Anda di halaman 1dari 62

TUMBAL DARI RINDU

Oleh: M. Edi Gunawan

Secangkir kopi hitam tak lagi hangat. Terjilat angin pantai yang terus menepi. Aku masih
menikmati senja di warung pesisir Anyer. Hamparan pasir putih dan lambaian nyiur
penyempurna mentari menenggelamkan diri. Aku masih saja terhipnotis suasana pilu yang
enggan enyah mengusik hati. Sovia Anggraeni gadis keturunan Yogyakarta. Telah lama melukis
hari-hariku. Hingga sepenuhnya ku labuhkan harapan kepadanya. Dari satu bulan yang lalu
warna jiwanya berubah drastis, sikapnya cuek seperti tak mengenalku, ranum cantiknya selalu
memerah seakan bertanduk dan bertaring, yang siap menerkamku saat lengah. Sengaja aku jauh-
jauh dari Serang ke Anyer, menghilangkan gundah hati karena pantai tempat aku dapat berfikir
luas.

Dret ... dret. Satu titik meja bundar yang beratapkan payung bergetar berulang kali. Aku
malas menyentuh ponselku yang terkapar. Sekedar menengok selintas terbaca pesan pada atas
layar ponselku. Sovia A. "Kemana saja seharian ..." layar ponselpun padam seakan enggan untuk
kubaca. Senja telah menutup tirainya dengan gelap. Ku renggut ponsel yang tak berdaya itu,
kuselipkan pada saku celana dan bergegas kembali ke Kota Serang. Meninggalkan ketentraman,
meski ada saja kegaduhan yang terus berkecamuk. Seperti rakusnya bara pada arang yang siap
menjadikannya abu. Lalu lalang jalanan kota, lampu kendaraan yang berseliweran melintas silih
berganti. Aku tak memperhatikannya dengan sungguh, tatapan mataku kosong. Otakku yang
berkelana berada pada setiap sudut kenangan yang pernah terekam oleh hati.

"Bret!! Prang!!"

"Apa maksudmu, Sov? Lihat! wajah serta kemejaku kau buat kuyup" Amarah memuncak,
sepasang mata yang nyaris terlepas, tangan terkepal degup jantung berdetak tak menentu. Andai
saja dia bukan seorang wanita

"Apa katamu! Ron... Untung baru air jus yang kutuangkan di wajahmu. Untung gelas itu ku
lemparkan ke lantai"

"Tapi apa salahku padamu, Sovia"

"Kamu terlalu egois pada perasaan ini. Terlalu berlebihan"


"Tapi ..."

"Tiiin!! Tiiin" jerit kelakson dari beberapa kendaraan yang melarikan diri dari benturan kuda
besiku. Buyarkan lamunan seketika itu. Aku kembali fokus melewati beberapa lampu merah dan
kelokan. Cilegon kota, riuh anak muda mudi cekikikan di tepi jalan, dengan berbagai modifikasi
motor dan komunitas, yang berjajar rapih di sepanjang jalanan kota dekat alun-alun Cilegon.
Saat memasuki jalanan sepi kendaraan, lamunanku menyapa kembali jiwa yang rumit.

"Sovia Anggraeni, namamu begitu melekat di hati nan cantik. Semoga asmara kita hingga
menua, Sayang"

"Ah, mas Roni bisa saja jika merayu"

"Salah sendiri Kau cantik, wee"

"Ye!! Hehe"

Senyum manisnya masih terasa melekat pada ujung bibir tipisnya. Rambut hitam terurai,
semakin cinta aku di buatnya.

"Bruak"

"Allah huakbar" lagi-lagi aku tersentak dari lamunan.

Lubang jalanan memang sialan, hampir saja aku tergelincir olehnya. Jarak sudah tinggal
beberapa kilo meter lagi sampai rumah. Dari Anyer ke Serang hanya memerlukan watu kurang
lebih 1jam 20 menit. Bahkan bisa hingga 2 jam lebih tergantung kecepatan si pengendara. Baru
hendak memasuki pelataran rumah, sesosok wanita berdiri di depan daun pintu dan sesekali
mengetuknya.

"Sovia"

"Kemana saja kamu Ron?"

"Ada angin apa kau kerumah, Kemana saja kemarin-kemarin?"

"A-aku ada kok, kamunya saja yang egois. Sok cemburuan tanpa alasan yang jelas"
"Itu bukti aku sayang ke kamu Sov. Aku takut kamu terlalu nyaman dengan Reihan"

"Tapi Reihan hanya rekan kerja saja, Roni. Ah!! Sudahlah"

"Rekan kerja! Setelah Aku tau Kau berpelukan dengangnya"

"Kamu salah paham, Ron. Itu tak seperti yang kau kira dan kau lihat. Aku sayang sama kamu"
Wajah memarah, tangis pun memecah pada dua pasang bola matanya yang anggun.

"Ia, tapi kamu yang sal-"

"Salah kan saja aku terus, Ron. Malam ini aku pamit. Aku akan risent dari Pabrik NikoMas
malam ini juga. Jangan tanyakan kenapa dan jangan ganggu kehidupanku lagi. Puas! Kau Ron"

Aku terdiam, menyaksikannya berlari meninggalkan jejak pada halaman depan rumahku.
Apa yang harus aku lakukan? Menghentikannya tapi aku kecewa. Membiarkannya, tapi aku
terlanjur sayang. Tuhan ... memang aku pernah mengecawakanya dan membuat ia hancur saat
benar-benar mencintaiku. Tapi apa! Saat aku yang benar cinta padanya. Malam yang begitu
melelakan bagiku. Aku sulit terlelap, pagi menyapa dengan semangat. Tapi aku enggan
menyapanya. Perasaanku kacau, ponsel tak sedikitpun berdecit di atas nakas. Hati semakin
kacau tanpa kabar dari Sovia. Bergegas menjumpai kosannya di Jalan Warung Selikur
Kecamatan Carenang. Faktanya pintu tertutup rapat dan terkunci. Beberapa sepatu dan sandal
yang biasa rapih pada rak depan jendela tidak tersisa satupun. Dia benar- benar serius pada
ucapannya semalam.

"Bu maaf, Sovia kemana yah?"

"Enggak tau Ding. Ibu pun belum melihatnya dari kemarin"

"Terima kasih Bu"

Telepon yang aku hubungi pun selalu Mail Box Apa dia benar kembali ke Yogyakarta?
Hingga malam menjelang pun tetap Mail Box. Ku buka galeri yang tengah usang beberapa pesan
yang tertimbun oleh pesan baru. Alamat rumahnya di Yogyakarta yang pernah ia beritahukan.
Jalan Godean. Gamping, Sidomoyo Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku menulis ulang pada
secarik kertas. Tiga hari terlewati, aku merasa rindu padanya dan esok akan aku susul ke Jogja,
demi cintaku padanya. Sebelum ayam bangunkan orang, aku sudah berada dalam Terminal Paku
Patan Serang. Bus melaju kencang ke Pasar Senen. Sesampainya di sana segera memesan tiket
kereta ke setasiun Lempuyangan Yogyakarta. Jadwal keberangkatan 06:15 sampai 22:20 Gajah
Wong. Sejurus kemudian aku sampai di Stasiun Lempuyangan. Menelusuri setiap ujung jalan
dari alamat yang aku bawa. Menanyakan pada beberapa orang yang ku temui. Seketika
sesampainya Godean Jalan Sidomoyo aku menemukan rumah Sovia. Di sebuah pedesaan yang
sejuk dan ramah tamah para penduduknya.

"Tok tok tok"

"Assalamualikum"

"Waalaikum salam"

"Hem maaf Bu. Apakah benar ini rumah Sovia?"

"Benar, Mas. Mas siapa yah? Ada perlu Apa? Eh silahkan masuk dulu, Mas"

"Terima kasih Bu"

Dari sudut yang tak begitu jelas aku lamat-lamat menatap seorang wanita yang nampak
terbaring lemah di ruang keluarga. Tapi siapa? Postur tubuhnya sama seperti Sovia, apakah benar
Sovia? Dia sedikit tersenyum padaku. Aku balas senyum padanya. Tapi rasa getaran rindu ini
berbeda bahkan senyumnya pun terasa asing. Wajahnya memang Sovia. Tapi tatapannya terasa
seperti kembali saat aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Aku menatapnya
setengah melotot memastikan bahwa itu benar Sovia. Tirai pintu yang kadang terbuka dan
tertutup tersapu angin membuat aku penasaran.

"Maaf di tinggal lama. Di minum Le. Air teh nya"

"Ia Bu. Jadi merepotkan, Maaf bu Sovianya kemana yah?"

"Oh ia Le, Sovia berangkat jalan-jalan dari kemaren sama Tunangannya"

"Apa! Tunangannya Bu? Lalu yang sedang terbaring itu siapa?"


"Ia Le. Sehabis pulang dari kerja di kota sana. Sovia memaksa untuk tunangan dengan cinta
pertamanya, Le. Oh itu, Ayo Ibu kenalin. Ini Sonia saudra kembar Sovia, sudah setengah tahun
ini penyakit lemas pada kakinya tak kunjung sembuh"

Sonia tersenyum padaku. Aku balas senyum dengan rasa iba. Dan getaran rindu pada
Sovia sedikit terobati oleh Sonia. Dengan menatap wajah yang benar mirip. Tapi di sisi lain aku
sangat kecewa pada Sovia. Yang telah berpaling dariku.

Aku setengah menangis atas terpukulnya kenyataan ini. Ternya rindu yang berkecamuk
Aku tumbalkan pada Sonia yang terkapar lemah. Sonia hingga senja tak kunjung datang. Aku
segera pamit kembali ke Serang. Aku bersalaman pada ibu Sovia dan Sonia. Mataku menatap
lirih, pada sepasang mata yang lebih lugu dari wanita manapun yang aku jumpai. aku
menyentuh tangannya yang lembut. getaran ini berbeda dari sebelumnya. aku merasakan
kedamaian yang benar-benar nyaman. Tiba-tiba Sonia menangis tersendu, air matanya jatuh
kesetiap sela pelipis matanya. Aku tak kuasa melihatnya menangis. seakan semua kekuatan
dalam tubuhku luntur seketika itu. Aku berusaha menahan kepiluan hati, dari semua rasa kecawa
karana Sovia. dari rasa iba oleh Sonia. Ibu pun nampak tersendu tapi berusahan menepis rasa
pilu itu.

"Bu Aku pamit sekarang, Sonia Kamu pasti akan sembuh. Kamu harus tetap kuat dan
bersemangat menjalaninya"

"Iya Le. terima kasih sudah singgah di gubuk Ibu"

Dengan rasa berat hati, dua tiga langkah kakiku berjejak.

"Le! Tunggu sebentar, Le"

"Ia Bu. Kenapa?"

"Bagai mana yah menjelaskannya. Ibu bingung harus mulai dari mana"

"Bicarakan saja, Bu. Mungkin bisa Saya bantu"


"Anu, Le. Sonia tadi berbisik kepadaku. Kalau dia ... mencintaimu, Le. Ibu harap Kamu
memikirkannya. Siapa tau dia lebih semangat untuk hidup. Melawan penyakit yang di deritanya,
Ibu mohon, Le"

"Baik Bu. Aku akan berusaha untuk menjadi penyemangat atas kesembuhan Sonia. Aku juga
sayang ke Sonia Bu"

"Terima kasih banyak, Le"

Sovia tiba-tiba datang dengan tunangannya. Wajahnya nampak begitu lusuh. Di tekuk
tanpa ceria sedikit pun. Sovia tersontak kaget heran menatapku, yang sedang berbincang bersama
Ibu di ruang tamu.

"Eh, Sovia sudang datang. Ndok, Nak Roni sedari pagi menanyakanmu"

"Mau apa Kamu kesini?"

"Husz!! Ora apik Ndok. Kasar begitu"

Tiba-tiba Sovia menarik tanganku keluar rumah

"Kamu nyapain lagi sampai datang ke rumah aku? Apa belum puas nyakitin aku?"

"Bukan begitu, Sov"

"Lalu apa?"

"Aku merindukanmu. Tapi ..."

Sovia tiba-tiba menangis, Ibu dan tunangannya hanya berdiri termangu menyaksin pertikayan
mereka.

"Asal kau tau, Ron. Aku lebih merindukanmu. Tapi aku terlanjur kecewa. Bahkan hingga detik
ini pun Ron. Masih merindukan. Aku terpaksa bertunangan dengan cinta pertamaku. Menjadi
pelarian rindu dan kekecawaanku padamu"
"Ok Sov. Kini kau harus bener-benar menyayangi tunanganmu. Sebab aku telah jatuh hati pada
Sonia. Semua rindu yang ku simpan selama ini, ku tuangkan kepadanya. Sekali lagi Aku mohon
maaf padamu. Aku hendak pamit kembali ke Serang"

"Sering-sering kesini, Le"

"Ia Bu. Pasti! Dan tolong jaga Sonia untukku"

"Ia Le" dengan tersenyum

Aku segera meninggalkan mereka, menuju stasiun Lempuyangan. Dan mungkin aku akan
sering ke Jogja ada rindu yang selalu ku tinggalkan.

Sodaqoh Share It Jodoh


Oleh: Iffah Sukmawati

“Sodaqoh jodoh memang tak berkaitan tapi yang mengatur keduanya Sama-sama Sang
Maha Cinta. Dan di suatu pekan nanti si pensodaqoh pasti akan bertemu jodoh.” (quotes)

“ Lho kok ada kamper? Kan aku belum beli lagi?” Ujarnya keheranan.

Dua minggu berlalu, kamper ajaib yang tiba-tiba muncul di rak mukena sudah habis. Fauzan
bergegas bangkit dari pekerjaannya membersihkan toilet masjid. Tapi langkahnya terhenti, di
bawah bingkai pintu masjid nampak siluet wanita dengan hijab yang dimainkan angin. Fauzan
berusaha menghampirinya, ia yakini jika wanita itu yang sering mensodaqohkan kamper.

“Masya Allah siapa yang ranselnya tertinggal di sini?” Batin Fauzan.

Bersama takmir masjid yang lain Fauzan membuka isi ransel tersebut. Hanya sehelai cadar,
mushaf Al quran dan beberapa bungkus kamper yang keduanya jumpai. Sama sekali tak ada
identitas pemilik ransel tersebut. Merekapun memutuskan untuk mengumumkannya.

Dari bulan sabit sampai ke purnama dan kembali lagi ke bentuk sabit. Tak ada satupun si
empu ransel yang menjemputnya. Diputuskan, ransel tersebut disimpan Fauzan dengan untuk
dirawat dan dikembalikan jika datang pemiliknya.

“Assalamualaikum zan.”

“Waalaikumsalam.”

“Ayo nebeng aku zan, ga capek jalan?”

“Insyaallah engga sambil jogging hehhe”

“jogging habis pulang kuliah siang siang gini, lagian ngapain kamu bawa-bawa karung zan?”

“Ini?” Fauzan mengangkat karungnya. “Bukan apa-apa.”

Temannya berlalu sesaat setelah salam terakhir terlontar. Tanpa mebuang waktu, fauzan
segera menghampiri tong sampah di depannya. Memungut kardus, botol air mineral dan barang-
barang bekas lainnya. Begitu seterusnya yang Fauzan lakukan sampai habis perjalanan yang
ditempuh menuju rumah paman.

“Bu... apa engga gerah ya siang siang kepalanya ditutupi gitu?” Tanya si gadis kecil.

“Alhamdulillah engga sayang, kan sudah terbiasa.” Jawab Ibu paru baya itu dengan senyum
mengembang.

“Ayo cepat lipat mukanya yang rapi oya ini kampernya ditaruh di rak mukena ya...” tambahnya
lagi.

“lho ini kan barang dagangan ibu, kok dikasih ke masjid? Nanti malah engga jadi dapet duit
dong...” Si gadis kecil bertanya keheranan.

“Sayang, kita memang terlihat susah dari segi materi tapi itu bukan alasan kita untuk tidak
bersodaqoh. Justru sodaqohlah pintu rezeki buat kita, insyaallah.” Jelasnya masih dengan
senyum merekah dan tangan yang mengelus lembut rambut si gadis kecilnya.

Tidak perlu diaba-aba lagi, si gadis kecil sigap melaksanakan tugas ibundanya.

Senja masih menampakkan jejak jingganya di ufuk Barat, membuat Fauzan segera bergegas
menyahut dua karung hasil memulungnya hari ini.

“Anak-anak ke sini sebentar!”

“Iya kak Fauzan, ada apa?” Tanya mereka berbarengan.

“Tolong bantu kak Fauzan ya... itukan ada bapak pemulung kalau dia udah selesai solat kasihkan
ke dia ya?”

Ke empat anak-anak tersebut mengangkat tangan berlagak hormat seraya berkata


“Laksanakan komandan” sesaat kemudian pecahlah tawa mereka bersamaan.

Terik matahari melelahkan keringat sampai membasahi sekujur punggung Fauzan. Tapi itu
bukan penghalang baginya melakoni pekerjaan memulungi sampah-sampah disepanjang jalan
pulang menuju rumah paman.
Senang bukan main segulung kawat bekas tergeletak di sisi tong sampah. Fauzan segera
menurunkan karung dari pundaknya dan memungut kawat itu. Namun, seuntai tangan bidadari
sudah lebih dulu menyentuhnya. Fauzan tertegun, wanita pemulung yang bercadar. Hatinya
berdesir menyaksikan ketakwaan yang dimiliki wanita tersebut.

“Maaf silahkan diambil saja.” Ujar wanita itu, kemudian berlalu segera.

“Zan kamper di rak mukena sudah habis nanti kamu beli ya?” pintar Pak Mukhtar.

“Tidak usah Pak, sengaja saya simpan itu kampernya untuk memancing seseorang yang selalu
mensodaqohkan kamper ke rak mukena.”

Benar saja sore ini setelah seharian Fauzan mengintai si pensodaqoh rahasia itu, dia datang
dalam rupa wanita berhijab dengan cadarnya yang dikibar-kibarkan angin seperti beberapa waktu
lalu. Mulanya ia hanya menunaikan solat asar, setelahnya dilipat mukena itu sambil menyelipkan
sebungkus kamper di sana. Fauzan menjetikkan jari,

“Alhamdulillah caraku berhasil” Batinnya, seraya bangkit menghampiri si pensodaqoh rahasia


itu.

Tapi diurungkan niatnya, membiarkan si pensodaqoh rahasia itu keluar dari masjid.
Langkahnya anggun namun mantap tanpa meninggal derak suara alas kaki. Agaknya hati Fauzan
berdesir, nalurinya mengatakan kalau ia pernah berjumpa sebelumnya. Entah kapan dan di mana?
Dengan hitungan detik saja punggung si pensodaqoh rahasia itu hampir hilang ditelan jarak.
Fauzan bergegas menyusul lebih tepatnya menguntit.

Langkah si pensodaqoh rahasia itu terhenti di sebuah rumah berdinding anyaman bambu
beratapkan rerumputan kering. Kedua lansia menyambutnya dengan senyum sejuk, sembari ia
mengecup punggung tangan keduanya. Terdengar percakapan lirih namun menguarkan
kehangatan bagi siapa saja yang mendengar. Ada canda tawa menyelinap diantara percakapan
mereka, jadi siapapun bisa menyimpulkan kalau mereka adalah keluarga kecil nan sakinah.
Bahkan nyiur angin yang memainkan hijab lebarnya berwarna maroon, pun bisa ikut
menyimpulkannya.
“Wah alhamdulillah, makasih ya kak!” Seru gadis belia itu kegirangan setelah menerima satu set
gamis plus khimarnya.

Si pemberi mengangguk tersenyum di balik cadar, terperi dari manik matanya yang berbinar.

Fauzan bangkit dari duduk jenaknya, melihat siluet sosok si pensodaqoh rahasia waktu itu. Di
pacu Langkahnya untuk mendekat, hanya untuk mengucapkan banyak terima kasih.

“Aisya, nanti anak-anak di panti ajarin masak ya... biar mereka engga ketergantungan sama kamu
kalau kamu lagi ada kesibukan kuliah.” Ucap wanita paru baya yang mensejajari langkahnya.

Lagi-lagi Fauzan menguntit sosok pensodaqoh rahasia itu dan langkahnya berlabuh di beda
tempat. Panti asuhan.

Langkahnya mantap untuk menghampiri sosok itu, tapi hati menolak. Dia sepertinya bukan
gadis yang waktu itu, diakan bercadar kenapa kali ini tidak? Tapi gamis dan khimar maroon
persis seperti yang ia kenakan beberapa saat lalu. Batinnya gusar.

Fauzan tak memperdulikan lagi separuh hatinya yang menaruh curiga. Ia hanya ingin
segera menuntaskan urusan ini dengan mengucapkan terima kasih dan memberi imbalan dari kas
masjid.

“Assalamualaikum ukhti.” Sapa Fauzan.

“Eh... wa.. waalaikumsalam” Jawab gadis itu terbata-bata.

“Maaf mengganggu sebentar, kami dari pihak masjid Baiturrahman ingin mengucapkan banyak
terima kasih sudah banyak bersodaqoh meskipun hal itu kecil tapi sangat bermanfaat dan
alhamdulillah ini ada sedikit rezeki, mohon diterima.” Jelas Fauzan sambil mengulurkan sebuah
amplop.

Gadis itu sesaat termangu, mendengar budi bahasa sehalus itu ditambah kesejukan wajah
Fauzan yang terpancar dengan aksen hidung mbangir, wajah tirus berhiaskan alis tebal.

“Mohon diterima.” Pinta Fauzan sekali lagi.


Si gadis segera menyudahi keterperangahannya itu dan menerima secarik amplop sembari
mengucapkan terima kasih kembali.

“Alhamdulillah kita punya jemuran baju...” Ucap Laila senang.

“Alhamdulillah rezeki la, akhir-akhir ini ada yang membantu bapak memulung tapi dia
merahasiakan diri. Nah kebetulan hasil bantuannya memulung ada segulung kawat bekas tapi
masih bisa digunakan. Akhirnya bapak buat jemuran biar ngga usah numpang jemuran tetangga.”
Jelas ibu terkekeh.

“oh begitu, terus orang itu memberikan hasil memulangnya ke Bapak di mana?” tanya Laila.

“ Di Masjid Baiturrohmaan, itupun yang ngasih selalu anak-anak kecil yang mengaji di sana.”

Masjid Baiturrohmaan? Itukan masjid tempatku pernah bertemu dengan sosok berwajah
telaga. Dia pula yang kubiarkan mengambil gulungan kawat yang akan ku pulung. Atau jangan-
jangan sosok itu yang membantu bapak memulung dengan sembunyi-sembunyi, sebab tampang
dan penampilannya tidak mencerminkan pemulung.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ta’limnya bagus.”

“Alhamdulillah tapi itupun karna hidayah Allah.”

“Eh... astagfirullah, maaf mengganggu saya Cuma mau menyampaikan terima kasih dari ibu
panti. Karena pemberian mas kemarin.” Jelasnya sedikit gugup dan tertunduk.

“Jangan panggil mas jadi terkesan lebih tua, saya Fauzan takmir masjid. Jadi sudah kewajiban
saya melakukannya, sebenarnya itu bukan pemberian saya tapi kas dan mal dari masjid ini.”
Jelas Fauzan diiringi seuntaai senyum.
“satu, dua, tiga, em.... lho kok tinggal tiga mukenanya? Dua minggu lalu kan aku taruh enam
pasang mukena di sini, jangan-jangan di curi? Astagfirullah ga boleh soudzon Fauzan.”
Gumamnya sendiri keheranan, kemudian beranjak mencuci sisa mukena yang ada.

“Assalamualaikum Kak Ila.”

“ Waalaikumsalam eh Ira ada apa tumben mampir?”

“Sengaja kemari kak ini di panti sedang ada makanan lebih jadi aku inisiatif buat berbagi sama
Kak Ila.” Jelas Maira santun.

“Masya Allah terimakasih banyak Maira, barokallahu fiki. ” Ujar Ila bahagia.

“wah cuciannya banyak banget kak, Maira bantu jemur ya?”

“Eh ga usah, kamu duduk aja di teras nanti bajunya basah.”

“Ga apa-apa kak, hitung hitung sebagai tanda terima kasih sudah banyak membantu kami dan
memberi termasuk gamis buat Maira yang maroon itu, cantik banget” puji Maira.

Hening, setelah keduanya sibuk menjemur cucian itu.

“Kak kok mukena yang dicuci banyak banget? Kak Ila buka usaha laundry?”

“Bukan, itu semua mukena masjid kakak cucikan sebagai wujud rasa bersyukur kakak sudah bisa
buat jemuran sendiri jadi tidak perlu numpang ke tetangga sekalian sodaqoh. Kan sodaqoh tidak
melulu berupa materi.” Jelas Ila.

Yang diajak bicara mengangguk faham dan beriri hati melihat bidadari dunia dengan
sodaqoh kreatifnya nan mulia.

“Itu siapa Aisya?”

“Oh ya bu, itu Mas Fauzan yang waktu itu Aisya ceritakan. Dia pandai mengaji jadi sekalian
Aisya minta bantuan buat ngajarin anak-anak panti.” Jelas Aisya.
“Oh.... Fauzan itu, eh tapi Aisya kan bukan orang yang bersodaqoh seperti maksud dia? Kamu
sudah menjelaskan kedia?” Cecar Ibu panti.

Aisya tersentak, bayang bayang kebohongan datang.

“ Sebenarnya kebaikan yang Mas Fauzan maksyd buka Aisya yang melakukan. Dan Aisya sama
sekali tak menjelaskan perihal itu, sebab Aisya ingin tetap dekat dengannya karna kebaikan
tersebut.” Jelas Aisya sambil tertunduk.

“Astagfirullah Aisya, kamu sudah berbohong demi ego sendiri. Kalau kamu menginginkan Mas
Fauzan, sampaikan secara baik-baik bukan dengan cara seperti ini.” Bantah Ibu panti.

“Biar Ibu yaang menjelaskan ke dia nanti!” Tukasnya.

“Jangan Bu, Aisya mohon jangan... Ais... ya mencintai Mas Fauzan. Aisya tak mau Mas Fauzan
menjauh karena tau kesalahan Aisya.” Ungkap Aisya dengan air muka penuh sesal.

“Aisya sayang, qulil haqqu walau kaana murran. Katakanlah kebenaran walaupun pahit. Kalau
dia memang jodohmu ia akan tetap di sisimu apapun keadaanmu jika tidak?” ujar ibu panti
menenangkan Aisya dengan nasihat indahnya.

“Lalu Aisya harus bagaimana?”

“Aisya harus berkata jujur, kalau Aisya tidak bisa Ibu bantu. Apakah Aisya benar-benar
mencintai Mas Fauzan?” ibu panti menandaskan ucapannya dengan pertanyaan yang berhasil
membuat Aisya berdesir hebat.

“Iya Ibu.” Akui Aisya dengan wajah memerah tomat.

“Aisya, jatuh cinta sebelum adanya pernikahan adalah ujian berat. Lebih baiknya kalau Aisya
benar-benar mencintai Mas Fauzan biar ibu lamarankan dia untukmu. Apakah Aisya sudah siap
mengemban amanah menjadi seorang istri?” Kata ibu menawarkan.

“Subhanallah ibu, terimakasih. InsyaAllah Aisya siap. Tapi bagaimana jika Mas Fauzan yang
belum siap?” Tanya Aisya gusar.
Ibu hanya membalasnya dengan seluas senyum yang meyakinkan Aisya. Bahwa kita
hanya bisa berusaha biarkan Allah yang menentukannya. Biarkan Allah yang mengusik hati
Fauzan agar menerima lamaran Aisya.

“Aisya apakah engkau bersedia bersanding dengan putraku Fauzan?” seorang lelaki paru baya
menanyainya, disaksikan keluarga besar Fauzan dan keluarga kecil panti tempat Aisya
dibesarkan sedari kedua orang tuanya meninggal.

Matanya berkaca-kaca sebab rasa haru membumbung di benak. Begitupun kedua kerling
di sampingnya ikut menitikkan butiran bening namun dengan beda rasa, pedih. Kian tersayat
kala ingat doanya semalam.

“Ya Muqolibul qolbi, adakah lelaki waktu itu pemilik nama di lauh mahfudz sana maka
mudahkanlah hamba bersanding dengannya. Jika tidak buatlah hati ini ikhlas akan ketentuan-
Mu.”

Saat siangnya, Aisya tergopoh gopoh mendatangi ila. Lalu memeluknya erat seraya
mengabarkan dirinya yang akan dilamar lelaki bernama Fauzan. Sorot pandangnya ikut berbinar
mendengar berita bahagia dari sahabat tercintanya. Aisyapun meminta Laila menemnainya saat
lamaran nanti.

Tapi binar bahagia kemarin meredup kala raut wajah bernama Fauzan adalah pemilik
wajah telaga dan orang yang ia sebut sebut dalam doanya. Hati tak dapat diselamatkan dari
goresan pedih.

“Insya Allah Aisya siap.” Ucapnya mantap.

Tuntas sudah acara lamaran tinggal menunggu hari H mereka akan halal bersanding.
Diseprsekian detik masih dengan hati yang pilu, pandangnya bertabrakan dengan Fauzan. Dahi
bersih tumpuanya bersujud mengerut, pertanda ada sebuah tanya tersemat di sana.

“Wanita ini memiliki sorot mata sama dengan wanita waktu itu. Apakah mereka adalah orang
yang sama? Ya Rohim, sungguh hanya dia pengisi bait-bait doaku yang rumpang. Tapi justru
sekarang aku melamar gadis lain, ikhlaskan hati ini ya Malik. Bukan lamaran ini salah alamat,
tapi taqdirku memang bukan bersamanya.” Batin Fauzan gusar.

“Ada apa Mas? Gamisku tidak bagus ya?” Tanya Aisya sambil mematut tampilannya di depan
cermin.

“Bagus, Adinda jadi kelihatan makin solikhah.” Ucap Fauzan sambil merayu.

Yang dirayu tersipu-sipu malu, senyum merekah di bibir mungilnya memperindah wajah
bulat iitu.

“ Tapi kenapa Mas memandangnya begitu? Ini gamis pemberian Kak Laila, dia memang orang
kecil dan hanya memiliki hal-hal kecil namun sekecil apapun itu dia selalu berusaha
mensodaqohkannya. Seperti gamis ini ia sodaqohkan ke adinda, mencucikan mukena milik
masjid tempat mas jadi takmir dan mensodaqohkan kamper untuk lemari mukena.” Jelas Aisya.

“Dan inilah separuh kebenarannya bisa adinda ungkap maaf Mas Aisya masih menyimpan
separuh kebohongannya.” Batin Aisya sesal.

Air muka Fauzan tetap tersenyum demi adindanya tapi hati berkecamuk menyusun
rangkaian cerita rumit ini, dalam bisiknya hanya memohon keikhlasan.

Ditempa sinar lembut surya yang sedang merangkak naik tercipta bayang yang semampai
dari wanita berhijab lebar itu. Ayunan langkahnya mantap mencerminkan ketenangan batin. Tapi
tidak setelah wajah ovalnya bersitatap dengan lelaki yang lebih jenjang beberapa senti darinya.
Tanpa dikomando, pandangnya segera menekuri lantai teras masjid. Ia masih merasakan lelaki
berwajah telaga yang jadi raja dalam untaian doanya lekat-lekat memandang.

“Aku tahu potongan cerita ini rumit, tapi Allah Maha Bisa menyatukannya. Aku tahu seberapa
baiknya bersodaqoh tanpa tangan kiri mengetahuinya. Tapi jika itu mngantarkan aku pada…”
Kalimat Fauzan terpotong.

“Mas Fa…” Suara Aisya tercekat di rongga mulut.


Keduanya bertabrak pandang, sepercik cemburu menghantam benak Aisya. Keputusanya,
melanjutkan langkah keluar masjid tanpa menggandeng sang suami seperti yang diniatkan.

“A..aisya..” Laila berusaha menghalau.

Tapi lengan kekar Fauzan yang berbalut blouse panjangnya lebih dulu mencekal langkah
Laila. Sontak ia mundur menghindarinya.

“Terkadang setiap orang perlu merasakan sakit agar tahu akan kesalahannya, biarkan Aisya
cemburu dia istriku itu urusanku.” Jelas Fauzan penuh penekanan pada beberapa kata terakhir.
“Dan satu lagi urusanku, aku baru tahu namamu dari istriku semalam. Sedangkan yang lebih
menyentakku, bahwa kaulah wanita penyebab doa-doaku rimbun ditumbuhi harapan bisa
mempersuntingmu.”

“Maaf, ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk membicarakan hal tersebut. Terlebih kamu
sudah beristri aku tidak ingin jadi fitnah, terima kasih untuk semua doa-doamu. Permisi.” Ujar
Laila tegas sembari meninggalkan Fauzan.

Senja akan selalu jingga meski mendung melanda, seprti cinta biar dia berbunga-bunga
namun jika takdir berkata tidak doa hanya tinggallah historia. Fauzan malu, untuk mengakui
keadaan hatinya yang patah saat ini. Tapi sorot mata di wajah telaganya beriak.

Keduanya di ruang yang sama, tapi seolah ada atmosfir memisahkan mereka. Hanya
denting jarum jam yang bernyanyi riang mengisi kesunyian. Aisya dengan postur tubuh
mungilnya menghadap jendela besar di kamar, menerawang jauh keluar sana namun sejatinya
hati tengah berkecamuk. Tak terasa anak sungai menerabas pelupuk mata, pundaknya pun ikut
bergetar namun cukup membuat Fauzan tersentak. Langsung meghampiri dan mendekap dari
belakang. Rasanya pelukan itu dingin bagi Aisya.

“Istri mana yang tidak curiga apalagi cemburu menyaksikan suaminya…”

“Sssstt…” Jari telunjuk Fauzan menyentuh lembut bibir Aisya membuat kalimat membaranya
terhenti.
“Memangnya kamu mendengar semua percakpanku dengannya?” Tanya Fauzan.

Aisya menggeleng lemah.

Fauzan tersenyum, “Jadi apa alasan adinda mencemburi Mas?”

“Dari cara Mas memandangnya.” Tukas batin Aisya, ia biarkan bibirnya bungkam. Hanya tak
ingin hal seperti ini jadi keributan di mahligai cintanya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab suara dari balik daun pintu gubuk itu.

“Lho kak Laila mau kemana? Kenapa bawa tas sebesar ini?”

“Mau silaturahmi ke rumah Bude Sya…”

Klakson dari angkutan umum sudah berdengung menghampiri Laila. Ia pun bergegas,
menenteng tas sambil mengecup tangan ke dua orang tuanya. Terakhir Laila memeluk Aisya erat,
ada luka di balik peluknya tanpa ada yang tahu kecuali Sang Muqolibu Al qolbi. Si pengangkut
berwarna biru muda yang khas, sudah menyelinapkan tubuh semapai Laila di kursi penumpang.
Diinjak pedal gasnya menuju stasiun kereta api.

Sebuah mobil pribadi juga ikut melesat, yang sejak tadi bertengger di pinggir jalan dekat
rumah Laila.

Simpang siur lajur utama hampir mengecoh konsentrasi Fauzan, baru kali ini ia kalang
kabut mengejar sesuatu. Sebenarnya, tak ada apapun dari gadis itu yang di harapkannya. Hanya
saja ia butuh melegakan segala rasa yang membumbung di benak.

Laila terus memacu langkahnya, entah apa gerangan penyebab ia ingin segera beranjak
menjauh dari tempat tinggalnya. Patah hati? Sungguh itu alasan paling kekanak-kanakan
baginya. Tapi tak bisa dipungkiri, ia tetaplah wanita biasa yang bisa jatuh cinta secara diam-diam
maka besar pula peluangnya patah hati. Menjauh, adalah cara terbaik untuk kembali menata hati
dan membersihkannya dari kepingan yang telah hancur.
Lalu lalang calon penumpang di ruang tunggu tak mengusik Laila, ia masih asik dengan
jari jenjangnya memilin dzikir dalam lirih. Sampai ada suara baritone mengagetkannya,
membuat sekujur tubuh kaku. Ia tak berani memalingkan muka melihat si sumber suara. Sekali
lagi suara itu memanggilnya, justru melangkah mendekatinya.

“Mau apa lagi kamu? Kita bukan mahrom dan tak ada urusan sama sekali.” Laila segera
mengambil tindakan tegas dengan berdiri bersiap akan lari.

“Aku tak tahu.” Sembari menggeleng lemah.

Laila pun bergegas mengayunkan langkahnya untuk menjauh.

“Bukan aku yang memiliki urusan denganmu, tapi cintaku.”

Sukses sekali kata terakhir yang terlontar barusan, membuat langkah Laila terjerambab
dalam dilema.

“Ya Robbi kuwwati…kuwwati. Aku harus pergi, agar tak menimbulkan fitnah demi menjaga
kefitrahan rasaku. Biarkan Dia yang akan mengganti hati yang hancur ini dengan segala hikmah
di depan sana.” Bisik hati Laila, beruntung di persekian detik kereta pesanannya tiba.

“Astaghfirullah Fauzan, sadar sadar! Apa yang sudah kau perbuat menyakiti hati adindamu.
Kenapa kau jadi buta begini hah? Mana imanmu?” Hardik Fauzan pada dirinya.

Semua rasa berkecamuk dalam dadanya, tibalah sebuah usapan lembut di pundaknya.

“Kenapa Mas tak memadu Adinda saja?”

Fauzan terperangah, saat pandangnya mendapati Aisya sudah di belakangnya. Tertunduk


itu yang hanya bisa Fauzan lakukan.

“Mas dengarkan Aisya, Mas masih punya hak menambah tiga ranjang lagi di mahligai kita.
Aisya ikhlas, bukankah wanita yang solikhah itu yang membirakan suaminya memadu?” Ujar
Aisya sungguh-sungguh, sambil mengenggam tangan Fauzan dan memandang wajah bertabur
suram itu lekat-lekat.
Lama sekali Fauzan terpatri menenangkan hati tanpa menggeser sesentipun posisi
duduknya. Begitupun Aisya, masih kuat-kuat menggenggam tangan sang suami.

Mungkin sudah hampir beratus-ratus pasang mata menyaksikan kesenduan keduanya,


hingga akhirnya setetes bulir hangat jatuh menimpa punggung tangan Aisya.

“Mari sayang kita pulang. Lupakan hari ini, maafkan suamimu ini yang kurang bersyukur sudah
di karuniai istri sesolikhakh dirimu.”

Terkejut bukan main, tapi kecupan hangat nan mesra yang mendarat di kening Aisya dari
Fauzan itu lebih memicu keterperangahannya. Kalimat Fauzan benar, kini Aisya tinggal ikut
beranjak meninggalkan stasiun sambil mengubur segala cemburunya.

SELESAI
ANTARA AKU, DIA DAN SAHABAT SUNYI
By: Ode Windi Wat

Usai sholat ‘isya, setelah tlawah aku menuju teras depan rumah. Berulang kali Androidku
berdering karena Jay menelpon, namun sekalipun aku tak menjawabnya. Bukan karena aku marah
ataupun bosan. Tidak sama sekali. Aku melirik Hp yang sudah diam tak berdering. Tercatat dua puluh
panggilan tak terjawab. Ku biarkan Hpku tergeletak di dalam kamar sembari bergegas ke depan. Aku
sudah terbiasa dengan gelagat Jay yang kadang bikin merinding dan kaget. Malam ini aku hanya ingin
sendiri. Entah apa yang membuat moodku terasa kosong. Entahlah, aku pun tak tahu. Aku hanya ingin
sendiri. Tak ku biarkan seorang pun mengusik ketenanganku malam ini. Biarkan kesunyian saja
menemaniku.

Malam masih berpendarkan cahaya bulan. Kemerlap bintang yang menghiasi singgasana langit
membuat mataku tertegun, tapi tdak dengan hatku yang sunyi saat ini. Udara di malam ini begitu
dingin. Sesekali lembaran angin malam yang sejuk menceburkan jiwaku semakin dalam, tenggelam dan
tak ingin tmbul. Aku masih menikmat riuhnya pesona malam minggu, sambil menatap langit yang
berselendangkan redup.

Sinar bulan yang terlukis diretnaku memutar kembali hayalanku jauh. Sangat jauh melayang
indah dengan melodinya. Dan rasanya ingin kembali ke masa itu. Masa yang selalu ku catat rapi dalam
benakku. Masa yang banyak menggoreskan air mata dan juga senyum palsu. Masalah yang kemudian
mendidikku untuk tegar, bahkan harus lebih kuat dari batu karang. Sabar dan ikhlas adalah sahabat
setaku menghadapi kerasnya kehidupan, agar tetap bisa bertahan. Ramainya masalah yang ribut saat
dulu membuat air mataku seringkali menetes, namun cukup membuatku tenang dan tegar.

Hingga kini, Kesunyianlah yang menjadi sahabat karibku, untuk bercerita kepada Tuhan. Bukan
untuk meminta keringanan, tapi agar diberikan ketabahan dan kesabaran yang banyak. Aku tak meminta
menyudahi persoalan yang cukup memekik bara di hatku. Cukup memohon kesabaran dan keikhlasan
hat. Kusadari bahwa masalah akan terus ada selama sukma dan raga masih terus bersama, dan tada,
tatkala keduanya telah berpisah arah. Layaknya hubungan Ibu dan Ayah, tapi itu dulu. Ahrg! Butran suci
itu menetes lagi. Han, tak seharusnya semua dulu dikenang kembali jika hanya menyisahkan air mata
yang tak terbendung. Sudahlah! Semua sudah berlalu. Bisik suara dalam hatku
Aku mengusap lembut butran dingin yang mengucur di pipiku. Diselingi alunan tasbih yang
mendengung di relung jiwaku yang rapuh. Aku masih saja bersama kesunyian. Beginilah diriku. Menuntut
bela dan kasih sunyi. Adalah hak semua orang untuk merasakan apa yang mereka alami dan menentukan
dengan siapa, dan dimana mereka bisa berbicara kepada waktu, dan bersembunyi dibalik angin yang
berhembus. Bersama diri yang fana ini, dan serangkaian curhatan hidupku, kepada Tuhanlah semua
dikembalikan.

Gelapnya malam semakin pekat menutupi dinding-dinding langit yang pernah biru di siang tadi.
Aku dibuat kaget dengan sosok gadis berambut panjang yang tengah berada di sampingku. Rasanya
jantungku terbelah dan tulang-tulang dadaku terlepas. Bulu kudukku tba-tba berdiri sepert kawat
berduri.

“ Dicari-cari kemana-mana, padahal lho disini?” Kata Jay mengangetkan aku. Aku hanya terdiam.
Mengatur nafas yang tba-tba memburu sepert dikejar penjahat.

“ Ya ampun Jay-Jay. Lho bikin gue kaget aja tahu nggak.” Sahutku sebel. Aku menghembuskan nafas kesal
dengan pelan.

“ Lho aja yang keasyikan nglamun, gue tuh pulangnya lewat teras rumah, trus ngeloyor, lho nggak sadar
juga? Oh My God!” Jay menepuk jidatnya yang sudah terbiasa di tepuk, seraya menggeleng-nggelengkan
kepalanya. Aku hanya terdiam bingung. Iyakah? Tanyaku heran dalam hat.

“ Kamu masih disini? Belum ngantuk Han??” Lanjutnya sambil menutup mulut yang menguap lebar bak
lubang Panci. Aku hanya diam dan menggeleng.

“ Ada masalah lagi ya.” Sahutnya sambil menatapku sendu.

“ Tadi gue telpon lho kenapa nggak diangkat, Han?” tanya Jay padaku.

“ Hp gue di kamar Jay.” Jawabku datar. Jay hanya mengangguk-ngagguk. Sesekali ia mengernyitkan
keningnya mencoba melawan rasa kantuk yang mulai menyapa.
“ Oh ya. Boleh nggak gue nanya suatu hal, Han?” ia membalikkan badan ke arahku dengan serius
menatapku. Baru aku akan menjawab, ia sudah memotong perkataanku.

“ Dua hari lagi lho wisuda kan ya. So, udah ada nggak yang kitbah lho? Setdaknya ada nggak sih sinyal
lamaran gitu?” tanya Jay Serius penuh harap dijawab. Aku yang dengar tersentak heran. Dahiku
mengkerut menatap tngkah Jay yang ingin membuatku hampir pecah tertawa.

“ Lho ada-ada aja deh Jay. Tanya gitu aja serius amat lho. Mana ada?” aku mendongakan tatapanku pada
langit-langit malam yang semakin ditelan kegelapan.

“ Dijawab dong, Han. Aku nanya lho serius. Plis! dua rius malah.” Kata Jay mencoba meyakinkaku. Ia
berdiri dihadapanku sembari menggenggam tanganku ala roman Nabi Yusuf dan Zulaikha. Aku menganga
dengan tngkah aneh Jay.

“ Lho aneh gini, kenapa Jay?” Aku menghentkan genggamannya dan bergegas masuk ke rumah. Jay
mengikut langkahku dan menggelondot lenganku dengan manja.

“ Udahlah Jay. Gue ngantuk. Besok ajalah ya? Lagian lho ngapain nanya-nanya soal itu ma gue, emang
lho bakal kitbah gue ya nggak mungkin kan?” Aku melepaskan tangannya dan langsung ngeloyor ke
kamar. Jay tetap mengikutku.

“ Gue tunggu jawaban lho besok pagi. Gue serius nunggu jawaban lho, Han. Dia sudah cukup lama
menunggumu.” Sahutnya padaku sembari menuju kamarnya. Tatapannya betul-betul serius. Tidak
biasanya Jay berbicara setegas ini padaku. Aku bingung, tapi siapa yang menungguku? Tanyaku
penasaran setengah mat. Dia bahkan tdak pernah cerita tentang seseorang pun padaku. Aku membatn.

Aku mengibas-ngibaskan kasur tempat tdurku. Katanya sunnah rasul sebelum tdur dikibas
sebanyak 3 kali. Selanjutnya membaca basmalah, Al-fathah dan beberapa ayat pendek lainnya.
Kebiasaanku yang tertular dari sahabat lamaku bernama Anna. Aku menghempaskan tubuhku yang
sudah lama merenungi kenangan. Tapi soal Jay. Aku tdak pernah menyangka. Siapakah yang dimaksud
Jay.
Empat tahun lamanya aku dan Jay tnggal bersama. Disebuah rumah kontrakan ini, kami
dipertemukan. Jaya Putri Pratama adalah Juniorku yang biasa dipanggil Jay. Seorang gadis yang tampak
Judes tapi sebenarnya baik dan dermawan. Dulu, awal ketka ia kos disini, dia diantar seorang cowok
berperawakan ustadz, berjanggut tpis ala pria india. Hidungnya mancung dan kulitnya puth segar. Mirip
dengan wajah Jay. Kedatangannya begitu singkat, sekedar membawa perabotan Jay lalu berpamitan
pulang, dan melaju dengan mobil kijang berwarna merah. Ku coba mengingat secuil kisah awal
kedatangannya semampu yang aku bisa.

Aku masih belum bisa memejamkan mataku malam ini. beberapa spekulasi terlukis dalam
imajinasiku yang panjang, tnggi, hingga terasa kepala ini berdenyut sakit. Argh! Sial. Gelagat Jay benar-
benar sukses membuat rasa kantukku malam ini hilang. Pikiranku buyar tak karuan. Ketenanganku
seketka hilang, bergant dengan sejuta penasaran yang tak bisa ku jawab dengan pikiranku sendiri.
Bahkan kesunyian yang sudah membisu di malam selarut ini pun hanya mampu terdiam.

“JAAYYYY.” Pekikan suara batn yang menggema di sudut-sudut hatku yang temaram, lalu diikut layunya
mataku yang kian meredupkan kegetranku.

****

Di kala waktu pagi yang sangat dingin, aku membuka trai pintu menuju toilet sekedar mencuci
wajahku yang kusut lalu mandi. Namun sesuatu penampakan yang membuatku tercengang. Beberapa
bungkusan kantung kresek dan beberapa barang yang lain tampak di depan kamar Jay. Mau kemana dia
sepagi ini? tanyaku heran dalam hat. Aku menyelidik masuk kamar Jay yang pintunya sudah terbuka dari
tadi.

“ Jay? Lho mau pindah?” tanyaku lesuh.

“ Nggak kok Han. Gue izin inap semalam ya di rumah Bibi gue.” Ucap Jay seraya sambil menepis bedak di
pipi pualamnya.

“ Hah? Semalam?” aku menganga lebar. Semalam aja nginap bawa barang kayak orang pindahan. Aku
hanya tersenyum menggeleng.
“ Iya. Semalam doank kok, nggak lama. Abang gue nyelesaiin S2-nya di Kairo. Jadi gelar syukuran di
rumahnya sekalian aja langsung mengkitbah. Lho mau ikut?” Sahutnya sambil mengukir alis. Beberapa
bedak padat diratakan di wajahnya. Ditambah lipstc merah muda yang menggaris di bibirnya yang tpis.
Aku hanya menggeleng seraya beranjak meninggalkannya.

“ Hat-hat ya Jay.” Teriakku di balik daun pintu kamarnya menuju toilet.

Usai mandi dan berpakaian rapi. Aku melihat Jay sudah menunggu di depan tangga teras depan
rumah.

“ Lho belum pergi juga Jay? Tanyaku heran sembari menuju ke arahnya.

“ Nungguin lho dari tadi Hanum Qotrunnada Azalia yang terhormat?” Sahutnya seraya menunduk salam
layaknya penduduk Jepang.

“ Lho! Gue nggak mo pergi Jay. Gue tnggal aja di rumah. Palingan ke pasar doank pagi ini.” Ucapku tegas
pada Jay sambil menuruni tangga rumah.

“ Sekalian kalo begitu diantar. Kan jalan ke pasar searah tuh dengan rumah bibi. Jadi kita barengan aja ya
perginya.” Jelasnya sambil berjalan bersama.

“ Diantar? ma siapa?” Tanyaku penasaran.

“ Abang gue. Dia jemput kesini.” Jawabnya simple.

“ Oh. okelah.” Aku menuju mobil merah yang sudah lama bertengger di depan pagar. Lambat laun
kubuka pintu mobil dan duduk di belakang.
“ Eh Han. Kamu di depan aja ya. Gue aja yang dibelakang. Males deket sama abang gue. Bosan!” Ia
membidik badanku seraya membuka pintu mobil bagian depan.

Dag, dig, dug,,,dentuman keras bedetak karuan mengalahkan bunyi jantung tak sepert biasa.
Aku merem sebentar dan menghela nafas panjang. Tuhan. Perasaan apakah ini? aku membatn. Semakin
mobil melaju kencang, semakin kuat pula detakan jantungku. Yang lebih parah lagi serasa darahku
berhent dan badanku kaku bak patung libert. Oh Tuhan? Ada apa ini? kenapa semakin gugup saat aku
berada di sampingnya?

“ Ehm” batuk Jay spontan membuatku kaget. Sial benar Jay. Selalu gelagatnya membuatku gusar.

“ Han, gue minta jawabanmu tadi malam.” Ia menatapku tegas di kaca spion mobil.

“ Y-yang mana itu Jay? Jawaban soal apa?” Aku pura-pura bodoh. Kenapa jadi malah separah ini
gerogiku, Tuhan? Aku hanya menunduk saat senyum itu menoleh sesaat padaku. Tanganku licin karena
keringat gerogi yang sudah tak mampu ku atasi.

“ Waduh Hanum? Itu lho yang semalam gue tanyain. Udah ada yang ngelamar lho, nggak?” Aku
menghembus nafas pelan. Nih anak benar-benar buat aku kesal dan malu. Berani sekali bertanya padaku
soal semacam ini.

“ Belom Jay. Mang kenapa?” Aku membalas tatapan Jay di spion mobil yang sedari tadi menunggu
jawabannku.

“ Alhamdulillah.” Terdengar bisikan syukur dimulut Imran, abang Jay. Aku menatapnya sekilas dan lagi,
senyum itu merekah indah. Senyum pertama yang membuatku jatuh cinta. Saat pertama kali ia datang
mengantar Jay ke rumah Kos. Tapiiii…ah nggak mungkinlah, orang sesholeh dirinya mana pantas memilih
aku, gadis biasa dan sangat sederhana. Aku mengucap istghfar untuk membuyarkan lamunanku. Mobil
berjalan pelan, namun sedikit kencang. Jalanan terlihat sepi. Apa karena hari minggu? Aku menikmat
suasana perjalanan bersama mereka. Terlihat Jay sedang ayik menelpon. Entah siapa lagi yang diajak
ngobrol. Pandanganku hanya tertuju kedepan dibarengi dzikir sepanjang jalan yang mulai menenangkan
hatku yang gugup.
Mengorek kenangan empat tahun yang silam ketka awal kuliah dulu, hampir setap tahun ada
saja yang memintaku untuk menikah. Setap permintaan itu hanya kutolak mentah-mentah. Kusadari
bahwa aku masih terlalu muda untuk mengarungi mahligai rumah tangga. Apalagi keluargaku
brokenhome. Sangat memilukan dan mengiris perih mataku untuk mengenang semua yang telah terjadi
di kala itu. Mengoyak pecah jantungku mengingat tentang itu semua. Ya. Aku trauma, dan masih
semangat untuk menggapai bintang-bintang yang sudah sedari lama kugantungkan di langit-langit
impian. Aku banyak belajar dari harga diri seorang perempuan, yang harus berwibawa dengan karir dan
berpendidikan. Tak hanya bermodalkan cantk dan citra akhlak yang baik.

Hampir dulu aku terjerumus dalam bingkai kitbah lelaki yang ucapannya sungguh meluluhkan
hat. Tapi aku memiliki seorang ibu yang siap mendengarkan rangakaian kalimat apapun saat aku
berkisah. Ibulah yang banyak mengajarkan aku menjadi seorang wanita yang hebat. Aku masih ingat
ketka ibu berkata, “ Nak? Dirimu tak akan kehilangan pasangan hidup. Jika ibu diberi kesempatan untuk
belajar hingga mencapai gelar sarjana, Ibu tdak ingin buru-buru dikitbah. Apalagi kisahnya bakal sesedih
ini. sama sekali ibu tak menyesali apa yang telah terjadi. Inilah takdir yang mestnya ibu jalani. Ibu
berjuang agar kalian lebih hebat di masa depan. Bisa menjadi ibu yang cerdas untuk anak-anakmu. Tak
sepert ibu yang bodoh, susah dan terbatas pengetahuan. Merangkai kata demi kata aja ibu kesulitan,
Nak. Maklum dulu waktu sekolah ibu tanggung biaya hidup sendiri. Tinggal di rumah orang dan pulang
sekolah langsung menuju kebun singkong. Maka berbahagialah, Nak! Selesaikan dulu kuliahmu. Setelah
kuliah, terserah kamu menikah atau kerja.” Air mataku mengucur lembut lagi setap kali mengingat
ucapan itu.

Aku menoleh kearah samping jalan untuk mengusap butran bening yang basah di pipiku. Aku
menunduk sedih, berusaha tegar dan tampak baik-baik saja. memandangi arah jalan, aku mulai sadar
bahwa pasar telah terlewat.

“ Jay? Pasarnya udah lewat. Gimana dong? Bisa putar balik nggak, atau biar gue turun disini aja ya.” Aku
merasakan hal yang tdak mengenakkan dihatku. Gara-gara gue sih pada ngelamun. Akhirnya pasar aja
lewat. Jengkelku setengah hat.

“ Ntar pulang aja, Han. Gimana?” Jawab Jay menawariku.


“ Pulang? Mmm, baiklah.” Aku mendesah pelan ragu-ragu. Sial! Kan gue dah bilang singgah di Pasar? Apa
sih Jay! Celetukku kesal dalam hat. Aku pasrah saja dengan ucapan Jay yang kekakak-kakakan. Sejak
kapan ia belajar mengomado seorang yang lebih tua darinya? Bukankah selama ini ia tampak penurut
sekali dengan apa yang aku katakan? Hisyy, aku memandang arah depan dengan rasa jengkel yang
mencabik dada.

Dalam perjalanan menuju rumah bibinya, aku hanya merasakan kejanggalan yang membuat
otakku lagi lagi bekerja keras. Impuls-impuls sarafku begitu terasa memikirkan gerangan yang akan
terjadi. Intuisi dan spekulasi pun mulai saling berunding, mengorek-ngorek sel-sel sarafku untuk mencari
kejelasan dari keanehan ini, bagaimana tdak? Jalan yang sedang dilintasi adalah persis jalan menuju
rumahku, tapi aku tak pernah memberi tahu alamat tempat tnggalku pada Jay selama ini, atau
searahkah jalan menuju rumah bibi Jay dengan rumah ibu? Ah! Mungkin aku saja yang terlalu baper,
tapi sungguh aneh. aku hanya menggeleng-geleng kepalaku dengan dahi yang mengkerut karena
penasaran.

Tibalah di rumah bibinya Jay. Aku membuka pintu mobil dan mulai keluar. Tampak pemandangan
yang sama sekali tak asing bagiku. Ah tdak! Aku mematung di depan rumah, mengucek-ngucek mata
merasa tdak percaya. Ini rumahku! Bukan rumah bibinya Jay. Keramaian tampak terlihat syahdu. Ada
beberapa gamelan dan rebana di halaman rumah. Hidangan mulai tampak dari depan pagar.
Syukurankah ini? tapi kenapa ibu tdak memberitahuku. semacam pesta lamaran. Aku hanya melempar
senyum ramah pada sesiapa yang menyalamiku. Tiba-tba seorang wanita paruh baya datang
menghampiriku dan diikut wanita yang sama menyambutku, namun tak ku kenal sama sekali.

“ M-ma, mama acara apa ini?” sahutku tercengang. Mataku membelalak kaget. Mama hanya
mengangguk pelan dan tersenyum sambil memanduku ke dalam rumah. Aku menoleh kebelakang
mencari Jay, namun yang kulihat hanyalah Sosok Imran yang berdiri dibelakangku. Oh Tuhan, Rasa
gugup itu kembali lagi. Aku memejamkan mataku sekejap diikut desahan nafas panjang. Jay! Kutukan
apa lagi yang lho berikan hah! Aku bergumam penuh jengkel. Ditengah keramaian keluargamu, lho
ngilang gitu aja. Sumpah! Sangat memalukan! Aku sudah tak tahan dengan tngkah Jay.

Ditengah lingkaran orang tua di ruang tengah, kudapat sosok Ayah yang sudah berdiri
menungguku, kemudian menggiringku bersama ibu dan duduk bersamanya. Apa maksud semua ini,
Ayah? Ibu? Aku benar-benar bingung. Dua puluh menit berlalu, datang sosok Imran yang betul-betul
memecah dadaku. Ia tersenyum dan menunduk santun. Lagi-lagi aku dibuat gerogi tngkat tnggi. Aku tak
tahu kenapa. Diikut Jay bersama Om dan bibinya.
“ Mungkin tak perlu kita berlama-lama. Sekiranya semua telah datang, dan yang ditunggu pun telah
hadir. Langsung saja kami utarakan maksud kedatangan kami kesini. Bismillahirrahmanirrahim. Kepada
yang terhormat bapak Arif Syamsuddin, kami sekeluarga bermaksud untuk melamar anak bapak atas
nama Hanum Qotrunnada Azalia untuk anak kami Imran Shaikh Abdullah. Sungguh menjadi kebahagiaan
kami bisa menjalin hubungan silaturrahmi sekaligus menjadi bagian dari keluarga. Bagaimana Pak?” Aku
menoleh ke Ayah dengan tatapan sendu dan penuh air mata. Aku menunduk, meneteskan air mata yang
ikhlas jatuh membasahi gamisku yang sangat sederhana. Kenapa Jay tdak memberitahuku soal ini, agar
aku berpakaian setdaknya rapi dan anggun.

“ Bagaimana Nak? Ayah serahkan semuanya padamu. Apa kamu bersedia menerima lamaran ini? Ayah
tahu Hanum sudah cukup dewasa.” Satu detk, jantungku seirama dengan detakan jarum jam. Aku diam
dan hanya mengangguk.

“ Alhamdulillah.” Seruan jamaah yang hadir mengucap syukur. Aku diam terpaku tanpa bahasa sehuruf
pun. Datanglah Jay memelukku dan mengusap kepalaku yang terbalut jilbab biru. Aku dapat merasakan
isakannya yang perlahan mulai pecah. Kami berdua larut dalam tangis bahagia penuh haru.

“ Han, maafin gue yang nggak bilang-bilang sama lho soal lamaran ini. Gue tahu lho nggak bakal nolak,
sejak pertama kali lho cerita perasaan lho tentang dia ke gue. Empat tahun Abang gue mulai suka sama
lho, saat pertama kali dia ngeliat lho di depan rumah. Dua tahun yang silam, sebenarnya dia pengen
baget kitbah lho. Tapi mendengar kisah laki-laki yang lho tolak karena masih kuliah, abang gue pending
sambil lanjutn S2nya, sampai nunggu lho selesai. Sekarang saatnya tlah tba. Dua tahun yang lalu,
keluarga gue pernah bertandang ke rumah ortu lho. Sekedar ngebahas soal lho dan dia, tapi orang tua
lho bilang selesai kuliah dulu katanya. Gue sengaja ngerahasiaiin semua ini dari lho agar tdak
mengganggu konsentrasi lho saat kuliah. Dari bincang-bincang kita sebelumnya, Gue tahu lho suka sama
abang gue. Semoga kejutan ini bisa menjadi penyembuh luka-luka yang lho rasakan di masa lalu. Dia
orang yang sangat baik, Han. Percayalah.” Aku hampir tak bisa bicara sepatah kata pun, selain mengucap
syukur dan menangis. Di sisi lain, aku merindukan sahabat sunyiku yang tak pernah menghianatku, yang
mendekapku bersama Tuhan, namun akankah Imran bersedia mengisi lorong-lorong kesunyianku kelak?
Han, bahkan Lebih dari kisah Qais dan Layla Majnun. Bisik hatku merdu.

Baubau, 01 November 2018

For my good friend ‘Maya


Senjaku untukmu Hujan
Karya : Lisnawati

Hadirmu selama setahun tak akan terlupakan bahagiaku mengenal dirimu. Awal tahun
2011 ku mengenalmu. Kita berjumpa dengan sosial media kita berbeda pulau terbelah dengan
selat sunda. Hadirmu membuat hariku lebih berwarna.
Ini kisahku Cadenza Asava Barsha dengan pria nan jauh disana yang tak pernah aku
temui Arvind Zahair Akalanka. Lelaki yang tak tau bagaimana rupanya. Namun, aku jatuh cinta.
Ya aku jatuh cinta terlalu dalam.
Apakah kamu percaya dengan cinta namun tak pernah melihat rupanya?
Tersenyum melihat pesan singkat yang dikirim olehnya
Aku bertemu dengannya di Facebook sosial media yang sedang Hits zaman itu. Aku
siswi kelas X di SMAN 15 Bekasi. Rupaku biasa saja kacamata dengan lensa tebal terpantri di
hidungku. Rambut hitam legam lurus membuat teman-teman iri dengan rambuku ini. Menurut
mereka, aku itu loadingnya lama, manja, suka ga jelas. Oh ya, aku juga pencinta drama korea,
musik korea walau menurut mereka korea itu alay, oplas. Kenapa aku suka? Aku melihat mereka
sebelum debut mereka Trainee hingga bertahun-tahun sebelum mereka debut dengan boy band,
girl band, band maupun solois.
Ah balik lagi kedua nyata mianhae aku terbawa suasana bila membahas tentang dunia Kpopers.
Hidupku biasa saja sama seperti pelajar lainnya hanya dunia percintaanku tak semulus
kebanyakan orang. Aku iri dengan mereka yang bisa merasakan cinta tulus oleh pasangannya.
Aku pernah mencintai seseorang dengan berlebihan. Namun itu tak baik. Ketika aku mecoba
mencintai seorang dengan sederhana orang itu selalu menyakiti.
***

Cadenza Asava Barsha


15 Nov 2013 pukul 15.16

Hy,
Aku ingin mencoba berteman dengan masalalu
Salahkah aku ingin berdamai denganmu
Masa lalu yang sepertinya tak ingin berdamai denganku
Menatapku saja enggan
Ku dekati dirimu menjauh pergi
Seperti aku yang sangat bersalah dalam hubungan masa lalu kita
Hy,
Aku hanya ingin kita berteman seperti dahulu
Dimasa kita kanak-kanak tak ada beban
Tapi ketika cinta itu datang
Dan menghancurkan segalanya
Sekarang hanya ada aku kamu dan kenangan
Yang tak akan pernah berdamai
Cileungsi, Juli 2013

Suka Komentar Bagikan


Anda, halifah, Kintan, Dedew, dan 267 lainnya menyukai

Aku pandangi sajak yang ku buat di laman Facebook mengungkapkan rasa yang tak
dapat ku ungkapkan bila bertemu dengannya. Aku berharap semoga seorang dari masalalu
melihat tulisan yang aku buat itu. Agarku juga bisa bersahabat kembali dengan masalalu. Tak ada
yang ingin hubungan seperti ini. Menjaga hubungan harmonis dengan mantan itu tidak mudah.

Ting!
Satu pesan masuk
Ku tutup laptop dan beralih ke arah ponsel yang berada di di samping laptop.
Ku scroll layar ponselku

Arvind Zahair Akalanka


Avaaaaaa sedang apah?
Cadenza Asava Barsha
Ava lagi buat puisi nih Air, tapi udah kelar kok.
Ada apa ?
Arvind Zahair Akalanka
Va, liat ANTV deh. Aku disorot kamera dan masuk TV loooh!
Ava bergegas ke ruang keluarga lalu menyalakan televisi dengan siaran yang
dikatakannya.
Ternyata sedang ada siaran langsung pertandingan sepak bola di stadion Jakabaring Palembang.
Sriwijaya FC melawan Persib, Ava perhatikan layar televisi ternyata hanya ada kepala disana.
“Mana mukanya dia?” ucap Ava
Cadenza Asava Barsha
Het bocah, itu palamu doang yang kesorot mana mukanya?
kocak banget aelah Air dasar Air
Arvind Zahair Akalanka
Hehehe iya yang kesorot cuman kepalanya doang,
tapi tetep ganteng kan aku Va.
Cadenza Asava Barsha
Suka-suka kamu aja dah
Elah pusing pala ebih

Hampir setiap hari Ava dan Air bertukar kabar melalui pesan singkat maupun Facebook
hanya dengan dua media itu mereka dapat berkomunikasi.
Ava belum pernah berjumpa dengan Air. Dan itu faktanya tapi Ava sangat mencintai Air.
Walaupun tak ada status di hubungan mereka.
Oh ya Air itu pecinta olahraga dia sangat menyukai basket menurutnya basket itu
menenangkan hati dia. Karena basket adalah kekasihnya. Dan sering juga Ava dan Air bertengkar
dengan masalah ketika Air mempunyai pacar dan lupa pada Air.
***
Aku pernah mencintaimu dengan berlebihan
Ibarat dermaga disinggahi kapal pesiar
Datang pergi datang pergi sesuka hati
Karena aku mencintaimu dengan berlebihan
Tak apa kamu pergi sesuka hatimu
Karena ini tugasku sebuah dermaga untukmu singgah

Arvind Zahair Akalanka


Avaaa, mamah papah hari ini mau bercerai. Aku bingung harus ikut siapa? Kalau aku ikut papah
aku harus ke Malaysia tapi mamah kesian sendirian. Aku harus bagaimana?
Arvind Zahair Akalanka
Avaaaaa... kamu kemana? aku butuh kamu
Arvind Zahair Akalanka
Avaaaa :’(
Arvind Zahair Akalanka
Avaaaa aku butuh kamu Ava

4 panggilan tidak terjawab 14.40


Ava baru selesai ulangan harian tak melihat ponselnya karena ditaruh di dalam tas. Ava
mengscroll pesan masuk. Ava ingin mendengar suara Air namun tak bisa karena ia masih di
sekolahan. Ava siswa yang taat pada peraturan yang sudah diberlakukan.
Ava membalas pesan dari Air
Cadenza Asava Barsha
Air, maaf tadi aku ada ulangan harian jadi hp aku taruh didalam tas.
Cadenza Asava Barsha
Menurut aku mending kamu ikut mamah kamu aja
kesian mamah kamu perempuan tak ada yang jaga.
Kalau kamu ikut papah kamu ke Malaysia
bagaimana sekolah kamu di sini?
Itu kan impian kamu untuk jadi atlite basket kan?
ayolah pikirkan yang terbaik buat dirimu sendiri juga.
Pasti papah kamu mengerti kenapa kamu memilih bersama mamah kamu.
Arvind Zahair Akalanka
Tapi aku lebih dekat dengan papah dibandingkan mamah.
Andai Azka masih ada tak akan seberat ini aku harus
memikulnya sendirian.
Arvind Zahair Akalanka
Apa yang harus aku lakukan Ava? Tapi mamah masih ada Hanni
disini.
Tak apa sekolahku disini aku ingin ikut bersama papah
Cadenza Asava Barsha
Yaudah kalau itu kepetusankamu Ava bisa apa?
Cadenza Asava Barsha
Air jangan lupain Ava ya kalau kamu ke Malaysia.
Ava pasti rindu sekali dengan Air :’)
Arvind Zahair Akalanka
Iya Ava. Air takkan melupakan kamu. Jaga diri kamu baik-baik ya
Ava
Arvind Zahair Akalanka
Air selalu ada di hati Ava
Anggap aku selalu disamping kamu
Aku tak akan pergi meninggalkan kamu
walau ragaku jauh darimu Ava.

Entah kenapa rinai air mata menerobos tanpa permisi membasahi pipi tembamnya.
Rambut hitam Ava mengahalangi pandangannya, ia menangis tanpa suara. Ava tak ingin teman
sekelasnya menanyakan mengapa ia menangis. Ava tak ingin melihatkannya. Walaupun teman
sekelas Ava tau kalau Ava memang gampang untuk menangis.
Bel pulang sekolah sudah berbuyi di seluruh penjuru sekolah pertanda waktunya pulang
sekolah. Ava berjalan gontai tak ada gairah untuk pulang ke rumah. Tak ada senyuman di wajah
Ava yang biasa selalu terpantri di bibir munggilnya. Dengan lemas Ava mengendari motor
dengan kecepatan diatas rata-rata tak ada gairah untuk mengendarai motor saat ini Ava hanya
ingin berbaring di kasur dan menengkan hatinya. Ia belum siap beda negara dengan Air berbeda
pulau saja sudah sesak apalagi harus negara kecil kemungkinan untuk berjumpa dengan Air.
Sesamapinya dirumah Ava langsung masuk kedalam kamar mengambil ponselnya lalu mengirim
pesan pada seseorang.
Satu pesan masuk
Arvind Zahair Akalanka
Aku take off jam 15.30 va,
Hp aku nanti dititip di Hanni ya.
Arvind Zahair Akalanka
Kalau kamu rindu aku massage aja ke dia
Jaga diri baik-baik ya Ava

Cadenza Asava Barsha


Iya Air. Ava akan jaga diri baik-baik
Jaga kesehatan ya. Jangan tebar pesona disana
Aku pasti merindukanmu Air

***
Hari yang melelahkan Ava membaringkan tubuhnya diatas kasur menatap langit kamar
dan memikirkan Air. Sedang apakah dia? Ava rindu dengan Air. Apakah Air rindu pada Ava? .
hari-hari Ava hambar tanpa pesan-pesan yang dikirimkan Air padanya. Ava menarik selumut
hingga menutup seluruh tubuhnya. Akhirnya Avapun terlelap.
Ava terbangun disuatu tempat yang ava yakini sebuah ruangan di depan Ava terdapat
pintu. Ava mendorong pintu itu pelan. Didalam terdapat ruangan gelap Ava melangkahkan kaki
dengan pelan menelusuri ruangan itu sampai Ava mendengar suara tangisan laki-laki.
Ava memperjelas penglihatannya dan mendekati lelaki yang memeluk dirinya sendiri di
ruangan gelap nan dingin ini.
“Air?” “sedang apa kamu disini Air?”
“Ava” Air memeluk Ava erat
“Air kesepian tak ada yang mau bertemann denganku Ava disini” “ hanya karena aku seorang
warga Indonesia” “ aku harus apa Ava? Aku rindu kamu”
“ dengar Air. Ava juga rindu padamu” “ini pilihan kamu Air. Ava tak bisa berbuat apa-apa”
Avapun terbagun dan bingung dengan mimpi yang ia rasakan tadi seperti nyata.
Pelukannya masih terasa hangat dikulit Ava.
Hai, Air
Malam ini aku memimpikanmu
Kamu kesepian disana kan?
Kamu pulang ke Palembang
Aku rindu denganmu
Aku ingin brtukar pesan denganmu Air
Air Ava rindu pada Air
***
Tiga minggu berlalu tak ada komunikasi dengan Air. Sampai akhirnya ada kabar bahwa
papahnya meninggal dunia. Kabar duka yang sangat mendalam bagi Air. Ava ingin memeluk Air
namun terlalu jauh. Ava mencoba telepon Air karena Air sudah tiba di Palembang bersama
dengan jenazah papahnya.
Cadenza Asava Barsha
Airrr, Angkat telepon Ava. Ava turut berduka cita tas kepergian papah kamu.
Maaf Ava ga bisa meluk Air disaat Air butuh Ava.
Arvind Zahair Akalanka
Maaf Ava,
Ka Anka ga mau nerima telepon dari siapapun.
Maaf ya Ava

Setelah kepergian papah Air. Ia bersekolah lagi di Indonesia tapi ia tak sekolah di khusus
olaraga tapi ia bersekolah di SMA swasta. Dia banyak cerita bahwa dia di bully sama kaka
kelasnya. Bukan salah perilaku dia yang sok akan tetapi karena mereka kalah akan populeritas
Air lebih tinggi padahal ia siswa pindahan.
Jujur Ava sangat jengah dengan kelakuan kaka kelas Air itu rasanya kalau Ava dekat mau
Ava tabok aja muka kakak kelas itu. Ava sebel sama orang yang seenaknya bikin orang yang Ava
sayangi sangat menderita. Walaupun Air selalu bilang tidak apa-apa karena Air laki-laki. Luka
dikit mah wajar.
Sudah beberapa hari mereka tidak komunikasi. Ava sibuk dengan Ujian Akhir
semesternya. Sedangkan Air entahlah dia sibuk apa.
Arvind Zahair Akalanka
Ava maaf, kemarin aku dirawat aku ga kuat megang Hp
Jadi aku ga bisa hubungin kamu
Arvind Zahair Akalanka
Kamu apa kabar?
Gimana UASnya?
Arvind Zahair Akalanka
Jangan bobo malam-malam nanti mata kamu kayak panda.
Lagian perempuan ga baik tidur malam-malam
Cadenza Asava Barsha
Iya Air, lekas sembuh
Cadenza Asava Barsha
Alhamdulillah baik aja kok. Cuman ini kimia ga nyelow
pusiang bebeih tuh

***
Beberapa hari ini firasat Ava sedang tak enak entahlah apa yang Ava rasakan. Ava duduk
termenung menatap senja di balon kamarnya. Ava tersenyum menenangkan hati yang gundah
entah karena apa. Senja yang indah seperti obat yang paling ampuh untuk kegundahan hati.
“Ah langit jingga melebut dengan rona surya nikmat mana yang engkau dustakan. Masha Allah
aku sangat menyukai senja” ucap Ava

Drdrtdrt
Ponsel Ava bergetar menampilkan nama Air disana

Arvind Zahair Akalanka


Avaaaa, kaka udah ga ada
Cadenza Asava Barsha
Maksudnya?
Aku gapaham, ga ada gimana?
Arvind Zahair Akalanka
Iya ka Anka udah tenang disana Ava.
Ka Anka meninggal.
Ka Anka tadi pulang sekolah kecelakaan Ava.

Ava kaget dan menelepon Air


“ Maksudnya apa sih? Air kenapa? “
“ ka Anka meninggal Ava. Ka Anka” lirih Hanni
“ kamu bohong pasti bohong Air ga akan ninggalin aku. Tadi siang dia masih massage aku kok”
“ kamu jangan bercanda Hanni” histeris Ava
“ Aku ga bohong Ava. Aku juga ga mau kaka pergi”
“Please bilang ini mimpi! please bangun aku, bangunin!” tangis Ava pecah begitu saja. Ava tak
sanggup lari kedalam kamar dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana orang yang ia sanyangi
pergi jauh darinya. Padahal mereka sudah berjanji untuk bertemu di pertadingan NBA di jakarta
bulan Juli.
***
Malam itu Air hadir dalam bunga tdur Ava mengajak Ava bermain bola orange,
Air dribble dan sekali shoot berhasil masuk kedalam ring. Sedangkan Ava tak paham dengan bola orange
itu. Air cubit pipi Ava dengan gemas, Air rebut bola orange membuat Ava menangis.
Air tangkup pipi tembam Ava dengan tangannya yang pucat itu. Lalu berkata "kamu harus jadi
perempuan yang kuat!. Jangan cengeng aku tak suka. Kamu janji ya jangan nangis lagi harus jadi
perempuan yang kuat tak boleh lemah" "Dan kamu harus kuat jangan kalah dan harus dilawan apapun
yang terjadi" Ava tersenyum menatap wajah puth pucatnya. Ingin Ava dekap erat tubuhnya Namun Ava
urungkan.

Sampai akhirnya dia berkata lagi. "Apakah kamu mau menemaniku disini?"

apa yang aku pikirkan aku tak bisa bersamanya walau ku mau Namun, aku lebih ingin bersama kedua
orangtua dan sahabatku

Hy, aku masih menatap layar ponselku


Berharap kamu mengirim pesan singkat seperti dahulu
Aku hanya berharap bisa melawan takdir
Ada hal yang mengganjal tapi susah diutarakan
Terkadang aku masih mengganggapmu ada dan selalu ada
Seraya menemani kesepianku
Rindu?
Tak salahkan aku rindu
Hy, aku ingin main kepusaramu
Menyirami dengan air dan menyebar bunga
Lalu memeluk batu yang mengukir namamu
Tapi sayang kamu terlalu jauh untuku temui
Hy, mampirlah sekejap di alam mimpi
Walaupun hanya tersenyum aku bahagia

TAMAT
Naskah : Cerpen

Judul : MUTIARA KELABU

Pengarang : Errien Mustika

Mutiara itu kelabu, tak berwarna jelas. Pudar dan hambar. Tak memiliki pendirian, namun
senang menyalahkan orang. Dialah mamakku, perempuan paruh baya yang memiliki hati dan
kepala sekeras batu. Dari pandanganku, mamak memiliki masalah batin yang belum selesai
dalam dirinya. Ditambah dengan segudang luka dalam perjalanan hidupnya. Membuat mamak,
semakin senang menyalahkan orang tanpa dia sadari.

Sebut saja Rania. Putri bungsu dari tiga bersaudara. Sejak kecil cenderung pendiam dan
taat terhadap peraturan. Segala sesuatu yang dilarang agama dan orang tuanya selalu di hindari.
Dalam hidupnya Rania menyimpan slogan “ jangan pernah mencoreng nama baik keluarga”. Dua
hal yang ia takuti sejak kecil adalah orang tua dan guru. Baginya orang tua harus dimuliakan dan
guru harus di hormati. Itulah mengapa, sepanjang sejarah, Rania belum pernah bolos sekolah
satu haripun. Catat, belum pernah bolos sekolah.

Rania terlahir berparas manis dan meneduhkan. Penampilannya yang sederhana seolah
menggambarkan keinginanya yang juga sederhana. Namun, Di balik keindahan yang dimiliki,
Rania menyimpan segudang luka karena mamaknya. Luka hati yang tak kunjung sembuh bahkan
semakin bertambah parah tatkala di usianya yang ke 27 tahun, Rania belum juga menemukan
pasangan hidup. Inilah mutiara kelabu yang ingin ia gambarkan.

Rania, gadis manis ini tumbuh dibawah tekanan dan celaan mamak. Sejak kecil, Rania
sering melihat mamak membicarakan keburukan orang, penuh amarah dan keras kepala. Nama
baik bapaknya, seolah menjadi senjata buat mamak bersikap angkuh dan merendahkan orang
lain. Mamakku ini orang dusun, dia tak paham jika di sebelahnya ada anak kecil yang selalu
merekam setiap kejadian yang di alami. Apalagi jika anak ini, cenderung dekat dengan mamak.
Ia akan selalu ada di dekat mamak, meski hanya diam dan diam tetapi otaknya berjalan. Anak ini
akan selalu ingat peristiawa 20 tahun yang lalu di dalam hidupnya.

“Mak anakmu kini sudah dewasa, ia butuh tauladan dalam hidupnya. Dia butuh
pendamping untuk menemaninya. Janganlah kau tambah luka ini dengan menyalahkan dan
terus disalahkan. Lihat mak anak orang lain sudah bisa membangun istananya sendiri, sudah
bisa membeli keretanya sendiri. Sementara kita masih disini saling menyalahkan dan selalu
menyalahkan”.

Mamakku ini, senang sekali membandingkan anak orang. Lidahnya tajam dan pedas.
Sementara Rania gadis manis yang jiwanya rapuh, sekali tendang ia akan jatuh dan sulit untuk
berdiri kembali. Bak menyulam benang yang kusut, butuh puluhan tahun untuk mengembalikan
jiwa Rania yang terlanjur jatuh.

Entah ini salah siapa, akankah takdir yang disalahkan, ataukah mamak yang tak tau apa-
apa dalam mendidik putrinya. Atau bapak yang tak pandai mengendalikan istrinya, Atau orang
tua mamak yang lalai dalam mendidik putrinya sehingga mewarisi kesalahan itu kepada
cucunya, atau justru Ranialah yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Entah…

Kakek Rania adalah orang nomor satu di desanya, namanya begitu tenar karena prestasi
dalam bela Negara. Kakek di angkat menjadi veteran, di jadikan kepala desa, lalu dihadiahi putri
keturunan belanda untuk di persunting. Tanahnya luas tak tertandingi. Eyang buyut menghadiahi
kakek tanah hektaran meter kubik. Entah prestasi apa yang di buat kakek, Rania belum lahir kala
itu. Sedangkan nenek almarhum, meninggal saat mamak masih kecil, ibu dari tiga bersaudara ini
merupakan keturunan belanda. Mungkin dari sini awal mula batin mamak terluka. Entah…
Mamakku merupakan kepala keluarga di dalam rumah kami, tidak bekerja tapi pandai
menghasilkan uang. Ia bisa merenovasi rumah dengan hasil jerih payahnya sendiri. Dari
penampilannya mamak terlihat bersahaja. Sementara bapak, adalah anak tunggal dari keluarga
biasa-biasa saja, bahkan lebih dari sekedar biasa. Bapak menikah dengan mamak tanpa modal,
tanpa pula membawa pekerjaan. Di rumah, bapak tak memiliki kekuatan, seperti kebanyakan
orang siapa yang ikut ya harus nurut. Tugas bapak hanya nurut, nurut dan nurut. Saat keluaga
mamak bertamasya ke ibukota, bapak tak boleh ikut mungkin mamak malu dengan suami-suami
saudaranya yang jelas pekerjaannya. Dan bapak Rania itu nurut saja. Orangnya pendiam namun
pemikir. Tau-tau wajahnya sudah keriput. Kala itu Rania hanya bisa terdiam, merasakan ketidak
berdayaan bapak di depan mamak.

Di rumah kami, mamak juga menjadi nahloda tunggal. Semua keputusannya harus
terjadi. Tak peduli nasehat orang. Pokoknya apa yang dia mau harus terjadi. Seperti kuda yang
kehilangan kendali. Mamak ini tak punya pegangan, hatinya panas, dan terus membara. Bila
perempuan dibiarkan tak terkendali, maka selamanya dia akan merasa benar dan tak pernah
salah. Dia akan punya banyak alasan untuk membenarkan argumennya, dia juga bisa membawa
masa untuk mendukung kebenaran yang dia usung. Buat Rania mamak begitu berbahaya.

Bila tuhan menyerukan kebenaran dengan memberi sebuah masalah dan dua pilihan
jawaban. Lalu tuhan juga memberikan kunci jawabannya, bahwa A adalah jawaban yang benar,
sedangkan B adalah jawaban yang salah. Maka mulanya mamak akan menjawab A karena seruan
agama. Gak butuh waktu lama dia akan berubah menjawab B, karena pikirannya memang mudah
berubah, dan supaya tidak sendirian mamak akan mempengaruhi banyak orang untuk menjawab
B, mamak juga akan mencari sejuta alasan untuk membenarkan B sehingga banyak orang yang
berfikir bahwa B adalah jawaban yang paling benar.

Dalam kehidupan sehari-hari, perubahan sikap mamak sering terjadi. Dia cepat sekali
merubah pendiriannya. Dia selalu bilang bahwa pikiran itu harus di bolak-balik karena yang
terlihat salah itu tak semua jelek. Loh… meskipun bagus jika salah yang tetap salah dong.
Tuntunannya saja mengajarkan itu salah, apa iya harus kita benarkan. Seperti menyerobot
syariat, apapun mamak lakukan.
Bahkan dalam bertutur kata, mamak sering sekali berubah-berubah, seperti bunglon.
Pandai menyamar dan berubah warna. Mamak sering mencari kebaikannya sendiri yang
menguntungkan. Kata-katanya berbahaya. Entah… berapa banyak jiwa-jiwa terluka karena kata-
kata mamak. Rania saja, putri yang selalu ada di sampingnya sampai memendam luka yang
sedalam ini.

Mamak adalah mutiara kelabu yang Rania gambarkan. Dia punya banyak alasan untuk
membenarkan kesalahannya. Dia juga akan mempengaruhi banyak orang untuk mendukung
kebenaran yang ia buat. Dia akan mengaitkan dengan potongan-potongan nasehat yang ia dengar
sekiranya nasehat itu dapat membenarkan keputusannya. Kebayangkan bagaimana nasib Rania,
gadis berjiwa rapuh ini harus berkali-kali terjatuh karena kata-kata mamaknya. Ibaratnya seorang
ibu yang membunuh anaknya sendiri, maka dalam sakaratul mautnya korbannyalah yang harus
mengerti keadaan si pembunuh. Dalam kesakitannya merenggang nyawa anaknyalah yang harus
mengerti situasi mamaknya. Sadis tapi tak merasa dilakukan. Meski sudah sejahat itu, mamak tak
pernah merasa bersalah dan Rania semakin di rundung duka. Rania semakin takut menjalani
hidup. Apalagi di usianya yang sekarang, Rania belum juga menemukan pasangan. Bukan tidak
ada tapi tak sampai menikah.

Rania ini Agamis, hidupnya seolah terarah menuju ke jalan Agama. Pengetahuannya
dalam, dan luas tapi tetap saja jiwanya rapuh dan mudah jatuh. Seolah trauma dengan semua
peristiwa yang dilalui, Rania tak berani untuk mengambil keputusan, ia butuh seseorang yang
tenang untung berbicara, ia butuh seorang pendengar terbaik untuk semua keinginan dan keluh
kesahnya. Rania sangat berharap bahwa pasangan hidupnya akan datang sesuai syariat di waktu
yang tepat. Dan Allahu akbar… keinginnya terwujud.

Bahwa ada seseorang yang baik hati akan bertamu kerumah. Dan untuk memantaskan
diri, keluarga laki-laki itu sampai memilih wali untuk melamar Rania. Bahkan tetangga kami
sudah mengetahui bahwa Rania akan dilamar seorang pemuda baik hati. Datanglah seorang
utusan menemui mamak menyampaikan keinginan keluarga ini untuk bertamu. Dan jreeeeng….
Dengan sigap mamak ini menjawab, “jangan… tak kasih no HP-nya saja, biarkan mereka
berkenalan kewat HP”.
Tak ada pengantar, juga tak ada pemberitahuan tiba-tiba HP Rania berbunyi. Tiing…
sebuah pesan masuk “assalamaualaikum mbak, nama saya Hasan Afandi, saya bekerja di PT
Perhutani, rumah saya di desa Dampar, saya dan kedua orang tua ingin silaturrahmi. Maaf ya
mengganggu malam-malam.wassalamualaikum.wr.wb. Rania yang kala itu baru pulang kerja tak
begitu menghiraukan HP-nya. Setelah membaca pesan tersebut, jiwanya berasa aneh… “siapa
ini? orang mana? Dapat nomor HP ku dari siapa? Jangan-jangan orang iseng awas kau” keesokan
harinya dibaca lagi pesan itu lalu di tunjukkan ke teman kerjanya “sist.. lihat ada pesan seperti
ini, orang aneh, kok tau nomor HP-ku see” temannya hanya ketawa sambil ngeledek “cie….
Cie… Pengagum rahasia” Rania di buat kesal oleh temannya.

Secara, setiap harinya yang menghubungi Rania hanya wali murid, kalau nggak bapaknya
anak didik, ya pasti ibunya anak didik. Rania terbiasa dengan bahasa formal selayaknya wali
siswa kepada gurunya. Jadi aneh jika tiba-tiba ada pesan bernada kenalan. Sontak saja dipikiran
Rania kalau bukan orang iseng siapa lagi yang berani mengirim pesan seperti itu kepada seorang
pelayan ummat, tidak sopan.

Sebulan berlalu, pesan itu masih tersimpan. Terfikir untuk membalas ahirnya Rania
mencari informasi siapa dia. Lalu pesan dikirim “ maaf ini siapa ya, ada perlu apa, tau nomor
aku dari siapa, aku takut di sebarin sembarangan.” Jawabannyapun lama : “aku hasan mbak…
Hasan Afandi yang ingin silaturrahim kemarin, tenang aja nomornya aman kok, aku tau nomor
HP mbak dari ibunya mbak yang dikasihkan ke mbak mis tetangga mbak, teman kerja saya,
rumahnya depan sekolahan ke barat” mendengar ada kata mamak, sontak saja emosi Rania
memuncak seolah mengingatkan masa lalu, Rania begitu marah kepada mamaknya karena tanpa
ijin memberikan nomor HP ke sembarang orang.

Lama ga dibalas, Rania terdiam sesaat lalu “oh.. boleh silaturrahim ada FB atau twitter
ini punyaku Kirania Mumtaz” maksudnya biar bisa melihat wajahnya masing-masing lewat foto.
Perlu di garis bawahi, posisi Rania ini tidak tau jika orang tersebut hendak bertamu, dan dia juga
tidak tau jika tetangganya sudah rame membicarakan perjodohan ini. Mas hasan ini hanya
mengikuti intruksi mamak Rania untuk kenalan dulu lewat HP. Sementara Raniaberharap yang
ingin kenalan harus datang kerumah, temui dulu orang tua, minta ijinnya, lalu kita di
pertemukan, amati wajah aslinya, bukan lewat foto editan, berkenalan dan di putuskan iya
tidaknya.
Seperti yang ada dalam syariat islam, jika ada seorang pemuda hendak melamar pujaan
hatinya maka ketuklah pintu rumahnya sebelum mengetuk pintu hatinya, temui orang tuanya
minta ijin untuk mendekati putrinya, atur pertemuan, sampaikan tujuan, buat kesepakatan dan
putuskan. Jangan terlalu lama karena sesuatu yang kelamaan akan menimbulkan fitnah.

Mamak tak pernah menjelaskan soal ini, peristiwa besar yang menyangkut harga diri
seorang laki-laki di mata gadis pujaannya. Mamak tak pernah ngajak duduk bersama, berbicara
dari hati ke hati bahwa akan ada tamu ke rumah ingin kenalan dengan Rania. Boleh atau tidak
juga tak pernah ditanyakan. Setelah lama berlalu, mas hasannya juga sudah mengurungkan niat
untuk bertamu. Di sela-sela pembicaraannya bersama Rania, ia selalu berkata “orang itu loh
baru beli mobil”. What….???.

Jawab Rania“Lah terus kenapa. Apa urusannya dengan Rania, emang orang itu siapa?”.
Mamak ini seolah ingin berkata “ syukurin… udah nolak dia, lihat tuh hidupnya makmur”.
Mamak seperti ingin memberikan rasa penyesalan untuk Rania karena gak mau nikah dengan
dia. Emangnya anakmu ini tampang matre apa, menikah hanya karena ada sesuatunya. Tapi
salahnya Rania dimana, lah mamak kan gak pernah bilang akan ada tamu kerumah, ngapain juga
dilarang datang malah di suruh kenalan lewat HP segala. Yang nyuruh siapa, yang ingin kenalan
lewat HP siapa, kenalan yang bener itu seperti apa, sudah ijin belum nomor HP mo dikasihkan
orang supaya Rania ga salah paham.

Jawabannya tidak, tidak sama sekali. Itu yang bilang Rania ga mau dengan mas Hasan
siapa, yang kasih jawaban kesana siapa, apakah dari mulut Rania, apakah sudah ada pembicaraan
sebelumnya. Apakah mamak pernah menyampaikan semuanya. Anakmu ini sudah lama
menunggu datangnya seseorang dengan cara yang seperti itu, kenapa kok dilarang datang, malah
disuruh lewat HP. Ga tau apa kalau HP itu horror. Siapa tau orang iseng, atau bapaknya anak
didik, atau pasangannya seseorang yang sedang mencari selingkuhan.

Mamakku ini ingin anaknya seperti anak lain, kenalan lewat HP terus menikah. Lah…
mereka kan masih belia, usinya belasan tahun. Ketemuan di HP wajarlah, HPnya juga dari orang
tuanya. Lalu apa Rania harus sama seperti dia, kenalan lewat HP, terus pacaran lalu menikah.
Lupa kali anaknya ini sudah kelewat dewasa. Jika mamak ingin Rania seperti anak orang lain,
maka mamak juga harus seperti mamaknya orang lain. Apa yang kita tanam itu yang akan kita
tuai. Saat mamak orang lain banting tulang demi keberhasilan putrinya, mamakku justru sibuk
dengan urusan orang lain hingga Rania lulus kuliah dengan hasil jerih payahnya sendiri. Belum
pernah sekalipun mamak bertanya darimana Rania dapat uang untuk biaya kuliah. Tak sekalipun
mamak bertanya sudahkah anakmu ini makan hari ini, bahagiakah dengan hidup yang ia jalani.
Mamak tak pernah peduli dengan itu semua. Dia hanya tau putrinya kuliah, lulus, udah…. Mo
hidup mo mati bukan urusan.

Saat mamak lain sibuk mencari penghasilan, mamak Rania ini justru sibuk menyalahkan
orang. Saat mamak lain sanggup memenuhi permintaan anaknya, mamak Rania malah janji-janji
saja “ iya.. nanti ” hingga bertahun-tahun tak juga dipenuhi. Baik yang sekedar ucapan, gratisan
atau berbayar. Mamak Rania tak pernah bisa memenuhi keinginan putrinya. Ia lebih suka
mencari berita tentang tetangganya yang selingkuh, atau tetangganya yang dipukuli orang, atau
apalah yang gak penting dan bukan urusannya. Jika dikalkulasikan, hampir semua waktu mamak
habis untuk ngurusi orang. Anak dan suami tak terurus dengan baik. Maka wajar, jika Rania
tumbuh menjadi pribadi pendiam, keras dan dingin. Meski hatinya bergolak, dia seperti orang
yang gak mau tau dengan lingkungannya. Rania merasa bahwa orang lain tak ada yang ingin
mengetahui keberadaannya.

Terngiang di benak Rania, tatkala Rania masih sekolah SD, ia ingin membeli Cilot.
Suatu ketika mamak Rania dapat rejeki entah darimana. Mamak itu bagi-bagi uang kepada
saudara-saudaranya, hingga anak-anak saudaranya yang seumuran dengan Rania. Kala itu ada
yang nyeletuk, “kok Rania dan kakaknya ga dikasih uang bulek ”, jawab mamak “ udah ga papa
kan dia anakku, urusankulah” katanya. Mungkin saudaranya itu berfikir, anak-anak kecil
lainnya pegang uang buat jajan, sedangkan Rania dan kakaknya tidak, kasihan aja gitu. Eh
bener… saat kami asyik bermain di halaman rumah, ada tukang cilot lewat. Namanya juga anak-
anak, dipanggillah tukang cilot itu. Semua beli pakai uang dari mamak Rania yang tadi.
Sementara Rania dan kakaknya ga punya uang, kami hendak meminta uang ke mamak. Anak-
anak lain justru melarang “ jangan… harus pake uang sendiri dong, lihat kita pakai uang
sendiri, gak boleh minta-minta” .Katanya… namanya juga anak-anak.

Sontak saja kakak Rania terdiam, sementara Rania lari menemui mamaknya. Ia minta
uang sampai nangis karena ingin memebeli Cilot seperti yang lain. Kebetulan mamak sedang
asyik ngobrol dengan saudara-saudaranya. Mungkin jika dilihat dari kacamata orang dewasa,
Rania ini mintanya di saat ga tepat. Tapi namanya juga anak-anak, Rania justru dimarah-marahi
mamaknya. Katanya “ udah ga usah jajan… lihat mamak ini sedang ada tamu, dasar anak
nakal ”

Begitu dan selalu begitu, lidah mamak pedas dan tajam. Dia merasa anak-anaknya ada
dalam tanggung jawabnya, tapi tak sedikitpun diperhatikan kebutuhannya. Hingga Rania remaja
mamak juga tak berubah. Saat Rania duduk di bangku SMP, Rania pernah menyampaikan
keinginannya mempunyai sepeda yang ada keranjangnya seperti teman-temannya yang lain.
Jawabannya mamaknya sama “ iya nanti tak belikan “ hingga Rania SMA sepeda itu tak juga
dibelikan. Mamak itu, saat ga ada uang ia pasti berjanji, tapi begitu ada uang justru digunakan
untuk yang lain, selalu begitu.

Waktu berjalan begitu cepat, keinginan-keingin kecil Rania juga sudah lenyap. Janji-janji
mamak terikat di ingatan. Tak lekang meski sekarang sudah dewasa. Begitu pula soal
pendamping hidup. Rania ini terlahir setia, jika dia mencintai seseorang maka selamanya hanya
orang satu itu saja yang dia pikirkan. Entah terwujud atau hanya sebatas angan.

Setelah lulus SMA, Rania kehilangan arah. Dia bingung akan melangkah kemana. Sejak
kecil Rania ingin sekali memakai toga menjadi sarjanah. Namun dia tak tahu harus memilih
jurusan apa. Sejauh ini, Rania berjalan seperti air. Mengalir dan terus mengalir hingga ke hilir.
Setiap kelokan ia lalui begitu saja. Tak pernah memaksa dan juga memprotes terjalan-terjalan
yang dilalui dia hadapi seperti biasa. Namun kali ini, ia ingin memakai toga entah DI, DII, atau
sarjanah, pokoknya pakai toga.

Keinginannya itu ia sampaikan ke mamak, kali ini Rania pasrah karena pasti mamaknya
hanya janji-janji belaka. Benar saja ga pernah terjadi. Hingga bulan berganti tahun tak terasa 4
tahun Rania terdiam di rumah, kesana-kemari nganggur tanpa tujuan. Pilihan kedepan hanya dua
kalau gak kerja ya menikah. Tapi mo kerja apa, menikah dengan siapa. Rania ini gak pernah
pacaran. Dia takut nama baik keluarga tercoreng karena ulahnya. Seperti teman-teman seusinya,
banyak sekali yang hamil di luar nikah dan orang tuanya malu. Rania seolah trauma dengan
pengalaman orang lain di sekitarnya. Dia takut menjalani hidup.

Kita beralih ke soal percintaan. Seperti biasa anak-anak gadis usia remaja pasti jadi
sorotan lelaki seperti kembang yang sedang merekah, banyak diincar kumbang-kumbang kelana.
Entah orang tuanya yang suka atau saudaranya. Jalan menuju pernikahan beragam. Ada yang
pacaran, ada yang dijodohkan lewat teman, saudara atau orang tua. Dan tak sedikit yang awalnya
menolak tapi jodoh seumur hidup. Dan Rania ini diam-diam mencintai seseorang. Rumahnya
dekat, usianya 10 tahun lebih matang. Tak terlihat celah dalam pandangannya, pemuda itu
sungguh sempurna. Pemuda idaman, pujaan hati.

Gayung bersambut, ternyata pujaan hatinya juga menyukainya. Kita bermain mata.
Saling mencintai tapi tak saling bertegur sapa. Ah.. serasa dunia memaklumi. Rania dan lelaki itu
saling mencintai dalam diam, keluarga si lelaki seolah mendukung pilihan anak sulungnya.
Namun lagi-lagi benturan seolah ada di pihak keluarga Rania. Saat Rania menyampaikan si
hatinya, mamak justru memaki dengan kata-kata kasar. Mamakku bilang, “lelaki itu terlalu
tinggi untuk kau cintai, dia kelewat tua juga, keluarganya jahat, masih banyak yang lain”. Rania
hanya bisa terdiam, mencintai dengan doa semoga hidupnya bahagia meski tanpa dirinya.
Hingga ahirnya lelaki itu menikah, dan mempunyai anak. Sementara Rania hanya bisa
menghindar jauh sejauh mata memandang. Hidupnya serasa jenuh dan kelam. Ia tak betah
tinggal di rumah, setiap hari Rania pulang ke rumah kakeknya di desa sebelah. Hingga suatu
ketika, kakek mengajak Rania bertamasya ke Bali, rencananya sepulang dari Bali kakek lanjut ke
Jakarta dan terahir ke Kalimantan untu menjenguk saudara-saudara kakek di sana. Tuhan seakan
ingin memenuhi keinginan Rania memakai toga dengan pergi jauh dari masa lalunya. Benar saja,
sepulang dari Bali, Rania go to Jakarta. Di ibukota keinginan Rania terwujud, selama 2 minggu
menginap di rumah putri pertama kakek, budenya Rania, ia ikut tes masuk kuliah di kampus
swasta. Dan pulang sebagai mahasiswa. Sejak saat itu Rania berucap “ Daaah masa lalu…
pergilah tanpa bekas, aku akan menggayuh perahuku ke tempat yang lebih luas”

Inilah gambaran mutiara kelabu. Kehadiran orang tua yang seharusnya menjadi pintu
surga bagi anaknya, ini seperti pintu neraka. Mamak yang ingin selalu Rania muliakan, justru
menjadi penghalang datangnya kebaikan. Kisah Rania dengan mas Hasan hanya secuil dari
perjalanan Rania. Andai Rania mampu menjelaskan semuai ini, mungkin Rania tak akan
sekecewa ini.
*CintadanKeikhlasan*

Oleh=NaniFarah

Hidupadalahperputaranwaktu,berputarsepertiroda,Kadangdiatas,kadangdibawah.Bumi

berotasisesuaidengankodratnya,begitulahhukumalamberlaku,itusudahsunatulah.Tidak

selamanyaorangmenjadikaya,begitupunsebaliknya.

Begitujugadengankeluargaku.Mengalamipasangsurutnyakehidupan.SemenjakayahdiPHK
. Ibuikutmembantubebanayahdenganmembukajasacatering.Danalhamduilah,usahaibu
semakinmaju,semakinbanyaksajapesanancateringyangdatangkerumahkami.
Setiaphariibukepasaruntukberbelanjakeperluancatering,danakumembantumenyiapkan
semuanya.Akusudahterbiasamelakukaninidanmulaimenyukairutinitasini.

*******

"An,tolongbelikanibubawangmerahditemlatlanggananibu,tadikeluoaan."kataibusambil

mengangsurkanselembaruangseratusfibuan.

"Sebentarbu,Anagantibajudulu,"jawabkusambilberanjakmenujukamar.Kukenakankerudung

pinkkesukaan.

"DiblokHnomor24ya."

Denganmengendaraisepedamotor,akumelajukepasar.Hanyazepuluhnenitperjalanan,

sampailahakudipasar.

Ditengahhirukpikukoranglalulalangmdnjajakandanmenawarkanbarang,terasaagaksulit

bagikumenemukanblokHnomor24.langgananibumembelibawang.

******

Akuberadadidepansebuahkioskecilyangrapidanasri,yangberadadisudutoasar.Ah,oasti

yangpunyaorangnyafajinmerawatkios.Lihatsajakiosiniterlihatlebihrapidibandingyang
lainnya.

"Assalamualaikum,pabelibawang2kg.,"ujarkuoadapemliktokoyangsedangmerapikankios,

sehinggahanhapunggungnyasajayangterlihat.

"Sebentarya,"

Akumenunggusambilmenebakseoertiaoalemlikkiosini.Suaranyayangmerduxanlembut

menggodanalarku.Menembusruangimajinasiku.

"Beraoakilo,dek?"suaranyagangsejukmengagetkanku.

"Oh.eh.2kilo,mas,"ujarkugugupsekaligusterpanaolehsajahyanggerpampangdidepanku.

Subhanalah,tidakpernahkulihatwajahseteduhini,hidungbangirdengansedikitjambangdi

dagunya,sertamatadengantatapanlembutbenar-benarmelenajanku.Sampaiakuluoabahwa

akuberadaditengahpasar.Akuterpedayaolehcintapadapandanganpertama.Imajikuliar

menatapwajahteduhdidepanku.

******
SudahsebulanMasIlham menjadipembinarohisdimasjidkomplekrumahku.Ya,sekenjak
pertemuannyadengankudipasar,mingguberikutnya,MasIlhamaktifmengisikegiatanremaja
masjiddikomplek.Beliauadalahanakdaripedagangbawangdipasarlanggananibu.

Gayabahasanyayangmasihsepertianakjamannow,segeramembuatkamisemuaakrab.
Begitupundenganku.Kamiseringterlibatdiskusitentangberbagaimacamtema.Akusemakin
menyukainya,apalagiwawasannyabegituluas,dewasadantuturkatanyamenyejukkan.
Adadebartersendiriketikaakuberhadapandengannya.Takjarangakuharusmenatadan
menyusunrasayangtakmenentuini.

Sungguh,apabila saatiniMas Ilham memberisinyalpadaku,pastiaku akan segera

menyambutnya.

*******

Pagimenyaparamah,mentaritelahkeluardariperaduan.Memberikancahayadankehangatan

kepadaseluruhalamsemesta.

Sungguh,nikmatTuhanmuyangmanakahyangkaudustakan?Begitubanyakmahlukdiduniaini

menghirupoksigenuntukmemenuhiisiparu-paru,namuntakpernahsatukalipunsejarahdibumi

ini,kitakehabisanoksigen.Sungguhnikmatyangtakterkira.

"Ana,seminggulagikakakmuAnissaakandikhitbah,"ujaribusambilmerapikanpesanandari
pabrikADIS.
"Barakalah,koqakubarutau?"sedikitakubersungut.
"Iya,ibujugabarudiberitahuayahmupagiini,nantitolongibuuntukmenyiapkankeperluannya,
ya"

"Okebu.Bereslah.NantiAnabantudeh."SiapabucalonkakAnissa?"
"UstadzIlham."suaraibuyanglembutserasapetirdisuangbolongmenembustelingaku.
Akutergugu,hatikuserasatergerus,sedikitperihkurasa.Menggerusuluhati.Akusangat
menyayangikakAnissalebihdariapapun.Akuakanmengorbankanapapununtuknya.Meski

harusmengorbankankebahagiaankusendiri.KakAnissatidakbolehtahuperasaanku.Cintaini
haruskukuburdalam-dalamsampaikedasarhatiku.Demiorang-orangyangkucintai.

Theend

Tangereng

2518

"
Puisi Oleh M. Edi Gunawan

MUARA AIR MATA

Langkah menepi, garis kenistaan menant

Bias cahaya dalam dahaganya air mata

Kegersangan, membuka gerbang pesona duniawi

Aku, tertawa tanpa suara

Enggan kupikirkan setap teka-teki tuhan

Atau sekedar bingkisan surga dan neraka

Aku tersipu saat detk menikamku

Setap bening mata air dalam muara air mata

Mencemooh setap hilafku

Tuhan

Imanku yang telah tumpul membeku

Tak kuasa mencincang hawa nafsu

Potong saja langkahku, tuhan. Biyarkan tak berjejak

Atau runcingkanlah, agar aku beranjak

Menembus nirwana, dengan gagang takdirmu

Hingga aku terlelap, tertelan gelap mulut sunyi

Bersemayam dengan tunggak-tunggak terukir nama

Taburan bunga berlumuran doa

Pembasuh jiwa, pelebur setap dosa-dosa

Indramayu 20 November 2018


Kabar hening air mata

Tertegun tak berkutik

Dentang menderu-deru dalam qalbu

Jiwa bergejolak mencumbu air mata

Aku menatap sudut media mengabarkan duka

Gempa. Ombak teluk palu porak-porandakan saudraku

28 September. 7,7 Skala richter

Tuhan

Kuatkan ketabahan saudaraku

Gondala, Palu

Indramayu 20 November 2018

Pilu

Mengepak sayap rapuh, berguguran helaian rindu

Menyibak dinding udara langit-langit

Menerawang kesetiap sudut bumi

Kau masih tetap bersembunyi

Mengumpat rapih, dalam ketiak asmara

Seusai rangakaian melati membingkai lehermu

Hati ini kau tinggalkan kosong

Sisakan candu rindu tak kunjung usai


Indramayu 20 November 2018

TENTANG ANGIN

Oleh: Ode Windi Wat

Hembusan rasa yang kau tup begitu dahsyat.

Lagi-lagi tak berirama, apalagi suara.

Meleburkan rahasia sunyi. Namun, terasa.

Apa adanya, sepert itulah kau menyapa.

Sejuk.

Lalu dingin.

Selalu saja memberi rasa.

Tanpa wujud yang nyata.

Tampakmu cukup membuatku hampa.

Bertanya dalam penasaran yang nyata.

Ah! Barangkali terlalu cepat kau bertakhta.

Merajai hat tanpa detk tak berjeda.


Dalam asa yang tak mampu ku cerna.

Bahkan petkan melodi Bumi tak bisa ku dengar.

Hanya lewat sentuhan atmosfir yang indah.

Kau datang membawa segundang cinta, tapi gundah.

Kadang rindu mencekik resah.

Perihal dirimu bahkan Takdir berkisah.

tentang sebuah rasa seta, juga mungkin tentang cinta.

Kau!

Layaknya angin yang menyimpan Udara.

Hanya mendatangkan kesejukan.

Selalu kau bawa hembusan dan kenangan.

Yang jiwa hanya bisa merasakan.

Namun wujudmu selalu tersimpan dalam tabir Tuhan


Judul : Elegi Rindu

Oleh : Nani Farah

Senja ini, aku sengaja duduk di sini. Di bangku taman yang biasa kita berdua nikmat. Aku hanya ingin
menikmat rasa yang hampir sirna.

Meski debarnya masih tetap kurasa. Ah, kau hanya sebuah ilusi. Kenangan yang tak mau beranjak
pergi. Sedang aku masih tetap menunggu di sini, sambil sesekali menghitung dedaunan kering yang
jatuh berguguran. Aku masih menyimpan sajak yang selalu kau lantunkan untukku.

Berlabuh pada di dadaku

Selama yang kau mau


Kan kuwarnai harimu dengan warna pelangi

Tak perlu kau ragu

Ceritakan saja resahmu

Juga gelisah

Yang menemani malam sunyi mu

Tunggulah aku disini

Kan kubawakan secawan madu untukmu

Agar dapat kau rasakan manisnya

Hingga terbenam dalam lorong mimpi

Lalu kau sulam bibirmu

Dengan senyum indah

Yang menjadi candu untukku

Dan aku punya alasan untuk kembali

Aku akan tetap menunggu, meski ku tak tahu sampai kapan itu. Meski hujan dan panas membuat
gigil lebam di tubuhku. Namun kuyakin akan janji yang tak mungkin kau ingkari
Tangerang 251118

Judul : Menapaki Takdir Tuhan

Oleh : Nani Farah

Tapak-tapak kacil menjelajah trotoar

Mengalahkan debu-debu jalanan

Panas mentari membakar sembam

Membuat legam tubuh, jauh dari kekar

Kaleng usang tergenggam di tangan

Menant gemerincing logam darimu tuan

Menepis rasa malu dengan mulut bungkam

Meski netra menatap nanar

.
Gemerincik perut mulai nakal

Perih tertahan dalam nyanyian sumbang

Berirama seakan melodi suram

Pedih menahan lapar

Harapan tergenggam bersama gemerincing logam

Membujur sendu pada rona muram

Perlahan menapaki takdir Tuhan

Sepenuh ikhlas dalam rengkuhan

Tangerang

251118
Puisi Lisnawat

Teruntuk Air,

Tuhan mempertemukan kita dalam kisah cinta yang menurutku konyol. Dengan bodohnya aku
menunggu dirimu tanpa ada kepastian.

Bertahan dalam kesakitan dan enggan untuk melepaskan, menggenggam jemari yang tak perah
ingin digenggam dan itu sangat menyakitkan.

Walaupun aku tahu itu sangat menyakitkan, ibarat jemari terkena sepihan kaca.

Namun, semua itu membuataku belajar untuk mecintai seseorang yang pantas untuk dicintai.

Pada akhirnya akupun melepasmu kembali kepadaNya yang lebih mencintaimu.

Melepaskan semua cinta yang aku berikan kepadamu dan melepaskan dirimu yang lebih
dicintaiNya. Mencintaimu sangat menyakitkan terima kasih telah menemani hariku.

Cileungsi, 10 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai