Anda di halaman 1dari 7

INKOMPATIBILITAS DARAH DALAM KEHAMILAN

INKOMPATIBILITAS RHESUS
Definisi
Inkompatibilitas Rhesus adalah penyakit hemolitik isoimun yang menyebabkan anti bodi
IgG melawan anti gen sel darah merah fetus.(5)

Insiden
Kira-kira 15% orang kulit putih, 7% orang kulit hitam dan 1% orang Cina tidak mempunyai
antigen D (Rh negatif atau d/d).(6) Inkompatibilitas Rh terjadi jika ibu Rh negatif dan anak Rh
positif.(3.7) Sepertiga dari bayi dengan penyakit hemolitik yang tidak mendapat pengobatan dan
kadar bilirubin serum yang lebih dari 20 mg/dl akan mengalami kern ikterus.(2)

Patofisiologi

Kira-kira 5% primipara rhesus negatif akan mengalami respon anti bodi yang ringan. (8)
Proses terjadinya hemolisis pada penyakit isoimun akibat inkompatibilitas Rh adalah sebagai
berikut;(3.6) 1) Ibu golongan Rh negatif, 2) Fetus golongan Rh positif, 3) Masuknya eritrosit fetus
ke sirkulasi maternal melalui proses perdarahan fetomaternal, 4) Terjadi sensitisasi maternal oleh
antigen D dari eritrosit fetus, 5) Terbentuk anti D maternal sebagai respon terhadap anti gen D
fetus, 6) Kemudian anti D maternal secara transplasental masuk kedalam sirkulasi fetus, 7) Anti
bodi tersebut melekat pada eritrosit fetus dan 8) Menyebabkan aglutinasi kemudian eritrosit
tersebut menjadi lisis.

Penyakit hemolitik karena inkompatibilitas Rh jarang terjadi pada kehamilan pertama tetapi
resikonya menjadi lebih tinggi pada kehamilan berikutnya.

Gambaran klinis

Pada mulanya terjadi respon maternal dengan peningkatan IgM yang tidak dapat melewati
plasenta, kemudian terjadi respon berupa pembentukan IgG yang dapat melewati plasenta yang
nantinya akan menyebabkan hemolisis.3.6 Secara klinis derajat hemolisis dinyatakan sebagai
bentuk ringan umumnya terjadi tanpa anemia (kadar Hb tali pusat > 14 gr/dl). Kadar blilirubin <
4 mg/dl, tidak memerlukan pengobatan yang spesifik. Bentuk sedang, anemia ringan kadar
bilirubin < 4 mg/dl. Kadang-kadang di sertai trombositopenia (sebabnya tidak diketahui). Dapat
timbul kern ikterus bila tidak di tangani dengan baik. Bentuk berat dapat berupa; anemia yang
berat (hidropfetalis), tanda - tanda dekompensasi jantung (hepato splenomegali, kesulitan
pernafasan), edema anasarka masif & kolaps sirkulasi.
Pemeriksaan laboratorium pada darah tepi terdapatnya eritrosit berinti, hiper bilirubinemia,
uji Coombs direk maupun indirek yang positif dan anemia tergantung berat-ringannya hemolisis.
Pada hidropfetalis kadar hemoglobin tali pusat sampai 3 – 4 gr/dl.

Masalah sensitisasi Rhesus

Pasangan orang tua yang harus diperhatikan adalah bila : ibu Rhesus Negatif dan ayah Rhesus
Positif.

 Bila ibu hamil Rhesus [-] dan anaknya Rhesus [+], maka ibu hamil akan mengalami
sensitisasi dengan antigen Rhesus ð antibodi Rhesus.
 Antibodi tersebut akan melewati plasenta dan menyerang eritrosit janin ðhemolisis
eritrosit janin dengan segala akibatnya.
 Sensitisasi

Sensitisasi dapat terjadi saat :

o Amniosentesis.
o Abortus iminen.
o Perdarahan per vaginam.
o Solusio plasenta / Plasenta praevia.
o Trauma abdomen.
o Seksio sesar.
o Versi Luar.

Skenario bahaya pada janin

Ibu Rhesus [-] dengan janin Rhesus [+] akan mengalami sensitisasi pada awal kehamilan.
Wanita terpapar dengan darah Rhesus [+] selama kehamilan dan atau persalinan dan kemudian
menghasilkan antibodi. Pada akhir kehamilan, sistem imunologi ibu hamil yang sudah mengenal
darah Rhesus [+] melewati plasenta dan menyerang eritrosit janin yang Rhesus [+].

Skrining

Pada tiap kehamilan harus dilakukan pemeriksaan golongan darah berikut Faktor Rhesus dan
skrining antibodi dilakukan pada kunjungan pertama dengan tes COMB indirect

RhoGAM :

Bila ibu Rhesus negatif terpapar dengan darah janin Rhesus [+], maka ibu harus diberi RhoGAM
; RhoGam adalah RhIgG (iGG akan menempel pada antigen Rhesus) dan mencegah terjadinya
respon imunologi ibu.
Penatalaksanaan Ibu Rhesus [-] yang tidak tersensitisasi (pasien Rhesus [-] dengan
skrining antibodi [-])

1. Skrining antibodi dikerjakan pada kehamilan 0 – 24 – 28 minggu.


2. Bila negatif, berikan 300 µg RhIgG untuk mencegah terbentuknya antibodi dalam tubuh
ibu.
3. Saat persalinan, tentukan status Rhesus neonatus, bila Rhesus (+) , berikan RhIgG pasca
persalinan.

RhoGAM diberikan pada ibu Rhesus [-] yang terpapar dengan darah janin
Pada kehamilan yang mengalami sensitisasi pertama kali, komplikasi terhadap janin rendah
Penatalaksanaan Ibu rhesus Negatif yang tersensitisasi (bila pada kunjungan pertama,
hasil skrining antibodi Rhesus hasilnya positif):

1. Lakukan skrining antibodi pada kehamilan 0 – 12 – 20 minggu.


2. Tentukan titer antibodi :

o Bila titer stabil pada angka < 1 : 16 , kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik
pada neonatus sangat rendah.
o Bila titer > 1 : 16 atau meningkat, kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik
pada neonatus sangat besar
o Amniosentesis pada kehamilan 16 – 20 minggu:
o Analisa sel janin untuk menentukan status Rhesus.
o Analisa cairan amnion dilakukan dengan memakai spektrofotometer yang
menentukan absorbsi cahaya oleh bilirubin. Hasil pengukuran absorbsi di
aplikasikan pada kurve Liley untuk meramalkan beratnya penyakit.

Definisi Inkompatibilitas ABO

ABO incompatibility / incompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara
ibu dan bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Pada kebanyakan kasus inkompatibilitas ABO, ibu
memiliki golongan darah O dan janin memiliki golongan darah A, mungkin juga terjadi bila janin
memiliki golongan darah A atau AB. Pada Inkompatibilitas ABO, hemolisis tidak selalu terjai sampai
dengan kelahiran. Respons hemolitik pada inkompatibilitas ABO biasanya mulai pada waktu lahir dengan
mengakibatkan ikterus bayi baru lahir (Stright, 2004). Golongan darah yang berbeda menghasilkan
antibody yang berbeda-beda. Ketika golongan darah yang berbeda tecampur, suatu respon kekebalan
tubuh terjadi dan antibody terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam darah. Ibu dengan golongan
darah O menghasilkan antibody anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi,
menghancurkan sel darah merah janin. Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan
produksi bilirubin yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan, maka
akan menyebabkan ikterus pada bayi.
Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemilitik pada bayi baru lahir yang
merupakan factor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia. (Dharmayani, 2009). Inkompatibilitas
ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) karena penyakit ABO sering dijumpai pada bayi
yang lahir pertama, penyakitnya hampir selalu lebih ringan dari isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan
anemia bermakna, sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak dapat
menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin. Oleh karena itu, meskipun dapat menyebabkan
penyakit hemolitik pada neonates, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis (Leveno,
2009).

Penyakit Hemolitik Pada Inkompatibilitas ABO (ABO-HDN)

Inkompatibilitas ABO adalah salah satu penyebab penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang
merupakan faktor resiko tersering kejadian hiperbilirubinemia (Dharmayani, 2009).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari inkompatibilitas sebagian besar kasusnya ringan, diantaranya yaitu:
1. Ikterus sebagai satu-satunya manifestasi klinis dari Inkompatibilitas ABO.

2. Bayi biasanya tidak terkena secara menyeluruh pada saar lahir

3. Tidak ada pucat, dan hidrops fetalis sangat jarang.

4. Hati dan limpa tidak sangat membesar, jika ditemukan.

Ikterus biasanya muncul dalam 24 jam pertama. Kadang-kadang penyakit ini menjadi berat serta tanda-
tanda kernikterus berkembang dengan cepat. (Behrman, 1999)

Patofisiologi

Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas ABO akibat
kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko. Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas
Rh dan ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah
janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk
kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion.

Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi
untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian
masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan
antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan
anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara
memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan
eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan. Produksi eritroblas yang berlebihan dapat
menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur
limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor
penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit
hemolitik.

Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan
antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi
janin. Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya
karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau
pada kehamilan kedua dan berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal
dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar
bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya
penumpukan bilirubin pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin
hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut
sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang
memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal,
karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini
berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia
dapat menimbulkan masalah jantung (Leveno, et al., 2004)(Benson & Pernoll, 2009) (Bherman, et al.,
2000).

Pemeriksaan Diagnostik

ABO incompatibility atau inkompatibilitas ABO didiganosis dengan:

1. Tes darah tali pusat untuk mengetahui ketidakcocokan


2. Hitung darah lengkap untuk mengetahui atau menunjukan adanya sel-sel darah yang rusak dan
hemolisis.
3. Pemeriksaan tingkat kadar bilirubin (tingkat bilirubin tinggi)

Diagnosis dugaan didasarkan pada adanya inkompatibilitas ABO, uji Coombs direk positif lemah sampai
sedang, dan adanya sferosit pada pulasan darah, yang kadang-kadang member kesan adanya sferositosis
herediter. Hiperbilirubinemia sering merupakan satu-satunya kelainan laboratorium. Kadar hemoglobin
biaasanya normal tetapi dapat serendah 10-12 g/dL (100-120 g/L). retikulosit dapat naik sampai 10-15 %,
dengan polikromasia yang luas dan kenaikan jumlah sel darah merah berinti. Pada 10-15% bayi yang
terkena, kadar serum bilirubin tak terkonjugasinya dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih jika tidak
dilakukan fototerapi. (Behrman, 1999)
Penatalaksanaan

Tidak ada penatalaksanaan khusus pada bayi dengan ikterus karena inkompatibilitas ABO selain
penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara umum. Katz dan kawan-kawan (1982) menemukan bahwa
62% bayi yang mengalami hemolitik memerlukan pengobatan dan yang palong sering diperlukan adalah
fototerapi. Fototerapi biasanya dapat mengatasi ikterik pada bayi yang terkait dengan inkompatilitas
ABO. Kalau tidak, pengobatan diarahkan pada korelasi tingkat anemia atau hiperbilirubinemia yang
membahayakan dengan jalan transfuse tukar memakai darah. Transfuse tukar memakai darah yang
golongannya sama seperti golongan darah ibu (tipr Rh harus diuji silang dengan darah bayi). Indikasi
untuk prosedur ini sama dengan indikasi yang diuraikan sebelumnya pada penyakit hemolitik karena
inkompatibilitaas Rh. (Behrman, 1999)

Menurut American Academy of Pediatric indikasi transfuse tukar yaitu apabila bayi menunjukkan
tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut atau apabila kadar bilirubin total lebih dari sama dengan 25 mg/dL
pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Transfuse tukar sekarang jarang digunakan karena efektifnya
fototerapi dan juga dengan pertimbangan terhadap resiko komplikasi yang banyak ditimbulkan dari
transfuse tukar tersebut.

Komplikasi

Inkompatibilitas ABO umumnya tidak berbahaya seperti jenis lain dari penyakit hemolitik pada bayi yang
baru lahir. Beberapakomplikasi yang bias di sebabkan oleh penyakit ini adalah:

1. Penyakit kuning

Kebanyakan bayi yang baru lahir dengan inkompatibilitas ABO memiliki kadar bilirubin yang lebih
tinggi dari normal, sehingga menyebabkan penyakit kuning pada bayi yang baru lahir. Ikterus pada bayi
baru lahir memungkinkan untuk melakukan intervensi medis lebiih lanjut untuk mengatasinya.

2. Anemia

Banyak kasus dengan inkompatibilitas ABO mengalami anemia setelah beberapa minggu kelahiran.
Anemia ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kerusakan pada sel-sel darah merah dalam menaggapi
antibody maternal. Antibody ini dapat bertahan di dalam tubuh bayi yang baru lahir selama beberapa
minggu setelah persalinan. Sehingga memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan seberapa parah anemia pada bayi baru lahir.

Prognosis

Inkompatibilitas ABO dapat menjadi maslah yang sangat serius yang dapat mengakibatkan kematian.
Dengan pengobatan yang tepat, diperkirakan akan sembuh total. Pengukuran titer antibody dengantes
Coombs indirek < 1:16 berari bahwa janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi
dan kehidupan janin ddapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih
tinggi menunjukkan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami
sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnyanRheses negative. Jika titer
antibody naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibody diperlukan. Titer kritis tercapai
jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih, jika titer dibawah 1:32 maka prognosis janin diperkirakan baik.

Test Comb

Test Coomb ini memiliki 2 jenis tes yaitu Direct Coomb’s Test atau Direct Antiglobulin Test
(DAT) dan Indirect Coomb’s Test atau Indirect Antiglobulin Test (IAT). Kedua tes ini dilakukan
berdasarkan kepada fakta bahwa anti-human antibody (yang dihasilkan oleh non-manusia, dalam hal ini
hewan, dengan serum manusia) akan berikatan pada human antibody, di mana hal ini bisa menyebabkan
munculnya antigen pada permukaan eritrosit yang dapat menuju pada aglutinasi dari eritrosit itu sendiri.
Penggunaan klinis dari Coomb’s Test ini penting pada saat skrining ibu hamil sebelum melahirkan dan
deteksi antibodi untuk mendiagnosa anemia hemolitik immune-mediated. Coomb’s Test dilakukan dengan
cara mengambil serum darah dari sample darah vena (dengan venepuncture).

DAT bisa digunakan untuk memeriksa adanya anemia hemolitik tipe autoimun, misalnya pada
kondisi di mana hitung sel darah merahnya menurun oleh karena sistem imun yang melisiskan eritrosit
sehingga menyebabkan destruksi eritrosit. Prosedur tes ini adalah, sample darah diambil kemudian
eritrosit “dicuci” (maksudnya, plasma darah pasien disingkirkan) dan kemudian diinkubasi dengan
antihuman globulin (yang dikenal dengan reagen Coomb’s). Jika hal ini menimbulkan adanya aglutinasi
eritrosit, DAT bernilai positif dan hal ini dapat menjadi indikasi bahwa antibodi menempel pada
permukaan eritrosit.

Sedangkan, IAT biasa digunakan dalam pemeriksaan ibu hamil sebelum melahirkan, memeriksa
pasien sebelum melakukan transfusi darah. IAT dapat mendeteksi antibodi yang menyerang eritrosit
(eritrosit yang tidak terikat pada serum pasien). Dalam kondisi ini, serum pasien diekstraksi dari sample
darah pasien. Kemudian, serum tersebut diinkubasi dengan eritrosit yang diambil dari sample darah
pasien yang lain. Jika terjadi aglutinasi, IAT bernilai positif.

Gejala dan tanda

Gejala klinik yang muncul pada bayi yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas ABO adalah anemia
yang bermakna dan hiperbilirubinemia. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis
neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah

a. Ibu memiliki golongan darah O dengan antibody anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan
janin memiliki golongan darah A, B, atau AB.
b. Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama.
c. Terdapat anemia, retikulosis, dan eritriblastosis dengan derajat bervariasi.
d. Kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

Anda mungkin juga menyukai