Anda di halaman 1dari 23

Grand Case

Spondilitis Tuberkulosis

Oleh :
Mawaddatul Husna 1740312430

Preseptor:
Dr.dr. Roni Eka Saputra, Sp.OT (K-Spine)

BAGIAN ILMU BEDAH


RSUP DR M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan di seluruh dunia.
World health organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat lebih dari 8
juta kasus baru tuberkulosis dan lebih kurang 3 juta orang meninggal akibat penyakit ini.
Berdasarkan laporan WHO, diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh
mikrobakterium tuberkulosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah india dan
china yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus tuberkulosis
menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.1
Spondilitis tuberkulosis merupakan 50% dari seluruh tuberculosis tulang dan sendi. Pada
negera berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah 20 tahun, sedangkan pada
Negara maju lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Perbandingan antara pria dan
wanita, yaitub1,5 : 2,1. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam
keadaan sosial ekonomi rendah.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosis, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada
kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh
kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosis tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di
kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area thorako-lumbal terutama
thorakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling
sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak setelah trauma,
dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Terapi konservatif yang diberikan
pada pasien tuberkulosis tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun
pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus
dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.2

2
1.2 Batasan Masalah
Case report session ini membahas definisi, etiologi, diagnosis dan tatalaksana, serta
laporan kasus spondilitis Tuberkulosis

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Case report session bertujuan untuk memberi informasi mengenai definisi, etiologi,
diagnosis dan tatalaksana, serta laporan kasus spondilitis Tuberkulosis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vertebrae

2
Gambar 1. Anatomi Vertebra.

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33
vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra thoracalis, 5 ruas vertebra
lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra
coccygealis yang membentuk os coccygeus.3
Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari corpus
vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh
dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni
procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk
lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan
membentuk saluran sebagai tempat medulla spinalis. Di antara dua vertebra dapat ditemui celah
yang disebut foramen intervertebrale. Dan di antara satu corpus vertebra dengan corpus
vertebra lainnya terdapat discus intervertebralis.3

4
2.2 Definisi
Spondilitis tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
mikrobakterium tuberkulosis yang mengenai tulang belakang dan disebarkan melalui infeksi
dari diskus secara hematogen. Spondilitis tuberkulosis (tuberkulosis) atau dikenal juga
sebagai pott's disease merupakan manifestasi tuberkulosis skeletal yang paling sering
ditemukan kelainan pada spinal ini dapat menyebabkan defisit neurologis permanen dan
deformitas yang berat. Infeksi tersebut kemudian akan menyebabkan terjadinya destruksi
vertebra yang berdekatan yang mengakibatkan adanya kompresi diskus dan kompresi medula
spinalis sehingga menimbulkan keluhan nyeri. Selain itu, nyeri juga dapat muncul akibat
adanya pembentukan abses di bagian paravertebral, lumbal atau femur. 1
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga abses
psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan
eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa,
debris tulang, dan tuberkel basil. Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan
terendah hingga kemudian membentuk traktus sinus/fi stel di kulit hingga di bawah ligamentum
inguinal atau regio gluteal. Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi
vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa
ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson
dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen
kasus spondilitis TB. Defi sit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks
terjadi akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena
spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara langsung. Selain itu,
invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata

sebagai space occupying lesion.4,5

2.3 Epidemiologi
Insiden spondilitis tuberkulosis saat ini masih sulit ditetapkan, dari keseluruhan kasus
tuberkulosis ekstrapulmonal sekitar 10% diantaranya merupakan spondilitis tuberkulosis, dan
merupakan 1,8 % dari seluruh total kasus tuberkulosis (Purniti, 2008). Insiden spondilitis
tuberkulosis paling tinggi mengarah pada tulang belakang sekitar 50% dari seluruh kasus
tuberkulosis tulang.1
Insidensi spondilitis tuberkulosis bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan
dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di

5
negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosis merupakan sumber morbiditas dan mortalitas
utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi
dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang
sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi
penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada
orang dengan tahap lanjut infeksi HIV.6

2.4 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, merupakan bakteri
berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan
periode 6 – 8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis
dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain. 6

2.5 Patogenesis
Tuberkulosis pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus
tuberkulosis yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus
infeksi primer tuberkulosis dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah
berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.6
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai
darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan
bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada
kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.6
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal empat bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang

6
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan
kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan
deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau
akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.6,8
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di
bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral di
bawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari
suplai darah vertebral.6,8
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosis spinal dengan keterlibatan
lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi
artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosis yang
melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% -

10%.6

Gambar 2. Bentuk Spondilitis Tuberkulosis. A) Gibus thorakolumbar dengan hipertonus


erektor trunkus. Pederita menyandarkan diri pada ekstremitas atas; B) 1. Rarefaksi bagian
anterior vertebra mulai nampak penyempitan diskus intervertebralis, 2 rarefkasi meluas,

7
penyempitan jelas, 3. Kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus, kompresi medula
spinalis.

Infeksi tuberkulosis pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi
secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra
sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan
melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati
diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh
vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui
abses paravertebral.6
Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat
yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous
sequestra, terutama di regio thorakal. Discus intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosis. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi
paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan
kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya

endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.6


Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf
posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya
(angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang
terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit
ini sudah meluas.6
Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di
area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal lordosis dimana sebagian
besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps;
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu
disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular.6
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest. Proses
penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi

8
jaringan granulomatosa tuberkulosis. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi,
sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.6
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosis, bahan perkejuan, dan tulang nekrotik
serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah
ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan
pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak
tertentu dari tempat lesi aslinya.6
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat
paha di bawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum longitudinal menghambat
jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform
radioopak pada atau sedikit di bawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang
besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral
yang menyerupai „sarang burung‟. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding dada
anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke
lateral menuju bagian tepi leher.6
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosis. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada
tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi
granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural
granuloma, tuberculous arachnoiditis).6
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan
nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya
penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis.
Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada
pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.6

2.6 Diagnosis
Anamnesis:
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifi k dan
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru dengan
keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum terbukti
sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau

9
riwayat gejalagejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan
berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan
keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari)
jika diobati secara adekuat.24 Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan
utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang
mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.7

Pemeriksaan fisik :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
3. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus
spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.6

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA kuman
tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu lama, pemeriksaan ini
sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan biaya yang lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR adalah memperbanyak DNA
kuman secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang
sedikit (10 hingga 1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 –98 persen dan
spesifi sitas 98 persen.
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa dikatakan
dapat berguna, namun efektivitasnya masih diuji lebih lanjut. Pemeriksaan penunjang
lainnya meliputi studi hematologis. Laju endap darah (LED) biasanya meningkat, namun
tidak spesifi k menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB. Peningkatan kadar C-
reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses. Uji Mantoux positif pada
sebagian besar pasien (84–95 persen) namun hanya memberi petunjuk tentang paparan

10
kuman TB sebelumnya atau saat ini. Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya
jika proses infeksi paru sedang aktif. Studi di Malaysia mengemukakan bahwa kelainan
hematologis yang paling sering ditemukan pada pasien spondilitis TB adalah anemia
normositik normokrom, trombositosis dengan/tanpa peningkatan LED dan leukositosis.7
2. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosis di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
3. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosis di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 – 8
minggu onset penyakit. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior
atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi
corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari
area subligamentous. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder
tuberkulosis yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio
tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih
besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall
vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus
sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus
tuberkulosis dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat
terkena penyakit tuberkulosis yang melibatkan vertebra thorakal. Dapat terlihat
keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk
fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan
tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan
atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses
epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi

(tergantung ukuran abses). 6

11
8
Gambar 3. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.

4. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis (gambar
4). CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui
punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan. Selain hal
yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan biopsi
perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT scan sebaiknya
diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.7
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal
dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.26,30 Untuk mengevaluasi spondilitis
TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh
vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. 8,18 MRI juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyalT1 pada sumsum
tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak
dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.31 Bagaimana membedakan
spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian diagnosis
diferensial setelah ini.7

12
Gambar 4. MRI Spondilitis Tuberkulosis.

2.7 Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosis, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott‟s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosis (contoh:
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosis karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam
pleura.6

2.8 Diagnosis Banding


1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya
sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang
berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis daripada infeksi bakterial
lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
3. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin‟s disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewing‟s sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi

13
dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosis karena
ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi
mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang
berbatas jelas.
4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosis oleh karena
tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior
bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 6

2.9 Terapi
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosis adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit.
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.

2.9.1 Terapi Konservatif


1. Pemberian nutrisi yang bergizi.
2. Terapi anti tuberkulosis.
Obat anti tuberkulosis yang utama adalah isoniazid (5 mg/kg/hari – 300 mg/hari),
rifamipicin (8-12 mg/kg/hari atau 450 – 600 mg/hari), pyrazinamide (15-
30mg/kg/hari), streptomycin (15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari) dan ethambutol (15-25
mg/kg/hari). Pemberian obat-obatan saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini
atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6 – 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.
Terapi yang lama, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi,
sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang
tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder sehingga butuh obat anti
tuberkulosis sekuder yaitu para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine,

kanamycin dan capreomycin.8

3. Istirahat tirah baring (resting)


Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa

14
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya
destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. 7

2.9.2. Terapi Operatif


Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Tindakan
operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosis
dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik
sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan untuk
mengevakuasi “pus” tuberkulosis, mengambil sekuester tuberkulosis serta tulang yang
8
terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.

Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan.
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat saat ini.
5. Penyakit yang rekuren

2.10 Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis
yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan.8
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-
negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS
aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk
anak yang lebih besar dan dewasa.8
Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting
adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA)
positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari

15
infeksi tuberkulosis di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosis harus
diteliti dan diterapi.9
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari
selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosis.9

2.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosis sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang
diberikan:10
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosis mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis
saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosis dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : Minangkabau
Alamat : Batang Kapas, Pesisir Selatan

3.2 Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berumur 30 tahun masuk melalui Poliklinik Orthopedi dan
dirawat di Trauma Center RSUP Dr M Djamil Padang tanggal 12 September 2018 dengan
diagnosis Spondilitis TB post Dekompresi Stabilisasi dengan Broken Screw.

Keluhan Utama
Nyeri punggung sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


● Nyeri punggu sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien jatuh terduduk
di kamar mandi. Pada pasien sudah dilakukan operasi stabilisai tulang belakang
● Lemah pada kedua tungkai tidak ada
● Nyeri serta kaku saat menggerakan kedua kaki tidak ada
● Kebas dan kesemutan tidak ada
● Pasien merasa kehilangan BB disangkal
● BAB dan BAK normal
● Batuk batuk lama disangkal.
● Riwayat demam disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien telah didiagnosa menderita Spondilitis TB sejak tahun 2013 dan menjalani
operasi stabilisasi tulang belakang pada tahun 2015.

17
 Riwayat lumpuh pada kedua tungkai pada tahun 2014 dan pasien hanya berobat
dengan pengobatan tradisional

 Riwayat tumor tidak ada.

 Diabetes Melitus tidak ada.

 Hipertensi tidak ada.

 Riwayat minum OAT disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


● Riwayat TB dalam keluarga disangkal
● Riwayat tumor dalam keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan


● Pasien seorang wiraswata

3.3 Pemeriksaan Fisik (16 September 2018)


Vital Sign
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x / menit
°
Suhu : 37 C

Status Generalisata
- Kepala : tidak ada kelainan
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, reflek
cahaya +/+
- Kulit : turgor kulit baik
- Hidung : tidak ada kelainan
- Telinga : tidak ada kelainan
- Mulut : tidak ada kelainan
- Leher : tidak ada pembesaran limfonodus pada regio colli

18
- Thoraks
a. Paru-paru :
Inspeksi : simetris kiri = kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

b. Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi: distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, NT (-), NL(-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
- Ekstremitas : edema (-), CRT < 2 detik, akral hangat
Status lokalis
- Corpus vertebralis:
Look : Deformitas (-) kifosis vertebra thorakal
Tanda radang (-). Terpasang drain.
Feel : tidak teraba benjolan, fluktuasi (-), nyeri tekan (-).
Move : ROM terbatas karena sudah dipasang stabilisasi pada tulang belakang.
Pemeriksaan Neurologi
A. Sensorik : ++ ++
++ ++
B. Motorik : 555 555
555 555
C. Reflek fisiologis : ++ ++
++ ++
D. Reflek patologis : - -
- -

19
3.4 Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium (13 September 2018)
Angka Normal
Hb 11,9 gr/dL 12-16 gr/dL
Ht 37% 37-43%
Leukosit 10.950 mm3 5.000-10.000/mm3
Trombosit 305.000/mm3 150.000-400.000/mm3
LED 110 mm 0-10mm
Kesan : Leukositosis + LED meningkat

- Rontgen Vertebra
Foto polos sebelum pasien masuk

20
Foto polos setelah dilakukan stabilisasi

3.5 Diagnosis
Spondilitis Tuberkulosis Th 12 – L1 post Dekompresi Stabilisasi dengan Broken Screw

3.6 Penatalaksanaan
− IVFD RL 28 tpm
− MB TKTP 1800 kkal
− Ceftriaxon 2 x 1 gr (iv)
− Ranitidin 2 x 50 mg (iv)
− Ketorolac 3 x 30 mg (iv)

3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad sanam : bonam
- Quo ad functionam : bonam

21
BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki berusia 30 tahun, masuk dari poloklinik
Orthophedi dan dirawat ke Trauma Center bagian bedah ortopedi pada tanggal 12 September
2018 dengan keluhan nyeri punggung sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien
jatuh terduduk di kamar mandi. Tidak ada kelemahan pada kedua tungkai, tidak ada nyeri serta
kaku saat menggerakan kedua kaki, tidak ada kebas dan kesemutan. Pasien menyangkal adanya
penurunan berat badan, batul lama dan demam. BAK dan BAB normal.
Dari riwayat penyakit sekarang didapatkan bahwa pasien telah didiagnosa menderita
Spondilitis TB sejak tahun 2013 dan menjalani operasi stabilisasi tulang belakang pada tahun
2015. Adanya riwayat lumpuh pada kedua tungkai pada tahun 2014 dan pasien hanya berobat
dengan pengobatan tradisional. Pada pasien ini sudah dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis Spondilitis TB post Dekompresi dengan
Broken Screw dikarenakan sudah didiagnosis sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan deformitas dan kelainan lainnya. Hal ini
dikarenakan pasien sudah menjalani operasi stabilisasi kembali. Operasi dilakukan karena
stabilisasi yang sebelumnya patah akibat terjatuh dan terjadi dekompresi. Terapi operatif dapat
diberikan untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat saat ini dan adanya penyakit yang rekuren pada pasien. Pemeriksaan laboratorium
3
didapatkan leukosit 10.950 mm yang menandakan adanya infeksi.

Terapi pada penyakit spondilitis tuberkulosis adalah terapi konservatif dan terapi
pembedahan. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki keadaan umum, eliminasi
kuman penyebab serta mempersiapkan pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan.
Terapi konservatif dilakukan dengan tirah baring, IVFD RL 28 jam/kolf, MB TKTP 1800
kkal, Ceftriaxon 2 x 1 gr (iv), Ranitidin 2 x 50 mg (iv), Ketorolac 3 x 30 mg (iv). Terapi
pembedahan sudah dilakukan pada pasien dengan melakukan stabilisasi dan mengambilan
cairan abses untuk dikultur.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Praya ELN, Upaya Peningkatan Kebersihan Jalan Nafas Pada Pasien Dengan Post Op
Anterior Stabilisasi Spondilitis Tuberkulosis.FIKUMS; Surakarta: 2017
2. Rasjad C, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Jakarta: hal 144-149
3. Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH; Makassar: 2008.
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2010.
5. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management.
Eur Spine J (2009) 18:1096–110
6. Infectious and noninfectious infl ammatory disease affecting the spine. Dalam: Byrne
TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford
University Press Inc. 2000. c. 9 h.325 – 335.
7. Zuwanda, Janitra R, Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-
208. 2013;40(9):661-673
8. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No.
137, 2002
9. Garg RK, Somvanshi DS (2011) Spinal tuberculosis: A review. J Spinal Cord Med
34: 440-454.
10. Irul. 2012. Spondilitis TB. (Online).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707), diakses tanggal
16 September 2018)

23

Anda mungkin juga menyukai