.

Bikarbonat adalah bahan kimia yang membantu mencegah pH darah menjadi terlalu asam atau terlalu
basa.

Tekanan parsial oksigen adalah ukuran tekanan oksigen terlarut dalam darah. Hal ini menentukan
seberapa baik oksigen bisa mengalir dari paru-paru ke dalam darah.

Tekanan parsial karbon dioksida adalah ukuran tekanan karbon dioksida terlarut dalam darah. Hal ini
menentukan seberapa baik karbon dioksida dapat mengalir keluar dari tubuh.

Saturasi oksigen adalah ukuran dari jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dalam sel darah
merah.

Secara umum, nilai normal analisa gas darah adalah sebagai berikut:

pH darah normal (arteri): 7,38-7,42

Bikarbonat (HCO3): 22-28 miliekuivalen per liter

Tekanan parsial oksigen: 75 sampai 100 mm Hg

Tekanan parsial karbon dioksida (pCO2): 38-42 mm Hg

Saturasi oksigen: 94 sampai 100 persen


Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk
mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Manfaat dari pemeriksaan analisa gas
darah tersebut bergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasi hasilnya secara tepat.

Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama pentingnya dengan
pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien kritis. Telah banyak perkembangan
dalam pemahaman fisiologi asam basa, baik dalam suatu larutan maupun dalam tubuh manusia.
Pendekatan tradisional dalam menganalisa kelainan asam basa adalah dengan menitik beratkan pada
rasio antara bikarbonat dan karbondioksida, namun cara tersebut memiliki beberapa kelemahan. Saat ini
terdapat pendekatan yang sudah lebih diterima yaitu dengan pendekatan Stewart, dimana pH dapat
dipengaruhi secara independent oleh tiga faktor, yaitu strong ion difference (SID), tekanan parsial CO2,
dan total konsentrasi asam lemah yang terkandung dalam plasma.

Kelainan asam basa merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien-pasien kritis. Namun,
pendekatan dengan metode sederhana tidak dapat memberikan gambaran mengenai prognosis pasien.
Pendekatan dengan metode Stewart dapat menganalisa lebih tepat dibandingkan dengan metode
sederhana untuk membantu dokter dalam menyimpulkan outcome pasien.

Analisa Gas Darah

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan adalah jumlah oksigen yang
terkandung dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri
secara langsung atau melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas darah
(AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2. Akan tetapi, makna dari hasil
pengukuran tersebut tergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya.

AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri lainnya seperti arteri femoralis.
Pengambilan darah arteri dapat berakibat spasme, kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang
pada akhirnya akan menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika arteri yang
ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih karena memiliki cukup kolateral untuk
menghindari terjadinya obstruksi dibandingkan dengan arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak
arteri radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil sebanyak 3 ml pada spuit
yang sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml. Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari
gelembung udara dan dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler pada sampel masih
aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas.

Interpretasi Hasil AGD

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis. Nilai normal pH
berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien
tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen
tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg

PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi
sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya.
Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan
metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg

HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti ketoasidosis. Nilai yang
rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi
abnormal ketika ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang
normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l

Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus ditambahkan dalam mmol/l
untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu
37C0. BE bernilai positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif
menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l

Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai normalnya adalah 95-98
%

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang menggambarkan
konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:

Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai
kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi
pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat.
Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2
akan kembali ke tingkat yang normal.

Alkalosis respiratorik

Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering
terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi
dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan
paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat,
cemas, dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi
bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.

Asidosis Metabolik

Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh
kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3-
berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan
hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi
untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh
terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan
penghitungan anion gap melalui rumus

(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–)

Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada pasien
dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang
lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi

(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain seperti laktat,
keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai oksigen atau
berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat.
Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi
asidosis dengan peningkatan anion gap.

Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan bikarbonat atau
retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi
acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.

Alkalosis metabolik

Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2
menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik
akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal
mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan
pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis
biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi
alkalosis metabolik.

Keseimbangan Asam Basa

pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif dari konsentrasi ion H+. Konsentrasi ion H+ ini
diatur dengan sangat ketat, karena perubahan pada konsentrasinya akan mempengaruhi hampir semua
proses biokimia, termasuk struktur dan fungsi protein, dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia
obat. Berbeda dengan ion-ion lain, kadar ion H+ dijaga dalam nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-7,45).

Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal dari proses respirasi, yaitu CO2 yang membentuk
asam karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme lemak dan protein. Mekanisme tubuh untuk
menjaga pH tetap dalam rentang normalnya diketahui melalui tiga mekanisme,
Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan yang mengatur ventilasi alveolar. Semakin
banyak ion H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang melalui paru-paru. Mekanisme ini cepat
dan sangat efektif untuk mengkompensasi kelebihan ion H+.

Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi asam-asam non-volatil. Mekanisme ini relatif lebih
lama (jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol respirasi.

Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin yang meminimalkan perubahan asam-basa akut.

Metode Henderson – Hasselbach (H – H)

Persamaan H – H menitik beratkan pada sistem buffer asam karbonat yang memegang peranan penting
dalam pengaturan asam basa melalui ginjal dan paru – paru. Karbondioksida bereaksi dengan air untuk
membentuk HCO3- dan H+.

CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+] [HCO3-] / [H2CO3] = konstan. Sehingga, dapat
ditentukan bahwa pH = pKa + log([H+] [HCO3-] / [H2CO3]). Dari persamaan tersebut, pH dapat dikatakan
sebagai rasio antara bikarbonat dan karbondioksida. Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan
CO2 (respirasi) atau HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi tubuh berusaha mempertahankan rasio
tersebut tetap 20:1.

Namun, persamaan H – H tidak membahas mekanisme perubahan pH akibat efek metabolik sejelas efek
respiratoriknya, karena secara in vivo kadar bikarbonat sangat tergantung pada tekanan parsial
karbondioksida (pCO2). Oleh sebab itu, muncullah konsep standard bikarbonat dan standard base excess
(BE) untuk membantu menghitung efek metabolik terhadap perubahan pH. Standard bikarbonat adalah
jumlah bikarbonat yang seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg, sehingga dapat menyingkirkan efek
respirasi pada suatu perubahan pH. Sementara standard BE melihat jumlah asam (dalam mmol/l) yang
harus ditambahkan atau dikurangkan pada sampel darah yang sama dengan Hb 5,5 g/dl untuk mencapai
pH normal pada PCO2 40 mmHg. Semakin negatif BE menunjukkan sampel darah tersebut semakin
asam.

Metode Stewart
Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode pendekatan asam basa yang diakui secara luas.
Metode ini menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa jika hukum keseimbangan
muatan terjadi pada suatu larutan, maka pH atau konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh
derajat disosiasi air. Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi derajat disosiasi air,
yaitu PCO2, strong ion difference (SID), dan konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan
asam lemah merupakan variabel yang terikat dan tidak mempengaruhi pH secara langsung.

Anda mungkin juga menyukai