Jika negara dan agama berdiri sendiri, maka manusia akan kesulitan dalam
memilih antara negara dan agama, sedangkan pada waktu yang bersamaan,
manusia yang hidup dalam suatu negara tentunya mayoritas memiliki keyakinan
terkait agama. Bagaimana jadinya jika dalam kehidupan bernegara, manusia yang
juga memiliki keyakinan terhadap suatu agama tentunya akan kesulitan
menyesuaikan diri. Contohnya, pada hari besar keagamaan, pihak aparatur tidak
perlu memberi peringatan terkait kegiatan tersebut, begitu juga sebaliknya, jika
manusia yang lebih memilih agama daripada negara tentunya kegiatan-kegiatan
kenegaraan atau hari nasional akan dilewatkan saja dan tidak perlu melakukan
peringatan terkait kegiatan tersebut. Contoh lain adalah dalam keputusan suatu
hakim terkait perzinahan, namun apakah mungkin keputusan tersebut dapat
dikatakan adil jika negara tidak memiliki landasan mengenai perzinahan.
Tentunya, keputusan yang diambil oleh hakim tersebut tidak akan mendapatkan
hasil yang baik.
Jika negara berdiri sendiri, para aparatur negara harusnya bukan termasuk
bagian dari masyarakat yang menganut suatu keyakinan, karena pasti akan banyak
terjadi perseteruan di berbagai pihak. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan
pihak aparatur negara yang tidak berpegang pada suatu keyakinan (ateis), namun
apakah hal ini baik untuk dilakukan, apakah hal ini menjadi solusi yang tepat
untuk kehidupan bernegara yang lebih baik. Karena hal tersebut tidak sesuai
dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Dilihat dari banyaknya hal-hal negatif yang akan terjadi jika hubungan negara
dan agama dipisahkan maka aparatur negara harus menyadari bahwa dalam
mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan sementara itu tokoh
agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai
keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-
nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.
Sumber: