Anda di halaman 1dari 25

101 HARI MENJELANG UNIVERSAL HEALTH COVERAGE

Departemen Kajian Strategi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung dan

Universitas Kristen Maranatha

Latar Belakang BPJS dan UHC

BPJS Kesehatan merupakan jaminan sosial nasional dimana berawal dari dibentuknya

Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang berubah menjadi BUMN

lalu berubah status menjadi PT Askes (Persero). Pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan resmi

beroperasi.

Pemerintah memiliki suatu program yang diturunkan pada BPJS kesehatan yaitu Jaminan

Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage) yang bertujuan untuk menjangkau seluruh

elemen masyarakat dalam kaitan penyamarataan pelayanan terkait kesehatan

Berbicara tentang UHC, pada dasarnya ini adalah hasil inisiasi dari organisasi sekelas

dunia yaitu World Health Organization (WHO) agar memicu seluruh negara untuk lebih

memperhatikan hak warganya terutama dalam aspek kesehatann. Selaras dengan target Indonesia

yang dimuat di undang-undang dasar dan undang-undang yang berlaku, maka pemerintah

menyuarakan penyelesaian target UHC yaitu pada awal tahun 2019 mendatang.

UHC merupakan target berskala nasional yang berifat komprehensif dan memperhatikan

aspek promotif, preventif kuratif, maupun rehabilitatif dengan target tercapainya pemerataan
pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Proyek skala nasional ini

selaras dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui sebuah badan

penyelenggara yaitu BPJS dengan target utamanya yaitu UHC.

Indonesia tidak lama lagi akan memasuki fase terakhir dalam pelaksanaan Universal

Health Coverage (UHC) 2019. Semenjak diresmikannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) Kesehatan pada tahun 2014, pemerintah dan lembaga terkait telah mengupayakan banyak

cara dalam menanam pola pikir hingga sektor individu dalam masyarakat dimana salah satunya

target kepesertaan seluruh penduduk akan selesai pada tahun 2019.

Selain itu, syarat keikutsertaan calon doter untuk internship adalah memiliki BPJS.

Namun, masih banyak warga Indonesia yang belum memiliki BPJS, bahkan mahasiswa

kedokteran yang nantinya akan bekerja di dunia era JKN. Pembuatan BPJS yang lama membuat

orang-orang enggan mengurus BPJS sehingga terutama basis kesehatan yang akan menjalani

internship akan terhambat akibat kurangnya persyaratan internship yaitu kepesertaan BPJS.

Tujuan dibentuknya BPJS

 Terwujudnya Jaminan Kesehatan (JKN-KIS) yang berkualitas dan berkesinambungan

bagi seluruh Penduduk Indonesia pada tahun 2019 berlandaskan gotong royong yang

berkeadilan melalui BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya

 Mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan kesehatan yang layak bagi setiap

peserta dan/atau anggota keluarganya sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup

penduduk Indonesia. (UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 3)


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dari mulai tahun 2014 hingga saat ini sudah beroperasi dan

menjalankan tugasnya selama kurang lebih 5 tahun, program Universal Health coverage pun

merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan tarap kesehatan di masyarakat,. Namun

system BPJS ini perlu banyak dibenahi karena masih banyak yang harus dievaluasi mulai dari

pelayanan hingga kepesertaan. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain :

1. Kepesertaan - Indonesia masih jauh untuk mencapai UHC


DATA KEPESERTAAN UNISBA
a. SOSIALISASI YANG RENDAH
PERMASALAHAN:

Kepesertaan BPJS di Indonesia pada September baru mencapai 201.660.548 atau

sekitar 75% dari total penduduk di Indonesia. Sedangkan 3 bulan lagi atau pada 1

Januari 2019 Indonesia mentargetkan 100% kepesertaan BPJS atau minimal 95%.

Pencapaian UHC ini sangat sulit dicapai karena jangkauan informasi mengenai pentingnya

menjadi kepesertaan BPJS kepada kalangan masyarakat tertentu(1).

BPJS kesehatan telah berupaya memberikan jangkauan informasi untuk semua

masyarakat untuk meningkatkan kemudahan informasi kepada masyarakat antara lain

melalui JKN Mobile, iklan youtube, sosialisasi lewat tv, radio namun tidak semua kalangan
masyarakat sudah mandiri untuk menggunakan internet terutama mengenai aspek JKN

Mobile sehingga usaha tersebut pun terbilang kurang efektif. Selain itu, upaya-upaya yang

telah dilakukan BPJS tersebut nyatanya kuranglah bergema diseluruh penjuru negri

Indonesia sehingga masyarakat kurang tersentuh dan familiar akan BPJS yang sebenarnya

dibutuhkan oleh masyarakat tersebut.

Kurang bergemanya publikasi mengenai BPJS, dapat dilihat dari data kepersertaan yang

berasal dari mahasiswa Universitas Islam Bandung dan Universitas Kristen Maranatha

khususnya di Fakultas Kedokteran. Dari data yang telah didapatkan, menunjukkan bahwa

jumlah kepesertaan BPJS masih <60% padahal mahasiswa termasuk dalam golongan yang

sangat berdekatan dengan berbagai informasi baik melalui tv, radio atau pun youtube.

SOLUSI/REKOMENDASI:
1. BPJS aktif melakukan propaganda menggunakan iklan TV, radio, iklan instagram

(sponsor)

2. BPJS bekerjasama dengan instansi perusahaan (misalnya minimarket) dengan benefit

yang timbal balik

3. BPJS, Kemenkes, dan Presiden mewajibkan setiap pendaftaran penggunaan pelayanan

kesehatan (bayar mandiri ataupun BPJS) harus melampirkan kartu BPJS sebagai tanda

registrasi pendaftaran pasien.

4. Setiap institusi diwajibkan untuk mencapai minimal 95% kepesertaan BPJS Kesehatan

dengan cara menambahkan persyaratan registrasi mahasiswa baru dengan melampirkan

kartu BPJS.

b. LAMA DAN TERHAMBATNYA PROSES PENDAFTARAN PESERTA PBI

PERMASALAHAN:

Kepesertaan BPJS terutama masyarakat yang masuk dalam kategori Penerima Bantuan

Iuran (PBI) tidak dapat mendaftar BPJS secara mandiri, karena memerlukan persyaratan

yang lebih komplek dalam aspek persyaratan dan alur dibandingkan dengan peserta mandiri

antara lain :

a. Persyaratan

Persyatan Penerima Bantuan Iuran Persyaratan BPJS mandiri


 KK dan KTP seluruh anggota  KTP (Kartu Tanda Penduduk)

Keluarga.  KK (Kartu Keluarga)

 Surat Keterangan tidak Mampu  Buku Tabungan (BNI, BRI atau

pengantar dari RT, RW Kelurahan Mandiri)


kemudian menuju kecamatan untuk  Foto 3×4

dibuatkan Surat Keterangan Tidak

Mampu (SKTM).

 Surat pengantar dari puskesmas

untuk daftar sebagai peserta BPJS

PBI

 Tidak perlu rekening bank.

b. Alur

Penerima Bantuan Iuran BPJS Mnadiri


1. Siapkan Fotocopy KK dan KTP 1. Mengambil nomor antrian

minimal 2 rangkap 2. Mengisi formulir

2. Minta surat pertanyaan tidak mampu 3. Nomor antrian akan di panggil

dari RT dan RW dan kelurahan 4. Pengumpulan persyaratan

setempat 5. Akan mendapatkan nomor virtual

3. Membuat SKTM ke Kecamatan account (VA) dapat dibayarkan paling

dengan membawa surat pernyataan cepat 14 hari.

dari kelurahan. 6. Setelah 14 hari anda dapat membayar

4. Pergi ke dinas sosial, dengan iuran melalui ATM atau rekening

membawa berkas di atas, dari dinas bank.

sosial pendaftaran BPJS anda akan 7. Setelah melakukan pembayaran,

diurus sampai anda mendapatkan kembali ke kantor BPJS dengan

kartu BPJS PBI atau kartu KIS. menunjukan bukti pembayaran untuk
mencetak kartu identitas BPJS

kesehatan

Alur pendaftaran harus secara kolektif oleh kepala daerah. PBI menjadi salah satu

tantangan Negara Indonesia dalam aspek kepesertaan untuk memastikan Jaminan

Kesehatan Semesta.

FAKTA TERHAMBATNYA PENDAFTAR PBI OLEH KEPALA DAERAH

SOLUSI/REKOMENDASI:

1. Merekomendasikan kepala daerah untuk mempermudah pendaftaran untuk masyarakat

dalam kategori PBI

2. Tema Pelayanan Kesehatan BPJS


a. SISTEM PELAYANAN

1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur

dalam peraturan yang berlaku;

2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;

3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja

terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja sampai

nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan kerja;

4. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu

lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan

kecelakaan lalu lintas;

5. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;


6. Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;

7. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas

8. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);

9. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/ atau alkohol;

10. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan

hobi yang membahayakan diri sendiri;

11. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she,

chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi

kesehatan (health technology assessment);

12. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan

(eksperimen);

13. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu;

14. Perbekalan kesehatan rumah tangga;

15. Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar

biasa/wabah; dan

16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan

kesehatan yang diberikan.

17. Klaim perorangan.

b. PROSEDUR PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA (Permenkes No 71/2013,

Peraturan BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014)

Prosedur pelayanan kesehatan bagi peserta adalah sebagai berikut:


1. Pelayanan kesehatan bagi Peserta dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan

medis dimulai dari Fasilitas Kesehatan tingkat pertama

2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama bagi Peserta diselenggarakan oleh Fasilitas

Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar

3. Dalam keadaan tertentu, ketentuan sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku bagi

Peserta yang berada di luar wilayah Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat

Peserta terdaftar; atau dalam keadaan kedaruratan medis.

4. Dalam hal Peserta memerlukan Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan

atas indikasi medis, Fasilitas Kesehatan tingkat pertama harus merujuk ke

Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan Sistem

Rujukan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari

Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

6. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari

pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.

7. Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas dikecualikan pada keadaan gawat

darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan

geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.

8. Tata cara rujukan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

c. PELAYANAN KEGAWAT DARURAT (EMERGENCY) (Permenkes No 71/2013,

Peraturan BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014)


a. Pelayanan Gawat Darurat adalah pelayanan kesehatan yang harus diberikan

secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan dan atau kecacatan, sesuai dengan

kemampuan fasilitas kesehatan.

b. Peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh

pelayanan di setiap fasilitas kesehatan. Kriteria kegawatdaruratan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

c. Peserta yang menerima pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang tidak

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, akan segera dirujuk ke fasilitas kesehatan

yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi

dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.

d. Biaya akibat pelayanan kegawatdaruratan ditagihkan langsung oleh Fasiltas Kesehatan

kepada BPJS Kesehatan.

e. Bagi Peserta yang dilayani di UGD yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan,

maka berlaku :

a. BPJS Kesehatan memberikan pembayaran kepada fasilitas kesehatan yang

tidak bekerjasama untuk pelayanan gawat darurat setara dengan tarif

yang berlaku untuk fasilitas kesehatan yang setara di wilayah tersebut

b. Tarif pelayanan gawat darurat oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama Rp

100.000 –Rp 150.000

c. Tarif pelayanan gawat darurat oleh fasilitas kesehatan tingkat lanjutan sesuai

dengan tarif INA CBGs

d. Fasilitas Kesehatan yang belum memiliki penetapan kelas rumah sakit,

menggunakan tarif INA CBGs Rumah Sakit kelas D


d. PELAYANAN OBAT DAN ALAT KESEHATAN (Permenkes No 71/2013, Peraturan

BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014, SE Menkes RI No. 32/2014)

 Obat dan Bahan Habis Pakai


1) Peserta berhak mendapat pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis

habis pakai yang dibutuhkan sesuai dengan indikasi medis.


2) Pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana

dimaksud di atas dapat diberikan pada pelayanan kesehatan rawat jalan

dan/atau rawat inap baik di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama maupun

Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan.


3) Pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang diberikan

kepada Peserta berpedoman pada daftar obat, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai yang ditetapkan oleh Menteri.


4) Daftar obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana

dimaksud di atas dituangkan dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat

Kesehatan.
5) Penambahan dan/atau pengurangan daftar obat, Alat Kesehatan, dan

bahan medis habis pakai dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat

Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.


 Obat Penyakit Kronis
1) Pada masa transisi, fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dapat memberikan

tambahan resep obat penyakit kronis (besaran formularium nasional) di luar

paket INA CBGs sesuai indikasi medis sampai kontrol berikutnya apabila

penyakit belum stabil. Resep tersebut dapat diambil di depo farmasi atau

apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.


2) Obat penyakit kronis dapat diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama

sebagai program rujuk balik (PRB) melalui apotek/depo farmasi yang


bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ketentuan ini diberlakukan

untuk penyakit-penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma,

penyakit paru, obstruktif kronis (PPOK), epilepsi, skizofren, sirosis

hepatis, stroke, dan sindroma lupus eritromatosus(SLE).


 Obat Program Pemerintah
Penyakit penyakit tertentu yang dibiayai Pemerintah seperti penyakit HIV/AID,

tuberkolosa (TBC), malaria, kusta, dan penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri, diatur

secara tersendiri.
 Obat Kemoterapi, Thalasemia dan Hemofilia
1) Di samping dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat III, pemberian obat

untuk kemoterapi, thalasemia dan hemofilia juga dapat dilakukan di fasilitas

kesehatan tingkat II dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan fasilitas

kesehatan dan kompentensi sumber daya manusia kesehatan.


2) Dalam kondisi tertentu, pemberian obat kemoterapi, dan thalasemia dapat

dilaksanakan di pelayanan rawat jalan.


3) Selama masa transisi berlaku ketentuan sebagai berikut:
 Pengajuan klaim pada pemberian obat kemoterapi berlaku sesuai

dengan tarif INA CBGs ditambah dengan obat kemoterapi.


 Pengajuan klaim pada pelayanan rawat jalan thalasemia dilakukan

dengan input data pasien sesuai pelayanan thalasemia rawat inap dan

INA CBGs
 Pada pelayanan rawat inap hemofilia A dan hemofilia B berlaku

penambahan pembayaran klaim di luar tarif INA CBGs yang

besarnya sama untuk semua tingkat keparahan kasus serta semua

kelas perawatan
 Besaran penambahan hemofilia sebagaimana dimaksud di atas sesuai

kelas rumah sakit dan regionalisasi tarif dengan ketentuan sebagai

berikut:
REGI KELAS

ONA RUMAH

L SAKIT
RSUPN RSKRN A (Rp) B (Rp) C (Rp) D (Rp)
(Rp)
(Rp)
REG I 12.178.43 10.898.88 9.908.07 7.914.23 6.298.828 5.272.740

7 5 7 5
9.997.25 7.985.46 6.355.517 5.320.195

0 3
10.026.9 8.009.20 6.374.414 5.336.013

74 6
10.175.5 8.127.71 6.468.896 5.415.104

95 9
10.264.7 8.199.14 6.525.586 5.462.559

68 7

 Pelayanan Obat Rujuk Balik

o BPJS Kesehatan menjamin kebutuhan obat program rujuk balik melalui

Apotek atau depo farmasi Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang bekerja

sama dengan BPJS Kesehatan.


o Obat sebagaimana dimaksud di atas dibayar BPJS Kesehatan di luar biaya

kapitasi.
o Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pelayanan obat program rujuk balik

diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan

e. PENJAMINAN BAYI BARU LAHIR (SE Menkes RI No 32/2014)

 Bayi baru lahir dari peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi

tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan

untuk kepentingan rekonsiliasi data PBI.


 Bayi anak ke-1 (satu) sampai dengan anak ke-3 (tiga) dari peserta pekerja

penerima upah secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan.


 Bayi baru lahir dari:
1) Peserta pekerja bukan penerima upah;
2) Peserta bukan pekerja; dan
3) Anak ke-4 (empat) atau lebih dari peserta penerima upah;dijamin hingga hari ke-7

(tujuh) sejak kelahirannya dan harus segera didaftarkan sebagai peserta.


4) Apabila bayi sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak didaftarkan hingga hari

ke-7 (tujuh) sejak kelahirannya, mulai hari ke-8 (delapan) bayi tersebut tidak

dijamin oleh BPJS Kesehatan.

f. SKRINING KESEHATAN (Perpres No. 12 Tahun 2013, Permenkes No 71/2013,

Peraturan BPJS Kesehatan No 1 Tahun 2014)

1) Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara perorangan dan selektif.


2) Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud di atas ditujukan untuk

mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit

tertentu, meliputi:
a.diabetes mellitus tipe 2;
b.hipertensi;
c.kanker leher rahim;
d.kanker payudara; dan
e.penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri.
3) Pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud pada di atas dimulai dengan

analisis riwayat kesehatan, yang dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun

sekali.
4) Dalam hal Peserta teridentifikasi mempunyai risiko berdasarkan riwayat kesehatan

sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan penegakan diagnosa melalui pemeriksaan

penunjang diagnostik tertentu.


5) Peserta yang telah terdiagnosa penyakit tertentu berdasarkan penegakan

diagnosa sebagaimana dimaksud di atas diberikan pengobatan sesuai dengan indikasi

medis.

g. PELAYANAN AMBULAN (Permenkes No 71/2013)

1) Pelayanan Ambulan merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan

kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai dengan upaya atau kegiatan

menjaga kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien.


2) Pelayanan Ambulan hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada Fasilitas Kesehatan

yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus gawat darurat dari Fasilitas

Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan

penyelamatan nyawa pasien

h. DAERAH BELUM TERSEDIA FASILITAS KESEHATAN (Permenkes No 71/2013)

1) Dalam hal di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat

guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta, BPJS Kesehatan wajib

memberikan kompensasi.
2) Penentuan daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang memenuhi syarat

guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah Peserta ditetapkan oleh dinas


kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas

Kesehatan.
3) Kompensasi sebagaimana dimaksud di atas diberikan dalam bentuk:
a. penggantian uang tunai;
b. pengiriman tenaga kesehatan; dan
c. penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
4) Kompensasi dalam bentuk penggantian uang tunai sebagaimana dimaksud di atas

berupa penggantian atas biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.


5) Besaran penggantian atas biaya pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas

disetarakan dengan tarif Fasilitas Kesehatan di wilayah terdekat dengan

memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan yang diberikan.


6) Kompensasi dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan dan penyediaan Fasilitas

Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud diatas dapat bekerja sama dengan dinas

kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan.


7) Kompensasi pada daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat:
a. Tarif
i. Kompensasi uang tunai rawat jalan tingkat pertama Rp 50.000,--

Rp 100.000,-
ii. Kompensasi uang tunai rawat inap tingkat pertama Rp 100.000,-

per hari.
b. Kompensasi uang tunai diberikan langsung kepada peserta berdasarkan klaim

yang bersangkutan atas pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan

tingkat pertama yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.


c. Besaran kompensasi disetarakan dengan tarif fasilitas kesehatan di

wilayah terdekat dengan memperhatikan tenaga kesehatan dan jenis pelayanan

yang diberikan.
PERMASALAHAN:
1. Adanya anggapan bahwa sistem rujukan BPJS Kesehatan terbatas dan tidak fleksibel

dimana peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh

rujukan dan tidak dapat ke fasilitas kesehatan lain meskipun sama-sama bekerja sama

dengan BPJS. Keterbatasan tersebut dianggap menyulitkan orang yang sering bepergian

dan bekerja di tempat jauh. Padahal sejatinya dan nyatanya, sistem rujukan ini

dilaksanakan agar pelayanan pasien sesuai dengan kebutuhan medis dimana diharapkan

fungsi FKTP tidak hanya sebagai tempat berobat namun juga sebagai tempat masyarakat

memperoleh edukasi kesehatan untuk menjaga peserta yang sehat tetap sehat dan peserta

yang sakit tidak bertambah parah. Berdasarkan data BPJS Kesehatan per triwulan tahun

2015, tercatat hanya terdapat 2.236.379 rujukan FKTP ke rumah sakit dari total angka

kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke FKTP sebanyak 14.619.528 kunjungan, data

tersebut amatlah baik adanya. Dan menurut data dari JKN mobile, mengenai poin

pelayanan masyarakat maka peserta BPJS dapat memperoleh pelayanan kesehatan pada

Fasilitas Kesehatan tingkat pertama diluar tempat peserta terdaftar apabila peserta

memang berada di luar wilayah Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta

terdaftar tersebut atau pun dalam keadaan gawat darurat.


2. Adanya anggapan penurunan kualitas pelayanan pada sistem BPJS yang berasal dari

muncul dan lahirnya:


a. Peraturan Direktur Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 mengenai

penjaminan pelayanan katarak dalam Program Jaminan Kesehatan. BPJS

sebelumnya menjamin operasi semua pasien katarak tetapi kini operasi hanya

dibatasi pada pasien yang memiliki visus dibawah 6/18 dan jika belum mencapai

angka tersebut maka pasien tidak akan mendapatkan jaminan operasi dari BPJS

Kesehatan. Tak hanya itu bahkan jumlah operasi katarak pun harus dibatasi kuota.
Menurut PB IDI, Ilham Oetama Marsis, kebutaan akibat katarak di Indonesia

merupakan salah satu yang tertinggi di dunia dan dengan adanya peraturan ini

malah akan mengakibatkan angka kebutaan semakin meningkat

b. Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 mengenai

penjaminan pelayanan persalinan dengan bayi lahir sehat. Menurut Sekjen

Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Budi Wiweko, ia

dengan tegas menolak Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018 yang berupa

pembatasan biaya BPJS Kesehatan untuk penjaminan bayi baru lahir dengan

kondisi sehat pasca operasi, caesar maupun per vaginam yang artinya klaim biaya

anak yang butuh perawatan khusus ditagih diluar paket persalinan. Menurutnya,

sistem paketan BPJS akan mempersulit kerja resusitasi dan akhirnya bayi dapat

berisiko cacat. Saat ini, BPJS hanya menjamin sekitar 4 juta untuk persalinan

caesar dari sebelumnya berkisar antara 7 juta padahal dengan sistem sebelumnya

pun pembiayaan persalinan sudah sangat terbatas. Prediksi kesehatan bayi tidak

bisa menjamin kondisi pasca kelahiran sehingga dengan keluarnya aturan ini

dikhawatirkan akan menghambat upaya menurunkan Angka Kematian Ibu dan

Angka Kematian Bayi (AKI dan AKB)


c. Peraturan Direktur Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 mengenai

Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Sebelumnya berapa kali pun pasien

terapi akan dijamin oleh BPJS namun kedepannya yang dijamin hanya 2 kali

dalam seminggu. Menurut Ketua IFI (Ikatan Fisioterapi Indonesia) bahwa tingkat

cedera seseorang tersebut berbeda-beda sehingga ada yang butuh fisioterapi setiap

hari, sekali seminggu atau memang 2 kali seminggu apabila jaminan dibatasi jelas

tidak cocok karena fisioterapis pun punya standart pelayanan sendiri yang telah
diatur dalam PMK nomor 65/2015. Adanya peraturan ini dikhawatirkan akan

menyebabkan terapi yang tidak optimal dan disabilitas sulit untuk diatasi.
Tiga aturan baru tersebut dinilai bisa mengurangi defisit anggaran hingga Rp 360 Miliar

namun tetap saja aturan tersebut dianggap membatasi tindakan medis pada pasien

sehingga dokter dipaksa untuk melanggar sumpah karena melakukan praktik kedokteran

yang tidak sesuai standar keilmuan akibat intervensi BPJS. Selain itu, aturan ini juga

akan meningkatkan konflik dan gugatan dari pasien kepada dokter.

SOLUSI/REKOMENDASI:
1. BPJS mengadakan sosialisasi mengenai keuntungan berobat di FKTP dan bagaimana

sistem rujukan di sistem BPJS


2. Berkoordinasi dengan DJSN, PDUI mengenai peraturan-peraturan yang berhubungan

dengan standar pelayanan kesehatan


3. Berkoordinasi dengan DJSN Kemenkes, Asosiasi Rumah Sakit Indonesia dan IDI

Presiden Republik Indonesia untuk membentuk kebijakan efisiensi pelayanan

kesehatan standarisasi yang tidak diskriminatif

3. Fakta Lapangan dan Kondisi JKN


 Menanyakan pandangan dan pendapat narasumber mengenai berita dibawah ini.

Karena dengan adanya berita ini menyimpulkan masih kurang baiknya hubungan

kerja sama BPJS dengan pihak penjalan peraturan seperti Rumah Sakit dan dokter.
4. Keuangan – Defisit
PERMASALAHAN:
Menghadapi UHC 2019, BPJS kesehatan mengalami tantangan keuangan,

pemasukan dan pengeluaran BPJS Kesehatan tidak seimbang yaitu pada tahun 2017

pemasukan hanya mencapai 74,24 Triliun Rupiah, dari pengeluaran yang mencapai 84,4
Triliun Rupiah. Defisit keuangan BPJS Kesehatan hingga mencapai 4,8 triliun per Mei

2018. Pengeluaran BPJS Kesehatan tahun 2017 untuk operasi katarak mencapai Rp2,6

triliun. Kemudian, pembiayaan pelayanan bayi lahir sehat Rp1,1 triliun, dan pembiayaan

rehabilitasi medis Rp960 milyar sehingga BPJS kesehatan mengeluarkan 3 Peraturan

Direktur Jendral BPJS terkait 3 penyakit dengan pengeluaran terbesar. Defisit 10,2

Triliun membuat BPJS Kesehatan perlu memperketat atau merombak efisiensi dan

efektifitas pelayanan kesehatan sehingga peraturan ini dianggap mampu mewujudkan

misi tersebut Namun, pada kenyataannya peraturan tersebut justru memunculkan dilema

baru pada sisi pelayanan BPJS.


Selain itu, pelaksanaan mekanisme rujukan berjenjang belum berjalan dengan

baik sehingga dapat menimbulkan potensi fraud. Misalnya OTT plt Kadinkes Kabupaten

Jombang yang menggunakan dana kapitasi untuk menyuap Bupati Jombang, dana

tersebut dikumpulkan dari dana kapitasi 34 puskesmas di Kabupaten Jombang. Potensi

penyimpangan yaitu persepsi bahwa dana kapitasi harus dihabiskan pada tahun yang

sama sehingga rawan akan manipulasi data. Perencanaan penggunaan dana kapitasi

dilaksanakan oleh bendaraha dan kepala puskesmas sesuai Surat Edaran Mendagri Nomor

900/2280/SJ. Tidak adanya pengawasan anggaran kapitasi di daerah oleh BPJS Kesehatan

sehingga peningkatan pelayanan kesehatan berdasarkan komitmen pemerintah daerah

sendiri.
SOLUSI/REKOMENDASI:
1. Mensegerakan kerjasama intersektor (bank, catatan sipil, dll) dalam rangka

pendisiplinan peserta BPJS Kesehatan dalam membayar premi.


2. Membentuk satgas profesi JKN ditiap daerah untuk mengawasi anggaran kapitasi

per daerah tersebut.


5. Integritasi Jamkesda dan JKN yang belum terealisasi secara menyeluruh
Menghadapi tantangan tersebut maka pemerintah menyusun strategi menuju

pen capaian UHC, temasuk didalamnya integrasi Jamkesda kedalam Jaminan Kesehatan

Nasio nal (JKN) yang dimulai pada 1 Januari 2014 lalu. Namun dalam tujuan

pengintegrasian Jamkesda tersebut, variasi Jamkesda yang ada di level Provinsi menjadi

kendala yang harus dihadapi pemerintah. Sedangkan Kabupaten dan Kota, dihadapkan

pada berbagai faktor antara lain kemampuan fiskal daerah, komitmen pimpinan daerah

serta penyesuaian regulasi antara daerah dengan pusat. Hal ini menuntut perhatian

pemerintah pusat untuk dapat menyusun arah kebijakan yang paling baik dan tepat

dengan prinsip best practices berdasarkan pelaksanaan Jamkesda sehingga pelaksanaan

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan se suai dengan apa yang benarbenar dibutuhkan

oleh masyarakat. Pengelolaan sistem pengintegrasian yang tepat akan mencegah

terjadinya tumpang tin dih (overlapping) tugas, wewenang dan tang gung jawab pada

pemerintah pusat, pemerin tah daerah maupun BPJS.

Disamping faktor manajemen pengelo laan, faktor lain yang perlu diperhatikan

da lam tujuan pengintegrasian sistem Jamkesda ke dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) adalah faktor paket manfaat yang diberikan kepada peserta. Paket manfaat

Jamkesda saat ini masih sangat bervariasi, tergantung pada APBD dan komitmen

pemerintah daerah terhadap masalah kesehatan yang ada. Paket manfaat ini menjadi

faktor penting mengingat pada saat pelaksanaan integrasi, jaminan kese hatan tersebut

mencakup semua yang indikasi medis.

Faktor isu lainnya adalah mengenai sasaran penerima bantuan iuran (PBI). Program

Jamkesda diselenggarakan bagi masyarakat miskin dan masyarakat tidak mampu yang
be lum menjadi peserta Jamkesmas. Besaran ban tuan iuran, antara daerah satu dengan

yang lain menjadi sangat bervariasi. Beberapa pe merintah daerah yang terkait dengan

janji poli tik, telah membuat kebijakan yang melampaui kemampuan fiskal di daerahnya.

Akibatnya, beberapa fasilitas kesehatan atau rumah sakit terutama RSUD sulit untuk

menagih piutang Jamkesda. Dalam jangka panjang, apabila kondisi ini tidak diatasi maka

akan berdampak pada terganggunya pendanaan (cash flow) rumah sakit. Beragamnya

model pengelolaan Jamkesda tentu akan berdampak pada sulit nya penyeragaman besaran

iuran dan sasaran penerima bantuan iuran Jamkesda kedalam mekanisme JKN.

Pemerintah pusat memain kan peranan penting dalam menentukan ber bagai alternatif

kebijakan terbaik untuk pelak sanaan JKN.

Dihadapkan pada berbagai permasalahan tersebut diatas, maka untuk tercapainya

integrasi Jamkesda ke JKN, diperlukan suatu formulasi kebijakan yang mampu menginte

grasikan penyelenggaraan Jamkesda kabupaten/kota dan provinsi dalam skema integrasi

JKN, baik dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun besaran iuran. Khu

susnya dari sisi manajemen pengelolaan, paket manfaat maupun penerima bantuan iuran,

yang menyeimbangkan peran pusat dan dae rah dalam kerangka desentralisasi.

PERMASALAHAN:

Data kesinambungan pemerintah Aceh dengan BPJS yang indah sedangkan yang

lain belum

SOLUSI/REKOMENDASI:
1. BPJS, kemeterian dalam negeri dan kepala daerah berkoordinasi untuk

mengintegrasikan APBD jamkesda dengan APBN JKN (contoh ACEH)

Anda mungkin juga menyukai