Anda di halaman 1dari 3

SEKULARISME DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA

Sekularisme merupakan paham yang memisahkan antara negara dan agama,


dimana negara merupakan lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat
duniawi dan tidak ada hubungannya dengan akhirat (agama) dan begitu
sebaliknya. Menurut para penganut ideologi ini, agama dalam semua urusan dunia
seperti politik, social, pendidikan dan kehidupan bernegara hanya akan menjadi
penghalang bagi kemajuan dan pembangunan sains dan teknologi. Hal ini
dikarenakan, mereka menganggap bahwa agama bersifat kolot dan bertentangan
dengan pemikiran akal sehat mereka (Muzakir, 2011).

Kemunculan paham ini disebabkan oleh tindakan pihak gereja yang


mengadakan upacara agama yang dianggap berlawanan dengan pemikiran dan
moral seperti penjualan surat pengapunan dosa, yaitu seseorang boleh membeli
surat pengampunan dengan harga yang tinggi dan mendapat jaminan surga
walaupun berbuat kejahatan di dunia. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab
paham ini semakin disetujui oleh berbagai pihak diseluruh dunia. Paham ini telah
bermunculan di berbagai negara dengan Prancis sebagai negara pertama yang
membangun suatu sistem politik tanpa intervensi agama (Muzakir, 2011).

Hubungan negara dan agama merupakan salah satu perdebatan panjang di


Indonesia untuk menentukan batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut
campur dalam urusan agama. Relasi antara agama dan negara yang terjadi di
Indonesia selalu mengalami pasang surut, dimana suatu ketika hubungan antara
keduanya berlangsung harmonis, namun dilain waktu mengalami ketegangan.
Hubungan negara dan agama ini memperlihatkan tingkat otonomi dan pengakuan
agama sebagai hak asasi individual yang urusannya diserahkan pada lembaga-
lembaga agama yang bebas dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat
otoritas individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mengatur
sendiri peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal tersebut sangat
penting untuk dikaji dalam konteks Indonesia yang memiliki dasar-dasar berpikir
berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam kehidupan publik (Donald,
2010).

Hubungan negara dan agama seringkali menjadi “rumit” dimana agama


seringkali dipergunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan pemerintahan
atau seringkali dijadikan kekuatan pemerintahan untuk menekan agama (Donald,
2010). Hubungan negara dan agama masih diperdebatkan dan dikaji baik di
negara bagian barat maupun negara bagian timur. Hubungan negara dan agama
menjadi perdebatan panjang dikarenakan keduanya tidak bias terpisahkan satu
sama lain dan keduanya juga saling membutuhkan, sehingga jika ideologi
sekularisme tetap diperbolehkan maka dapat dikatakan suatu negara tersebut akan
mudah “hancur”.
Ketegangan hubungan negara dan agama terjadi karena keduanya tidak
terjalin hubungan simbiosis-mutualisme dan saling checks and balances. Misal,
ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat
sesuai dengan agamanya masing-masing atau sebaliknya agama menganggap
bahwa negara menutup diri terhadap nilai-nilai kegamaan sehingga tatanan
kenegaraan berjalan sesuai secara bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan
sehingga dalam situasi tersebut maka agama akan berupaya mempengaruhi
instrument kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara
melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama
berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia (Donald, 2010).

Jika negara dan agama berdiri sendiri, maka manusia akan kesulitan dalam
memilih antara negara dan agama, sedangkan pada waktu yang bersamaan,
manusia yang hidup dalam suatu negara tentunya mayoritas memiliki keyakinan
terkait agama. Bagaimana jadinya jika dalam kehidupan bernegara, manusia yang
juga memiliki keyakinan terhadap suatu agama tentunya akan kesulitan
menyesuaikan diri. Contohnya, pada hari besar keagamaan, pihak aparatur tidak
perlu memberi peringatan terkait kegiatan tersebut, begitu juga sebaliknya, jika
manusia yang lebih memilih agama daripada negara tentunya kegiatan-kegiatan
kenegaraan atau hari nasional akan dilewatkan saja dan tidak perlu melakukan
peringatan terkait kegiatan tersebut. Contoh lain adalah dalam keputusan suatu
hakim terkait perzinahan, namun apakah mungkin keputusan tersebut dapat
dikatakan adil jika negara tidak memiliki landasan mengenai perzinahan.
Tentunya, keputusan yang diambil oleh hakim tersebut tidak akan mendapatkan
hasil yang baik.

Jika negara berdiri sendiri, para aparatur negara harusnya bukan termasuk
bagian dari masyarakat yang menganut suatu keyakinan, karena pasti akan banyak
terjadi perseteruan di berbagai pihak. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan
pihak aparatur negara yang tidak berpegang pada suatu keyakinan (ateis), namun
apakah hal ini baik untuk dilakukan, apakah hal ini menjadi solusi yang tepat
untuk kehidupan bernegara yang lebih baik. Karena hal tersebut tidak sesuai
dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Dilihat dari banyaknya hal-hal negatif yang akan terjadi jika hubungan negara
dan agama dipisahkan maka aparatur negara harus menyadari bahwa dalam
mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan sementara itu tokoh
agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai
keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-
nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.
Sumber:

Donald, Oktaviano. (2010). [online] tersedia di :


http://kampusbebeck.blogspot.com/2010/03/wacana-sekularisme-hubungan-
agama-dan.html [diakses pada tanggal 8 September 2018].
Muzakir. (2011). [online] tersedia di :
https://zakiracut.wordpress.com/2011/12/23/sekularisme-dalam-catatan-
sejarah/ [diakses pada tanggal 8 September 2018].

Anda mungkin juga menyukai