1
1
ANEMIA GRAVIS
Disusun Oleh :
Yulita Purnama Sari, S.Ked
J510170005
ANEMIA GRAVIS
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Obstetri dan Ginekologi
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
Nama : dr. Anggraheni Prima Diana, Sp.OG (.................................)
Dipresentasikan di hadapan
Nama : dr. Anggraheni Prima Diana, Sp.OG (.................................)
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANEMIA GRAVIS
1. Definisi
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel
darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia
kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia
(SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis
kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau
infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis
sering memberikan gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun
sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru.6
2. Epidemiologi
Pravalensi anemia gravis tertinggi terdapat pada ibu hamil yaitu sebanyak
50-70% dan yang paling rendah yaitu pada laki-laki dewasa sebanyak 20-30%.
Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa
kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-perubahan
dalam darah dan sumsum tulang. 7
Angka pravalensi anemia di dunia sangat bervariasi tergantung pada geografi.
Salah satu faktor determinan utama adalah taraf sosial ekonomi masyarakat.
Sedangkan prevalensi anemia gravis sendiri menurut WHO mencapai angka
lebih dari 40% dalam satu populasi.8
3. Patofisiologi
1) Sickle cell anemia
Sickle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga
mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit .
Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal yaitu
hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai kelarutan dan bentuk
molekul yang khas yang menyebabkan perubahan bentuk eritrosit seperti bulan
sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel
fagosit sehingga dalam jangka panjang terjadilah anemia.9,10
2) Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb penderita
dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi 15 g/dl. Dengan
kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita.9,10
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total sintesis
rantai beta molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat kompensasi berupa
peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara produksi rantai gamma tetap aktif
sehingga akan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang tidak sempurna
(cacat). Rantai polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika
terurai akan merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi anemia gravis.
Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang akan membentuk eritrosit
dengan jumlah yang sangat berlimpah kecuali jika fungsi sumsum tulang
disupresi melalui terapi transfuse.9,10
3) Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat
disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang
ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon,
Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin yang semuanya disebut sitokin,
dan dapat juga disebabkan oleh kanker sendiri.9,10
4) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan zat besi yang
berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat
besi, berkurangnya sediaan zat dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan
zat besi atau kehilangan darah yang kronis.17
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Walaupun pada kebanyakan
negara berkembang anemia akibat kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi,
tetapi ditemukan penyebab paling sering kejadian anemia pada negara
berkembang adalah akibat kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan
kehilangan darah melalui saluran cerna atau saluran kemih.17
5) Leukemia
Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel leukosit yang
abnormal dan ganas serta sering disertai adanya leukosit jumlah berlebihan yang
dapat menyebabkan terjadinya anemia dan trombositopenia (Hidayat, 2006).
Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai
gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk
hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok sel ganas tersebut
dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi proliferasi dari salah satu sel yang
memproduksi sel darah yang ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi
sumsum tulang dengan menyebabkan kegagalan fungsi tulang normal dalam
proses hematopoetik normal sehingga menimbulkan gejala anemia gravis.16
6) Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini berada dalam
usus manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan
perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita
mengalami anemia.
Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi akibat
perdarahan saluran cerna. Prosesnya sering tiba-tiba. Perdarahan akibat cacing
tambang dan Schistosoma merupakan penyebab tertinggi terjadinya perdarahan
saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi.16
7) Sferositosis herediter (SH)
Sferositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis anemia hemolitik
turunan yang disebabkan oleh kerusakan pada membran eritrosit. Kerusakan
terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal
sel darah merah yang terdiri dari spektrin, ankirin, band 3 protein, dan protein.
Defek pada beberapa protein skeletal membran yang berbeda dapat menyebabkan
sferositosis herediter; semua ini secara primer atau sekunder akan menimbulkan
defisiensi spektrin yaitu protein struktur (meshwork) yang berkaitan dengan
membran internal sel darah merah.
Sel darah merah yang kurang mengandung spektrin memiliki membran
yang tidak stabil dan mudah terfragmentasi secara spontan. Berkurangnya luas
permukaan yang ditimbulkan menyebabkan sel darah merah tersebut berbentuk
sferoid; sferosit semacam ini memiliki fleksibilitas membran yang berkurang dan
terperangkap serta dihancurkan dalam korda limpa.14,15,19
8) Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya
unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas dengan penurunan produksi
eritrosit akibat pergantian dari unsur produksi eritrosit dalam sumsum oleh
jaringan lemak hiposeluler (Young, 2006). Penurunan sel darah merah
(hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan,
seningga menimbulkan gejala-gejala anemia.20,21
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum tulang dan karena
kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada sel induk pluripoten ini
menjadi penyebab utama terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang
mengalami gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah
yang baru. Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten
ataupun karena fungsinya yang menurun.20,21
4. Manifestasi Klinis
Pada beberapa penderita anemia gravis, mungkin tidak terdapat gejala atau
tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami
kelemahan berat.9,10
1) Gejala
Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,
khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala.
Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina
pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan (konfusi). Gangguan
penglihatan akibat pendarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat
berat, khususnya yang awitannya cepat.
2) Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum
meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang
dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan.
Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat,
kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran
gagal jantung kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua.
Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis
anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan
anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan
anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia
hemolitik kongenital lain yang berat.
5. Diagnosis
Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi
atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah
platelet kurang dari 10.000/µl (10x109/liter) yang menandakan risiko yang lebih
besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada
anemia berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu
ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru
terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.
Gambar Darah Tepi
Sickle cell anemia
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan anemia
dengan berbagai indikasi.
a) Farmakologi
1) Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
2) Epoetin Alfa
3) Obat untuk Mengatasi Pendarahan
i. FRESH FROZEN PLASMA (FFP)
ii. CRYOPRECIPITATE
4) Garam Besi
i. Fereous Sulfate
ii. Carbonyl Iron
iii. Iron Dextran Complex
iv. Ferric Carboxymaltose
b) Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah paliatif dan
tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi tertentu. Pada penyakit
kronis yang berhubungan dengan anemia gravis, erythropoietin dapat membantu
dalam mencegah atau mengurangi transfusi.
c) Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia, lymphoma,
Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan penyakit aplastik.
Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan kelainan hematologi membaik.
Alogenik transplantasi sumsum tulang berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik
dari penyakit sel sabit dan talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada
pasien yang berhasil transplantasi.
d) Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
1) Protein
Protein berperan penting dalam transportasi zat besi di dalam tubuh.
Oleh karena itu, kurangnya asupan protein akan mengakibatkan transportasi
zat besi terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi. Di samping itu
makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi.
2) Vitamin A
Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari tempat
penyimpanan untuk proses eritropoesis di mana disebutkan suplementasi vitamin A
sebanyak 200.000 UI dan 60 mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat
meningkatkan rata – rata kadar hemoglobin sebanyak 7 g/L dan menurunkan
prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%.
3) Vitamin C
Vitamin C dapat menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar
dimobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Vitamin C juga memiliki
peran dalam pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.
4) Zat Besi
Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan
sayuran berwarna hijau tua. Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri
hidroksida, ferri-protein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging
terutamanya hati adalah sumber zat besi yang lebih baik dibanding sayur-
sayuran, telur dan lainnya.
5) Asam Folat
Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi dalam pembentukan
DNA inti sel dan penting dalam pembentukan myelin yang berperan penting
dalam maturasi inti sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari
sefisiensi asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas
sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya kromatin lebih
longgar dan sel menjadi lebih besar (megaloblast) (Underwood, 2003).
Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200 mcg.
6) Vitamin B12
Salah satu fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-
sel darah merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat
selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung
cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab untuk
pembentukan sel darah merah. Terjadi defisiensi vitamin B12, pembentukan
DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut dengan
kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia.12,13
7. Komplikasi
a) Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
b) Penyakit Kardiovaskular
c) Hipoksia Anemik
d) Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan :
- Abortus (keguguran)
- Persalinan premature
- Gangguan pertumbuhan janin
- Ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6 gr%)
- Mudah terjadi infeksi
- Hyperemesis gravidarum
- Perdarahan sebelum persalinan
-Ketuban pecah dini.
e) Pengaruh Anemia terhadap Persalinan :
- Gangguan his
- Kala II dapat berlangsung lama dan partus lama
- Kala uri dapat diikuti retensio plasenta dan kelemahan his.
f) Pengaruh Anemia pada saat Nifas :
B. HIPERTENSI GESTASIONAL
1. Definisi
Hipertensi gestasional atau hipertensi transien. Wanita dengan peningkatan
tekanan darah yang dideteksi pertama kali setelah pertengahan kehamilan, tanpa
proteinuria, diklasifikasikan menjadi hipertensi gestasional.Jika preeklampsia
tidak terjadi selama kehamilan dan tekanan darah kembali normal setelah 12
minggu postpartum, diagnosis transient hypertension dalam kehamilan dapat
ditegakkan.Namun, jika tekanan darah menetap setelah postpartum, wanita
tersebut didiagnosis menjadi hipertensi kronik. Hipertensi gestasional dan
preeklampsia meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan seperti berat lahir
bayi yang rendah dan kelahiran prematur. 22,23
2. Epidemiologi
Insiden : hipertensi gestasional adalah penyebab utama hipertensi dalam
kehamilan yang menyerang 6-7% ibu primigravida dan 2-4% ibu multigravida.
Insiden ini meningkat pada kehamilan ganda dan riwayat preeklampsia.5
3. Diagnosis22,23,24
Diagnosa Hipertensi Gestasional ditegakkan apabila tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥90 mmHg pada usia kehamilan >20
minggu, dimana sebelum kehamilan tekanan darah subyek tersebut normal dan
tekanan darah kembali normal pada 12 minggu setelah melahirkan.
a. Hipertensi kronik
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
b. Preeklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria.
c. Eklampsia
Eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita
preeklampsia, yang juga dapat disertai koma.23
6. Etiologi
Penyebab Hipertensi Gestional, meskipun sebab utama dari hipertensi dalam
kehamilan belum jelas, tampaknya terjadi reaksi penolakan imunologik ibu
terhadap kehamilan di mana janin dianggap sebagai hostile tissue graff reaction
dimana “Reaksi penolakan imunologik dapat menimbulkan gangguan yang lebih
banyak pada tubuh wanita hamil dibanding akibat tingginya tekanan darah, yaitu
perubahan kimia total pada reaksi yang tidak dapat diadaptasi yang dapat
menyebabkan kejang dan kematian pada wanita hamil,” akibat Hipertensi
Gestasional.
a. Efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita hamil akan merusak
sistem vascularasi darah,sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan nutrisi
melalui placenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan prematuritas
placental dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam rahim.
b. Hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dapat mengganggu pertukaran nutrisi
pada janin dan dapat membahayakan ginjal janin.
c. Hipertensi bisa menurunkan produksi jumlah air seni janin sebelum lahir.
Padahal,air seni janin merupakan cairan penting untuk pembentukan
amnion,sehingga dapat terjadi oligohydromnion (sedikitnya jumlah air
ketuban).11,12
7. Patogenesa hipertensi dalam kehamilan
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jeals. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, diantaranya yang banyak dianut adalah :
8. Faktor Resiko
a. Primigravida
b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hisdrops fetalis, bayi besar
c. Umur yang ekstrim
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
e. Penyakitpenyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
f. Obesitas22
9. Penatalaksanaan
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
1) Penatalaksanaan Non Farmakologis.
a. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin
dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
Aktivitas disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan,
jogging, bersepeda atau berenang.
2) Penatalaksanaan Farmakologis.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
Golongan obat - obatan yang seperti golongan diuretic, golongan
betabloker, golongan antagonis kalsium, golongan penghambat konversi
rennin angiotensin. 23,28
C. POLIHIDRAMNION
1. Definisi
Polihidramnion atau hidramnion diartikan sebagai indeks cairan amnion
(Amnion Fluid Indeks/AFI) lebih dari 24 cm. Phelan, dkk (1987) mengukur
cairan amnion menggunakan AFI. Kuantifikasi ini dihitung dengan menghitung
jumlah kedalaman vertikal kantong terbesar dari setiap empat kuadran uterus
dan dijumlah hasil dari setiap 4 kuadran. AFI 25-30cm diklasifikasikan sebagai
polihidramnion ringan, polihidramnion sedang jika AFI30,1-35cm, dan berat
jika AFI >35cm.30,34
Jika diukur menggunakan single deepest pocket (SDP), dikatakan
polihidramnion jika SDP>8 cm, dengan klasifikasi ringan jika SDP 8-11cm,
sedang 12-15cm, dan berat jika SDP>16cm.31,34
2. Etiologi
Polihidramnion sering dikaitkan dengan malformasi janin, terutama pada
saluran cerna dan saraf pusat, misal terjadi anensefali dan atresia esofagus.
Selain itu, penyebab yang lebih jarang adalah pseudo hipoaldosterone, fetal
bartter atau sindrom hiperprostaglandin E, diabetes insipidus nefrogenik janin,
koriongioma plasenta, teratoma sakrokoksigeal, dan penyalahgunaan obat-
obatan oleh ibu.30
Polihidramnion idiopatik adalah cairan amnion berlebihan yang tidak
disebabkan anomali kongenital, malformasi, diabetes, isoimunisasi, infeksi
tumor, atau kehamilan kembar. Hal ini terjadi hampir separuh kasus
polihidramnion.30,31
3. Patogenesis
Pada awal kehamilan rongga amnion terisi cairan yang berasal dari cairan
ekstraseluler. Selama pertengahan pertama kehamilan, perpindahan air dan
molekul kecil lainnya terjadi tidak hanya melewati amnion tetapi juga melalui
kulit janin. Selama trimester kedua, janin mulai berkemih, menelan, dan
menghirup cairan amnion. Proses ini memainkan peran modulasi dalam kontrol
volume cairan.
Aquaporin-protein kanal air di membran sel berperan dalam mengatur
homeostasis cairan amnion. Ekspresi aquaporin kanal air 1 (AQP1) ditemukan
meningkat pada membran dan terlihat pada polihidramnion yang idiopatik.30
Karena normalnnya janin menelan cairan amnion, mekanisme tersebut
dianggap sebagai salah satu cara untuk mengontrol volume. Teori tersebut
terbukti karena sebagian besar kasus janin dengan atresia esofagus mengalami
polihidramnion.30
Pada kasus anensefali dan spina bifida, peningkatan transudasi cairan dari
meningen bercampur dengan cairan amnion. Selain itu, adanya peningkatan
urinasi yang disebabkan oleh stimulasi pusat serebrospinal yang kehilangan
penutupnya ataupun karena kurangnya efek antidiuretik akibat gangguan
sekresi vasopresin arginin.30
Sementara pada kasus diabetes ibu selama trimester ketiga masih belum
dapat dijelaskan. Salah satu teori menyatakan bahwa hiperglikemia ibu juga
menyebabkan hiperglikemia janin sehingga terjadi diuresis osmotik.1
4. Gejala klinis
Gejala yang sering terjadi akibat tekanan dari uterus yang overdistensi
pada organ didekatnya. Jika distensi berlebihan ibu mungkin mengalami
dispneu berat, edema akibat kompresi sistem vena, ataupun oliguria akibat
penekanan pada ureter. Pada polihidramnion kronis akumulasi cairan terjadi
secara bertahap, dan ibu dapat mentoleransi distensi abdomen yang berlebihan
dengan rasa tidak nyaman yang relatif ringan.30,31
5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan sonografi serta adanya temuan
klinis yaitu pembesaran uterus yang menyebabkan kesulitan dalam mempalpasi
bagian kecil janin dan dalam mendengarkan suara jantung janin. Pemeriksaan
ultrasonografi juga dapat membedakan polihidramnion dengan asites ataupun
kista ovarium.30
6. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah solusio plasenta, disfungsi
uterus, perdarahan pasca partum, malpresentasi janin, ketuban pecah, prolaps
tali pusat, persalinan preterm, dan gangguan pernapasan pada ibu. 30,31,32
Berdasarkan penelitan terhadap 302 kehamilan yang dilakukan
pemeriksaan USG dan didapatkan mereka yang mengalami polihidramnion
idiopatik memiliki malposisi janin (presentasi bokokng atau transversal).33
7. Terapi
Polihidramnion derajat ringan jarang memerlukan terapi. Bahkan derajat
sedang dengan sedikit rasa tidak nyaman biasanya dapat diatasi tanpa intervensi
sampai persalinan terjadi. Namun terdapat beberapa terapi yang dapat diberikan
antara lain, amniosintesis ataupun pemberian indometasin.30,31
Amniosintesis bertujuan untuk mengurangi distress ibu. Cairan amnion
juga dapat diambil untuk menguji kematangan paru. Indometasin dapat
mengganggu produksi atau meningkatkan absorpsi cairan paru
janin,menurunkan produksi urin, dan meningkatkan perpindahan cairan
melintasi membran janin. Dosis yang dapat diberikan yaitu, 1,5-3mg/kgBB per
hari.30,31
Kepala janin perlu diperiksa beberapa kali selama persalinan, karena
selama persalinan posisi janin dapat berubah menjadi presentasi bokong atau
letak lintang selama intrapartum. Ruptur membran secara spontan dapat
menyebabkan terjadinya dekompresi uterus akut dengan faktor resiko untuk
terjadi prolaps atau abrupsi plasenta.34
Metode persalinan pada polihidramnion idiopatik masih menjadi
perdebatan. Beberapa peneliti melaporkan rasio yang tinggi pada persalinan per
abdominal/seksio sesarea tetapi beberapa peneliti yang lain tidak. Akan tetapi
insiden terjadinya persalinan per abdominal bervariasi antara 22-35%. Indikasi
untuk dilakukannya persalinan per abdominal pada polihidramnion adalah
suspek makrosomia, fetal distres, disproporsional kepala panggul, atau
malposisi janin.35
D. HIPOALBUMINEMIA
1. Definisi
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal
atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL). Hipoalbuminemia
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga
mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.
2. Klasifikasi
Defisiensi albumin atau hipoalbuminemia dibedakan berdasarkan selisih atau
jarak dari nilai normal kadar albumin serum, yaitu 3,5–5 g/dl atau total kandungan
albumin dalam tubuh adalah 300-500 gram. Klasifikasi hipoalbuminemia sebagai
berikut:36
1. Hipoalbuminemia ringan : 3,5–3,9 g/dl
2. Hipoalbuminemia sedang : 2,5–3,5 g/dl
3. Hipoalbuminemia berat : < 2,5 g/dl
3. Penyebab
Hipoalbuminemia adalah suatu masalah umum yang terjadi pada pasien.
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh masukan protein yang rendah,
pencernaan atau absorbsi protein yang tak adekuat dan peningkatan kehilangan
protein yang dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi medis kronis dan akut:
1. Kurang Energi Protein,
2. Kanker,
3. Peritonitis,
4. Luka bakar,
5. Sepsis,
6. Luka akibat Pre dan Post pembedahan (penurunan albumin plasma yang terjadi
setelah trauma),
7. Penyakit hati akut yang berat atau penyakit hati kronis (sintesa albumin
menurun),
8. Penyakit ginjal (hemodialisa),
9. Penyakit saluran cerna kronik,
10. Radang atau Infeksi tertentu (akut dan kronis),
11. Diabetes mellitus dengan gangren, dan
12. TBC paru.37
4. Terapi
Hipoalbuminemia dikoreksi dengan Albumin intravena dan diet tinggi
albumin (Sunanto, 2006), dapat dilakukan dengan pemberian diet ekstra putih
telur, atau ekstrak albumin dari bahan makanan yang mengandung albumin dalam
kadar yang cukup tinggi. Penangan pasien hipoalbumin di RS dr. Sardjito
Yogyakarta dilakukan dengan pemberian putih telur sebagai sumber albumin dan
sebagai alternatif lain sumber albumin adalah ekstrak ikan lele. Sedangkan pada
RS dr. Saiful Anwar Malang, penanganan pasien hipoalbuminemia dilakukan
dengan pemberian BSA (Body Serum Albumer), dan segi gizi telah dilakukan
pemanfaatan bahan makanan seperti estrak ikan gabus, putih telur dan tempe
kedelai.36,37
BAB III
KESIMPULAN
Suatu anemia berat yang kronis (anemia gravis) dikatakan bila konsentrasi
Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Diagnosis anemia
ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium
yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis. Faktor resiko anemia
gravis seperti jenis kelamin, penghasilan (status ekonomi), pendidikan, usia, gaya
hidup, keturunan.
Pengaruh Anemia terhadap Kehamilan : Abortus (keguguran), persalinan
premature, gangguan pertumbuhan janin, ancaman dekompensasi kordis (Hb < 6
gr%), mudah terjadi infeksi, hyperemesis gravidarum, perdarahan sebelum
persalinan, ketuban pecah dini. Pengaruh Anemia terhadap Persalinan : gangguan
his, kala II dapat berlangsung lama dan partus lama, kala uri dapat diikuti
retensio plasenta dan kelemahan his, Pengaruh Anemia pada saat Nifas : terjadi
subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan
infeksi puerpuerium, pengeluaran ASI berkurang, terjadinya dekompensasi
kordis. Pengaruh Anemia terhadap Janin : kematian janin dalam kandungan dan
berat bayi lahir rendah.
Beberapa pengobatan medis anemia dengan berbagai indikasi seperti,
erythropoiesis-stimulating agents (ESAs), Epoetin alfa, Fresh Frozen Plasma
(FFP), cryoprecipitate, produksi besi, transfusi, transplantasi sumsum tulang dan
stem sel, terapi nutrisi dan pertimbangan pola makan, dan pembatasan aktivitas.
Diagnosa Hipertensi Gestasional ditegakkan apabila tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥90 mmHg pada usia kehamilan >20
minggu, dimana sebelum kehamilan tekanan darah subyek tersebut normal dan
tekanan darah kembali normal pada 12 minggu setelah melahirkan.
Polihidramnion atau hidramnion diartikan sebagai indeks cairan amnion
(Amnion Fluid Indeks/AFI) lebih dari 24 cm. Phelan, dkk (1987) mengukur cairan
amnion menggunakan AFI. Kuantifikasi ini dihitung dengan menghitung jumlah
kedalaman vertikal kantong terbesar dari setiap empat kuadran uterus dan dijumlah
hasil dari setiap 4 kuadran. AFI 25-30cm diklasifikasikan sebagai polihidramnion
ringan, polihidramnion sedang jika AFI30,1-35cm, dan berat jika AFI >35cm.
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin yang rendah/dibawah nilai normal
atau keadaan dimana kadar albumin serum < 3,5 g/dL). Hipoalbuminemia
mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga
mengganggu sintesis albumin serta protein lain oleh hati.
DAFTAR PUSTAKA
10. Harrison. 2004. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Ed. 13 Vol.4.
Jakarta: EGC
11. Ganong W. F. 2003. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 27 Sirkulasi Cairan
Tubuh hal. 513-515 Edisi 20. EGC : Jakarta
12. Gallagher ML. 2008. The Nutrients and Their Metabolism. In : Mahan LK,
Escott-Stump S. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. 12th edition.
Philadelphia: Saunders.
16. Radich JP. How I monitor residual disease in chronic myeloid leukemia. Blood.
Oct 15 2009;114(16):3376-81.
17. Raspati H, Reniarti L, Susanah S., 2005. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono
B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku
Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta: Badan penerbit IDAI
19. Sari, T. T., & Ismail, I. C. 2009. Sferositosis Herediter: laporan kasus. Sari
Pediatri , 11 (4), 298-303.
20. Young NS, Scheinberg P, Calado RT. Aplastic anemia. Curr Opin Hematol. May
2008;15(3):162-8.
22. Cunningham, F.G, 2009 Leveno KJ, Bloom S, Hauth JC, Rouse DJ, Spong
CY. Obstetric Williams 23rd Edition. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
24. Mostello, D., Chang, J.J., Bai, F., et al., 2014 Breech Presentation at Delivery: A
Marker For Congenital Anomaly?. Journal of Perinatology.
25. Pernoll, M.L., 2011. Benson & Pernoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology.
New York: McGraw – Hill.
26. Prawirohardjo, S., 2013 Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
27. Ratcliffe, Baxley, Cline, Sakornbut., 2008. Family Medicine Obstetrics Third
Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier.
28. Walsh, B.K., Czervinske, M.P., Diblasi, R.M., 2010. Perinatal and Pediatric
Respiratory Care. USA : Saunders Elsevier.
29. Boyle, M., 2011. Emergencies Around Childbirth Second Edition. London:
Radcliffe Publishing Ltd.
30. Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., et al. 2014. Obstetri Williams edisi
24. United State: McGrawHill
31. Hamza A., Herr D., Solomayer G.M., et al. 2013. Polyhydramnios: Causes,
Diagnosis and Theraphy. Geburtshilfe Frauenheikld. 73(12):1241-1246
32. Prawirohardjo S., Wiknjosastro H., 2009. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: P.T.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
33. Prawirohardjo S., Wiknjosastro H., 2007. Ilmu Bedah Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: P.T.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
34. Hamza A., Her D., Solomayer E.F., Solomayer G.M., 2013. Polyhydramnios:
Causes, Diagnosis and Therapy. Geburtsh Frauenheilk. 73:1241-1246
35. Sandlin A.T., Chauhan S.P., Magann E.F., 2013. Clinical Relevance of
Sonographically Estimated Amniotic Fluid Volume. American Institute of
Ultrasound in Medicine. J Ultrasound Med. 32; 851-863
36. Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W.Biokimia harper (27 ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009
37. Pahlevi, M. Reza. 2012. Hipoalbuminemia.//digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/
Hipoalbuminemia. Pdf, diakses 28 februari 2018.