Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan primadona komoditas


perikanan yang sangat populer dan memiliki nilai tinggi dalam perdagangan
internasional. Usaha budidaya udang windu berkembang cepat karena selain
merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang potensial untuk ekspor,
udang windu juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani
masyarakat. Adanya kecenderungan perubahan pola konsumsi dunia dari daging
ke produk ikan dan udang juga semakin memperluas peluang pasar. Hal ini sesuai
dengan kebijakan pembangunan perikanan yang mengupayakan peningkatan
ekspor tanpa menganggu peningkatan konsumsi ikan di dalam negeri.
Kegiatan budidaya udang windu secara nasional mencapai puncaknya
pada tahun 1991 dan setelah itu menurun drastis karena kegagalan panen akibat
penyakit dan merosotnya daya dukung lahan serta lingkungan. Pada kurung
waktu 15 tahun terakhir, masalah lingkungan sering diperdebatkan sebagai biang
kegagalan budidaya udang, yang disinyalir bermula dari menurunnya kualitas
lingkungan air tambak. Dalam sistem budidaya udang intensif, kontribusi pakan
terhadap penurunan kualitas lingkungan air tambak tidak bisa
dipungkuri. Berton-ton pakan sebagai bahan organik dimasukan kedalam petakan
tambak dengan harapan dapat memproduksi udang secara maksimal (Anonim,
2004c). Padahal, praktek ini dapat menurunkan kualitas air tambak yang
berdampak pada pertumbuhan mikroorganisme patogen dan hama, serta
memberikan tekanan terhadap kondisi fisiologi udang, yang pada akhirnya
menurunkan kemampuan lingkungan tambak. Semula kegagalan budidaya udang
windu dijumpai pada tambak udang intensif, namun akhir-akhir ini pada tambak
tradisional juga banyak mengalami kehancuran.
Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang windu adalah
serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena
udang yang terserang pada keadaan gelap tampak bercahaya. P enyebab
penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang
menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003).
Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air
sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri
(Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secara ganas
dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di
pembenihan maupun pembesaran. Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi
ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit vibriosis ini melemahkan roda industri
udang nasional.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode
pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan
obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif
lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu
justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri
patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah
isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di
Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti
spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin,
ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik
bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang
Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan
keberlanjutan daya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi
bahan kimia dan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan
patogen. Program eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian
hama dan penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian
hama dan penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk
mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan
studi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan
patogen. Salah satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap
patogen udang yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem
tambak. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis
(Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat
menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp.
dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan
bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen
pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena
dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta
sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan
hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya
udang.
II. PEMBAHASAN

2.1 Manfaat Penggunaan Bakteri Antagonis


1. Ramah Lingkungan
Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi bakteri sebagian
besar bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia lainnya.
Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum memberikan hasil
yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak negatif antara
lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi
antibiotik (Tjahjadi et al., 1994), karena bakteri sangat mudah mengembangkan
sistem ketahanan terhadap antibiotik yang kemudian menjadi masalah utama di
dunia akuakultur. Residu antibiotik dalam jaringan tubuh udang juga
mengakibatkan penolakan udang di pasar dunia.
Bergesernya paradigma konsumen udang menuju keamanan pangan dan
kelestarian lingkungan mengharuskan pembudidaya udang untuk merevisi visi
dan misinya agar budidaya tetap berlanjut. Salah satu alternatif sebagai upaya
untuk menjamin kelangsungan produksi, mencegah dan menanggulangi penyakit
vibriosis pada budidaya udang windu adalah melalui pendekatan pengendalian
hayati. Pendekatan pengendalian hayati dilakukan melalui penggunaan
probiotik dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme yang dapat menekan
atau mendegradasi substrat pengganggu bagi organisme yang dibudidayakan
tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis
mikrobia, ramah lingkungan, serta tidak meninggalkan residu (food
security dan food safety). Pengendalian hayati dalam akuakultur dengan
menggunakan probiotik antagonis salah satu cara penanggulangan penyakit yang
perlu dikembangkan untuk menciptakan sistem akuakultur yang ramah
lingkungan. Pengendalian hayati ini dapat diterapkan pada berbagai tahapan
akuakultur dan pada berbagai komoditas perikanan serta terhadap berbagai
patogen.

2. Mengurangi Penggunaan Antibiotik


Pengendalian dan pengobatan penyakit akibat infeksi Vibrio
harveyi sebagian besar bertumpu pada penggunaan antibiotik dan bahan-
bahan kimia lainnya. Usaha-usaha tersebut pada kenyataannya belum
memberikan hasil yang memuaskan, kadang-kadang justru menimbulkan dampak
negatif antara lain meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap
konsentrasi antibiotik. Antibiotik pada budidaya udang digunakan untuk
pengobatan serta profilaksis (pencegahan). Profilaksis dilakukan dengan
pengunaan antibiotik pada dosis rendah dalam jangka panjang. Pada
kenyataannya, usaha semacam ini tidak menekan penyakit, tetapi bahkan menjadi
pemicu resistensi patogen terhadap antibiotik.
Udang sebagai komoditas mewah perlu mendapatkan perhatian khusus
dalam hal ini, karena devisa yang didapat dari udang cukup besar yaitu
diperkirakan sekitar 630 juta dolar dan tertinggi dibanding pendapatan dari spesies
budidaya yang lain (Dahuri, 2004). Alasan kedua adalah pasar ekspor udang
sudah jelas. Akhir-akhir ini ekspor udang terhambat oleh ecolabelling,petisi anti
dumping dan isu antibiotik. Sehingga harga udang jatuh pada akhir tahun 2003
(Suryadarma, 2004). Peristiwa ini cukup beralasan karena timbulnya kesadaran
dari masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan. Selanjutnya muncul
kampanye di negara maju untuk tidak makan udang tropis dengan alasan
lingkungan. Menurut Isnansetyo (2005), pemanfaatan bakteri antagonis
sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting karena dengan
penggunaan bakteri antagonis dapat mengurangi dan bahkan
menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya yang
ramah lingkungan.

3. Aplikasi keamanan hayati dalam Industri Budidaya Udang


Aplikasi keamanan hayati dimaksudkan sebagai upaya pengaturan agar
tambak tidak terinfeksi/terkontaminasi penyakit serta mengupayakan agar
tambak tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi tambak lainnya (Haris,
2007). Lebih lanjut Fegan dan Clifford (2001) menambahkan bahwa aplikasi
prinsip-prinsip keamanan hayati pada tambak udang telah terbukti efektif
membantu mengurangi risiko kerugian karena penyakit dan dapat
meningkatkan produksi. Haris (2007) menambahkan bahwa salah satu
penerapan keamanan hayati pada praktik manajemen produksi budidaya
adalah dengan aplikasi teknologi probiotik yang ramah lingkungan. Metode ini
diyakini menjadi solusi terkini yang paling efektif mencegah risiko kerugian
akibat penyakit.
Konsep aplikasi keamanan hayati dalam budidaya udang diutamakan
adalah pengendalian benih udang (karantina vertikal) dan lingkungan (karantina
horizontal) bebas dari patogen. Sistem ini dipraktikkan dengan penebaran benih
udang bebas patogen, SPF (specific pathogen free) kedalam tambak yang
sumber airnya dikontrol dengan baik (Lightner, 2003). Aplikasi bakteri
antagonis dapat digunakan sebagai alternatif profilaksis yang tepat terhadap
penggunaan bahan kimia, termasuk antibiotik dna biosida. Bakteri antagonis
dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam perebutan nutrisi makanan
sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
2.2. Pengembangan Bakteri Antagonis
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian
hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua
jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus,
mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya
yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit
atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian,
dan berbagai keperluan lainnya.

2.3 Aplikasi Bakteri Antagonis


Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan
pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon
(Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan larva, post larva, maupun benih.
Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan post larva sangat tinggi karena
sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyak mengandung
mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan
pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan
tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh
udang, sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005)
menggunakan formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut:
Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5x103 sel/ml dicampurkan
ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan cara
menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl
(w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15
menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85% NaCl)
sebanyak 2,5x105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang sama dengan minyak
ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk selama 30
menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25x103 sel/g pada pakan dengan jumlah
kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v).
Penciptaan lingkungan pemeliharaan larva udang windu yang betul-
betul bebas bakteri Vibrio sulit dilakukan karena bakteri tersebut dapat
masuk melalui berbagai sumber, antara lain air laut, induk udang, dan makanan
alami. Bakteri Vibrio harveyii tidak perlu dikendalikan sampai habis, tetapi
hanya perlu dikendalikan populasinya pada batas aman, yaitu kurang dari
l04 sel/ml. Inokulasi secara langsung dilakukan melalui pemberian bakteri
antagonis kedalam bak pemeliharaan dengan dosis 106 cfu/ml setelah
dilakukan pergantian air (Susanto et al., 2005). Aplikasi bakteri antagonis dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu jangka pendek (short duration),
panjang (prolonged treatment), dan tidak terbatas (indefinite treatment).

2.4 Nilai Ekonomis Udang Hasil Budidaya


Prospek pengembangan udang windu sebagai komoditas asli Indonesia
mempunyai peluang bisnis yang cerah. Hal ini terbukti dengan semakin
meningkatnya luas lahan budidaya tambak udang Indonesia sampai tahun 2002
mencapai 913.000 ha dengan pemanfaatannya baru mencapai 411.230 ha
(45,43%). Pemerintah mentargetkan produksi udang windu budidaya tahun 2007-
2009, masing-masing sebesar 126.228 ton; 146.615 ton; dan 162.355 ton (DKP,
2006 cit. Kordi 2007) dengan target perolehan devisa sebesar US $ 8 milyar/th.
Menurut Dahuri (2004), potensi lestari perikanan tangkap dilaut bernilai
rata-rata 6,4 jt ton/th, sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan hanya
sebesar 80%-nya saja (sekitar 5,12 jt ton/th). Untuk dapat memenuhi kebutuhan
pasaran dunia, Indonesia akan mengintensifkan lahan air payau untuk budidaya
udang. Saat ini ditaksir luas lahan budidaya udang Indonesia mencapai 1.000.000
ha sehingga langkah awal yang ditempuh, apabila 500.000 ha dapat diusahakan
sebagai tambak udang windu organik dengan rata-rata produksi sebesar 2
ton/ha/th, maka produksi udang nasional sebesar 1.000.000 ton/th dengan nilai
ekspor 1.000.000 ton/th × US $ 8 /kg = US $ 8 milyar/th dapat dicapai.
III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
1. Pengendalian hayati pada budidaya udang windu merupakan salah satu cara
penanggulangan penyakit yang perlu dikembangkan untuk menciptakan
sistem akuakulur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat
mengurangi penggunaan antibiotik
2. Pengembangan bakteri antagonis sebagai
langkah keamanan hayati dilakukan melalui tahap seleksi bakteri antagonis
nonpatogen, pengujian efektivitas dan uji lapang, serta komersialisasi agen
pengendali hayati.
3. Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan
semakin penting, yaitu guna mempersiapkan sistem akuakultur organik
sehingga aplikasi bakteri antagonis pada budidaya udang windu dapat
dijadikan sebagai dasar budidaya udang organik Indonesia.

3.2 Saran
1. Beberapa jenis bakteri antagonis telah diketahui, namun bakteri antagonis
tersebut bersifat spesifik di setiap daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan
inventarisasi potensi agar bakteri antagonis dapat dimanfaatkan optimal.
2. Perlunya kerjasama terpadu antara berbagai pihak, pemerintah, perguruan
tinggi, dan pengusaha untuk memajukan budidaya udang windu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus


Penyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M.
Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros.

Anonim. 2000. Bioluminessence. http://lux.ibp.ru/info/history_html_652ca394.jpg.


[4 Januari 2008].

Anonimous, 2004c. Draf Pedoman Umum Pengendalian Pencemaran di Kawasan


Budidaya Perikanan. Subdit Pengendalian Pencemaran Laut, Direktorat Bina
Pesisir Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Austin, B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens


by Tetraselmis suecica. J. Fish of Disease: 15: 53-61.

Breed, R.S., E.G.D. Murray and A.P. Hitchens. 1948. Bergey’s Manual of
Determinative Bacteriology. 6 th ed. Baltimore: Wevereley Press.

Dahuri, R. 2004. Perkembangan dan Harapan Pembangunan Perikanan Budidaya


Indonesia ke Depan. dalam Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan
Teknologi Akuakultur. Agung Sudaryono et al (ed.). Semarang: Masyarakat
Akuakultur Indonesia.

Decamp, O. Adn D.J.W. Moriarty. 2006a. Probiotics as Alternative to Antimicrobials:


Limitations and Potential. World Aquaculture: Dec, 2006. Vol 37 (4): 60-62.

Egidius, E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture:


87: 15-28.

FAO. 1988 Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents.
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.

FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological
Control Agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N.

Fegan, D.F. and H.C. Clifford III. 2001. Health Management for Viral Diseases in
Shrimp Farms. In C.L. Browdy and D.E. Jory, editors. The New Wave,
Proceedings of the Special Seassion on Sustainable Shrimp Culture.
Aquaculture 2001. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana,
USA.

Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture. 180:147 -


185.
Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition
of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl.
Environ. Microbiol.: 123: 31-32.

Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio Harveyii Pada Larva Udang
Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.

Haris, E. 2007. Terobosan Baru dalam Produksi Udang yang Berkelanjutan dan
Aman. Makalah Presentasi Konferensi Aquaculture Indonesia. Surabaya, 5-7
Juni 2007. Masy. Akuakultur Indonesia. 7 hal.

Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai


Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Stanley, and S.T. Williams. 1994.
Bergey's Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition_ Williams and
Wilkins, Balmore, Maryland, USA. 373.

Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis sebagai Probiotik untuk Pengen dalian


Hayati pada Akuakultur. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 1-10.

Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the


Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.

Kamei, Y. and A. Isnansetyo. 2003. Lysis of Methicilin-Resistant Staphylococcus


aureus by 2,4-diacetylphloroglucinol Produced By Pseudomonas sp. AMSN
Isolated From Marine Alga Int. J. Antimicrob Agents: 21: 71-74.

Kordi, M.G.H. 1997. Budidaya Air Payau. Semarang: Dahara Prize.

Lightner, D.V. 2003. Exclusion of Specific Pathogens for Disease Control in a Penaid
Shrimp Biosecurity Program. In C.S. Lee and P.J. O’Bryen, editors. Biosecurity in
Aquaculture Production Systems; Exclusion of Pathogens and Other
Undesirables. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana, USA.

Machalek, A.Z. Bugging the Bugs. http://publications.nigms.nih.gov/biobeat/05-


09-20/05-09-20-01.jpg. [18 April 2008].

Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk
Biokontrol Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with
Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean
Science. University of North Wales.

Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang Akibat Perlakuan


Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rahmatun, S. dan Ahmad Mujiman. 1989. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Roza, D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio harveyi Secara Biologis pada
Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J.
Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30.

Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting
Bakau (Scyila serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman
Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.

Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi
Jumlah Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal
Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.

Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh


Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203.

Suryadarma, J. 2004. Manis Getirnya Eksportir Produk Akuatik Indonesia. di dalam:


Agung Sudaryono et al (ed.). Simposium Perkembangan dan Inovasi Ilmu dan
Teknologi Akuakultur; Semarang. Semarang: Masyarakat Akuakultur Indonesia.
249-251.

Susanto, B., L Setyadi, D. Syahidah, M. Marzuki dan Rusdi. 2005. Penggunaan


Bakteri Probiotik Sebagai Kontrol Biologi dalam Produksi Massal Benih
Rajungan (Portunus pelugicus). J. Perikanan Indonesia: 11 (1): 15-23.

Tangko, A.M., A. Mansyur, dan Reski. 2007. Penggunaan Probiotik pada Pakan
Pembesaran Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di Laut. J. Riset Akuakultur:
2: 33-40.

Tepu, I. 2006. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang
Windu Penaeus monodon Menggunakan Cara Kultur Bersama. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi


Penyakit Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam
Murwantoko et. al. Pengaruh Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada
Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli.
Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.

Tricahyo, E. 1992. Biologi dan Kultur Udang Windu. Jakarta: Akapress.

Wyban, J.A., dan Sweeney, J.N., 1991. Intensive Shrimp Production Technology.
Hawai: The Oceanic Institute.
TUGAS INDIVIDU
MANAJEMEN AQUAKULTUR PAYAU

PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN


DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS
UNTUK BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon)

ISWANDI
L221 16 304

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

Anda mungkin juga menyukai